Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TUGAS

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Bapak Tri Bambang Dosen Pendidikan


Pancasila

Oleh :

Gagas Duwi Harysdi (1505519026)

D3 Teknologi Mesin

Universitas Negeri Jakarta

2019

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. karena berkat
rahmat dan hidayahnya telah mempermudah dalam membuat makalah ini dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam penulis limpah curakan kepada baginda tercinta
kita yatu Nabi Muhammad SAW. yang kita nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat
nanti.

Penulis

Gagas Duwi Haryadi


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pancasila adalah nilai lima dasar luhur yang ada dan berkembang
bersama dengan bangsa Indonesia sejak dulu. Sejarah merupakan
deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-perisiwa masa
lampau yang berhubugan dengan kejadian masa sekarang dan
semuanya bersumber pada masa lampau. Hal ini berarti bahwa semua
aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan
masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berada dengan
masa sebelumnya.
Dasar negara merupakan alas, pijakan atau fundamen yang mampu
memberikan kekuatan terhadap berdirinya sebuah negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau
pijakan yaitu pancasila. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara,
yang merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara
Republik Indonesia, termasuk didalamnya seluruh unsur-unsurnya
yaitu pemerintahan, rakyat, dan wilayah. Pancasila dalam
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan da seluruh
kehidupan negara republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti yaitu mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai
pacasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada pancasila.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan

1.4 Manfaat
1. Mahasiswa dapat menambah wawasan pengetahuan akan pancasila
2. Mahasiswa dapat mengetahui fungsi dari pancasila di Negara Indonesia
3. Mahasiswa dapat mengetahui peran pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia
2.2 SEJARAH PANCASILA
Nusantara Sebelum Kedatangan Bangsa Barat
Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang
menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur
perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, yaitu.
1. Jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur
Sutra” (Silk Road) yang dimulai dari daratan Tiongkok (Cina) melalui
Asia Tengah, Turkistan hingga ke Laut Tengah. Jalur ini juga
berhubungan dengan jalanjalan yang dipergunakan oleh kafilah India.
Jalur ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan antara Cina
dan Eropa.
2. Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut
Cina kemudian Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia
melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut
Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Melalui jalur perniagaan laut komoditi ekspor dari wilayah Nusantara
menyebar di pasaran India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) yang terus
menyebar ke wilayah Eropa. Komoditi ekspor tersebut antara lain terdiri atas
rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan.
Sejak masa kerajaan lama (baik pada masa kejayaan Hindu-Budha
maupun Islam) pengaruh raja-raja atau sultan-sultan dari masing-masing
kerajaan dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak
sekedar sebagai pengontrol keamanan atau penarik pajak saja, namun sering
kali juga bertindak sebagai pemilik modal. Pada dasarnya dunia perdagangan
di wilayah Nusantara pada waktu itu mempunyai sifat politis dan
kapitialistik. Ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil
besar dalam meramaikan perniagaan Internasional pada kurun abad ke-7
hinga ke-15, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Keduanya
adalah kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu
kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan
internasional. Sriwijaya berhubungan dengan jalan raya perdagangan
internasional dari Cina ke Eropa melalui Selat Malaka.
Pada abad ke-7 hingga ke-13 kerajaan tersebut tumbuh dan
berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat, terutama
setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar
Selat Malaka. Sriwijaya mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat Selat
Malaka untuk singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan
tersebut sering dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, dan Cina
untuk memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri
yang dilaluinya. Barang-barang tersebut antara lain berupa tekstil, kapur
barus, mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan
sengkelat, perak, emas, sutera, pecah belah serta gula.
Selain sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya juga mempunyai kapal-
kapal sendiri untuk perniagaannya. Pelayaran kapal-kapal niaga Sriwijaya
meliputi Asia Tenggara sampai India, bahkan hingga Madagaskar. Dominasi
perdagangan Sriwijaya mulai mengalami masa surut ketika mendapat
serangan dari kerajaan Cola, India pada abad ke-11. Selanjutnya pada abad
ke-13 kedudukannya terdesak oleh kerajaankerajaan di Jawa Timur, terutama
Singosari dengan pemimpinnya Kertanegara yang mengirimkan ekspedisi
Pamalayu hingga ke Tumasik.
Akhirnya keberadaan Sriwijaya betul-betul hilang setelah Majapahit
mengirimkan ekspedisi ke wilayah itu. Sejak 1293 sampai 1500 Majapahit
yang berpusat di Jawa (Timur) tampil sebagai pengganti Sriwijaya. Pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit
mencapai puncak kekuasaannya. Kerajaan tersebut adalah kerajaan agraris
dan sekaligus merupakan kerajaan perdagangan. Dengan angkatan laut yang
kuat, wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Maluku hingga Sumatera
Utara. Perniagaannya tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai
saja, melainkan juga perdagangan seberang laut melalui Malak menuju
Samudera Hindia.
Pada saat yang sama, menurut Marcopolo, di Sumatera terdapat
kerajaan Tumasik dan Samudra Pasai. Pasai merupakan kerajaan Islam yang
mempunyai posisi kuat dalam bidang politik dan ekonomi sehingga mampu
mempertahankan kedaulatannya atas Malaka. Namun demikian Pasai
mengakui kekuasaan kerajaan Hindhu-Budha Majapahit di Jawa dan juga
kekaisaran Cina.. Sebagai pusat perdagangan, Pasai banyak melakukan
hubungan dagang dengan Gujarat, Benggala serta kota-kota pelabuhan di
pantai utara Jawa. Selain lada, Pasai juga mengekspor beberapa barang
dagangan lain, diantaranya yaitu sutra, kapur barus dan emas yang diperoleh
dari daerah pedalaman. Sedangkan sutra, orang-orang Pasai memperoleh
kemampuan mengolah sutra dari orang-orang Cina.
Jaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan
akan mata uang. Mata uang dalam bentuk perak, tembaga dan timah
merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah Asia,
termasuk Nusantara. Di wilayah itu terdapat keadaan terbuka yang lebih lama
bagi saudagar asing dan mata uang mereka, meski mata uang pribumi (lokal),
khususnya yang dari emas, juga banyak dicetak. Beberapa uang asing yang
telah beredar pada masa itu adalah uang Cina, Jepang, India dan Persia.
Pada rentang abad ke-9 sampai 13, beberapa kerajaan seperti Kerajaan
Kediri, Aceh dan Sulawesi telah mempunyai uang logam dari emas; kerajaan
di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten telah mempunyai uang
logam dari timah, perak dan tembaga. Emas pada masa itu menjadi alat ukur
nilai, selain itu berfungsi juga sebagai sarana untuk menabung dan tanda
status bagi seorang Raja. Namun demikian jauh sebelum masa itu,
masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana sebagai alat
pembayaran, seperti manik-manik di Bengkulu dan Pekalongan, gelang di
Majalengka dan Sulawesi Selatan, belincung di Bekasi, Moko di Nusa
Tenggara Timur, dan kerang di Papua.
Mata uang tembaga Cina, dan mata uang lokal yang terbuat dari timah,
merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin meningkat di
kawasan itu setelah tahun 1400 (abad ke-15). Mata uang Cina disebut dengan
uang cash (sansakerta), tetapi orang Portugis menyebutnya dengan caixa
khususnya untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor dan istilah tersebut
juga digunakan oleh bangsa Eropa, yang lainnya. Sedangkan masyarakat
Jawa menyebutnya dengan picis. Mata uang ini berbentuk bulat kecil
mempunyai lubang persegi ditengahnya agar dapat diikat menjadi satu bundel
senilai seribu (puon), enam ratus atau jumlah lainnya yang lazim dilakukan
masa itu.

Nusantara Sesudah Kedatangan Bangsa Barat :

Pada abad ke-15, Malaka mulai menggeser kedudukan Samudra Pasai


dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis, letak Malaka cukup
strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Malaka dikenal
sebagai pintu gerbang Nusantara yang terletak pada jalan silang antara
wilayah timur dan wilayah barat Asia. Sebagaimana Sriwijaya, Malaka dapat
dikatakan tidak memproduksi sendiri bahan-bahan hasil bumi atau
pertambangannya, tetapi mendatangkan dari wilayah lain. Namun dengan
kekuatan hubungan diplomatiknya dengan berbagai negara kuat seperti Cina,
Siam dan Majapahit, kerajaan Malaka berkembang menjadi emporium
terbesar di kawasan Asia. Terlebih lagi setelah penguasa Malaka menjadi
penganut Islam pada 1414, mendorong semakin banyak pedagang Islam dari
Arab dan India melakukan kegiatan perdagangan di Malaka.

Pesatnya perkembangan Malaka juga didukung oleh kebijakan yang


ditempuh para penguasanya. Mereka berusaha menumbuhkan sistem birokrasi
yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah
satu jabatan yang penting dan berkaitan erat dengan perdagangan di
pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka, terdapat empat syahbandar yang
dipilih secara langsung oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok
bangsa untuk mengurusi kepentingan mereka masing-masing. Kedudukan
strategis Malaka itu terdengar oleh orang-orang Portugis yang telah berhasil
mendirikan suatu kantor dagang di Goa, India. Untuk itu Affonso
d’Albuquerque, seorang panglima Portugis di Goa bermaksud mengadakan
hubungan dengan Malaka. Suatu utusan Portugis dipimpin oleh Lopez Squeira
pada 1509 tiba di Malaka untuk mengadakan hubungan dagang dengan
Malaka. Namun penguasa Malaka enggan untuk menerimanya, bahkan
mereka menyerang orang-orang Portugis yang tiba di Malaka saat itu. Hingga
akhirnya, dengan dipimpin langsung oleh Panglima Portugis, Affonso
d’Albuquerque, Portugis merebut Malaka pada 1511. Mereka berharap
dengan menguasai Malaka akan dapat merampas seluruh perdagangan merica
di Asia. Namun harapan mereka tidak terpenuhi, mengingat Malaka tidak
memproduksi hasil-hasil perdagangan (ekspor) apa pun, termasuk merica
yang mereka cari-cari selama ini. Tetapi Malaka semata-mata emporium yang
berfungsi sebagai pelabuhan transit bagi para pedagang di wilayah Asia.

Setelah menguasai Malaka, orang-orang Portugis melanjutkan


perjalanannya ke Maluku, tepatnya ke Banda yang merupakan tempat
pengumpulan rempah-rempah di Maluku. Di Banda Portugis mendapatkan pala,
cengkeh dan fuli. Rempah-rempah tersebut mereka tukar dengan bahan pakaian
dari India. Dengan ini suasana perdagangan yang ramai timbul di pulau Banda. Pada
1521 bangsa Spanyol datang dengan dua kapal melalui Filipina dan Kalimantan
Utara menuju kepulauan Maluku, yaitu Tidore, Bacan dan Jailolo. Kedatangan
mereka diterima dengan baik, ketika mereka pulang beberapa pedagang mereka
menetap di Tidore, tetapi mereka mendapat serangan dari Portugis. Kedatangan
bangsa Spanyol ke Maluku tidak disukai oleh bangsa Portugis, karena mereka tidak
menghendaki ada bangsa Eropa lain yang menjadi pesaing monopoli perdagangan
mereka di Maluku. Akan tetapi karena sikap baik yang ditunjukakan oleh bangsa
Spanyol, masyarakat Maluku lebih menyukai mereka daripada bangsa Portugis. Oleh
karena itu kapal-kapal mereka terus mengunjungi Maluku hingga 1534. Namun
karena adanya perjanjian dengan bangsa Portugis sejak tahun 1534, Spanyol
meninggalkan Maluku dan Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan
monopoli rempah-rempah di Maluku.

Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba giliran bagi orang Belanda,
Inggris, Denmark dan Perancis datang ke wilayah Nusantara. Secara khusus,
kedatangan bangsa Belanda didorong oleh dua motif yaitu ekonomi dan
petualangan. Pada 1585 ketika Portugal masuk daerah kuasa Spanyol maka peranan
bangsa Belanda sebagai pengangkut dan penyebar rempah-rempah di wilayah
Eropa terhenti.

Karena kehilangan mata pencaharian tersebut, bangsa Belanda


memutuskan untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari kepulauan
Nusantara. Pada 1595 armada bangsa Belanda, yang terdiri dari empat kapal
dagang, untuk pertama kalinya berlayar ke Hindia Timur dibawah pimpinan
Cournelis de Houtman. Armada tersebut sampai di Banten pada 1596. Karena
mengharapkan keuntungan yang berlimpah, permintaan Belanda kepada Banten
atas sejumlah besar lada diluar kemampuannya untuk membayar menimbulkan
ketegangan antara mereka. Kemudian Belanda meninggalkan pelabuhan Banten
dengan menembaki kota Banten. Sikap kasar tersebut menyebar ke seluruh
pelabuhan di pesisir utara Jawa, sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk
mengadakan hubungan dagang. Armada pertama tersebut hanya berlayar hingga
Bali dan pada 1597 mereka berhasil kembali ke Belanda dengan membawa banyak
rempah-rempah.

Tahun berikutnya, 1598 armada kedua Belanda yang terdiri dari Jacob van
Neck, Waerwijck, Heemskerck di Banten, tiba di banten dan diterima dengan baik
oleh penguasa-penguasa di sana. Hal tersebut disebabkan situasi Banten yang baru
saja mengalami kerugian akibat tindakan orang Portugis dan sikap bangsa Belanda
yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat Banten. Kedatangan bangsa
Belanda di pelabuhan Tuban dan Maluku juga mendapat sambutan yang baik
daripara penguasa setempat. Hampir setiap pulau di Kepulauan Maluku mereka
singgahi, bahkan mereka juga menempatkan orang-orangnya untuk menampung
hasil panen rempah-rempah. Kedatangan Belanda di Ternate juga diterima dengan
baik karena pada saat itu Sultan Ternate sedang memusuhi Portugis dan Spanyol.
Dengan cara seperti itu, armada Belanda berhasil kembali ke negerinya dengan
kapal-kapal yang sarat muatan rempah-rempah dan keuntungan yang besar.

Pada Maret 1602, setelah perundingan yang alot antara Staten General
(Dewan Perwakilan) dengan perseroan-perseroan di negeri Belanda (Holland dan
Zeeland) dibentuk Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) berdasarkan suatu
oktroi parlemen yang memberi hak eksklusif kepada perseroan untuk berdagang,
berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan
Kepulauan Salomon. Dalam menjalankan misi dagangnya, VOC mempunyai hak
khusus (oktroi) dalam memperoleh wilayah di Timur, mengadakan perdamaian,
perjanjianperjanjian, menyatakan perang, memiliki kapal perang, mempunyai
tentara dan memiliki benteng pertahanan sendiri.

Tujuan utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15


Januari 1602 adalah untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan
tanah air”. Yang dimaksud musuh saat itu adalah Portugis dan Spanyol yang pada
kurun Juni 1580 – Desember 1640 bergabung menjadi satu kekuasaan yang hendak
merebut dominasi perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC
bangsa Belanda masih menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara.

Pada tahun-tahun setelah J.P. Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC, arah
politik bangsa Belanda semakin jelas bukan hanya terfokus pada perdagangan saja
tetapi juga melaksanakan monopoli perdagangan serta politik kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di Nusantara. Lima tahun sebelum menjadi Gubernur Jenderal
(1614) JP Coen berpendapat bahwa perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan
dipertahankan dengan perlindungan serta bantuan senjata yang diperoleh dari
keuntungan perdaganga. Menurut Coen perdagangan tidak dapat dipertahankan
tanpa perang, seperti juga perang tidak dapat dipertahankan tanpa perdagangan.
Akhirnya pada Maret 1619 VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal J.P.
Coen merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama dan mengukuhkan
kedudukannya setelah membumi hanguskan kota dengan membangun kota Batavia
di atas puing-puing reruntuhan Jayakarta. Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P.
Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia, sejak saat itu
Batavia menjadi markas besar perdagangan VOC. Hal itu merupakan langkah paling
penting yang ditempuh oleh bangsa Belanda, mengingat dari Batavia VOC mampu
membangun pusat militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi
pergudangan dan pertukaran barang serta mudah mencapai jalur-jalur perdagangan
daerah timur Nusantara, Timur Jauh dan Eropa. Pada Desember 1650, VOC tercatat
mempunyai 74 kapal dagang di seluruh wilayah Asia. Jumlah tersebut lebih banyak
dibandingkan jumlah armada para pesaingnya, Inggris, Portugis dan Spanyol.
Kapalkapal dagang VOC dipersenjatai relatif lebih lengkap daripada kapal milik
bangsa lain. Oleh karena itu kapal-kapal Belanda lebih memungkinkan untuk
melakukan berbagai manuver dengan lebih hebat.

Mulai abad ke–15 dapat dikatakan bahwa hampir semua transaksi


perdagangan di Jawa menggunakan mata uang cash milik Cina. Barangkali armada
besar Ming dibawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu terkenal
di bandarbandar kepulauan yang lain seperti Malaka dan Pasai pada awal abad ke-
15. Kemudian penghapusan larangan Kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan pada
tahun 1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang
tembaga Cina. Akibatnya banyaknya uang yang beredar membuat khawatir Pejabat
Cina, sehingga pada 1590 di Guangdong dan Fujian dibuat mata uang tembaga baru
campuran dengan timah yang murah untuk selanjutnya di edarkan. Pada 1596,
armada pertama Belanda, picis bermutu rendah ini beredar jauh ke pedalaman
Jawa. Karena bermutu rendah, Mata uang picis dari timah campuran tersebut
mutunya dapat dipalsukan dengan mudah. Pada 1633, ketika Belanda (VOC) mulai
merasa bahwa uang picis dapat diperoleh dari orang Cina di Batavia, mereka
menjadi mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan picis Cina di Jawa,
khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Belanda mengambil keuntungan dari
kegiatan tersebut dengan memberikan timah atas dasar monopoli kepada orang
Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Usaha ambil untung VOC tersebut,
terhenti ketika Inggris berhasil memberikan timah dengan harga yang lebih murah.
Setelah itu VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya untuk
memasuki perekonomian di Asia. Untuk menandingi uang kepeng Cina pada 1727
(atau rentang waktu 1728–1751) VOC mengedarkan pecahan logam Duit sebagai
alat pembayaran sah menggantikan picis/cash. Namun demikian menurut beberapa
catatan periode penggunaan mata uang picis yang mereka sponsori sangatlah
penting guna membangun Batavia sebagai bandar yang menarik bagi pelaut
Nusantara yang berkeinginan untuk memegang picis dan barang dagangan dari Cina.

Selain itu kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 turut memperbanyak
jenis mata uang yang beredar di wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut
menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak karena beredar tanpa
tatanan dan kontrol yang jelas dan teratur. Salah satu mata uang barat yang paling
digemari secara luas adalah Real Spanyol (Spaanse Matten). Pada abad ke-17 tidak
ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan mata uang Real Spanyol sebagai
uang internasional. Uang itu segera menjadi uang dan satuan hitungan untuk
transaksi internasional. Dalam sepucuk surat dari Gubernur Jenderal dan Dewan
VOC di Batavia kepada negeri Belanda tertanggal 12 Pebruari 1685, mereka minta
dikirimi senilai 350.000 sampai 400.000 Gulden uang yang tersedia, lebih disukai
dalam bentuk real delapan Meksiko/Real Spanyol, karena orang-orang Jawa,
Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya lebih menyukai mata uang tersebut karena
sudah selama bertahun-tahun terbiasa menggunakannya.

VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan Nusantara


meminta ijin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru dengan ukuran,
berat serta kadar yang sama untuk menandingi popularitas Real Spanyol. Sekitar
awal abad ke-18 mata uang Real Spanyol mulai langka, oleh karena itu
kedudukannya mulai tergeser. Keadaan itu digunakan VOC untuk menjadikan mata
uang Belanda (logam perak) Rijksdaalder sebagai alat pembayaran yang standar di
wilayah Nusantara. Sesungguhnya VOC di Batavia tidak mempunyai mata uang
sendiri, membuat uang merupakan hak kedaulatan VOC yang pelaksanaannya
secara ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Ketika dalam tahun 1644 –
1645 dibuat sejumlah mata uang darurat dari bahan tembaga dan perak, Heeren
XVII langsung memerintahkan penarikannya dengan sangat. Dengan pengecualian
ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat uang di Hindia Timur sampai
1744, ketika akhirnya didirikan sebuah percetakan uang di Batavia. Akibatnya terjadi
kekacauan yang besar dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC.
Berbagai macam mata uang (termasuk Real Spanyol ) yang tiada terbilang
jumlahnya dicetak dalam nilai masingmasing. Hingga sering terjadi perbedaan
pendapat antara Heeren XVII dan Gubernur Jenderal dengan Dewannya di Batavia
mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetpakan oleh suatu badan.

Pada akhir abad ke-18,VOC telah mengalami kemunduran, beberapa


monopolinya di daerah telah tumbang. Pemerintah Belanda kemudian memulai
penyeledikannya terhadap kondisi VOC dan mengungkap kebangkrutan, skandal
dan salah urus dalam segala bidang. Pada Desember 1794–Januari 1795 Perancis
menyerbu negeri Belanda dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis.
Berikutnya pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan, kemudian menyusul pembubaran
dewan majelis (Heeren XVII) VOC di Amsterdam. Maka seluruh wilayah kekuasaan
VOC beralih menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Belanda.

Pada akhir abad ke-18,VOC telah mengalami kemunduran, beberapa


monopolinya di daerah telah tumbang. Pemerintah Belanda kemudian memulai
penyeledikannya terhadap kondisi VOC dan mengungkap kebangkrutan, skandal
dan salah urus dalam segala bidang. Pada Desember 1794–Januari 1795 Perancis
menyerbu negeri Belanda dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis.
Berikutnya pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan, kemudian menyusul pembubaran
dewan majelis (Heeren XVII) VOC di Amsterdam. Maka seluruh wilayah kekuasaan
VOC beralih menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Belanda.

Setelah itu pada 1811 Ratu Inggris mengangkat Sir Thomas Stamford Raffles
sebagai Letnan Gubernur Hindia Timur. Pada periode Raffles, ia menarik mata uang
Rijksdaalder sejumlah 8,5 juta (uang kertas) dari peredaran dan dianggap sebagai
hutang pemerintah yang akan dijamin dengan perak. Kemudian mata uang Real
Spanyol dihidupkan kembali sebagai standar mata uang perak. Pada 1813 mata
uang tersebut diganti dengan mata uang Ropij Jawa yang dicetak di Surabaya.
Namun Raffles tidak lama bertahan di Hindia Timur (1811–1815), karena setelah
usainya perang melawan Perancis (Napoleon), Inggris, dan Belanda membuat
kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada
Belanda. Hal itu menyebabkan upaya Raffles belum sempat memperlihatkan
hasilnya ketika kekuasaannya telah berakhir.

Sejak peralihan kekuasaan tersebut, Hindia Timur disebut sebagai Hindia


Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang
terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen. Diantara periode tersebut tepatnya
pada 1817 pemerintah menerbitkan mata uang baru sebagai ganti Ropij Jawa, yaitu
Gulden Hindia Belanda dengan simbol “f” berarti florin atau gulden. Pada periode
itu pemerintah merasakan beratnya beban kegiatan perekonomian Hindia Belanda
tanpa adanya fasilitas perbankan yang memadai. Dalam hubungan ekspor-impor
antara Hindia Belanda dan Belanda dibutuhkan emas dan perak guna menutupi nilai
defisit dalam Neraca perdagangan. Pemerintah Hindia Belanda harus selalu
mendatangkan emas-perak dari Belanda untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Dan
hal itu hanya bisa dilakukan dengan mudah melalui fasilitas perbankan.

Komisaris Jenderal Leonard Pierre Joseph Burgraaf Du Bus de Gisignies


dalam Kolonisatie Rapport-nya mengatakan bahwa nilai ekspor Jawa sangat rendah
jika dibandingkan dengan daerah koloni Belanda yang lain. Karena itu nilai ekspor
Jawa tidak dapat mengimbangi nilai impornya, terlebih lagi tingkat pendapatan
rakyat yang sangat rendah tidak dapat membayar barang-barang impor secara
tunai. Untuk itu Du Bus menempuh dua kebijakan yaitu menggantikan sistem
pemilikan komunal menjadi individual guna mendorong rakyat untuk bekerja
mencari uang dan mempergunakan lebih banyak modal daripada manusia dengan
konsekwensi mengundang modal asing dari Eropa Barat. Kebijakan “lebih banyak
modal daripada manusia” Du Bus tersebut akhirnya melahirkan gagasan ekonomi
liberal yaitu “kolonisasi Hindia Belanda dengan modal”. Akibat dari kebijakan
tersebut akhirnya menimbulkan kebutuhan akan akan hadirnya lembaga perbankan
modern di Hindia Belanda.

De Bank Van Leening dan De Bankcourant en Bank van Leening :


Hadirnya lembaga perbankan di Hindia Belanda sesungguhnya telah dimulai
sejak masa VOC, yaitu pada perode 1743-1750. Pada saat itu, VOC dipimpin oleh
Gubernur Jenderal Van Imhoff yang menjadikan kondisi perdagangan di Eropa
sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahan di Hindia Timur, meskipun
sebenarnya sebagian besar keadaannya jauh berbeda. Akibatnya, lahir banyak
peraturan yang melampui jamannya sehingga gagal dalam pelaksanaannya. Pada
Agustus 1746, dibentuk suatu dewan perdagangan untuk menangani berbagai hal,
seperti penyelesaian kesepakatan dalam perdagangan pihak swasta yang perlu
segera ditangani. Dalam dewan ini, duduk tujuh orang yang diserahi tugas sebagai
penguasa Bank van Leening yang didirikan pada 20 Agustus 1746.

Sebagaimana umumnya bank pada masa itu, jenis kegiatan Bank van
Leening tidak lebih dari suatu rumah pegadaian yang memberikan pinjaman dengan
jaminan barang-barang berupa emas, perak, batu permata, barang-barang
perdagangan, kain-kain, perkakas rumah tangga berukuran dan bernilai sedang
serta benda-benda serupa lainnya. Modal bank ini terdiri atas 300 lembar saham
masing-masing bernilai 1000 Ringgit. 200 lembar diantaranya dimiliki Pemerintah
dan sisanya oleh pihak lain, sehingga pada 1 Desember 1746 bank ini sudah dapat
beroperasi meski dengan perlahan karena segala keterbatasannya dalam urusan
perdagangan.

Dalam perkembangannya Bank van Leening mengalami kesulitan dalam


mengembangkan modalnya. Hal itu dikarenakan adanya persaingan tidak sehat
dengan para pejabat VOC yang menyalahgunakan kekayaannya dengan pungutan
bunga yang tinggi. Praktek ini menyebabkan jasa bank yang ditawarkan kurang
diminati sehingga pengembangan modal menjadi tersendat-sendat ditambah lagi
bank harus menyerahkan sebagian modalnya dalam bentuk deposito kepada
Pemerintah VOC.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Pemerintah berdasarkan pasal 1 dari


peraturan Bank van Leening ini akan meningkatkan status bank menjadi bank wesel.
Maka berdasarkan konsep yang disepakati dalam rapat dewan 2 Juni 1752
direncanakan untuk mendirikan suatu lembaga baru yaitu Bank Courant. Bank
Courant ini didirikan pada 1 September 1752 yang selanjutnya berdasarkan
kesepakatan 5 September 1752 digabungkan dengan Bank van Leening sehingga
menjadi De Bankcourant en Bank van Leening. Dengan adanya bank tersebut para
pejabat VOC mempunyai kesempatan untuk menanamkan kekayaan dengan
memperoleh bunga dan mempermudah penatausahaan modalnya.

Sementara itu, sedikit-banyak bank telah mempunyai andil dalam


mengembangkan dunia perdagangan, karena sertifikat deposito atau kertas bank
segera beredar dengan cepat sebagai uang kertas bank yang banyak diminati karena
dapat diuangkan sewaktu-waktu. Karena fungsi tersebut, De Bankcourant en Bank
van Leening dapat dikatakan sebagai pendahulu dari De Javasche Bank pada abad
berikutnya. Namun sebagaimana pendahulunya (Bank van Leening), De
Bankcourant en Bank van Leening juga mengalami kesulitan yang lebih berat. Tapi
pihak Pemerintah VOC tidak mempunyai itikad baik untuk menangani bank meski
mengetahui sebabnya.

Akhirnya pada 1790 terungkap adanya kekurangan uang dalam kas bank
sebesar 63.000 Ringgit, sehingga Pemerintah VOC menilai bahwa hal itu tidak dapat
dibiarkan. Maka, melalui keputusan 5 April 1794 bank dinyatakan ditutup. Pihak
VOC mengambil alih dan mengumumkan bahwa kertas bank akan ditukar dalam
waktu dua bulan. Mulai saat itu Bankcourant en Bank van Leening hanya tinggal
nama, meski dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1808
– 1811) pada 14 Juni 1809 bank dinyatakan hidup kembali.

Semasa pemerintahan “antara” Inggris pada periode 1811 – 1816 bank


diberi wewenang untuk mengedarkan uang, tapi mengalami kegagalan total yang
berakhir dengan tidak adanya uang tunai untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
bank dan meminta para krediturnya untuk menerima pembayaran berupa kopi,
beras dan sebagainya. Berdasarkan pasal 7 dari konvensi tambahan dengan Inggris
tertanggal 24 Juni 1817 bank diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Kemudian
melalui pengumuman 27 Januari 1818 kesempatan penukaran uang kertas bank
diberikan sampai 18 Juni 1818 dan setelahnya akan dinyatakan tidak mempunyai
nilai lagi. Dengan demikian bank dinyatakan ditutup.

2.4 Sumpah Pemuda


Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk
menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Yang dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda
Kedua[1] yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta).
Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia",
dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap
"perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam berbagai surat kabar
dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".
Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut,
melainkan diberikan setelahnya.[2] Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres
tersebut sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda[3].
Penulisan menggunakan ejaan van Ophuysen.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.

Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik


kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada
sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik
heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang
lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi
paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain
untuk paraf setuju juga.[4] Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan
kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin
Sejak 1959, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah
Pemuda, yaitu hari nasional yang bukan hari libur yang ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16
Desember 1959 untuk memperingati peristiwa Sumpah Pemuda.

2.5 Sejarah G-30SPKI


Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30
September/PKI, disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat
malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu
usaha kudeta.[1]

Latar belakang
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di


seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan
petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan
wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi
di bawah dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat
tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi
yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai
mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima
Artikel utama: Angkatan Kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat
dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya
sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran
perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri
terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih
menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-
pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua
anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan
bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat
"massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang
bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka
dengan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan
bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik
bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana
rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet
dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat
tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena
jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat
dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya
bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di


mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat
setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia,
termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang
aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri
menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk
membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum
kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan
bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite
Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965,
Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah

Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[2]. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno
dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam
gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan
PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para


“ demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul
Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-
injak lambang negara Indonesia[3] dan ingin melakukan balas dendam dengan
melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada
negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden
Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad
Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa
tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut,
sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka
tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para
pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak
heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh,
konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari
belakang[4]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal
tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa
kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada
Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah
seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan


“ suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai
dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa
lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi
kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia"
yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat
sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai
Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-
Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan
untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi
yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru
dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai
Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan
PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas
mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba.
"Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. …
Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI,
tetapi tidak sekarang."[3]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat
ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa
kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya
dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka
memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan
tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat


Artikel utama: Aktivitas CIA di Indonesia
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan
badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta
rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada
tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan
pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke
dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal
ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada
tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan
propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna
sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA
menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal
karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir
Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan
bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika
memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun
hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak
sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin
memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan
pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap
kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi
tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-
umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka
menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI
dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa
Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal


Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu
adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan
Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk
menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak
diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan
beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan,
dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist


Artikel utama: Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk
Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan
Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh
intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Our local army friends" (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[5]. Kedutaan Amerika Serikat
juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari
berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation
yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year
of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk
mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto


Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksI
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan
Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan,
berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari
peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell
Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph
McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the
US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority;
Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The
September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F.
Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf


Komando Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang
Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari
upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan
ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok
Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri


II dr.J. Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)

Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan

Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan
menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua
sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan
Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para
perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol
Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono
(Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965.
Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit
menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan
semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di
koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-
Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita
dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada
seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini
akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[6]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan


“ Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini
satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas
Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama
sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai


haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus
dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya
jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya,
maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita
dan beserta engkau! ”
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai
PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan
pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas
Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha
para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para
pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam
negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian


Artikel utama: Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Penangkapan Simpatisan PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI,
atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas
buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh
atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-
pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November)
dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan
lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-
organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh
mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan
pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka,
majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian
sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di
Sumatra Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai
kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai
menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando
elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini.
Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-
mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa
yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-
kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman
mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-
pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai
tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai
sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes
Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus
Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Artikel utama: Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah
Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan
ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak
terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler
diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh
oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris
Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss


Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan
pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional
di Swiss, pada bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens,
Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers,
Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya
alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World
(tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam
Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca
jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan
ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan
lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan


Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan
sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya
sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi
di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa
Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di
Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan
revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak
ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September – 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan
rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap
ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk
"Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan
1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.
Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9107341/Perkembangan_Pancasila_dari_masa
_ke_masa (di unduh pada tanggal 17 november 2019 pada pukul 17:01)

file:///C:/Users/Windows
%208.1/Downloads/18745b6d03f7413ba8ab53c2a29ec8e5NusantarasdAwal
Abadke19.pdf (di unduh pada tanggal 17 november di 2019 pada pukul 16:06)

https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila (di unduh pada tanggal 17 november


2019 pada pukul 12:06)

https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda (di unduh pada tanggal 17


november pada pukul 17.16)

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September (di unduh pada tanggal 17


november pada pukul 17.25)

Anda mungkin juga menyukai