Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357416605

PIAGAM MADINAH Rasyid Tanjung

Article · December 2021

CITATIONS READS

0 6,365

5 authors, including:

Rasyid Tanjung
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rasyid Tanjung on 02 January 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PIAGAM MADINAH
Rasyid Tanjung

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakata


Email: 20203012041@student.uin-suka.ac.id
Abstrak: Piagam madinah merupakan kesepakatan Rasulullah SAW bersama
masyarakat Madinah untuk membentuk suatu konsep ummah. Adanya piagam
Madinah tidak terlepas dari perjuangan dan perjalanan Rasulullah sebagai kepada
negara pada saat itu. Piagam Madinah ialah konstitusi bagi masyarat Madinah yang
harus ditaati, karena ia merupakan hukum dasar dalam bernegara dalam dunia Islam.
Meskipun, tidak ada ketentuan baku tentang konsep negara di dalam Islam. Negara
Madinah yang pluralisme ini memiliki kesamaan di negara Indonesia. Penelitian ini
mendeskripsikan relevansi penerapan piagam Madinah di Negara Indonesia dan
menjelaskan tentang konsep ummah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
piagam madinah masih sangat relevan jika diterapkan di Indonesia, meskipun ia telah
dibuat beberapa abad yang lalu. Indonesia yang memiliki masyarakat yang beraneka
ragam (pluralisme) melalui konsep Ummah dalam piagam Madinah sangat tepat jika
diterapkan di Indonesia. Temuan terpenting dalam penelitian ini ialah bahwa
Indonesia masih sangat belum memahami konsep toleransi antar umat beragama
secara menyeluruh, sehingga terkadang toleransi telah memasuki wilayah akidah.
Kata kunci: Relevansi dan Piagam Madinah
Abstract: The Medina Charter is an agreement between the Prophet Muhammad and
the people of Medina to form a concept of the ummah. The existence of the Medina
charter is inseparable from the struggle and journey of the Prophet as a country at
that time. The Medina Charter is a constitution for the people of Medina that must be
obeyed, because it is a basic law in the state in the Islamic world. Although, there are
no standard provisions regarding the concept of the state in Islam. This pluralistic
state of Medina has similarities in the state of Indonesia. This study describes the
relevance of the application of the Medina charter in Indonesia and explains the
concept of the ummah. The results of this study indicate that the Medina charter is
still very relevant if applied in Indonesia, even though it was made several centuries
ago. Indonesia, which has a diverse society (pluralism) through the concept of
Ummah in the Medina charter, is very appropriate if applied in Indonesia. An
important finding in this study is that Indonesia does not yet fully understand the
concept of tolerance between religious communities, so there is tolerance for
entering the territory of faith.
Keywords: Relevance and Medina Charter
Pendahuluan
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam sebuah negara yang harus
diikuti dan ditaati. Madinah Al-Munawarah adalah salah satu negara yang
mempunyai konstitusi yang tertulis yang dikenal dengan sebutan konstitusi madinah
atau piagam Madinah. Konstitusi Madinah ini tidak lepas dari historis atau sejarah
perjalanan kepemimpinan Rasulullah SAW. Sebagai pemimpin pada masa itu, dan
juga konstitusi Madinah ini tidak lepas tentang masyarakat Madinah. Dalam catatan
sejarah, Madinah adalah sebuah negara yang memiliki lingkungan yang subur. Pada
saat itu, Madinah dihuni oleh orang-orang musyrik yang utamanya dari suku auz dan
khazraj. Rasulullah SAW telah berhasil menjadikan Madinah sebagai negara bangsa
(nation state) yang sebelumnya Madinah adalah negara kota (city state).
Terbentuknya konstitusi madinah, didukung dengan terbentuknya komunitas
masyarakat (ummah) di Madinah menjadi kelompok sosial (community) yang
memiliki kekuatan politik pada pasca periode makkah dibawah kepemimpinan
Rasulullah SAW sebagai kepala negara Madinah sekaligus menjadi komunitas
ummah yang kuat dan berdiri sendiri, yang kemudian menjadi konstitusi Madinah.1
Konstitusi Madinah ini menjadi barometer sistem negara dalam dunia Islam serta
menjadi aturan yang wajid ditaati oleh ummah dalam menjalankan kehidupan dalam
berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian dalam Islam tidak ada ketentuan
khusus atau aturan baku terkait masalah bentuk negara dan konsep negara, akan
tetapi Islam mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk dalam hal politik
maupun negara. Konstitusi Madinah yang dirumuskan oleh Rasulullah SAW
bersama ummah yang kemudian menjadi piagam Madinah yang terdiri 47 Pasal,
yang didalamnya berisikan tentang hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban
bernegara, hak perlindungan hukum, toleransi beragama. Isi piagam Madinah ini
tentunya sekarang yang diterapkan di Indonesia, sebagai negara bangsa (nation state)

1
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press,
Cet. Ke-5, 2002), hlm. 77-78., dapat dilihat juga dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 19860, hlm. 92-93.
sebagaimana Madinah. Dengan kurun waktu yang sangat lama antara konstitusi
Madinah sampai kepada terbentuknya konstitusi Indonesia. Berdasarkan uraian di
atas, rumusan masalah dalam makalah ini ialah Apakah piagam Madinah itu adalah
sebagai konstitusi atau hanya sebuah perjanjian semata? Apa yang dimaksud ummah
dalam piagam Madinah serta Bagaimana relevansi konstitusi Madinah di Indonesia?.
Maka pemakalah akan memaparkan hal tersebut pada bagian pembahasan.

Pembahasan
1. Piagam Madinah dan Konstitusi Madinah
Istilah piagam Madinah atau dalam bahasa Arab mitlaq al-Madinah adalah
sebutan bagi shahifah yaitu suatu lembaran yang tertulis atau kitab yang tertulis oleh
Nabi Muhammad SAW. Kata piagam menunjukkan kepada naskah, sedangkan
Madinah menunjukkan kepada tempat dimana naskah dibuat. Piagam (charter)
adalah dokumen tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat undang-
undang yang mengakui hak-hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak
individu. Piagam juga berarti setiap surat atau dokumen resmi seperti perjanjian,
persetujuan, penghargaan, konstitusi dan sejenisnya yang berisi tentang pernyataan
suatu hal disebut piagam (charter).2 Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa
konstitusi merupakan bagian dari bentuk piagam.
Sebelum terbentuknya negara Madinah, Nabi Muhammad SAW membangun
masyarakat melalui perjanjian tertulis bersama kelompok-kelompok sosial di
Madinah, dengan tujuan untuk menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban
mereka, menetapkan hubungan baik dan kerja sama serta hidup berdampingan damai
diantara kelompok sosial politik. Akhirnya Nabi Muhammad berhasil membuat
pernyataan tertulis melalui piagam Madinah. Terdapat 14 prinsip yang dibangun dan
terangkum dalam butir butir piagam yang terdiri 47 pasal. Prinsip-prinsip tersebut
adalah persamaan, umat dan persatuan, kebebasan, toleransi beragama, tolong

2
Suyuthi Pulungan, Prinsi-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Hlm. 14-15.
menolong dan membela yang teraniaya, musyawarah, keadilan, persamaan hak dan
kewajiban, hidup bertetangga, pertahanan dan perdamaian, amar ma‟ruf nahi
munkar, ketakwaan dan kepemimpinan yang terangkum dalam butir piagam madinah
tersebut.3
Lebih lanjut Muhammad Khalid merumuskan 8 prinsip dalam Piagam
Madinah, antara lain:4
1) Kaum Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang ikut berjuang bersama mereka
adalah umat yang satu.
2) Orang-orang mukmin harus bersatu menghadapi orang bersalah dan orang yang
durhaka walaupun itu anaknya sendiri.
3) Jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang kecil.
4) Orang-orang mukmin harus saling membela diantara mereka dan membela
golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikuti mereka berhak
memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yang diperoleh orang muslim.
5) Perdamaian orang muslim itu adalah satu.
6) Apabila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka
penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum Tuhan dan kepada Muhammad
sebagai kepala negara.
7) Kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka bebas
memeluk agama mereka.
8) Sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar
haknya dan tidak boleh berbuat kesalahan kepadanya.
Prinsip-prinsip dalam piagam Madinah tersebut secara tidak langsung telah
diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwa dengan banyak suku, ras,
yang beraneka ragam dikumpulkan menjadi satu satu negara, namun perbedaan
tersebut bukanlah masalah. Menurut W. Montgemerry di dalam piagam Madinah

3
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan.., hlm. 9
4
Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hlm. 78-
81..
terdapat 10 Bab dan 47 pasal, yang didahului dengan mukaddimah, yakni Bab 1.
Pembentukan Bangsa dan Negara (pasal 1) II, Hak Asasi Manusia (pasal 2-10), III.
Persatuan seagama (pasal 11-15), IV. Persatuan Segenap Warga (pasal 16-24) V.
Golongan Minoritas (pasal 25-55) VI. Tugas Warga Negara (pasal 36-38) VII.
Melindungi Negara (pasal 39-41) VIII. Pemimpin Negara pasal 42-44) IX. Politik
Perdamaian (pasal 45-46) X. Penutup (Pasal 47).5
Menurut penulis, konstitusi Madinah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari piagam Madinah, karena setelah terbentuk negara Madinah dan
kemudian dibuat suatu perjanjian tertulis yang disebut piagam madinah, maka secara
tidak langsung piagam madinah adalah konstitusi Madinah. Jika dihubungkan
dengan pemerintahan di Indonesia saat ini maka Nabi Muhammad bukan hanya
sebagai kepala negara Madinah (eksekutif) akan tetapi beliau juga sebagai legislatif,
yang membuat konstitusi tertulis yaitu piagam Madinah. Menurut pakar politik
bahwa konstitusi pertama di dunia adalah Konstitusi Madinah. Kaum Muslimin
merupakan ummah yang identitas dan keterkaitan utamanya tidak lagi ikatan
kesukuan tetapi iman, agama dan komitmen bersama, begitupun kaum yahudi
Madinah diakui sebagai komunitas (ummah). Menurut sarjana barat D. B. Mac
Donald mengatakan bahwa Madinah telah membentuk negara Islam pertama dan
telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.6
Sebutan „Madinah‟ sendiri dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang sama
dengan „dīn‟, yang berasal dari akar kata “dāna” yaitu sikap tunduk dan patuh
kepada ajaran agama, yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Oleh
karena itu, Madinah sering disebut sebagai „Madînah Madaniyyah‟ (kota
berperadaban). Istilah “madaniyyah” sendiri pada awal dakwah Islam selalu

5
M. Nashir Rasyid, Seputar Sejarah & Muamalah, (Bandung: Al-Bayan, 1997), hlm. 22-23.
6
D.B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and constitution
Theory, (New York: New York Press, 1993), hlm. 67-68
dikaitkan dengan prosesi pembentukan negara.7 Banyak penulis Muslim beranggapan
bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi Negara Islam pertama atau
bahkan juga disebut sebagai Islamic State pertama yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw. Sudah memenuhi kriteria bahwa dalam sebuah persyaratan suatu
negara harus terdiri dari adanya wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan,
dan ada konstitusi. Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad sudah memenuhi
kriteri tersebut. Yang menarik, pernyataan dua tokoh Barat H. A. R. Gibb, W.
Montgomery Watt, dan Muhammad Marmaduke Pickthal bahwa Piagam Madinah
adalah merupakan hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad
dan bukanlah wahyu dan sebagai pencetus konstitusi yaitu Piagam Madinah atau
Watt menyebutnya sebagai “Constitution of Medina” (Konstitusi Madinah).
Semua sarjana mengetahui, dan mengakui bahwa salah satu insiden tindakan
pertama Nabi Saw., untuk mewujudkan masyarakat Madinah itu ialah menetapkan
suatu dokumen perjanjian yang disebut Mitsaq al-Madinah (Charter of Medina).
Inilah dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia, yang meletakkan dasar-
dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam itu ditetapkan adanya pengakuan
kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang perbedaan agama dan suku,
sebagai anggota umat yang tunggal (ummah wahidah), dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama. Dalam hal ini menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad Saw., sudah diakui sebagai pemimpin (leaders) yang memiliki
kekuasaan politik dan sebagai kepala Negara yang ada di Madinah. Oleh karena itu,
jelas bahwa berdasarkan pendapat di kalangan muslim maupun non muslim
mengakui bahwa piagam Madinah merupakan konstitusi. Piagam Madinah dalam
pembuatan bersifat demokratis. Secara teoritis, kesepakatan yang dibuat oleh
Rasulullah SAW bersama masyarakat Madinah tentunya menjadi undang-undang
bagi mereka yang wajib mereka patuhi. Oleh sebab itu, Apabila adanya salah satu

7
Nasr Muhammad Arief, al-Hadharah, ats-Tsaqafah, al-Madaniyyah: Dirasat li Sirat al-
Mushtolah wa Dalalat al-Mafhum, (Herndon, USA,The International Institute of Islamic Thought,
1994), hlm. 50
diantara mereka melanggar piagam Madinah atau melakukan wanspretasi (perbuatan
melawan hukum) terhadap perjanjian tersebut, maka akan diberikan sanksi oleh
Rasulullah SAW sebagai kepala negara sekaligus sebagai penegak hukum. Akan
tetapi bisa saja beliau mendelegasikan kepada sahabat apabila terjadi banyaknya
pelanggaran piagam Madinah tersebut, karena tidak mungkin Rasul SAW
menyelesaikan semua urusannya tersebut yang begitu banyak.
2. Piagam Madinah dan Orisinilitasnya
Piagam yang dibuat oleh Nabi muhammad yang disebut shahifah/ kitab yang
ditulis Ibnu Ishaq benar-benar berasal dari nabi Muhammad SAW sebagai sebuah
perjanjian antara golongan Muhajirin, Anshar dan Yahudi yang mengakui kebebasan
dalam beragama, menjamin harta benda mereka, menetapkan hak-hak dan kewajiban
mereka. Keotentikan piagama Madinah ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq (151
H) dalam kitab Sirah Rasul8 dan Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah.9
Keotentikan piagam Madinah ini diakui oleh William Montgomery Watt, ia
menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut diakui keotentikannya secara umum,
tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang
dalam kandungannya memasukkan orang non muslim kedalam kesatuan ummah.
Beberapa penulis klasik yang menulis tentang piagam Madinah diantaranya
adalah Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhary, Darimi, Imam Muslim. Piagam
Madinah ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa asing, antara lain bahasa
Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Belanda, dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa
Perancis dilakukan oleh Muhammad Hamidullah, dalam bahasa Inggris terdapat
banyak versi. Terjemahan dalam Bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa
Itali dilakukan oleh Leone Caetani, bahasa Belanda dilakukan oleh A. J Wensick dan
bahasa Indonesia dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad.10 Pemberian pasal-pasal
sebanyak 47 itu dilakukan oleh A. J Winsick dalam karyanya Mohammeden de joden

8
Ibnu Ishaq, Sirah al-Rasul, Juz II, (Kairo, t.tp., t.t), hlm. 348.
9
Ibnu Hisyam, al-sirah al-Nabawiyyah, Juz II, (Kairo: Bab al-Halabi, 1955), hlm. 501-505
10
Zaenal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hlm. 4-6.
te Madina, karena pada teks aslinya tidak ada pasal-pasalnya. Sedangkan pemberian
bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Ahmad Abidin yang membagi
menjadi 10 bab. Pada intinya menyatakan berdirinya negara baru dengan warga yang
terdiri dari orang Muhajirin, Anshar, penduduk asli lainnya dan yahudi sama-sama
mendapatkan perlindungan, hak dan kewajiban menjaga negara Madinah.11
Adian Husaini pernah menelusuri dan menelaah keberadaan Piagam Madinah
ini, dan ternyata yang memberikan sebutan “Konstitusi Madinah” terhadap “Piagam
Madinah” adalah seorang orientalis, Willian Montgomery Watt. Sedangkan “Negara
Madinah” sendiri disebut oleh Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menetri Luar
Negeri Pakistan dan Wakil Ketua Mahkamah Internasional, sebagai “Republik
Madinah”. Memang sangat layak dan patut jika dikatakan bahwa “Piagam Madinah”
merupakan konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Sebab pada kenyataannya,
Piagam Madinah ini jauh mendahului konstitusi negara tertulis di Barat, yang sering
diklaim sebagai pioner bagi konstitusi-konstitusi negara tertulis mana pun (lainnya)
yang lahir di dunia ini. Konstitusi negara tertulis yang lahir di Barat adalah Magna
Charta di Inggris, yang lahir enam abad setelah Piagam Madinah. Sedangkan
Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis baru lahir dua belas abad setelah Piagam
Madinah, yang boleh dikata baru seumur jagung dan terbilang baru jika
dibandingkan dengan Piagam Madinah.12
Berdasarkan uraian di atas, keaslian piagam Madinah tidak mungkin
diragukan lagi, karena piagam Madinah telah ditulis dan diteliti oleh para Sarjana
barat, ilmuan muslim bahkan para penulis klasik. Oleh karena itu, konstitusi
merupakan prinsip-prinsip pemerintahan yang sangat fundamental dalam suatu
negara atau pernyataan secara tidak langsung tentang peraturan, kesepakatan,
kebiasaan baik yang tidak tertulis maupun yang tertulis. Jika dilihat dari sisi hukum
positif di Indonesia, konstitusi adalah hukum tertinggi dalam sebuah negara.

11
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan.., hlm. 119.
12
Lihat Adian Husaini, “Piagam Madinah dan Toleransi Beragama” dalam Tim Penulis
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama R.I, Islam dan Isu-isu Kontemporer: Artikel Dakwah dari
Jurnal dan Website, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama R.I, 2010), 143.
Konstitusi tertulis bisa berbentuk suatu aturan perundang-undangan, sedangkan
konstitusi tidak tertulis seperti kebiasaan.
3. Isi Piagam Madinah
a) Pembentukan Ummat (Community)
Pasal ini terdiri dari Pasal 1 yang berbunyi “Mereka adalah satu
masyarakat tunggal yang berada di masyarakat lain.Pada intinya dalam pasal
ini pembentukan komunitas masyarakat Madinah menjadi ummah. Pada
pasal 2 Nabi Muhammad juga menyinggung sebagai satu ummah (ummatan
wahidah) yakni antara kaum muhajirin dari Quraisy dan kaum Muslimin di
Madinah.13
b) Hak Asasi Manusia (HAM)
Terdiri dari pasal 2 sampai Pasal 10 yang berisi bahwa Setiap
keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di
kalangan orang-orang beriman. Umat madinah adalah satu bangsa yang
merdeka bebas dari tekanan maupun pengaruh dari orang lain. Kaum
muhajirin dari Quraisy, Banu Auf, Banu Sa‟idah, Banu Harts, Banu Jusyam,
Banu Najjar, Banu Amrih, Banu An-Nabiet, Banu Aus, memiliki hak-hak
asli dan saling membantu dalam membayar denda secara adil dan baik.
c) Persatuan Se-Agama
Terdiri dari Pasal 11 sampai Pasal 15. Isi pasal ini secara
komprehensif membahas tentang orang-orang Muslim Madinah harus saling
membantu, saling melindungi, saling tolong menolong dalam hal kebaikan,
menyantuni fakir miskin, membantu kaum-kaum yang lemah. Orang-orang
Muslim Madinah dilarang membantu orang-orang kafir dalam memerangi
orang-orang sesama Muslim atau dilarang membantu orang-orang kafir
yang ingin menghancurkan Islam. Orang-orang Muslim harus bersatu dalam
memerangi kejahatan, pengacauan, menghindari permusuhan, orang-orang

13
Muhammad Jalal asy-Syarf dan Ali Abdul Mu‟thi, al-Fiqh as-Siyasi fi al-Isam
Syakhshiyyat wa al-Madzahib, (Mesir: Dar al-Jama‟at al-Mishriyyah, 1978), hlm. 55.
Muslim dilarang melanggar ketertiban, dilarang membunuh sesama Muslim
ataupun non Muslim tanpa alasan yang kuat.
d) Persatuan Segenap Warga Negara
Terdiri dari Pasal 16 sampai 23. Isi pasal ini secara umum
membahas tentang orang Yahudi (diluar Islam), yang setia kepada Negara
berhak mendapatkan perlindungan, perlakuan yang layak dari orang-orang
yang beriman tanpa mengucilkan ataupun menjauhi orang Yahudi tersebut.
Orang Muslim tidak boleh membuat perjanjian sepihak, tanpa
sepengetahuan orang Musim lainnya. Jadi, umat Muslim lainnya harus
mengetahui perjanjian tersebut. Setiap penyerangan musuh terhadap umat
Muslim, maka umat Muslim harus bersatu untuk melawan kezoliman musuh
tersebut, tanpa adanya persatuan, umat muslim akan tercerai berai.
e) Golongan Minoritas
Terdiri dari Pasal 24 sampai Pasal 35. Pada intinya adalah bahwa
semua warga negara Madinah termasuk orang-orang Yahudi di dalamnya,
harus ikut memikul bersama-sama biaya selama Negara dalam keadaan
perang. Kaum Yahudi dari suku Auf, dari Banu Najar, Banu Harts, Banu
Sa‟idah, Banu Aus, Banu Tsa‟labah, Syutaibah, Suku Jatnah yang bertalian
darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah, pengikut Banu Tsa‟labah
adalah satu bangsa dengan warga Negara yang beriman dan orang-orang
Yahudi tersebut bebas memeluk agama mereka seperti halnya orang-orang
beriman (Muslim) di Madinah.
f) Tugas Warga Negara
Terdiri dari Pasal 36 sampai Pasal 38. Berisi tentang warga negara
(Muslim) tidak boleh bertindak tanpa seizin Nabi Muhammad Saw. Setiap
warga negara dapat membalaskan kejahatan yang dilakukan orang lain
kepadanya, yang berbuat kejahatan akan menerima kejahatan kecuali untuk
membela diri. Tuhan melindungi orang-orang yang setia pada Piagam
Madinah. Kaum Yahudi memikul biaya negara seperti halnya orang-orang
beriman (Muslim). Setiap warga negara (Yahudi dan Muslim) terjalin
pembelaan untuk menentang musuh negara serta memberikan pertolongan
pada orang-orang teraniaya.
g) Melindungi Negara
Terdiri dari Pasal 39 sampai Pasal 41 yang berisi tentang kota
Yastrib sebagai ibu kota negara tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh
setiap peserta Piagam Madinah. Tetangga yang berdekatan rumah harus
diberlakukan seperti diri sendiri, saling tolong-menolong dan saling
membantu tanpa pamrih. Tetanga wanita tidak boleh di ganggu
kehormatannya dan ketentramannya dan harus seizin suaminya apabila akan
bertamu ke rumahnya.
h) Pimpinan Negara
Terdiri dari Pasal 42 sampai Pasal 44. Berisi tentang warga negara
tidak boleh bertikai, tiap permasalahan dikembalikan penyelesaiannya pada
hukum Allah dan Hadis Nabi. Orang-orang kafir (musuh) tidak boleh
dilindungi termasuk orang-orang yang membantu mereka. Setiap warga
Negara Madinah yang terikat pada perjanjian ini wajib mempertahankan
kota Yastrib dari aggressor.
i) Politik Perdamaian
Terdiri dari Pasal 45 sampi Pasal 46 yang berisi bahwa setiap kali
ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman
harus melakukannya, kecuali terhadap orang (Negara) yang menunjukkan
permusuhan terhadap agama (Islam). Dan, yang terakhir adalah pasal 47
sebagai Penutup yang berisi tentang amanah Muhammad adalah sebagai
Pesuruh Tuhan (Rasulullah) sebagai rahmat bagi alam semesta.
Berdasarkan isi tentang piagam Madinah di atas yang dibentuk dengan
kesepakatan dengan konsep ummah tentunya sangat relevan untuk diterapkan di
Indonesia, karena piagam Madinah merupakan konstitusi yang menyatukan beberapa
kelompok sosial yang kemudian menjadi satu ummah. Hal ini sangat cocok dengan
negara Indonesia yang terdiri banyak suku bangsa, agama yang berbeda dengan
tujuan yang sama. Dengan piagam Madinah, masyarakat Indonesia akan lebih
mengenal toleransi beragama dengan benar, menerima perbedaan yang ada, tidak ada
lagi rasisme yang terjadi yang mengakibatkan runtuhnya persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Menurut penulis, piagam Madinah dengan konsep ummah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad ini sangat relevan untuk diterapkan di negara
Republik Indonesia sebagai negara yang pluralisme. Secara tidak langsung,
sebenarnya Indonesia telah mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad dengan
konsep Ummah, hal tersebut tersebut tercermin dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal
29 ayat (2) tentang kebebasan beragama. Artinya bahwa prinsip toleransi telah
diterapkan di Indonesia, mereka pada realitanya masih ada rasisme baik dalam
masalah suku, ras maupun Agama.
4. Ummah
Dalam Konsitusi Madinah yang menjadi ikatan sosial yang kokoh dalam
bentuk sebuah perjanjian, Nabi menekankan arti penting konsep “ummah”. Konsep
ini tidak hanya memungkinkan pentingnya kehidupan yang menghargai pluralitas,
akan tetapi menempatkan Islam sebagai rahmatan lil „alamin bagi kelangsungan
kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Menurut Montgomery Watt, istilah
“ummah” berasal dari bahasa Ibrani yang berarti suku bangsa atau bisa juga berarti
masyarakat.14 Ar-Ragib al-Asfahani, ketika beliau menjelaskan tentang pengertian
kata Ummah (bangsa) dalam al-Qur`an, yaitu “tiap-tiap kelompok yang dihimpun
oleh sesuatu, baik sesuatu itu berupa agama, waktu maupun tempat yang satu; baik
pengelompokan itu terjadi secara paksa ataupun atas kehendak sendiri”. 15 Jumlah
secara individu yang disebut sebagai umat, al-Qur`an tidak membatasinya.16

14
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thouht, (Ediburg: University Press, 1968), hlm. 9.
15
Ar-Ragib Al-Asfahani, Mu`jam Mufradat Alfaz al-Qur`an, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), hlm.
19.
16
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 335.
Menurut Al-Husni, kata ummah (dalam bentuk tunggal) terulang sebanyak 51
kali, dan dalam bentuk jama‟ sebanyak 13 kali.17 Pengulangan itu dijumpai dalam 25
surah. Kata ummah dalam bentuk tunggal terulang dalam surah-surah sebagai
berikut: 1. Al-Baqarah/2; 2. Ali Imran/3; 3. Al-Nisa‟/4; 4. Al-Maidah/5; 5. Al-
An‟am/6; 6. Al-A‟raf/7; 7. Yunus/10; 8. Hud/11; 9. Yusuf/12; 10. Al-Ra‟d/13; 11.
Al-Hijr/15; 12. Al-Nahl/16; 13. Al-Anbiya‟/21; 14. AlHajj/22; 15. Al-Mukminun/23;
16. Al-Naml/27; 17. Al-Qasas/28; 18. Al-Fathir/ 35; 19. Gafir/40; 20. Al-Syura/42;
21. AlZukhruf/43; 22. Al-Jasiyah/45. Sementara kata “ummatukum” di jumpai dalam
dua surah, yaitu: 1. Al-Anbiya‟; dan 2. Al-Mukminun.18
Dalam al-Qur`an, kata “ummah” secara tekstual dapat dijumpai sebanyak 52
perkataan yang terangkai dalam berbagai redaksi ayat. Selain itu, terdapat juga
sebanyak dua kali dalam Piagam Madinah, yaitu Pasal 2 dan Pasal 25.19 Namun
penjelasan mengenai konsep “ummah” banyak diulas dalam beberapa pasal
selanjutnya. Misalnya dalam Pasal 2, dikemukakan “sesungguhnya mereka
(penduduk Yastrib) adalah satu ummah yang dihadapkan pada komunitas manusia
yang lain” dan Pasal 25 yang juga mengemukakan Kaum Yahudi Bani Auf bersama
dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak kaum Yahudi
dan kaum Muslimin memiliki kebebasan memeluk agama masing-masing. Dari
kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa konsep “ummah” pada kenyataannya
memiliki makna yang sangat mendalam. Ia menafikan paham kesukuan yang semula
menjadi tradisi bangsa-bangsa Arab dan kemunculannya tidak dapat dipisahkan
dengan upaya dekonstruksi sosial politik masyarakat Arab yang menganut sistem
syu‟biyyah oriented. Dengan diterimanya konsep “ummah” di tengah-tengah
masyarakat Arab ketika itu, fanatisme kabilah dan ikatan darah, pelan-pelan mulai
runtuh dan beralih pada suatu masyarakat yang sesungguhnya, yakni adanya
17
Faudhullah Al-Husni al-Muqdisy, Fathu al-Rahman li Thalbi Ayati al-Qur‟an, (Indonesia:
Maktabah Dahlan, t.th), hlm. 31-32.
18
Sahkholid Nasution, “Makna Kata Ummah Dalam Al-Qur‟an (Kajian Semantik dan
Sintaksis)”, Jurnal Ittihad, Vol. 2, No. 2, (Juli 2018), hlm. 226.
19
Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara”, Jurnal Hak dan Hak
Azazi Manusia, Vol. 2, No. 1, (2012), hlm. 51.
penghargaan terhadap hak dan kewajiban serta memperlakukan yang sama tehadap
anggota masyarakat. Dalam kondisi itulah, kehadiran Muhammad SAW. mampu
menciptakan suatu komunitas masyarakat Madinah yang utuh dengan tanpa
membedakan agama, ikatan kesukuan dan darah.20
Dalam bagian lain, kata “ummah” memiliki kandungan sangat kebangsaan..
Istilah ini juga dianggap tepat untuk menyatukan masyarakat Madinah yang
heterogen dan menjadi satu komunitas baru yang terkait kuat dengan menekankan
pola kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan menjaga keamanan. Di
tengah pluralitas itulah, mereka akhirnya menyadari perlunya hidup dalam suasana
damai dan saling menjalin kebersamaan.21 Konsep mengenai negara dengan model
yang praktekkan oleh Rasulullah SAW. Ini dapat di sebut sebagai city state atau jika
tidak dapat juga dikatakan nation state.22 Secara sederhana, dapat disimpulkan
bahwa konsep ummah ini menghendaki penyatuan masyarakat yang beraneka ragam
menjadi satu komunitas masyarakat yang saling menghargai perbedaan, toleransi
antar umat beragama sehingga tercapailah kedamaian diantara masyarakat.
5. Pendapat Sarjana Barat Tentang Piagam Madinah
Komentar mengenai isi Piagam Madinah Nabi Muhammad, dikemukakan
oleh H.R. Gibb menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah
meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi
sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad
sendiri yang tercantum dalam Piagam Madinah. William Montgomery Watt juga
berbendapat bahwa Piagam Madinah merupakan sebuah konstitusi yang
menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu dapat dianggap telah membentuk
satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian (mitsaq al-

20
Abd. Salam Arif, „Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara‟ dalam A.Maftuh
Abegebril, A. Yani Abevero, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins
Publishing, 2004), hlm. 20.
21
Khamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2014), hlm. 67.
22
Khamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan…, hlm. 66.
Madinah) yang luhur diantara para warganya yang begitu plural dari berbagai ras,
suku, agama dan termasuk Yahudi yang dianggap oleh Nabi melalui Piagam Madiah
sebagai satu ummah yang juga berhak untuk dilindungi.23 Dari pendapat 2 sarjana
barat di atas saja dapat disimpulkan bahwa piagam Madinah bukan hanya dokumen
semata tetapi sebagai konstitusi yang menjadi hukum tertinggi yang wajib ditaati
oleh warga Madinah.
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh Muhammad Khalid, seorang penulis
sejarah Nabi. Ia menegaskan bahwa isi dari Piagam Madinah membentuk suatu
masyarakat Madinah (ummah) yang harmonis, mengatur suatu ummah dengan
bentuk Undang-undang dengan tujuan menegakkan pemerintahan atas dasar
keadilan, kesetaraan, persamaan hak satu sama lain.24 Hasan Ibrahim Hasan juga
berkomentar mengenai Piagam Madinah Nabi Muhammad bahwa adannya piagam
(charter) ini secara resmi menandakan berdirinya suatu negara (nation), yang isinya
terdiri dari. Pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dariberbagai suku
menjadi satu ikatan. Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup
berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa
setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata,
mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat,
menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk
agamalain dalam mengurus kepentingan mereka.
6. Piagam Madinah dan Relevansinya di Indonesia
Dalam Piagam Madinah, ummah menjadi prinsip kunci untuk memahami
komunitas warga Madinah, karena konsep ini merupakan perekat utama bagi
keragaman masyarakat madinah untuk bersatu menjadi sebuah ummah yang rukun
dan menjadi pijakan bersama kerjasama antar berbagai kelompok sosial dalam
konfigurasi pluralstik madinah termasuk kelompok Muslim di Madinah. Di

23
W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, (London: Oxford University
Press, 1969), hlm. 94-95.
24
Abd. Salam Arief, “Konsep Ummah dalam Piagam Madinah”, Jurnal Al-jamiah, No. 50,
(1992), hlm. 89.
Indonesia, sangat penting diterapkan nilai- nilai dalam piagam Madinah tersebut,
karena dari segi masyarakat, Indonesia merupakan negara yang memiliki bahasa,
budaya, agama, ras, suku yang berbeda-beda sehingga apabila nilai-nilai piagam
Madinah tersebut dapat diimplementasikan, maka masyarakat Indonesia lebih
menghargai satu sama lain, terutama bagi umat beragama. Konsep ummah/society
dalam piagam Nabi Muhammad ini menjadi perhatian para sejarah politik Islam (fiqh
siyâsah) dan bahkan menjadi kajian menarik bagi para peneliti di dunia. Konsep
ummah menjadi prinsip kunci untuk memahami komunitas warga, seperti Madinah
menjadi contoh bagi terbentuknya Negara demokratis seperti masyarakat Indonesia.25
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki penduduk dengan
jumlah yang sangat besar dan mayoritas adalah beragama Islam. Kemajemukannya,
hampir sama dengan situasi dan kondisi sosial-politik di Madinah, meskipun beda
masa, akan tetapi dapat dilakukan sebuah penyegaran pengetahuan (fresh knowledge)
bahwa sejarah dapat diimplementasikan pada situasi kekinian khususnya yang
berkembang di Indonesia, paling tidak, nila-nilai (values) yang terdapat dalam
charter of Medina sudah ditetapkan dalam UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang
pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila pertama tersebut memberikan kebebasan
untuk masyarakat indonesia yang berbeda untuk memeluk agama yang mereka sukai.
UUD 1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama dengan satu pasal khusus,
terutama dalam pasal 29. Begitu pula dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang
memberikan harapan bagi pluralitas bangsa dan pluralisme masyarakat
keberagamaan Indonesia tetap berada di bawah naungan dan menjadi satu kesatuan
dasar Pancasila dan UUD 1945. Dari sinilah nilai-nilai piagam Madinah nabi
Muhammad Saw dapat dijadikan sebagai prinsip dasar aturan yang dapat dijadikan
sebagai landasan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Dengan demikian,
Indonesia akan menjadi negara yang mengedepan nilai toleransi antarumat beragama

25
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 66-67.
sehingga damai dari perpecahan antara warga negara, antarumat beragama.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa piagam Madinah yang
dibuat beberapan ratusan tahun masih relevan untuk diterapkan di Indonesia,
mengingat bahwa antara negara Indonesia dan negara Madinah memiliki kesamaan,
yakni dalam hal masyarakatnya yang plural.

Penutup
a. Kesimpulan
Piagam Madinah (charter of Medina) merupakan sebuah perjuangan Nabi
Muhammad dalam membangun komunitas (ummah) Madinah yang terangkum dalam
Piagam Madinah. Isi dari pasal-pasal tersebut mencakup pembentukan Ummah, Hak
Asasi Manusia (HAM), persatuan seagama, persatuan segenap warga negara,
melindungi negara, pimpinan negara, dan politik perdamaian. Penjelasan mengenai
ummah dijelaskan di dalam Pasal 2 dan Pasal 25 Piagam Madinah. Piagam Madinah
merupakan langkah kongkrit Nabi Muhammad SAW dalam membentuk masyarakat,
ummah (society) menjadi sebuah Konstitusi Madinah dalam menghadapi realitas
sosio-politik dari masyarakat yang heterogen.
Jika dikaitkan dengan konteks di Indonesia, sangat penting diterapkan nilai-
nilai dalam piagama Nabi tersebut, karena dari segi masyarkat, Indonesia sangat
beraneka ragam dari berbagai bahasa, budaya, agama, ras, suku, sehingga apabila
nilai-nilai piagam Madinah tersebut dapat diimplementasikan, maka masyarakat
Indonesia lebih menghargai satu sama lain, tidak adanya diskriminasi terhadap suku,
ras, golongan tertentu. Nilai-nilai (values) yang tertuang dalam Piagam Madinah
(charter of Medina) mempunyai makna yang sangat dalam, terutama pesan-pesan
moral di dalamnya seperti prinsip-prinsip bermasyarakat, toleransi dalam beragama,
dan prinsip dalam bernegara, sangat relevan untuk diimplementasikan di Indonesia
yang heterogen agar lebih madani dan bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muqdisy, Faudhullah Al-Husni, Fathu al-Rahman li Thalbi Ayati al-Qur‟an,


Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Al-Asfahani, Ar-Ragib, Mu`jam Mufradat alfaz al-Qur`an, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.
Arif, Abd. Salam, „Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara‟ dalam
A.Maftuh Abegebril, A. Yani Abevero, Negara Tuhan The Thematic
Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004
Ahmad, Zaenal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
…., Membentuk Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
Arief, Nasr Muhammad, al-Hadharah ats-Tsaqafah al-Madaniyyah: Dirasat li Sirat
al-Mushtolah Wa Dalalat al-Mafhum, Herndon USA: The International
Institute of Islamic Thought, 1994.
Arief , Abd. Salam, “Konsep Ummah dalam Piagam Madinah”, Jurnal Al-jamiah
No. 50, 1992.
D. B. Macdonald, Developement of Muslim Theology, Jurisprudence, and
Constitution Theory, New York: New York Press, 1993.
Khamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan, Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2014.

Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara”, Jurnal Hak
dan Hak Azazi Manusia, Vol. 2, No. 1, 2012.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,
1986.
Nasution, Sahkholid, “Makna Kata Ummah Dalam Al-Qur‟an (Kajian Semantik dan
Sintaksis)”, Jurnal Ittihad, Vol. 2, No. 2, Juli 2018.
Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-nabawiyyah, Juz II, Kairo: Bab al-halabî, 1955.
Ibnu Ishaq, Sirah al-Rasul, Juz II, Kairo, t.tp., t.t.
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali
Press, Cet. Ke-5, 2002.
Rasyid, M. Nashir, Seputar Sejarah & Muamalah, Bandung: Al-Bayan, 1997.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1996.
Watt, W. Montgomery, Islamic Pilitical Thought, Ediburg: Ediburg University Press,
1968.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai