Anda di halaman 1dari 7

Makalah Periode Madinah

anekamakalah.com/2013/12/makalah-periode-madinah.html

Makalah Sejarah Kebudayaan Islam Periode Madinah


Oleh: Siti Nurjannah Lubis (Mahasiswi IAIN-SU)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dalam rangka membentuk suatu
masyarakat yang Islami adalah proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan
serta banyak membutuhkan pengorbanan. Rasulullah saw telah memulai pembinaan itu
sejak di Makkah, dimana beliau berjuang mempertaruhkan harta dan nyawanya untuk
mencetak kader-kader yang tangguh sehingga nantinya akan menjadi unsur terpenting
dan utama dalam pembentukan masyarakat Islam. Kita lihat bagaimana beliau
melakukan pembinaan kepada orang-orang terdekatnya yang senantiasa ditekan dan
dihalang-halangi, beliau harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Adalah rumah
al-Arqam bin Abil-Arqam menjadi markas pembinaan Rasulullah kepada para sahabat, di
tempat seperti inilah lahir pribadi-pribadi Muslim yang tangguh, dari pembinaan seperti
inilah lahir manusia-manusia seperti Abu bakar As-Shiddiq, Amar bin Yasir, Ali bin Abi
Thalib, Bilal bin Raba dan sebagainya. Dimana nantinya binaaan Rasul inilah yang akan
menjadi penopang dan unsur utama dalam terbentuknya masyarakat Islam di Madinah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana keadaan umat Islam pada periode Madinah


2. Pembinaan Masyarakat
3. Perjanjian Hudaibiyah
4. Fathul Makkah
5. Haji Wada’

BAB II
PEMBAHASAN
PERIODE MADINAH

Tidak dapat dipungkiri, Madinah adalah sebuah kota yang majemuk. Di dalamnnya ada
berbagai etnis yang memeluk berbagai agama. tidak heran konflik antaretnis atau
antarumat beragama pun seringkali terjadi. Hal inilah yang kemudian mendorong

1/7
Rasulullah saw. mengajak seluruh masyarakat Madinah untuk membuat semacam kode
etik yang disepakati oleh semua pihak, sehingga dapat menjadi acuan dalam
menegakkan hukum di bumi Madinah. Tidak lama kemudian, ajakan itu terealisasi juga.
Perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban setiap golongan warga Madinah itu
kemudian dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah”. Adapun hal-hal pokok yang tertulis
dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut:
Kaum muslimin Madinah adalah satu umat, dan akan memerangi siapa pun yang
melalukan kezaliman, kejahatan, dan permusuhan terhadap mereka;
Kaum Musyrikin Madinah tidak wajib melindungi harta dan jiwa kaum kafir Quraisy,
dan tidak akan merintangi tindakan kaum mukminin atas mereka;
Kaum Yahudi wajib turut seta bersama kaum mukminin dalam peperangan ;
Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf dipandang sebagai bagian dari kaum mukminin;
Kaum Yahudi tetap pada agama mereka, dan demikian pula dengan kaum
muslimin;
Kaum Yahudi dari berbagai kabilah Yahudi di Madinah diperlakukan sama dengan
orang-orang Yahudi dari Bani ‘Auf;
Kaum Yahudi dan muslimin harus memikul biayanya masing-masing dalam
menjalankan kewajibannya memberikan pertolongan secara timbal balik ketika
melawan pihak lain yang memerangi salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian
itu;
Semua pihak harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan
ketika ada yang berbuat zalim;
Semua pihak wajib saling membantu dalam melawan pihak yang menyerang
Madinah;
Setiap orang dijamin keselamatannya untuk meninggalkan atau tetap tinggal di
Madinah, kecuali yang berbuat kejahatan;
Bahwasanya Allah-lah pelindung pihak yang berbuat kebajikan dan taqwa.

Dengan perjanjian ini, kita lihat bahwa keberadaan Rasulullah saw. di Madinah ternyata
tidak hanya berperan sebagai rasul, melainkan ia juga berperan sebagai seorang
negarawa. Dengan piagam inilah kesatuan dan persatuan yang kokoh dikalangan
masyarakat Madinah dapat tercipta. Meskipun beberapa kali kaum Yahudi menghianati
perjanjian ini, dan melakukan taktik untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin di
Madinah, namun keberadaa piagam ini tetap tidak tergoyahkan. Hal ini tampak jelas
ketika kaum muslimin tetap bersatu dalam melewati serangkaian peristiwa, seperti pada
perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Secara garis besar, langkah dakwahh yang dilakukan
Rasulullah saw. di Madinah bermuara pada satu tujuan, yaitu menciptakan perdamaian
seutuhnya di bumi Madinah, hal itu dapat kita lihat melalui tiga hal berikut ini:
Diperdamaikannya antara Aus dan Khazraj;
Dipersaudarakannya kaum Muhajirin dan Anshar; serta
Dipersatukannya masyarakat Madinah melalui Piagam Madinah.

A. Pembinaan Masyarakat

2/7
Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka bertemulah
beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda,[1] yang merupakan kewajiban
sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah masyarakat yang
bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki tata aturan yang
mengatur tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka. Pembentukan masyarakat
Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah saw. Dengan demikian
beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya masyarakat Islam itu
terbentuk, langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina
masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang
memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan
kabilahnya. Itulah keluarga Islam "masyarakat Islam". Berikut penjelasan beberapa
langkah praktis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam itu:

1. Pembinaan Melalui Masjid

Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam yang


kokoh dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw
membangun masjid.[2] Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan terpenting
bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk
kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan
Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui semangat masjid.[3] Masjid itu bukan
sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi sekolah bagi
orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan bimbingan-bimbingan Islam,
sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan
dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur
segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan
menjalankan roda pemerintahan.[4]

2. Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin

Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum


Muhajirin dan Anshar.[5] Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh
tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Hal ini dilakukan oleh
Rasulullah dengan maksud merekatkan hubungan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin
dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering
berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-
Khats'ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "maksud dari persaudaraan ini
adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampung halaman
mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling
membantu satu sama lain".[6] Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara
mereka. Allah SWT menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur'an, surat al-hasyr
ayat 9:

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang

3/7
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah
orang orang yang beruntung." (Q.S. Al-Hasyr:9)

3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam

Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil


memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan
aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka
selanjutnya yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada
golongan atau pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada saat itu adalah bagaimana
menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur
kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatanSecara garis besar perjanjian antara
rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam
Madinah, dapat disebutkan empat prinsip hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu :

Menurut Badri Yatim, Piagam Madinah yang lengkapnya itu terdiri dari empat bagian,
yaitu:
Bagian pertama: terdiri dari 28 pasal, isinya banyak menyangkut hubungan anshar
dan Muhajirin;
Bagian kedua: menyangkut tentang hubungan umat Islam dengan kaum Yahudi;
Bagian ketiga: ditulis setelah perjanjian Hudaibiyah, karena banyak orang yang
pindah ke Madinah;
Bagian keempat: berkenaan dengan kabilah yang baru masuk Islam, isinya
menjelaskan bahwa terhadap kabilah yang baru masuk Islam berlaku apa yang
sudah berlaku bagi kabilah yang sudah lama memeluk Islam.[7]

B. Perjanjian Hudaibiyah

Perkembanngan yang terjadi diJazirah Arab semakin menguntungkan pihak kaum


Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar
dan keberhasilan dakwah Islam. ketika masih di Madinah, Rasulullah saw. bermimpi
bahwa beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram, mengambil kunci Ka’bah,
melaksanakan Tawaf dan Umrah, sebagian sahabat ada yang mencukur, dan sebagian
yang lain ada yang memendekkan rambutnya.[8] Beliau menyampaikan mimpinya ini
kepada para sahabat, dn mereka tampak senang. Menurut perkiraan mereka, pada tahun
ini pula mereka bisa memasuki Mekkah. Tidak lama kemudian, beliau mengumumkan
hendak melakukan Umrah. Orang-orang Badui yang mendengar niat Rasul in ijuga
berdatangan untuk bergabung. Kemudian Rasul mencuci pakaian dan menaiki unta
beliau yang bernama Al-Qashwa.[9] Keberangkatan Raasul tepat pada hari senin tanggal
1 Dzulqa’idah 6H dan diantara istri beliau yang ikut adalah Ummu Salamah, dan adapun
jumlah sahabat yang ikut ada 1400 orang.[10]

4/7

1. Isi Perjanjian Hudaibiyah


Gencatan senjata selama sepuluh tahun.
Orang Islam dibenarkan memasuki Makkah pada tahun berikutnya, tinggal di
Makkah selama tiga hari sahaja dengan hanya membawa senjata bersarung.
Bekerja sama kepada perkara yang membawa kebaikan.
Orang Quraisy yang lari ke pihak Islam tanpa kebenaran keluarga dikembalikan
semula.
Orang Islam yang lari ke pihak Quraisy tidak perlu dikembalikan.
Kedua-dua pihak boleh membuat perjanjian dengan mana-mana kabilah Arab tetapi
tidak boleh membantu peperangan.

2. Hikmah Perjanjian Hudaibiyah


Berkembangnya syiar Islam.
Kehidupan masyarakat aman dan damai.
Pengiktirafan Rasulullah dan negara Islam di Madinah.
Membuka jalan kepada pembebasan Mekah daripada Musyrikin Quraisy.
Orang Islam dapat membuat perhubungan dengan kabilah Arab yang lain.

C. Fathul Mekkah (Pembebasan Kota Mekkah) (20 Ramadhan 8 Hijriah)

Fathul Mekkah merupakan peristiwa yang paling dinantikan kaum muslimin. Sebab itu
kejadian ini dianggap kemenangan yang terpenting bagi Islam dan kaum muslimin.
Dengan kemenangan itu, Allah memuliakan Nabi-Nya secara khusus dan umat Islam
pada umumnya. Peristiwa Fathul Mekkah ini terjadi setelah melalui rangkaian tahun yang
terus-menerus diisi dengan dakwah, jihad dan penyampaian risalah Islam. Dengan
begitu, Fathul Mekkah menjadi salah satu fase dakwah yang terpenting dalam Islam.
Selain itu, Fathul Mekkah seakan menjadi puncak perjuangan Rasulullah berada
diwilayah tersebut, sekaligus menjadi awal perjuangan generasi setelahnya untuk
menyempurnakan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah yang dilakukan para
Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah. Hasil Penting dari Peristiwa Pembebasan
Mekkah, yaitu:
Rasulullah bersama kaum muslimin menghancurkan berhala di Ka’bah dan
sekitarnya. Dengan demikian, berakhirlah paganisme di wilayah jazirah Arab.
Masuknya Quraisy ke pangkuan Islam menjadikan kabilah-kabilah Arab di seluruh
Jazirah Arab bisa bertemu Rasulullah untuk masuk Islam. Peristiwa inilah yang
dilakukan Rasulullah selama dua tahun: tahun 9 sampai 10 H. Banyak kabilah yang
berdatangan kepada Rasulullah untuk mengikrarkan keIslaman mereka.

D. Haji Wada’

Haji Wada’ dikenal juga dengan nama Haji Perpisahan Nabi Muhammad Saw. Rasulullah
saw. Mengumumkan niatnya untuk melaksanakan haji yang mabrur. Maka manusia

5/7
datang berbondong-bondong ke Madinah, yang semua hendak ikut beliau. Pada hari
sabtu 14 hari sebelum habisnya bulan Dzulqa’idah,[11]beliau berkemas-kemas untuk
berangkat, dengan menyiapkan bekal perjalanan, berminyak dan mengenakan mantel.
[12] Tahun kesebelas Hijrah, haji pertama Rasulullah dan kaum Muslimin tanpa ada
seorang musyrik pun yang ikut didalamnya, Untuk pertama kalinya pula, lebih dari 10.000
orang berkumpul di Madinah dan sekitarnya, menyertai Nabi melakukan perjalanan ke
Makkah, dan sekaligus inilah haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah. Rombongan
haji meninggalkan Madinah tanggal 25 Dzulqadah , Rasulullah disertai semua isterinya,
menginap satu malam di Dzi Al-Hulaifah, kemudian melakukan Ihram sepanjang Subuh,
dan mulai bergerak. Setelah seluruh manasik haji dilakukan, Rasul memerintahkan untuk
kembali ke MadinahAl-Munawarah tanpa mengambil waktu untuk istirahat, agar
perjuangan ini terasa murni karena Allah dan di jalan-Nya.[13]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Madinah Rasulullah saw membangun masyarakat baru berlandaskan tauhid,
keimanan yang kokoh. Dan beliau memulainya dari masjid, sebab masyarakat Islam bisa
terbentuk dari kejama'ahan masjid. Di masjid kaum Muslimin saling bertemu,
bersilaturrahim, bertukar pikiran dan sebagainya. Kemudian melihat strategi Rasulullah
selanjutnya yaitu mempersaudarakan sesama kaum Muslimin. Disini kita dapat melihat
ketepatan Rasulullah dalam mengambil langkah-langkah pembinaan, sebab hanya
dengan kesatuan dukungan ummatlah yang dapat menegakkan masyarakat yang akan
dibangun. Dan kesatuan ummat itu hanya bisa terwujud bila ada persaudaraan dan
saling mencintai, ini penting untuk dilakukan Rasulullah sebab sisa-sisa kejahiliyahan dan
fanatisme kesukuan masih mungkin timbul bila tidak segera dipersaudarakan baik antara
Muhajirin dengan Anshar maupun sesama kaum Anshar yang sebelumnya sering terjadi
peperangan di antara mereka. Disisi lain bertujuan untuk menumbuhkan saling tolong
menolong, dimana Kaum Muhajirin datang ke Madinah tanpa membawa apa-apa.
Dengan solidnya masyarakat Islam yang didasari tauhid yang kokoh dan persatuan yang
saling mencintai maka untuk melakukan perjanjian dengan pihak luar akan bisa
dilakukan.

B. Kritik dan Saran


Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan, agar penulisan makalah kami
untuk kedepannya menjadi lebih baik dari ini. Mudah-mudahan para pembaca dapat
memahami makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Shalab. 1957. Masyarakat Islam. Jogyakarta.
Beirut. 1999. Muassasah Arrisalah.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2001. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Rabbani
Press.
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah
An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam.

6/7
Ahzami Samiun Jazuli. 2006. Hijra dalam Pandangan Al-Qur'an, Jakarta: Gema
Insani Press.
Ahmad Shalaby. 1957. Masyarakat Islam. Jogyakarta.
Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2012. Pendidiakan Islam. Medan: Kencana
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Shahih Al-Bukhari. Kitabul Manasik. 2/631.

____________________________
[1] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta: 1957. Hlm. 38

[2] Beirut: Muassasah Arrisalah. 1999. hlm. 184


[3] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah
Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press,
2001, hal. 171

[4] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-
Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, hlm. 185

[5] Ahzami Samiun Jazuli, Hijra dalam Pandangan Al-Qur'an, Jakarta: Gema Insani
Press, 2006. hlm. 262

[6] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta. 1957. hlm. 41-42


[7] Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2012. Pendidiakan Islam. Medan: Kencana. Hlm.35-
36.

[8] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka


Al-Kautsar. hlm. 385.
[9] Ibid.

[10] Op.cip

[11]Fathul Bari, 8/104


[12] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka


Al-Kautsar. hlm. 545

Kitabul Manasik. 2/631.
[13] Shahih Al-Bukhari.

7/7

Anda mungkin juga menyukai