Anda di halaman 1dari 5

Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua umat manusia

tanpa pandang bulu. Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia
digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan.
Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia dalam Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan
oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi,
HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak
dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan bersifat
permanen atau kekal.

Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid, yaitu konsep pengakuan
keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat,“laa ilaaha illa Allah” tiada Tuhan yang
dapat disembah selain Allah, konsep tuhan mengandung inti persamaan dan persaudaraan
seluruh manusia. Bahkan konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua
makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut pendapat Al-
Ghazali, seorang ulama masyhur dalam pemikiran Islam berpendapat bahwa sikap kasih sayang
dalam Islam tidak terbatas hanya dalam masyarakat saja, namun juga kasih sayang kepada
makhluk lainnya.

HAM bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah Islam. Para ulama Islam mengatakan
wacana HAM dalam Islam jauh lebih awal dibandingkan dengan konsep HAM yang muncul di
Barat. Menurut mereka, Islam datang dengan membawa pesan universal HAM. Menurut
Maududi, ajaran HAM yang terkandung dalam Piagam Magna Charta tercipta 600 tahun setelah
kedatangan Islam di negeri Arab.

Dalam Islam terdapat tiga Hak Asasi Manusia. Pertama, hak dasar (daruri), sesuatu yang
dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara,
tetapi juga kehilangan eksistensinya, bahkan hilang harkat manusianya. Contoh sederhana hak
ini adalah hak untuk hidup, hak atas keamanan, dan hak untuk memiliki harta benda. Kedua, hak
sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak
dasar sebagai manusia. Misalnya, jika seseorang kehilangan haknya untuk memperoleh sandang
pangan yang layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup. Ketiga, hak tersier, yakni hak
yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.

Tonggak sejarah HAM dalam Islam adalah lahirnya deklarasi Nabi Muhammad SAW di
Madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah.
Sejarah Lahirnya Piagam Madinah

Hijrah Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah telah membuka era baru bagi
perjuangan menyampaikan tugas kerasulan. Di Madinah, di samping berfungsi sebagai Rasul,
Nabi merangkap pula sebagai kepala negara di mana warganya terdiri atas berbagai macam
aliran dan golongan yang sebelumnya saling bersengketa dan bermusuhan. Untuk menyatukan
warga yang majemuk itu, sebagai upaya pendukung bagi negara yang dibangunnya, diperlukan
adanya satu konsensus yang mewajibkan semua pihak tunduk pada persetujuan bersama itu.
Persetujuan bersama inilah yang diberi nama Piagam Madinah, satu konstitusi negara yang
dipimpin Nabi Muhammad saw.

Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam pada
awal pembentukannya. Dokumen ini telah diakui otentik. Dalam teori ketatanegaraan, lahir atau
terbentuknya konstitusi dapat melalui keputusan (dekrit) yang bersifat “anugerah” atau
“pemberian” (grant) tokoh yang berkuasa, atau melalui penyusunan oleh suatu badan/panitia,
atau oleh suatu lembaga khusus yang diberi wewenang membuat konstitusi. Sesuai dengan
keadaan zamannya, Konstitusi Madinah dilahirkan melalui bentuk pertama, yakni melalui
keputusan (dekrit) Muhammad sebagai pimpinan masyarakat Madinah.

Kelahiran Piagam Madinah memiliki konteks tersendiri. Ketika Nabi saw. tiba di
Madinah, penduduk kota ini -dilihat dari segi agama- terdiri atas tiga golongan besar, yaitu:
warga muslim, musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga muslim terdiri atas unsur golongan
Muhajirin dan unsur golongan Anshar. Golongan Muhajirin adalah warga imigran yang
bermigrasi dari Mekah. Mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam, yang
terdiri atas beberapa klan, di antaranya Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Sedangkan Anshar
adalah warga pribumi kota Madinah yang unsur utamanya meliputi dua suku besar, yaitu: suku
Aus dan suku Khazraj. Mereka juga terdiri atas beberapa klan. Warga musyrik adalah orang-
orang Arab yang masih menyembah berhala (paganisme). Sementara warga Yahudi terdiri atas
keturunan Yahudi pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin dengan
orang Yahudi pendatang. Terdapat tiga kelompok besar keturunan Yahudi pendatang ialah Bani
Nadlir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani merupakan kelompok
minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran.

Di tengah kemajemukan penduduk Madinah itu, Nabi saw. berusaha membangun tatanan
hidup bersama, mencakup semua golongan yang ada di kota Madinah. Sebagai langkah awal, ia
“mempersaudarakan” antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Persaudaraan (al-
mu’âkhâkh) itu bukan hanya termanifestasikan dengan sikap tolong-menolong, tetapi sedemikian
mendalam hingga ke tingkat saling mewarisi. Kemudian, diadakan perjanjian hidup bersama
secara damai di antara berbagai golongan penduduk yang ada di Madinah, baik di antara warga
muslim, warga musyrik, warga Yahudi  maupun warga Nasrani. Kesepakatan antara golongan
Muhajirin dan golongan Anshar, dan perjanjian mereka dengan golongan Yahudi dan lainnya itu,
secara formal, ditulis dalam suatu naskah yang disebut sahîfah (piagam).

Nabi saw. pernah, untuk pertama kalinya, mempertemukan golongan Muhajirin dan
golongan Anshar di rumah Anas Ibn Malik. Hal ini terjadi pada awal-awal keberadaan beliau di
Madinah. Pertemuan-pertemuan itu agaknya dipergunakan oleh beliau untuk bermusyawarah
mengenai urusan kehidupan bersama warga Madinah. Pertemuan dengan warga Yahudi dan
warga musyrik sering terjadi sejak awal-awal Nabi saw. tiba di Madinah. Warga Yahudi, pada
awal-awal Nabi berada di Madinah, umumnya bersikap baik. Ia sering berbincang-bincang
dengan para pemimpin dan tokoh mereka. Serombongan rahib dan tokoh elit Yahudi, misalnya,
datang kepada Nabi pada awal beliau tiba di Madinah. Dari dialog Nabi dengan mereka
terungkap bahwa Abdullah Ibn Salam, tokoh terkemuka Bani Qainuqa’, adalah benar-benar
tokoh mereka yang paling alim. Akan tetapi, sesudah Abdullah Ibn Salam mengakui kerasulan
Muhammad di hadapan mereka dan beliau sendiri, mereka berbalik membenci Abdullah Ibn
Salam dan menistanya sebagai orang yang paling buruk.

Data di atas menunjukkan keakraban Nabi dengan warga Yahudi di masa awal
keberadaannya di Madinah, sekalipun mereka tidak masuk Islam. Sementara orang Yahudi yang
masuk Islam, seperti Abdullah Ibn Salam, dibenci oleh mereka. Fakta tersebut menunjukkan
kemungkinan perjanjian hidup bersahabat dengan warga Yahudi dibuat pada awal mula
Muhammad berada di Madinah.

Mengenai waktu pembuatan naskah, ada yang berpendapat itu terjadi sebelum perang
Badar. Ada yang mengatakan hal tersebut terjadi sesudah perang Badar. Dimasukkannya
golongan Yahudi ke dalam umat merupakan argumen penting untuk menentukan bahwa
dokumen itu dibuat sebelum perang Badar. Jika dilihat dari pertemuan-pertemuan di lingkungan
golongan Muhajirin dan golongan Anshar, dan keakraban Nabi saw. dengan golongan Yahudi,
maka diduga kuat bahwa naskah itu dibuat sebelum perang Badar.

Subhi al-Sâlih menyatakan bahwa penulisan naskah Piagam itu dilakukan pada tahun
pertama Hijrah. Ahmad Ibrahim al-Syarif menegaskan penulisan itu terjadi sebelum habis tahun
pertama Hijrah. Al-Tabari mengatakan bahwa Nabi telah mengikat perjanjian damai dengan
Yahudi Madinah ketika ia baru berdiam di Madinah. Menurut al-Tabari, Yahudi yang pertama
kali melanggar perjanjian itu ialah Bani Qainuqa’, yakni pada bulan Syawal tahun 2 H.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Piagam Madinah itu otentik, dan
penyusunannya dilakukan sebelum terjadi perang Badar. Waktunya, agaknya, masih pada tahun
1 H.

Negara yang terbentuk pada masa Nabi saw.  sejak awal berdirinya sudah memiliki
konstitusi, yakni Piagam Madinah. Konstitusi bukan merupakan unsur pokok, tetapi merupakan
unsur kelengkapan berdirinya negara. Pembentuk Piagam Madinah adalah Nabi saw. yang
dibantu para sahabatnya, dan terlebih dahulu dilakukan pertemuan dan musyawarah dengan
berbagai golongan yang ada di Madinah. Negara yang terbentuk pada masa Nabi saw, dengan
Piagam Madinah, mula-mula berupa negara kota (city state), yang kemudian wilayahnya
bertambah luas. Pada akhir hayat Nabi saw., negara Madinah itu meliputi hampir seluruh Jazirah
Arab.

Piagam Madinah lahir di Jazirah Arab yang sebelumnya diliputi tradisi kemusyrikan,
konflik antar suku, permusuhan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam, ketidakjelasan batas satu
negara dengan negara lainnya, dan belum dikenalnya hukum internasional. Dalam pada itu,
semangat Nabi saw. dan para pengikutnya untuk menegakkan ajaran tauhid dan syariah menyala-
nyala. Keinginan bersatu di kalangan orang-orang Arab yang telah masuk Islam tumbuh begitu
kuat. Tekad Nabi saw. untuk membangun tatanan hidup bersama sangat mantap dan realistis,
dengan mengikutsertakan semua golongan sekalipun berbeda ras, keturunan, golongan, dan
agama. Itulah, tampaknya, motivasi dibuatnya Piagam Madinah.

Konfigurasi Piagam Madinah menggambarkan kalimat-kalimat sahîfah (Piagam) yang


tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal-pasal dan tidak berbentuk syair; dan kalimat
Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm tertulis pada awal naskah, disusul dengan rangkaian kalimat
berbentuk prosa. Hal demikian cukup logis mengingat tradisi bernegara yang masih sederhana.

Terdapat dua prinsip pokok dalam Piagam Madinah. Pertama, semua pemeluk Islam
adalah satu umat walaupun berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim
dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
a) Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga
b) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c) Membela mereka yang teraniaya
d) Saling menasehati
e) Menghormati kebebasan beragama

Selain Piagam Madinah terdapat pula Deklarasi Kairo yang disemangati oleh pesan
inklusif yang mengandung ketentuan HAM sebagai berikut:

a) Hak persamaan dan kebebasan


b) Hak hidup
c) Hak perlindungan diri
d) Hak kehormatan pribadi
e) Hak berkeluarga
f) Hak perlindungan diri
g) Hak mendapatkan pendidikan

Sejarah Lahirnya Deklarasi Kairo

The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM
Menurut Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi Internasional HAM di Wina, Austria, tahun
1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan
konsensus dunia Islam tentang HAM.
Deklarasi itu merupakan hal sangat penting karena ia melanjutkan kecenderungan-
kecenderungan yang pernah ada dalam skema HAM versi Islam pada masa-masa sebelumnya,
dan karena ia telah disampaikan pada bulan Agustus 1990 oleh para Menteri Luar Negeri negara-
negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam). Selanjutnya, ia muncul -pada tingkat yang
sangat superfisial membentuk suatu konsensus yang lebih luas-sekalipun hanya level
pemerintah- mengenai bagaimana Islam seharusnya memengaruhi isu HAM internasional. Akan
tetapi, lahirnya konsensus ini diingkari oleh sikap pendirian yang diambil oleh sebagian negara
anggota OKI, yang masih bersikukuh berbeda pandangan sesudah bergulirnya deklarasi yang
juga dimotori oleh mereka sebelumnya.

Konferensi Dunia tentang HAM di Wina, Austria tahun 1993 merupakan daya pendorong
bagi negara-negara muslim untuk menentukan sikap pendirian mereka tentang HAM.
Pertentangan mengenai apakah HAM itu berhubungan dengan -tanpa bisa melepaskan diri dari-
budaya Barat dan apakah HAM itu bersifat universal, merupakan daya pikat utama Konferensi
tersebut. Pada masa-masa menjelang konferensi itu, Arab Saudi dan Iran masih mendukung
penuh proposal Deklarasi Kairo tahun 1990.

Pada sisi lain, Irak mengikuti jejak Iran dengan melakukan upaya menekan Komisi HAM
PBB untuk menerima Deklarasi Kairo sebagai alternatif islami bagi HAM internasional. Sangat
tidak mungkin rezim-rezim ini, dengan pola pikir mereka yang sangat beragam, hendak
mempromosikan suatu piagam yang bernafaskan ajaran Islam secara substantif. Islam Wahabi,
aliran resmi Islam Arab Saudi, yang mendukung pemerintahan monarki absolut dan memiliki
sikap bias yang kuat terhadap Islam Syiah, dicela oleh Iran. Saddam Hussein, sang diktator Irak,
dicela oleh Ayatullah Khomeini. Sebagai minoritas Sunni Irak, Saddam Hussein menganut
ideologi nasionalisme Arab-sekuler, dan juga ia menindas dan menyiksa kaum Syiah Irak.

Betapapun tidak sejalannya kebijakan keagamaan yang dibuat ketiga rezim itu, mereka
memperlihatkan secara umum praktik pengingkaran atas hak dan kebebasan dasar warganegara,
dan menempuh tindakan-tindakan destruktif untuk menindas dan menyingkirkan lawan-lawan
(politik) dan para pengkritik mereka; dan ketiganya juga masing-masing membuat kalkulasi
bahwa mereka tetap memperoleh keuntungan dari upaya mempromosikan suatu alternatif hukum
HAM internasional yang dianggap sejalan dengan Islam.

Dalam kesempatan pertemuan OKI di Teheran pada Desember 1997, Iran dan sejumlah
negara OKI lainnya tetap terus menyampaikan gagasan bahwa sistem HAM PBB yang ada
sangat diwarnai oleh Barat dan perlu diadakan penyesuaian agar mampu mengakomodasi budaya
dan nilai-nilai religius negara-negara muslim-suatu pandangan yang ditolak oleh Sekretaris
Jenderal PBB, Kofi Annan yang menandaskan bahwa HAM itu berwatak universal.

Bagaimanapun, Deklarasi Kairo merupakan prestasi penting umat Islam sedunia dalam
menggalang kesepakatan pemikiran mengenai promosi hak-hak asasi manusia. Hal ini juga
diakui oleh kalangan pengamat internasional, meskipun ada juga yang memberikan penilaian
buruk.

Anda mungkin juga menyukai