Anda di halaman 1dari 9

MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA

DALAM POLITIK ISLAM

Nurul Fajriyah Amini,Shinta Suciyati,Dwi Sepyana,Novi Ardita

Kelompok V, Kelas (20151)

Abstrak

Kehidupan komunal yang menjadi perhatian setiap orang pada akhirnya harus
menentukan pemimpin sebagai koordinator kerukunan hidup. Negara Islam didasarkan pada
agama. Seperti peradaban Islam yang diyakini mampu mengendalikan hawa nafsu dan nafsu
manusia. Ini juga merupakan sendi terpenting bagi kebahagiaan dan stabilitas negara. Dimana
keinginan dan keinginan mendasari semua masalah. Buku Al-Mawardi juga menjadi bukti
keberhasilan peradaban Islam, khususnya politik. Hidupnya disertai dengan gejolak politik para
penguasa, yang memotivasinya untuk mencari sistem yang baik, cocok dan berhasil yang dapat
diamalkan.

Menurut al-Mawardk, pengetahuan yang adil dan rasional, kewarasan, kesehatan fisik,
pikiran terbuka yang mengatur kehidupan dan kepentingan manusia, dan keberanian dan
ketabahan untuk melindungi orang dan menghancurkan musuh merupakan suatu syarat yang
dapat dipertimbangkan untuk memilih suatu kepala negara. Oleh karena itu, untuk memilih
kepala negara juga diperlukaan juga seorang pemilih yang mampu mengambil keputusan yang
bijaksana dalam memilih atau kepala negara yang layak untuk dijadikan sebagai seorang
pemompin dalam suatu negaranya.

Kata Kunci : Pengangkatan, Pemberhentian, Kepala Negara

1
Abstract

The communal life that concerns everyone should ultimately determine the leader as the
coordinator of life harmony. The Islamic State is based on religion. Like Islamic civilization
which is believed to be able to control human passions and lusts. This is also the most important
joint for the happiness and stability of the country. Where desires and desires underlie all
problems. Al-Mawardi's book is also a testament to the success of Islamic civilization, especially
politics. His life was accompanied by political turmoil of the rulers, which motivated him to look
for a good, suitable and successful system that could be implemented.

According to al-Mawardk, just and rational knowledge, sanity, physical health, an open
mind that governs human life and interests, and courage and fortitude to protect people and
destroy enemies are conditions that can be considered for choosing a head of state. Therefore, to
elect the head of state jug.

Keywords : Appointment, Dismissal, Head of State

‫ي‬
ٌّ ‫ت َْج ِري ِد‬

َ‫ ْال َحيَاة‬ ‫لوئام‬ ‫ِّق‬
ِ ‫ َك ُمنَس‬ ‫ ْالقَاِئ ِد‬ ‫اف‬
ِ َ‫ ْال َمط‬ ‫نِهَايَ ِة‬ ‫فِي‬ ‫تُ َح ِّد َد‬ ‫َأ ْن‬  ُ‫يَ ِجب‬ ‫يع‬
ِ ‫ ْال َج ِم‬ ‫تُهَ ِم‬ ‫الَّتِي‬ َ‫ ْال ُمجْ تَ َم ِعيَّة‬ َ‫ ْال َحيَاة‬.
‫الدِّي ِن‬ ‫اس‬ ِ ‫َأ َس‬ ‫ َعلَى‬ ‫تَقُو ُم‬ ُ‫اِإْل ْساَل ِميَّة‬ ُ‫ال َّدوْ لَة‬.
‫اِإْل ْن َسانِيَّ ِة‬ ‫ت‬ ِ ‫ ْال َع َوا ِط‬ ‫ َعلَى‬ ‫ال َّس ْيطَ َر ِة‬ ‫ َعلَى‬ ٌ‫قَا ِد َرة‬ ‫َأنَّهَا‬ ‫يَ ْعتَقِ ُد‬ ‫الَّتِي‬ ‫اِإْل ْساَل ِميَّ ِة‬ ‫ضاَر ِة‬
ِ ‫ َوال َّشه َْوا‬ ‫ف‬ َ ‫ ْال َح‬ ‫ ِم ْث ُل‬.
‫ ْالبِاَل ِد‬ ‫ار‬
ِ ‫ َواِ ْستِ ْق َر‬ ‫لِ َس َعا َد ٍة‬ ‫ص ٌل‬َّ َ‫ ُمف‬ ‫َأهُ ْم‬ ‫َأ ْيضًا‬ ‫هُ َو‬ ‫هَ َذا‬.
‫ ْال َم َشا ِك ِل‬ ‫يع‬
ِ ‫ َج ِم‬ ‫ َو َرا َء‬ ‫ات‬ ُ َ‫ال َّر ْغب‬  ُ‫تَ ْك ُمن‬ ‫ْث‬
ُ َ‫ َوال َّر ْغب‬ ‫ات‬ ُ ‫ َحي‬.
‫ال ِّسيَا َس ِة‬ َ‫صة‬َّ ‫ َو َخا‬ ،‫اِإْل ْساَل ِميَّ ِة‬ ‫ضاَر ِة‬ َ ‫ ْال َح‬ ‫َّاح‬
ِ ‫نُج‬ ‫ َعلَى‬ ‫ َشهَا َد ٍة‬ ‫َأ ْيضًا‬ ‫هُ َو‬ ‫ي‬ ِّ ‫ ْال َما َورْ ِد‬  ُ‫ ِكتَاب‬.
ُ‫تَ ْنفِي ُذه‬  ُ‫يُ ْم ِكن‬ ‫ح‬
ِ ‫َاج‬ ٍ ‫ َو ُمنَا ِس‬ ‫ ِجي ٍد‬ ‫نِظَ ِام‬ ‫ع َْن‬ ‫ث‬
ِ ‫ َون‬ ‫ب‬ ِ ْ‫ ْالبَح‬ ‫ِإلَى‬ ‫ َد ْف ِع ِه‬ ‫ ِم َّما‬ ،‫لِ ْل ُح َّك ِام‬ ‫ ِسيَا ِسيَّ ٍة‬ ‫ت‬ٍ ‫اِضْ ِط َرابَا‬ ُ‫ َحيَاتُه‬ ‫ت‬ ْ َ‫ َرافَق‬.
َ ‫ َو ُم‬ ‫اِإْل ْن َسا ِن‬ ُ‫ َحيَاة‬ ‫يَحْ ُك ُم‬ ‫الَّ ِذي‬ ‫ ْال ُم ْنفَتِ َح‬ ‫ َو ْال َع ْق َل‬ ‰،َ‫ ْالبَ َدنِيَّة‬ َ‫ص َّحة‬
‫ َوال‬ ،‫صالِ ِح ِه‬ ِّ ‫ َوال‬ ،‫ َوالتَّ َعقُّ َل‬ ،َ‫ َو ْال َع ْقاَل نِيَّة‬ َ‫ ْال َعا ِدلَة‬ َ‫ْرفَة‬
ِ ‫ ْال َمع‬ ‫فَِإ َّن‬ ،‫لِ ْل َموْ ِر ِد‬ ‫ُووفِقَا‬
‫لِل َّدوْ لَ ِة‬ ‫س‬
ٍ ‫رَِئي‬ ‫ار‬ِ َ‫اِل ِ ْختِي‬ ‫ ُم َراعَاتُهَا‬  ُ‫يُ ْم ِكن‬ ُ‫ ُشرُوط‬ ‫ ِهي‬ ‫اَأْل ْعدَا ِء‬ ‫ير‬ ِ ‫ َوتَ ْد ِم‬ ‫اس‬ ِ َّ‫الن‬ ‫لِ ِح َمايَ ِة‬  َ‫ َوالثُّبَّات‬ َ‫ َّش َجا َعة‬.
‫ال َّدوْ لَ ِة‬ ‫يس‬
ِ ‫رَِئ‬ ‫يق‬ ِ ‫اِل ِ ْنتِ َخا‬ ،َ‫لِ َذلِك‬.
ِ ‫ِإب ِْر‬ ‫ب‬

‫ كيباال نيجارا‬، ‫ بيمبرهينتيان‬، ‫ بينجانجكاتان‬: ‫كاتا كونسي‬

2
PENDAHULUAN:

A. Latar Belakang

Dalam setiap sistem pemerintahan , terdapat metode dan mekanisme dalam pengangkatan
dan pemberhentian pemimpin . Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan ( al -
siyâdah ) dan kekuasaan ( al - sulthân ) . Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum
yang harus ditaati seluruh warga negara . Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang
menjadi pelaksana dan penegak hukum . Dalam sistem kerajaan misalnya , raja menjadi
pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus . Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat
hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya . Dalam hal ini , raja mengangkat '
putra mahkota ' , yang biasanya berasal dari keturunannya . Sedangkan dalam sistem republik
pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat . Konsekuensinya , semua hukum dan undang
- undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat . Rakyat pula
yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya . Pemilihan itu bisa dilakukan secara
langsung oleh rakyat , bisa juga oleh parlemen .

Cara pemilihan pemimpin menurut al-Mawardi ada 2 pola. Pertama, pemilihan pemimpin
secara langsung, seperti transisi dari kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq ke Umar bin
Khattab. Hal ini dilakukan karena pengalaman kefanatikan suku bangsa arab, yang  berpengaruh
pada perjuangan kepentingan suku. Kedua, pemilihan secara musyawarah maupun dewan
formatur. Pemilihan secara langsung terjadi setelah meninggalnya Rasulullah dan beliau belum
memberikan wasiat siapa penggantinya, yang pada akhirnya Abu Bakar terpilih. Untuk
pemilihan melalui dewan formatur adalah opsi yang ditawarkan oleh khalifah Umar bin Khattab,
karena menurutnya pemilihan yang terjadi secara wasiat mendatangkan banyak permasalahan.

B. Rumusan Masalah

3
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut , rumusan masalahnya adalah
bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala Negara di dalam politik islam ?

C. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan jurnal ini adalah dengan metode
library research,yang mana pengumpulan bahan materi diperoleh dari sumber buku dan
jurnal .

2. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan bahan dalam penulisan ini ditempuh dengan melakukan penelitian
kepustakaan dan studi dokumen. Di dalam pengumpulan bahan, sebanyak mungkin data
yang diperoleh dan dikumpulkan diusahakan mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Analisis Data


Teknik dalam menganalisa bahan tersebut adalah menggunakan metode library
research,yang mana pengumpulan bahan materi diperoleh dari sumber buku dan jurnal
dengan langkah langkah sebagai berikut :
a. Bahan yang diperoleh dari jurnal diklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang
terdapat dalam jurnal .
b. Hasil klasifikasi bahan kemudian selanjutnya akan di sistematisasikan.
c. Bahan yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan sebagai
dasar dalam pengambilan kesimpulan.

4
PEMBAHASAN:

Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara dalam Politik Islam

A. Pengangkatan Kepala Negara

Menurut al-Mawardi mekanisme pengangkatan kepala negara itu terbagi menjadi dua cara,
yaitu: Pertama, kepala negara itu dapat terpilih melalui lembaga pemilihan (ahl alhall wa
al-‘aqd). Kedua, dapat diangkat dengan janji seperti yang terjadi sekarang ini1.

Menurutnya juga menjadi kepala negara itu juga tidak sembarangan dapat dipilih. Harus ada
banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus lebih diperhatikan terkait ini. Oleh karena itu,
beliau mengemukakan beberapa syarat untuk menjadi seorang pemimp8n atau kepala negara,
yakni:

a. Mampu bersikap adil (al-‘adalah)


Sikap adil yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah sikap yang paling dasar yang harus
dimiliki. Tanpa adanya keadilan suatu negara akam mengalami banyak permasalahan yang
terjadi di masyarakatnya, terutama dalam memberikan persamaan hak dan kewajiban bagi
setiap warga negara.
b. Berilmu (al-‘alm)
Seorang pemimpin atau kepala negara itu harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang
luas untuk memimpin negaranya. Hal ini dimaksudkan agar kepala negara dapat mengetahui
apa saja hal-hal terkait yang terjadi dalam fenomena di negaranya.
c. Mempunyai kemampuan melihat, mendengar dan berbiicara dengan baik dan sempurna.

1
Abd. Moqsith, "Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara: Tinjauan Kritis al-Ahkam al-
Sulthaniyah.", hal. 12.

5
Artinya bahwa kepala negara itu harus mampu menyelesaikan permasalahan dengan cermat
dan tepat, terutama dalam menagakkan dan menetapkan suatu hukum.
d. Memiliki keadaan fisik yang sehat agar mampu bekerja dengan maksimal.
e. Memiliki kebijakan dan wawasan yang cukup dalam berorganisasi, kehidupan masyarakat
maupun mengatur kepentingan umum.
f. Mempunyai keberanian dalam melindungi dan mempertahankan negara Islam dari serangan
musuh.
g. Turun dari keturunan Quraisy.
Menurutnya syarat terakhir ini merupakan persyaratan yang didasari atas ketentuan
umumnya disepakati2.

Adapun syarat bagai seorang pemilih untuk dapat memilih seorang pemimpin ialah: adil,
mempunyai pengetahuan yang luas agar dapat menentukan siapa yang berhak menjadi kepala
negara, serta memiliki sifat yang bijaksana dalam menentukan pilihannya dalam memilih kepala
negara.

Ada beberapa perbedaan pandanagan mengenai jumlah peserta dalam pemilihan kepala
negara. Pendapat pertama mengatakan bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd terdiri dari perwakilan
semua kota yang berada dibawah kekuasaan negara tersebut. Lalu, pendapat kedua mengatakan
bahwa pemilihan itu dapat dianggap sah apabila terdiri dari minimal lima orang. Dimana satu
diantaranya diangkat sebagai imam atas persetujuan keempat orang lainnya. Kemudian, pendapat
ketiga mengatakan bahwa pemilihan itu dapat dianggap sah apabila dilakùkan oleh tìga orang,
dimana salah satunya ditunjuk sebagai imam atas persetujuan kedua orang lainnya. Ada juga
pendapat ketiga mengatakan bahwa pemilihan imam itu dianggap sah walaupun hanya dilakukan
satu orang3.

B. Pemberhentian Kepala Negara


Dalam persoalan lain ulama telah menjelaskan mengenai pemberentihan kepala Negara
hingga alasan-alasan untuk memberhentikan kepala Negara dapat terpenuhi, maka timbullah
pertanyaan mengenai siapa yang memiliki wewenang untuk memberhentikan dan bagaimana

2
Ibid., hal. 10-11.
3
Rasya Dania, "Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam." TSAQAFAH 13.1 (2017), hal. 169.

6
prosedur mekanisme pemberhentiannya. Menanggapi hal tersebut Abdul Rashid Monten4
mengatakan dalam Al Qur’an dan Sunnah tidak diatur mengenai prosedur dan wewenang untuk
pemberhentian kepala Negara.

Menurut Abdul Rashid Monten menyebutkan bahwasannya ada beberapa prinsip-prinsip


dasar yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah terhadap siapa yang berwewenang untuk
melakukan pemberhentian kepala Negara, setidaknya para pemikir politik Islam mengajukan tiga
lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pemberhentian terhadap kepala negara,
antara lain yakni :
1. Dīwān al-Nadhar wa al-Madhālim (Dewan pengawas) yang biasa menangani kasus-kasus
kegagalan keadilan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit penguasa, termasuk
kepala Negara.
2. Faqih atau Dewan Pimpinan yang terdiri atas Fuqoha.
3. Majlis al-Shurā (Majlis Permusyawaratan/ ahl halli wa al-aqdhi).5

Secara historis belum pernah terjadi seorang kepala Negara diberhentikan oleh Diwan al-
Nadhar wa al-Madhalim, karena Diwan al-Nadhar wa al-Madhalim meskipun ekstensinya diakui
namun hanya menerima wewenang yang sangat terbatas, dengan kata lain tidak memiliki
dukungan untuk memberhentikan kepala Negara.

Abdul rashid Moten mengatakan mustahil untuk mencari presiden historis untuk
memberikan kepercayaan terhadap Ahl Al Syura dalam menjalankan kekuasaan untuk menuntut
pertanggung jawaban kepada kepala Negara. Karena sepanjang sejarah pemecatan pemimpin
selama periode Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah selalu dijalankan oleh orang-orang yang
berpedang.Terdapat 51 selama periode Umayyah hingga Abbasiyah adanya pemimpin, terdapat
42 kepala Negara yang mati terbunuh, 5 pemimpin yang dipaksa untuk mengundurkan diri secara
suka rela, 3 pemimpin buta sehingga secara otomatis harus diberhentikan dan 1 pemimpin yang
dituntut dalam persidangan pertanggung jawaban kepala Negara. Khalīfah Rasyid Billah (529-

4
Prof Dr Abdul Rashid Moten “Introduction to Political Science”
5
Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Munir A. Mu’in & Widyawati, (Bandung : Penerbit Pustaka, 2001),
h. 142-147 Lihat juga : Khamami Zada, dkk. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2008. h. 183-184

7
530 H/ 1135-1136 M) adalah salah satu pemimpin yang diberhentikan setelah bermusyawarah
dengan ahl alSyura.6

Ada juga beberapa upaya kasus pemberhentian terhadap Aliyu Bab (1258-1296
H/ 1842-1859 M), Sultan Sokoto di Afrika Barat. Di dalam kasus ini enam anggota majlis syura
menuduh sultan bahwa : Pertama, lebih banyak mengumpulkan pendapat dari pada
membagikan kepada orang muslim seperti yang dituntut syariat. Kedua, membiarkan tembok
sekoto runtuh tanpa diperbaiki. Ketiga, tidak pernah mengambil bagian dalam jihad . Setelah itu
memutuskan untuk menarik kesetian mereka pada pemimpin dan mengajukan calon yang
berkualifikasi sebagai pengantinya.7

Monten mengatakan bahwa ketika wewenang pemberhentian kepala Negara diberikan


kepada majlis al-Syura maka sebelum melakukan pemberhentian majlis Al – Syura terlebih
dahulu meminta al Mazhalim untuk menyelidiki agar terpenuhi atau membenarkan tuduhan
ataupun alasan-alasan pemberhentian terhdap kepala Negara.

PENUTUP
KESIMPULAN:

Kepala negara merupakan pemimpin yang akan menjamin kesuksesan atau majunya suatu
negara. Oleh karena itu dalam hal memilih kepala negara itu harus memenuhi bebarapa syarat
seperti yang dikemukakan oleh al-Mawardi diantaranya: Mampu bersikap adil; Memiliki
pengetahuan yang luas; Mempunyai kemampuan melihat, mendengar dan berbiicara dengan baik
dan sempurna; Memiliki keadaan fisik yang sehat; Mampu berlaku bijaksana; Mempunyai
keberanian dalam melindungi dan mempertahankan negara Islam dari serangan musuh; Serta
Turun dari keturunan Quraisy.

Adapun dalam hal pemberhentian kepala negara menurut al-Mawardi sebenarnya tidak ada
syarat tertentu. Menurutnya pemberhentian dapat terjadi karena adanya syarat-syarat kepala
negara yang tidak terpenuhi lagi. Seperti halnya hilangnya moral dalam beragama. Seperti yang
6
Sulthon Masud. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008. h. 185-186
7
Khamami zada, ibid. h.186

8
diketahui bahwa moral dalam beragama itu adalah suatu hal yang sangat penting, terutama dalam
memimpin negara Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rasyid Moten, “Ilmu Politik Islam”, terj. Munir A. Mu’in & Widyawati, (Bandung :
Penerbit Pustaka, 2001).

Diana, Rasya. "Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam." TSAQAFAH 13.1 (2017):


157-176.

Moqsith, Abd. "Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara: Tinjauan Kritis


al-Ahkam al-Sulthaniyah."

Sulthon Masud. “Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam”, Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2008.

Zawawi, Ali. "Pemberhentian Kepala Negara dalam teori politik Islam:(studi kasus
pemberhentian Kepala Negara di Indonesia)."

Anda mungkin juga menyukai