Anda di halaman 1dari 30

Tugas dan Silabus Makul IBL

1. Pengertian dan konsep budaya, kebudayaan, tradisi, kesenian dan lokalitas


2. Proses-proses integrasi kebudayaan dan karakteristik kebudayaan
3. Islam dan Perubahan Sosial Budaya
4. Polarisasi dalam struktur masyarakat Jawa dan Nusantara
5. Islam dan budaya Lokal masyarakat Pedalaman dan masyarakat pesisir
6. Islam dalam bingkai seni pertujukan tradisional dan modern (seni dan festival sholawat)
7. Sistem religi dalam balutan Islam: tradisi ritual, kebatinan dan kejawen
8. Perkembangan Tarekat di Indonesia
9. Harmonisasi tradisi Pesantren dan budaya lokal
10. Pengaruh Islam dalam moral ekonomi, mentalitas SDM, dan gerakan filantropy
11. Peran Islam dalam kepedulian lingkungan dan ekosistem
12. Harmonisasi kearifan lokal dengan ajaran Islam: kasus kewarisan dan nasab
13. Moral Islam dan politik lokal
14. Islam, Fundamentalism, radikalisme dan kekerasan.

Tugas Perkuliah Daring ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

1. Membuat makalah yang telah ditetapkan dan dibagi oleh Dosen. Minimal Makalah tebal
10 halaman. Semua makalah harus selesai pada hari Rabu tgl 9 Maret (kecuali kelompok
pertama harus selesai sebelum perkuliahan/rabu tgl 2 Maret). Kemudian dijadikan satu
file oleh komting dalam bentuk PDF.
2. Membuat Video presentasi Makalah perorang durasi 10-15 menet sesuai dengan judul
makalah masing-masing kelompok. Dishare digrop sebelum diskusi (malamnya sebelum
kuliah).
3. Membuat power point (dishare malamnya sebelum kuliah)
4. Membuat ringkasan disetiap pertemuan/diskusi materi dengan setiap materi/judul
makalah minimal 1 halaman. Kemudian ringkasannya dikirim ke Komting dan komting
membuat satu folder. Kemudian dikirim ke dosen pengampu.
5. Membuat makalah tentang tradisi peringatan Isro’ Mi’roj /ruwahan di setiap daerah
tempat tinggal mahasiswa (minimal 8 halaman) sebagai tugas UTS
6. Membuat makalah tentang ISLAM DAN BUDAYA LOKAL disetiap daerah tempat
tinggal mahasiswa (minimal 8 halaman) sebagai tugas UAS. Contoh Islam dan Budaya
Lokal Tradisi Saparan, Ruwahan, Jaburan, Mauludan, dan lain-lain
7. Tugas UAS kedua adalah membuat rangkuman materi dari awal sampai akhir (setiap
pertemuan/tema satu halaman, jadi rangkumannya minimal 14 halaman)
8. Revisi makalah dan Makalah yang sudah direvisi kemudian dijadikan satu folder dengan
format BUKU.
Aturan membuat Makalah
1. Isinya makalah adalah pendahuluan, pembahasan dan penutup
2. Setiap halaman minimal ada 1 refrensi dengan model penulisan footnote
3. Refrensi makalah minimal 5 rujukan buku atau Jurnal boleh berbentuk PDF
4. Regulasi penulisan footnote adalah sebagai berikut :
Nama pengarang, judul buku, tutup kurung kota penerbit setelah itu titik dua baru
kemudian koma lalu tahun terbit kemudian tutup kurung dilanjutkan halaman. Contoh
sebagai berikut ini:

Azumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Jakarta: Mizan, 1999), hal. 24.
Jika Bukunya dirujuk kembali cukup menulis nama penulis, judul buku dan halaman
contoh: Azra, Jaringan Ulama, hal. 24.
5. Contoh makalah terlampir dibawah ini.

Contoh Satu

Dari Pesisir ke Pedalaman: Islamisasi Kraton Demak ke Surakarta

Oleh : Lukmanul Khakim

Pendahuluan

Islam masuk ke Nusantara berawal dari pesisir. Adapun agen-agen yang berperan dalam
penyebaran Islam ke Nusantara melalui Pesisir adalah para Pedagang. Pesisir menjadi titik awal
masuknya Islam ke Nusantara dikarenakan pesisir merupakan pusat orang bahari melakukan
interaksi perdagangan dengan agen-agen pedagang internasional. Di pesisir inilah terjadilah
interaksi dan komunikasi yang inten antara orang bahari dengan pedagang asing.

Setidaknya ada 4 teori yang menjelaskan proses masuknya Islam ke Nusantara. Teori itu
adalah teori India, Arab, Persia dan Cina. Semua teori itu melibatkan pedagang dalam proses
Islamisasi. Selain itu juga dikatakan ada pihak-pihak lain yang membantu dalam proses
masuknya Islam ke Nusantara yaitu para Sufi.

Dalam kajian ilmu sejarah, tentang jalur masuknya Islam di Indonesia masih
“debatable”. Oleh karena itu perlu ada penjelasan lebih dahulu tentang pengertian “masuk”,
antara lain: dalam arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim), dalam arti sudah
berkembang adanya komunitas masyarakat Islam dan dalam arti sudah berdiri Islamic State
(Negara/kerajaan Islam).

Islam masuk ke Nusantara sudah mulai pada Abad 7. Kemudian pada abad ke 13
dipandang sebagai abad pertumbuhan Islam dengan munculnya kerajaan Samudra Pasai.
Kemudian Islam dari Pesisir masuk ke Pedalaman. Adapun tokoh di Jawa yang mempunyai
peran vital dalam proses Islamisasi adalah Wali Songo dan di Dukung oleh kerajaan Demak yang
disebut-sebut sebagai Kerajaan pertama di Jawa. Dalam makalah ini penulis akan mencoba
membahas proses Islamisai di Surakarta dan sekitarnya yang berawal dari kerajaan Demak
(pesisir) ke Surakarta (Pedalaman).

A. Dari Kerajaan Demak ke Pajang

Perkembangan Islam di Pulau Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya


posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir sebagai
pusat-pusat kekuasaan yang independen untuk menyebarkan Islam. Di bawah
biimbingan spiritual Sunan Kudus meskipun bukan yang tertua dari wali songo,
Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.1

Kemudian Wali Songo sepakat mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama
kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Dalam
menjalankan roda pemerintah Raden Patah dibantu oleh Wali Songo dan lambat laun
1
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014) cet. 25, hlm.
199
Demak menjadi pusat perkembangan Islam yang diselenggarakan oleh Wali Songo.
Pada awalnya penyebaran Islam hanya sebantas di pesisir dan masyarakat sekitarnya.

Kemudian pada masa Sultan Trenggono Islam dikembangkan ke seluruh tanah


Jawa. Bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan sunda Kelapa berakhir pada
tahun 1527 yang dilakukan oleh tentara gabungan dari Cirebon dan Demak dibawah
pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban pun jatuh di bawah kekuasaan Demak
pada tahun itu juga. Selanjutnya pada tahun 1529 Demak berhasil menunudukkan
Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535) dan antara tahun 1541-1542
berhasil menundukkan Lamongan,Blitar, Wirasaba dan Kediri pada tahun 1544.
Palembang dan Banjarmasin pun mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah
Jawa tengah Bagian Selatan sekitar Gunung Merapai, Pengging dan Pajang berhasil
dikuasai pemuka Islam yaitu Syaikh Siti Jenar dan Sunan Bayat.2

Demak berkembang pesat selama kekuasaan raja ketiga yaitu Sultan


Trenggono yang berkuasa 1521-1546.3 Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke
Blambangan Sultan Trenggono terbunuh. Lalu digantikan oleh adiknya yaitu
Prawoto. Masa pemerintahan Prawoto tidak berlangsung lama dikarenakan sering
terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati Demak. Kemudian Sunan Prawoto sendiri
kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549.4

Pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia dan terjadi kekacauan di
Demak. Jaka tingkir yang sudah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera
mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Pajang.5 Sebelum Jaka Tingkir
berkuasa sebagai Sultan Pajang, dia memang sudah mengusai Pengging dan Tingkir
sebagai ahli waris ki Ageng Pengging dan ki Ageng Tingkir, namun dia belum jadi
Sultan. Jaka tingkir saat itu adalah pembesar bawahan demak. Kesultanan Pajang
terletak di daerah Pedalaman, maka lebih tertarik ke pertanian. Pajang tidak ingin
membangun armada laut (maritim) dan juga tidak ingin mengusai pelabuhan-
2
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 211-212
3
Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Bandung: Mizan,
2012) hlm. 19

4
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 212
5
Taufik Abdullah (Ed),Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989) hlm.70
pelabuhan Pantai Utara.6 Jadi penulis berkesimpulan bahwa tokoh yang terlibat dalam
proses Islamisasi di Pedalaman Surakarta dan sekitarnya adalah Sultan Hadi Wijaya
(Jaka Tingkir), Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat atau Bayat.

Kesultanan Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di


daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang merupakan pelanjut dan
dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Tetapi kekuasaan dan
kebesarannya tidak berlangsung lama karena segera diambil alih oleh kerajaan
Mataram. Awal dari kerajaan mataram adalah ketika Sultan Hadiwijaya dari
pajang meminta bantuan kepada ki Pamanahan yang berasal dari daeran
pedalaman dalam menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria
Penangsang. Sebagai hadiah atas jasanya, Sultan kemudian menghadiah daerah
Mataram kepada ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Islam Mataram.7

Pada Tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya.


Dia digantikan oleh putranya Senopati pada tahun 1584 dan dikukuhkan oleh
Sultan Pajang. Senopati dipandang sebagai Sultan Mataram pertama setelah
Pengeran Benawa menawarkan kekuasaan atas pajang kepada Senopati. Tetapi
Senopati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan Pajang. Namun dalam
tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan
penyerahan kekuasaan.8

Kerajaan Mataram berdiri pada paruh akhir abad ke-16 di pedalaman


Jawa. Wilayahnya sekarang disebut Surakarta dan Yogyakarta dengan
Panembahan Senopati Sebagai raja pertama (1584-1601). Dia mengawali
pendirian kerajaan ini setelah Demak runtuh, sementara pajang juga mulai
hancur. Dalam tradisi Jawa berdirinya Mataram tidak dapat dipisahkan dari
demak dan Pajang. Dua kerajaan ini dipercaya menjadi pewaris Majapahit
yang melalui garis legitimasi politik mengalir dan memuncak di Kerajaan

6
Hamid Akasah, Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak, (Surabaya: Cipta Adi Grafika, tt) hlm. 40
7
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 214
8
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 214
Mataram.9 Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Agung. Pada masa Sultan Agung Mataram menjadi
kerajaan yang sangat terhormat dan disegani sampai luar Jawa.10

Menurut pengamatan (observasi) penulis sebenarnya masih banyak tokoh-


tokoh penyebar Islam di Pedalaman. Seperti Sunan Geseng di Grabag Magelang
(perbatasan antara kab. Semarang dengan Magelang), Hasan Munadi dan Imam
Dipuro11 makamnya di Gunung Ungaran, Sunan Gribig di Jatinom (Perbatasan antara
Klaten dan Boyolali), Syekh Maulana Magribi (di Kaki Gunung Merbabu), dan Ki
Ageng Wonokusumo (di Suruh Salatiga). Namun penulis belum mengetahui secara
pasti abad berapa mereka menyebarkan Islam di daerah masing-masing dan juga
biografi dari tokoh-tokoh itu masih sulit didapat. Makam-makam tokoh tadi sangat
ramai diziarohi. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka mempunyai peran yang vital
dan besar dalam proses penyebaran Islam ke Pedalaman (Daerah masing-masing).
Bahkan dikatakan bahwa mbah Hasan Munadi dan Imam Dipuro hidup pada zaman
kerajaan Demak.

B. Islamisasi Semarang Ke Klaten


Penyebar agama Islam di Semarang adalah Ki Ageng Pandarang I. Waktu itu Ki
Pandhanarang I mendirikan sebuah pondok pesantren di tepi pantai serta tinggal di
tempat itu bersama dengan seluruh muridnya. Pesantren tersebut makin lama makin
besar dan anggotanya terus-menerus bertambah. Ki Pandhanarang I mempunyai
empat orang putra, dua putra dan dua putri, masing-masing bernama: Raden Kaji,
Raden Kertib, Bokmas Katijah dan Bokmas Aminah. Raden Kaji yang kemudian
menikah dengan putra Pangeran Panggung, Raden Kertib menjadi menantu Syeh
Walilanang. Setelah ayahnya Ki Pandanarang I meninggal, Raden Kaji dijadikan
pengganti ayahandanya menjadiAdipati, dan Raden Kertib dinobatkan menjadi patih,

9
Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Bandung: Mizan,
2012) Hal. 21
10
Moch Djamaluddin Achmad, Napak Tilas Auliya’: Sekilas Sejarah Penguasa Mataram, (Jombang: Pustaka Al-
Muhibbin,2001) hal. 74
11
Konon critanya mereka berdua masih keturunan atau kerabatnya Raden Patah
membantu kakaknya. Pengangkatan ini dilakukan pada tahun 1418 (Candrasangkala:
Muktining rat catur bumi).12
Sunan Bayat merupakan anak dari Ki Ageng Pandanaran I. Ki Ageng
Pandanaran I diakui sebagai pendiri kota Semarang. Ki ageng pandanarang I diwisuda
menjadi Bupati Semarang pada tahun 1575. Setelah ki Ageng Pandanarang I
meninggal dunia diganti oleh anaknya yaitu Ki Ageng Pandanarang II (Sunan Bayat).
Namanya asli Ki Ageng Pandanarang adalah Raden Jaka Supana. Namun Ki Ageng
Pandanarang II hanya memimpin kepemerintah hanya tiga tahun dan diganti oleh
adiknya yaitu Raden Kertib yang kemudian mendapatkan gelar Ki Ageng
Pandanarang III.13
Sebagai kepala pemerintahan Ki Pandhanarang II, melanjutkan usaha yang
dirintis oleh Ki Pandan Arang I. Ki Ageng Pandhanarang II melanjutkan pengislaman
masyarakat Semarang dan sekitarnya, yang masih banyak beragama Hindu dan
Budha. Para penguasa yang belum masuk atau belum memeluk agamaIslam didatangi
dan diajak diskusi tentang agama. Ki Ageng Pandanarang juga mendirikan beberapa
masjid ditempat-tempat yang ramai. Setiap hari Jum’at diadakan Sholat Jum’at di
masjid sehingga tertanam kesadaran beragama. Tentu saja dalam sholat jum’at itu
diberi pengertian tentang pendidikan agama dan juga budi pekerti serta pengertian
ibadah (R. Panji Prawirayuda, 1998: 10).
Pada masa pemerintahan Ki Pandan Arang II, telah banyak kemajuan yang
dicapai baik dalam bidang pemerintahan, pendidikan dan juga dalam bidang ekonomi.
Namun demikian Ki Ageng Pandan Arang II terkenal sebagai Adipati yang kaya raya.
Walaupun pada awalnya Ki Ageng Pandan Arang II gigih dalam menyebarkan agama
Islam, namun karena Adipati Ki Ageng Pandanarang sangat kaya raya dan lebih
mencurahkan perhatiannya pada masalah keduniawian, sehingga mengakibatkan
ajaran-ajaran agama yang dimilikinya mengalami kemunduran. Hal itu diketahui oleh
Sunan Kalijaga. Dengan karomah yang dimilikinya Sunan Kalijaga berusaha
memperingatkan Ki Ageng Pandan Arang II. Setelah diperingatkan bahwa harta
dunia itu tidak ada gunanya bagi seorang ulama besar dan pemimpin agama, Ki
Pandan Arang II insyaf dan sadar akan kelengahannya dan kesalahannya selama ini.
12
Soewignja. Kyai Ageng Pandanarang. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978) hlm. 24
13
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa (Yogyakarta: Galuh Mataram, 1988) hlm. 145-147
Sumber lain juga menyebutkan hal yang sama bahwa semasa menjadi seorang
Adipati, selain berpangkat Ki Ageng Pandhanarang II juga kaya raya dan sangat
mencintai harta dunia. Ki Ageng Pandhanarang II seorang pejabat penguasa daerah,
tetapi suka berdagang, keluar masuk pasar sendiri untuk mencari dagangan.14
Ki Ageng Pandhanarang II mempunyai banyak urusan pemerintahan, akan
tetapi Ki Ageng Pandhanarang II masih sempat berdagang, Ki Ageng Pandhanarang
sering ke pasar untuk mencari dan menjual dagangannya. Dia pandai mencari
dagangan dengan harga yang murah, dan menjual kepasaran dengan harga yang
tinggi.15
Dalam Babad Tanah Jawi dituliskan bahwa awalnya Syeh Malaya
(SunanKalijaga) sedang berkelana dan takdir telah membawanya ke pinggir jalan
yang biasa dilalui Ki Ageng Pandan Arang ke pasar. Takdir telah mempertemukan
mereka, tanpa setahu Ki Ageng Pandan Arang Syeh Malaya telah mengetahui bahwa
Ki Ageng Pandan Arang itu akan menjadi seorang mukmin besar. SunanKalijaga tahu
bahwa takdir telah mempertemukannya dengan Adipati yang gila harta dunia itu,
yang hati mukminnya masih dilumuri oleh lumpur dunia itu. Sunan kalijaga merasa
dirinya telah dipilih Tuhan untuk membuka tabir hati Adipati yang gila harta itu.
Bukan tugas yang mudah untuk mengubah hati yang penuh dengan lumpur dunia
Tapi hatinya Sunan Kali Jaga yakin, kalau Tuhan telah menunjuknya, tentu telah siap
pula member hidayah kepadanya.16
Setelah musyawarah selesai, Sunan Kalijaga menemui Ki Ageng
Pandhanarang II dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput (Alangalang).
Dan dengan karomah yang dimilikinya Sunan Kalijaga berusaha memperingatkan Ki
Ageng Pandan Arang II. Sunan Kalijaga telah memperingatkan Ki Ageng Pandan
Arang bahwa harta dunia itu tidak ada gunanya bagi seorang ulama besar dan
pemimpin agama. Ki Ageng Pandan Arangpun sadar akan kekhilafannya selama ini
dan memutuskan untuk meninggalkan masalah kenegaraan (politik) untuk
memperdalam ilmunya tentang agama Islam dengan bimbingan Sunan Kalijaga. 17

14
Rustopo, Jawa Sejati: Otobiografi Gi Tik Swan Hardjonagoro, (Jakarta: Ombak & Yayasan Nabil, 2008) hlm. 8
15
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa. Hlm. 142
16
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa. Hlm. 143
17
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa, hlm. 145
Setelah Ki Ageng Pandan Arang II mendapat kanugrahan, kemudian tinggal di
Gunung Jabalkat, di Tembayat dan kemudian diberi gelar Sunan Pandanarang atau
Sunan Tembayat.
Di Demak para Wali mengadakan musyawarah, Sunan Kalijaga diminta agar
mencarai seorang Wali lagi, untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Klaten.
Meskipun sudah mempunyai calon, tetapi karena belum diuji, SunanKalijaga belum
mau menyebutnya. Calon ini adalah Kyai Ageng Pandhanarang II.18
Ki Ageng Pandhanarang II menjadi pengganti dari Syeh Siti Jenar maka
daerah dakwahannya juga di daerah-daerah yang yang menjadi medan dakwah
Pangeran di Lemah Abang. Cerita-cerita babad menyebutkan bahwa Syeh Siti Jenar
pernah berhubungan dengan para pembesar di Pengging, Tingkir, Butuh, Banyubiru
dan Ngerang. Maka tidak aneh, walaupun tadinya dari Semarang di pesisir utara
sampai akhirnya melesat ke selatan jauh sampai di Tembayat dan tinggal di Gunung
Jabalkat.
Ki Ageng Pandhanarang II melakukan perjalanan dari Semarang ke Tembayat
bersama istri tertuanya (Nyai Ageng Kaliwungu) dan anaknya yang masih kecil dan
yang dikemudian hari dikenal dengan nama Pangeran Jiwa. Dalam perjalanan Ki
Ageng Pandan Arang II dari Semarang menuju Bayat (Tembayat) menurut cerita
rakyat dan juga disebutkan dalam babad, Ki Ageng Pandanaran II memberi nama
beberapa tempat antara lain Salatiga, Boyolali, Wedi dan Kucur.19
Dalam perjalanan Ki Ageng pandan Arang II menuju Tembayat, beliau
mendapatkan seorang teman yaitu Ki Sambang dalan dan kemudian dikenal dengan
nama Syeh Domba. Syeh Domba tadinya adalah seorang perampok yang ingin
merampok Ki Ageng Pandan Arang II, namun dalam perkembangan berikutnya
menjadi sahabat Ki Pandan Arang II yang setia. Dalam Babad Tanah Jawi memang
ada hubungan antara Ki Ageng Pandan Arang II dengan Salatiga, yaitu ketika Ki
Ageng Pandan Arang II dan istrinya melakukan perjalanan dari Semarang menuju
Tembayat dan di tengah jalan dihadang oleh tiga penyamun, yang meminta harta
benda sebagai bekal perjalanannya. Kyai Ageng menerangkan bahwa yang membawa
harta benda adalah istrinya. Kalau diperlukan kekayaan tersebut boleh diminta
18
Soewignja, Kyai Ageng Pandanarang, hlm. 10
19
Soewignja, Kyai Ageng Pandanarang, hlm. 13
semuanya, asal saja orangnya jangan diganggu. Ketiga perampok itu menurut dan
merebut tongkat Nyai pandan Arang. Nyai sangat terkejut dan lari sambil berteriak-
teriak: “ Kyai neda tulung kula, wong telu salah kang ati” ( Kyai ada tiga orang
berhati salah. Tolonglah Kyai). Kemudian oleh Ki Ageng Pandan Arang II tempat
Nyai Pandan Arang dirampok diberi nama Salatiga.20
Dalam Babad Tanah Jawi juga dituliskan ada hubungan antara Ki Ageng
Pandan Arang II dengan Boyolali. Dalam perjalanan menuju Tembayat akibat
gangguan perampok, Nyai Pandan Arang semakin tertinggal jauh di belakang Ki
Ageng Pandan Arang II. Nyai Pandan Arang mengejar Ki Ageng Pandan Arang II
sambil sesekali berseru memanggil-manggil namanya, tapi tidak didengar. Sampai
disuatu desa Nyai Pandan Arang istirahat dan berkata dalam hati: “ Boya lali laki
mami, adarbe garwa marang sun (Apakah Kiai lupa beristrikan aku?), kemudian
tempat itu diberi nama Boyolali. Nama Boyolali juga bisa diartikan lain, Perjalanan
panjang Ki Ageng Pandan Arang II menuju Tembayat memerlukan istirahat
dibeberapa tempat yang dilaluinya, termasuk di desa Boyolali. Istirahat itu biasa
berlangsung satu atau dua malam. Ki Ageng Pandan Arang II yang terkenal kaya dan
istrinya banyak, pada waktu itu belum menjadi orang suci. “Boya lali laki mami,
adarbe garwa marang sun” dapat ditafsirkan juga bahwa Ki Ageng Pandan Arang II
memang melupakan istrinya karena hatinya tertambat pada seorang perempuan dari
desa yang disebut Boyolali. Ini memang tidak diceritakan secara eksplisit dalam
babad, tetapi kemungkinan besar, selama istirahat di desa “Boyolali” Ki Ageng
Pandan Arang II meninggalkan benih pada rahim perempuan desa itu.
Peranan Sunan pandanaran dalam penyebaran agama Islam di daerah Klaten
diantaranya adalah Sunan Pandanaran telah memakmurkan Masjid, sesuai dengan
amanat Sunan Kalijaga yang memerintahkan Sunan Pandanaran untuk menjaga
Masjid yang ada di Gunung Jabalkat. Selain itu Sunan Kalijaga juga mengijinkan
Sunan Pandanaran untuk mendirikan Padhepokan. Masjid yang dirawat oleh Sunan
Pandanaran adalah masjid yang sekarang dikenal sebagai masjid Golo, tetapi
bangunan Masjid Golo sekarang sudah tidak asli lagi, karena telah banyak direnovasi.
Selain itu peranan Sunan Pandanaran dalam penyebaran agama Islam di daerah

20
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa, hlm. 145
Klaten adalah Sunan Pandanaran menjadi seorang Ulama. Karena Sunan Pandanaran
adalah murid dari Sunan Kalijaga maka dalam menyebarkan agama Islam Sunan
Pandanaran mengikuti caracara yang digunakan oleh Sunan Kalijaga. Prinsip-prinsip
yang diterapkan adalah dengan membiarkan dulu adat-adat yang sukar dirubah dan
kepercayaan lama itu sangat berat berubah dengan jalan kekerasan dan tergesa-gesa.
Dan berusaha untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan masyarakat
dengan harapan agar agama Islam yang baru saja dikenalkan bias diterima oleh
masyarakat. Dalam menyebarkan agama Islam Sunan Pandanaran menggunakan
metode musyawarah.
Penutup
Penyebaran Islam dari Pesisir Demak Ke Pedalam Klaten dilakukan oleh tokoh
utamanya yaitu Sunan Bayat. Dia merupakan Adipati Semarang yang menggantikan
ayahnya Ki Ageng Pandanarang I. Dia Juga tokoh utama dalam proses Islamisai
Semarang dan sekitarnya karena dia mewarisi kepemimpinan ayahnya di wilayah
Semarang. Sebelumnya dia adalah Bupati Semarang yang sangat gila harta sehingga dia
mendapatkan teguran Sunan Kali Jaga kemudian mendapatkan tugas menyebarkan Islam
di Klaten dan sekitarnya.
Dalam perjalanan dari semarang ke Klaten, dia dipercaya menamai sejumlah
kota-kota di Pedalaman. Antara lain yaitu Kota Salatiga dan Boyolali. Dimungkin juga
dalam perjalanan dari Semarang ke Klaten, Sunan Bayat juga sempat menyebarkan
agama Islam di daerah yang dilalui tersebut.
Tokoh yang tak kalah penting dalam penyebaran agama Islam ke Pedalaman
adalah Jaka Tingkir (Sultan Hadi Wijaya). Argument ini berdasarkan karena Jaka Tingkir
merupakan Raja yang memindahkan pusat kekuasaan di Demak ke Pajang (Surakarta).
Daerah kekuasaan Jakarta Tingkir saat itu adalah Surakarta, boyolali, Salatiga dan
sekitarnya. Dia mewarisi kekuasaan ayahnya sebelum mendirikan kerajaan Pajang.
Namun kekuasaan kerajaan Pajang tidak berlangsung lama karena kemudian diambil alih
oleh kerajaan Mataram. Selain itu sebelumnya sudah ada tokoh yang kontraversial yaitu
Syekh Siti Jenar yang menyebarkan Islam di daerah yang sama sebelum dia dihukum
mati Wali Songo dan perannya sebagai Wali Songo kemudian diganti oleh Sunan Bayat
(Ki Ageng Pandanarang II).
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang menyebarkan agama Islam di
Wilayah lokal masing-masing. Tokoh-tokoh itu adalah Mbah Hasan Munadi dan Imam
dipuro di Gunung Ungaran, Ki Ageng Wono Kusomo Di Salatiga, Sunang Geseng Di
Magelang, Maulana Magribi di Gunung Merbabu, dan Ki Ageng Gribik di Boyolali.
Tetapi tokoh-tokoh masih sulit dicari refrensinya.

Daftar Pustaka
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014)
Hamid Akasah, Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak, (Surabaya:
Cipta Adi Grafika, tt)
Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012)
Moch Djamaluddin Achmad, Napak Tilas Auliya’: Sekilas Sejarah Penguasa Mataram,
(Jombang: Pustaka Al-Muhibbin,2001)
Rustopo, Jawa Sejati: Otobiografi Gi Tik Swan Hardjonagoro, (Jakarta: Ombak &
Yayasan Nabil, 2008)
Soewignja. Kyai Ageng Pandanarang. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1978)
Suwito Santoso, Babad Tanah Jawa (Yogyakarta: Galuh Mataram, 1988)
Taufik Abdullah (Ed), Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara, (Jakarta:
LP3ES, 1989)

Dinamika Tarekat di Nusantara

Oleh : Lukmanul Khakim


Pendahuluan

Islam masuk ke Indonesia mulai sekitar abad ke 13. Setidaknya ada empat teori yang
berkaitan dengan Islamisasi di Nusantara. Teori yang berkembang di kalangan para ahli adalah
teori Arab, teori Persia, Teori India dan Teori China. Adapun pihak-pihak yang menyebarkan
Islam ke Nusantara menurut pendapat para ahli adalah para pedagang.

Salah satu ciri yang mencolok dalam perkembangan Islam di Nusantara adalah nuansa
mistik yang begitu kuat di kalangan umat Islam. Corak tasawuf inilah sebagaimana para ahli
berpendapat mendominasi dalam proses Islamisasi di Nusantara. Islamisasi di Nusantara dimulai
dalam masa ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang mendominasi di Dunia Islam. 21 Hal
serupa juga dijelaskan oleh Azumardi Azra bahwa para sufi berhasil mengislamkan sejumlah
besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke 13. Menurut John banyak sumber lokal
mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan
karakteristik sufi yang kental.22

Di Indonesia sendiri, subur dengan organisasi-organisasi Islam yang telah tumbuh dan
berkembang pesat. Begitu juga organisasi tarekat berkembang pesat bahkan menjadi sebuah
organisasi yang mendapat sambutan yang sangat baik dan mendapat perhatian yang cukup besar
oleh pemerintah. Baik ketika masa kolonialisme maupun setelah masa kemerdekaan. Tarekat di
Indonesia cukup variatif dan jumlahnya cukup banyak. Didalam makalah ini akan membahas
dinamika sosial, politik dan ekonomi yang telah di alami oleh tarekat di Nusantara.

A. Tarekat dan Pembentukan Keorganisasian

21
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafido Persada, 2015), Cet 1, hlm. 219
22
Azumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta:
Mizan, 1999), hal. 32-33
Tarekat berasal dari bahasa Arab adalah  “  ‫ طريقـة‬/thariqah ”, jamaknya ‫ ئيق طرا‬/tharaiq,
yang berarti: Jalan. 23
Sedangkan menurut istilah Secara Terminologi (istilah)Tarikat adalah
Jalan yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan
(mu’tabarah, zikir, wirid, dan sebagainya).24 Menurut Ensiklopedi Islam tarekat berarti ;
“perjalanan seorang saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau
perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat
mungkin kepada Tuhan. 25 Sedangkan mu’tabarah menurut bahasa artinya adalah dianggap
sah atau diakui, Menurut Sri Mulyati, salah satu tolok ukur yang sangat penting bagi sebuah
tarekat muktabarah (dianggap sah) atau tidaknya yaitu adanya unsur silsilah.26

Tarekat mempunyai arti yaitu jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai
dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh Sahabat dan
Tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru secara berantai. 27 Dalam bukunya Martin
Van Bruinessen, dalam kaitannya dengan sufisme tarekat merupakan sebuah jalan yang
ditempuh oleh para sufi untuk dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Secara khusus
pengertian tarekat mengacu pada sistem latihan mediasi maupun amalan (muraqabah, zikir,
wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang
tumbuh di seputar metode sufi yang khas.28

Jadi pada dasarnya, kekeluargaan tarekat terdiri dari syaikh, syaikh mursyid, mursyid,
murid,  ribath (tempat latihan), kitab-kitab, baiat, metode/ajaran, dan silsilah. Dari unsur-
unsur di atas, salah satu yang menjadi kartu nama dan legitimasi sebuah tarekat adalah
silsilah. Silsilah ini menjadi tolok ukur sebuah tarekat itu mu’tabarah.29

Pemakaian istilah tarekat dalam sufisme terdapat dua tujuan teknis yang berurutan.
Pertama yaitu pada abad ke-9 dan 10 Masehi, tarekat adalah sebuah metode psikolog moral
sebagai bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Periode
23
Menurut kamus al munawwir
24
Sri Mulyani, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media, 2005)
hlm.9.
25
Ensiklopedi Islam, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta  :  PT Ichtiar baru van hoeve, 1997),
Cetakan IV, Jild 5 hlm. 66
26
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah di Indonesia, hlm. 9
27
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1990), hlm. 67
28
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey Historis. Geografis, dan Sosiologis,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 15
29
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah di Indonesia, hlm. 9
kedua sesudah abad ke-11 Masehi, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tata cara latihan
spiritual tertentu bagi bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan
Muslim.30 Pada pembahasan selanjutnya menimbulkan adanya dua pengertian tarekat yaitu:

1. Tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani
kehidupan tasawuf secara pribadi yang bertujuan untuk mencapai suatu tingkatan
kerohanian tertentu.
2. Tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi yang didirikan menurut aturan yang
telah ditetapkan oleh seorang Syekh yang menganut suatu aliran tertentu.31

Pertumbuhan tarekat telah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4 seperti al-Malamatiyah yang
didirikan oleh Hamdun al-Qashshar, atau Thaifuriyah yang mengacu pada Abu Yazid al-
Busthami ataupun al-Khazzaziyyah yang mengacu pada Abu Said al-Khazzaz. Namun
tarekat ini masih dalam bentuk yang sederhana dan bersahaja. Perkembangan dan kemajuan
tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7. Yang pertama kali mendirikan tarekat pada
periode ini adalah Syaikh Abdul Qadir aj-Jailani pada awal abad ke-6 lalu disusul tarekat
lain. Semua tarekat yang berkembang dalam periode ini merupakan kesinambungan dari
tasawuf sunni (khuluqi amali) al-Ghazali.32

Terbentuknya kelembagaan tarekat merupakan kelanjutan dari para pengikut aliran


sufisme. Secara historis sulit untuk menentukan kapan organisasi tarekat muncul dan tarekat
yang mana pertama kali. Hamka menduga bahwa tarekat Thaifuriyah yang muncul pada
abad ke-9 di Persia merupakan tarekat yang paling awal muncul sebagai sebuah lembaga
pengajaran tasawuf. Tarekat ini dikaitkan dengan Abu Yazid al-Busthami yang berkembang
luas di Persia, terutama di Khurusan.33

Adapun tarekat yang paling masyhur dan berkembang di Dunia Islam sejak abad ke-12
(abad 6 H) antara lain yaitu:

30
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 231
31
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004),
hlm. 121
32
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Nusantara,: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi (Depok: Pustaka Iman,
2009) cet. I, hlm. 183-184
33
Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatra
Utara, 1981), hlm. 275
1. Tarekat Qadiriyah (dihubungkan kepada Syekh Abduk Qadir al-Jailani yang wafat di
Irak 1161 M/561 H). mempunyai penganut di Irak, Turki, Turkestan, Sudan, Cina,
India dan Indonesia.
2. Tarekat Rifa’iyah (Dihubungkan kepada syekh Ahmad ar-Rifa’I yang juga wafat di
Irak pada 1182/578 H). mempunyai pengikut di Irak dan Mesir.
3. Tarekat Syaziliyah (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Asy-Syadzili yang wafat di
Mesir pada 1258/658 H).
4. Tarekat Mauliyah (dihubungkan kepada Syekh Maulana jalaludin ar-Ruhmi yang
wafat di Konya Turki pada 1273/672 H).
5. Tarekat Naqsabandiyah yang dihubungkan kepada Syekh Bahauddin An-Naqsabandi
yang wafat di Bukhara pada tahun 1389 M/791 H.
6. Tarekat Syatariyah yang dihubungkan kepada Abdullah Asy-Syattari wafat di India
pada 1236 M/633 H.34
7. Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin
Mukhtar at-Tijani (1150-1230/1737-1815 M) meninggal di Maroko.
8. Tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani
asy-Syafi’i as-Samman (1130-1189 H/1718-1775 M).
9. Tarekat Alawiyah didirikan oleh Imam Alawi bin Ubaidillah bin Muhammad Ahmad
al-Muhajir.35
B. Perkembangan Tarekat Di Nusantara
Para pembawa dan penyebar tarekat ke Nusantara adalah ulama Jawi maupun Melayu
yang menuntut ilmu di Haramain. Selain menuntut ilmu, para Ulama’ juga mempelajarai
tasawuf yang memang berkembang pesat di Haramain. Perkembangan tarekat di Nusantara
sangat terkait dengan perkembangan tarekat di Haramain.
Tarekat Qadiriyah merupakan tarekat yang pertama yang masuk ke Nusantara. Argument
ini dikemukakan oleh Martin van Bruinessen berdasarkan penelusuran syair-syair Hamzah
Fansuri. Martin berkesimpulan bahwa Hamzah Fansuri merupakan orang melayu yang
pertama menganut Tarekat Qadiriyah. Selain itu tarekat Qadiriyah merupakan tarekat

34
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm.311
35
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,2015) cet III, hlm 315-316
pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Bahkan ada indikasi bahwa syekh
Yusuf Singgah di Aceh dan masuk tarekat Qadiriyah. 36
Tarekat Qadiriyah sangat mungkin berkembang dan membuat cabang baru karena
seorang mursyid diberi wewenang untuk mengembangkan amalan wirid tersendiri dan tidak
lagi terikat dengan metode riyadhoh yang diberikan oleh mursyid terdahulu. Maka hal itu
membuat tarekat ini berkembang pesat di Nusantara. Bahkan dapat kita jumpai para Mursyid
dan pengikutnya memakai namanya sendiri dalam sebuah cabang tarekat sebagai identitas
tarekat yang dikembangnya seperti Qadiriyah-Khalwatiyah dan Qadiriyah Naqsabandiyah.37
Selain tarekat Qadiriyah, juga berkembang tarekat Syattariyah. Adapun salah satu Ulama
yang menyebarkan tarekat Syattariyah adalah Abdul al-Rauf al-Sinkili. Menurut Martin38,
Syattariyah merupakan tarekat yang relatif mudah terpadu dengan berbagai tradisi setempat,
sehingga menjadi tarekat yang “membumi” diantara tarekat yang ada. Melalui Syattariyah,
berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas
ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan popular jawa.
Tarekat Syattariyah di Sumatra barat disebarkan oleh Burhanuddin Ulakan yang
merupakan murid al-Sinkili. Sementara itu, tarekat Syattariyah di Jawa barat disebarkan oleh
Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan yang juga merupakan murid al-Sinkili. Tarekat ini
berkembang di Tasikmalaya, Purwakarta, Ciamis, Cirebon, Kuningan dan sebagainya.
Adapun mursyid tarekat di Cirebon yaitu P.S Sulediningkrat yang merupakan keturuna sunan
Gunung Jati dan Mbah Muqayyim seorang penghulu keraton serta pendiri pesantren Buntet.
Syekh Yusuf al-Maqassari di pandang sebagai orang yang pertama mengembangkan
tarekat Khalwatiyah di Nusantara. Gelar mahkota “al-Taj al-Khalwati” dimungkinkan bahwa
dia-lah orang pertama yang memperkenalkan tarekat ini ke Nusantara. Walaupun demikian,
ada indikasi bahwa tarekat yang diajarkan oleh al-Maqassari merupakan gabungan dari
berbagai tarekat yang Dia pelajari. Hal itu mungkin sangat karena Yusuf al-Makassari adalah
Ulama yang menganut berbagai macam tarekat yang ada. Walaupun demikian, Khalwatiyah
tetap menjadi ajaran yang dominan. Tarekat ini kemudian dikenal dengan Tarekat
Khalwatiyah Yusufiyah.39
36
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2015) cet II, hlm.
255
37
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 229
38
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, 194
39
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 232
Syekh Yusuf al-Makassari (1626-1699), selain dipandang sebagai pengungsung tarekat
Khalwatiyah, Dia juga dipercaya berafiliasi pada tarekat Naqsabandiyah. Teks
Naqsabandiyah karya Syekh Yusuf al-Makassari yang paling eksplisit adalah ar-Risalah al-
Naqsabandiyah. Mungkin saja al-Makassari bukan orang pertama yang menganut tarekat
Naqsabandi di Indonesia. Namun dia adalah orang pertama yang menulis tentang tarekat ini,
karena dia dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsabandi di
Indonesia.40
Tarekat Naqsabandiyah di Minangkabau berkembang atas jasanya Syekh Ismail al-
Khalidi al-Kurdi sehingga tarekat ini dinamakan Naqsabandiyah Khalidiyah. Tokoh lainnya
adalah Jalaluddin dari Canting, Abd al-Wahhab, dan Tuanku Syekh Labuan di Padang. Di
Riau, perkembangan tarekat Naqsabandiyah di lakukan oleh Muhammad Yusuf.41
Di Pontianak,telah dikenal tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Orang pertama kali yang
memperkenalkan tarekat ini adalah Utsman al-Puntiani atau al-Sarawaki. Tokoh lain dari
tarekat ini adalah Muhammad Murad al-Qazani.42
Tarekat Naqsabandiyah Mazariyah di Madura sangat unik sekali. Hal itu dikarenakan
terdapat Mursyid tarekat perempuan. Beberapa diantaranya adalah Nyai Thabibah yang
mendapatkan ijazah dari Ali Wafa. Tokoh mursyid perempuan lain adalah Syarifah Fathimah
di Sumenep. Dia putri dari Habib Muhammad dan dibait masuk tarekat oleh Kyai Sirajudin
serta mendapat ijazah dari Kyai Syamsudin dari Umpul.43
Di Jawa Tengah , cabang-cabang Naqsabandiyah hampir semua khalifah berasal dari
Sulaiman Zuhdi, Muhammad Ilyas dari Sukaraja Banyumas dan Muhammad Hadi dari Giri
Kusuma. Di Klaten tarekat Naqsabandiyah di sebarkan Oleh Kyai Mansur yang merupakan
anak dari Muhammad Hadi. Kyai Mansur juga mendirikan pondok di Popongan dan
menjadikan salah satu basis pusat perkembangan Naqsabandiyah di Jawa Tengah. Dalam
perkembangan selanjutnya tersebar ke beberapa daerah yaitu Banyumas, Rembang, Blora,
Purwakerto, Cirebon, Kediri dan Blitar.44
Tarekat Sammniyah pertama kali muncul di Palembang. Adapun ulama’ pertama yang
memperkenal tarekat ini adalah Abdul al-Sammad al-Palimbani. Kemudian Kemas H.
40
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 233
41
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 234
42
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 235
43
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 185
44
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 236
Ahmad membuka cabang dan menyebarkan tarekat Sammaniyah di Sumatra Selatan. Ki
Agus H. Muhammad Akib (1760), juga menyebarkan tarekat ini di Palembang bahkan
mendapatkan dukungan Keraton.45
Syekh Ahmad Khatib ibn Abd al-Ghaffar (1805-1875) dari Sambas, Kalimantan
mendirikan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Dia sangat terkenal di Haramain pada abad
ke 19. Menurut van Bruinessen, penggabungan antara tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah
ini bukan semata-mata menggabungkan dua aliran tarekat yang berbeda yang diamalkan
bersama-sama. Lebih dari itu penggabungan ini memunculkan tarekat sufi yang independen
yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsabandiyah telah dipadukan
menjadi sesuatu yang baru.46 Setelah Syekh Khatib wafat, Abdul Karim dari Banten ditunjuk
sebagai Syekh tertinggi tarekat tersebut.47
Dua khalifah utama lainnya adalah kyai Thalhah di Cirebon dan Kyai Ahmad Hasbullah
seorang Kyai dari Madura. Syekh Abd al-Karim merupakan pimpinan pusat terakhir tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah. Sejak wafatnya Abd al-Karim, tarekat ini terpecah menjadi
sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri yang berasal dari ketiga orang khalifah
tersebut.48 Menurut Zamakhsyari Dhofier, pada tahun 1970 terdapat empat pusat tarekat
Qadiriyah Naqsandiyah di Jawa yaitu:
1. Rejoso Jombang yang dipimpin oleh Kyai Tamim dengan silsilah Ahmad Hasbullah.
2. Mranggen Demak yang dipimpin oleh Kyai Muslih yang mengambil jalur silsilah
Syekh Abd al-Karim Banten.
3. Pagentongan Bogor yang dipimpin oleh Kyai Thahir juga mengambil jalur silsilah
Syekh Abd al-Karim Banten.
4. Suryalaya Tasikmalaya dibawah pimpinan K.H Shahibul Wafa’ Tajul Arifin (Abah
Anom) dari jalur Kyai Thalhah.49

Tarekat lain yang masuk ke Indonesia adalah Tijaniyah. Tidak diketahui secara pasti
kapan awal masuknya tarekat tijaniyah ke Indonesia. Namun ada dua fenomena yang
menunjukkan gerakan awal tarekat tijaniyah di Indonesia yaitu kehadiran Syakh Ali bin
Abdullah al-Thayyib al-Azhari dan adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren
45
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 237-238
46
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 89
47
Zamakhsyari Dhofiet, Tradisi Pesantren: Studi atas Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 90
48
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 196
49
Zamakhsyari Dhofiet, Tradisi Pesantren, hlm. 90
Buntet Cirebon. Pemimpin pesantren Buntet saat itu adalah Kyai Abbas dan Kyai Anas
(adik Kandung Kyai Abbas). 50

Dari sekian banyak tarekat yang berkembang di Nusantara pernah terjadi gesekan-
gesekan. Seperti di Minangkabau terjadi gesekan antara tarekat Naqsabandiyah dengan
Sattariyah yang telah berkembang lebih dahulu. Para pengikut Naqsabandiyyah menuduh
para pengikut tarekat Sattariyah sering mengucapkan lafal Arab yang keliru. Arah kiblat
kaum Syattariyah pun dianggap tidak ditetapkan dengan tepat. Merekapun sering
berselisih paham tentang penetapan awal bula puasa. Para pengikut tarekat
Naqsabandiyyah juga mendirikan masjid baru di beberapa tempat karena kurang puas
dengan cara imam masjid kelompok lain.51

Pergesekan antar tarekat juga terjadi antara tarekat Tijaniyyah dengan tarekat yang
lain (Qadiriyah, Naqsabandiyyah, Syadziliyyah, Syattariyyah dan Khalwatiyyah). Hal itu
disebabkan ajaran Tijaniyyah yang kontravesial yaitu mengklaim al-Tijani sebagai
Khatim al-Aulia yang menerima talqin secara barzakhi dari Rasulullah. Sikap eksklusif
ini melarang murid-murid mengunjungi makam para Syekh tarekat dan melarang para
murid menjadi anggota tarekat lainnya52.

Antara tahun 1928-1931 terjadi pertentangan dalam bentuk selebaran yang berisi
tuduhan-tuduhan terhadap tarekat Tijaniyyah. Sebaliknya kelompok Tijaniyyah menuduh
musuhnya sebagi pengikut Wahabiyyah. Dalam konflik ini Tijaniyyah mendapat
pembelaan dari H. Suja’i Tasikmalaya sedangkan yang anti Tijani mendapatkan rujukan
ulama’ dari Madinah yaitu Sayyid Abdullah Dahlan yang datang ke Cirebon tahun
1928.53 Konflik ini berdampak pada pertentangan Pesantren Buntet sebagai pusat
Tijaniyyah dengan pesantren Benda Kerep yang anti Tijani pada tahun 1930, meskipun
keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. Pada tahun itu juga kedatangan Syekh
Ahmad Ghanaim dari Mesir yang datang ke Pesantren Tebuireng yang juga menyatakan
penentangannya terhadap Tijani. Alasannya adalah pendakwah Tijani menjamin
pengikutnya masuk surga. Konflik ini mulai mereda setelah muktamar NU keenam tahun

50
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 243-244
51
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm 178-179
52
Syamsuri, Tarekat Tijaniyyah: Tarekat Eksklusif dan Kontraversial, (Jakarta: Kencana, 2004) Hlm. 226-227
53
Syamsuri, Tarekat Tijaniyyah: Tarekat Eksklusif dan, hlm. 227
1984 yang menyatakan keabsahan tarekat ini meski masih ada sebagian kalangan yang
menentangnya yang menganggap tarekat kontraversial.54

Pada perkembangan selanjutnya tarekat-tarekat di Nusantara banyak sekali, ada


tarekat-tarekat yang merupakan induk, diciptakan oleh tokoh-tokoh tasawuf aqidah, dan
ada tarekat-tarekat yang merupakan perpecahan dari tarekat induk tersebut, yang sudah
dipengaruhi oleh syeikh-syeikh tarekat yang mengamalkannya sebagaimana yang penulis
jelaskan di atas. Diantara perpecahan tarekat-tarekat itu disusun dalam atau diberi istilah-
istilah yang sesuai dengan tempat perkembangannya sebagaimana yang telah penulis
terangkan di atas. Kemudian dalam perkembangannya di Indonesia sekarang, sudah
tercatat ada 45 tarekat mu’tabarah.55

C. Tarekat dan Dinamika Sosial Politik


Secara umum Tarekat memang mempunyai tujuan yaitu untuk membimbing seseorang
semakin dekat dengan Tuhan melalui tahapan-tahapan maqam yang telah dibimbing seorang
mursyid. Tarekat sebagai gerakan sufisme juga mengandung potensi sebagai gerakan moral
yaitu menegakkan amar ma’ruf wa nahy an-munkar. Ini merupakan tanggung jawab seorang
muslim dalam menghadapi kondisi sosial politik yang tidak mendukung ajaran Islam dan
merugikan serta tidak memihak orang Islam. Maka dari itu muncullah perlawanan dari
kalangan pengikut tarekat sebagai basis gerakan protes dan gerakan politik. Gerakan ini
bahkan dikomando oleh sang Mursyid sendiri. Gerakan-gerakan sosial politik oleh kalangan
pengikut tarekat anatara lain adalah sebagai berikut ini :
1. Masa Kolonial
Syekh Yusuf al-Makassari salah seorang pemimpin tarekat Khalwatiyah, pernah
berperan sebagai pemimpin gerilya melawan Belanda. Setelah kembali dari Timur
Tengah, Dia tidak mau kembali ke tempat kelahirannya yaitu di Goa, Sulawesi Tengah
karena sudah diduduki Belanda. Dia tinggal di Banten dan menjadi penasehat utama
Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan dia menjadi menantu Sultan. Pengaruh kuat Syekh
Yusuf menimbulkan kedengkian putra Mahkota yaitu Sultan Haji. Kemudian Sultan Haji
dibantu pasukan kompeni berhasil melengserkan kedudukan ayahnya. Sultan Ageng
berhasil ditawan sedangkan Syekh Yusuf berhasil melarikan diri di pegunungan-

54
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 227-228
55
Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.110
pegunungan Jawa Barat selama dua tahun. Kemudian berhasil ditangkap pada tahun 1683
dan terakhir diasingkan di Tanjung Harapan Afrika Selatan sampai meninggal dunia
tahun 1899.56
Di Palembang perlawanan pengikut tarekat dengan Belanda di pimpin oleh Abdul
Shammad al-Palimbani. Dia adalah pemimpin tarekat Sammaniyah yang sangat
berpengaruh di Palembang. Perlawanan pengikut tarekat di Kesultanan Palembang terjadi
pada tahun 1819 sekitar satu abad setelah Syekh Yusuf. Abdul Shammad al-Palimbani
adalah seorang sufi yang militan dan tidak mengabaikan urusan dunaiwi. Semangat jihad
al-Palimbani sangat mempengaruhi para muridnya dan siap untuk berjihad secara fisik.57
Di Cilegon Banten, tarekat Qadiriyah Juga terlibat dalam gerakan perlawanan
terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Gerakan ini terjadi pada tahun 1888. Motivasi
dari pemberontakan ini merupakan campuran antara motif ekonomi, politik, sosial dan
agama. Motif ekonomi adalah adanya kerja paksa dan pajak yang sangat berat. Motivasi
sosial dan politik yaitu perilaku pegawai Belanda dan pribumi yang agak kasar serta tidak
menghormati sikap bebas orang-orang Banten. Aksi protes ini melibatkan empat tokoh
tarekat Qadiriyah. Mereka adalah Haji Abdul Karim al-Bantani yang merupakan seorang
Syekh pengganti Syekh Ahmad Khatib Sambas, K.H Tubagus Ismail keturunan Sultan
Banten, H. Marjuki Wakil Haji Abdul Karim sekaligus teman akrab Tubagus dan Haji
Wasid sebagai pemimpin pemberontakan.58
Pada tanggal 9 juli 1888, mulailah dengan kelompoknya melancarkan
pemberontakan bersenjata. Di Cilegon dia berhasil membunuh 17 orang, delapan di
antaranya orang belanda. Setelah dari Cilegon melanjutkan ke Serang. Di desa
Toyomerto59, peristiwa ini memakan 9 korban dari kelompok H .Wasid. di Banten
Selatan kelompok H. Wasid terbunuh 11 orang dan akhirnya 94 orang diasingkan. Dalam
pemberontakan ini sebenarnya Haji Marjuki tidak setuju dikarenakan rakyat belum siap
dan pemberontakan harus dilakukan dengan serentak di seluruh Indonesia. 60
Selang beberapa tahun kemudian timbul revolusi lain di Lombok tahun 1891 oleh
kaum Muslim terhadap penguasa lokal Hindu. Pemberontakan berlangsung tiga tahun
56
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 247-248
57
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 331-332
58
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 248-249
59
Desa yang Terletak antara Cilegon dan Serang
60
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Hlm. 249-250
dan diakhiri dengan pengiriman kekuatan tambahan ke Lombok dari provinsi lain.
Setelah penelitian yang seksama, akhirnya di ketahui bahwa pemimpin revolusi ini adalah
seorang syekh tarekat TQN.61 Adapun pemberontakan yang terjadi di Lombok dikenal
dengan nama pemberontakan Sakra (1841,1855, dan 1891, Congah Praya (1871), Perang
Lombok (1897) dan Congah Gandor (1897). TGH. Muhammad Ali Batu Sakra (w. 1892)
dan Guru Bangkol adalah diantara nama-nama yang terkenal sebagai pemimpin
pemberontakan.62 TGH Ali batu dikalangan penganut tarekat disebut sebagai salah satu
dari tiga khalifah TQN yang diangkat langsung oleh Syekh Abdul Karim. Sedangkan
Guru Bangkol adalah muridnya Ali Batu.63
Pada tahun 1903 di Sidoarjo Jawa Timur terjadi peperangan melawan belanda.
Adapun tokohnya adalah Syekh Hasan Mukmin sekaligus dia menjadi pemimpin
pemberontakan ini. Keterlibatan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah juga ditemukan
didalamnya karena pemimpinnya adalah murid Syekh Hasan Tafsir yang merupakan
seorang khalifah di Jawa Timur. Pemberontakan ini menimbulkan sikap curiga dan hati-
hati bagi pihak Belanda sehingga menimbulkan perlakuan yang buruk kepada tarekat dan
di sisi lain semakin bertambahnya jumlah pengikut tarekat di Indonesia.64
Kyai Kasan Mukmin adalah khalifah dari Kyai Hasar Tafsir dari Krapyak Lor
(dekat Yogyakarta) yang merupakan seorang guru tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah.
Kyai Hasan Tafsir inilah yang mendorong Hasan Mukmin untuk melancarkan
pemberontakan. Hal ini menimbulkan ketakutan akan datangnya pemberontakan yang
lebih luas di bawah pimpinan tarekat.65
2. Masa Setelah Kemerdekaan
Tarekat Siddiqiyyah merupakan salah satu tarekat yang berkembang di Nusantara,
namun asal usulnya tidak begitu jelas. Tarekat ini didirikan oleh Kyai Muhtar di Losari,
Ploso Jombang pada tahun 1958. Tarekat ini merupukan warisan dari Kyai Syuaib yang
pergi keluar negeri lalu kepemimpinannya diberikan kepada Kyai Muhtar. Tarekat ini

61
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, hlm. 191
62
Adil Fadli, Pemikiran Islam Lokal TGH. M. Shaleh Hambali Bengkel, (Lombok: Penerbit Pustaka, 2016), cet. I,
hlm. 40-41, dalam buku ini saya tidak menemukan kalau pemimpinnya merupakan muryid ataupun pengikut tarekat
seperti dalam keterangan bukunya Alwi Shihab
63
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam Di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus Terhadap Tuan Guru, (Jakarta:
Pusdiklat Dan Litbang Kemenag:, 2011) cet I Hlm. 280-281
64
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, hlm. 191
65
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994) cet II, hlm. 29-30
mulai menjadi penting dan menarik ratusan pengikut pada Tahun 1977 sebagai hasil dari
langkah-langkah Kyai Muhtar mendukung Golkar dalam pemilu 1977. Dukungan
terhadap Golkar ini mendapatkan sambutan yang baik oleh pejabat-pejabat daerah di
Jawa Timur yang memang memerlukan dukungan organisasi Islam. Sambutan baik dari
Pemerintah ini sebaliknya dapat menghasilkan daya tarik bagi orang tertentu untuk
masuk tarekat ini. Muslim Abdur Rahman menyebutkan bahwa banyak lulusan madrasah
dan universitas yang segera diangkat sebagai guru agama negeri setelah masuk menjadi
tarekat Siddiqiyyah.66
Di Indonesia, Golkar dan para Partai Politik sangat sadar akan potensi tarekat
sebagai “Gudang Suara”. Potensi ini telah menjadi pokok perhatian luas ketika Kyai
Musta’in Romli, tokoh tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) menyatakan
dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa 1970-an. Pernyataan ini
menimbulkan reaksi keras dari para Kyai lainnya yang menganggap sebagai
penghianatan terhadap NU.67 Kyai Musta’in Romli mewarisi jaringan luas cabang-cabang
tarekat sebagaian besar wilayah Jawa Timur dari ayahnya. Dia membangun relasi yang
sangat baik dengan pemerintah lokal dan komunitas bisnis Cina yang menarik lebih
banyak lagi pengikut. Pada tahun 1970 jumlahnya di seluruh jawa Timur mencapai
150.000. ini menjadikan kyai Musta’in orang yang diperhitungkan di Pemerintah Pusat.68
Pada tahun 1975, Kyai Musta’in Romli menyelenggarakan muktamar pertama
Jami’iyyah dengan mengumpulkan guru-guru tarekat dari seluruh Jawa. Muktamar ini
dibuka oleh Presiden Soeharto dan banyak pejabat lainnya. Hal ini merupakan sebuah
indikasi arti penting yang kemudian melekat pada tarekat ini. 69 Pertemuan ini dapat
dikatakan sebuah proses konsolidasi Kyai Musta’in dengan Golkar.
Ketika kyai NU menetapkan fatwa yang mengatakan bahwa memilih PPP sebagai
kewajiban agama, kyai Mustain Romli malah aktif berkampanye atas nama Golkar.
Alasan ketidakloyalan terhadap NU secara terang-terangan jelas sudah menjadi rahasia
umum. Kyai Musta’in menerima patronase mewah dari pemerintah sejak tahun 1960-an

66
Zamakhsyari Dhofiet, Tradisi Pesantren, hlm. 221
67
Waktu itu NU belum kembali ke Khittah
68
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 491
69
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 492
yaitu hadiah tanah yang luas sebagi tempat dia mendirikan Universitas swasta. Pesantren
dan Universitas menjadi makmur sebagai etalase pembangunan.70
Pesantren Tebuireng melopori usaha “penggembosan” pengaruh Kyai Musta’in.
sebagai hasil usaha ini sebagian besar khalifah dan badalnya pindah kiblat kepada kyai
Adlan Ali sehingga pemilu 1977 dan 1982 gudang suara besar itu dapat diserahkan
kepada Ka’bah ketimbang Pohon beringin. 71 Kyai NU memutuskan untuk menghukum
Musta’in atas penghianatannya dan mengajak para muridnya agar meninggalkannya.
Selain ke Kyai Adnan, juga banyak yang beralih kesetiaannya kepada Kyai Usman al-
Ishaqqi di Surabaya. Mustain kehilangan kendali atas sebagian besar jaringan tarekatnya
yang juga kemerosotan perannya di Pemerintah.72
Kepemimpinan KH. Adnan Ali73 secara formal diakui oleh NU ketika dia terpilih
sebagai pemimpin Jami’iyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdhiyah pada
Muktamar di Semarang pada tahun 1979. Ada dua poin yang penting berkaitan dengan
pembentukan JATMAN oleh NU. Pertama peristiwa ini menunjukkan hilangnya
legitimasi bagi KH. Musta’in baik sebagai pemimpin sebuah organisasi besar Jami’iyah
Ahli Thariqah al-Mu’tabarah yang dikelolanya sejak tahun 1957 maupun sebagai
pemimpin tarekat TQN. NU secara formal tidak lagi mengakui tarekat yang dipimpin
KH. Musta’in Romli meskipun beliau telah memimpin tarekat sebelum bergabung
dengan Golkar.74
Pada berkembangan selanjutnya, tarekat TQN di Cukir Jombang berhasil
mengelola dan mengkoordinir para mantan pengikut TQN yang dipimpin oleh Kyai
Musta’in. sejumlah besar mantan pengikut Kyai Musta’in bergabung dengan TQN Cukir.
Tarekat TQN Cukir mencapai 40.000 jamaah menurut keterangan Kyai Abdullah Sajad
sedangkan di Rejoso hanya berjumlah 15.000. jadi TQN Cukir sukses mensabotase
jama’ah dari TQN Rejoso. Catatan penting dari TQN Cukir adalah bahwa dia terus
mendukung PPP meskipun partai ini telah mengubah asas Islamnya menjadi pancasila

70
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 493
71
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 457
72
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, hlm. 493
73
Kepemimpinan KH Adnan Ali disahkan dan diberi wewenang (dengan bai’at dan ijazah irsyad) oleh tokoh
mursyid tarekat senior yaitu KH. Muslih dari Mranggen Demak.
74
Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah: Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Teras,
2011) hlm.154
dan NU secara formal membebaskan semua anggotanya dari keharusan afiliasi dengan
PPP. Bahkan gerakan sufi Jombang ini juga dikenal sebagai tarekat “Tarekat PPP”.75
Di Sumatra Barat, para syekh Naqsabandi menjadi aktivis Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti). Tetapi karena terjadi Konflik yang terjadi antara H. Jalaluddin 76 dengan
petinggi atau guru-guru senior Naqsabandiyah, maka Haji Jalaluddin mendirikan Partai
tandingan Perti yaitu Partai Politik Taraket Islam (PPTI). Dia berhasil menarik banyak
Syekh Naqsabandiyah lalu Jalaluddin berhasil memasukkan PPTI ke dalam struktur
Golkar sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili kelompok fungsional dari para
pengikut tarekat. Selama masa Orde Baru, ketika Golkar berperan sebagai partai
Pemerintah, PPTI tetap menjadi satu-satunya perkumpulan tarekat yang memperoleh
pengakuan pemerintah dan beragam fasilitas yang menyertainya.77
Di Kudus, terdapat Tokoh Mursyid TQN yang bergabung dengan Golkar. Dia
adalah KH. Muhammad Siddik. Dia bahkan menjadi juru kampanye (Jurkam) untuk
partai Golkar di daerah Undakan Kab. Kudus. Bahkan di kecamatan Undakan Golkar
menang mutlak. Dia menjadi tokoh yang melawan dalil-dalil pihak lawannya Golkar. Dia
sudah aktif di Golkar sejak tahun 1972. Kyai Siddik menunjukkan loyalitas terhadap
Golkar dan masuk ke dalam kampus-kampus di Kudus untuk mengajak para cendikiawan
bergabung dengan Golkar. Puncaknya dia terpilih menjadi anggota DPR Kabupaten
Kudus periode 1977-1982 dan 1987-1992.
Berbeda dengan fenomena di Jombang, Kyai Siddik dengan terpilihnya sebagai
DPRD Kabupaten Kudus berpengaruh besar terhadap posisinya sebagai mursyid tarekat
dan pimpinan pondok pesantren di Kudus. Oleh karena itu seiring dengan posisinya yang
kuat di politik maka bertambahlah murid tarekatnya dan santri di Pesantrennya. Sebagi
politisi yang sudah banyak makan “garam-asam”, kyai Siddik memanfaatkan kondisi ini
untuk memperkuat kharismanya sebagai politisi, kyai, pimpinan pondok pesantren, dan
mursyid tarekat TQN di Kudus.78 Bila kebanyakan tokoh sering gagal mengkombinasi
tarekat dengan politik, tidak demikian yang terjadi dengan KH. Muhammad Siddik, dia

75
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai Dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Lkis, 2003), hlm. 84
76
Dia seorang yang berpendidikan di Belanda, sebagai politisi cerdik, organisator dan ahli propaganda
77
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat, 488
78
Ma’mun Mun’in, tarekat dan Politik: kontraversi Peranan KH. M. Siddik dalam Golkar di Kudus Tahun 1972-
1997 (Semarang: Undip Tesis Fakultas Ilmu Budaya, 2013) hlm. 181
berhasil. Masyarakat secara umum merespon secara positif Beliau dengan terjun kedalam
politik Golkar.
Selain tokoh-tokoh tarekat di atas, juga ada mursyid tarekat Naqsabandiyah di
Petak Kab. Semarang yang agak aktif di Partai Politik. Dia adalah KH. Maghfur Sarmadi.
Awalnya aktif di PPP kemudian ketika muncul Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dia
pindah ke Partai PKB. Ketika tokoh NU ada yang mendirikan Partai Kebangkitan
Nahdhatul Ulama’ (PKNU), beliau juga aktif dalam sosialisasi PKNU. Tetapi tidak
seheboh dengan tokoh-tokoh tarekat di atas.
Seorang mursyid tarekat yang sangat berpengaruh dari Suryalaya Tasikmalaya
yaitu K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin yang lebih terkenal dengan sebutan Abah Anom
lebih bersifat kompromis terhadap pemerintah. Dia tidak secara praktis mengikuti
mainstream politik di dalam ranah partai. Dia lebih cendurung bersifat mendukung
progam-progam pemerintah baik masa orde lama maupun orde baru. Dalam hal ini, Abah
Anom dapat dikatakan sebagai koalisi senyap sebagai pendukung sayap pemerintah
(berkaitan erat dengan mendukung partai Golkar yang berlawanan dengan mainstream
kyai NU pada umumnya).
Sebagai bukti sifat komprominya terhadap pemerintah, pada tahun 1962-1966,
pesantren Suryalaya yang dipimpin Abah Anom menerima banyak tamu dari pejabat
tinggi, intelektual dan publik figur. 79 Bahkan Abah Anom pada zaman Presiden Soeharto
menjadi salah satu guru spiritualnya. Jadi dapat disimpulkan bahkan Abah Anom bersifat
kompromi terhadap pemerintah (dalam hal ini Partai Golkar) meskipun tidak secara
praktis. Bahkan berkat jasanya dia mendapatkan penghargaan Kalpataru dari presiden
Soeharto.
Suryalaya saat ini dikenal sebagai salah satu pusat TQN yang aktif dan dinamis.
Mursyidnya KH A. Shohibul Wafa Tajul Arifin(Abah Anom) telah berhasil
mengembangkan cabang-cabangnya, bukan hanya di Indonesia tetapi juga ke luar negeri,
seperti ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Abah Anom juga dikenal telah
mendesain kurikulum khusus praktik dzikir dan shalat untuk merehabilitasi remaja yang
kecanduan obat terlarang dan narkotika dengan membangun Pondok Inabah di beberapa
cabang TQN Suryalaya. Hingga sekarang, sekitar 23 Pondok Inabah telah berdiri di

79
Sri Mulyati, Peran edukasi Tarekat Qodiriyyah Naqsavabndiyyah Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 215
dalam dan di luar negeri. Abah Anom juga menetapkan wakil talqin, yaitu mereka yang
diamanatkan untuk menalqin (membaiat) atas namanya di daerah-daerah yang telah
ditunjuk. TQN Suryalaya sudah menunjuk 52 orang sebagai wakil talqin, di dalam dan
luar negeri. Wakil talqin bertujuan untuk memenuhi minat masyarakat luas yang ingin
masuk.80 Keberhasilan TQN di Pesantren Suryalaya dibandingkan dengan TQN di
Jombang dikarenakan di TQN Suryalaya tidak terlibat konflik yang berkepanjangan
dalam internal tarekat seperti yang dialami TQN di Jombang.
Dalam dinamika politik semacam ini, mau tidak mau komunitas tarekat
terpengaruh. Mereka yang sedang berjuang untuk meraih kursi kekuasaan akan
menempuh berbagai cara untuk mewujudkan ambisinya. Mengandalkan uang semata
tentu kurang maksimal. Dalam konteks semacam ini berbagai cara akan ditempuh,
termasuk bagaimana memeroleh dukungan komunitas tarekat. Dukungan dari seorang
Mursyid tarekat diyakini akan memiliki nilai politik yang strategis.81

Penutup

Organisasi tarekat awalnya memang dibentuk dan berkembang di Timur Tengah.


Organisasi tarekat merupakan sebuah wadah bagi seseorang yang ingin semakin
mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat mulai berkembang pada awal abad keenam
Hijriyah kemudian berkembang luas dan banyak tokoh yang mendirikan tarekat.
Kemudian tarekat berkembang di Haramain yang pada waktu memang menjadi pusat
keilmuan di Timur Tengah.

Adapun tarekat masuk ke Indonesia di bawa oleh Ulama Jawi maupun Melayu
yang belajar ke Haramain. Para Ulama Nusantara yang belajar ke Haramain dapat
dipastikan belajar tarekat. Kemudian membawanya ke Nusantara dan menyebarkan
kepada Muridnya. Di Nusantara tarekat juga menjadi basis bagi kelompok yang tidak
suka terhadap penjajah. Para guru tarekat memimpin langsung dalam perlawanan
melawan kolonial. Yang unik di Lombok revolusi tarekat tidak melawan kolonial tetapi
melawan penguasa Hindu saat itu. Sedangkan revolusi di Banten tidak hanya melawan
pihak Belanda tetapi juga melawan orang pribumi yang bekerja di Pemerintah Belanda
yang berlaku kasar terhadap rakyat Banten.
80
A. Aziz Mashuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf. .196-197
81
Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah, (Surabaya : Imtiyas, 2011) hlm. 149
Pada masa setelah kemerdekaan, dinamika tarekat di Nusantara hanya sekedar
pihak-pihak yang pro dengan Pemerintah dan pihak yang kontra dengan pemerintah.
Dalam hal ini dapat disederhanakan pihak yang ikut aliansi Golkar dengan PPP. Tarekat
di Nusantara yang di bawah naungan NU secara formal mendukung PPP tetapi terdapat
tokoh pentolan TQN yang mendukung Golkar. Hal ini memicu konflik diantara para
Mursyid tarekat. Ada kyai Mursyid tarekat yang setelah ikut politik (Golkar)
kharismanya semakin turun dan ada juga setelah ikut politik kharismanya semakin naik
bahkan pengikutnya semakin banyak. Itulah dinamika yang terjadi tarekat di Nusantara.
Meskipun terjadi perbedaan tetapi hanya pada tataran pemikiran saja.

Perbedaan TQN di Suryalaya dengan TQN di Jombang adalah TQN di Suryalaya


tidak terlibat konflik internal dalam tubuh TQN. TQN Suryalaya sebenarnya juga
mendukung Pemerintah (Golkar) seperti yang dilakukan olek Kyai Musta’in. Tetapi
perbedaannya adalah Kyai Musta’in secara terang-terang dan aktif mendukung partai
Golkar dan bahkan menjadi Juru Kampanye untuk Golkar. Sedangkan TQN Suryalaya
lebih bersifat pasif dan memberikan do’a restu untuk Golkar. TQN Suryalaya lebih
bersifat dinamis dengan mengembangkan tarekatnya ke luar negeri yaitu ke Malaysia,
Brunai dan Singapura. Wallahu A’lan Bis Sowab

Daftar Pustaka

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1990)
Adil Fadli, Pemikiran Islam Lokal TGH. M. Shaleh Hambali Bengkel, (Lombok: Penerbit
Pustaka, 2016)
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Nusantara,: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi (Depok:
Pustaka Iman, 2009).
Azumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII (Jakarta: Mizan, 1999)
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai Dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Lkis, 2003)
Ensiklopedi Islam, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta  :  PT Ichtiar baru van
hoeve, 1997), Cetakan IV, Jilid 5

Jamaludin, Sejarah Sosial Islam Di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus Terhadap Tuan Guru,
(Jakarta: Pusdiklat Dan Litbang Kemenag, 2011)

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2004)
Ma’mun Mun’in, tarekat dan Politik: kontraversi Peranan KH. M. Siddik dalam Golkar di
Kudus Tahun 1972-1997 (Semarang: Undip Tesis Fakultas Ilmu Budaya, 2013)
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994) cet II

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey Historis. Geografis, dan
Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992)
Menurut kamus al munawwir

Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafido Persada, 2015)
Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah: Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011)
Sri Mulyani, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah di Indonesia,( Jakarta:
Prenada Media, 2005)
Sri Mulyati, Peran edukasi Tarekat Qodiriyyah Naqsavabndiyyah Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010)

Syamsuri, Tarekat Tijaniyyah: Tarekat Eksklusif dan Kontraversial, (Jakarta: Kencana, 2004)

Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
IAIN Sumatra Utara, 1981)
Zamakhsyari Dhofiet, Tradisi Pesantren: Studi atas Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES,
1991)

Anda mungkin juga menyukai