Anda di halaman 1dari 22

AKTUALISASI PANCASILA

Disusun Oleh:
Kelompok 4

1. Muhammad Fajarul Akbar Aji Putra (2010102003)


2. Kot Sukma Sari (2010102010)
3. Mita Septiani (2010102016)
4. Muhammad Arvickiansyah (2010102018)

Jurusan:Perbandingan Mazhab dan Hukum 1 (20151)


Dosen Pengampu : Wasti Indah Hariyani Daulay

Kementrian Agama Republik Indonesia


Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Tahun
Akademik 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang selalu memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Sholawat beserta
salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, beserta keluarga-Nya, sahabat-
sahabat -Nya dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.

Adapun tujuan dari penulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah pancasila
yang berjudul aktualisasi pancasila. Kami mengucapkan terima kasih kepada Yth. Ibu Wasti
Indah Hariyani Daulay selaku dosen mata kuliah pancasila yang telah membimbing kami
dalam pembuatan makalah ini sehingga kami bisa menyelesaikannya tepat waktu serta telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini karena
kemampuan dan pengalaman kami yang masih terbatas. Untuk itu, kami mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun, demi perbaikan dalam makalah dimasa mendatang.
Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak.

Palembang, 30 November 2020


DAFTAR ISI

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 5
C. Tujuan.................................................................................................................. 5

BAB II
Pembahasan
A. Pancasila Pemersatu Heterognitas Bangsa.......................................................6
B. Aktualisasi Nilai-Nilai di Era Milenial.............................................................9
C. Panduan Hukum Berbangsa dan Bernegara.....................................................10
D. Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Demokrasi di Indonesia...........................11
E. Pancasila Berarti Anti Korupsi.........................................................................13
F. Pancasila Menselaraskan Agama dan Negara...................................................15

G. Urgensi Moderasi Beragama Upaya Deradikalisasi di Indonesia......................18

BAB III
Penutup/Kesimpulan.......................................................................................................20

Daftar Pustaka..................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir karena kemajemukan dan perbedaan yang
dipersatukan oleh kesadaran kolektif untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat yang menggunakan Pancasila sebagai pemersatu bangsa, bukan hal yang mudah
bagi para pendiri negara menyepakati Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur
bangsa dan menetapkannya sebagai dasar negara.
Pancasila dikatakan sebagai bintang pemandu (leitztern) dalam rangka meraih cita dan
tujuan negara. Hal ini dikarenakan nilai-nilai Pancasila memang digali dan sesuai dengan
karakter manusia Indonesia. Namun, pengaktualisasian Pancasila sekarang seolah lenyap dari
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu Pertama: situasi
dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional
maupun global. Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya
masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan
Pancasila.
Pancasila tidak dapat diganggu gugat yaitu karena : Pertama, Pancasila sangat cocok
dijadikan platform kehidupan bersama bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk agar
tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat dalam Pembukaan
UUD NRI 1945 yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia
sehingga jika Pancasila diubah berarti Pembukaan UUD NRI 1945 pun diubah. Hukum harus
bersumber pada Pancasila walaupun masyarakat senantiasa berubah dan hukum pun harus
terus diperbaharui agar dapat melayani kebutuhan masyarakat. Namun Pancasila harus tetap
diposisikan sebagai kerangka berpikir dan sumber-sumber nilai.
Ini didasari perlunya revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) harus dijadilan dasar dan
tujuan setiap hukum di Indonesia. Evaluasi aktualisasi Pancasila dalam perumusan peraturan
perundang-undangan dapat dilakukan melalui harmonisasi hukum sebagai upaya atau proses
untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara
norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam
satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengaruh pancasila untuk mempersatukan bangsa ?


2. Seberapa pengaruh kah nilai-nilai pancasila bagi milenial ?
3. Apa panduan hukum berbangsa dan Bernegara ?
4. Apa saja pengaruh pancasila terhadap demokrasi ?
5. Bagaimana pancasila bisa berarti antikorupsi ?
6. Bagaimana cara pancasila menyelaraskan agama dan negara ?
7. Seberapa penting kah Moderasi agama bagi deradikalisasi ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pentingnya pancasila sebagai pemersatu bangsa


2. Untuk mengetahui peran milenial terhadap bangsa dan negara
3. Untuk mengetahui hukum berbangsa dan bernegara
4. Untuk mengetahui hubungan demokrasi dan pancasila
5. Untuk mengetahui pancasila sebagai pedoman antikorupsi
6. Untuk mengetahui hubungan agama,pancasila dan negara
7. Untuk mengetahui upaya pencegahan radikalisasi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila Pemersatu Heterognitas Bangsa


Heterognitas adalah de facto sebagai bangsa Indonesia, Pancasila sebagai sarana perekat
dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen dalam rangka pelaksanaannya. Pancasila
merupakan ruang yang nyaman bagi berekembangnya keanekaragaman dan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai basis kesadaran identitas bangsa yang menempati ruang pancasila untuk
diimplemetasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta guna mencapai cita-cita kehidupan
berbangsa dan bernegara. Keanekaragaman baru dapat dijadikan perekat bangsa bahkan
menjadi kekuatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika:
1. Ada nilai yang berperan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Adanya standar yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam rangka menilai sikap dan
tingkah laku serta cara bangsa menuju tujuan.
3. Mengakui dan menghargai hak dan kewajiban serta hak asasi manusia dalam berbagai
aspek (agama,suku,keturunan,kepercayaan dan kedudukan sosial).
4. Nilai kesetiaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat Indonesia mengenal Pancasila sebagai dasar dan sekaligus jalan untuk
menempuh tujuan bersama. Pancasila mempersatukan bangsa, menjamin keterbukaan serta
membela harga diri. Kesadaran sosial keagamaan harus menjadikan pancasila sebagai tolak
ukur yang kritis dalam pengambilan segala kebijakan. Pancasila sebagai dasar ideologi
negara akan bisa dipertahankan dengan teguh apabila ada interaksi yang kritis dan
berkesinambungan antara agama-agama dan pancasila. Dalam hubungan kreatif semacam ini
besar kemungkinan kehidupan agama-agama di indonesia bisa menyumbangkan model bagi
hubungan dan pelaksanaan fungsi agama ditengah-tengah pergaulan masyarakat seantero
dunia.
Sebagai kekuatan transformatif agama harus mampu menjadi pengikat solidaritas dan
penumbuh kesadaran tentang kesamaan dan kemitraan yang mempersatukan segenap warga
masyarakat untuk membangun dirinya. Salah satu cara agar kita bisa bersama dan
bekerjasama dalam membangun masa depan yang lebih baik yaitu cara beragama yang
moderat. Cara beragama moderat secara internal melahirkan cara beragama yang bijak, tidak
kaku,dan memandang kewajiban beragama sebagai sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan
membahagiakan. Sementara secara eksternal melahirkan cara beragama yang terbuka, lapang,
akomodatif dan selalu mengutamakan titik temu dalam membangun kehidupan yang lebih
baik, harmonis dan maju sehingga keberagaman menjadi rahmat bagi kehidupan yang plural.
Cara beragama yang moderat ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, adanya
perintah setiap agama untuk memuliakan manusia (walaqad karramna bani adam). Kedua,
kesadaran akan adanya kesatuan ketuhanan, kenabian dan kemanusiaan. Ketiga, adanya
kesadaran akan kenyataan bahwa warga bangsa di dunia kebanyakan membangun kehidupan
dan kebangsaan dengan realitas yang plural dan multikultural.
Keragaman agama dan keyakinan tidak mungkin dipungkiri, tapi diterima sebagai mitra
dialog dan pemberdayaan. Pemberdayaan baru optimal bila tercipta kerukunan. Kerukunan
umat beragama baru dapat diwujudkan apabila:
1) Adanya prinsip persaudaraan pada diri umat beragama. Manusia adalah makhluk
bersaudara,satu pencipta,satu asal keturunan,satu tempat tinggal dan manusia adalah
makluk tuhan, meski presepsi dan pendekatan terhadap tuhan berbeda satu dengan
yang lainnya.
2) Kesetaraan artinya hubungan pemeluk agama satu dengan yang lain harus dilandasi
prinsip kesetaraan. Tidak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain, masing-masing
memiliki kebenaran sendiri sebagai bagian dari iman tanpa menyalahkan dan
menyesatkan yang lain.
3) Menonjolkan aspek persamaan dan mengendalikan aspek perbedaaan, agama yang
satu dengan yang lain tidak sama dalam berbagai aspek terutama doktrin ketuhanan
dan pola ibadah. Diantara banyak perbedaan selalu menyisakan sesuatu yang sama,
kesamaan itu bertemu dalam aspek sosial kemanusiaan dan kebangsaan.
4) Pada tingkat makro prinsip kebersamaan ini melahirkan teori bahwa semua masalah
kemanusiaan merupakan bagian dari masalah agama dan menjadi tanggung jawab
semua pemeluk agama. Dalam pengertian lain bahwa problem bangsa dan problem
sosial adalah masalah bersama bagi umat beragama. Korupsi, kolusi ,nepotisme,
kemiskinan, kebodohan teror dan lain lain adalah masalah bersama bagi umat
beragama.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia berdiri dan dibangun dari keberagaman
suku,etnis,ras dan agama. Semboyan atau sesanti Bhinneka Tunggal Ika (apabila ditulis
dengan kalimat lengkapnya : Buddha Syiwa Maha Syiwa Bhinneka Tunggal Ika Tanhana
Dharma Mangrava) diangkat dan disadur dari kitab sustasoma yang dikarang oleh Mpu
Tantular, Pujangga istana pada zaman Hayam Wuruk (1350-1389) kemudian oleh M.Yamin
(1903-1962) dijadikan sebagai semboyan bagi negara kesatuan republik Indonesia. Ajaran
yang termuatan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika, menurut kitab tersebut secara garis
besar berisi wejangan bagaimana mengatasi segala bentuk perbedaaan suku dan agama yang
rentan terjadinya konflik diantara dua golongan tersebut sehingga akan melemahkan
kekuatan negara.
Apabila ditelaah secara lebih dalam maka dapat ditemukan tiga nilai yang terkandung dalam
sesanti tersebut, yakni:
1)Nilai toleransi, merupakan satu sikap yang mau memahami orang lain sehingga komunikasi
dapat berlangsung secara baik.
2)Nilai keadilan, merupakan satu sikap yang mau menerima haknya dan tidak mau
mengganggu hak orang lain.
3)Nilai gotong royong/kerja sama ,merupakan satu sikap untuk membantu pihak/orang yang
lemah agar sama-sama mencapai tujuan.
Dalam kesadaran Bhinneka tunggal ika tidak ada ruang untuk berbuat diskriminasi,
karena istilah “IKA” mencerminkan suasana persamaan, kesetaraan sebagai warga negara
dan pancasila memfasilitasi susasana tersebut. Persamaan dan kesetaraan tersebut tercermin
dalam dalam sistem demokrasi yang kita miliki yakni demokrasi yang dijiwai oleh sila ke-4
Pancasila.
Iklim reformasi Indonesia terasa sangat membahana. Isu dan wacana penguatan
kelembagaan negera dalam kerangka perwujudan Indonesia yang demokratis terus menguat.
Format konstitusionalisme Indonesia tengah ditata dan meniscayakan peran aktif seluruh
komponen bangsa. Memang terkadang kecemasan dan keprihatinan berbangsa mencuat
akibat dari beragam praktik penyalahgunaan kekuasaan dan teriakan minusnya peran negara
dalam upaya penghormatan ,perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai mandat konstitusi
dan unsur terpenting dalam praksis demokrasi konstitusional.
Salah satu ajakan memperkuat solidaritas ke Indonesian kita adalah membumikan
empat pilar kehidupan berbangsa mesti dipandang sebagai “proyek sivilisasi indonesia”
.Empat pilar pancasila,UUD NRI Tahun 1945,NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan
khazanah sekaligus modalitas bangsa indonesia.
Kini,solidalitas kebangsaan kita sedang menghadapi ujian berat. Oleh karena
itu,desakan untuk menggulirkan empat pilar adalah bentuk usaha sadar penguatan kembali
napas kehidupan berbangsa dalam merawat keindonesian yang majemuk,modern,dan
berperadaban.
Empat pilar kehidupan berbangsa merupakan simbolisasi pemaknaan adanya dasar
bagi
“rumah” demokrasi indonesia. Keempat pilar itu mencerminkan nilai,asas dan norma dasar
yang mesti dijadikan pedoman dalam mengukir dan menghiasi “rumah” demokrasi Indonesia.
Kerangka pikir ini merupakan nalar ideologis kebangsaan indonsia yang mesti menjelma
dalam aktivitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasionl.
Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara harus dipandang sebagai basis
kekuatan nasional indonesia. Dengan empat pilar itu kondisi daya tahan bangsa dalam
menanggulangi dan mengatasi berbagai permasalahan bangsa dan negara serta menjamin
kelangsungan hidup dan menciptakan keunggulan koparatif dan kompetitif menjadi kekuatan
yang mutlak. Oleh karena itu empat pilar kehidupan berbangsa tidak bisa disegregasi karena
sebagai “ rumah” bagi demokrasi indonesia, keutuhan, kekuatan, ketahanannya sangat
ditopang dari sejauh mana maksimalisasi kepentingan dan tujuan nasional bisa mengalahkan
kepentingan dan tujuan pribadi serta kelompok/golongan. Disinilah arti penting komitmen
dan keteladanan.
Dengan demikian ketahanan nasional tidak statis. Ketahanan nasional bukan pula
semata-mata kemampuan mewujudkan rasa aman dalam bentuk stabilitas yang
semu,melainkan sebuah kondisi dinamis yang berisi keuletan dan ketangguhan dalam
menghadapi dan mengatasi segala macam ancaman,tantangan,hambatan dan gangguan baik
dari dalam maupun yang berasal dari luar.
Empat pilar kehidupan berbangsa sangat mengedepankan realitas kemajemukan,
partisipasi, demokrasi, kesejahteraan serta penegakan hukum dan HAM. Empat pilar itu
merupakan potret dan identitas keindonesian kita sekaligus wujud kesadaran terhadap
karakteristik keindonesian kita. Dengan itulah, secara efektif empat pilar kehidupan
berbangsa maupun dimanifestasikan sebagai “amunisi” bagi ketahanan nasional indonesia.

B. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila di Era Millenial


Generasi milienial atau generasi Y (teori William Straus dan Neil Howe) yang saat ini
berumur antara 18–36 tahun, merupakan generasi di usia produktif. Generasi yang akan
memainkan peranan penting dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keunggulan generasi ini memiliki kreativitas tinggi, penuh percaya diri serta terkoneksi
antara satu dengan lainnya.
Namun, karena hidup di era yang serba otomatis, generasi ini cenderung menginginkan
sesuatu yang serba instan dan sangat gampang dipengaruhi. Hal inilah yang menjadi titik
kritis bagi masa depan negara dan bangsa kita. Sungguh merupakan suatu ironi di tengah
masifnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini, tetapi di sisi lain ternyata hal itu tidak
mampu mendekatkan dan menyatukan anak bangsa. Era komunikasi terbukti memberi
jaminan akses dan kecepatan memperoleh informasi. Akan tetapi, acapkali menciptakan jarak
serta membuat tidak komunikatif. Bahkan, berujung dengan rusaknya hubungan
interpersonal.
Teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi
perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war).
Sasarannya jelas yaitu ketahanan ekonomi, pertahanan dan keamanan, budaya, ideologi,
lingkungan, politik, karakter,dll. Disadari atau tidak banyak pihak yang sepertinya tidak ingin
Indonesia menjadi bangsa yang besar dan hebat. Kita sering menerima gempuran dan pola
serangan pintar melalui F-7 yaitu food, fashion, film, fantasi, filosofi, dan finansial. Serangan
terhadap filosofi dan finansial ialah hal yang paling mengkhawatirkan. Serangan terhadap
filosofi yang paling mengkhawatirkan yang merupakan bentuk perang ideologi dan pikiran
agar terjebak pada pola ideologi liberalis, kapitalis, sosialis, dan radikalis.
Untuk membentengi diri dari kehancuran akibat pesatnya perkembangan teknologi dan
upaya-upaya memecah bangsa, maka bangsa ini harus kembali kepada Pancasila. Pancasila
sebagai falsafah bangsa Indonesia, telah berkembang secara alamiah dari perjalanan panjang
sejarah, berisikan pandangan hidup, karakter dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-
nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila itu ialah semangat bersatu, menghormati
perbedaan, rela berkorban, pantang menyerah, gotong royong, patriotisme, nasionalisme,
optimisme, harga diri, kebersamaan dan percaya pada diri sendiri.
Pancasila harus dijadikan cara hidup (way of life) seluruh anak bangsa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila tidak perlu lagi diajarkan secara formal
dengan tampilan kaku, tetapi yang terpenting ialah hakikatnya tetap terpelihara dan
diamalkan. Dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sinergisme lintas
kelembagaan, untuk bersama-sama mengaktualisasikan Pancasila melalui sistem dan
dinamika kekinian. Kampus memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai
Pancasila kepada generasi milenial sehingga tidak ada indikasi perkembangan paham lain.
Generasi milenial harus berada di depan, memegang obor untuk mencegah paham-paham
yang bertentangan dengan Pancasila agar tidak masuk ke dalam kampus sehingga masa depan
pendidikan dan nasib generasi penerus bangsa ke depan tidak berada di jalan yang salah.
Arah perjalanan bangsa ini berada di tangan generasi milenial, generasi muda yang saat ini
tengah membaca tulisan ini, yang akan menerima tongkat estafet pembangunan. Mari jaga,
rawat dan peliharalah nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari.

C. Panduan Hukum Berbangsa dan Bernegara


Pancasila sebagai dasar negara berati menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan
penyelenggaraan ketatanegaraan negara dalam berbagai bidang. Bidang-bidang tersebut
meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara (2012) Ronto, Pancasila telah
ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak
Pancasila. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama
dengan UUD 1945. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus
Pancasila adalah Mohammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno.
Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan
kisruh politik di negara Indonesia yaitu karena:
Pertama, karena secara intrinsik dalam Pancasila mengandung tolerensi dan siapa yang
menentang berati menentang tolerensi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup paham-
paham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia. Paham lain yang positif tersebut
mempunyai keleluasaan yag cukup memperkembangkan diri.
Ketiga, karena sila-sila dari Pancasila terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang poistif
sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Nilai dan norma yang bertentangan pasti akan ditolak oleh Pancasila, seperti atheisme dan
segala kekafiran tidak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia hal ini dapat di lihat pada
sila ke-3 Persatuan Indonesia dalam kata persatuan berarti mempersatukan perbedaan yang
ada.
Selama ini kita sering untuk mengedepankan persamaan, tapi kapan kita akan
mengedepankan perbedaan yang menjadikan kita kaya akan keberagaman dalam aspek
toleransi, dalam kehidupan di Indonesia telah berjalan dengan baik seperti halnya bersekolah
ada yang beragama kristen hindu budha katolik islam dalam satu almamater mereka bersama
menuntut ilmu untuk membangun bangsa. Bila melihat sila ke 4 "permusyawaratan" dalam
musyawarah tujuannya mufakat bila demokrasi ditegakkan secara utuh maka akan selalu
terjadi musyawarah mufakat demokrasi di negeri ini mungkin sudah baik namun perlu
ditingkatkan lagi tetapi bila dilihat angka golput pada pemilu akhir-akhir ini telah berkurang
ini berarti terdapat peningkatan demokrasi.

D. Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Demokrasi di Indonesia


Dalam sejarah kita, sistem pemerintahan yang relatif stabil di mulai sejak tahun 1959,
ketika Bung Karno mendapat kepercayaan besar dari militer dan berbagai komponen bangsa
memimpin secara presidensial atau dikenal dengan masa dekrit presiden 5 Juli 1959. Pada
tahun-tahun sebelumnya, sejak kemerdekaan, sistem pemerintahan jatuh bangun, dan sibuk
mempertahankan kemerdekaan serta berdebat arah Konstitusi kita.
Pemerintahan saat itu juga dikendalikan oleh seorang perdana menteri di mana Presiden
terkesan hanya simbol saja. Pada pemilihan umum pertama di Indonesia tahuun 1955
demokrasi ini dimaksudkan untuk memilih anggota DPR yang akan membentuk perdana
menteri. Sukarno sendiri, tercatat dalam antrian peserta pencoblos di kotak suara pada tahun
1955 itu.
Setelah dekrit 1959, membubarkan Konstitusi dan juga akhirnya membubarkan DPR pada
1960. Untuk mengemban fungsi legislatif sesuai Konstitusi UUD 1945, Sukarno membentuk
MPRS (Majlis Permusyawartan Rakyat Sementata), DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong) dan DPAS (Dewan Penasehat Agung Sementara).
Dalam pandangan Sukarno, demokrasi bangsa kita bukanlah demokrasi liberal ala barat,
melainkan demokrasi terpimpin (guided democracy). Dalam model ini, demokrasi bukan
untuk membentuk sistem pemeritahan yang liberal, melainkan pemerintahan yang sosialistik
dengan cita-cita negara yang juga sosialistik.
"Guided Democracy" ini adalah Implementasi dari persepsi bung Karno atas konstitusi kita
saat itu. Namun, dalam bagian sejarah sebelumnya, Bung Karno pernah mempunyai pikiran
berbeda yakni pada pidato awalnya di KNIP/BPUPKI, yang mengatakan bahwa "majority
rule" itu adalah sebuah perlombaan yang positif dengan memperebutkan kursi di parlemen
(Syafrudin Prawiranegara, 1983).
Artinya, di masa lalu Bung Karno pernah mempunyai dua konsepsi tentang demokrasi itu
yakni demokrasi liberal dan sekaligus demokrasi terpimpin. Kaitan nilai-nilai Pancasila di
sini tentu sangat nyata karena Bung Karno sendiri kita anggap sebagai penemu Pancasila itu
sendiri. Artinya bagi Sukarno, ada ambivalensi atau dualisme ketika nilai-nilai Pancasila
dalam implementasi demokrasi berbeda dengan dataran idelanya.
Pada masa Orde Baru, demokrasi berjalan juga dalam model yang mirip dari masa
demokrasi terpimpin, dimana Suharto melaksanakan pemilu yang dikendalikan dan
menghasilkan komposisi anggota DPR dan MPR yang juga dikendalikannya. Praktis meski
pemilu berlangsung sejak tahun 1971 secara periodik 5 tahunan, kontrol kekuasaan tidak
berada ditangan rakyat.
Di luar pemilu, kebebasan sipil mengalami pengkerdilan juga di masa itu, baik itu hak-hak
berorganisasi dan berkumpul, hak menyatakan pendapat, dll. Bahkan, Suharto melakukan
politik ideologisasi dengan menterjemahkan Pancasila sesuai dengan pikirannya dan
keinginannya saja.
Pikiran itu kemudian diindoktrinisasi kepada seluruh aparatur negara dan mahasiswa
dalam program P4 (Program Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Program yang mirip
juga dilakukan Bung Karno dalam Manipol-Usdek.
Dari masa Sukarno dan Suharto, kita melihat bahwa demokrasi sama sekali tidak terjadi
dalam pengertian demokrasi yang ada di barat, sebagaimana kita ulas di atas. Pada masa
kekuasan Bung Karno 1959-1965, sama sekali tidak ada pemilu dan pada masa Suharto
pemilu berjalan dengan kendalinya. Sehingga, demokrasi dalam pengertian partisipasi politik
rakyat tidak terjadi sama sekali.
Adanya sila ke 4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawartan dan Perwakilan atau dulu disingkat Musyawarah dan Mufakat menunjukkan
secara konsep. Demokrasi itu sudah ada dalam sejarah masyarakat kita atau bagian dari
sejarah masyarakat tersebut meski tidak seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, secara
mayoritas Indonesia di masa lalu terdiri dari kerajaan-kerajaan maupun kesultanan, yang
belum menjalankan prinsip demokrasi seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Demokrasi secara fundamental mensyaratkan adanya prinsip egalitarian dalam
masyarakat. Mungkin penggalian nilai demokrasi oleh "founding fathers" lebih merujuk nilai
yang hidup di masyarakat ketimbang pada kekuasaan politik yang pernah ada. Di
Minangkabau, misalnya adanya jejak musyawarah dan mufakat dalam struktur kekuasaan
merupakan representasi minor untuk mengklaim universalitas nilai itu ditingkat elit secara
nasional.
Dalam masyarakat Jawa, konsepsi "menang tanpa ngasorake" atau menang tanpa
merendahkan orang lain, juga lebih tepat sebagai fenomena budaya di tingkat masyarakat
ketimbang pergolakan struktur kekuasaan di Jawa yang umumnya bertikai dengan kekerasan.
Struktur kolonial sendiri dalam masa Hindia Belanda, membuat adanya mekanisme
perwakilan dalam Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, dengan kewenangan terbatas
untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Meskipun terbatas, baik dari jumlah kursi untuk
pribumi yang lebih sedikit dan kewenangan terbatas sebagai "penasihat" semata, banyak
tokoh-tokoh nasional yang pernah di Volksraad, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Kasimo
dll melihat dan mengalami fungsi sebuah Dewan Rakyat dalam pemerintahan.
Dengan pengalaman sejarah Indonesia pra kemerdekaan, nilai-nilai demokrasi yang digali
Bung Karno dan founding fathers lainnya untuk sebuah sila Musyawarah dan Mufakat,
menunjukkan nilai yang hidup dalam budaya kita adalah demokrasi dengan pendekatan
Musyawarah alias konsultasi.
Sebagai sebuah konsep Musyawarah untuk Mufakat merupakan cara berdemokrasi yang
mengutamakan "menang untuk semua" atau tidak ada yang kalah. Nilai individualistik dan
"zero sum game" atau "the winner take all" yang merupakan nilai demokrasi liberal barat,
tidak dikenal dalam demokrasi ala Musyawarah tersebut.
Persoalannya adalah sebagai berikut, 1) kapan nilai-nilai Musyawarah tersebut dijalankan
dalam fase 74 tahun Indonesia merdeka? 2) Apakah nilai-nilai tersebut cukup besar dan
sakral dalam sebuah ideologi bangsa, sehingga menginspirasi proses demokrasi kita?
Untuk pertanyaan pertama, kita telah melihat sampai masa Suharto dan sebelumnya
Sukarno, penerapan Musyawarah dan untuk Mufakat belum menjadi fakta sejarah. Malah
demokrasi liberal sebelum 1959, menghiasi demokrasi di Indonesia.
Ketika Bung Karno menolak demokrasi liberal atas dukungan militer kala itu, Bung Karno
menerapkan demokrasi terpimpin, yang dianggap sebagai masa non demokratik sama sekali.
Apalagi MPRS mengangkat Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup. Ketika Suharto
mengklaim menerapkan Demokrasi Pancasila, semua pengamat juga mencatat masa itu
bukanlah pula masa demokrasi.
Paska orde baru yang sudah berlangsung 21 tahun saat ini, sistem pemerintahan kita
kembali menjadi demokrasi liberal. Hal ini terkait dengan amandemen atas UUD 1945 dari
tahun 1999 sampai dengan Agustus 2002. UUD 1945 lama yang sebelumnya menetapkan
MPR sebagai representasi rakyat dan Presiden sebagai mandataris MPR karena dia dipilih
MPR berubah total dengan Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
DPR/DPRD dipilih langsung juga, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dipilih langsung,
utusan golongan ditiadakan dan MPR tidak mempunyai kewenangan mutlak sebagai sumber
hukum. Meski sistem presidensial kekuasan DPR sangat kuat, selain tidak bisa dibubarkan
Presiden, DPR juga ikut terlibat dalam menentukan panglima TNI, Kapolri dan Duta Besar,
disamping fungsi legislatifnya.
Alhasil, sejauh ini, konsep Musyawarah dan Mufakat belum pernah kita alami secara
sungguh-sungguh. Melanjutkan pada pertanyaan kedua, apakah nilai-nilai Musyawarah dan
Mufakat itu sakral dan menginspirasi bangsa kita, perlu kita dalami lebih lanjut. Pertama,
apakah demokrasi dan Implementasi demokrasi itu mensyaratkan adanya peradaban ala barat,
yang individualistik, efisien, rasional, pasar bebas, dlsb? Kedua, apakah demokrasi itu
bersifat universal?
Jika syarat demokrasi harus seperti di barat dan berlaku universal, maka memang nilai-
nilai Pancasila tidak kompatibel dengan demokrasi. Namun, apabila syarat peradaban barat
dan syarat universal tidak perlu, maka demokrasi ala Indonesia yang bersumber dari nilai-
nilai Pancasila, dapat terus dicoba. Artinya apa? Artinya kita mencoba mengembalikan azas
Musyawarah dan Mufakat sebagai tiang demokrasi kita. Artinya lebih lanjut, demokrasi yang
bersifat langsung dan bebas selama ini dikembalikan dengan model UUD 1945 yang asli,
yakni adanya model MPR, yang mengendalikan fungsi fungsi eksekutif, legislatif dan
yudikatif atau setidaknya didekatkan kembali pada model demokrasi ala Musyawarah itu.
E. Pancasila Berarti Anti Korupsi
Pancasila merupakan cerminan kepribadian rakyat Indonesia sejatinya adalah nilai ideal
yang digariskan secara baik oleh pendiri bangsa. Ketika merumuskan Pancasila, terdapat
perdebatan yang mengarah kepada bagaimana model terbaik manusia Indonesia di masa
mendatang. Melalui diskusi intensif dan perdebatan intelektualitas lahir konsepsi Pancasila
yang agung dan memiliki cita-cita luhur. Untuk itu, segala bentuk penyimpangan dalam
masyarakat Indonesia selayaknya dapat dikembalikan kepada lemahnya pemahaman dan
pengalaaman masyarakat Indonesia atas Pancasila.
Seseorang yang berjiwa Pancasila juga menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum
(Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) maka penting sekali menjunjung tinggi hukum dengan tidak
melakukan tindakan yang melanggar hukum. Sebagai makhluk beragama juga tak ada
satupun agama yang mengajarkan untuk merugikan kepentingan orang lain. Setiap membela
Pancasila adalah membela negara, dimana salah satu wujud bela negara dengan melawan
perbuatan korupsi yang merugikan masa depan bangsa.
Korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial jelas bertentangan dengan butir nilai dalam
Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan bahwa manusia Indonesia memiliki
keimanan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang diketahui Indonesia
berkembang dengan enam agama resmi (Islam, Kristen Protestan, Katolik,Hindu, Buddha dan
Konghucu) dan semuanya menolak korupsi. Penolakan hadir disebabkan perilaku korupsi
sangat berlawanan dengan semangat manusia yang memiliki Tuhan dalam hidupnya. Secara
nyata koruptor sudah menafikan adanya tindakan yang merugikan orang lain dan perbuatan
dosa yang kelak akan mendapatkan pembalasannya.
Tindakan pidana korupsi juga melupakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu Maha Melihat
segala perbuatan hambanya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ini menegaskan
tindakan korupsi mengabaikan pengakuan persamaan derajat, saling mencintai, sikap
tenggang rasa,membela kebenaran dan keadilan. Seorang koruptor tidak memiliki rasa
keadilan dan keadaban, sebab hak yang seharusnya dimiliki rakyat diambil secara sepihak
untuk kepentingan pribadinya.
Seorang koruptor mementingkan nafsu dan urusan pribadinya saja, mengabaikan betapa
kesalahan yang diperbuatnya merusak sendi kehidupan perekonomian, pembangunan sosial,
melemahkan budaya positif di masyarakat dan melunturkan rasa kecintaan kepada bangsa
dan negara. Dengan melakukan korupsi, maka dirinya merusak persatuan nasional karena
perbuatan yang dilakukannya berdampak kepada seluruh masyarakat Indonesia yang tidak
dapat merasakan kenikmatan dan hasil pembangunan di Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Munculnya perilaku koruptif khususnya di kalangan parlemen
jelas menabrak sila keempat. Kepercayaan masyarakat kepada parlemen luntur padahal
amanah mereka dalam sistem demokrasi dititipkan kepada para wakil rakyat. Ketika wakil
rakyat justru sibuk menguras anggaran negara, maka pelanggaran terhadap sila keempat
sudah terjadi dan mengundang sinisme masyarakat bahwa gedung wakil rakyat tak ubahnya
tempat pertemuan para koruptor.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak ada lagi keadilan ketika kesenjangan
sosial semakin lebar disebabkan anggaran negara tidak lagi pro rakyat. Kepentingan umum
terganggu akibat tidak selesainya pembangunan karena dana pembangunan tertahan di tangan
para koruptor. Kemajuan pembangunan yang merata dan kesempatan menikmati keadilan
sosial hilang sudah ketika banyak sekali agenda pembangunan tidak berjalan sesuai harapan.
Pancasila bukan sebuah bentuk aturan yang kaku dan bersifat terbuka. Sehingga dalam
implementasiannya dapat dikembangkan dalam berbagai dimensi kehidupan dan melibatkan
banyak pihak yang memiliki kepentingan sama menjaga dan mengamalkan nilai Pancasila.
Konteks mengatasi persoalan korupsi, implementasi nilai Pancasila dapat dimulai dari
kehidupan keluarga dengan membiasakan kewajiban menjalankan ajaran agama sehingga
mampu menjadi benteng moralitas dan garda terdepan dalam menilai sebuah perbuatan baik
buruk maupun benar salah kelak di mata Tuhan Yang maha Esa.
Bagaimanapun korupsi bagaikan kata pepatah nila setitik, rusak susu sebelanga. Satu orang
manusia Indonesia melakukan korupsi maka dampaknya dirasakan seluruh masyarakat
Indonesia. Perbuatan korupsi akan merusak persatuan nasional karena mengakibatkan
pembangunan nasional terhenti disebabkan dana pembangunan dikorupsi oknum tertentu.
Seorang koruptor juga menjadi teladan buruk bagi generasi penerus karena menciptakan nilai
negatif bahwa jika ingin kaya maka korupsi-lah.
Implementasi sila pertama sampai kelima dapat menggunakan banyak unsur kehidupan
seperti keluarga, masyarakat, pemerintah atau negara dan institusi pendidikan. Semua ini
bersinergi dalam mencegah dan menindak tegas perilaku korupsi berbagai bidang kehidupan.
Selain itu perlu ditampilkan pula apresiasi terhadap personal maupun lembaga sehingga dapat
menjadi teladan bagi manusia Indonesia lainnya.

F. Pancasila Menselaraskan Agama dan Negara


Hubungan antara agama dengan pancasila adalah hubungan yang sangat menguatkan.
bukan hubungan saling bertentangan. Konsep pancasila digali dari nilai-nilai yang luhur,
pancasila dapat dipahami dalam tiga tataran yakni nilai filosofis, nilai instrumentalis dan nilai
pragmatis. Sebagai nilai instrumental misalnya, pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum yang berlaku dalam negara hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Seokarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu dimiliki bagi bangunan Indonesia
merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme,
kemanusiaan, mufakat/permusyawaratan, kesejahteraan (keadilan sosial), akhirnya
ketuhanan. Kelima prinsip itulah yang dia namakan pancasila, dan diusulkan sebagai
Weltanschauung negara Indonesia merdeka .
Kemudian dengan percaya diri, Soekarno mengatakan :
“Saudara –saudara! Dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya, Inikah Panca
Dharma? Bukan ! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban,
sedangkan kita membicarakan dasar. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kira ahli bahasa,namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas,
dasar. Dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal abadi “Pada
tanggal 1 juni 1945 terbentuklah panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Achmad Soebardjo
4. Mr. Muhammad Yamin
5. KH. Wachid Hasyim
6. Abdul Kahar Muzakir
7. Abikoesno Tjokrosoejoso
8. H.Agus Salim
9. Mr. A.A. Maramis
Panitia ini menyusun kembali naskah yang semula dimaksudkan sebagai teks proklamasi
kemerdekaan yang akhirnya dijadikan sebagai pembukaan dalam UUD 1945.
Naskah ini disebut piagam Jakarta atau Jakarta charter yang berisikan :
a) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya.
b) Kemanusiaan yang adil dan beradap.
c) Persatuan Indonesia.
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan.
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indoensia.
Dan masih digunakan sampai saat ini yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Namun terdapat perubahan kata yang terdapat pada sila pertama yang semula “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”menjadi “ketuhanan
Yang Maha Esa”. Saat itu ada dua ormas islam yang menentang bunyi sila pertama, karena
dua ormas islam tersebut menyadari bahwa jika syariat islam diterapkan maka secara tidak
langsung menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang utuh maka hal itu dapat
memojokkan umat beragama lainnya.

Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
berarti pancasila menyakralkan agama. Tidak hanya islam namun Kristen, katolik, konghucu,
hindu dan budha sebagai agama yang resmi pada saat itu. Didalam perubahan sila pertama
inilah letak keselarasan pancasila dengan agama. Dengan adanya sikap toleransi antar sesama
warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kita tentunya sebagai warga negara Indonesia memiliki sikap teloransi antar umat
beragama. Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir.Soekarno mengatakan bahwa “prinsip ketuhanan!
Bukan bangsa yang ber-Tuhan namun masing masing warga Indonesia yang bertuhan. Yang
Kristen menurut petunjuk Isa Al Masih, yang islam menurut petunjuk Nabi Muhammad
SAW, yang budha menurut kitab kitab yang ada. Hendaknya orang orang dapat menyembah
Tuhannya dengan leluasa.

Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama.
Pasal 29 yakni:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

Penjelasan dari kedua pasal tersebut ayat 1 dijelaskan bahwa Indonesia Ketuhanan Yang
Maha Esa karena segala kegiatan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip
ketuhanan yang tertanam dalam UUD 1945 perwujudan pengakuan keagamaan yang bersifat
mutlak. Oleh karena itu, semua orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya yang dianggap benar dan warganya berhak mendapatkan pendidikan yang layak
serta hak setiap warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman
untuk tinggal dan berhak menentukan kewarganegaraan sendiri.
Penjelasan dari ayat 2 bahwa setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaan
sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Dan tidak ada orang yang melarang
untuk memilih agama yang diyakini. Setiap agama memiliki cara dan proses beribadah yang
berbeda-beda. Oleh karena itu setiap warga tidak boleh melarang orang beribadah.

Dan terdapat juga pada UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”. Penjelasan dari pasal 28 E ayat 1 ini adalah Setiap
warga Negara bebas memeluk agama yang mereka hendaki atau yang mereka anggap benar,
di karenakan kita hidup didunia ini tidak akan selalu sama pasti ada perbedaan, jangan
sampai dikarenakan kita berbeda agama menimbulkan perpecahan, karena itu merugikan
Bangsa dan Negara. Kita juga bebas memilih pendidikan dan pekerjaan tanpa adanya
paksaan, dan jika orang tua kita mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, kita juga bebas
dalam memilih warga negara yang kita anggap baik, kita juga berhak untuk pindah ke negara
lain dan berhak kembali ke negara asal.
Karena dalam ideologi pancasila menjelaskan bahwa bangsa indonesia memeluk agama,
menganut agama sesuai kepercayaan masing-masing tanpa adanya unsur paksaan. Maka dari
itu Indonesia harus memiliki sikap toleransi dan menghormati umat agama lain yang sedang
melakukan ibadah. Segala bentuk aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan atas nilai-
nilai dalam ketuhanan yang maha esa. Setiap aturan yang dibuat harus memperhatikan sikap
toleransi antara beragama.
G. Urgensi Moderasi Beragama Upaya Deradikalisasi di Indonesia
Moderasi beragama di negara yang ber bhineka menjadi arus utama dalam membangun
Indonesia ke depan. Mengingat pentingnya moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa.
Menteri Agama sebelumnya Lukman Hakim Saifudi menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun
Moderasi Beragama. Moderasi beragama penting diterapkan agar paham agama yang
berkembang serta pengamalannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Jadi,
moderasi beragama mengemban misi untuk menciptakan perdamaian bagi semua umat
manusia.
Munculnya sikap liberal dalam beragama kerap memicu reaksi konservatif yang ekstrem.
Sikap tersebut sering menimbulkan lahirnya ujaran kebencian, permusuhan, intoleransi,
ekstremisme, deradikalisme, kekerasan bahkan terorisme atas nama agama. Ini ternyata telah
mengancam perdamaian, merusak kerukunan, dan mengoyak kebersamaan. Moderasi
beragama diharapkan menjadi solusi atas problem keagamaan yang ekstrem di kedua kubu
yang kita hadapi tersebut.
Era revolusi industri 4.0 disebut juga era distrupsi mengakibatkan terjadinya perubahan
radikal dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali bidang kehidupan keagamaan.
Keutuhan sosial masyarakat Indonesia menghadapi tantangan dan ancaman besar karena
banjirnya informasi yang tidak tersaring, derasnya internalisasi pengetahuan instan, termasuk
pengetahuan keagamaan, sering mengganggu benteng pertahanan kebersamaan dan
kebangsaan.
Masyarakat jadi mudah membenarkan berita atau informasi yang sampai tanpa terlebih
dahulu menganalisis dan menelusuri kebenarannya. Sikap terhadap pemberitaan di medsos
menjadi salah satu pemicu munculnya radikalisme ekstrim terhadap keberagaman dalam
kehidupan beragama terutama pada generasi milienial. Penguatan moderasi beragama dapat
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan sedikitnya melalui 3 strategi yakni:
a) Sosialisasi dan diseminasi gagasan moderasi beragama.
b) Pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan.
c) Pengintegrasian perspektif moderasi beragama ke dalam Rencana Strategis Kementerian
Agama.
Secara spesifik penguatan moderasi beragama yang akan dilakukan kementerian Agama
Provinsi Jawa Barat mencakup 3 strategi prioritas yaitu bidang pembinaan masyarakat
melalui pembinaan keluarga sakinah, revitalisasi pondok pesantren dan majelis ta'lim dan
melalui diklat fungsional.
1. Prioritas Penyelenggaraan dan Kegiatan Bidang Pembinaan Masyarakat
Penguatan moderasi beragama harus berawal dari keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil
masyarakat dan tempat pendidikan pertama dan utama setiap warga bangsa. Ketahanan
keluarga memiliki potensi yang sangat besar untuk menanamkan dan menyemai praktik
moderasi beragama.
Kementerian Agama wajib memperkuat praktik beragama yang moderat ini melalui stelsel
keluarga. Nilai-nilai luhur ini dapat ditanamkan melalui berbagai program pembinaan
keluarga sakinah di semua lini, mulai dari penyuluhan dan bimbingan di tingkat Kantor
Kementerian Agama sampai di tingkat layanan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.
2. Penguatan Revitalisasi Pondok Pesantren dan Majlis Ta'lim
Pesantren dan majelis ta'lim sebagai lembaga pendidikan keagamaan non formal harus
menjadi motor penggerak moderasi beragama. Pesantren dan majelis kajian menjadi sarana
tepat guna menyebarkan sensitivitas santri dan masyarakat pada ragam perbedaan. Ini penting
dilakukan karena secara empirik paham radikalisme di Indonesia salah satunya dari hasil
gemlengan di pesantren atau daurah tertentu. Sejumlah survei menjelaskan bahwa ada lima
pintu utama bagaimana pemahaman radikal dan intoleransi melakukan penetrasi
dilingkungan pesantren yaitu:
a) Sistem manajemen pesantren.
b) Kegiatan kepesantrenan.
c) Peran guru dalam proses belajar mengajar.
d) Muatan kurikulum dan sumber-sumber yang digunakan.
e) Kebijakan pimpinan pesantren yang lemah dalam mengontrol masuknya radikalisme.
Oleh karena itu, perlu penguatan pada kelima aspek tersebut diantaranya dengan melatih
pimpinan dan guru pondok pesantren menjadi agen transformasi moderasi beragama dalam
konteks Islam.
3. Pengalokasian Materi Moderasi Beragama dan Deradikalisasi pada Setiap Diklat
Fungsional
Untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia dapat dilakukan melalui diklat
fungsional. Sasaran utama diklat fungsional meliputi para pejabat fungsional ASN dan non
ASN di lingkungan Kementerian Agama serta mitra kerja Kementerian Agama seperti
widyaiswara, penghulu, penyuluh, pemandu kerukunan, takmir masjid, pengurus FKUB
yang ada di daerah. Membangun sensitivitas dan kesadaran moderasi beragama bagi para
peserta diklat dapat diintervensi melalui materi maupun metode diklat yang ditrapkan
termasuk pada diklat Pra Jabatan maupun Diklat Kepemimpinan (Diklat PIM).
Demikianlah, bahwa penguatan Moderasi beragama harus menjadi milik kita bersama.
Sosialisasi dan kampanye moderasi beragama tidak cukup diupayakan secara struktural
melalui kebijakan Kantor Wilayah Kementerian Agama melainkan dijadikanya sebagai
gerakan kultural masyarakat untuk merawat kerukunan dan kehidupan keagamaan yang
damai dan toleran di negeri tercinta Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan norma dasar dan norma tertinggi
didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan bersifat imperatif (mengikat).
Aktualisasi Pancasila berarti penjabaran nilai-nilai pancasila dalam bentuk norma-norma,
serta merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam aktualisasi
Pancasila ini, penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam bentuk norma-norma, dijumpai dalam
bentuk norma hukum, kenegaraan, dan norma-norma moral sedangkan realisasinya dikaitkan
dengan tingkah laku semua warga negara dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
seluruh aspek penyelenggaraan negara.

Aktualisasi pancasila dibagi dua, yaitu aktualisasi Obyektif dan aktualisasi Subyektif.
Aktualisasi Obyektif merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila ke bentuk norma aspek
penyelenggaraan negara Sedangkan Aktualisasi Subyektif merupakan penjabaran nilai-nilai
Pancasila dalam bentuk norma-norma moral pada setiap diri individu. Penjabaran nilai-nilai
moral tersebut telah dijelaskan pada makna setiap sila dalam Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, D. Dan Bestari, P. (2011) Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam


Membangun Karakter Warganegara. Bandung:Widya Aksara Perss bekerjasama
dengan Laboratorium PKn Universitas Pendidikan Indonesia
Darmodiharjo, D.Dkk. (1991). Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis,
Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma
Kaelan. (2014). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
Latif, Y (2011). Negara Paripurna . Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Tim Dosen Pkn UPI. (2002). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraanuntuk
Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Yasindo Multi Aspek
Tim Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan.
(2001). Membangun Karakter Bangsa Berwawasan Kebangsaan.
Bandung: CV. Maulana Media Grafika
Wildan, D. (2009). Menggagas Forum Wawasan Kebangsaan:Penanaman
Pancasila dan Wawasan Kebangsaan melalui Emotional Nationalism

Quotient (ENASQUE), Makalah dalam Simposium Nasioal “Pendidikan

Pancasila Sebagai Pendidikan Kebangsaan”


Center for Civic Education (1994). National Standard for Civics andGovernment.
Hermawan, I.C. (2013). Jurnal Kajian Pendidikan: Revitalisasi Pendidikan
Politik dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Tidak diterbitkan
Maftu, B. (2008). Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme Melalui
Pendidikan Kewarganegaraan. Universitas Pendidikan Indonesia
Mulyono. (2010).
Dinamika aktualisasi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro
Sapriya, (2007). Perspektif Pemikiran Tentang PKn dalam Pembangunan
Karakter Bangsa. Disertasi Prodi IPS Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung:
Tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai