Anda di halaman 1dari 20

Keberadaan NKRI Dalam Lintasan Sejarah Bangsa dan Negara Serta

Dinamikanya Sebagai Negara Pancasila

Dosen Pengampu : Sri Hidayati L, M.Kes

Disusun Oleh :

Luthfiyah Syafa Faizzah (08020122039)

M.Khaidir Ali Gufron (08020122040 )

M.Rafly Irham Firdaus ( 08020122041 )

Reka Neha Nur Ikhsan ( 08020122046 )

Syafa Qurrota A’yun ( 08020122049 )

Adi Putra ( 08040122059 )

Dingga Fila Nadhira ( 08040122073 )

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami panjatkan
puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunianya kepada kami
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul ” Keberadaan NKRI Dalam Lintasan
Sejarah Bangsa dan Negara Serta Dinamikanya Sebagai Negara Pancasila ”.

Menyadari banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam proses penulisan makalah
ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, Kami ingin
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Sri Hidayati L, M.Kes Selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Kewarganegaraan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kelemahan dan keterbatasan. Oleh
karena itu kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk penyempurnaan makalah ini.Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Sidoarjo, 21 April 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

BAB I .........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN ......................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................................4

BAB II ........................................................................................................................................6

PEMBAHASAN .........................................................................................................................6

2.1 Konsep Negara .................................................................................................................6

2.2 Tatanan Berbangsa dan Bernegara. ...................................................................................7

2.3 Sumber historis, sosiologis dan politik sebuah bangsa dan negara .....................................8

2.4 Dinamika dan tantangan negara dan bangsa dalam kehidupan global. ............................. 10

2.5 Essensi serta urgensi berbangsa dan bernegara dalam konteks nasional dan global ........... 14

Islam dan Pancasila ................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang mulai dari
zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta
menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya
berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta
memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta falsafah hidup bangsa. Setelah
melalui suatu proses yang tidak singkat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menemukan
jatidirinya, yang tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain,
yang oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun
mendalam, yang meliputi prinsip ( lima sila ) yang kemudian diberi nama Pancasila 1.

Setiap bangsa pasti memiliki adat istiadat, kebudayaan, bahasa, serta sistem kepercayaan yang
berbeda-beda antar satu dan lainnya. Meskipun berbeda, nilai-nilai dasar yang dijadikan pedoman
bagi setiap bangsa pada umumnya adalah nilai-nilai yang hampir sama, yaitu sebuah nilai luhur
yang berimplikasi positif bagi kemajuan ummat manusia. Tak ada satupun bangsa didunia ini yang
berpedoman pada sebuah nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian (nilai universal)
dan penerapan ideologi suatu bangsa

Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia mengalami suatu perubahan dan


perkembangan yang sangat besar terutama berkaitan dengan kondisi pendidikan moral Pancasila
yang tumbuh dalam diri bangsa Indonesia. Di era reformasi dan globalisasi ini kondisi Pancasila
seakan-akan hilang dari peredaran dan bahkan hanya cenderung dijadikan pajangan semata. Situasi
dan kondisi negara Indonesia saat ini sangat mudah masuknya era jaman globalisasi yang mampu
merubah semua tatanan hidup sosial, bangsa dan negara, maka dari itu sangat di butuhkan
Pancasila sebagai sumber ideology kebenaran dalam menjalani kehidupan.Negara Indonesia

1
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Pradigma, 2010 hlm 12-13

4
memiliki Pancasila sebagai ideology kehidupan NKRI dan tujuan nasional bangsa dan negara
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana konsep tentang negara bagi kehidupan manusia ?

1.2.2 Mengapa diperlukan tatanan berbangsa dan bernegara?

1.2.3 Bagaimana sumber historis,sosiologis,dan politik terkait dengan bangsa dan negara?

1.2.4 Bagaimana dengan dinamika dan tantangan negara dan bangsa dalam kehidupan global?

1.2.5 Bagaimana cara mengimplementasikan esensi serta urgensi berbangsa dan bernegara

dalam konteks nasional dan global?

1.3 Tujuan Masalah

1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana konsep tentang negara bagi kehidupan manusia.

1.3.2 Untuk mengetahui mengapa diperlukan tatanan berbangsa dan bernegara.

1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana sumber historis,sosiologis,dan polotik terkait dengan

Bangsa dan negara.

1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana dengan dinamika dan tantangan negara dan bangsa dalam

Kehidupan global.

1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan esensi serta urgensi

Berbangsa dan berngara dalam konteks nasional dan global.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Negara

Negara berasal dari kata dalam bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti keadaan
tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat tegak dan tetap,lalu kata ini diserap kedalam
Bahasa inggris yaitu “standing” atau “station” yang berarti kedudukan --berhubungan dengan
kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaimana istilah “status civitatis” atau “status
republicae”. Beberapa abad sebelum Masehi, para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles telah mentelaah mengenai konsep negara yang masih berpengaruh hiingga decade
ini.Mereka menggambarkan negara meliputi lingkungan kecil,yaitu lingkungan kota atau negara
kota yang disebut “polis”.

Secara etimologi, negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat pada
suatu wilayah yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, kekuatan politik, dan berdaulat sehingga
berhak menentukan tujuan nasionalnya 2.Kelsen menekankan bahwa negara merupakan suatu
gagasan teknis semata-mata yang menyatakan fakta bahwa serangkaian kaidah hukum tertentu
mengikat sekelompok individu yang hidup dalam suatu wilayah teritorial terbatas 3. Lebih lanjut,
Rifai, mengatakan bahwa negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat4.

Terdapat berbagai ahli lain yang mendefinisikan konsep negara, Para ahli dengan sudut
pandangnya masing-masing memberikan pengertian yang beragam mengenai konsep negara.
Guna memudahkan memahami istilah negara, maka pengertian negara dikelompokkan dalam
beberapa tinjauan, yaitu:

2
Martasuta, Umar Djani. 2018. “Negara, Bangsa dan Warga Negara”
3
Starke, J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Sumitro L. S. Danuredjo. Jakarta: PT Aksara
Persada Indonesia.
4
Rifai, Amzulian. 2010. Teori Sifat Hakikat Negara. Malang: Tunggal Mandiri Publishing.

6
1. Sebagai organisasi kekuasaan; pengertian ini dikemukakan oleh Logemann5 dan Harold J.
Laski6, menyatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang bertujuan mengatur
masyarakatnya untuk membuat suatu kelompok manusia berbuat atau bersikap sesuai dengan
kehendak negara.
2. Sebagai organisasi politik; Roger H. Soltou dalam bukunya “The Modern State” mengatakan
bahwa negara adalah persekutuan (asosiasi) manusia yang menyelenggarakan penertiban
masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
pemerintah, dilengkapi dengan kekuasaan yang memaksa.
3. Sebagai organisasi kesusilaan; Friedrich Hegel mengemukakan, negara adalah organisasi
kesusilaan yang timbul sebagai sintesa antara kemerdekaan universal dengan kemerdekaan
individu, dimana setiap individu menjadi bagian dari negara, sehingga kekuasan tertinggi
terletak pada negara.

Melalui berbagai pendapat di atas para ahli mengartikan negara secara berbeda-beda menurut
kondisi masanya masing-masing. Namun secara universal, negara dapat diartikan sebagai
organisasi yang sangat besar meliputi wilayah, penduduk, dan pemerintahan yang berdaulat;
menguasasi dan mengatur setiap komponen kehidupan masyarakatnya.

2.2 Tatanan Berbangsa dan Bernegara.


Tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia diletakkan pada pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945, Oleh sebab itu peranan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tatanan bangsa dan negara. Pancasila
merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku dalam berbangsa dan
bernegara. Pancasila sebagai pedoman bangsa memiliki kedudukan tertinggi di Negara Indonesia.
Dalam sila-sila pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang merupakan cita-cita bangsa Indonesia
sejak dulu. Setiap sila-sila pancasila saling berhubungan. Misalnya apabila rakyat Indonesia
menjiwai sila pertama yakni sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menjalankan
perintah-Nya dalam kehidupannya sehari-hari maka harkat dan martabat sebagai manusia akan
dijunjung tinggi sebagai pengamalan sila kedua pancasila yang mengandung nilai kesadaran sikap
moral dan perilaku yang berkemanusiaan. Sehingga Persatuan Indonesia akan terwujud apabila

5
Busroh, Abu Daud. 1990. Ilmu Negara. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
6
Kusnardi, Moh., dan Bintan R Saragih. 1994. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

7
setiap rakyat Indonesia saling menghargai sesama lain.Nilai yang terkandung dalam sila ke empat
pancasila didasari pada ketiga sila sebelumnya. Nilai yang terkandung dalam sila ke empat yakni
nilai kerakyatan. Apabila seluruh rakyat Indonesia telah mengamalkan sila ketuhanan, sila
kemanusiaan, sila persatuan serta sila kerakyatan, maka tujuan Bangsa Indonesia dalam sila kelima
yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia akan tercapai. Pancasila sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan perjanjian luhur bangsa Indonesia sejak
dulu. Pancasila mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam setiap silanya yang menjadi pedoman
dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Selain itu, pancasila menjadi sumber
tatanan Negara Indonesia serta merupakan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia yang
sesungguhnya.

2.3 Sumber historis, sosiologis dan politik sebuah bangsa dan negara
Historiografi yang reflektif tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, tetapi juga
menguji dan merumuskan Kembali dan menyelidiki berbagai kebenaran. Pembangunan nasion
adalah salah satu tema utama tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional. Pada bulan Desember
1957, kementerian pendidikan mengadakan kongres sejarah nasional pertama untuk merancang
sejarah nasional yang resmi.

Para sejarawan baru Indonesia membangun sejarah nasional mereka di atas basis kolonial.
Meskipun slogan nasional menyerukan persatuan tetapi menghargai keanekaragaman, meskipun
ada iklim egaliter (aliran pemikiran dalam filsafat politik yang memprioritaskan kesetaraan sosial
bagi semua orang.) dalam revolusi itu dan asal usul Indonesia tetap pada imperialisme Majapahit
yang berpusat di jawa. Pandangan ini mengelu-elukan kebesaran Gadjah Mada dan orang-orang
kuat lainnya yang ekspansionis (bentuk paham yang ingin menguasai atau menjajah sesuatu objek
untuk tujuan tertentu). Kerajaan maritim sriwijaya yang sudah ada sebelum Majapahit, tidak
digunakan sebagai model asli negara nasional Indonesia karena wilayah pengaruhnya tidak
tumpang tindih dengan garis batas nasional Indonesia. Gajah Mada mewakili hierarki dinasti tetapi
didefinisi ulang menjadi model peran bagi pahlawan nasional. 7

7
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2008, halaman 9

8
Pada orde baru di bawah presiden soeharto (1966-1998) diperkenalkan sebuah pendekatan
pembangunan yang otoriter yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak
dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari proses yang
terkendali yang akan membawa indonesia ke sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran.

Dalam sejarah yang sudah dikenal luas ini ditambahkan penutup zaman orde baru yang
menceritakan bagaimana negara mengalami sengketa di dalam tubuhnya sendiri yang kemudian
diselamatkan oleh Soeharto. Dialah yang kemudian memimpin negara menuju pembangunan yang
lestari dan stabilitas permanen. Mimpi Orde Baru Soeharto ialah mencapai akhir sejarah dengan
mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian – kejadian yang mengganggu. 8

Agar pemerintah suatu negara yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan
masyarakat tidak bertindak seenaknya, maka ada sistem aturan yang mengaturnya. Sistem aturan
tersebut menggambarkan suatu hierarkhi atau pertingkatan dari aturan yang paling tinggi
tingkatannya sampai pada aturan yang paling rendah.

Bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang saling
merasa setia kawan dengan satu sama lain. Nation adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual dan suatu
kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa
lampau dan oleh orang-orang yang bersangkutan bersedia dibuat di masa depan.

Nation mempunyai masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu
kenyataan yang jelas: yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus
hidup bersama. Oleh sebab itu suatu nation tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa,
agama, bahasa, geografi, atau halhal lain yang sejenis. Akan tetapi kehadiran suatu nasion adalah
seolah-olah suatu kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari.

Menurut Benedict Anderson, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan


(Imagined Political Community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan

8
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2008, halaman 11

9
sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para
anggotanya tidak kenal satu sama lain 9

2.4 Dinamika dan tantangan negara dan bangsa dalam kehidupan global.

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban dalam peradaban, membuat manusia
tampak gampang melakukan apapun dengan menjentikkan jari. Dalam proses perkembangan
globalisasi, terjadi akulturasi budaya yang sangat kental. Pelaku globalisasi termasuk masyarakat
Indonesia cenderung melihat budaya asing yang masuk ke Indonesia terlepas dari budaya
bangsanya sendiri. Masuknya budaya umumnya dikejar dan diterapkan oleh anak bangsa.Banyak
budaya budaya baru yang masuk yang tidak sesuai dengan nilai nilai ideologi Pancasila. Warga
negara di dalam memfilter berbagai nilai tersebut dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam
dirinya, meliputi pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai bersama serta kondisi lingkungan.
Kondisi lingkungan meliputi seputar masyarakat tempatnya berinteraksi maupun hasil koneksi
dengan dunia maya. Berbagai tendensi yang diperlihatkan sebagian anak bangsa dalam bentuk
pola pikir, sikap, dan perilaku yang kurang selaras dengan nilai-nilai kebersamaan seperti
diamanatkan dalam ideologi negara, selanjutnya akan diuraikan dan dirinci berdasarkan urutan
nilai yang termuat di dalam sila-sila Pancasila.

Pertama, tantangan dan implikasi aktualisasi nilai Sila Kesatu dari Pancasila pada diri anak
bangsa dapat dicermati dari dinamika agama KTP yang diperlihatkan sebagian anak bangsa.
Secara identitas, mereka adalah beragama namun dari sikap dan perilaku keseharian
memperlihatkan aktualisasi nilai yang bertentangan dengan seseorang yang beriman kepada Tuhan
YME. Masyarakat Indonesia memiliki kebebasan dalam melimilih agama mana yang menurut
mereka paling benar dan ingin mereka anut.Terdapat enam agama resmi yang diakui di negara
Indonesia yaitu,Islam,Kristen katolik,Kristen protestan,Hindu,Buddha,dan Konghucu.Dengan
adanya perbedaan ini di perlukannya sebuah toleransi dalam antar umat beragama,namun dalam
praktiknya masih banyak beredar pelarangan kelompok tertentu melaksanakan kegiatan ibadah
atau bahkan perusakan rumah ibadah hal ini menjadi contoh aktualisasi nilai negative. Tidak heran
jika dinamika pandangan pemahaman toleransi saat ini telah bergeser dari hakikatnya. Dalam

9
Nyoman Bagiastra, S.H., M.H., Dr. Igaap Kartika S.H., M.H., Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Udayana, halaman 17.

10
pengertian yang umum, toleransi dimaknai sebagai sikap dan perilaku saling memberi dan
menghargai, berlangsung dua arah. Sikap dan perilaku bagi sebagai anggota masyarakat cenderung
memaknai toleransi secara searah yaitu tuntutan orang lain memberikan penghargaan kepadanya,
antara lain atas dasar kebenaran dan kebesaran kelompok.

Kedua, Tantangan aktualisasi nilai sila kedua adalah pengakuan atas hak-hak asasi manusia.
Hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan penghormatan atas martabat diri, dan
juga hak untuk beribadah sesuai keimanan seseorang termasuk nilai yang seharusnya dijamin. Era
keterbukaan informasi sekarang ini dimaknai secara bebas tanpa batas, sehingga tercatat beberapa
hasil dari perilaku perundungan, persekusi, dan menghujat orang.

Tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah pada dinamika terorisme yaitu adanya
sebagian anggota masyarakat yang terjebak dalam pola pikir dan tindak radikalisme. Pengaruh
corak berpikir seperti ini masih ada kaitannya dengan nilai sila pertama maupun nilai sila-sila
lainnya. Namun dalam perspektif ini, pelaku teror dan yang terlibat dalam paham radikal dalam
implementasinya mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan karena dalam operasionalnya
menghancurkan kemanusiaan dan membuat rasa takut. Peledakan bom dan bom bunuh diri yang
terjadi di berbagai tempat di Indonesia adalah menjadi merupakan bukti dari pengabaian nilai-nilai
kemanusiaan dimaksud.

Ketiga, tantangan aktualisasi nilai sila ketiga terlihat dari orientasi persatuan sebagian anggota
masyarakat dari perspektif kepentingan kelompok. Selain itu, aktualisasi orientasi etnisitas juga
menjadi bagian bentuk perilaku yang perlu mendapatkan perhatian. Bukti dari corak berpikir
seperti itu misalnya dari kegiatan yang dilakukan sebagian dari masyarakat yang lebih
mementingkan kelompoknya daripada keindonesiaan secara umum. Kemudian ada pandangan
bahwa masyarakat dari negara lain malah dirasa lebih memiliki kedekatan emosional daripada
masyarakat yang ada di negara sendiri.

Tantangan lainnya dari Sila Ketiga bahkan dalam orientasi yang lebih ekstrem lagi, yaitu
menganalogikan negara sebagai agama dalam perspektif baru. Individu atau kelompok yang
memiliki konsep berpikir analogi seperti itu, sudah terdoktrin hanya bisa menerima aturan-aturan
atau ketentuan yang ada kesesuaiannya dengan ajaran agama. Jika sudah begitu, ketika kelompok
ini dihadapkan dengan otoritas negara yang mengatur tata hidup masyarakat, maka negara
diidentikkan sebagai agama. Padahal pada saat sama yang bersangkutan telah memiliki agama,

11
sehingga hadirnya negara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama menjadi kurang diterima
otoritasnya. Tidak terkecuali keberadaan symbol-simbol negara pun dinilai tidak perlu dan
cenderung untuk diabaikan. Gambaran ini antara lain direpresentasikan oleh adanya sebagian
masyarakat yang tidak mau mengikuti upacara dan penghormatan bendera. Orientasi seperti ini
terasa sulit dipahami secara rasional, tetapi atas nama keyakinan bagi mereka hal seperti itu
bukanlah sesuatu yang dirasa aneh, bahkan bagi mereka perlu untuk ditegakkan.

Keempat, Tantangan aktualisasi nilai sila keempat terlihat dari praktik politik identitas, politik
irasional, dan politik uang. Politik identitas adalah praktik demokrasi yang didasarkan pada
sentiment primordial. Dalam berbagai kesempatan masih terlihat adanya elite politik yang
mengajak masyarakat untuk memilih tokoh dengan dasar etnisitas seakan bila masyarakat
memberikan hak pilih bukan dengan dasar itu terkesan demokrasi tidak berkeadilan. Terbitnya
berbagai peraturan daerah dengan sentimen diskriminatif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai
bersama, menjadi bentuk praktik dari hasil perjuangan politik identitas. Sementara itu politik
irasional adalah praktik demokrasi yang memiliki keinginan memaksakan kehendaknya meskipun
hal itu berlawanan dengan rasionalitas secara umum. Contoh konkret di kehidupan anak bangsa
yaitu, maju dalam pemilihan legislative atau eksekutif meski sudah terindikasi sebagai pelaku
korupsi. Politik uang merupakan bentuk praksis yang ditunjukkan sebagian anak bangsa yang
biasanya maju untuk dipilih dalam ajang pemilihan anggota legislative atau eksekutif. Dalam
rangka agar terpilih dalam kontestasi, mereka mengucurkan dana untuk diberikan kepada
konstituen yang menjadi sasaran dan diharapkan memilih calon pemberi dana. Politik uang
dilakukan dalam versi pemberian uang secara langsung dengan nominal tertentu dan atau dalam
acara kegiatan tertentu seperti memberikan sumbangan penyediaan sarana prasarana yang dinilai
berguna bagi masyarakat. Beberapa dari antaranya, melakukan proses “investasi” pemberian
bantuan tersebut bahkan dilakukan jauh-jauh sebelumnya.

Kelima, Sila Kelima ini mengandung nilai keadilan untuk mewujudkan hidup bersama baik
bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Tantangan aktualisasi nilai sila kelima, terlihat dari
pola peran kaum pemilik modal dalam menguasai pasar sehinga masyarakat kelas bawah dengan
nota bene bermodal kecil semakin terpinggirkan. Tantangan terhadap nilai ini juga ditunjukkan
melalui perilaku hedonis sebagian masyarakat. Bergaya hidup boros menjadi bagian pelengkap
dari perilaku hedonis tersebut. Ironisnya sebagian masyarakat terkesan memaksakan diri untuk

12
masuk dalam pola hidup mewah tersebut sehingga memunculkan praksis melakukan jalan pintas
atau menyalahgunakan wewenang seperti melakukan korupsi. kejahatan korupsi telah
mengakibatkan kehancuranperekonomian bangsa 10. Selain itu, masyarakat banyak menderita
karena perilaku korupsi antara lain kehilangan lahan, pekerjaan, dan tanah kelahiran11.

Selanjutnya, terdapat juga bentuk perilaku yang kurang memperlihatkan penghargaan


terhadap fasilitas umum yang seharusnya menjadi milik bersama dan juga kurangnya etos kerja.
Aksi corat-coret di jembatan, di dinding gedung, atau tempat-tempat umum sering ditemukan di
seputar kehidupan masyarakat. Membuang sampah di sembarang tempat, merokok sembarangan,
dan kurangnya kepedulian menjaga fasilitas umum adalah gambaran lainnya. Lalu plagiarisme
atau membajak karya orang lain juga menjadi bagian contoh dari sikap dan perilaku anak bangsa
yang tidak sesuai dengan nilai menghormati hak cipta orang lain. Rendahnya etos kerja termasuk
dalam bagian ini, terkesan pekerja harus diawasi baru berkinerja tinggi. Padahal praktik demikian
jelas jauh dari nilai-nilai suka bekerja keras dan juga mengurangi inovasi serta kreativitas diri.
Pada era global sangat jelas tuntutannya yaitu daya saing yang hanya dapat dipenuhi melalui
prasyarat adanya etos kerja, inovasi, dan kreativitas.

10
Bunga, M., Maroa, M. D., Arief, A., & Djanggih, H. (2019). Urgensi peran serta masyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Law Reform, 15(1), 85–97.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23356
11
Muryanti. (2018). Tindakan korupsi sebagai tindakan imoral dalam perspektif fungsional (kajian film korupsi dan
kita: rumah perkara). Jurnal Komunikasi Profetik, 11(2), 32–45.
https://doi.org/https://doi.org/10.14421/pjk.v11i2.1317

13
2.5 Essensi serta urgensi berbangsa dan bernegara dalam konteks nasional dan global
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai undang-undang dasar, merupakan
kesepakatan umum (konsensus) warga negara mengenai norma-norma dasar (grundnorm) dan
kaidah dasar (grundgesetze) dalam kehidupan bernegara. Perjanjian Ini terutama menyangkut
tujuan dan cita-cita bersama, aturan hukum (the rule of law) sebagai fondasinya penyelenggaraan
negara, serta bentuk lembaga dan tata cara penyelenggaraan negara. Berdasarkan UUD ini,
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Negara juga menganut sistem ketatanegaraan, dengan pemerintahan berdasarkan konstitusi (UU
dasar), dan tidak mutlak (kekuatan tak terbatas). Konstitusi menjadi pedoman pelaksanaan
“demokrasi konstitusional” (constitutional demokrasi), yaitu praktek demokrasi yang tujuan
ideologis dan teleologisnya pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

14
Meskipun memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat bahwa untuk
mengelola negara sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia tidak bisa tersentralisasi. Negara
seperti ini sepatutnya dikelola, dalam ungkapan Mohammad Hatta «secara bergotong-
royong», dengan melibatkan peran serta daerah dalam pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial-
budaya sesuai dengan keragaman potensi daerah masingmasing.

Perjuangan ke depan adalah mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusional,
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara dan wadah pemersatu bangsa, serta
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa adalah modal untuk bersatu dalam pluralisme.

Empat Pilar Kehidupan Berbangsa serta Bernegara tersebut patut disyukuri dengan cara
menghargai kemajemukan yang sampai hari ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara, dan
dikembangkan. seluruh agama turut memperkukuh integrasi nasional melalui ajaran-ajaran yang
menekankan rasa adil, kasih sayang, persatuan, persaudaraan, hormat-menghormati, serta
kebersamaan. Selain itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimanifestasikan melalui adat
istiadat pula berperan untuk mengikat korelasi batin setiap masyarakat bangsa. konflik sosial yang
berkepanjangan, berkurangnya sopan santun serta budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial,
melemahnya kejujuran dan perilaku amanah pada kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap
ketentuan aturan serta peraturan, dan sebagainya yang ditimbulkan dari banyak sekali faktor
seperti yang berasal baik dari dalam juga luar negeri.

Faktor yang berasal dari dalam negeri antara lain

1. Masih kurangnya pemahaman dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman terhadap
ajaran agama yang salah dan sempit, serta pola interaksi yang tidak harmoni antar agama
2. Sistem pemerintahan terpusat di masa lalu yang mengakibatkan terjadinya akumulasi
kekuasaan di Pusat dan pengabaian pembangunan dan kepentingan daerah dan munculnya
fanatisme daerah;
3. Kurangnya pemahaman dan penghayatan terhadap keragaman dan keberagaman pluralisme
dalam kehidupan berbangsa.
4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam ruang lingkup yang luas dan dalam kurun waktu
tertentu panjang, melewati ambang batas kesabaran sosial masyarakat yang berasal darinya

15
kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang saling bertentangan moralitas dan
etika;
5. Kurangnya keteladanan sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa;
6. Penegakan hukum tidak berjalan optimal, dan kontrol sosial lemah untuk mengontrol perilaku
yang menyimpang dari etika yang secara alami masih ada hidup di tengah masyarakat;
7. Kapasitas budaya lokal, regional dan nasional yang terbatas dalam merespon pengaruh negatif
dari budaya luar;
8. Meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, dan penggunaan, peredaran, dan
penyelundupan obat-obatan terlarang (Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001). tentang Etika
Kehidupan Berbangsa);
9. Pemahaman dan pelaksanaan otonomi daerah yang tidak sesuai dengan semangat konstitusi
(Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Pelaksanaan Otonomi). Daerah, Penataan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Keadilan dan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Faktor yang berasal dari luar negeri antara lain

1. Pengaruh globalisasi kehidupan semakin meluas dengan persaingan antar bangsa yang
semakin tajam;
2. Semakin kuat intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan Nasional.
Faktor penghambat juga merupakan ancaman dapat mengakibatkan bangsa Indonesia
mengalami kesulitan dalam mewujudkannya segala potensi yang dimilikinya untuk mencapai
kesatuan, berkembang kemandirian, kerukunan dan kemajuan.

Gelombang reformasi yang dimulai awal tahun 1998 berhasil mengubah wajah perpolitikan
Indonesia secara signifikan. Semangat demokratisasi telah mendorong kekuatan-kekuatan politik
massa untuk mengartikulasikan cita-cita politiknya secara bebas yang sebelumnya seolah-oleh
terpendam oleh segala otoritarianisme kekuasaan yang diperankan oleh Orde Baru. Berbagai
ekspresi politik yang sebelumnya dianggap tabu, pada saat itu muncul mengikuti aliran
demonstrasi massa melawan kekuasaan yang telah “terlalu kuat” untuk ditumbangkan.Dengan isu
utamanya menegakkan moralitas politik untuk membersihkan praktik-praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), elemen-elemen politik yang telah mapan dibangun pemerintahan Suharto
selama 32 tahun pun melelah terbakar oleh semakin memanasnya iklim politik nasional.Selain itu,

16
berdirinya partai politik Islam – dalam pandangan banyak pengamat – setidaknya memiliki tujuan
yang sama yaitu ingin mengembalikan putaran jarum sejarah ketika Pancasila dirumuskan.

Pada awal era reformasi, nampaknya kelompok ini memperoleh momentum penting untuk
segera merealisasikan pemikiran tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan banyak kalangan
(mahasiswa Islam dan aktivis) yang menggaungkan kembali cita-cita Islam sebagai Negara
dengan mengusung jargon “kembali kepada Piagam Jakarta”. Sedangkan ditingkat legislatif,
semangat ini juga pernah dikumandangkan oleh sebagian “Partai Islam” yaitu (Partai Persatuan
Pembangunan [PPP], Partai Bulang Bintang [PBB], dan Partai Dinamika Umat [PDU]) yang pada
intinya ingin menerapkan syariat Islam sebagai landasan Negara Indonesia atau mendukung
dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi baru.

sehingga ketika rezim tersebut runtuh, maka Pancasila pun kemudian ditinggalkan sendirian.
Lebih jauh lagi, Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia menjadi sangat terpinggirkan,
meminjam istilah Fuad Hassan, Pancasila ibarat mengalami hibernasi dan tidak ada pihak yang
berusaha menggugahnya. 12 Banyak masyarakat yang merasa agak risih dengan istilah Pancasila.
Dalam mind set masyarakat Indonesia khususnya pada awal-awal reformasi; membicarakan
Pancasila adalah identik dengan Orde Baru dan dianggap sebagai kroni atau antek Orde Baru
bahkan dianggap tidak pro reformasi.

Akibat dari kebijakan ini banyak sekali masyarakat Indonesia terutama para pemuda yang
tidak mengerti lagi tentang Pancasila. Walaupun tidak ada jaminan bagi yang hapal “wiridan”
Pancasila, akan menjalankan makna yang terkandung dalam Pancasila secara nyata dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Setelah 15 tahun hidup di alam reformasi, sepertinya rakyat Indonesia kehilangan pegangan
hidup, sehingga banyak sekali perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai
ideal universal dari Pancasila. Korupsi masih merajalela, penegakan hukum belum berjalan secara
maksimal, pembangunan belum merata, tawuran pelajar, perang antar kampung, kekerasan dan
lain-lain seakan-akan menjadi tontonan fantastis.

12
Fuad Hassan, “Catatan Perihal Restorasi Pancasila”, dalam Irfan Nasution dan Rony Agustinus (ed.),
Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas (Depok: FISIP UI, 2006), h. 38.

17
Islam dan Pancasila
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila; ke-Tuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sejatinya adalah nilai-nilai universal yang luhur, yang telah
digali oleh pendiri bangsa Indonesia secara brilian. Semangat dari niilai-nilai Pancasila tersebut
adalah sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Penegasan tersebut berdasarkan pemikiran bahwa
yang dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila bersesuaian dengan Islam tanpa harus menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam secara formal.

Logika ini dibangun berdasarkan fakta historis dimana ijma’ founding fathers bangsa ini
bersepakat bahwa Indonesia tidaklah dibangun sebagai negara Islam, dan itu berarti jika masih ada
yang mencoba untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, maka dapat dianggap sebagai
pengingkaran bahkan pengkhianatan terhadap cita-cita tersebut.

Selain itu, jika dilihat dari aspek sosiologis-psikologis dimana Indonesia tidak hanya dihuni
oleh orang Islam tetapi juga oleh penganut agama-agama lain yang notabene turut pula berjuang
dalam meraih kemerdekaan, maka sama artinya menafikan eksistensi penganut agama lain tersebut
yang dalam Islam kelompok penganut agama lain tersebut disebut sebagai ahl al-Kitab dimana
eksitensinya sangat dihargai oleh Islam. Ini pula yang menjadi landasan untuk menyebut bahwa
pada Pancasila terdapat dua aspek yaitu aspek habl min Allah dan habl min al-Naas.
KeTuhanan
Yang Maha habl min Allah

habl min al Nas


beradab

Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang dipimpin oleh


hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat


Indonesia

Esa
Kemanusiaan yang adil dan

18
DAFTAR PUSTAKA

Bunga, M., Maroa, M. D., Arief, A., & Djanggih, H. (2019). Urgensi peran serta masyarakat
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Law Reform, 15(1),
85–97.
Busroh, Abu Daud. 1990. Ilmu Negara. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Fuad Hassan, “Catatan Perihal Restorasi Pancasila”, dalam Irfan Nasution dan Rony Agustinus
(ed.), Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas (Depok: FISIP
UI, 2006), h. 38.
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Pradigma.

Kusnardi, Moh., dan Bintan R Saragih. 1994. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Martasuta, Umar Djani. 2018. “Negara, Bangsa dan Warga Negara”


Muryanti. (2018). Tindakan korupsi sebagai tindakan imoral dalam perspektif fungsional (kajian
film korupsi dan kita: rumah perkara). Jurnal Komunikasi Profetik, 11(2), 32–45.
Nyoman Bagiastra, S.H., M.H., Dr. Igaap Kartika S.H., M.H., Bahan Ajar Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Udayana
Rifai, Amzulian. 2010. Teori Sifat Hakikat Negara. Malang: Tunggal Mandiri Publishing
Starke, J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Sumitro L. S. Danuredjo.
Jakarta: PT Aksara Persada Indonesia.

19
Sesi Tanya Jawab
Muhammad Kahfi Febrian (08020122042)
1. Mengapa kesadaran bela negara sangat diperlukan dalam mempertahankan
eksistensi suatu negara?
AHMAD REFI DZUHRIYAN (08040122062 )
2. Mengapa kesadaran bela negara sangat penting bagi warga negara?

Jawaban
1. Nilai-nilai Bela Negara sangat penting untuk ditanamkan kepada seluruh
warga negara, sebagai upaya memperkuat militansi sekaligus untuk
membangun daya tangkal bangsa dalam menghadapi kompleksitas ancaman
guna mewujudkan Ketahanan Nasional yang tangguh.

2. Kesadaran bela negara sangat penting dalam menjaga keutuhan wilayah


negara Indonesia karena jika tidak ada kesadaran untuk bela negara maka
wilayah indonesia akan terpecah belah dan tidak ada persatuan, serta mudah
di pecah belah oleh negara lain.

20

Anda mungkin juga menyukai