Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Peradaban Islam Rasulullah Periode Madinah ( 622- 632 M )


Mata kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen : M. Subhan m. Pd. I

Di susun oleh :
M. Tangguh Haidar Alig
Ihyakulumuddin
Isa Khowatul ighnia
Kurnia nur fitri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH
SIMAN SEKARAN LAMONGAN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ilmiah ini.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini yang berjudul “ Peradaban
Islam Rasulullah Periode Madinah “
Terlepas dari semua itu, Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Tuban, 4 Maret 2023


DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar …………………………………….……………… i
Daftar Isi …..………………………………………….………… ii
BAB I Pembahasan
1. Arti Hijrah Nabi Ke Madinah
2. Dasat berpolitik negeri Madinah
3. Piagam Madinah
A. Darussalam
B. Darul Islam
BAB II Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka ………………………………………………………
BAB I
PEMBAHASAN

1. Arti Hijrah Nabi Ke Madinah

Kata hijrah (‫ )هِجْ َرة‬berasal dari akar kata hajara (‫ )هَ َج َر‬yang berarti
berpindah (tempat, keadaan, atau sifat), atau memutuskan, yakni memutuskan
hubungan antara dirinya dengan pihak lain, atau panas menyengat, yang
memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya. Dalam pengertian syar’iy,
hijrah berarti, “perpindahan Rasulullah saw. Bersama sahabat-sahabatnya
dari Mekkah menuju Madinah, kira-kira tahun ke-13 dari masa kenabiannya”.
Atau “perpindahan dalam rangka meninggalkan kampung kemusyrikan
menuju suatu kampung keimanan, dalam rangka melakukan pembinaan dan
pendirian masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Atau meninggalkan
tempat, keadaan, atau sifat yang tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah
dan Rasul-Nya (kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.).

Dalam al-Qur’an, kata hijrah dengan segala bentuk kata jadiannya,


digunakan sebanyak 31 kali, dengan mengacu kepada makna-makna sebagai
berikut: (1) perintah meninggalkan keburukan dan kemaksiatan (QS al-
Muddatstsir,74:5); (2) berpaling dari isteri yang tidak patuh (QS al-
Nisâ’,4:34); (3) meninggalkan orang-orang yang tidak beriman dengan cara
yang baik, tanpa melukai hati mereka (QS al-Muzammil,73:10); (4) Kembali
kepada Allah dengan harapan mendapatkan hidayah-Nya (QS al-
Ankabût,29:26); (5) meninggalkan tempat, keadaan, atai sifat, karena
menuntut ridha’ Allah. (QS al-Nisâ’/4:89). Yang menarik pada ayat-ayat di
atas, adalah Allah menggandengkan term hijrah dengan term jihad. Hal ini
menunjukkan bahwa tercapai atau tidaknya tujuan hijrah adalah sangat
bergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat kejuangan yang
diberikan ketika berhijrah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan jihad dan
niat yang benar karena Allah swt. Hijrah yang benar adalah yang didasarkan
atas niat yang benar karena Allah, sebagaimana ditegaskan dalam HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari Umar bin al-Khattab, seperti tersebut di atas.
Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki keistimewaan, antara
lain, karena langsung diberi nama oleh Allah swt. Sedangkan agama lain,
seperti “Nasrani”, nama ini berasal dari nama desa kelahiran Nabi Isa as.;
serta agama lainnya berdasarkan nama Kitabnya, seperti Taurat. Dan
keistimewaan lainnya agama Islam yang lahir di Mekkah, namun lebih
berkembang setelah hijrah ke Madinah, sebab ia agama terakhir yang
disempurnakan Allah dari agama-agama yang diturunkan kepada para nabi
dan rasul Allah sebelum Nabi Muhammad saw.

Makna hakiki kebangkitan Islam dan umat Islam sesungguhnya belum


dapat dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Hal ini terjadi karena umat
Islam belum menyadari makna keberagamaan, sebagai satu-satunya jalan
menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Pengaruh Westernalisasi
dan modernisasi menghentak sebagian umat untuk menempatkan iptek lebih
penting di dalam mencapai kebahagiaan hidup umat. Pengaruh modernisasi
itulah dikira mereka sebagai satu-satunya jalan menuju kebanggaan duniawi.
Mereka mengira hanya dengan menguasai Ipteklah kebahagiaan itu tercapai.
Lantas agama Islam di mana, ya cukup di masjid sajalah.

2. Dasar berpolitik negeri Madinah

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah memiliki berbagai macam


aspek kehidupan yang patut dipelajari dan diteladan. Dari kacamata politik, Nabi
Muhammad telah diakui memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni oleh
Michael H. Hart. Sehingga, dia menempatkan Nabi Muhammad di posisi pertama
dalam bukunya,The 100: A Rangking of the Most Influential in History. Hal ini
didasari oleh kepemimpinan Nabi Muhammad yang tak hanya mengacu pada
ajaran agama, melainkan juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Berkat
kepemimpinannya, masyarakat Madinah yang heterogen bisa hidup berdampingan
satu sama lain. Sudah jamak diketahui bahwa sejarah kenabian Muhammad SAW
dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Untuk membaca
politik Nabi Muhammad, kita perlu melihat perjalanan beliau di kedua fase
tersebut.
Perjalanan politik Nabi Muhammad pada fase Makkah ditandai dengan
peristiwa Baiat Aqabah I dan Baiat Aqabah II. Kedua perjanjian ini menjadi
legitimasi dari penduduk Madinah—diwakili oleh suku Aus dan Khazraj—kepada
Nabi Muhammad sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Jika dibandingkan
dengan fase Madinah, kegiatan politik di Makkah cukup minim karena beliau
fokus berdakwah untuk menggerus paham paganisme masyarakat Makkah. Pada
fase Madinah, menurut Prof. Ahmad Djazuli dalam buku Fiqh Siyasah;
Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, peristiwa-
peristiwa sejarah yang terjadi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah
merupakan artikulasi pelaksanaan politik Islam.

pelaksanaan politik Islam yang dijalankan Nabi Muhammad berkenaan


dengan persaudaraan internal kaum muslimin (al-ukhuwah al-Islamiyah), yaitu
antara Sahabat Muhajirin dan Anshar,serta perjanjian eksternal antara muslim dan
non-muslim (al-ukhuwah al-insaniyah). Meskipun kekuasaan dipegang kaum
muslimin, dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai pemimpin, perjanjian yang
dibuat tidak mengganggu keyakinan nonmuslim. Mereka masih diberi kebebasan
memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hubungan ini
dibangun dalam rangka menyelenggarakan kepentingan bersama. Jika salah satu
pihak mengkhianati perjanjian, maka Nabi Muhammad sebagai kepala
pemerintahan dapat menindak orang-orang yang melanggar perjanjian tersebut.
Selama kurun waktu satu dekade, Nabi Muhammad berhasil membangun
peradaban di kota Madinah, hingga Islam tersebar dengan damai ke beberapa
wilayah seperti Syam dan Ethiopia.

Keberhasilan ini tercapai tak lepas dari kepiawaian Nabi Muhammad


dalam berpolitik, ditambah lagi dengan budi pekerti dan kebijaksanaan beliau
dalam menghadapi berbagai persoalan di berbagai lini, baik agama, sosial,
maupun politik. Adapun beberapa kebijakan politik Nabi Muhammad yang patut
diteladani selama memimpin kota Madinah adalah sebagai berikut.

A. Pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol


dan perangkat utamanya. Langkah utama setelah Nabi Muhammad baru
tiba di Madinah ini merupakan salah satu upaya beliau untuk menyatukan
suku Aus dan Khazraj yang baru saja berdamai. Pembangunan masjid
pada awal kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah tidak sekadar
difungsikan sebagai ruang untuk ibadah saja, namun juga menjadi ruang
publik untuk memecahkan berbagai persoalan keumatan.
B. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan
antarkomunitas yang tidak memiliki pertalian darah tapi menyatu sebagai
komunitas agama, antara komunitasIslam Makkah yang baru berhijrah
dan penduduk Madinah menjadi kaum Muhajirin dan Anshar. Menurut
Abu al-Hasan al-Nadwi dalam al-Sîrah al-Nabawiyyah, kebijakan ini
bertujuan untuk menanamkan prinsip ukhuwah Islamiyahdan membentuk
ikatan baru yang berlandaskan iman, persaudaraan dan gotong royong.
C. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan
komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat majemuk yang
mendiami wilayah yang sama. Dalam memimpin masyarakat Madinah
yang heterogen, Nabi Muhammad bermusyawarah dengan berbagai
komunitas penting di Madinah, lalu terbentuklah sebuah perjanjian yang
dikenal dengan Piagam Madinah.Perjanjian ini merupakan konsensus
seluruh penduduk Madinah untuk saling mendukung, menghargai dan
bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan turut
bersinergi membela kota Madinah dari serangan luar.
D. Keempat, membentuk angkatan perang untuk menghadapi ancaman invasi
dari kafir Quraisy Makkah. Kabar berdaulatnya Islam di Madinah yang
mampu menyatukan berbagai suku dan ras masyarakat Madinah tidak
menyurutkan permusuhan kaum kafir Quraisy. Hal ini bahkan menarik
perhatian dua peradaban besar saat itu, Romawi dan Persia.

3. Piagam Madinah

juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen


yang disusun oleh Nabi Islam Muhammad, yang merupakan suatu perjanjian
formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di
Yasthrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622
Konstitusi ini dibuat untuk mengakhiri pertempuran sengit antar suku
antara klan saingan Bani Aus dan Bani Khazraj di Medina dan untuk menjaga
perdamaian dan kerjasama di antara semua kelompok Madinah. Menetapkan
peran Muhammad sebagai otoritas penengah antara dua kelompok dan yang lain
di Madinah adalah inti dari berakhirnya kekerasan internal Madinah dan
merupakan fitur penting dari konstitusi. Dokumen tersebut menjamin kebebasan
beragamakeyakinan dan praktik bagi semua warga negara yang "mengikuti orang-
orang yang beriman". Ini meyakinkan bahwa perwakilan dari semua pihak,
Muslim atau non-Muslim, harus hadir ketika konsultasi terjadi atau dalam kasus
negosiasi dengan negara asing. Ini menyatakan "seorang wanita hanya dapat
dijamu oleh tuan rumah dengan persetujuan keluarganya" dan memberlakukan
sistem pajak untuk mendukung komunitas pada saat konflik. Ini menyatakan
peran Madinah sebagai haram (‫حرم‬, "tempat yang dilindungi"), di mana tidak ada
darah orang-orang yang termasuk dalam pakta tersebut dapat ditumpahkan.

Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di


wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain: Muslimin yang
terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan
Khazraj, orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di
Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama
muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi
konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani
Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi
dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat
membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian
dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban
kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di
Madinah.

Isi piagam Madinah Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad-Nabi, antara orang=orang
beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib (Madinah) serta
mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka
bahwa: mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain

Kaum muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut adat


kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau
membayar tebusan darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan
mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang
beriman.

.
BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. AMZAH: Jakarta.


Bahan Bacaan:
Erwin, Muhammad, (2010), Pendidikan Kewarganegaraan Republik
Indonesia,PT. Refika
Aditama, Bandung
Kaelan, Prof. Dr. dan Zubaidi, Drs Ahmad (2007), Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk
Perguruan Tinggi, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2002, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila,
Jakarta, Gramedia Pustaka.
Lemhannas, 1997, Wawasan Nusantara, Jakarta: Balai Pustaka
Pusat Studi Kewiraan Universitas Brawijaya, 1980, Ilmu Kewiraan, Lembaga
Penerbitan UB, Malang.
Soemarsono, Drs S. Dkk, 2001, Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Srijanti dkk, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan di PT: Mengembangkan Etika
Berwarga Negara, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
TIM Dosen Pancasila Undip, Kewarganegaraan, UPT Bidang Studi Universitas
Padjajaran, Bandung
TIM ICCE UIN Jakarta, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Predana
Media.
Winarno, 2014, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi
Aksara
Sumber: https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/kebijakan-politik-nabi-muhammad-saw-
ZPtFu
https://news.detik.com/berita/d-5350191/piagam-madinah-sejarah-isi-dan-
tujuannya

Anda mungkin juga menyukai