Anda di halaman 1dari 4

Ketika tiba di Madinah Nabi Muhammad saw.

meletakkan dasar-dasar pembinaan bagi masyarakat yang


baru terbentuk. Pada prinsipnya, apa yang beliau lakukan di Madinah adalah merupakan nilai dan norma
yang mengatur hubungan kemasyarakatan yang majemuk dan plural dalam segala aspek kehidupan
sosial, ekonomi, politik, hukum dan lain-lain, yang dipimpin oleh Rasulullah saw. dengan sumber utama
Al-Qur'an dan Sunah. Substansi dan strategi dakwah Nabi Muhammad saw. di Madinah adalah sebagai
berikut:

1. MENDIRIKAN MASJID QUBA'

Sementara penduduk kota Madinah menunggu kedatangan Nabi saw. dengan penuh rasa kerinduan.
Setiap hari selesai salat subuh mereka pergi ke luar kota menanti kedatangan Nabi saw. dengan sabar.
Sementara itu Nabi saw. sudah di Quba', dua farsakh jauhnya dari Madinah. Empat hari beliau tinggal di
tempat itu, ditemani oleh Abu Bakar. Selama masa empat hari itu, beliau membangun Masjid Quba'. Ali
bin Abi Thalib datang ke tempat itu setelah mengembalikan barang-barang amanat (yang dititipkan
kepada Nabi Muhammad saw.) kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ia sendiri meninggalkan Mekah,
menempuh perjalanan ke Yasrib dengan berjalan kaki. Perjuangan yang sangat meletihkan itu
dilakukannya selama dua minggu penuh.

Ketika Nabi Muhammad saw. dan rombongan datang pada hari Jum‘at tanggal 12 Rabiul Awal (24
September tahun 622 M), umat Islam di Madinah menyambut dengan gembira. Mereka ingin sekali
melihat nabi kebanggaan mereka, karena selama ini mereka belum pernah melihatnya. Para pemuka
Madinah menawarkan diri supaya beliau tinggal di kediaman mereka dengan segala persediaan dan
persiapan yang ada. Tetapi beliau secara halus meminta maaf kepada mereka. Sesampainya di sebuah
tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Bani Najjar, unta itu berlutut
(berhenti). Ketika itulah Nabi Muhammad saw. turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa
tempat ini?” tanyanya. “Kepunyaan Sahl dan Suhail bin Amr,” jawab Ma’adh bin Afra’. Dia adalah wali
kedua anak yatim itu, Kemudian beliau memutuskan untuk beristirahat di tempat di mana unta itu
berhenti, dan tuan rumah sangat gembira menyambut keputusan beliau. Di gamping itu, di tempat yang
sama umat Islam meminta agar didirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal
beliau. Dengan antusias, Nabi Muhammad saw. mengabulkan permintaan kaum Muslimin ini.
Demikianlah, langkah awal dakwah beliau adalah mendirikan masjid, sebab masjid sebagai tempat salat,
dan salat juga merupakan rukun Islam yang kedua, setelah membaca dua kalimat syahadat.

2. MEMPERSAUDARAKAN KAUM ANSHAR DAN MUHAJIRIN

Langkah selanjutnya yang dilakukan Rasulullah saw. adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan
Anshar. Kaum Muhajirin adalah kaum Muslimin yang berhijrah dari Mekah ke Madinah. Sedangkan
kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang sudah menganut agama Islam. Disebut kaum Anshar
karena mereka menolong kaum Muhajirin. Di samping itu, di Madinah juga terdapat orang-orang
musyrik dari sisa-sisa suku Aus dan Khazraj serta orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi terdiri dari
Bani Qainuqa di sebelah dalam, Bani Quraizah di Fadak, Bani Nadhir tidak jauh dari Fadak dan Yahudi
Khaibar di Utara.
Dengan kondisi penduduk yang bermacam-macam ini, mula-mula Nabi saw. menyusun strategi
mempererat persatuan mereka, untuk menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api
permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini, beliau mengajak bersumpah atas
nama Allah agar kedua kelompok menjaga persaudaraan. Dengan persaudaraan-persaudaraan ini kaum
Muslimin bertambah kokoh. Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramah-tamahan yang
luar biasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Orang Muhajirin telah meninggalkan
Mekah dengan meninggalkan segala yang mereka miliki. Sebagian besar ketika mereka memasuki
Madinah hampir tak ada lagi yang akan dimakan, sebagian mereka memang bukan orang berada dan
berkecukupan. Tetapi bukan berarti mereka mau menjadi beban kaum Anshar. Abdurrahman menolak
ketika Sa‘ad mau membagi dua hartanya. Ia hanya minta ditunjukkan Jalan ke pasar. Dan di pasar itulah
ia mulai berdagang mentega dan keju. Mereka pun tiada mengenal lelah untuk bekerja, sehingga dalam
Waktu Yang tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat memperoleh kekayaan
kembali.

Selain berdagang sebagian dari mereka bertani, menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama-
sama pemiliknya. Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan
menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan. Nabi Muhammad saw,
menyediakan mereka tempat di emperan masjid yang disebut Shuffa sebagai tempat tinggal mereka.
Shuffa berarti bagian masjid yang beratap. Oleh karena itu, mereka diberi nama Ahlushshuffa atau
penghuni shuffa. Kelompok ini oleh sebagian sejarawan dianggap sebagai cikal bakal kelompok sufi.
Kebutuhan mereka sehari-hari disumbang oleh kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun
Anshar yang berkecukupan. Dengan adanya persatuan dan persaudaraan kaum Muslimin yang sangat
erat itu, Nabi Muhammad saw. merasa sangat senang dan merasa lebih tenteram.

3. MEMBUAT DUSTUR MADINAH (PIAGAM MADINAH)

Masyarakat Madinah terdiri dari kaum muslimin yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin, bangsa
Yahudi terdiri dari bani Quraizah, bani Nadhir, dan bani Qainuqa, dan bangsa Arab yang belum memeluk
Islam. Kemajemukan ini bertambah kompleks setelah sebagian penduduknya memeluk Islam dan
setelah Nabi Muhammad dan kaum Muhajirin hijrah ke Madinah. Heterogenitas masyarakat Madinah
bukan hanya didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan tetapi juga dalam masalah etnis, suku
bangsa, daerah, kelas sosial serta adat-istiadat. Implikasinya adalah tiap kelompok dan golongan
memiliki sistem berpikir dan berperilaku sesuai dengan kepentingannya sendiri. Faktor-faktor itu juga
yang sering memudahkan timbulnya konflik antara mereka. Dalam kondisi masyarakat seperti itu perlu
dibuat pranata tertentu sebagai wahana pengendalian sosial-politik dengan membuat undang-undang
dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman, damai atas dasar keserasian dan keadilan, serta
dapat diterima seluruh golongan. Undang-undang tersebut dikenal dengan sebutan Piagam Madinah
(Dustur Madinah), yang ditulis pada tahun kedua hijriyah atau 623 M.
Banyak di antara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah
konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan oleh Nabi saw.
di MadinahOleh karenanya telaahan yang seksama atas piagam itu menjadi sangat penting dalam rangka
kajian ulang tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Untuk mendapatkan pengertian yang
utuh mengenai isi piagam itu, berikut ini dikutipkan naskah piagam selengkapnya:

Klik => PIAGAM MADINAH

Pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi Madinah, para ahli yang berbeda-beda dalam
membuat rumusannya. Muhammad Kholid merumuskan 8 prinsip:

Kaum Muhajirin dan Anshar serta Siapa saja yang ikut berjuang bersama mereka adalah umat yang satu.

Orang-orang mukmin harus bersatu menghadapi orang yang bersalah dan durhaka walaupun itu
anaknya sendiri.

Jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang kecil.

Orang-orang mukmin harus saling membela di antara mereka dan membela golongan lain, dan siapa
saja kaum Yahudi yang mengikuti mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yang
diperoleh orang muslim.

Perdamaian orang muslim itu adalah satu.

Bila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada
hukum Tuhan dan kepada Muhammad sebagai kepala negara.

Kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka bebas memeluk agama mereka.

Sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak boleh
berbuat kesalahan kepadanya.

4. MENJALANKAN PRINSIP MUSYAWARAH

Di Madinah, bagi umat Islam Nabi Muhammad saw. adalah segala-galanya. Beliau adalah Rasul Allah
dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Walau
demikian, dalam memimpin umatnya, Nabi Muhammad saw. selalu mengundang para sahabat dan
kaum Muslimin untuk bermusyawarah manakala ingin memutuskan sebuah persoalan, sedang hal itu
tidak ada perintah dari Allah swt.
Sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an, Nabi saw. mengembangkan budaya musyawarah di kalangan para
sahabatnya. Beliau amat gemar berkonsultasi dengan para pengikutnya dalam masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Dalam berkonsultasi, Nabi tidak hanya mengikuti satu pola saja, acapkali beliau
bermusyawarah hanya dengan beberapa sahabat senior, tidak jarang pula beliau hanya meminta
pertimbangan dari orang-orang yang ahli dalam hal yang dipersoalkan atau profesional. Terkadang
beliau melemparkan masalah ke masyarakat umum jika masalah tersebut ada kaitannya dengan dampak
umum yang ditimbulkan. Tetapi jika masalah tersebut mendapat petunjuk dari Allah swt., maka beliau
tidak lagi bermusyawarah dengan para sahabat dan masyarakat umum.

Dalam kasus peristiwa Perang Badar umpamanya (17 Ramadan tahun kedua hijriah/8 Januari 623 M),
Nabi Muhammad saw. memutuskan posisi pasukan Islam pada satu tempat dekat mata air. Hubab bin
Mundzir dari kalangan Anshar menanyakan perihal tersebut kepada beliau, apakah hal itu atas perintah
Allah, atau keputusan pribadi Nabi saw. sendiri. Beliau menjawab bahwa hal itu semata-mata karena
keputusannya sendiri. Hubab mengemukakan kepada beliau bahwa tempat tersebut kurang tepat,
kemudian dia mengusulkan ke tempat mata air yang lebih depan, alasannya adalah pasukan Islam harus
membawa banyak tempat air untuk diisi dari mata air yang paling depan, kemudian mata airnya ditutup.
Jika nanti pasukan Islam mundur, maka dapat mengisi air dari mata air di belakangnya. Nabi kemudian
menyetujui usul Hubab tersebut. Peristiwa Perang Khandaq juga demikian, atas usul sahabat Salman Al-
Farisi, Nabi Muhammad saw. menyetujui untuk membuat parit. Peristiwa Perang Badar dan Khandaq
adalah dua dari beberapa peristiwa dijalankannya prinsip musyawarah guna memecahkan berbagai
problem yang tidak ada petunjuk dari Allah swt. Untuk urusan-urusan duniawi, Nabi Muhammad saw.
telah bersabda: "Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian

Anda mungkin juga menyukai