Anda di halaman 1dari 11

PIAGAM MADINAH

Madinah menyimpan pesan, pengalaman, dan sejarah. Ketiga hal tersebut terangkum
dalam piagam madinah. Piagam ini banyak di perbincangkan orang. Baik kalangan muslim
maupun kalangan non – muslim. Piagam ini telah membuktikan salah satu esensi dalam islam
adalah perdamaian dan persaudaraan.
Bagi setiap umat islam, piagam ini merupakan inspirasi untuk memperjuangkan hak-hak
nya dalam jalur politik. Bahkan mereka menganggapnya prototip dari politik islam yang bersifat
idiluhung. Sebab piagam tersebut meneguhkan posisi islam sebagai sebagai agama yang
menerima perbedaan dan menjadikan kebhinekaan sebagai kekuatan untuk membangun sebuah
komunitas yang kuat, bermartabat dan menjujung tinggi keadaban.
K.H Said Aqil Siradj dalam sebuah acara Dialog Muslim Moderat di TVRI menyebutkan,
bahwa di dalamnya tidak disebutkan satu kalimat pun tentang penegakan Syariat Islam. Piagam
tersebut menggunakan kata yang bersifat universal, yaitu umat. Hal tersebut semakin
meneguhkan visi islam dalam membangun politik, yaitu politik kesetaraan.
Fakta sejarah piagam madinah telah menegaskan perbedaan yang sangat mendasar
dengan pandangan dan sikap politik sebagian kelompok yang selama ini mengampanyekan
penegakan Syariat Islam dalam ranah politik, terutama dalam konteks penegakan hukum pidana
islam. Piagam madinah secara eksplisit tidak merekomendasikan penegakan hukum islam di
tengah kemajemukan kelompok.
Maka dari itu, mereka yang selama ini mengusung penegakan Syariat Islam dalam ranah
politik bukanlah sebuah manifestasi dari piagam madinah. Mereka hakikatnya mengembangkan
politik ala kerajaan Arab Saudi. Dalam pengalaman periode Nabi hingga Dinasti Ottoman,
penegakan Syariat Islam dalam ranah politik hampir tidak pernah terdengar.
Fenomena penegakan Syariat Islam dalam ranah politik merupakan implementasi dari
politik hukum kerajaan Arab Saudi. Belakangan ini, meraka yang juga menerapkan Syariat islam
dalam ranah politik, terutama dalam konteks penegakan hukum islam yaitu Taliban. Salah satu
karakter yang menonjol dari paradigma Syariat Islam ala kelompok ini, yaitu menegakkan hukum
pidana islam dan menolak kebhinekaan. Mereka mengembangkan penegakkan hukum islam ala
Wahabisme dan mengabaikan pendekatan hukum sebagaimana dilakukan oleh ulama – ulama
kalangan Sunni.
Dalam hal ini, menurut Kang Said – panggilan akrab K.H Said Aqil Siradj – Piagam madinah
memuat sebuah pesan yang sangat berharga bagi pengembangan konstitusi yang demokratis,
yang mana sangat berbeda dengan penegakan Syariat Islam. Piagam Madinah secara eksplisit
sangat mengakomodasi kelompok – kelompok lainnya, khususnya kalangan Yahudi dan kalangan
pagan. Mereka yang terlibat dalam piagam tersebut mempunyai komitmen untuk hidup bersama
dengan damai dan saling bahu – membahu dalam membangun Madinah sebagai kota yang
berperadaban dan berkeadaban.
Kang Said menambahkan, Madinah merupakan prototip dari negara – bangsa yang amat
menekankan prinsip kemajuan dan peradaban dalam islam. Dan prinsip tersebut seyogianya
harus menginspirasikan seluruh kelompok dan kalangan dalam islam untuk mengembangkan
politik yang menegakkan moralitas, mengembangkan peradaban dan memihak pada
kepentingan semua kelompok apa pun latar belakang suku, agama, dan ras nya.
Abdul Husein Sya’ban dalam Fiqh al – Tasamuh fi al – Fikr al – Arabi al – Islami : al –
Tsaqafah wa al –Dawlah, menegaskan bahwa Piagam madinah puncak dari toleransi dalam islam.
Piagam tersebut disebut puncak toleransi bukan hanya sekedar berupa naskah perjanjian, tetapi
karena sudah di terjemahkan dalam dokumen politik, terutama melalui sebuah konstitusi
Madinah.
Bahkan, menurut Husein Sya’bah, sikap yang diambil nabi merupakan kelanjutan
kesepakatan perdamaian yang sudah dilaksanakan di Mekkah, yang dikenal dengan Hilf al –
Fudh’hul. Kesepakatan tersebut dikeluarkan pada abad ke – 6 M, atau sekitar tahun 590 – an,
yang berisi perihal pentingnya menolak berbagai macam bentuk penindasan dan kezaliman,
menegakkan persamaan bagi orang – orang Mekkah dan mereka yang datang ke kota suci,
menegakkan kebenaran dan membela hak – hak orang yang di zalimi, menjaga hak hidup setiap
orang dan menjadikan lembaga elite Mekkah sebagai rujukan untuk mengatasi kezaliman. Konon,
Nabi membatalkan banyak kesepakatan yang sudah diambil pada masa Jahiliyah, kecuali Hilf al –
Fudh’ul.
Dari pemandangan ini dapat dipahami, bahwa Piagam Madinah pada hakikatnya
merupakan sebuah kelanjutan dari kesepakatan yang di buat pada masa Makkah, yang mana
kesepakatan tersebut mengalami kemandegan, karena orang – orang Quraysh yang merupakan
kelompok mayoritas kerap kali melanggar kesepakatan tersebut.
Muhammad SAW dalam hidupnya juga kerapkali melakukan perjanjian dan kesepakatan
serupa. Hal tersebut dilakukan untuk membangun kesepahaman di antara berbagai individu dan
kelompok. Disamping itu, dalam rangka membangun pentingnya kesadaran kolektif dalam
membangun sebuah tatanan masyarakat, semakin besar tanggung jawab kolektif dari setiap
individu yang berada dalam sebuah masyarakat, maka hal tersebut akan memberikan makna
yang sangat berarti untuk mewujudkan cita – cita dalam membangun masyarakat yang
berkemajuan dan berperadaban.
Piagam Madinah secara eksplisit merupakan upaya yang sunggu – sungguh dari Nabi
untuk membangun toleransi. Beliau ingin menunjukan kepada umatnya dan kabilah
yang hidup di Madinah, bahwa kepemimpinannya akan mengedepankan prinsip
toleransi, baik toleransi di dalam internal umat islam maupun tolelransi dalam
konteks antar agama dan kabilah.
Nabi telah gagal melakukan hal tersebut di Mekkah. Maka dari itu, pilihannya adalah
membangun kesepakatan yang lebih rinci, terukur, dan bermakna. Piagam Madinah dilihat dari
segi substansi jauh lebih kuat, karena berhasil memotret hak – hak dari setiap individu dan hak –
hak setiap kelompok. Shalalhuddin Jursyu dalam al – Haqq al – Qadim, juga menegaskan bahwa
Piagam Madinah merupakan upaya konstitusional yang di lakukan oleh Nabi untuk membangun
sebuah masyarakat baru, yang mana hidupnya telah di persembahkan sepenuhnya untuk
mencapai cita-cita sebuah masyarakat baru yang menjujung tinggi kesetaraan, keadilan, dan
perdamaian.
Piagam Madinah secara eksplisit merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari Nabi
untuk membangun toleransi. Beliau ingin menunjukan kepada umatnya dan kabilah yang hidup
di Madinah, bahwa kepemimpinan akan mengedepankan prinsip toleransi, baik toleransi didalam
internal umat islam maupun toleransi dalam konteks antar agama dan kabilah. Madinah
merupakan laboratorium sosial – politik yang sangat baik untuk melakukan hal tersebut, karena
mereka mempunyai kepedulian dan kesiapan mental untuk menerima kebijakan. Berbeda
dengan masyarakat Mekkah, mereka tidak mudah di yakini dengan ajaran tentang kebenaran
dan perdamaian.
Masyarakat madinah adalah masyarakat yang mau menerima ajaran tentang kebenaran
dan perdamaian. Tatkala islam di dakwahkan kepada mereka pada saat berziarah ke Ka’bah,
mereka dengan mudah menerima ajaran Nabi. Padahal mereka adalah kaum pagan,
sebagaimana orang – orang Mekkah. Di samping itu, sebagian penduduk Madinah adalah
penganut yahudi, yang mana meraka juga meramalkan perihal kedatangan seorang Nabi dan
pemimpin agung ke Madinah pada suatu saat nanti. Dan Nabi juga diramalkan akan menetap
lama di kota tersebut.
Madinah mempunyai pesona tersendiri, karena masyarakatnya mempunyai karakter
yang suka bersahabat dan membangun haromoni. Fakta tersebut tidak hanya berlaku pada zama
Nabi, tetapi juga bertahan hingga sekaran ini. Madinah telah mampu menghancurkan
menghancurkan nafsu – nafsu kebencian (al–nafs al–lawwamah) yang biasanya bertengger pada
orang-orang pagan Arab. Itulah keberhasilan ajaran islam, yang menaklukan setiap kebencian
menjadi toleransi.
Para ulama tidak memberikan pemaparan yang memadai seputar waktu di buatnya
piagam ini. Hal tersebut terkait dengan beberapa hal, diantaranya tidak masuknya tiga kelompok
besar Yahudi, yaitu Bani Qaynuqa, Bani Qaynuqa, dan Bani Nadhir. Begitu pula terkait dengan
posisi Nabi dalam masyarakat Madinah, yang mana hal tersebut mempengaruhi terhadap
signifikansi piagam tersebut.
Uri Ubin dalam The Constitution of Medina memandang, bahwa Piagam Madinah di buat
disaat umat islam sudah mempunyai pengaruh yang besar dan mapan, established. Hal
tersebutdekait dengan kata haram yang terdapat dalam naskah perjanjian. Pandangan ini ingin
menegaskan, bahwa posisi Nabi sebenarnya sudah sangat kuat di dalam struktur masyarakat
Madinah.
Sedangkan Wensinck memandang, bahwa ketika Piagam Madinah dideklarasikan, umat
islam sudah berbeda kongsi dengan tiga kelompok besar Yahudi di atas. Salah satu faktanya,
bahwa ketiga kelompok tersebut tidak termasuk kedalam poin-poin naskah perjanjian. Dan hal
ini membuktikan, bahwa Nabi sudah mampu menaklukan kelompok besar tersebut, sehingga
bagi umat islam tidak ada hambatan lagi untuk membuat kesepakatan yang mampu melindungi
kepentingan semua golongan.
W. Montgomery Watt dalam Muhammad at Medina menyebutkan, bahwa Piagam
Madinah dideklarasikan sebelum perang badar, mengingatkan beberapa kelompok yang terlibat
dalam perjanjian tersebut ikut serta dalam Perang Badar.
Dari ketiga pandangan tersebut, pandangan Watt yang mendekati kebenaran, karena
Perang Badar merupakan perang yang di lakukan dengan penuh kepercayaan yang tinggi dari
Nabi dan diikuti oleh berbagai kelompok yang terlibat dalam perang tersebut. Menurut Husein
Sya’ban, Piagam tersebut dideklarasikan antara tahun 622 M dan 624 M, yaitu tidak begitu lama
setelah Nabi berada di Madinah. Itu artinya, bahwa apa yang dilakukan beliau selama di Madinah
merupakan sebuah keberhasilan yang sangat luar biasa, karena dalam jangka waktu beberapa
tahun saja sudah mampu merangkul berbagai kelompok yang cukup beragam yang berada di
Madinah. Tidak hanya itu saja, Nabi di percaya sebagai pemimpin mereka.
Naskah Piagam Madinah dimulai dengan kata Hadza kitabun min Muhammad al-Nabi.
Naskah Piagam ini berasalm darin Muhammad SAW. Dari studi teks, tidak bisa di mungkiri,
bahwa nabi sudah mempunyai tempat yang cukup strategis di tengah – tengah masyarakat
Madinah. Bahkan, secara khusus didalam naskah tersebut menegaskan posisi Muhammad SAW
sebagai Nabi. Artinya, penduduk Madinah tidak mempersoalkan lagi posisinya sebagai pemimpin
umat islam dan utusan Tuhan. Posisi beliau sangat kuat, karenanya saat Nabi hendak
mengumumkan keinginannya untuk melakukan Perang Badar, penduduk Madinah menerima
pengumuman tersebut dengan gegap – gempita. Apalagi kalangan Anshar, khususnya kabilah
Aws dan Khazraj yang sejak lama membujuk Nabi untuk membela diri dari ancaman orang-orang
Quraysh, yang kerap kali melecehkannya sebagai Nabi.
Maka dari itu, piagam madinah merupakan saalah satu bukti pengakuan Nabi sebagai
pemimpin sosial-politik, yang mana peranya juga mengatur urusan seluruh masyarakat. Dalam
kacamata kalangan sunni, hal tersebut identik dengan kedudukannya sebagai utusan Tuhan
(rasulullah). Sebagai Nabi, tugas Muhammad SAW hanya mendakwahkan ajaran-ajaran Islam.
Tetapi tugas beliau sebagai utusan Tuhan lebih dari sekedar itu, yaitu mengubah masyarakat
menuruti pedoman nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, yang merupakaan inti dari ajaran
islam. Nabi bersabda, tidak ada mimpi yang disukai Allah daripada mimpi seorang pemimpin dan
kelembutannya, dan tidak ada kebodohan yang paling di benci Allah daripada kebodohan
seorang pemimpin dan kediktatorannya.
Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang dulu bermimpi untuk menjadi seorang
pemimpin yang membawa ajaran tentang kelembutan. Mimpi tersebuh sudah di cobanya selama
tiga belas tahun di Mekkah, tetapi orang-orang Quraysh menolaknya. Beliau pun tidak putus asa.
Setelah melakukan hijrah ke Madinah, beliau menemukan mimpinya setelah menjadi realitas
yang membuatnya mempunyai spiritualitas yang tinggi. Dukungan dari para sahabatnya terus
bertambah, sehingga Nabi tidak ada ke khawatiran sedikitpun, untuk melakukan sebuah langkah
yang bersifat besar, yaitu melakukan kediktatoran dan kecongkakan orang-orang pagan Quraysh.
Mereka akan menjadi duri dalam sekam yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi orang-orang
Madinah, terutama mereka yang belum memeluk Islam.
Dalam hal ini, Piagam Madinah telah menjadi pijakan konstitusional yang begitu kuat.
Bahkan, piagam tersebut dikenal sebagai konstitusi pertama yang dibuat didunia. Dan karenanya,
islam merupakan salah satu agama yang sejak awal menunjukan salah satu kemodernannya,
serta mampu membangun konsensus dan komunikasi diantara berbagai kelompok yang
beragama. Muhammad SAW secara menakjubkan telah membuktikan, bahwa Islam adalah
agama yang mampu menerima kabhinekaan dan merumuskannya dalam sebuah konstitusi.
Dalam bingkai tertentu, piagam tersebut mengukuhkan karakter politik yang bersifat
demokratis dan menolak berbagai macam tindakan otoriter dalam politik. Konstitusi yang di
canangkan Madinah secara nyata menegaskan komitmen Nabi agar urusan sosial-politik
dibangun diatas prinsip musyawarah diantara berbagai kelompok agama dan kabilah yang berada
di Madinah. Yang mana musyawarah tersebut harus memperhatikan kepentingan bersama, baik
kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
Bahkan Husein Sya’bah (2005) menegaskan perihal poin-poin yang tertera dalam
konstitusi tersebut, yang secara eksplisit tidak menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist.
Piagam Madinah merupakan salah satu bukti sejarah yang sangat nyata, bahwa ketika Nabi
membuat konstitusi tidak menggunakan teks-teks keagamaan.
Meskipun demikian, nilai-nilai yang tertuang didalam Al-Quran dan hadist seperti
keadilan, kesetaraan, keadaban, persudaraan dan perdamaian begitu kentara dalam konstitusi
tersebut. Dalam hal ini, semakin jelas bahwa untuk memperjuangkan nilai-nilai utama yang
merupakan sendi dari tegaknya tatanan sosial harus diutamakan dari pada hegemoni ideology
tertentu.
Para ulama di masa lalu sudah memberikan pendasaran teologis dalam konteks sosial-
politik. Diantaranya, Muhammad Thahir bin ‘Ashur dalam Maqashid al-Syari’ah bahwa dibalik
syariat terkandung nilai-nilai yang sangat penting, yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk
membangun hubungan sosial yang lebih berkeadaban dan berkeadilan. Di antaranya nilai
persaudaraan dan kemaslahatan, yang harus senantiasa di kumandangkan, sehingga dalam
kehidupan sosial yang mana didalamnya ditandai dengan kemajemukan, umat Islam pun bisa
berperan secara luas.
Dalam hal ini, Piagam Madinah merupakan konstitusi yang menegaskan visi islam sebagai
agama yang selalu mengedepankan toleransi dan kebersamaan, yang mana relasi antar
kelompok tidak hanya berdasarkan keyakinan sebuah agama, tetapi berdasarkan prinsip
kemanusiaan. Dialam Al Quran, misi Nabi yang mulia itu dikenal dengan rahmatan lil ‘alamin.
Yaitu sebuah misi yang memiliki komitmen kuat untuk membangun tali kasih diantara penduduk
bumi, apapun latar belakang agama dan suku mereka.
Perbedaan kemajemukan bukanlah laknat dan ancaman bagi kehidupan. Perbedaan dan
kemajemukan merupakan anugrah Tuhan yang harus di sikapi dengan baik. Intinya adalah
kebersamaan untuk membangun sebuah Negara-bangsa yang menjunjung tinggi hak-hak setiap
orang dan kelompok yang hidup di dalamnya.
Piagam Madinah merupakan sebuah pencapaian spektakuler dari seorang pemimpin
umat dan pemimpin politik. Muhammad SAW merupakan teladan, baik diruang privat, maupun
diruang public. Di dalam ruang privat, beliu senantiasa mengajak umat islam agar menegakkan
Syariat Islam secara konsisten dan konsekuen. Sedangkan didalam ruang politik, beliau mengajak
umat islam agar mengikuti pedoman nilai-nilai universal yang terkandung didalam Syariat Islam.
Yang mana nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai common platform untuk membangun
kebersamaan dan kesetaraan diantara berbagai kelompok.

Kesetaraan Umat
Salah satu aspek yang paling utama dan penting dalam Piagam Madinah adalah
perubahan status sosial dari pertalian darah (al-nasab) menuju pertalian(ummah). Didalam
permbukaan konstitusi tertulis. “Perjanjian ini dari Muhammad, seorang Nabi, dilakukan dilengan
Quraysh dan Yatsrib, serta siapapun yang menyertai dan menyusul mereka dan berjuang
bersama mereka; Bahwa mereka adalah satu umat, diluar golongan lain”.

Kata yang memuat makna penting yaitu satu umat (ummatun wahidah). Seluruh pihak
yang terlibat dalam konsensus politik dan menyetujui lahirnya konstitusi Madinah disebut
sebagai satu umat, tidak peduli apa latar belakang agama dan ras mereka. Hal ini komitmen nabi
yang sangat agar islam memasuki era baru, yaitu era melindungi kelompok lain yang berbeda
keyakinan. Jika pada periode Makkah berupaya untuk melindungi kelompoknya, dan kemudian
hijrah ke Madinah. Maka periode Madinah, Nabi merasa perlu memberikan perlindungan serupa
terhadap penduduk Madinah yang telah menerimanya dengan lapang dada dan hati terbuka.
Apalagi saat Nabi datang ke Madinah pertama kali merupakan kelompok minoritas diantara
mereka.

Maaka dari itu, tatkala Nabi dan kaumnya mulai bergeliat dan diterima sebagai pemimpin
yang mampu mendamaikan diantara berbagai kelompok, maka Nabi membalasnya dengan
sebiuah komitmen untuk melindungi mereka dari berbagai ancaman, baik dari penduduk
Madinah yang mempunyai niat buruk maupun orang-orang pagan Quraysh yang selalu mengintai
Nabi dan pengikutnya di Madinah.

W. Montgomery watt (1956) menegaskan, bahwa istilah ummah merupakan kata yang
tidak mempunyai akar dalam bahasa Arab. Istilah tersebut mempunyai akar dari Sumeria. Istilah
ummah berbeda dengan qawm, yang lebih dekat dengan pertalian darah atau suku.istilah
ummah digunakan oleh Al Quran pertama kali untuk meneguhkan mereka sebagai pengikut Nabi.
Meskipun harus di pertegas, perbedaan konteks antara istilah ummah yang digunakan Nabi
dalam naskah Piagam Madinah dengan istilah ummah yang terdapat didalam Al Quran. Konteks
turunnya ayat tersebut dilakukan setelah perang Uhud, yang mana kata tersebut lebuh identic
dengan mereka yang mengikuti ajaran Nabi. Sedangkan istillah Ummah dalam Piagam Madinah
merujuk pada kelompok agama lain, yang terlibat dalam kesepakatan.

Konsepsi Ummah dalam Piagam Madinah, menurut Watt, merupakan sebuah


kecenderungan baru, konsensun yang terjadi antara nabi dan penduduk Madinah dibangun
diatas pondasi agama, bukan fondasi pertalian darah. Istilah umat sangat identik dengan istilah
agama dari pada istilah dalam pertalian darah. Dalam pertalian darah, biasanya dikenal dengan
istilah bani. Sedangkan dalam pembukuan konstitusi disebutkan dengan istilah ummatun
wahidah.

Istilah umat tersebut, Watt menambahkan, juga terkait kebijakan yang diambil nabi
seputar kedudukan kalangan non-Muslim di Madinahsebagai ahl al-dzim-mah. Yaitu kelompok
yang berada dalam lindungan Nabi. Mereka mempunyai hak hidup sesuai dengan kesepakatan
yang sudah terbentuk, diantaranya membayar pajak terhadap pemerintahan Nabi. Didalam pasar
lain juga di tegakkan, ana dzimmatallah wahidatun yujiru ‘alayhim adnahum. Mereka yang
berada dalam jaminan Allah adalah satu, melindungi mereka yang paling rendah dan lemah
kedudukannya.

Pandangan Watt sebelum mempunyai kelebihan dan kelemahan. Ia memberikan


eksplorasi yang lumayan penting untuk melihat sejauh mana peran Nabi untuk menggantikan
pertalian darah yang selama ini memnciptakan friksi diantara orang-orang Arab. Islam sebagai
agama yang relatif baru pada saat itu telah mampu meleburkan relasi pertalian darah, terutama
antara kalangan Anshar dan kalangan Muhajirin. Apa yang dilakukan Nabi merupakan sebuah
tradisi yang relatif baru, yang mana hubungan mereka dipersatukan oleh keyakinan Islam.

Sejarah membuktikan, bahwa orang-orang Yahudi yang berada di Madinah tidak mampu
melakukan hal tersebut, terutama di tiga kelompok besar yaitu Qaynuqa, Quraydza, dan Nadhir.
Mereka memlihin untuk hidup secara terpisah diantara mereka, meskipun mereka disatukan oleh
keyakinan yang sama, yaitu Yahudi. Tetapi Nabi telah mampu meyakinkan para pengikutnya,
bahwa mereka harus melebur menajdi satu dalam persaudaraan yang di bangun atas dasar
keislaman, yang dikenal dengan ukhuwwah islamiyyah.
Adapun kelemahannya, bahwa Watt tidak memahami pembukaan konstitusi tersebut
secara cermat. Secara jelas, Nabi menegaskan bahwa siapapun yang ikut perjuangan
bersama Nabi untuk mewujudkan kedaulatan Madinah merupakan satu umat. Konstitusi
tersebtu menegaskan tentang universitas ajaran Islam yang sunggu – sungguh ingin
merangkul semua kalangan untuk membangun kedaulatan dan kemerdekaan.

Sedangkan Urin Ubin (1985) memberikan catatan kritis untuk Piagam Madinah. Ia
memandang, bahwa orang-orang Yahudi yang di akomodasi oleh Nabi adalah orang-
orang Arab yang mempunyai keturunan Arab. Sedangkan orang-orang Yahudi yang
mempunyai Afilisiasi dengan Ibrani tidak di rangkul. Yahudi yang terlibat dalam piagam
tersebum merupaka kelompok minoritas dalam Yahudi. Diantara Bani Haritsah, Bani
Najjar, dan Bani ‘Amr bin ‘Awf.

Dalam hal ini, pandangan Ubin dengan mudah di sangkal, bahwa ketidakterlibatan
meraka dalam konsensus, bukan karena Nabi tidak menerima mereka. Tetapi justru
mereka yang justru mengisolasikan diri, dan mulai merasa kehilangan pengaruh di
Madinah. Mereka yang beratus-ratus tahun menguasai Madinah, dan berharap untuk
mengambil alih kembali mengalami kegagalan yang bersifat permanen. Bahkan mereka
kerap kali menyebarkan provokasi dan fitnah, baik diantara kabilah Aws dan Khazraj, yang
menyebabkan konflik diantara mereka. Begitu pula fitnah Nabi terhadap pengikutnya.

Perihal komitmen Islam dalam membangun toleransi juga di tegaskan Nabi pada
masa itu, yaitu tatkala menerima delegasi Kristen Bani Najran di Masjid Nabi. Muhammad
Husein Haikal dalam Hayatu Muhammad menegaskan komitmen toleransi Nabi terhadap
umat agama-agama samawi sejauh mereka mempunyai komitmen untuk membangun
toleransi. Madinah telah menjadi testimony sejarah, bahwa Nabi telah menerima
kehadiran umat agama-agama dengan penuh persahabatan dan persaudaraan. Bahkan
Ibnu Hisyam menegaskan, saat itu para sahabat terkaget-kaget saat Nabi menerima tamu
Kristen Bani Hajram. Nabi berkata sambil memberikan senyuman, “Biarkan mereka
bersilaturahmi kepada kita”.

Sikap ini telah mengispirasi para sahabat untuk membangun persahabatan


dengan kelompok agama lain. Yang paling popular adalah Umar bin Khattab yang
membuat pakta perjanjian serupa di Jerusalem bersama dengan orang-orang Kristen
untuk menjaga keamanan dan kenyamanan diantara umat agama-agama samawi,
khususnya Islam dan Kristen.

Husein Sya’bah (2005), memandang kata ummah wahidah merupakan jejak


paradigma kewargaan dalam islam. Spirit yang menonjol dalam piagam tersebut yaitu
kesetaraan. Hal tersebut tidak lain sebagai bentuk komitmen Nabi untuk merangkul
berbagai kelompok yang ingin membangun Madinah sebagai kota peradaban yang dapat
melindungi kebhinekaan.
Maka dari itu, apa yang tertuang dalam pembuakaan piagam menjadi sebuah
modal yang sangat besar bagi umat Islam, terutama pasca jatuhnya Dinasti Ottoman di
Turki. Umat Islam terbagi dalam Negara bangsa, yang mana konteks sosialnya menyerupai
konteks Madinah pada masa awa. Islam pada periode Madinah telah memberikan
pengalaman yang sangat berharga, bahwa kesetaraan diantara berbagai kelompok
merupakan salah satu prinsip yang mesti diutamakan.

Dalam konstitusi yang mesti di tonjolkan adalah persamaan diantara berbagai


kelompok sejauh mereka mematuhi poin-poin yang tertuang dalam konstitusi. Mereka
berhak dilindungi dan melindungi, serta saling bahu-membahu untuk kenyamanan,
kemakmuran, dan kedamaian tatanan sosial-masyarakat.

Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila dan UUD 1945, secara substansial


menyemangati pesan yang terdapat didalam Piagam Madinah. Sebagai kelompok
mayoritas, umat Islam memilih jalan kesetaraan, yang setiap warga Negara mempunyai
kedudukan yang sama. Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta
mematuhi hukum yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

Spirit kewarganegaraan sepeti ini harus senantiasa menyala, yang di isnpirasikan


melalui Piagam Madinah. Meskipun ada sebagian pihak yang hendak menggunakan
piagam tersebut sebagai jalan justifikasi bagi ideology yang tertutup, tetapi nuansa islam
sebagai agama yang menebarkan perdamaain dan kasih sayang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Ajaran telah tersebar dan berkembang di seantero dunia dengan keterbukaan
dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan kebhinekaan. Istimewanya, Islam telah
memberikan kesempatan kepada umatnya untuk senantiasa memainkan peran yang
konstruktif, baik dalam kepastiaannya sebagai umat mayoritas maupun umat minoritas.

Madinah telah menjadi saksi sejarah yang sangat baik untuk membangun Negara-
negara yang menjunjung tinggi kesetaraan. Sejauh setiap warga mematuhi hukum dan
melaksanakan kewajibannya, maka mereka mempunyai hak dan kedudukan yang setara.
Relasi antarwarga tidak lagi dikendalikan berdasarkan mayoritas-minoritas. Di samping
itu, yang tidak kalah penting adalah kehendak pemimpin untuk mewujudkan cita-cita
kebersamaan dan persaudaraan. Semua itu hanya akan menjadi mimpi, jika tidak ada
sososk secara konsisten dan konsekuen dapat meyakinkan public, bahwa dalam
kebersamaan terhadap manfaat dan berkah yang sangat besar, terutama untuk
kemaslahatan bersama dalam rumah kebangsaaan.
Kebebasan Beragama

Piagam Madinah secara eksplisit juga menegaskan perihal penting kebebasan


beragama. Secara khusus disebutkan, wa ann al-yahud yumfiqun ma’a al-mu’minin, li al-
yahudi dinuhum wa li al-Muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum. Dan orang-orang
Yahudi dari Bani Awf adalah umat bersama orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi
hendaklah berpegang teguh kepada agama mereka, sebagaimana orang-orang muslim
juga berpegang teguh pada agama mereka, termasuk juga loyalis dan diri mereka.

Didalam pasal-pasal setelahnya juga ditegaskan secara eksplisit, beberapa


kelompok Yahudi yang diberikan kebebasan kepada mereka, yaitu Yahudi Bani Najjar,
Yahudi Bani Harits, Yahudi Bani Jasym, Yahudi Bani Aws, Yahudi Bani, dan Yahudi Bani
Tsa’labah. Mereka juga mendapatkan nafkah dan menjaga ketertiban umum, terutama
dari orang-orang yang hendak melakukan kezaliman.

Muhammad Husein Haikal menegaskan, bahwa misi utama yang di gelar Nabi
selama berada di Madinah adalah memberikan jaminan kepada kelompok-kelompok
agama dan suku Arab untuk memeluk agama dan menganut kepercayaan mereka masing-
masing. Sebab hanya dengan kebebasan, tatanan sosial akan menemukan kebijakan dan
kemajuan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang saling menghormati antara satu
agama dengan agama yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Begitu pula, menafikan kebebasan beragama merupakan sebuah pengingkaran


terhadap sunnatullah. Sebab Tuhan yang telah menjadikan manusia dengan berbagai
agama-agama, dan meyakini ajaran yang dibawa oleh para Nabi. Salah satu bentuk
apresiasi islam terhadap agama-agama samawi tersebut diapresiasikan melalui rukun
iman, yang mana salah satu klausulnya: Beriman kepada para Nabi, termasuk Nabi Musa
yang membawa ajaran Yahudi dan Nabi Isa yang membawa ajaran Kristen.

Kebebasan beragama, sebagaimana ditunjukkan Nabi dalam Piagam Madinah,


pada hakikatnya merupakan implementasi dari wahyu Al Quran yang secara eksplisit
menjunjung tinggi kebebasan beragama. Allah SWT berfirman, Dan katakanlah, bahwa
kebenaran itu berasal dari Tuhan kalian. Barangsiapa diantara kalian berkehendak, maka
berimanlah, tetapi barangsiapa diantara kalian berkehendak, maka kufurlah ( QS. Al-Kahf
[18]: 29).

Muhammad Thahir bin Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menegaskan, bahwa


setelah Nabi menjelaskan visi dan misi Islam, maka setelah itu keputusan diserahkan
sepenuhnya kepada setiap individu untuk menentukan pilihan : iman dan kufur.
Sedangkan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim memandang, bahwa ayat tersebut
merupakan penegasan dari Tuhan, karena dalam ayat selanjutnya di tegaskan perihal
neraka yang disediakan oleh orang-orang yang menebarkan kezaliman.
Didalam ayat lain disebutkan, bagi kalian adalah agama kalian, dan bagiku adalah
agamaku (QS. Al-Kafirun [109]:6). Imam al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, bahwa ayat ini
untuk menegaskan distingsi antara kemusrikan dan ketauhidan. Di dalam ayat lain
disebutkan, Wahai Muhammad, sesungguhnya kamu hanya pemberi peringatan, dan
kamu bukan sekali-kali sebagai pemaksa (QS. Al-Ghasyiyah [88]:22).

Kedua ayat yang pertama menyimpan pesan yang sengat penting, bahwa
kebebasan yang diberikan Tuhan kepada mahkluknya tidak hanya kebebasan untuk
beragama, tetapi juga kebebasan untuk tidak beragama. Semuanya mempunyai hak
untuk hidup didunia, walaupun Tuhan juga menegaskan bahwa setiap pilihan tersebut
akan di hisab Tuhan pada akhir nanti atas pilihan keyakinan mereka.

Sedangkan ayat yang terakhir berisi pesan, bahwa Nabi sekalipun tidak
mempunyai kuasa untuk memaksa seseorang pada keimanan. Dalam hal ini, Tuhan
memberikan lampu kepada hamba-hambanya, bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama. Disamping itu Tuhan juga menyerukan agar jalan dakwah juga disampaikan
dengan cara-cara yang bijaksana, elegan dan apabila harus bedebat sejatinya
memedomani dialog yang bersifat konstruktif, bukan dialog yang justru hanya melahirkan
debat kusir yang didasarkan pada klaim kebenaran (QS. Al-Nahl [16]125).

Madinah semakin dikukuhkan sebagai salah satu pusat peradaban, diantaranya


memberikan tempat bagi kemajemukan serta merajutnya dalam persatuan untuk
menjaga kepentingan bersama. Setiap manusia pada hakikatnya mempunyai fitrah untuk
hidup berkeadilan, berkemajuan, dan berkeadaban. Maka dari itu, diperlukan sebuah
konsensus yang dituangkan dalam bentuk konstitusi, yang mana didalamnya menjadi
kebebasan setiap individu yang memeluk keyakinan masing-masing tanpa ada
diskriminasi dan intimidasi.

Anda mungkin juga menyukai