Anda di halaman 1dari 33

KOMUNIKASI POLITIK

“DEMOKRASI DAN PERS”

Dosen Pengampu:

AL SUKRI, M.I.Kom

Disusun Oleh:

LOLA NOVIA (229110415)

KELAS (G)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya, saya
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang berjudul "DEMOKRASI DAN PERS"
dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas dosen bapak Al Sukri,
M.I.Kom pada mata kuliah Komunikasi Politik di Universitas Islam Riau. Tidak lupa pula
kita haturkan shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang syafa'atnya kita nantikan
kelak.

Saya sebagai penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada bapak AI


Sukri, M.I.Kom selaku dosen mata kuliah Komunikasi Kelompok Politik. Tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Saya
menyadari makalah bertema demokrasi dan pers ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, saya menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, saya
memohon maaf.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Komunikasi
Politik ini dapat bermanfaat.

Pekanbaru, 22 November 2023

Lola Novia
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................................5
2.1 Negara......................................................................................................................................5
A. Definisi Negara........................................................................................................................5
B. Sifat-Sifat Negara....................................................................................................................7
C. Unsur-Unsur Negara................................................................................................................8
D. Tujuan dan Fungsi Negara.......................................................................................................9
2.2 Ideologi Negara......................................................................................................................10
A. Definisi Ideologi....................................................................................................................10
B. Unsur Ideologi Negara...........................................................................................................11
C. Fungsi Ideologi Negara..........................................................................................................11
D. Ideologi Besar di Dunia.........................................................................................................12
E. Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia..........................................................14
2.3 Demokrasi..............................................................................................................................15
A. Definisi Demokrasi................................................................................................................15
B. Ciri-Ciri Demokrasi...............................................................................................................18
C. Demokrasi Konstitusional......................................................................................................18
D. Demokrasi di Indonesia.........................................................................................................20
2.4 Pers Pilar Demokrasi.............................................................................................................22
A. Definisi Pers Pilar Demokrasi................................................................................................22
B. Sejarah Pers Pilar Demokrasi................................................................................................22
C. Fungsi Dewan Pers................................................................................................................25
2.5 Kebebasan Pers......................................................................................................................26
A. Definisi Pers...........................................................................................................................26
B. Sejarah Pers di Indonsia.........................................................................................................27
C. Tugas dan Fungsi Pers...........................................................................................................29
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................32
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pers adalah pilar Negara Demokratis. Secara etimologi, pengertian demokrasi
berasal dari bahasa Yunani. Terdiri atas dua kata, yaitu demos, yang berarti rakyat dan
kratos, yang berarti kekuasaan/berkuasa, maka dapat dimaknai demokrasi berarti
kekuasaan ada di tangan rakyat atau rakyat yang berkuasa.
Untuk memenuhinya, pemerintah atau penguasa yang menjalankan negara
wajib mendengarkan suara rakyat, memperhatikan keinginan rakyat, dan
melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat. Agar suara, keinginan, dan
kehendak rakyat dapat didengar oleh penyelenggara negara, maka harus ada
kemerdekaan untuk menyatakan pendapat. Perlu adanya sarana atau media yang akan
digunakan dalam partisipasi tersebut. Salah satu sarana yang dapat digunakan
masyarakat dalam partisipasi politik dan pemerintahan adalah pers.
Atas dasar alasan latar belakang yang telah di uraikan diatas akhirnya
mendorong penulis untuk membahas “Demokrasi dan Pers”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan politik, demokrasi dan pers di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah di atas tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik yang diberikan dosen pengampu
2. Menambah wawasan dan pemahaman tentang bagaimana hubungan polotik,
demokrasi dan pers di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Negara
A. Definisi Negara
Beberapa para ahli yang memberikan definisi mengenai negara, di antaranya:
1. Menurut Socrates
Negara adalah organisasi yang mengatur hubungan orang-orang dalam suatu kota
atau polis (negara waktu itu).
2. Menurut Plato
Negara adalah suatu tubuh yang senantiasa tampak maju, berkembang,
sebagaimana layaknya orang-orang (manusia).
3. Menurut Aristoteles
Negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang
sebaik-baiknya.
4. Menurut Jean Bodin
Negara adalah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala
kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
5. Menurut Hugo de Groot
Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka
untuk memperoleh perlindungan hukum.
6. Menurut Bluntschli
Negara adalah suatu diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di
suatu daerah tertentu.
7. Menurut Hans Kelsen
Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.
8. Menurut Leon Duguit
Negara adalah kekuasaan orang-orang kuat yang memerintah orang-orang yang
lemah, dan kekuasaan orang-orang yang kuat tersebut diperoleh karena faktor
politik.
9. Menurut Herman Finer
Negara adalah organisasi kewilayahan yang bergerak di bidang kemasyarakatan
dan kepentingan perseorangan dari segenap kehidupan yang multidimensional
untuk pengawasan pemerintahan dengan legalitas kekuasaan tertinggi.
10. Menurut Robert Mac Iver
Negara adalah gabungan antara suatu sistem kelembagaan dengan organisasinya
sendiri sehingga bila membahas tentang negara, kita cenderung selalu
mengartikan lembaga dari suatu organisasi penyelenggara.
11. Menurut Logemann
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang penuh kewibawaan.
12. Menurut Kranenburg
Negara adalah suatu sistem dari tugas-tugas umum dan organisasi, yang diatur
dalam usaha untuk mencapai tujuan yang juga menjadi tujuan rakyat yang
diliputinya sehingga harus ada pemerintah yang berdaulat.
13. Menurut Thomas Hobbes
Negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai- ramai.
Masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan
perlindungan bagi mereka, bat
14. Menurut Georg Jellineck
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah
memiliki tempat kediaman tertentu.
15. Menurut Jean Jacques Rousseau
Negara adalah perserikatan dari rakyat yang secara bersama-sama melindungi dan
mempertahankan hak masing-masing begitu juga harta benda anggota masyarakat
dengan tetap hidup secara bebas dan merdeka.
16. Menurut Karl Marx
Negara adalah suatu alat kekuasaan manusia untuk menindas kelas manusia
lainnya.
17. Menuruit Bellefroid
Negara adalah suatu masyarakat persekutuan hukum yang menempati suatu
wilayah tertentu yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi untuk urusan
kepentingan umum.
18. Menurut Immannuel Kant
Negara adalah organisasi yang harus dijamin terlaksananya kepentingan umum,
warga negara di lingkungan hukum dalam batas norma yang telah ditetapkan
undang-undang sebagai kemauan bersama.
Menuurut Kencana (2015: 67), Ada pula negara yang mengatakan bahwa
kedaulatannya berada di tangan negara sendiri. Ini karena melihat terlalu
dibedakannya manusia atas manusia maka untuk mengantisipasi perbedaan kelas
negara membuat peraturan ketat yang tidak boleh dilanggar rakyat. Demi negara,
semua harus mengalah. Ini terlihat pada negara-negara komunis yang menjadikan
negara berkuasa secara tirani. Demikian pula negara milik orang banyak secara
bersama- sama sehingga cara ini dianggap diktator protelariat. Walaupun di
negara komunis pemimpinnya selalu memakai pakaian militer, pakaian buruh, dan
seragam yang dibuat sama rasa dan sama rata. Namun, perilaku kejam pemimpin
yang mengatasnamakan negara, tetap tidak menghormati negara itu sendiri.
Akhirnya, lahirlah kata kata (slogan) "Negara adalah saya, bagi para
pemimpinnya, kata-kata pemimpin adalah kata-kata resmi negara”.

B. Sifat-Sifat Negara
1. Sifat memaksa
Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban
dalam masyarakat tereapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki
sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik
secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. Organisasi
dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan, akan tetapi aturan-
aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat.
Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga
negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini dapat
dikenakan denda, atau disita miliknya, atau di bebera- pa negara malahan dapat
dikenakan hukuman kurungan.
2. Sifat monopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari
masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran
kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, oleh
karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
3. Sifat mencakup semua
Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan
perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku un- tuk
semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau
seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha
negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. Lagi pula,
menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauansendiri (involuntary
membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan
bersifat sukarela.

C. Unsur-Unsur Negara
Negara terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut:
1. Wilayah
Setiap negara menduduki tempat tertentu di muka bumi dan mempunyai
perbatasan tertentu. Kekuasan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya
tanah, tetapi juga laut di sekelilingnya dan angkasa diatasnya.
2. Penduduk
Setiap negara mempunyai penduduk, dan kekuasaan negara menjangkau smua
penduduk di dalam wilayahnya. Penduduk dalam suatu negara biasanya
menunjukkan beberapa ciri khas yang membedakan dari bangsa lain. Perbedaan
ini nampak misalnya dalam kebudayaannya, nilai-nilai politiknya, atau identitas
nasionalnya.
3. Pemerintah
Negara mencakup semua penduduk, sementara pemerintah hanya mencakup
sebagian kecil dari padanya. Pemerintah sering berubah, sedangkan negara terus
bertahan (kecuali kalau dicaplok oleh negara lain).
4. Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang
dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi ini untuk memaksa semua
penduduknya agar menaati undang-undang serta peraturan-peraturannya
(kedaulatan ke dalam-internal sovereignty). Di samping itu negara
mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-serangan dari negara lain
dan mempertahankan kedaulatan ke luar (external sovereignty). Untuk itu negara
menuntut loyalitas yang mutlak dari warga negaranya.
“Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis, dan konsep kedaulatan ini tidak
selalu sama dengan komposisi dan letak dari kekuasaan politik. Kedaulatan yang
bersifat mutlak sebenarnya tidak ada, sebab pemimpinkenegaraan (raja atau
diktator) selalu terpengaruh oleh tekanan-tekanan dan faktor-faktor yang
membatasi penyelenggaraan kekuasaan secara mutlak. Apalagi kalau menghadapi
masalah dalam hubungan internasional; perjanjian-perjanjian internasional pada
dasarnya membatasi kedaulatan sesuatu negara. Kedaulatan umumnya tidak dapat
dibagi-bagi, tetapi di dalam negara federal sebenarnya kekuasaan dibagi antara
negara dan negara-negara bagian”. (Budiardjo 2008:54).

D. Tujuan dan Fungsi Negara


Setiap negara memiliki tujuan dan fungsinya masing masing. Di Indonesia tujuan
dari negara Republik Indonesia sebagai tercantum di dalam Undang- Undang Dasar
1945 ialah: "Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan. kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
dengan mewujud- kan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(Pancasila)".
Negara yang berhaluan Marxisme-Leninisme bertujuan untuk membangun
masyarakat komunis, sehingga bonum publicum selalu ditafsirkan dalam rangka
tercapainya masyarakat komunis. Tafsiran itu memengaruhi fungsi-fungsi negara di
bidang kesejahteraan dan keadilan. Negara dianggap sebagai alat untuk mencapai
komunisme dalam arti segala alat kekuasaannya harus dikerahkan untuk mencapai
tujuan itu. Begitu pula fungsi negara di bidang kesejahteraan dan keadilan (termasuk
hak-hak asasi warga negara) terutama ditekankan pada aspek kolektifnya, dan sering
mengorbankan aspek perseorangannya.
Terlepas dari ideologinya, negara menyelenggarakan beberapa minimun fungsi
yang mutlak dibutuhkan, yaitu:
1. Melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan
penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini sangat
penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan di Indonesia tercermin
dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.
3. Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.
Sarjana lain, Charles E. Merriam, menyebutkan lima fungsi negara, yaitu:
1. Keamanan ekstern
2. Ketertiban intern
3. Keadilan
4. Kesejahteraan umum
5. Kebebasan

Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk


mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

2.2 Ideologi Negara


A. Definisi Ideologi
Ideologi berasal dari kata 'idea' dari bahasa Yunani 'eidos', yang berarti 'gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan logos yang berarti ilmu. Kata "eidos" berasal
dari bahasa Yunani yang artinya bentuk. Ada lagi kata "idein" yang artinya melihat.
Secara harfiah, ideologi dapat diartikan ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science
of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.
Pengertian lain secara harfiah, ideologi berarti "a system of idea" suatu rangkaian
ide yang terpadu menjadi satu. Dalam penggunaannya, istilah ini dipakai secara khas
dalam bidang politik untuk menunjukkan "seperangkat nilai yang terpadu, berkenaan
dengan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".
Ideologi juga dapat diartikan suatu gagasan yang berdasarkan ide tertentu
(Darmodiharjo. Apabila ada suatu gagasan yang menjadi pedoman bagi suatu
tindakan tertentu, hal ini disebut ideologi. Jadi suatu gagasan yang merupakan suatu
pedoman aksi biasanya disebut Ideologi. Ideologi telah merupakan rangkuman
gagasan. Pada umumnya ideologi erat kaitannya dengan politik sehingga sering kita
dengar adanya ideologi politik. Erat hubungannya dengan politik ini adalah ideologi
nasional, ideologi bangsa. (Taniredja,Supriadi,Harmanto,Ridha, 2014:51).
Menurut Sunarso (Sunarso, 2020)Beberapa pengertian ideologi yang dikemukakan
para ahli antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Heuken
Ideologi adalah a) ilmu tentang cita-cita, gagasan atau buah pikiran; b)
pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan tertentu; c)
kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan
menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya.
b. Menurut Sastrapratedja
Ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi
pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur.
c. Menurut Murdiono
Ideologi adalah seperangkat nilai yang terpadu berkenaan dengan
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dari berbagai pendapat di atas Pitoyo (2012: 75) menyimpulkan bahwa
ideologi adalah:
a. Gagasan, cita-cita, dan nilai dasar yang membentuk sistem nilai yang utuh,
bulat dan mendasar;
b. merupakan pencerminan dari pandangan hidup dan falsafah hidup suatu
bangsa;
c. berbentuk kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kemauan bersama;
d. menjadi landasan yang tangguh dan arah dalam mencapai cita-cita bersama.

B. Unsur Ideologi Negara


Secara umum ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang
berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam
ideologi terkandung tiga unsur, yaitu:
1. Adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan.
2. Memuat seperangkat nilai-nilai atau preskripsi moral.
3. Memuat suatu orientasi suatu tindakan, ideologi merupakan suatu pedoman
kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya.
C. Fungsi Ideologi Negara
Ideologi memiliki beberapa fungsi bagi hidup dan kehidupan bangsa, antara lain
sebagai berikut:

1. Sebagai landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-


kejadian di alam sekitarnya.
2. Sebagai orientasi dasar yang memberikan makna dan menunjukkan tujuan
dalam kehidupan manusia.
3. Sebagai norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
4. Sebagai bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Sebagai kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang
untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Sebagai pendidikan bagi seseorang atau bangsa untuk memahami serta
memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya.

D. Ideologi Besar di Dunia


1. Liberalisme
Liberalisme dari kata liberalis (kata Latin) yang merupakan kata
turunan dari liber yang berarti bebas, merdeka, tak terikat, tak tergantung.
Ideologi ini mementingkan kebebasan perseorangan, ia terpantul dalam aspek
segala kehidupan. Berpangkal tolak dari anggapan bahwa kebahagiaan
perseorangan akan dapat pula terwujud menjadi kebahagiaan masyarakat,
tidaklah mengherankan kemudian paham ini berkembang atau bervariasi
menjadi pragmatisme; yang berguna bagi perseorangan adalah baik. Seseorang
mengejar apa yang dianggapnya terbaik yang barangkali akibatnya akan
merugikan orang lain (Darmodiharjo, 1984: 58).
Liberalisme merupakan paham atau ajaran yang mengagungkan
kebebasan individu. Dalam ajaran liberalisme manusia pada hakikatnya adalah
makhluk individu yang bebas, pribadi yang utuh dan lengkap serta terlepas
dari manusia lainnya sehingga keberadaan individu lebih penting dari
masyarakat.
2. Komunisme
Ideologi Komunis menurut Darmodharjo (1984: 65-67) memiliki
beberapa ciri khusus, seperti:
a. Ateisme, artinya penganut ini tidak percaya adanya Tuhan dalam arti
bahwa kehidupan manusia berdasarkan atas suatu evolusi. Kehidupan
ini ditentukan oleh hukum-hukum kehidupan tertentu.Agama
dimusuhi, agama dianggap sebagai penghalang kemajuan.Agama
memelihara kekolotan. Bahkan para pengikutnya diperkenankan atau
dianjurkan untuk bersikap anti agama.
b. Dogmatisme, tidak mempercayai pikiran orang lain, artinya ajaran-
ajaran yang baku berdasarkan atas pikiran Marx-Engels harus diterima
begitu saja.
c. Otoritas, pelaksanaan politik berdasarkan kekerasan.
d. Pengkhianatan terhadap HAM, tidak mengakui adanya hak-hak asasi
manusia, hanya partai yang mempunyai hak.
e. Diktator, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh partai komunis,
golongan lain dilenyapkan.
f. Interpretasi ekonomi, sistem ekonomi diatur secara sentralistik, artinya
pengaturan dan penguasaan ekonomi diatur oleh pusat. Negara
mengambil alih semua kekuasaan dan pengaturan ekonomi.
3. Fasisme
Fasisme merupakan sebuah ideologi yang berusaha menghidupkan
kembali kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dari negara dengan
berlandaskan pada asas nasionalisme yang tinggi. Berdasarkan pendapat
Darmodiharjo (1984:75) Fasisme yang berkembang di Jerman menjadi
Naziisme, memiliki beberapa ciri khas, antara lain:
a. Rasialisme, pengikut ideologi ini tidak bebas berpikir terhadap
ideologi itu sendiri. Semua orang harus tunduk pada pikiran yang telah
diletakkan oleh ideologi. Dogma yang diletakkan oleh pelaksana
ideologi, baik di Jerman maupun di Italia harus diikuti dengan patuh
tanpa kritik dari mana pun datangnya.
b. Diktator, ajaran ini dogmatis, kritik dianggap suatu kejahatan.
Perlawanan terhadap ajaran dan kekuasaan pemerintah dimusnahkan
dengan cara kekerasan. Cara-cara demokratis tidak dikenal.
Pemerintahan dilakukan oleh sekelompok kecil orang. Pemerintahan
dikuasai oleh partai penguasa dengan kekuasaan yang besar sekali.
c. Imperialisme, atas dasar ideologi mereka melakukan penguasaan atas
bangsa lain. Akibatnya imperialisme adalah suatu akibat logis dari
paham yang rasialistis itu. Semboyan fasisme, adalah "Crediere,
Obediere, Combattere" (yakinlah, tunduklah, berjuanglah).
Berkembang di Italia, antara tahun 1992-1943.
4. Marxisme
Marxisme, dalam batas-batas tertentu bisa dipandang sebagai jembatan
antara revolusi Prancis dan revolusi Proletar Rusia tahun 1917. Untuk
memahami Marxisme sebagai satu ajaran filsafat dan doktrin revolusioner,
serta kaitannya dengan gerakan komunisme di Uni Soviet maupun di bagian
dunia lainnya, barangkali perlu mengetahui terlebih dahulu kerangka histories
Marxisme itu sendiri.Tiga hal yang merupakan komponen dasar dari
Marxisme adalah:
a. Filsafat dialectical and historical materialism.
b. Sikap terhadap masyarakat kapitalis yang bertumpu pada teori nilai
tenaga kerja dari David Ricardo (1772) dan Adam Smith (1723-1790).
c. Menyangkut teori negara dan teori revolusi yang dikembangkan alas
dasar konsep perjuangan kelas. Konsep ini dipandang mampu
membawa masyarakat ke arah komunitas kelas.

E. Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia


Ideologi ini didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Ideologi ini hanya dianut
oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuannya adalah untuk membentuk
masyarakat adil dan makmur dalam kehidupan material dan spiritual. Prinsip ajaran
bidang politik (setelah amandemen UUD 1945):

1. Kedaulatan ada ditangan rakyat.


2. Sistem pemerintahannya adalah sistem presidensial.
3. Masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua kali atau 10 tahun.
4. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
5. Presiden mengangkat dan menerima duta dengan pertimbangan DPR
6. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah
Agung, amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
7. Desentralisasi pemerintahan dengan dilaksanakannya otonomi daerah.
8. Hak asasi manusia diatur dengan lengkap dan rinci.
9. MPR tidak lagi pemegang kadaulatan rakyat.
10. Presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat.
11. Presiden tidak lagi dapat membekukan dan membubarkan DPR.
12. Komposisi MPR terdiri dari DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), yang
semuanya dipilih lewat pemilu.
13. Hak prerogatif presiden banyak dipangkas; 14) kekuasaan legislatif semakin
dominan; (15) UUD 1945 menjadi lebih rinci.

2.3 Demokrasi
A. Definisi Demokrasi
Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau
kekuasaan, Jadi, secara bahasa demos- cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan
rakyat atau kekuasaan rakyat.

Penyelenggaraan demokrasi atau kedaulatan rakyat bermula dari Yunani kuno


yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM-abad ke-6 M.
Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct
democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan se- cara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara. Hal ini dapat
dilakukan karena Yunani pada waktu itu berupa negara kota (polis) yang
penduduknya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitar- nya yang berpenduduk
sekitar 300.000 orang. Tambahan pula, meski- pun ada keterlibatan seluruh warga,
namun masih ada pembatasan.

Misalnya, para anak, wanita, dan budak tidak berhak berpartisipasi dalam
pemerintahan.Jika kita tinjau keadaan di Yunani pada saat itu maka nampak bahwa
"rakyat ikut secara langsung" karena keikutsertaannya yang secara langsung itu maka
pemerintahan pada waktu itu merupakan pemerintahan dengan demokrasi secara
langsung. Jadi, ada dua macam demokrasi atas dasar penyaluran kehendak rakyat:
a. Demokrasi langsung: paham demokrasi yang mengikutserta- kan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
dan undang-undang.
b. Demokrasi tidak langsung: paham demokrasi yang dilaksanakan melalui
sistem perwakilan. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan
biasanya dilaksanakan melalui Pemilihan Umum.

Dari sudut terminologi, banyak sekali definisi demokrasi yang di- kemukakan
oleh beberapa ahli politik yang masing-masing mem- berikan definisi dari sudut
pandang yang berbeda. Berikut ini beberapa definisi tentang demokrasi:
a. Harris Soche menyatakan:
"Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu ke- kuasaan
pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri orang banyak, dan merupakan
hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, dan
melindungi dirinya dari paksaan dan perkosaan orang lain atau badan yang
diserahi untuk memerintah."
b. Henry B. Mayo, menyatakan:
"Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip ke- samaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjamin- nya kebebasan politik."
c. Menurut International Commission of Jurist:
"Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara
melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab
kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas."
d. C. F. Strong mendefinisikan demokrasi sebagai:
"Suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota dewasa dari
masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintah akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakan
kepada mayoritas itu."
e. Samuel Huntington menyatakan:
"Demokrasi terjadi sejauh para pembuat keputusan kolektif yang
paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur,
dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk
memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan
suara."

Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu men- dapat mandat
dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Rakyat adalah pemegang
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi, Apabila pemerintah
telah mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin penyelenggaraan bernegara
maka peme- rintah tersebut sah. Seorang pemimpin seperti presiden, gubernur,
bupati, kepala desa, atau pemimpin politik yang telah dipilih oleh rakyat berarti ia
telah mendapat mandat secara sah dari rakyat. Pemerintahan yang dijalankan
adalah pemerintahan demokrasi sebab berasal dari mandat rakyat.
(Winarno, 2017: 98-101).

Dalam demokrasi, kekuasaan pemerintahan di negara itu berada di tangan


rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan di negara
tersebut. Pemerintahan yang menempat- kan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi disebut pemerintahan demokrasi. Pemerintahan demokrasi dapat
dinyatakan pula sebagai sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat. Secara
subtantif, prinsip utama dalam demokrasi ada dua (Maswadi Rauf, 1997), yaitu:
a. kebebasan/persamaan (freedom/equality).
b. kedaulatan rakyat (people's sovereignty)
Selain itu, demokrasi pun dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan, biasanya
suatu demokrasi perwakilan, di mana kekuatan-kekuatan mayoritas digunakan
untuk menjamin terpenuhinya keuntungan atau kemakmuran bagi semua warga
negara. Di sini dijamin hak-hak individual maupun hak-hak kolektif, seperti
kebebasan berbicara dan beragama. Ini yang disebut demokrasi liberal atau
demokrasi konstitusional”. (Maran, 2013:201-202)
Menurut Robert A. Dahl dalam Gatara dan Said (2007:190) setidaknya ada 6
lembaga yang dibutuhkan dalam penerapan sistem demokrasi ini, yakni:
a. Para pejabat yang dipilih. Pemegang atau kendali terhadap segala
keputusan pemerintahan mengenai kebijakan secara konstitusional berada
di tangan para pejabat yang dipilih oleh warga negara. Jadi, pemerintahan
demokrasi modern ini merupakan demokrasi perwakilan.
b. Pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan berpriodik. Para pejabat itu
dipilih melalui Pemilu.
c. Kebebasan berpendapat. Warga negara berhak menyatakan pendapat
mereka sendiri tanpa ada halangan dan ancaman dari penguasa.
d. Akses informasi-informasi alternatif. Warga negara berhak mencari
sumber-sumber informasi alternatif.
e. Otonomi asosiasional, yakni, warga negara berhak membentuk
perkumpulan atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan
kelompok kepentingan.
f. Hak kewarganegaraan yang inklusif.

B. Ciri-Ciri Demokrasi
Menurut Maran (2013:206) pemerintahan disebut demokratis bila memenuhi
delapan kriteria berikut:

1. Adanya persetujuan rakyat.


2. Adanya partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik yang
menyangkut nasib mereka.
3. Adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum.
4. Adanya kebebasan individu untuk menentukan diri.
5. Adanya peng- hormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
6. Adanya pembagian pendapatan yang adil.
7. Adanya mekanisme kontrol sosial terhadap pemerintah.
8. Adanya ketersediaan dan keterbukaan informasi.

C. Demokrasi Konstitusional
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang
demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan
bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas
kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut
pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi, constitutional
government sama dengan limited government atau restrained government.

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh


seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan
selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali
melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyhur berbunyi
sebagai berikut: "Manusia yang mempunyai ke- kuasaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (Power tends
corrupt, but absolute power corrupts ab- solutely)”.

Pada waktu demokrasi konstitusional muncul sebagai suatu program dan sistem
politik yang konkret, yaitu pada akhir abad ke-19, dianggap bahwa pembatasan atas
kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis, yang
dengan tegas menjamin hak-hak asasi dari warga negara. Di samping itu, kekuasaan
dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, yaitu
dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak
memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam tangan satu orang atau satu badan.
Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara Hukum
(Rechtsstaat) dan Rule of Law.

Biarpun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang konkret,
tetapi ia sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dan
ke-16. Maka dari itu, wajah demokrasi abad ke-19 menonjolkan beberapa asas yang
dengan susah payah telah dimenangkannya, seperti misalnya kebebasan manusia
terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang
agama maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia dianggap paling penting.

”Tetapi demokrasi tidak merupakan sesuatu yang statis, dan dalam abad ke-20,
terutama sesudah Perang Dunia II, negara demokratis telah melepas- kan pandangan
bahwa peranan negara hanya terbatas pada mengurus ke- pentingan bersama.
Sekarang dianggap bahwa negara turut bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat
dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga
negaranya. Gagasan ini dituang dalam konsep mengenai Negara Kesejahteraan
(Welfare State) atau Social Service State. Demokrasi dalam abad ke-20 tidak lagi
membatasi diri pada aspek politik saja seperti dalam abad ke-19, tetapi meluas
mencakup juga segi-segi ekonomi sehingga demokrasi menjadi demokrasi ekonomi.
Perkembangan ini telah terjadi secara pragmatis sebagai hasil dari usaha mengatasi
tantangan- tantangan yang dihadapi dalam abad ke-20. Lagi pula perkembangan ini
telah terlaksana secara evolusioner”. (Budiardjo, 2008: 107-108).

D. Demokrasi di Indonesia
1. Demokrasi Desa
Menurut Mohammad Hatta (1953), Indonesia sejak dahulu
sesungguhnya telah mempraktikkan ide tentang demo- krasi, meskipun masih
sederhana dan bukan dalam tingkat kenegara- an. Desa-desa di Indonesia
sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan pemimpin dan
adanya budaya bermusyawarah dengan istilah rembug desa di Jawa,
musyawarah nagari di Minang- kabau, sakehe desa di Bali, begundem di
masyarakat Sasak, dan se bagainya. Indonesia masa lalu adalah demokrasi di
tingkat bawah, tetapi feodalisme di tingkat atas, demikian pendapat Moh.
Hatta. Demokrasi desa itulah yang disebut demokrasi asli.
Demokrasi desa memiliki 5 unsur atau anasir, yaitu:
a. rapat,
b. mufakat,
c. gotong royong,
d. hak mengadakan protes bersama, dan
e. hak menyingkir dari kekuasaan raja absolut.
Demokrasi desa tidak bisa dijadikan pola demokrasi untuk Indonesia
modern. Akan tetapi, kelima unsur demokrasi desa tersebut dikembangkan
menjadi konsep demokrasi Indonesia yang modern. Demokrasi Indonesia
modern menurut Moh. Hatta harus meliputi 3 hal, yaitu:
a. demokrasi di bidang politik,
b. demokrasi di bidang ekonomi, dan
c. demokrasi di bidang sosial.
Menurutnya pula, demokrasi Indonesia tidak berbeda dengan
demokrasi di Barat dalam bidang politik. Hanya saja demokrasi diIndonesia
perlu mencakup demokrasi ekonomi dan sosial, sesuatu yang tidak terdapat
dalam masyarakat Barat. Demokrasi Indonesia harus meliputi demokrasi
ekonomi yang tidak bersifat individualisme, tetapi kolektivitas.

2. Demokrasi Pancasila
Bersumber pada ideologinya, demokrasi yang berkembang di
Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Nilai-nilai dari setiap sila pada
Pancasila sesuai dengan ajaran demokrasi, bukan ajaran otori- tarian atau
totalitarian. Jadi, Pancasila sangat cocok untuk menjadi dasar dan mendukung
demokrasi di Indonesia. Nilai-nilai luhur Pancasila yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 sesuai de- ngan pilar-pilar demokrasi modern.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Kedaulatan rakyat
Hal ini didasarkan pada bunyi pembukaan UUD 1945 alenia IV yaitu
"...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat...". Kedaulatan rakyat ada- lah esensi dari demokrasi.
b. Republik
Hal ini didasarkan pada pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi
"... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia...".
Republik berarti res publica yang artinya negara untuk kepentingan umum.
c. Negara berdasar atas hukum
Hal ini didasarkan pada kalimat "...Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ke- tertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial...". Negara hukum Indonesia meng-
anut hukum arti arti luas atau materiil.
d. Pemerintahan yang konstitusional
Berdasar pada kalimat "...maka disusunlah Kemerdekaan Ke- bangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia...".
UUD negara Indonesia 1945 adalah konstitusi negara.
e. Sistem perwakilan
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
f. Prinsip musyawarah
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
g. Prinsip ketuhanan
Demokrasi di Indonesia harus dapat dipertanggungjawabkan ke bawah,
yaitu rakyat dan ke atas, yaitu Tuhan.

Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit sebagai


berikut:
1. Secara luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.
2. Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
Unsur utama dari demokrasi Indonesia yang berdasarkan Pancasila
adalah prinsip "musyawarah". Prinsip ini bersumber dari sila keempat
Pancasila, yang intinya adalah "win-win solution". Artinya dengan prinsip
musyawarah tersebut diharapkan memuas- kan semua pihak yang berbeda
pendapat. Dalam hal ini, konsep demokrasi musyawarah versi Indonesia
merupakan salah satu bentuk dari teori demokrasi konsensus
(winarno, 2017: 115-118).

2.4 Pers Pilar Demokrasi


A. Definisi Pers Pilar Demokrasi
"Jika anda mau mendengarkan keinginan rakyat, maka jangan batasi kebebasan
pers". Demikian slogan yang terbaca pada sebuah tulisan dalam Komunikasi Politik.
Public Opinion Quarterly. Slogan itu memberi tekanan betapa besarnya peranan pers
sebagai pemberi informasi dan pembentuk opini publik. "There're only two thing
which can throw light upon here on earth. Two things, once is the sun in heaven and
the second one is the press on earth" (Hanya ada dua yang bisa menerangi bumi,
yakni satunya adalah matahari yang ada di sorga, dan yang kedua adalah surat kabar
yang ada di bumi). Demikian tulis Mark Twin.

B. Sejarah Pers Pilar Demokrasi


Surat kabar memiliki banyak fungsi, namun sebagai sumber informasi politik
telah berlangsung lama. Bahkan jauh sebelum mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg
di Mainz Jerman tahun 1447, surat kabar dengan tulis tangan telah berani memuat
gambar-gambar dalam bentuk karikatur untuk menyindir para penguasa yang
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan demikian, pers tidak saja
berfungsi sebagai pemberi informasi, tetapi juga menjadi alat kontrol terhadap
ketidakpatutan tindakan para penguasa atas hak-hak publik.

Mengingat surat kabar menyebar luas di kalangan masyarakat, dan isinya


dikhawatirkan bisa memengaruhi sikap dan pendapat umum terhadap ketidakadilan
seorang raja misalnya, maka pemerintah kerajaan Inggris pada awalnya
memperlakukan hukum adat, yakni melarang setiap orang mela- kukan kritik terhadap
raja. Hukum ini pula diberlakukan pemerintah koloni Inggris di Amerika ketika surat
kabar Public Occurance yang terbit di Boston pada 1690 dilarang terbit untuk edisi
keduanya karena menyerang pribadi Gubernur Massachusetts. Peristiwa ini tercatat
dalam sejarah kemerdekaan pers di mana Public Occurance sebagai surat kabar yang
pertama kali terbit di Amerika dalam usia sehari, dan menjadi korban pertama
pemberedelan dari pemerintah kerajaan Inggris di koloni Amerika.

Empat puluh lima tahun sesudah kejadian itu, John Peter Zanger yang
menerbitkan surat kabar New York Weekly Journal mencatat sejarah baru dalam
perjuangan kebebasan pers. Seperti pendahulunya, Zanger juga melakukan kritik
pedas terhadap Gubernur New York William Cosby. Bedanya jika Public Occurance
sesudah menyerang Gubernur Massachusetts ia langsung diberedel dan dilarang terbit
untuk edisi berikutnya, sedangkan Peter Zanger yang menyerang Gubernur New York
langsung dijebloskan ke penjara, tetapi surat kabarnya tetap diperkenankan untuk
terbit.Perjuangan kebebasan pers (freedom of the press) pada dasarnya diilhami oleh
pikiran cerdas John Milton (1644) yang menekankan bahwa kebenaran hanya bisa
muncul dari kebebasan. Milton melihat kebebasan pers sebagai norma kultural yang
menjamin salah satu dimensi hidup manusia, yaitu hak asasi untuk menyatakan
pendapat secara bebas. Kebebasan pers menjadi cermin demokrasi dan kebebasan
individu. Jika demokrasi gagal, maka orang akan mempersalahkan bahwa pers tidak
melaksanakan fungsi kontrolnya dalam memperjuangkan kebenaran (if democracy
fail, it is the fault of the press).

Pandangan Milton ini didukung oleh Thomas Jafferson yang melihat the free press
and autonomous press was essential for public enlightenment and as a safeguard of
personal liberties. Lebih jauh ia mengatakan bahwa bila suatu negara dinyatakan
bebas, maka di situ ada kemerdekaan pers, tetapi jika negara dinyatakan kurang
bebas, maka di situ hanya ada setengah kemerdekaan pers.

Hubungan antara pers dan pemerintah sudah sekian lama berjalan sebagai suatu
hubungan yang saling membutuhkan dalam memperjuangkan demokrasi melalui
penciptaan good governance, transparency, dan akuntabel, namun Thomas Jafferson
yang tadinya banyak memuji peranan pers dengan mengatakan "saya lebih suka hidup
dalam suatu negara yang memiliki surat kabar tapi tidak memiliki pemerintahan,
daripada hidup dalam suatu negara yang memiliki pemerintahan tapi tidak memiliki
surat kabar." Pernyataan ini memberi makna begitu besarnya perhatian Jafferson
terhadap pers, namun dalam masa kepresidennya justru ia berbalik dan merasakan
terganggu oleh kritikan-kritikan pers. Beberapa wartawan dituntut di pengadilan
karena tuduhan melakukan pencemaran nama baik, bahkan dengan sinis ia pernah
mengatakan "orang yang tidak pernah membaca surat kabar justru memiliki informasi
yang lebih baik daripada orang yang membaca surat kabar."

Keadaan yang sama juga ditemui di Indonesia dua abad sesudah itu. Figur
Abdurrahman Wahid yang tadinya banyak mendukung perjuangan pers, termasuk
menentang pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) majalah Tempo, Editor,
dan tabloid Detik. Tetapi ketika ia jadi presiden justru ia berbalik mengeluhkan kritik-
kritik pers yang ditujukan pada dirinya, bahkan ia menuduh pers banyak memelintir
ucapannya. Demikian juga ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden ia
menyatakan dalam pidato ulang tahun ke-30 PDIP di Jakarta bahwa pers nyomplang
(tidak berimbang), nylimet (berputar-putar) dan menambah ruwet persoalan.
Soeharto, presiden RI kedua lebih hebat lagi, yakni langsung menutup dan mencabut
izin terbit jika pers melakukan kritik pedas terhadap pemerintah (Tamin, 2003).
Meskipun hubungan antara pers dan pemerintah mengalami pasang surut dalam
perjuangan menegakkan demokrasi, terutama dalam mengingatkan para petugas
negara yang diberi legitimasi sebagai wakil rakyat untuk mengurus kepentingan
rakyat, namun kondisi itu tidak mengurangi nyali para wartawan untuk melaksanakan
profesionalisme dengan rambu-rambu hukum yang bisa menjerat mereka dalam
bentuk delik pidana. Idealisme profesionalisme untuk mendudukkan mereka sebagai
watchdog (anjing penjaga) atau seperti istilah Sayed Arabi Idid sebagai inspektur
jenderal yang bertugas mengkritisi jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari
cita-cita demokrasi (Idid, 1988). Bahkan dalam posisi yang lebih penting pers atau
media ditempatkan pada posisi sebagai the fourth branch of government, yakni
sebagai pilar keempat demokrasi selain legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Media harus menerima kritik dengan lapang dada jika ada pihak-pihak yang
mempertanyakan; kalau pers memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap
jalannya pemerintahan, lalu siapa yang semestinya melakukan kontrol terhadap pers.
Sikap kritis masyarakat ini langsung dijawab oleh wartawan senior Howard Simon
dari The Washington Post, bahwa bukannya pemerintah yang harus mengontrol pers,
melainkan justru pers yang harus melakukan kontrol kepada pemerintah, sebab
pemerintah bisa saja salah. Jika pers membuat kesalahan, menurut Simon ia harus
diajukan ke pengadilan, dan bukan surat kabarnya diberedel, sebab hal itu akan
mematikan hak seseorang untuk mencari kehidupan. Dan ini bertentangan dengan
cita-cita demokrasi.

Profesi wartawan memiliki risiko yang tinggi, bukan saja dalam bentuk delik
sehingga bisa menjadi tuntutan pengadilan, tetapi juga rawan terhadap kekerasan,
penculikan, dan pembunuhan. Atas dasar itu diharapkan bahwa tanggung jawab
seorang wartawan akan mengarah kepada masyarakat, kepada dirinya (responsibility
to himself), kepada profesinya dan juga kepada Tuhannya. Kebebasan pers harus
dipraktikkan secara benar sesuai dengan kaidah- kaidah profesionalisme dalam
mengakses, mengolah dan menyebarluaskan informasi. Sebuah pers yang bebas akan
menyediakan informasi yang lengkap dan bermutu, serta diperlukan sebagai masukan
dalam membuat berbagai keputusan penting.
C. Fungsi Dewan Pers
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 ini juga diatur tentang fungsi Dewan
Pers (Pasal 15) sebagai berikut:

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.


2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang
pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
7. Mendata perusahaan pers.
Dari fungsi-fungsi dewan pers yang tercantum dalam undang-undang pers di
atas, jelas bahwa salah satu dari tujuh fungsi Dewan Pers adalah membantu pers
dalam hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat atas pemberitaan pers.
Lembaga ini memiliki empat jalur penyelesaian masalah menyangkut
pemberitaan, yakni (1) jalur Hak Jawab, (2) jalur Dewan Pers, (3) jalur Hukum,
(4) jalur Social Punishment, yakni memboikot media dengan cara tidak membeli,
tidak menonton, dan tidak memasang iklan. (Cangara, 2014: 68-88)

2.5 Kebebasan Pers


A. Definisi Pers
“Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerin- tahan yang
cerdas, bersih, dan bijaksana. Logikanya, melalui kebe- basan pers masyarakat akan
dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul
mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat
sendiri. Makanya media massa acap kali disebut sebagai the fourth estate of
democracy, pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif”.
(Subiakto dan Ida 2012: 140)
.

Kata Pers berasal dari kata pers dalam bahasa Belanda, Yang berarti menekan atau
mengepres. Kata pers juga merupakan padanan dari kata Inggris press yang artinya
sama: tekan atau dorong. Ini dimaksudkan bahwa dunia pers selalu ada tekanan atau
dorongan karena tanggung jawab dan waktu yang sangat terbatas dalam menyajikan
suatu berita. Hal ini karena didorong atau didesak oleh pembaca atau pendengar dan
redaksi dan rasa tanggung jawab untuk memberikan pelayanan dengan tepat waktu
secara teratur.

Pengertian pers dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dicetak, termasuk di
sini kalender dan perangko. Namun, ada pula yang mengartikan pers secara luas
adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi, baik yang dilakukan dengan media
cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet.

Dalam pengertian yang lebih sempit pers bisa berarti surat kabar, majalah, buletin,
dan kantor berita. Ada juga yang memberi pengertian sebagai kegiatan komunikasi
yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.

Peranan karya pers dalam masyarakat adalah melayani masyarakat dalam


memberitakan gambaran, fakta, atau keadaan yang nyata dalam kehidupan
masyarakat.

Dalam menjalankan tugasnya insan pers perlu mengadakan kontrol atau pe nilaian
terhadap apa yang terjadi secara aktual melalui karikatur, surat pembaca, tajuk, dan
pojok pembaca (yang dua terakhir ini memiliki nama yang berbeda untuk surat kabar,
tetapi memiliki fungsi yang sama).

Memahami Dasar-Dasar Jurnalistik Hubungan antara jurnalistik dan pers secara


fungsional tidak dapat dipisahkan. Namun, secara spesifik jurnalistik selalu dapat
dipisahkan/dibedakan dengan pers, yaitu jurnalistik merupakan bentuk kegiatannya,
bentuk komunikasi isinya, sedangkan pers merupakan media jurnalistik di mana berita
atau apa saja disalurkan.

There are only two things, which can throw light upon things here on the earth.
Two things, one is the sun in the heaven, and the second one is the press on the earth.
(Mark Twain). Ucapan Mark Twain, seorang penulis pers termasyhur Amerika,
menggambarkan bahwa dunia itu semuanya akan menjadi terang karena dua hal:
pertama adalah matahari di langit dan yang kedua pers di dunia. Ini menunjukkan
betapa penting dan mulianya peranan, kedudukan, dan fungsi pers dalam kehidupan
masyarakat. Namun, Rudyard Kippling juga mengatakan sebaliknya bahwa dunia pers
adalah suatu "black art" (kesenian hitam) yang digambarkan sebagai ungkapan "East
is East and West is West, and never the twain shall meet". (Daulay, 2016: 3-4)

B. Sejarah Pers di Indonsia


Sejarah pers Indonesia sebenarnya adalah sejarah yang sangat terkait dengan
sejarah bangsa Indonesia sesuai dengan zamannya. Awal mula sejarah pers Indonesia
sesuai dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia saat memperjuangkan
kemerdekaannya dari tangan para penjajah bangsa, terutama sejarah perjuangan yang
teratur melalui berbagai organisasi, yaitu yang dimulai pada awal abad ke-20 atau
lebih tepatnya sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Sejarah pers di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu sejarah
pers nasional, sejarah pers kolonial, dan sejarah pers Cina. Pers nasional yang
dimaksud adalah surat-surat kabar, majalah-majalah yang diterbitkan dalam bahasa
Indonesia atau daerah, bahkan ada juga dalam bahasa Belanda dan diperuntukkan
terutama bagi bangsa Indonesia. Pers nasional ini diusahakan oleh orang-orang
Indonesia, biasanya oleh kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini
kaum perintis kemerdekaan dan bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia
di masa penjajahan.

Pers kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat-surat kabar,


majalah-majalah dalam bahasa Belanda, daerah ataupun Indonesia yang bertujuan
membela kepentingan kaum kolonialis Belanda, di samping membantu usaha-usaha
pemerintah Hindia Belanda dan kadangkala mengkritik pemerintah jika terdapat
tindakan-tindakan pemerintah yang dirasakan merugikan modal serta kedudukan
kaum kapitalis Belanda.

Pers Cina yang dimaksud adalah koran-koran, majalah-majalah dalam bahasa


Cina, Indonesia, juga Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk Cina.
Keadaan pers di Indonesia pada masa penjajahan, memang sesuai dengan
keadaan masyarakat, di mana ketiga golongan penduduk tersebut mencerminkan
situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan.
Di zaman penjajahan Belanda perlu diketahui ada 2 kelompok pers yang saling
bertentangan yang beredar di Indonesia. Pertama, kelompok pers Indonesia.
Semboyan 'Sekali Merdeka, Tetap Merdeka menjadi pegangan teguh dalam dunia
jurnalistik mereka. Antara tahun 1945 sampai dengan akhir tahun 1949 biasanya
dinamakan periode 'revolusi fisik, yang membawa corak tersendiri dalam sifat dan
fungsi pers ketika itu.

C. Tugas dan Fungsi Pers


Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginan ini melalui medianya, baik
media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan Internet. Namun,
tugas dan fungsi pers yang bertanggung jawab tidaklah hanya sekadar itu, melainkan
lebih dalam lagi yaitu mengamankan hak-hak warga negara dalam kehidupan
bernegaranya. Berikut ini fungsi pers yang umum di masyarakat:

1. Fungsi informatif
Yaitu memberikan informasi, atau berita kepada khalayak ramai
dengan cara yang teratur. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan
penting bagi orang banyak dan kemudian menuliskannya atau menyiarkannya
dalam jurnalistik mereka. Pers mungkin akan memberitakan kejadian-kejadian
pada hari itu, memberitakan pertemuan yang diadakan atau memberitakan
pengangkatan-pengangkatan pejabat di kantor pemerintahan. Pers juga
mungkin memperingatkan orang banyak tentang peristiwa-peristiwa yang
diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca atau bencana alam. Atau pers pun
mungkin memberitakan hal-hal yang langsung berguna, misalnya bagaimana
menghitung pajak pribadi berdasarkan tarif pajak baru.
2. Fungsi kontrol
Pers yang bertanggung jawab adalah masuk ke balik panggung
kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perubahan. Pers harus
memberitakan apa yang berjalan baik dan tidak berjalan baik. Fungsi
"watchdog" atau fungsi kontrol ini harus dilakukan dengan lebih aktif oleh
pers daripada oleh kelompok masyarakat lainnya.
3. Fungsi interpretatif dan direktif
Yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan. Pers harus
menceritakan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini biasanya
dilakukan pers melalui tajuk rencana atau tulisan-tulisan latar belakang.
Kadang-kadang pers juga menganjurkan tindakan yang seharusnya diambil
oleh masyarakat-misalnya menulis surat protes kepada DPR atau memberikan
sumbangan bagi korban bencana alam dan memberikan alasan mengapa harus
bertindak.
4. Fungsi menghibur
Para wartawan menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan
menarik. Mereka menyajikan humor dan drama serta musik. Mereka
menceritakan kisah yang lucu untuk diketahui meskipun kisah itu tidak terlalu
penting.
5. Fungsi regeneratif
Yaitu menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau,
bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan,
dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah. Jadi, pers membantu
menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses
regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda.
6. Fungsi pengawalan
Hak-hak warga negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak
pribadi. Demikian pula halnya bila ada massa rakyat berdemonstrasi, pers
harus menjaga baik-baik jangan sampai timbul tirani golongan mayoritas di
mana golongan mayoritas itu menguasai dan menekan golongan minoritas.
Pers yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin
hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yang dibutuhkannya.
Dalam beberapa hal, rakyat hendaknya diberi kesempatan untuk menulis
dalam media untuk melancarkan kritik-kritiknya terhadap segala sesuatu yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga kadang- kadang
mengkritik medianya sendiri.
7. Fungsi ekonomi
Yaitu melayani sistem ekonomi melalui iklan. Tanpa radio, televisi,
majalah, dan surat kabar maka beratlah untuk dapat mengembangkan
perekonomian sepesat seperti sekarang. Dengan menggunakan iklan,
penawaran akan berjalan dari tangan ke tangan dan barang produksi pun dapat
dijual.
8. Fungsi swadaya
Yaitu bahwa pers mempunyai kewajiban untuk memupuk
kemampuannya sendiri agar ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-
pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan. Bila media seperti
radio, televisi, dan surat kabar berada di bawah tekanan soal keuangan, maka
sama halnya dengan menempatkan diri berada di bawah kehendak siapa saja
yang mampu membayarnya sebagai balas jasa. Oleh karena itu, untuk
memelihara kebebasannya yang murni, pers pun berkewajiban untuk
memupuk kekuatan permodalannya sendiri.
BAB III

KESIMPULAN

Pers adalah pilar Negara Demokratis. Negara adalah organisasi yang harus dijamin
terlaksananya kepentingan umum, warga negara di lingkungan hukum dalam batas norma
yang telah ditetapkan undang-undang sebagai kemauan bersama.Ideologi telah merupakan
rangkuman gagasan. Pada umumnya ideologi erat kaitannya dengan politik sehingga sering
kita dengar adanya ideologi politik. Erat hubungannya dengan politik ini adalah ideologi
nasional, ideologi bangsa.Dalam demokrasi, kekuasaan pemerintahan di negara itu berada di
tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan di negara
tersebut. "Jika anda mau mendengarkan keinginan rakyat, maka jangan batasi kebebasan
pers". Demikian slogan yang terbaca pada sebuah tulisan dalam Komunikasi Politik. Secara
konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerin- tahan yang cerdas, bersih, dan
bijaksana. Logikanya, melalui kebe- basan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai
peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance,
kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Makanya media massa acap kali
disebut sebagai the fourth estate of democracy, pilar keempat demokrasi, melengkapi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka.

Cangara, H. (2014). Komunikasi Politik Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Daulay, H. (2016). Jurnalistik dan Kebebasan Pers. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Gatara, S. & S. Z. (2007). Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian.
Bandung : CV Pustaka Setia.

Maran, R. R. (2014). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Subiakto, H. & I. R. (2012). Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta : Kencana.

Sunarso. (2020). Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Syafiie, I. K. (2015). Ilmu Pemerintahan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Taniredja, T. (2014). Kedudukan dan Fungsi Pancasila Bagi Bangsa Negara Indonesia.
Bandung : Alfabeta.

Winarno. (2017). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai