Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

KONSTITUSI PIAGAM MADINAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Mata Kuliah : Konstitusi & Kelembagaan

Dosen Pengampu : Dr. H.R Agus Abikusna, SH., MH

Disusun oleh:
RICO MUHAMMAD ANDREAS (210221125)
SITI NUR HALIZA (210221005)

PRODI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVESITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2022 / 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga Makalah Piagam Madinah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat
dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
Makalah Piagam Madinahini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Piagam Madinah ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.

Cirebon, Maret 2023


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 4

2.1 Pengertian dan makna Piagam Madinah......................................................... 4

2.2 Hal-hal yang Dirumuskan pada Piagam Madinah ......................................... 5

2.2.1 Apa Isi Piagam Madinah ?................................................................... 5

2.3 Hak Asasi dalam Perspektif Islam ................................................................. 13

2.4 Negara dan Demokrasi dalam Perspektif Islam ............................................ 17

2.4.1 Demokrasi dalam Negara .................................................................... 18

2.4.2 Demokrasi dalam Al-Qur’an................................................................. 19

2.4.3 Elemen-elemen Pokok Demokrasi dalam Perspektif Islam................. 20

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 9

3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 25

3.2 Saran............................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsepan awal Piagam Madinah adalah kesepakatan (jalan tengah) untuk

menghindari konflik dan juga tidak memihak pihak tertentu di Madinah pa da abad ke-

7 Masehi, karena Madinah terkenal dengan masyarakat yang Multikulturalnya dan

Multi-religi. Piagam Madinah juga disebut sebagai konstitusi negara pada saat itu

karena dibuat untuk mempersatukan golongan Yahudi dan Bani Qoinuqo, Bani Nadhir

dan juga Bani Quraidlah, yaitu masyarakat yang ada di Madinah pada masa itu yang

langsung di bentuk oleh Nabi Muhammad saw, untuk membentuk suatu perjanjian yang

isinya melindungi hak-hak azasi manusia dan hidup rukun berdampingan antar umat

Beragama ada pula makud dan tujuan dari dibentuknya piagam madinah ini misalkan

komunitas muslim diserang oleh komunistas lain dari luar maka komunitas yahudi

harus membantu dan begitupun sebaliknya.

Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi.

Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup masyarakat

yang majemuk itu, konflik-konflik diantara berbagai golongan itu akan menjadi konflik

terbuka dan pada suatu saat akan mengancam persatuan dan kesatuan kota

Madinah.Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah mengikat seluruh penduduk yang

terdiri dari berbagai kalibah (Kaum) yang menjadi penduduk Madinah. (Astuti, 2012:

24).

Sebelum di nabi hijrah ke madinah terjadi konflik di Yathrib maka dimintalah

nabi hajrah untuk mendamaikan koflik tersebut dan membuat konstitusi Madinah atau

Piagam Madinah, konstitusi Madinah ialah sebuah dokum yang disusun oleh Nabi

1
Muhammad SAW, yang merupakan perjanjian formal semua masyarakat di Yathrib

(Kemudian bernama Madinah). Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan

tujuan untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani

`Aus dan Bani Khazraj di Madinah. (Astuti, 2012: 239).

Ditetapkannya piagam tersebut merupakan salah satu siasat Rasul sesudah hijrah

ke Madinah, yang dimaksud untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan warga

Madinah. Dalam piagam itu, dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antar

kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain- lain. Hijrahnya Nabi

ke Yatrib disebabkan adanya permintaan para sesepuh Yathrib dengan tujuan supaya

Nabi dapat menyatukan masyarakat yang berselisih dan menjadi pemimpin yang

diterima oleh semua golongan. Piagam ini disusun pada saat Beliau menjadi pemimpin

pemerintah di kota Madinah. (Sukarjda, 2014:3).

Sebagian orang mungkin meyakini kenabian Muhammad, tetapi kenyataan

bahwa dia bukan seorang Yahudi menjadi problematik bagi mereka yang menganut

teologi Yahudi dengan tegas. Perpecahan antara kaum Yahudi yang meyakini dirinya

bangsa terpilih oleh Tuhan dan kaum muslim yang mendukung persatuan umat manusia

akan menimbulkan ketegasan serius di dua kelompok ini, dalam konteks itulah Piagam

Madinah menemuan fungsinya yang paling hakiki.

Para ahli pengetahuan, khususnya ahli sejarah, menyebutkan naskah politik

yang di buat oleh Muhammad saw itu dengan nama yang bermacam-macam, W.

Montgomery Watt menamainya “The Constitution of Medina”. R.A. Nicholson

”Charter”, Zainal Abidin Ahmad “Piagam”, Majid Khadduri “Treaty”, Philip K. Hitti

“Agreement”. Kata Treety dan Agreement menunjuk kepada isi naskah kata Chapter

dan Piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pertanyaan tentang sesuatu

hal. Sedangkan dalam buku ini di bakukan penggunaan sebutn “Piagan Madinah”.

2
(Ahmad Sukarja, 2014: 2).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa latar belakang di buatnya Piagam Madinah di Madinah oleh Nabi SAW?

2. Apa pengaruh Piagam Madinah dalam membangun kerukunan beragama?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, makayang menjadi tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui Historis konsep Piagam Madinah dalam membangun

kerukunan beragama.

2. Untuk mengetahui Historis konsep Piagam Jakarta dalam membangun

kerukunan beragama di Indonesia.

3. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara konsep Piagam Madinah dan

Piagam Jakarta untuk membangun kerukunan beragama.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Makna Piagam Madinah

Kurang lebih 1400 tahun yang lalu di Madinah, -kota sehat menurut WHO-,

disepakati Piagam Madinah. Ini adalah sebuah dokumen perjanjian tertulis yang

diprakarsai Nabi Muhammad SAW dan para sahabat untuk mempersatukan beberapa

golongan yang ada di Madinah saat itu.

Isi Piagam Madinah, antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama,

kebebasan menyatakan pendapat; tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang

melakukan kejahatan. Isi Piagam Madinah hingga kini masih sering dikutip, baik dalam

membuat sebuah naskah peraturan atau pun saat seorang tokoh berpidato.

Pada 27 sampai 28 Januari 2020 lalu misalnya, Konferensi Internasional Al-

Azhar mengutip Piagam Madinah dalam salah satu rumusannya. "Negara menurut

pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-

Azhar-diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini-menetapkan bahwa Islam tidak

mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil

dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan

praktek pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau yang riwayatnya

sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama,

mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya

dalam mengarahkan manusia." Demikian isi rumusan nomor 12 dari Konferensi

Internasional Al-Azhar yang dikutip Tim Hikmah dari laman Kementerian Agama, Rabu

27 Januari 2021.

4
2.2 Hal-hal yang Dirumuskan pada Piagam Madinah

Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di wilayah itu

sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain: Muslimin yang terdiri dari

Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, orang-orang

Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak

jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama

muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi konflik.

Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga

dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash

Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian

tertulis. Dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan

sejumlah hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas

komunitas lain di Madinah.

2.2.1 Apa Isi Piagam Madinah?

Sejumlah referensi menyebutkan Piagam Madinah dibuat sekitar tahun

622 Masehi di awal-awal Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di

Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib. Berikut ini isi Piagam

Madinah yang redaksinya dikutip dari Buku Sejarah Hidup Muhammad karya

Muhammad Husain Haekal.

Isi Piagam Madinah

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah

piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, untuk kalangan mukminin dan

muslimin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti

mereka, menggabungkan diri, dan berjuang bersama mereka.

5
 Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu umat, berbeda dari komunitas manusia lain.

 Pasal 2

Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan kebiasaan mereka bahu membahu

membayar uang tebusan darah di antara mereka dan mereka membayar tebusan

tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 3

Bani Auf sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar

uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar

tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 4

Bani Sa’idah sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar

uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar

tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 5

Bani Al Hars sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar

uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar

tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 6

Bani Jusyam sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar

uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar

tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 7

6
Bani An Najjar sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu

membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku

membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 8

Bani ‘Amr bin ‘Auf sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu

membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku

membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 9

Bani Al Nabit sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu

membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku

membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 10

Bani Al ‘Aus sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu

membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku

membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 Pasal 11

Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung

utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran

tebusan atau uang tebusan darah.

 Pasal 12

Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu

mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.

 Pasal 13

Orang-orang mukmin yang bertakwa harus menentang orang di antara mereka

yang mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan

7
atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam

menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

 Pasal 14

Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran

membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir

untuk membunuh orang beriman.

 Pasal 15

Jaminan Allah satu. Jaminan perlindungan diberikan oleh mereka yang dekat.

Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada

golongan lain.

 Pasal 16

Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan

santunan, sepanjang mukminin tidak terzalimi dan ditentang olehnya.

 Pasal 17

Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat

perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan

Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

 Pasal 18

Setiap pasukan yang berperang bersama harus bahu-membahu satu sama lain.

 Pasal 19

Orang-orang mukmin membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di

jalan Allah. Orang orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang

terbaik dan lurus.

 Pasal 20

8
Orang musyrik Yatsrib (Madinah) dilarang melindungi harta dan jiwa orang

musyrik Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

 Pasal 21

Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya,

harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela menerima uang tebusan darah.

Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

 Pasal 22

Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah

dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman

kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi

pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak

diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.

 Pasal 23

Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut ketentuan

Allah Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad SAW.

 Pasal 24

Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

 Pasal 25

Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum

Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan

ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim

dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.

 Pasal 26

Kaum Yahudi Bani Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 27

9
Kaum Yahudi Bani Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 28

Kaum Yahudi Bani Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 29

Kaum Yahudi Bani Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 30

Kaum Yahudi Bani Al ‘Aus diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 31

Kaum Yahudi Bani Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 32

Kaum Yahudi Bani Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani

‘Auf.

 Pasal 33

Kaum Yahudi Bani Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

 Pasal 34

Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Bani Sa’labah).

 Pasal 35

Kerabat Yahudi di luar kota Madinah sama seperti mereka (Yahudi).

 Pasal 36

Tidak seorang pun dibenarkan untuk berperang, kecuali seizin Nabi Muhammad

SAW. Ia tidak boleh dihalangi untuk menuntut pembalasan luka yang dibuat

orang lain. Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan

menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat

membenarkan ketentuan ini.

Pasal 37

10
Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban

biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi

musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji

lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat kesalahan

sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

 Pasal 38

Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

 Pasal 39

Sesungguhnya Yatsrib (Madinah) itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam

ini.

 Pasal 40

Orang yang mendapat jaminan diperlakukan seperti diri penjamin, sepanjang

tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

 Pasal 41

Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.

 Pasal 42

Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini,

yang di khawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut

ketentuan Allah Azza Wa Jalla, dan keputusan Muhammad SAW. Sesungguhnya

Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini.

 Pasal 43

Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy Mekkah dan juga bagi pendukung

mereka.

 Pasal 44

11
Mereka pendukung piagam ini bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota

Yatsrib (Madinah).

 Pasal 45

Apabila pendukung piagam diajak berdamai dan pihak lawan memenuhi

perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus

dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib

memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang

menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan kewajiban masing masing

sesuai tugasnya.

 Pasal 46

Kaum Yahudi Al ‘Aus, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban

seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan

penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu

berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas

perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi

piagam ini.

 Pasal 47

Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang

keluar bepergian aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang

zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa.

Dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah.

Demikianlah, 1400-an tahun yang lalu Nabi Muhammad SAW

meletakkan sebuah dokumen perjanjian tertulis yang kemudian dikenal sebagai

Piagam Madinah.

12
2.3 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum dan pedoman hidup telah

memberikan penghargaan yang tingg terhadap Hak Asasi Manusia. Al-Qur‟an dan

as-Sunnah telah meletakkan dasar- dasar HAM jauh sebelum timbul. pemikiran

mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam al-Qur‟an antara lain: terdapat 80 ayat berbicara tentang

hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan; 150 ayat berbicara

tentang ciptaan dan makhluk-makhluk serta tentang persamaan dalam penciptaan; 320

ayat berbicara tentang sikap menentang kezaliman dan orang-orang yang berbuat

zalim; 50 ayat memerintahkan berbuat adil diungkapkan dengan kata: „adl dan qisth;

10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan

berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi; dan dan lain sebagainya.

Hukum Islam telah merumuskan pengaturan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia seperti yang tertuang dalam dalam al-Qur‟an dan as- Sunnah, antara

lain:

1. Hak hidup

Hukum Islam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak hidup manusia. Hal

ini dapat dilihat dari ketentuan syariat yang melindungi dan menjunjung tinggi

darah dan nyawa manusia melalui larangan untuk membunuh dan menetapkan

hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, seperti yang termaktub dalam QS. al-

Māidah/5: 32 menyebutkan:

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu

(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,

maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa

13
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah

memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada

mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,

kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas

dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

2. Hak kebebasan beragama

Kebebasan dan kemerdekaan manusia merupakan bagian yang penting dalam Islam,

tidak terkecuali kebebasan dalam beragama sesuai dengan keyakinan masing-

masing individu. Karenanya, Islam sangat melarang adanya tindakan pemaksaan

keyakinan agama kepada orang telah menganut agama tertentu. Hak kebebasan

beragama ini dengan jelas disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2: 256:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar

kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka sungguh ia telah berpegang

kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah maha mendengar lagi

maha mengetahui.”

Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan

untuk menganut suatu keyakinan atau akidah agama yang disenanginya. Ayat lain

yang berkenaan dengan hak kebebasan beragama terdapat dalam QS. Qāf/50: 45:

“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali- kali

bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan al

Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku.”

Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam sangat menjunjung

tinggi hak kebebasan dan kemerdekaan beragama.

14
3. Hak bekerja dan mendapatkan upah

Bekerja dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai hak tetapi juga merupakan

kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda:

"Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan

yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari).

Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah

pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

4. Hak persamaan dan keadilan.

Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya

satu kriteria (ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari

yang lain, yakni ketakwaannya QS. al-Hujurāt/49: 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-

suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia

di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”

Allah mengutus rasul agar melakukan perubahan sosial dengan menetapkan hak

persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia termasuk diantaranya

persamaan di mata hukum. Sabda Rasulullah saw: “ seandainya fathimah anak

Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

5. Hak kebebasan berpendapat

Islam memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal pikiran

mereka terutama untuk menyatakan pendapat mereka yang benar sesuai dengan

batas-batas yang ditentukan hukum dan norma-norma lainnya. Perintah ini secara

khusus ditunjukkan kepada manusia yang beriman agar berani menyatakan

15
kebenaran dengan cara yang benar pula. Ajaran Islam sangat menghargai akal

pikiran. Oleh karena itu, setiap manusia sesuai dengan martabat dan fitrahnya.

sebagai makhluk yang berpikir mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya

dengan bebas, asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam QS. Ali Imrān/3: 104 disebutkan:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dalam sebuah hadis disebutkan: “Katakanlah yang benar sekalipun itu pahit

(berat).” HR. Ibn Hibban.

6. Hak atas jaminan sosial.

Dalam al-Qur‟an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas

hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut antara lain “kehidupan

fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang

punya” (QS. az- Zāriyāt/51: 19):

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan

orang miskin yang tidak mendapat bagian [tidak meminta].”

Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja.

Dalam QS. al-Ma‟ārij/70: 24 disebutkan:

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.”

16
2.4 Negara dan Demokrasi dalam Perspektif Islam

Wacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi “juru selamat” bagi

ketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan represif.

Demokrasi tidak hanya menjadi wacana kademis, tetapi juga simbol dari sebuah sistem

pemerintahan, termasuk ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa gedung

kembar WTC dan Pentagon, 11 September 2001 lalu. Menurut presiden George W.

Bush, tragedi tersebut dianggap sebagai upaya penghancuran demokrasi. Karena ia

menganggap bahwa Amerikalah representasi negara demokrasi di dunia. Dengan

demikian, siapa pun yang mencoba mengganggu dan apalagi berani menghancurkan

Amerika, berarti mereka penentang demokrasi yang harus dilawan dan dibasmi. Tanpa

demokrasi memang, suatu rezim --sekuat apa pun—sulit untuk memperoleh legitimasi

dari rakyat, bila hal ini terjadi maka sebuah negara tak akan mampu menggerakkan roda

pemerintahannya. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak

asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan

hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan),

equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),  dst.

Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat

seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya

menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka

lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan

demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai

agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas

pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat  dalam suatu negara mengambil

keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu  kemudian dibentuk

dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and

17
accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan

pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka

harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi

penyeimbang dan kontrol pemerintah. Secara normatif, Islam juga menekankan

pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai

individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut

merupakan  prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya

terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Nah, bagaimanakah konsep demokrasi

Islam itu sesungguhnya?

Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam

prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik demokrasi di negara-

negara Muslim? Benarkah  Samuel  Huntington dan F. Fukuyama yang menyatakan

bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan

ini ingin mengkaji prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi dalam perspektif Islam

dan implementasinya dalam pemerintahan Islam.        

2.4.1 Pengertian Demokrasi dalam Negara

Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang

demokrasi, di antaranya seperti yang dikutip  Hamidah1 adalah sebagaimana di

bawah ini: Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan

institusional untuk mencapai keputusan politik  di mana individu-individu

memperoleh kekuasaan untuk memutuskan  cara perjuangan kompetitif  atas

suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan

demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan  di mana keputusan-keputusan 

pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung  didasarkan

pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

18
Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu

sistem  pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas

tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak

secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka

yang terpilih. Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa

demokrasi mengandung nilai-nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang

diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi

seorang pemimpin.

Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua

nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi. Menurut

Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan,

musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan

kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga

negara dan hak kolektif dari masyarakat. Nurcholish Majid, seperti yang dikutip

Nasaruddin mengatakan, bahwa suatu negara disebut demokratis sejauhmana

negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain: kebebasan

menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi menolak

dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,

hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan

berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

2.4.2 Demokrasi Dalam Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-

prinsip utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang

berbicara tentang musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-

Hujurat: 13 (tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104

19
(tentang kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang

kebebasan berpendapat) dst. Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab

Mahasin, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu

sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan

demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut

Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.

2.4.3. Elemen-elemen Pokok Demokrasi dalam Perspektif Islam

1. as-Syura

as-Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang

secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.

As-Syura: 38: “Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara

mereka”. Dalam surat Ali Imran:159 dinyatakan:   “Dan bermusayawarahlah

dengan mereka dalam urusan itu”. Dalam praktik kehidupan umat Islam,

lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-

l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim

formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah Jelaslah bahwa

musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung

jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan

begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi

tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari

pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang

disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti

musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara,

sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya.

2.      al-‘Adalah

20
al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk

rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil

dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan

keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam

beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:     “Sesungguhnya

Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada

kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan

permusuhan”. (Lihat pula, QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst.).

Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa

pandang bulu ini, banyak ditegaskan  dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan

sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga

menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika

“orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu

“orang besar” maka dibiarkan berlalu. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah

negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrem”  berbunyi:

“Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya

negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan)

Islam”  

3. al-Musawah

al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa

lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya.

Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku

otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan

demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif 

Islam, pemerintah adalah orang atau institusi  yang diberi wewenang dan

21
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah

dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan

rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah,

memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian

ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-

syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam

hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak

antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi  kepada keluarga

Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah berpesan kepada keluarga Bani

Hasyim sebagaimana sabdanya: “Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang

lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementara kalian datang hanya

membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalah ditentukan

oleh kualitas takwanya”.

4.  al-Amanah            

al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang

kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus

dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah

yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan

kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah

ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT. menegaskan dalam surat

an-Nisa’: 58:   “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyampaikan

amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.  

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa

22
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan

malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

5.  al-Masuliyyah

al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa

kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan

nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang

pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini

memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di

depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan

Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi:   Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap

pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yang diakatakn oleh Ibn

Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus  umat

manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan

dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan

masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi

masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan

pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai

khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat

wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan

oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

6.  al-Hurriyyah

al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga

masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.

Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-

akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf  wa an-nahy ‘an

23
al-‘munkar, maka  tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.

Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi

pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan.

Jika sudah tidak ada lagi kontrol  dalam suatu masyarakat, maka kezaliman

akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi:   “Barang

siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan,

jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati,

meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”. Jika suatu negara

konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di

atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan

demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari sejarah inilah sudah jelas, jika Islam pasti mengatur keseluruhan aktivitas

kita, mulai aktivitas yang sifatnya individu hingga masyarakat, dari yang sifatnya ritual

hingga sosial. Maka salah satu produk Islam yang dapat kita ambil hikmahnya untuk

mengatur dalam urusan umat adalah Piagam Madinah, produk Al Quran dan As

Sunnah. Maka benarlah ketika Allah mengatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan

untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-

ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah (5): ayat 3).

Pelajaran paling penting dari Piagam Madinah ini adalah kebijaksanaan Nabi

Muhammad untuk membuat suatu aturan untuk mengatur tata kehidupan di Madinah

kala itu. Ketika umat Islam berdampingan dengan pemeluk agama lain, dibutuhkan

suatu kebijaksanaan agar kehidupan bermasyarakat tetap berjalan dengan tertib. Nabi

Muhammad tampil sebagai suri teladan kita, mencetuskan Piagam Madinah yang

menjadi persetujuan seluruh kelompok, seluruh agama, seluruh suku di Madinah kala

itu. Al Quran dan As Sunnah yang tetap menjadi dasar bagi umat Islam menjalankan

aktivitasnya, beriringan dengan mesra bersama Piagam Madinah yang mengatur

kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada egoisme kelompok, maupun golongan

untuk menjadikan dasaran berbangsa, namun persetujuan bersama, itulah yang

dikatakan sebagai Darul ‘Ahdi atau Negara Kesepakatan.

Sedangkan hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia

yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta. Perbedaan prinsipil antara

konsep HAM dalam pandangan Barat dan Islam adalah bahwa HAM menurut Barat

25
bersifat antroposentris artinya segala sesuatu berpusat pada manusia, sedangkan HAM

dalam Islam bersifat teosentris artinya segala sesuatu berpusat pada Tuhan.

Beberapa rumusan HAM menurut hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur,an

dan as-Sunnah diantaranya: hak hidup, hak kebebasan beragama, hak bekerja dan

mendapatkan upah, hak persamaan, hak kebebasan berpendapat, hak atas jaminan

sosial, dan hak atas harta benda.

3.2 Saran
Dari hasil pembahasan yang telah disampaikan diatas terdapat beberapa saran-

saran yang ingin peneliti sampaikan antara lain sebagai berikut:

1. Hendaknya bagi penguasa membangun pemerintahan yang berkeadilan bagi

seluruh golongan. Tidak membuat kebijakan-kebijakan yang hanya berpihak pada

golongan tertentu terutama dalam bidang ekonomi. Karena ekonomi sangat penting

bagi kehidupan yang sejahtera. Kemudian, bagi pemerintah hendaknya

bertanggung jawab dalam taraf hidup masyarakat. Seperti mendukung adanya

lapangan pekerjaan, menjamin kehidupan masyarakat banyak terutama bagi kaum

lemah, orang miskin dsb.

2. Hendaknya masyarakat untuk meningkatkan masing-masing taraf hidupnya dengan

berusaha, berdagang atau bekerja seperti yang telah disediakan oleh pemerntah.

Masyarakat juga harus menjauhi perbuatan tercela dalam mencari harta seperti;

menipu, mencuri, membunuh dan mengemis. Selain itu, peduli dengan sesama

termasuk tetangga merupakan tugas warga negara.

3. Demi menjunjung keadilan, pemerintah hendaknya menggunakan harta pemasukan

kas negara untuk kepentingan negara, dan rakyat tanpa memandang golongan

tertentu. Menyediakan segala yang dibutuhkan masyarakat dari barang-barang

yang bermanfaat dan tidak menimbulkan mudharat bagi lainnya. Kemudian

26
pemerintah tidak membiarkan harta berhenti lama dalam satu sektor atau

individual. Hal ini menyebabkan munculnya ketimpangan yang akan berkibat

ketidakadilan dalam tatanan sosial-ekonomi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal Ahmad, Piagam Madinah Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia,(Jakarta :

Pustaka Al Kautsar, 2014).

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan

Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2001.

Abbas, Sirajuddin, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi’I, (Jakarta: CV. Pustaka

Tarbiyah, 2003)

Admojo, Wihadi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Al-Thabari, Ibnu Jarir (1991), Tarikh Al-Thabari, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub Ilmiyyah,

cet ke-3

Al Mawardi, Imam, Al Ahkam Al Sulthaniyyah,(Al Qahirah: Dar al Hadits, 2006).

-----------------------------, Al-Hawi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1994).

------------------------, Adab Ad- Dunya Wa ad –Din (Libanon: Dar Al-Fikri, 1994).

Amiruddin, Muhammad Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta:

UII Press, 2000.

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. (Surabaya: Mekar, 2000).

28

Anda mungkin juga menyukai