Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

DINAMIKA HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu 2:
Ahmad Maula Hadi, S.H, M.H

Disusun oleh :

1. Fachira Nabilah Selima (1234070010)

2. Alifa Fasya Fauziyyah (1234070023)

3. Fitria Handayani (1234070036)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Tidak lupa Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw., yang telah menjadi suri
tauladan dalam berdakwah dan mengajak umatnya kepada jalan yang benar.
Makalah ini kami susun sebagai bagian dari upaya kami untuk lebih memahami
tentang “Dinamika Hubungan Sipil dan Militer” yang memiliki peran penting dalam
kehidupan sehari-hari yang kita jalani ini.
Makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami Bapak
Ahmad Maula Hadi, S.H, M.H . yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama
proses penulisan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
sejawat yang telah berbagi pemikiran dan diskusi yang sangat berharga.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan tentunya masih memiliki
kekurangan di berbagai aspek. Kritik dan saran dari pembaca akan sangat kami hargai untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman kita
tentang Dinamika Hubungan Sipil dan Militer. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
petunjuk dan keberkahan dalam setiap langkah kita.

Bandung, November
2023

Kelompok 10

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.Latar Belakang Masalah................................................................................1
2.Rumusan Masalah..........................................................................................2
3.Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3
A . Pengertian Sipil , Militer , dan Hubungannya............................................3
1.Pengertian Sipil.........................................................................................3
2.Pengertian Militer.....................................................................................3
3.Pengertian Hubungan Sipil dan Militer....................................................4
B. Sejarah Hubungan Sipil dan Militer.............................................................4
C. Peran Sipil dan Militer................................................................................7
1. Militer ..................................................................................................7
2. Masyarakat Sipil.........................................................................................8
D. Kondisi Hubungan Sipil dan Militer............................................................8
1. Kondisi Militer Saat Ini..............................................................................8
2.Hubungan Sipil Militer yang Diharapkan...................................................11
E. Contoh Konflik Sipil dan Militer.................................................................14
F. Harmonisasi Hubungan Sipil dan Militer.....................................................16
BAB III PENUTUP..........................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................19
B. Saran………………….……………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................21

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Tujuan nasional bangsa Indonesia ingin mencapai suatu masyarakat yang adil
dan makmur yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mewujudkan semua itu tentunya tidak dapat diperoleh dengan mudah, dibutuhkan
perjuangan, kerja keras, pengorbanan dan semangat pantang menyerah dari segenap
komponen bangsa. Perjuangan dalam mencapai cita-cita bangsa tidak sebanding
dengan perjuangan yang telah dilakukan para pendiri bangsa ini, jauh lebih sulit
dalam berjuang memperoleh kemerdekaan NKRI, penuh dengan pengorbanan harta
benda, air mata, darah, bahkan jiwa raga. Jadi dapat dikatakan bahwa kemerdekaan
dan cita-cita perjuangan bangsa hanya bisa diwujudkan dengan menempatkan
persatuan, kerterpaduan, kerjasama, hubungan yang terkoordinasi antara semua
komponen bangsa, baik itu masyarakat sipil dan militer. Membahas masalah
Hubungan Sipil Militer di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang dalam upaya
membentuk NKRI.
Sipil dan Militer memiliki kontribusi yang yang sangat penting dalam proses
memerdekakan NKRI, walaupun dalam sejarah Hubungan Sipil Militer di Indonesia
sering terjadi perbedaan pandangan, pendapat Sipil dan Militer memiliki kontribusi
yang yang sangat penting dalam proses memerdekakan NKRI. Pasang surut hubungan
sipil militer yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah fenomena dikotomi Sipil-Militer
perlu diakhiri, dengan perbaikan hubungan atas dasar kepentingan nasional dan tujuan
nasional. Hampir di seluruh negara dunia memahami harmonisasi Hubungan Sipil-
Militer menjadi kata kunci kestabilan dan keberlangsungan kehidupan suatu negara,
seperti yang diungkapkan oleh Huntington pada Teori Ajensi bahwa: kontrol sipil
obyektif adalah meyakinkan bahwa elit militer semakin efektif dengan catatan
meminimumkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional. Untuk itu perlu
adanya penata ulang hubungan sipil militer yang lebih konkrit, dalam sebuah negara
demokrasi dengan mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara diatas
segalanya, dalam rangka menggapai cita-cita nasional dan kemerdekaan.

3
2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan membahas lebih lanjut
terkait dengan dinamika hubungan sipil dan militer. Adapu rumusan masalah yang
akn dibahas diantaranya:
1. Apa definisi sipil dan militer?
2. Bagaimana sejarah hubungan sipil dan militer?
3. Apa saja peran sipil dan militer?
4. Bagaimana kondisi hubungan sipil dan militer masa sekarang?
5. Apa konflik antara sipil dan militer?
6. Bagaimana menciptakan harmonisasi sipil dan militer?

3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas, tentunya makalah ini mempunyai tujuan


yang ingin dicapai diantaraya:
1. Dapat memahami definisi sipil dan militer
2. Dapat memahami sejarah hubungan sipil dan milter
3. Dapat memahami peran sipil dan militer
4. Dapat mengetahui hubungan sipilmiliter pada saat ini
5. Dapat mengetahui harmonisasi sipil dan militer

4
BAB II
PEMBAHASAN

A . Pengertian Sipil , Militer , dan Hubungannya

1. Pengertian Sipil

a. Secara Bahasa
Menurut KBBI, sipil adalah berkenaan dengan penduduk atau rakyat (bukan militer).
Paling sederhana sipil adalah berbudaya dan santun, seperti pada seseorang yang
beradab. Sipil juga dapat menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan komunitas
masyarakat dan pemerintahannyaatau suatu peradaban.
b. Secara Istilah
Ernest Gellner mengartikan masyarakat sipil ini sebagai masyarakat yang terbangun
atas dasar berbagai Non Government Organization (NGO) yang bersifat otonom dan
tangguh untuk menjadi penetral kekuasaan negara. Mereka tidak tersentuh hierarki
politik, ekonomi, ideologi yang tidak menoleransi adanya kompetisi, bervisi plural
dalam memaknai kebenaran dan menentukan parameter kebenaran secara bersama-
sama.
c. Secara Undang-Undang
Dalam Protokol Tambahan Pasal 50 disebutkan bahwa warga sipil adalah setiap orang
yang tidak termasuk dalam salah satu dari penggolongan-penggolongan orang-orang
yang disebut dalam Pasal 4 ayat (1),(2),(3) dan (6). Yang dimaksudkan dalam pasal
ini, warga sipil adalah yang bukan: 1) Anggota angkatan perang dari suatu Pihak dalam
pertikaian, 2) Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota gerakan perlawanan yang
diorganisir, 3) Angkatan perang dari suatu Pihak dalam sengketa dari semua angkatan, 4)
Anggota-anggota angkatan perang tetap yang menyatakan kesetiaan pada suatu pemerintah, 5)
5) Penduduk wilayah yang belum diduduk

2. Pengertian Militer
a. Secara Bahasa

5
Dalam Bahasa Yunani, militer adalah orang dengan bersenjata dan siap untuk
bertempur serta terlatih dari tantangan untuk menghadapi musuh. Ciri-ciri militer
adalah berpakaian yang seragam, berdisiplin tinggi, memiliki organisasi yang teratur,
mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan. (Salam, 2006, hal 13).
b. Secara Istilah
Menurut Amiroeddin Syarif, militer adalah orang yang dididik, dilatih dan
dipersiapkan untuk bertempur (Syarief, 1996, hal. I)
c. Secara Undang-Undang
Merujuk pada Pasal 1 Ayat 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia, militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu
negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan

3. Pengertian Hubungan Sipil dan Militer


Interaksi antara angkatan bersenjata suatu negara sebagai sebuah institusi,
pemerintah, dan sektor-sektor masyarakat lainnya di mana angkatan bersenjata tersebut
berada. Menurut Huntington, yang dimaksud dengan hubungan sipil militer adalah peran
militer dalam masyarakat yang demikian disebut kontrol sipil. Terdapat dua bentuk
kontrol sipil atas militer, Subjective civillians control dan objective civillian control
(Huntington, 2000). Subjective civillians control merupakan bentuk kontrol sipil
terhadap militer dengan kedudukan yang sejajar sehingga batas kewenangan menjadi
tidak jelas. Sedangkan Objective civillians control lebih menekankan pada
profesionalitas militer. Dimana memaksimalkan profesionalisme militer sehingga terjadi
adanya distribusi kekuasaan antara militer dan sipil sehingga menjadikan militer sebagai
instrumen negara (Sudirman & Edta, 2018, hal. 36)

B. Sejarah Hubungan Sipil dan Militer

Sejarah hubungan sipil-militer di Indonesia telah mengalami pasang surut dalam


beberapa periode dimulai sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, selama revolusi fisik tahun 1945-1949, dilanjutkan saat ditetapkannya
sistem pemerintahan serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Hubungan sipil-militer ada
sejak berdirinya organisasi militer di Indonesia. Perbedaan ideologi tentang cara
berjuang untuk mencapai kemerdekaan sudah terjadi antara para politisi sipil dengan
para pejuang yang berjuang secara militer. Adanya perbedaan pandangan pula yang

6
membuat tidak segera dibentuknya angkatan bersenjata setelah kemerdekaan Indonesia
dapat diraih. Sehingga para anggota militer terus mendesak pemimpin negara untuk
segera membentuk suatu organisasi militer yang solid.
Perubahan konstitusi di pemerintahan membawa berbagai dampak bagi
kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada bidang militer yang
mengakibatkan menurunnya peran politik militer, bahkan menghendaki militer tidak
boleh ikut campur dalam bidang politik.
Kemerdekaan yang dicapai Indonesia tidak lepas dari peran generasi muda yang
umumnya termanifestasikan dari golongan-golongan atau kelompok bersenjata bentukan
Jepang, seperti Pembela Tanah Air (PETA), Barisan Pelopor, Seinendan, Keibodan, dan
Heiho. Kelompok bersenjata barisan Jepang itu adalah embrio dari tebentuknya Tentara
Nasional Indonesia (TNI) seperti sekarang ini. Ketika Jepang menyerah kepada sekutu
mereka mewariskan kepada Indonesia sejumlah laskar-laskar bersenjata, yang dimana
kelompok-kelompok tersebut dipimpin oleh orang-orang lokal. Dengan mengabaikan
herarki militer yang akan memainkan peran menentukan dalam militer dan politik
Indonesia untuk dua generasi selanjutnya.
Pemimpin-pemimpin militer yang dilatih oleh Jepang inilah yang akan
mengawali Revolusi Indonesia yang pecah dalam periode 1945-1949.6 Setelah diraihnya
kemerdekaan Indonesia, perkembangan organisasi militer di Indonesia mulai saat
dibentuknya BKR yang merupakan cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia.
akan tetapi pembentukan BKR dirasa belum cukup tepat oleh para anggota militer sebagai
suatu organisasi militer yang solid dan kuat. Hal ini dikarenakan BKR bukanlah
dimaksudkan sebagai organisasi kemiliteran, karena BKR dibentuk atas dasar kerakyatan
bukan murni sebagai tentara. Sehingga para anggota militer terus mendesak agar
pemerintah segera membentuk suatu angkatan perang guna menjaga keamanan negara
dari ancaman tentara Belanda dan NICA.
Tetapi politisi sipil yang menjadi pemimpn negara beranggapan angkatan
bersenjata bahwa pembentukan tentara nasional justru akan mengundang pasukan
gabungan dari sekutu. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan jalan diplomasi.
Selain itu profesionalisme kemiliteran menurut pandangan para politisi sipil masih rendah
disamping hanya dimiliki oleh sebagian dari kelompok pemuda dan kelompok
bersenjata . Perubahan nama keorganisasian militer terus terjadi akan tetapi hal ini belum
menunjukan suatu kemajuan akan adanya organisasi militer yang lebih solid dan
profesional.

7
Situasi keamanan negara yang semakin mendesak dan dengan adanya tekanan dari
para golongan militer, pada akhirnya presiden Soekarno pada tanggal 5 Mei 1947
mengeluarkan dekrit guna membentuk suatu Panitia Pembentukan Organisai Tentara
Nasional Indonesia. Hasil kerja Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia adalah pada 3 Juni 1947 Presiden RI mengeluarkan Penatapan BN 1947
nomor : 24, Yang isinya adalah TRI berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dengan perubahan nama ini semua angkatan bersenjata dan biro petahanan dimasukan
kedalam Tentara Nasional Indonesia . Jadi secara teritoris TNI merupakan gabungan dari
kelompok angkatan bersenjata yang bersifat nasional. Tetapi hingga beberapa lama hal ini
masih menjadi semacam pergantian nama saja dikarenakan adanya benturan dari aksi-aksi
militer Belanda. Perbedaan ideologi tentang cara berjuang merebut kemerdekaan menjadi
suatu masalah tersendiri antara para politisi sipil dan pejuang militer.
Pada 23 Agustus 1949 yang bertempat di Bangsal Ksatria (Ridderzaal) Staten
General Lapangan Binnen Hof, Den Haag. Konferensi yang dihadiri oleh perwakilan
Indonesia, Belanda, Bijeenkomst Federaale Overleg (BFO), dan PBB ini menyepakati
akan dibentuknya Negara Indonesia Serikat dan Belanda mengakui kedaulatan atas
wilayah Negara Indonesia Serikat. Yang menimbulkan pertentangan dari warga sipil
karena tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Didalam RIS
selain diberlakukannya konstitusi baru, sesuai dengan isi perjanjian KMB juga disepakati
tentang larangan negara bagian untuk memiliki angkatan perang sendiri. Angkatan
perang yang ada merupakan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang
merupakan gabungan dari TNI dan mantan tentara KNIL.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah RIS yang berdaulat. Mereka memanfaatkan mantan anggota KNIL
yang menolak bergabung kedalam APRIS. Maka pada masa berdirinya RIS militer hanya
dijadikan alat pengaman stabilitas Negara dan dari aksi-aksi yang mengancam kedaulatan
Negara. Politisi sipil sangat mendominasi dalam pengambilan keputusan baik dibidang
politik bahkan dibidang militer.
Setelah adanya pemberontakan-pemberontakan tersebut keinginan masyarakat
Indonesia untuk kembali kedalam bentuk negara NKRI semakin besar. Berbagai aksi
menolak pemerintahan RIS dilakukan diberbagai wilayah. Masyarakat menuntut
dibubarkannya RIS karena tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan
sebelumnya. Maka setelah sekian banyak usaha dan pemberontakan yang dilakukan
masyarakat Indonesia. Bubarlah Negara-negara bagian RIS dan menyisakan RIS sebagai

8
Negara merdeka yang berdiri sendiri. Namun tidak sampai disitu, masyarakat menuntut
NKRI untuk berdiri kembali. Akan tetapi tuntutan agar membubarkan RIS dan kembali
ke NKRI mendapatkan masalah. Hal ini terjadi karena kedaulatan yang diakui oleh
Belanda dan PBB merupakan kedaulatan RIS, sehingga jika RIS dibubarkan maka
kedaulatan yang telah dicapai akan terlikuidasi.16 Untuk mengatasi masalah ini
diambilah suatu kesepakatan bahwa penggabungan RIS ke NKRI bukan lah dengan cara
pembubaran RIS, akan tetapi mengubah konstitusi konstitusi RIS.
Hubungan sipil-militer pada masa RIS dapat dikatakan terjadi pengendalian sipil
atas militer secara subjektif (Subjective Civilian Control). Dimana menurut Huntington,
SCC terjadi jika suatu kekuatan masyarakat dapat mengontrol militer guna memenuhi
kepentingan dan tujuan politiknya. Dan hal ini dapat tercapai dengan pentiadaan otonomi
pada profesi militer dan menjadikan militer hanya sebagai alat bagi penguasa politik
untuk mencapai tujuan dari kepentingan politik pribadi maupun golongannya18. Dengan
adanya konsep ini maka militer tidak dapat berperan dalam pemerintahan. Segala
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sipil tidak sesuai dengan yang diharapkan
golongan militer. Hal ini berdampak adanya keinginan para petinggi-petinggi militer
mulai mencoba agar dapat berperan aktif dalam pemerintahan selain untuk menjaga
kedaulatan Indonesia juga agar hak-hak golongan militer tidak terabaikan oleh
pemerintah yang dijalankan politisi sipil.
Dalam perkembangan pemerintahan di Indonesia selanjutnya militer melakukan
manuver-manuver untuk dapat ikut berperan aktif dalam pemerintahan. Adanya wacana
rasionalisasi dan demobilisasi yang diajukan oleh pemerintah menjadi awal terjadinya
pergesekan antara sipil-militer dipemerintahan setelah RIS. Setelah tidak diberlakukannya
UUDS 50 dan kembali ke UUD45 menjadi awal dari militer untuk dapat berperan aktif di
pemerintahan.

C. Peran Sipil dan Militer

1. Militer
Kekuatan militer di Indonesia diwakili oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI adalah alat negara
yang bertugas sebagai pembela kedaulatan Negara serta melaksanakan pertahanan negara,
demi tetap kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang-

9
Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI berperan sebagai
alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik Negara. Dalam pasal tersebut tercantum fungsi TNI
dalam 2 pasal :

(1) TNI sebagai alat pertahanan Negara, berfungsi sebagai ;


a) penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata
dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan
keselamatan bangsa;
b) penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a
c) pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan
keamanan.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan
komponen utama sistem pertahanan negara.

2. Masyarakat Sipil

Peran sipil dapat formal dan informal apabila ditinjau dari lembaga dan sifatnya.
Peran formal dalam penyelenggaraan negara melalui lembaga perwakilan rakyat,
peradilan, pemerintahan dan pengawasan. Para pelaksana sipil tersebut telah disediakan
perangkat organisasi yang profesional dan prosedur prosedur yang baku. Sedangkan
peran informal misalnya oleh organisasi kamasyarakatan, partai politik, organisasi profesi
dan keagamaan, LSM ( lembaga swadaya masyarakat ) dan sebagainya.

Sementara secara umum peran sipil terhadap militer Negara disebutkan oleh
Huntington menyebut kontrol sipil terbungkus dalam dua tipikal. Pertama adalah kontrol
sipil subyektif dan kedua ialah kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil subyektif difokuskan
kepada memaksimalkan kekuatan kontrol sipil atau kelompoknya. Sedangkan kontrol
sipil obyektif fokus kepada memaksimalkan profesionalisme perwira. Pembagian ini ada
kaitannya dengan tidak hadirnya korps perwira yang professional. Sehingga bentuk
kontrol sipil yang paling memungkinkan adalah kontrol sipil subyektif. Inti kontrol sipil
obyektif meyakinkan bahwa elit militer akan semakin efektif dengan catatan menurunkan
pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional.

10
D. Kondisi Hubungan Sipil dan Militer

1. Kondisi Militer Saat Ini

Hubungan sipil-militer menjadi obyek perbincangan masyarakat Indonesia di saat


menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden. Apalagi dalam pencalonan tersebut
muncul tokoh-tokoh mantan TNI sebagai kandidat presiden pada bulan Juli 2004.
Terkuaknya perbincangan tersebut diilhami oleh terlalu lamanya militer terlibat dalam
kancah perpolitikan di Indonesia dan tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI serta
adanya ungkapan lain agar militer kembali ke barak. Dalam arti lain timbulnya semangat
depolitasi militer agar militer lebih profesional di bidangnya, di sisi lain adanya
pemahaman yang berbeda terhadap arti hubungan sipil-militer itu sendiri. Berhembusnya
gelombang reformasi juga turut berpartisipasi dalam membuka ruang yang lebih besar
bagi pembahasan tentang wacana hubungan sipil-militer yang dikaitkan dengan proses
demokrasi.
Selama ini hubungan sipil-militer bukan saja dibangun di atas doktrin militer,
dimana doktrin tersebut kurang populer di kalangan masyarakat utamanya masyarakat
sipil serta doktrin tersebut tidak pernah menjadi wacana perbincangan di kalangan publik.
Pemahaman yang jelas dan benar tentang hubungan sipil-militer harus dapat didefinisikan
atau dirumuskan dengan jelas dan benar serta dapat diimplementasikan di Indonesia
dengan meletakkan dan memperhatikan kepentingan nasional. Hal tersebut untuk menepis
kepentingan individu maupun kelompok sehingga tidak terjerumus kepada terjadinya
konflik di antara sesama bangsa. Di sisi lain ada pandangan yang menyatakan bahwa
bukankah masyarakat Indonesia, atau yang disebut warga masyarakat, terdiri dari
masyarakat sipil dan masyarakat militer sehingga terlalu berlebihan bagi kita untuk
mempersoalkan hal tersebut? Namun fakta sejarah bangsa Indonesia menyatakan lain
terhadap dampak kegiatan militer, sehingga dikotomi sipil-militer menjadi kental dan
perlu adanya suatu interaksi yang harmonis. Sehingga diperoleh suatu masyarakat
Indonesia yang utuh dengan visi dan misi yang sama dalam membangun Indonesia di
masa depan.
Pasca berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998, ditandai dengan Presiden
Suharto menyatakan pengunduran diri dari Jabatannya, merupakan babak baru dari HSM
pada Era Reformasi, secara otomatis peran Dwifungsi TNI dikurangi atau dihapus sebagai
bagian dari salah satu agenda Reformasi. Mengacu dari teori HSM seperti yang telah

11
dikemukan diatas, respon cepat yang dilakukan TNI dengan menarik diri dari
kedudukannya di legislatif yang seharusnya berakhir pada tahun 2009, dipercepat pada
tahun 2004
Paradigma baru TNI dilakukan sebagai bentuk upaya TNI untuk memperbaiki
HSM dan menjalani amanah reformasi dengan melakukan validasi organisasi di tubuh
TNI yang salah satunya dengan menghapus jabatan Kasospol TNI menjadi Kaster TNI
pada level Mabes TNI.
Dengan demikian TNI telah menanggalkan doktrin kekaryaan dengan tidak lagi
menempatkan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil dan legislatif, TNI kembali ke barak
dan kembali ke Jati Diri TNI Tentara Pejuang, Tentara Rakyat, sebagai Tentara Nasional
dan Tentara Profesional dan focus tugas pada bidang pertahanan. Konsekuensi lain dari
kebijakan reformasi yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan, konsolidasi dan
pengendalian pihak sipil atas militer adalah dengan mengeluarkan militer dari lingkaran
dalam, dengan menempatkan TNI di bawah Kementerian Pertahanan.
Namun pada kenyataan HSM di Era Reformasi, pihak sipil belum sepenuhnya
untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak militer. Fenomena ini tentunya
bertentangan dengan konsep HSM pada masa kekinian, yaitu teori yang dikemukakan
Huntington yaitu pertama, subjective civilian control yaitu militer sebagai alat
pertahanan, kedua, objective civilian control yaitu mengakui adanya profesi militer
seperti halnya profesi dokter, insinyur dan lain sebagainya. Stepan menambahkan
Military is the new profesionalism of internal security and national development, yang
berati militer adalah profesionalisme baru dari pemisahan internal dan pembangunan
nasional, Teori ini juga dianut oleh negara-negara berkembang yang merdeka setelah
perang Dunia II.
Adanya anggapan yang berkembang dalam masyarakat bahwa militer harus
berpolitik karena mereka merasakan kegagalan beberapa pemimpin sipil setelah era
kemerdekaan 1945, dan hanya melalui kekuatan militerlah stabilitas suatu bangsa akan
dapat diwujudkan guna mengatasi kekacauan politik. Kontradiksi dengan fenomena di
atas, sebagian masyarakat menilai pihak sipil lebih responship dan cenderung reaktif
sebagai akibat dari trauma akan supremasi militer dimasa ORBA, terutama pada isu yang
masih melibatkan TNI pada jabatan sipil. Pada tahun 2019 pernyataan Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto melontarkan wacana yang ingin menambah pos jabatan baru
bagi perwira tinggi di internal maupun di kementerian. Hal tersebut langsung direspon
dengan banyaknya kritik oleh koalisi organisasi masyarakat sipil, salah satunya dari

12
Direktur Imparsial, Al Araf menilai rencana tersebut tidak tepat, alasannya penempatan
perwira TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI.
Reaksi serupa berlanjut dengan dengan intervensi sipil terhadap UU Nomor 34
tahun 2004 tentang TNI khususnya terhadap pasal 17 yang menyatakan “Prajurit hanya
dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun” dan “Prajurit
aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik
Dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan
Pertahanan Nasional, Search And Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional dan
Mahkamah Agung”. Hal itu dinilai akan memicu kembalinya Dwifungsi ABRI
sebagaimana yang terjadi pada era Rezim Suharto.
Opini pro dan kontra yang berkembang ini dinilai merupakan bentuk
kekhawatiran berlebihan dan kepercayaan diri pemerintahan sipil yang kurang, dalam
melanjutkan agenda reformasi, kecenderungan itu dapat dilihat dari berbagai peristiwa
yang terjadi antara lain: pertama, pada awal reformasi terjadi peristiwa lepas Timor Timur
dari NKRI dan membentuk negara baru yang bernama Timor Leste di era pemerintahan
Presiden B.J Habibie yang menggantikan Presiden Suharto. Kedua, pelibatan
purnawirawan TNI di kancah partai politik dan pemerintahan yang dapat menimbulkan
kesan bahwa pemimpin Indonesia, utamanya kalangan sipil, selalu berupaya menjaga
persoalan keseimbangan, disamping juga oleh persoalan lemahnya kepemimpinan sipil
dan keputusan ini merupakan hal yang salah dan keliru tetapi tetap dipelihara.
Yang pada dasarnya menafikkan realitas bahwa militer yang dibutuhkan oleh
pemerintah sipil dalam hubungan yang demokratis adalah militer yang profesional dalam
bidangnya, bukan militer yang ikut campur dalam urusan kekuasaan dan kepentingan
politik. Semestinya reformasi internal TNI tetap dipertahankan, serta pemimpin sipil
sudah semestinya membuktikan juga bisa menciptakan keamanan dan ketertiban, dan
menjadi pemimpin sipil yang kuat secara personal.
Hal lain juga yang dapat mempengaruhi HSM pada era reformasi dalam
mendukung profesionalisme militer karena sampai pada saat ini, pihak sipil belum dapat
mewujudkan postur TNI yang ideal karena minimnya dukungan anggaran militer yang
disetujui oleh DPR. Keterbatasan anggaran tersebut menyebabkan pembangunan
kekuatan alat pertahanan terganggu, porsi latihan kurang, kesejahteraan prajurit pun
masih rendah, sehingga berujung pada kurang profesionalnya militer di Indonesia yang
dapat menjadi sikap praetorianisme
Kendala lain yang terjadi dikarenakan perjalanan historis sejak kelahiran TNI di

13
Indonesia, di mana para perwira militer bergabung di dalamnya bukan dimotivasi oleh
karier kemiliteran, melainkan banyak dilandasi oleh semangat untuk melawan penjajahan
dari penelitian Crouch (1998). Hal inilah yang menjadi dasar sulitnya peran TNI lepas
dari kepentingan politik karena sejak kelahirannya, institusi ini telah memegang peranan
yang sangat vital dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan
Indonesia. Faktor ini juga dapat mengganggu tercipta kondisi HSM yang harmonis dan
memiliki kekuatan dalam melanjutkan cita-cita perjuangan luhur bangsa Indonesia.

2. Hubungan Sipil Militer yang Diharapkan

Jika pada saat sekarang kita selalu mendengar tentang dikotomi antara sipil dan
militer, mari kita sadarkan bersama bahwa peringatan tersebut adalah bentuk early
warning system kepada para anak bangsa, yang dapat dijadikan momentum untuk
mengevaluasi diri, belajar dari pengalaman sejarah perjuangan bangsa atau bangsa ini
bisa belajar dari pengalaman negara lain, dalam menata kembali HSM dalam konteks
kehidupan bernegara ke arah lebih baik dengan menempatkan kepentingan bangsa dan
negara diatas kepentingan pribadi atau golongan sehingga memunculkan arti penting
hubungan kerjasama sipil militer secara harmonis.
Pada masa Perang Dingin, ideologi politik dunia cenderung memperbolehkan adanya
keterlibatan militer dalam politik yang berakibat pada dominasi militer dalam kekuasaan
di banyak negara di berbagai belahan dunia. Namun pasca perang dingin peran militer
secara perlahan mulai menurun dan mulai muncul seruan bahwa militer harus kembali ke
barak. Kecenderungan ini dapat kita lihat di berbagai negara di Amerika Latin, seperti
Brasil, Argentina, dan Chili (Latuconsina 2008). Isu HSM diawali dengan tahap krisis
dihampir semua negara. Dua kubu yang agak berbeda “naluri” (dan emosionalnya)
maupun persepsi tentang ancaman, cara mengatasi dan kepekaannya terhadap aktor/non-
aktor yang mungkin berpeluang menjadi tantangan sampai dengan ancaman. Terkait
dengan hal tersebut, Budiman (2014), menyatakan, “Bisa juga diawali karena kecurigaan
atau ketidakpercayaan antar dua kubu, apalagi kalau salah satu kubu merasa terancam
kepentingannya.”
Profesi etika militer yang lebih cenderung pesimistis, kolektivis, orientasi pada
kekuasaan, mendewakan sejarah, nasionalistik, pasifis dan instrumentalis, dan kalimat itu
semua bisa diwakili dengan dua kata: “realistik dan konservatif”. Hal ini sesuai dengan
prinsip demokrasi yaitu tegaknya supremasi sipil atau kontrol sipil terhadap militer.

14
Kontrol atau supremasi tidak diartikan setara dengan komando, namun kontrol diartikan
lebih dekat dengan kebijakan. Artinya produk kebijakan elit sipil (pemerintah)
khususnya yang berkepentingan dengan strategi keamanan nasional yang telah diatur
dalam “kebijakan” elit sipil, sebagai konsekuensinya akan dilakukan oleh militer,
Kontrol sipil tersirat keinginan untuk menjamin strategi pertahanan nasional, oleh karena
itu semua instansi terkait pertahanan nasional adalah subordinasi tradisi nasional, nilai,
kebiasaan, kebijakan pemerintah dan institusi sosial maupun ekonomi.
Studi kasus HSM yang dapat dijadikan model pembelajaran bagi bangsa ini adalah
ketika terjadi Aksi Teror Paris di Prancis pada tanggal 13 November 2015, kerjasama
cepat antara sipil militer dalam mengatasi krisis sebagai wujud respons bersama: bekerja
sama bahu membahu antara sipil dan militer dalam melindungi negaranya. Sjafrie
Sjamsoeddin menjelaskan Perancis menerapkan para teknokrat profesional sipil bekerja
sama dengan personel militer dalam suatu misi gabungan merespons krisis. Peran dan
kontrol parlemen serta arahan strategis dalam urusan regulasi diperlukan untuk
melegitimasi kerja sama ini. Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan
politik otoritas sipil yang berdaulat, yang lingkup penugasan militer pada area stabilisasi
dan rekonstruksi krisis. Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen:
1. bertukar informasi kapasitas,
2. membangun tim kerja dan pelatihan bersama lintas sektor sipil dan militer,
3. menyusun program bersama.
Mereka menyadari faktor penting dalam manajemen krisis adalah kemampuan
mengambil keputusan cepat guna mengatasi krisis dengan menggunakan sumber daya
dan kemampuan seluruh kekuatan pertama yang ada. Semua unit pendukung kedaruratan
harus cepat dimobilisasi ke daerah krisis. Secara universal Perancis mengenal dua tipe
misi militer dan sipil bekerja sama. Dalam misi kemanusiaan disebut humanitarian
action, sedangkan misi politik negara disebut military action.
Peran militer bersifat ultima ratio, bukan penentu akhir, melainkan menjadi elemen
utama negara untuk menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa
dan negara pada kondisi krisis. Dari acuan teori, pengalaman sejarah bangsa ini dan studi
kasus yang telah didiskripsikan diatas dapat dipahami dan dimengerti bahwa kita tak
boleh terkendala faktor psikologis dan traumatis masa lalu yang membuat kita terkukung
dalam situasi yang sulit untuk berkembang dan upaya mensejajarkan diri dengan bangsa
lain, dengan lebih bijak memandang perlunya integrasi nasional menghadapi tantangan
masa depan. Masing-masing komponen bangsa baik itu sipil maupun militer memahami

15
profesionalisme tugas yang diemban dan saling menghormati, tidak saling curiga dan
mengembangkan sikap salin percaya yang pada akhirnya, menyadarkan kita bahwa
selaku anak bangsa yang memiliki cita-cita dan tujuan nasional yang sama.
Menempatkan kepentingan nasional (national interest) diatas segalanya, demi
keberlangsungan hidup matinya suatu bangsa dan negara Indonesia tercinta, dimana
kepentingan nasional itu menjamin tetap berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila yang
memiliki identitas, integrasi dan integritas.
Perbedaan yang terjadi antara sipil militer pada akhirnya dapat dijadikan kekuatan
bangsa bila didasari oleh semangat nasionalisme yang kuat. Dalam era masyarakat
madani, masa kini dan mendatang, kerja sama sipil dan militer menempati ruang yang
luas. Indonesia sudah membangun peta jalan kerja sama mutualistis dan merevitalisasi
peran militer. Tentunya kita tak bisa berhenti, bahkan diharapkan terus dilakukan
optimalisasi dan sistematika oleh negara. Kecurigaan elit sipil tentang “kembalinya”
kekuatan otoriter atau kekuatan militer yang diutilisasikan oleh “penguasa” sudah jauh
berkurang, dengan adanya kenyataan elit militer yang sudah mulai memahami arti,
proses berdemokrasi serta keseimbangan sipil militer dan sebaliknya elit sipil juga harus
mulai memahami arti, peran dan fungsi organisasi TNI lebih detail, dalam rangka
memudahkan debat dan diskusi antara elit sipil dan militer.
Bagi Indonesia, sejak Reformasi 1998 hingga terwujudnya relasi sipil militer yang
demokratis harus dilakukan pemantauan secara terus menerus sesuai dengan agency
theory yang dilakukan di negara-negara yang perkembangan demokratisasinya sudah
berjalan dengan baik dan harmonis. Pemantauan yang dilakukan harus bersifat terus-
menerus (day to day) dan berkesinambungan (continue) demi memastikan bahwa
hubungan ini akan dapat terbentuk dan berjalan sesuai relnya.

E. Contoh Konflik Sipil dan Militer

Konflik OPM

Indonesia berpendapat bahwa Papua Barat adalah bagian dari Indonesia sedangkan
Belanda yang pada kala itu menemukan potensi sumber daya alam yang luar biasa.
sangat berat hati melepaskan Papua Barat masuk kedalam wilayah Indonesia.
Perjuangan secara damai tidak dilakukan lagi karena justru Belanda telah
mempersiapkan kemerdekaan bagi Papua Barat. Melihat hal ini pemerintah Indonesia

16
tidak tinggal diam. Presiden Soekarno segera mencanangkan Tri Komando Rakyat
(TRIKORA). Pemerintah Indonesia juga mencapai kesepakatan perjanjian di bidang
militer dengan Uni Soviet.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa bagi bangsa barat. Dikhwatirkan
Indonesia akan menjadi negara komunis yang besar mengingat pada waktu itu dunia
sedang berada dalam situasi perang dingin.
Akhirnya pihak Belanda menyetujui Perjanjian New York dan melalui perjanjian
tersebut disepakati akan diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh
masyarakat Papua Barat yang berlangsung pada bulan Juli-Agustus 1969 dan hasilnya
diterima oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 2504 (XXVI) pada tanggal 19
November 1969.
Tidak dilibatkannya rakyat Papua Barat dalam perjanjian New York, kondisi
penduduk yang terbelakang, infrastruktur yang minim dan tidak diimbangi dengan
pembangunan yang merata ditengah melimpahnya sumber daya alam membuat
kekecewaan masyarakat Papua Barat terhadap pemerintah Indonesia. Kondisi ini
menimbulkan kelompok perlawanan dan membuat suatu gerakan yang disebut dengan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memiliki visi untuk mendirikan Negara Papua
Barat, terpisah dari NKRI.
Untuk mengatasi situasi, pemerintah Indonesia menggunakan kekuatan militer.
Berbagai operasi militer telah dilakukan, dimana Papua Barat dijadikan daerah operasi
militer (DOM) sehingga ribuan tentara-tentara dikirim menuju Papua Barat untuk
menjaga stabilitas disana.
Keinginan pemerintah untuk mempercepat Indonesiasi di Papua Barat telah
menyebabkan pemerintah menggunakan pendekatan keamanan. lebih menonjol daripada
pendekatan. persuasif dan pendekatan kesejahteraan. Kebijakan tersebut telah membuat
sebagian masyarakat Papua Barat diam- diam maupun terang-terangan akhirnya. justru
mendudukung OPM dan menganggap Indonesia sebagai penjajah baru. Kenyataan
menunjukkan bahwa pemberontak dibantu oleh suku tertentu dan pemberontak
menjadikan suku-suku tersebut sebagai tameng.
Pendekatan keamanan atau pendekatan militer adalah berbagai operasi yang dilakukan
oleh militer untuk menumpas pemberontakan OPM yang dimulai sejak awal
pemberontakan. Kebijakan operasi militer untuk menumpas OPM dilakukan dengan
nama tersendiri sesuai dengan kebijakan pimpinan militer Indonesia. Bentuk- bentuk
operasi militer yang digunakan Di Papua Barat merupakan operasi teritorial, operasi

17
intelijen dan operasi tempur.
Operasi teritorial adalah operasi yang paling soft karena lebih menekankan pada cara-
cara yang persuasif untuk menarik simpati rakyat. Operasi intelijen bertujuan untuk
melakukan pemetaan atas kondisi suatu wilayah atau kelompok masyarakat maupun
untuk melakukan kalkulasi sikap dan kecenderungan sosial politik suatu wilayah atau
kelompok masyarakat. Hasil dari operasi intelijen ini selanjutnya digunakan untuk
mengambil keputusan atau kebijakan atas suatu wilayah atau kelompok masyarakat yang
dijadikan terget operasi intelijen.
Dari berbagai bentuk operasi militer tersebut, operasi tempur adalah yang paling
sering terjadi. Operasi tempur menjadi wilayah yang mendominasi wajah pemerintah
Indonesia bagi rakyat Papua Barat dan sepertinya menjadi sebuah sikap politik dan
kebijakan pemerintah Indonesia dalam memperlakukan rakyat Papua Barat. Berikut
adalah beberapa operasi militer yang dilakukan di Papua Barat untuk mengatasi OPM:

1) Operasi Wisnumurti

2) Operasi Sadar

3) Operasi Bharatayuda

4) Operasi Pamungkas

5) Operasi Koteka 6) Operasi Senyum

7) Operasi Gagak I

8) Operasi Gagak II

9) Operasi Kasuari I 10) Operasi Kasuari II

11) Operasi Rajawali I

12) Operasi Rajawali II

F. Harmonisasi Hubungan Sipil dan Militer

Hubungan sipil-militer yang harmonis dan sinergik dalam NKRI telah dimulai
terutama oleh militer (ABRI). Langkah- langkah awal yang telah dilakukan oleh
ABRI/TNI antara lain adalah:

18
(1) melaksanakan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran ABRI/TNI,
(2) pemisahan Polri dengan TNI,
(3) mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR secara bertahap, dan
(4) penghapusan penugasan karyawan ABRI di lembaga-lembaga non Dephankam dan
TNI/Polri. Penugasan personil TNI di luar Dephankam dan TNI/Polri harus sungguh-
sungguh berdasarkan permintaan rakyat/user, dan harus dipilih personil yang berkualitas,
serta dapat diterima di lingkungan kerjanya. Mereka ini harus beralih status menjadi
sipil,
(5) TNI bersikap netral terhadap semua partai politik, tetapi tetap berorientasi kepada
kepentingan nasional dan
(6) mengadakan kajian-kajian tentang masalah hubungan sipil-militer dengan melibatkan
para pakar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di samping langkah-langkah awal yang telah dilakukan oleh ABRI tersebut di atas,
telah sejak lama diupayakan adanya saling pengertian dan keterpaduan dalam
penyusunan kebijaksanaan (policy) dan strategi nasional melalui pendidikan di Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas), khususnya melalui Kursus Reguler dan Kursus
Singkat. Program ABRI Masuk Desa (AMD) dan berbagai operasi bakti ABRI juga telah
dilaksanakan dalam rangka membina hubungan militer masyarakat pedesaan yang
harmonis dan sinergik. Di masa mendatang pembinaan hubungan sipil-militer yang
harmonis dan sinergik masih perlu terus ditingkatkan dengan memanfaatkan peluang
yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia, serta mengatasi berbagai kendala yang
timbul. Dalam era reformasi saat ini berbagai masalah yang perlu dibahas dalam
hubungan sipil militer antara lain adalah masalah intelijen negara, intelijen TNI, dan
intelijen sektor-sektor, masalah teritorial, masalah anggaran yang diperlukan oleh TNI
dan Polri, masalah perumusan kebijaksanaan dan strategi keamanan nasional. Masalah-
masalah tersebut harus dibahas dan dipahami bersama untuk menghin- darkan konflik,
saling curiga dalam rangka meningkatkan hubungan yang harmonis dan sinergik demi
kepentingan nasional.
Intelijen mengemban fungsi sebagai mata dan telinga untuk pengambilan keputusan
dalam rangka keselamatan negara ter- hadap ancaman yang timbul atau diperkirakan
akan timbul. Intelijen bukan untuk kepentingan penguasa, karena itu perlu dibahas dan
dipahami bersama, serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai
landasan hukumnya. Demikian pula halnya dengan pembinaan teritorial dalam rangka
Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) perlu dibahas dan

19
dipahami bersama dan perlu diatur landasan hukumnya.
Pembahasan dan saling pengertian masalah-masalah tersebut di atas antara lain dapat
dilaksanakan pada DPR, DPRD terutama yang menyangkut masalah alokasi anggaran
bagi TNI dan Polri. Juga di sidang kabinet di mana Panglima TNI hadir dalam rangka
menentukan kebijaksanaan nasional.
Lembaga lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai titik temu hubungan sipil militer
adalah Sekretariat Jenderal Pertahanan Keamanan Nasional (Setjen Wanhankamnas)
dalam rangka menyusun kebijaksanaan dan strategi keamanan nasional. Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dalam rangka membuat pertimbangan/saran kepada
presiden dan lain-lainnya.
Upaya untuk membangun format baru hubungan sipil militer dalam masyarakat
demokratis memerlukan landasan yang lebih fundamental. Prasyarat yang penting adalah
terbentuknya pemerintahan demokratis yang mencakup rule of law, akuntabilitas publik
dalam kaitan delicate balance tentang otonomi militer dalam kebijakan personel,
penentuan tingkat kekuatan, masalah pendidikan, dan doktrin militer. Dalam rangka
mencari dan merumuskan hubungan baru sipil militer yang harmonis harus ada kemauan
dari semua komponen bangsa yang berlandaskan kepada nilai moral dan sikap mental
yang saling menghormati dan menghargai (mutual respect) dan saling bekerja sama
untuk mewujudkan Indonesia Baru berdasarkan prinsip yang ditetapkan sesuai otoritas
pengambilan keputusanva

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai Dinamika Hubungan Sipil dan Militer, dapat ditarik
kesimpulan bahwa:

1. Sipil adalah sebagai sebuah asosiasi masyarakat yang beradab dan sukarela hidup dalam
suatu tatanan sosial dimana terjadi mobilitas yang tinggi dan kerja sama antar seluruh
elemen Masyarakat. Militer adalah militer adalah orang dengan bersenjata dan siap untuk
bertempur serta terlatih dari tantangan untuk menghadapi musuh
2. Kekuatan militer di Indonesia diwakili oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI
sebagai alat pertahanan Negara, berfungsi sebagai ;a) penangkal terhadap setiap bentuk
ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b) penindak terhadap setiap bentuk ancaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: c) pemulih terhadap kondisi keamanan
negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan: d) Dalam melaksanakan fungsi

21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem
pertahanan negara.
3. Peran sipil dapat formal dan informal apabila ditinjau dari lembaga dan sifatnya. Peran
formal dalam penyelenggaraan negara melalui lembaga perwakilan rakyat, peradilan,
pemerintahan dan pengawasan. Sedangkan peran informal misalnya oleh organisasi
kamasyarakatan, partai politik, organisasi profesi dan keagamaan, LSM ( lembaga
swadaya masyarakat ) dan sebagainya.
4. Kondisi hubungan sipil militer hari yaitu pihak sipil belum sepenuhnya untuk
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak militer. Adanya anggapan yang
berkembang dalam masyarakat bahwa militer harus berpolitik karena mereka merasakan
kegagalan beberapa pemimpin sipil setelah era kemerdekaan 1945
5. Hubungan militer yang diharapkan nantinya adalah masing-masing komponen bangsa
baik itu sipil maupun militer memahami profesionalisme tugas yang diemban dan
saling menghormati, tidak saling curiga dan mengembangkan sikap salin percaya yang
pada akhirnya, menyadarkan kita bahwa selaku anak bangsa yang memiliki cita-cita
dan tujuan nasional yang sama.
6. Untuk mengharmonisasikan hubungan sipil militer maka diputuskan langkah-langkah
berikut: (1) melaksanakan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran ABRI/TNI, (2)
pemisahan Polri dengan TNI, (3) mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR secara
bertahap, dan (4) penghapusan penugasan karyawan ABRI di lembaga-lembaga non
Dephankam dan TNI/Polri. (5) TNI bersikap netral terhadap semua partai politik, tetapi
tetap berorientasi kepada kepentingan nasional dan (6) mengadakan kajian-kajian tentang
masalah hubungan sipil-militer dengan melibatkan para pakar, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri

B. Saran

Adapun saran yang bisa kami berikan untuk makalah kedepannya antara lain:
1. Diharapkan untuk pembuatan makalah selanjutnya bisa diperdalam kembali materi yang
dibahas agar pembaca bisa mendapatkan pemahaman yang sempurna dan tidak ada
kesalahpahaman
2. Bagi pembaca dan penulis diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan pengetahuan
yang lebih tentang dinamika hubungan sipil militer

22
DAFTAR PUSTAKA

Rosyada, Dede dkk. ( 2000 ). Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta. ICC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dwianto Agus. (1999). Membangun Masyarakat Madani: Tinjauan Birokratik-Politik. 3 (1),
JKAP.
David Setiawan, dkk (2013). Perkembangan Hubungan Militer Dengan Sipil Di Indonesia.
Jawa Timur. UPN Veteran. Global & Policy Vol.1, No.1, Januari - Juni 2013
Dimas Z.P, dkk (2021). Keterlibatan Militer dalam Politik Pemerintahan di Indonesia Tahun
1958-1998. Jember. Universitas Jembe. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan
Sejarah Volume 9 (1) 2021 ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)
Georgy Mishael. (2016). Kebijakan Operasi Militer Tentara Nasional Indonesia Terhadap
Organisasi Papua Merdeka Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional.
Volume 5 nomor 2.

23
H. Budi Santoso S. (1999). Hubungan Sipil-Militer Yang Harmonis Dan Sinergik Dalam
Negara Kesatuan R.I. Jurnal Ketahanan Nasional. IV (2). Hal 13-16.

24

Anda mungkin juga menyukai