Anda di halaman 1dari 21

Fiqhislam.com - Kedatangan Nabi Saw ke Madinah tidak hanya sebagai orang asing yang hijrah dari tanah kelahirannya.

Tapi sekaligus menempatkan beliau sebagai pemimpin di kota Hijaz tersebut. Keputusan penduduk Madinah menyerahkan jabatan ini kepada Nabi Saw tidak dilakukan secara spontan, melaikan melalui proses panjang yang bermuara pada peristiwa tiga tahun sebelumnya, ketika sejumlah tokoh Khazraj menyatakan masuk Islam di Mekah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, ada enam tokoh muda Khazraj yang ditemui Nabi Saw pada musim haji tahun 3 sebelum hijrah. Mereka adalah As`ad bin Zurarah, `Auf bin Harits, Rafi` bin Malik, Quthbah bin `Amir, `Uqbah bin `Amir, dan Jabir bin Abdullah. Setelah berbincang dengan Nabi Saw, merakapun menyatakan diri memeluk Islam dengan sangat antusias. Bagi mereka, menerima Islam tidak hanya menghapus dahaga spiritual semata, tapi juga mengembangkan harapan yang sangat besar kepada sosok Nabi Saw dan ajarannya, agar menjadi unsur pemersatu bagi seluruh kelompok masyarakat di Madinah yang telah sekian generasi tercabik-cabik oleh permusuhan dan dendam. Harapan ini tampak jelas dalam pernyataan mereka kepada Nabi Saw, yang masih dituturkan Ibnu Ishaq, Kami berasal dari satu kaum yang telah tenggelam dalam permusuhan dan keburukan yang tiada taranya. Kami berharap Allah akan mempersatukan mereka karenamu. Kami akan kembali untuk mengajak mereka menerimamu sebagai pemimpin dan menyampaikan agama yang baru kami peluk ini kepada mereka. Jika Allah mempersatukan mereka dengan agama ini, maka pasti tidak orang yang lebih kuat darimu. Peristiwa inilah yang melatari penyebaran Islam begitu massif di Madinah dan mendorong terjadinya bai`at `Aqabah pertama dan kedua di Mina. Aspek politik dalam bai`at tersebut sangat kental, ketika tokoh-tokoh Khazraj di atas juga menyertakan tokoh-tokoh Aus dalam bai`at. Dengan bertemunya pandangan dua klan terkuat di Madinah tersebut, berarti kedatangan Nabi Saw sebagai pemimpin baru di Madinah hanya soal waktu. Keputusan Aus dan Khazraj menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Nabi Saw tidak dapat dibantah siapapun, termasuk Yahudi. Meski jumlah Yahudi di Madinah kala itu cukup banyak dan kekuatannya tidak bisa dipandang sebelah mata, tapi otoritas tertinggi di Madinah tetap dipegang bangsa Arab yang diwakili Aus dan Khazraj. Dua klan tersebut dapat membuat keputusan-keputusan strategis menyangkut kota Madinah tanpa khawatir mendapat perlawanan dari kaum Yahudi (Dr. Ahmad Ibrahim asy-Syarif, Makkah wa al-Madinah fi al-Jahiliyyah wa `Ahd ar-Rasul, h. 379).

Di sisi lain, tampaknya di masa awal kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum Yahudi masih menaruh harapan beliau adalah sosok yang ditunggu-tunggu mereka selama ini, sebagai juru selamat yang akan mengangkat kejayaan bangsa Yahudi. Bagaimanapun, Yahudi beranggapan Nabi Saw lebih dekat kepada tradisi mereka sebagai Ahli Kitab ketimbang bangsa Arab secara umum yang musyrik. Ini terbukti dari sikap beberapa tokoh Yahudi semisal Huyay bin Akhthab dan Abu Yasir yang berupaya menyelidiki keadaan Nabi Saw setibanya beliau di Madinah. Di tengah kondisi Madinah yang cukup akomodatif inilah, Nabi Saw menetapkan perangkat-perangkat dasar untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr. M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia (the first written constitution in the world). Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan antarkelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara, kehidupan beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya. Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa al-ummah al-muslimah (umat muslim), isu kemajemukan tampaknya menjadi sorotan utama Piagam Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr. Hamidullah, dari 47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut kaum Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup beragam isu, di antaranya status kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab bersama dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan. Pengakuan Nabi Saw kepada kaum Yahudi sebagai bagian dari masyarakat Madinah dinyatakan dengan sangat jelas. Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah anNabawiyyah, jilid 2 h. 94-96, Nabi Saw menyatakan, wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al muminin (sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin). Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga negara. Salah satunya yang terpenting adalah hak kebebasan beragama, lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum (kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri). Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan

semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah Saw pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar, dikabarkan pernah masuk ke dalam Midras dan mendapati banyak sekali orang di sana (Jilid 2 h. 129 dan 134). Terkait dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu-membahu mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi Saw menyatakan, wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar). Karena itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, wa innal yahuda yunfiqun ma`al muminin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh). Nabi Saw juga mengakui hak kaum Yahudi membangun hubungan baik dengan pihak luar, berupa suaka politik dan perlindungan dagang yang dikenal dengan istilah al-jiwar, kecuali kepada Quraisy -yang merupakan musuh laten kaum Muslim- dan para pendukungnya, wa innahu la tujaru Quraysy wa la man nasharaha (sesungguhnya suaka tidak boleh diberikan kepada Quraisy ataupun pihak-pihak yang mendukungnya). Semua hak dan kewajiban yang diatur dalam Piagam Madinah tidak hanya berlaku bagi kaum Yahudi, melainkan juga bagi orang-orang yang terikat hubungan dan kontrak dengan mereka, meski bukan Yahudi, wa inna bithanatal yahudi ka anfusihim (sesungguhnya orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi mendapatkan seperti yang didapat kaum Yahudi). Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, jelaslah bahwa sejak awal Rasulullah Saw menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim. Suatu kondisi yang sama sekali tidak berlaku bagi kaum musyrik dan penganut agama-agama lain, meski substansi sikap mereka terhadap wahyu Islam sama, yaitu menolak atau kafir. Dalam muamalat, jual-beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi

Saw ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf RA, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib RA, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461). Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi Saw jelas menunjukkan toleransi yang begitu tinggi kepada kaum Yahudi. Selain mengungkap keinginan beliau Saw yang begitu besar untuk membangun masyarakat yang harmonis. Namun sikap Yahudi Madinah justru sepenuhnya bertolak belakang. Meski sempat lunak di permulaan, tapi dalam perkembangannya, sikap Yahudi semakin keras dan kasar. Mereka tidak hanya menghina dan membangkang, tapi juga menjurus kepada perlawanan fisik. Seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh yang harus disingkirkan. Pelbagai kasus ketegangan yang dipicu Yahudi bermunculan, sejak bulan-bulan pertama keberadaan Nabi Saw di Madinah. Kasus Syas bin Qais, misalnya. Sesepuh Yahudi ini tidak dapat menahan gejolak dengkinya ketika melihat sekumpulan pemuka Aus dan Khazraj bercengkrama dengan hangat dalam sebuah pertemuan. Melihat keadaan tersebut ia membatin, Para pemuka Bani Qilah kini telah bersatu di negeri ini. Demi Allah, jika para pemuka mereka terus bersatu, maka kami tidak akan pernah hidup tenang. Dengan bantuan seorang pemuda Yahudi, Syas bin Qais kemudian menyulut api dendam lama yang melibatkan Aus dan Khazraj, sehingga nyaris saja terjadi baku hantam antar-para pemuka dua klan Anshar itu, kalau saja Nabi Saw tidak segera datang dan melerai (Ibnu Ishaq, Jilid 2 h. 131). Kasus-kasus inidividu Yahudi yang sengaja membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan sangat banyak. Seperti kasus Fanhash, seorang Ahbar Yahudi, yang menghina Allah dan al-Quran di hadapan Abu Bakar RA (Ibnu Ishaq, Jilid 2 h. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 h. 539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 h. 4). Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-

penyair terkemuka Yahudi yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw. Kedudukan penyair di zaman itu sangat krusial. Selain menjadi salah satu kriteria kehormatan paling tinggi, bait-bait puisi yang hebat adalah media yang sangat efektif untuk membangun stigma dan mempengaruhi opini publik. Karena itu, Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap yang sangat tegas. Nabi Saw meminta langsung kepada para sahabat untuk membunuh ketiganya dalam kesempatan yang berbeda. Terlebih Ka`ab bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan Madinah (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120). Permusuhan Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Terutama setelah kaum Muslim menang dalam perang Badar. Berawal dari kasus pelecehan terhadap seorang wanita Muslim di pasar Bani Qainuqa` yang berujung dengan terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, Hai Muhammad, jangan lekas bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami! (Ibnu Ishaq, Jilid 2 h. 129). Bani Nadhir tidak lebih baik. Selain menipu Nabi Saw dengan berpura-pura bersedia turut membayar tebusan korban Bani `Amir, sebagai aliansi lama mereka, para pemuka klan Yahudi ini kemudian merencanakan pembunuhan Nabi Saw yang ketika itu sedang berada di pemukiman mereka. Kasus Bani Quraizhah bisa dikatakan yang paling parah. Klan terakhir Yahudi ini berkhianat dengan mendukung Ahzab dalam perang Khandaq, di saat kaum Muslim sedang menghadapi 10.000 pasukan Ahzab dan penggembosan kaum Munafik. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir paksa dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya yang sanggup berperang dibunuh secara massal di Madinah. Nabi Saw mengajarkan dan mengamalkan toleransi yang sangat terbuka dan terukur. Tapi karakter Yahudi yang eksklusif dan rasis memunculkan rasa tidak nyaman dengan keberadaan unsur kuat di luar mereka. Kaum Yahudi melihat kemajuan orang lain adalah ancaman yang dapat memusnahkan mereka setiap saat. Dari situlah permusuhan Yahudi bermula. Di sisi lain, sikap tegas Nabi Saw terhadap kejahatan Yahudi tidak berarti mengindikasikan sikap sentimentil dan permusuhan kepada suatu etnik. Shafiyyah binti Huyay, putri pemuka Bani Nadhir, dipersuntingnya setelah menjadi Muslimah. Dan,

bukankah ketika wafat, menurut riwayat al-Bukhari, baju perang Nabi Saw masih tergadai kepada seorang Yahudi? Fiqhislam.com - Ibadah haji perpisahan kini sudah selesai, dan sudah tiba pula saatnya puluhan ribu orang yang menyertai Nabi dalam ibadah ini untuk pulang ke rumah masing-masing. Nabi dan sahabat-sahabat pun bertolak menuju Madinah.

Ketika mereka sudah sampai dan menetap lagi di kota itu, keadaan seluruh semenanjung sudah aman. Namun, yang masih selalu menjadi pikiran Rasulullah SAW adalah beberapa daerah yang masih di bawah kekuasaan Romawi dan Persia di daerah Syam, Mesir dan Irak.

Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan perhatian Nabi Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah selatan sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sebenarnya, sejak terjadinya Perang Mu'tah, dan Muslimin kembali dengan membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat kepandaian Khalid bin Walid menarik pasukan, sejak itu pula Rasulullah sudah memperhitungkan pihak Romawi matang-matang.

Beliau berpendapat, kedudukan Muslimin di perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, agar mereka yang dulu pernah keluar dan jazirah ini ke Palestina, tidak kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk daerah itu. Oleh karena itu, beliau menyiapkan pasukan perang yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala mengetahui rencana Romawi hendak menyerbu perbatasan jazirah itu. Dan beliau sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk.

Tetapi waktu itu, pihak Romawi sudah menarik pasukannya sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng mereka sendiri. Sungguh pun begitu, daerah utara ini harus tetap diperhitungkan.

Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Makkah, belum lama kaum Muslimin tinggal di Madinah, Nabi mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang mula-mula masuk Islam, termasuk Abu Bakar dan Umar.

Pasukan ini dipimpin oleh Usamah bin Zaid bin Haritsah. Usia Usamah waktu itu masih muda sekali, belum melampaui 20 tahun. Kalau tidak karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada Rasulullah, kepemimpinan Usamah atas orang-orang yang sudah lebih dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabatsahabat besar itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka.

Namun, ditunjuknya Usamah bin Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran di Mu'tah dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan

sebagai balasan atas gugurnya sang ayah. Disamping itu, Rasulullah juga hendak mendidik kaum muda agar membiasakan diri memikul beban tanggungjawab yang besar dan berat.

Rasulullah memerintahkan kepada Usamah supaya menjejakkan kudanya di perbatasan Balqa' dengan Darum di Palestina, tidak jauh dari Mu'tah, tempat ayahnya dulu terbunuh. Beliau juga memerintahkan Usamah agar menyerang musuh Allah itu pada pagi buta, dengan serangan yang gencar, dan menghujani mereka dengan api. Hal ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai lebih dulu kepada musuh. Apabila Allah sudah memberi kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu, Usamah dan pasukannya harus segera kembali.

Usamah dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh dari Madinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat ke Palestina. Namun, saat mereka sedang bersiap-siap itu, tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit. Dan sakitnya makin keras, sehingga mereka akhirnya tidak jadi berangkat.

Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal ringan, dan tidak pula mudah buat kaum Muslimin. Sedangkan Nabi dalam keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa sebenarnya di balik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit yang berarti.

Penyakit yang pernah diderita Rasulullah tidak lebih dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya di tahun keenam Hijrah, tatkala tersiar berita bohong bahwa beliau telah disihir oleh orangorang Yahudi. Dan satu penyakit lagi yang pernah beliau derita sehingga dibekam, yaitu setelah mengkonsumsi daging beracun di tahun ketujuh Hijrah.

Cara hidupnya dan ajaran-ajaran Rasulullah memang jauh dari gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul karenanya. Beliau membatasi diri dalam makanan, dan makan hanya sedikit. Beliau sederhana dalam berpakaian dan cara hidup, serta sangat menjaga kebersihan. Pola hidup Rasulullah SAW jauh dari unsur-unsur pengundang penyakit. Jadi, kalau sekarang beliau jatuh sakit, wajar sekali menjadi kekhawatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang mencintainya. Jiwa Rasulullah SAW merangkum banyak akhlak mulia, seperti sifat malu, mulia, berani, menetapi janji, ringan tangan, cerdas, ramah, sabar, memuliakan anak yatim, berperangai baik, jujur, pandai menjaga diri, senang menyucikan diri, dan berjiwa bersih.

Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memadukan takwa kepada Allah dan sifat-sifat luhur. Takwa kepada Allah SWT dapat memperbaiki hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya, sedangkan akhlak mulia dapat memperbaiki hubungannya dengan sesama makhluk Allah SWT. Jadi, takwa kepada Allah SWT akan melahirkan cinta seseorang kepada-Nya dan akhlak mulia dapat menarik cinta manusia kepadanya.

Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW. Aisyah menjawab, "Akhlak Nabi SAW adalah Alquran." (HR Muslim).

Sungguh, jawaban Aisyah ini singkat, namun sarat makna. Ia menyifati Rasulullah SAW dengan satu sifat yang dapat mewakili seluruh sifat yang ada. Memang tepat, akhlak Nabi SAW adalah Alquran.

Allah SWT berfirman, "...Alquran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus..." (QS. Al-Israa': 9).

"(Yang)

memberi

petunjuk

kepada

(jalan)

yang

paling

lurus..."

(QS.

Al-Jinn:

2).

Akhlak beliau adalah Alquran; kitab suci umat yang disifati dengan firman Allah, "...tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 2).

Pada masa permulaan dakwah Islam, Nabi Muhammad SAW tidak hanya membangun sisi tauhid, tetapi juga membangun sendi dan pilar akhlak mulia. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sungguh, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." (HR. Baihaqi dan AlHakim).

Anas RA berkata, "Sungguh, Rasulullah SAW benar-benar manusia dengan akhlak paling mulia. (HR Bukhari-Muslim).

Anas juga berkata, "Selama sepuluh tahun aku berkhidmat kepada beliau (Rasulullah), aku tidak pernah mendengar beliau mengucapkan kata "Ah", sebagaimana beliau tidak pernah mempertanyakan apa yang kau kerjakan, 'Kenapa kamu mengerjakan ini? atau 'Bukankah seharusnya kamu mengerjakan seperti ini?" (HR Bukhari-Muslim). Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, seorang ulama membagi akhlak mulia dalam dua klasifikasi; akhlak mulia kepada Allah SWT dan akhlak mulia kepada para makhlukNya.

Akhlak

mulia kepada Allah bermakna meyakini segala sesuatu yang berasal dari diri kita pasti

pmemungkinkan terjadinya kesalahan sehingga kita perlu memohon ampunan. Adapun segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT patut disyukuri. Jadi, kita harus senantiasa bersyukur, memohon ampunanNya, mendekat kepada-Nya, serta berusaha menelaah dan mengintrospeksi diri.

Akhlak mulia kepada makhluk terangkum dalam dua hal, yaitu banyak mengulurkan tangan untuk amal kebajikan serta menahan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Kedua hal ini mudah dilakukan jika memiliki lima syarat, yaitu ilmu, kemurahan hati, kesabaran, keseharan jasmani, dan pemahaman yang benar tentang Islam.

Dengan ilmu seseorang dapat mengenal dan mengetahui akhlak mulia dan akhlak tercela. Kesederhanaan adalah sikap kemudahan memberikan sesuatu kepada orang lain sehingga menjadikan nafsunya bersedia mengikuti kata hati yang baik.

Sabar merupakan sifat yang sangat penting karena jika seorang hamba tidak dapat bersabar atas apa yang menimpa dirinya, ia tidak akan berhasil mencapai derajat luhur. Fisik yang sehat dibutuhkan karena Allah telah menciptakan manusia dengan karakteristik mudah mencerna dan cepat meresap nilan-nilai kebajikan.

Memahami Islam dengan baik juga dibutuhkan karena hal itu merupakan dasar untuk melakukan sifatsifat mulia. Dengan begitu, tindakan yang didasarkan pada akhlak mulai dapat "diakui" oleh sang Pencipta. Semakin kuat dan mantap keyakinan seseorang bahwa kelak akan memperoleh pahala yang pasti diterimanya, semakin mudah pula ia melewati latihan berakhlak mulai. Di samping itu, ia semakin mudah menikmati ketenteraman hati. Usia Rasul benar-benar produktif hingga usia terakhir. Apalagi ketika diukur dengan imej sebagian orang hari ini. Kosa kata pensiun terlanjur lekat di benak mereka. Pensiun bagi sebagian orang bukan saja berhenti bekerja, tetapi berhenti juga produktifitasnya. Seakan tidak lagi menjadi orang penting di masyarakatnya setelah sebelumnya begitu sentral posisinya. Seakan hanya tinggal menunggu dua hal: kedatangan cucu dan kedatangan kematian. Tentu ini tidak benar. Penelitian yang dilakukan di Amerika oleh para pakar dari The University of Maryland mengatakan bahwa mereka yang tetap beraktifitas setelah usia pensiun, menikmati kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak beraktifitas lagi setelah usia pensiun. Demikian juga keadaan psikologinya, lebih stabil.

Penelitian yang dilakukan di Inggris mendukung hal di atas. Dan menambahkan tentang hubungan antara penyakit pikun dan pensiun. Pikun yang masih dikategorikan sebagai penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu diteliti untuk dicari hubungannya dengan berhentinya aktifitas produktif setelah usia pensiun. Hasil penelitian pada 1320 orang yang sudah pikun dan 382 orang yang berpotensi pikun itu adalah: ada hubungan antara terlambatnya seseorang pensiun dengan terlambat datangnya penyakit pikun. Karena otak masih terus aktif. (sumber: aljazeerah.net dan kaheel7.com) Subhanallah...Islam memang tidak pernah mengenal usia pensiun. Lihatlah dua ayat berikut ini,


Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini. (Qs. Al-Hijr: 99) (Yang diyakini) adalah kematian. Seperti yang dijelaskan oleh Salim bin Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Mujahid. Sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan Bukhari. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/553, MS) Beribadah kepada Allah batasnya adalah ajal yang datang. Sebelum mati, seseorang harus terus beribadah. Ibadah sendiri adalah aktifitas yang menuntut kesehatan akal. Karena bagi yang sudah tidak sehat akalnya termasuk pikun sudah tidak mendapatkan beban beribadah. Itu artinya, pikun seharusnya jauh dari mereka yang menjaga ibadahnya, biidznillah.

Juga ayat berikut ini,


Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Taubah: 105) Ayat ini, menjelaskan bahwa bekerja atau beraktifitas kebaikan terus dilakukan hingga kembali kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghoib dan yang nyata.

Untuk itulah, Islam tidak pernah mengenal kata pensiun. Hal itu bisa kita lihat dari dalil-dalil di atas. Adapun penelitian hanya menguatkan ayat-ayat Allah yang tertulis. Untuk itulah, kita bisa jumpai orangorang besar dalam sejarah Islam, mereka tetap beraktifitas seperti biasa hingga di penghujung usia. Petunjuk utamanya berasal dari Rasulullah. Usia beliau jelas menggambarkan hal ini. Mari kita lihat di akhir-akhir usia beliau. Pada usia 53 tahun yang hari ini dianggap sebagai MPP (Masa Persiapan Pensiun), Rasulullah harus melakukan perjalanan menempuh padang pasir di tengah ancaman kematian. Yaitu perjalanan mulia: Hijrah ke Kota Madinah. Kepala beliau dihargai 100 ekor unta bagi siapapun yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Perjalanan itu beliau tempuh selama kurang lebih 15 hari. Beliau meninggalkan Kota Mekah pada malam 27 Shafar 14 Kenabian dan sampai di Kota Madinah tanggal 12 Rabiul Awwal 1 H, setelah menetap di Quba selama 4 hari. Sebuah aktifitas yang terlalu melelahkan dan berisiko untuk orang seusia itu. Pada usia 55 tahun di mana dianggap telah pensiun pada hari ini, Rasulullah justru mendapatkan perintah baru yang belum ada sebelumnya dan memerlukan kekuatan fisik, otak berikut tekad. Yaitu jihad (perang). Perintah jihad baru diturunkan pada tahun 2 H. Jihad jelas memerlukan kekuatan fisik yang terkadang perlu berhari-hari untuk sampai di kamp musuh, dalam keadaan cuaca apapun. Juga kekuatan otak dalam mengatur strategi perang, menganalisa kekuatan dan kelemahan serta informasi. Kekuatan tekad sangat diperlukan dalam jihad. Tekad yang hadir dari iman yang menggelora dan tidak padam hanya oleh ketakutan atau kesenangan, kekalahan atau kemenangan. Kalau dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan sekali. Jumlah peperangan yang diikuti langsung oleh Rasul ada 28 kali dari tahun 2H 9H (lihat: al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami Abdullah al-Maghluts, h. 151, Maktabah al-Ubaikan, 1435H). Fisik, otak, tekad untuk perang, sungguh tidak mudah di usia 55 tahun Pada usia 60 tahun -madzhab pensiun di barat dan perpanjangan 5 tahun terakhir bagi jabatan tinggi di Indonesia-, Rasulullah masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah beliau. Di usia itu beliau masih harus menjalan 3 peperangan; Fath Makkah, Hunain dan Thaif. Tanyakan hari ini, di mana ada panglima yang masih siap memimpin di lapangan hingga usia 60 tahun. Shallallahu alaika ya Rasulallah... Hingga pada detik-detik terakhir beliau wafat, usia masih produktif untuk kebaikan. Dari 14 hari beliau sakit kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu memimpin para

shahabatnya shalat berjamaah selama 11 hari. Pada Hari Sabtu (beliau wafat hari senin), Rasul merasakan sakitnya mereda, maka beliau pun keluar untuk shalat di masjid walaupun harus dipapah oleh dua orang. Pada hari Ahad, beliau masih melakukan kebaikan; membebaskan beberapa budak, shadaqah sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau untuk muslimin. Di sela-sela sakitnya itu beliau masih memberikan nasehat dan perintah kepada para shahabatnya. Di antaranya beliau memberi kesempatan bagi siapapun yang mau membalas semua kesalahan beliau selama ini. Menyampaikan agar tidak sama dengan Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Menasehati agar berbuat baik kepada seluruh masyarakat Anshar. Memerintahkan agar tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab. Pada Shubuh terakhir untuk Rasulullah (senin pagi), beliau masih bangun pagi dan membuka sitar rumahnya untuk menyaksikan para shahabatnya melakukan Shubuh berjamaah dan untuk melemparkan senyum manis beliau; senyum perpisahan. Dan inilah kalimat terakhir yang dibisikkan di telinga istri tercinta Aisyah radhiallahu anha,


...bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaikbaiknya. (QS. An-Nisa: 69) Ya Allah ampunilah dan rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan ar-Rafiq al-ala, allahuma arrafiq al-ala. (Lihat: ar-Rahiq al-Makhtum h. 370-374, Dar Ibn al-Khaldun) Sungguh inilah produktifitas usia yang tak pernah mengenal pensiun. Benar-benar hingga hembusan nafas terakhir. Hingga kekuatan terakhir, saat tangan terkulai. Dan beliau pun menghadap Allah yang Maha Tinggi pada Hari Senin waktu Dhuha, 12 Rabiul Awwal 11 H. Bukankah kita sering berbicara tentang prestasi hidup dan produktifitas usia. Kini kita tahu, Rasulullahlah sang teladan itu. Capaian usia maksimal dan ideal. Karena beliau tidak pernah mengenal pensiun. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Madarij mengatakan, akhlak mulia berdiri di atas empat pilar utama yang saling mendukung antara satu dan yang lain. Empat pilar itu adalah kesabaran, keberanian, keadilan dan kesucian.

Sifat sabar akan membantu seseorang untuk lebih tahan banting, mampu menahan amarah, tidak merugikan orang lain, bersikap lembah-lembut, dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu.

Sifat selalu menjaga kesucian diri dapat mendorong seseorang untuk tidak tergelincir ke dalam perkataan dan tindakan yang merendahkan dan menjatuhkan martabatnya. Selain itu, dapat mendorongnya untuk selalu lekat pada perasaan malu yang merupakan kunci segala kebaikan. Sifat menjaga kesucian ini juga menghindarkannya untuk terlibat dalam perbuatan keji, kikir, dusta, menggunjing, dan mengadu domba.

Sifat berani menjadikan seseorang kuat untuk menjaga harga diri, mudah untuk membumikan norma dan akhlak mulia, serta ringan tangan. Dengan begitu, ia tidak ragu mengeluarkan atau berpisah dengan harta yang dicintainya.

Sifat ini juga mempermudah untuk menahan amarah dan bersikap santun. Dengan modal keberanian, seseorang dapat menggenggam erat ketegasan jiwanya serta mengekangnya dengan tali baja yang tak mudah putus. bersabda, Keberanian bukanlah seperti

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW

ditunjukkan dalam bergulat, melaikan dalam menguasai jiwa ketika marah. (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, hakikat keberanian seseorang adalah kemampuan untuk melawan musuh besarnya, yaitu hawa nafsu.

Sifat adil dapat mengasah sikap seseorang untuk terus berupaya meluruskan perangainya, membantunya memilah antara bersikap terlalu berlebihan dan bersikap terlalu kurang. Sifat ini mendorong untuk terus bersikap dermawan dan murah hati; sikap tengah-tengah antara kikir dan boros.

Selain itu, sifat ini dapat menyuntikkan sifat pemberani; sikap tengah-tengah antara pengecut dan nekat. Adil juga dapat melahirkan sifat santun; penengah antara sifat pemarah dan rendah diri. 12 Rabiul Awal merupakan tanggal yang penting bagi umat Islam di seantero dunia. Pada tanggal itulah, manusia termulia dan teragung sepanjang masa terlahir ke muka bumi. Manusia terhebat itu bernama Muhammad SAW utusan Allah SWT yang membawa ajaran Islam.

Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul

Allah yang telah membangkitkan salah satu peradaban besar di dunia. Tak heran jika Michael H Hart, dalam bukunya The 100, menetapkan Muhammad SAW sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.

Ia satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam hal agama maupun duniawi, ujar Hart. Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam, beliau juga dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat dan pejuang kemanusiaan tergigih.

Rasulullah SAW terbukti telah mampu memimpin sebuah bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa yang maju yang bahkan sanggup menggalahkan bangsa-bangsa lain di dunia pada masa itu. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan, mengungkapkan, dalam tempo kurang lebih satu dekade, Muhammad SAW berhasil meraih berbagai prestasi yang tak mampu disamai pemimpin negara mana pun. *** Sebagai seorang penguasa, Muhammad SAW telah memberi sumbangan luar biasa terhadap bangunan filsafat politik dan praktik pemerintahan. Kontribusinya ini menjadi saksi hidup yang membuktikan kebesarannya sebagai negarawan yang jenius dengan kecakapan yang luar biasa.

Kualitas kepemimpinan Muhammad terlihat sejak belia, sebelum menjadi nabi. Sikap dan perilakunya yang jujur dan adil dalam berinteraksi membuat penduduk Makkah menghormatinya. Masyarakat Makkah pun menyebutnya sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) dan Shadiq (orang yang benar).

Di usia belia, Muhammad SAW mampu menyelesaikan perselisihan di antara suku-suku Quraisy terkait dengan masalah pengembalian Hajar Aswad ke tempatnya semula. Di tengah perdebatan yang alot, Muhammad mengambil keputusan yang sangat cerdik untuk menyelesaikan situasi pelik itu.

Beliau menghamparkan jubah di atas tanah dan meminta agar Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengah hamparan jubah itu. Beliau kemudian meminta masing-masing suku memegang ujung jubah itu dan bersama-sama mengangkat Hajar Aswad dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Persengketaan pun diselesaikan secara damai. *** Kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai seorang kepala negara dimulai ketika kaum Muslim hijrah dari

Makkah ke Madinah. Di kota suci kedua bagi umat Islam itulah, komunitas kecil kaum Muslim di bawah kepemimpinan Muhammad SAW berhimpun.

Pada masa-masa awal kehidupan di Madinah, Rasulullah SAW dihadapkan pada situasi sulit. Kaum muhajirin hidup miskin, tidak berdaya, dan tidak mempunyai berbagai sarana kehidupan. Sementara itu, kaum Quraisy Makkah mengancam untuk menyerang Madinah, menghancurkan komunitas Muslim yang masih kecil.

Kaum Yahudi-Madinah juga bersekongkol dengan orang-orang musyrik Makkah untuk memusuhi kaum Muslim. Tak hanya itu, sejumlah suku Arab di sekitar Madinah juga menunjukkan sikap permusuhan terhadap keyakinan baru ini, dan pada saat yang bersamaan mulai berkembang kelompok munafik di antara kaum Muslim Madinah sendiri

Siapa pun, yang kuat dan kaya sekalipun, pasti kewalahan menghadapi tekanan dan beban ini. Namun, Muhammad dapat menyelesaikan situasi sulit dan tak terduga ini dengan efektif dan berhasil. Ini membuktikan kenegarawanan dan kecakapannya dalam bidang politik. *** Menghadapi kenyataan yang sangat sulit itu, Muhammad SAW mengambil serangkaian langkah untuk mengukuhkan Negara Islam yang baru didirikan itu secara sosial, politik dan ekonomi. Ia mampu menegakkan otoritas politik dan memelihara hukum serta ketertiban di seluruh wilayah suku-suku di dalam dan di sekitar Madinah.

Lalu, Muhammad membuat berbagai perjanjian dengan kepala-kepala suku Arab dan suku-suku Yahudi di sekitar Madinah. Melalui serangkaian langkah itulah Nabi Muhammad mampu membawa Negara Islam Madinah sebagai sebuah negara yang aktif memainkan berbagai peran politik di seluruh penjuru wilayah.

Marshal G Hodgson dalam tulisannya yang bertajuk The Venture of Islam, mengungkapkan, "Masyarakat Muhammad terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim dalam berbagai ragam derajat keanggotaan." Sejak saat itu, tulis Hodgson, komunitas itu tak lagi sekadar sebuah suku baru yang terdiri dari orangorang beriman atau bahkan sekedar perkumpulan revolusioner lokal. Masyarakatnya terdiri dari berbagai unsur heterogen yang diorganisasi secara lebih baik dibandingkan sistem organisasi masyarakat Makkah, baik secara religius maupun politik, papar Hodgson.

*** Struktur politik yang dibangun Muhammad, papar Hodgson, merupakan bangunan yang kini dikenal dengan sebutan negara, seperti negara-negara lain yang ada di sekeliling Jazirah Arab, lengkap dengan otoritas tata pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum.

Untuk menjalankan roda pemerintahannya, ungkap Hodgson, Muhammad mengirim sejumlah utusan yang bertugas mengajarkan Alquran dan prinsip-prinsip Islam, mengumpulkan zakat, dan menengahi berbagai perselisihan demi menjaga perdamaian dan mencegah permusuhan.

Sehingga, kaum Muslim Madinah melahirkan dan menciptakan suatu jalan hidup yang adil dan bernilai ketuhanan di seluruh wilayah Hijaz, bahkan juga pada wilayah-wilayah di luarnya. Kedamaian merupakan prinsip dasar kehidupan dalam Islam. Dalam Islam, perang adalah jalan terakhir yang mendesak ketika tak ada lagi pilihan lain. Islam, selain berarti "damai" juga bermakna "pasrah" dan "taat" pada perintah Allah SWT -pencipta, penguasa, dan pemilik alam semesta.

Dalam Islam, perang hadir untuk memulihkan kondisi agar kembali damai dan tertib. Sehingga, setiap individu dapat menjalankan keyakinannya dengan bebas, tanpa ketakutan dan pemaksaan. Sebagai pemimpin umat Islam, Muhammad SAW terpaksa berperang untuk melindungi umatnya dari para pengacau dan penentang yang menghalangi dirinya dan para sahabatnya untuk menaati hukum Allah SWT.

Namun, segera setelah kondisi damai tercapai, semua pertempuran harus dihentikan. Sebab, kedamaian adalah kaidah dasar kehidupan dalam Islam. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, memaparkan, ketika semua jalur damai sudah tak mungkin dicapai dan musuhmusuhnya mulai melakukan operasi militer, Nabi SAW segera menyusun strategi perang.

Rasulullah SAW memobilisasi seluruh sumber daya, baik kekuatan pasukan, kematangan strategi perang, maupun dukungan logistik untuk menggagalkan serangan pasukan musuh. Aksi tersebut dilakukan dengan tetap memerhatikan strategi agar jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak dapat ditekan seminimal mungkin.

Dalam banyak peperangan, Nabi SAW merumuskan strategi militer dengan sangat baik berdasarkan kemampuannya membaca kondisi geografis serta menghitung kekuatan, mobilitas, semangat juang, dan

titik lemah strategi musuh. Strategi perangnya diputuskan setelah beliau membuat penilaian (assessment) terhadap seluruh faktor yang menentukan kesuksesan operasi militer, papar Afzalur.

Rasulullah SAW juga sangat memerhatikan pentingnya efek psikologis serangan kejutan. Demikian pula dengan kerahasiaan gerakan, kecepatan, dan mobilitas kekuatan dalam pertempuran.

D alam mengorganisasi perolehan informasi tentang pergerakan dan rencana musuh, beliau mengirim patroli pengintai dan patroli tempur khusus ke sekeliling area pertempuran dan wilayah-wilayah strategis lainnya. Pasukan intelijen pun dibentuk untuk mendapatkan informasi tentang rencana rahasia yang akan dilancarkan musuh.

Nabi SAW juga membentuk pasukan khusus yang menjalankan tugas-tugas rahasia; juga unit khusus untuk mengantisipasi berbagai rumor dan penyebaran informasi serta untuk melakukan gerakan demoralisasi kekuatan musuh, ungkap Afzalur.

Semua unit itu bekerja keras, penuh disiplin, dan memiliki semangat berkorban yang tinggi demi Islam. Dengan strategi ini, Nabi SAW mampu menghemat biaya operasi militer sekaligus meminimalisasi jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak.

Kepemimpinan

militer

Nabi

SAW

Kesuksesan operasi militer secara alamiah amat bergantung pada kualitas kepemimpinan panglimanya. Panglima-lah yang bertanggung jawab penuh dalam mengambil keputusan, memanfaatkan berbagai faktor strategis, mengatur serangan, menjaga kerahasiaan strategi perang, mengerahkan seluruh kekuatan, serta mengobarkan dan memelihara semangat juang pasukannya.

Sebagai seorang pemimpin militer, Muhammad SAW adalah sosok pemberani. Kendati sering menghadapi marabahaya dan malapetaka yang bertubi-tubi, beliau tidak pernah menunjukkan kelemahan atau ketakutan. Rasulullah SAW berperang dalam berbagai pertempuran. Meski mengalami serangan beruntun, beliau tidak pernah bergerak satu inci pun meninggalkan tempatnya.

Bahkan, Rasulullah SAW selalu berada paling dekat dengan barisan musuh ketika pertempuran berkecamuk. Beliau tetap bertahan dan bertempur di posisinya ketika orang lain mundur tungganglanggang. Hal itu tampak jelas pada Perang Uhud dan Hunain. Berkat keberanian dan ketenangannya

situasi

pelik

dan

genting

pada

dua

perang

ini

dapat

diatasi.

Kemampuan mengontrol diri merupakan salah satu kunci sukses pertempuran. Dan, Nabi Muhammad SAW dikenal mampu mengontrol diri dalam segala situasi. Misalnya, pada Perang Uhud, banyak anggota pasukannya panik ketika musuh melakukan serangan balik dan mengepung mereka dari berbagai arah.

Bahkan, tidak sedikit dari pasukannya melarikan diri dari medan pertempuran. Dalam situasi penuh kebingungan ini, Nabi tetap mampu mengontrol diri. Bahkan dengan keahliannya, beliau mampu mengubah situasi. Muhammad selalu menunjukkan perilaku adil dan membenci diskriminasi. Kedua sifat mulia ini ia juga terapkan kepada pasukannya di medan pertempuran.

Dalam Perang Badar, Muhammad SAW mengatur barisan pasukannya dengan memegang panah. Saat mengetahui bahwa Sawad ibnu Ghaziyah berdiri di luar barisan, Rasulullah menyodok perut Sawad dengan busur panah sambil berkata, "Hai Sawad, masuklah dalam barisan!". "Engkau menyakitiku, Rasulullah," seru Sawad, "Allah mengutusmu dengan kebenaran dan keadilan maka biarkan aku membalas!". Maka Nabi Muhammad menyingsikan bajunya di bagian perut dan berkata, "Balaslah." Namun, Sawad malah memeluk dan menciumi perut Muhammad.

Sebagai seorang panglima militer, Nabi SAW juga dikenal karena sikapnya yang selalu berpegang pada kebenaran. Beliau selalu menyediakan argumen yang sangat substansial ketika harus berjihad menghadapi musuhnya. Muhammad SAW selalu memegang tinggi etika berperang, yakni tak menyakiti dan membunuh anak-anak dan perempuan dari kalangan musuh, serta tak menembangi pohon demi kelestarian alamSecara gamblang dalam Alquran disebutkan bahwa Sang Khalik telah menunjuk Nabi SAW sebagai seorang hakim. Penunjukkan itu tercantum dalam surah An-Nisa' [4] ayat 61, 65, dan 105; surah As-Syura' [42] ayat 15; dan surah An-Nur ayat [24] 51.

Surah An-Nur [24] ayat 51 menunjukkan bahwa posisinya sebagai hakim tidak terpisahkan dari posisinya sebagai rasul. Beliau bertindak sebagai hakim sekaligus utusan Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW diakui sejarah sebagai penggagas hukum yang paling besar, karena beliau tidak saja menghakimi kasus secara adil dan imparsial, tetapi juga menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia.

Tentu saja eliputi seluruh aspek kehidupan: perlindungan hidup, harta benda dan kehormatan; dan

melindungi hak-hak pribadi, sosial, legal, sipil dan beragama setiap individu. Apa pun peran yang beliau jalankan dalam kapasitasnya sebagai legislator merupakan teladan abadi yang menunjukkan kebesaran dan keadilannya bagi seluruh generasi mendatang.

Muhammad SAW menegaskan bahwa hukum Allah bersifat universal dalam maslahat dan lingkupnya, imparsial dan adil dalam penerapannya, serta abadi sifatnya. Karenanya, beliau menekankan bahwa hukum tersebut harus berada di atas seluruh hukum dan peraturan buatan manusia.

Rasulullah mengajarkan bahwa seluruh manusia harus memasrahkan, baik secara individu maupun bersama-sama, seluruh hak dan pembuatan hukum kepada-Nya. Sebab, manusia tidak diberi hak membuat hukum apa pun tanpa wewenang-Nya.

Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW pun tunduk pada kedaulatan Ilahi seperti manusia lainnya. Karena itu, beliau tidak memiliki hak untuk memerintah orang-orang menurut kemauannya sendiri agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Hakim, menerangkan, dalam menegakkan aturan hukum, Nabi SAW selalu mengacu kepada sistem hukum bahwa Allah SWT merupakan sumber seluruh hukum. Seluruh dasar hukum Islam adalah bahwa Tuhan sajalah pemegang kedaulatan dan kekuasaan yang sejati, sedangkan manusia bertindak sebagai perwakilan-Nya atau khalifah-Nya di muka bumi.

Nabi Muhammad dengan jelas telah menggambarkan aspek hukum Islam melalui banyak cara. Beliau menegaskan kewajiban umat Islam untuk menaati Alquran. Kemudian, tentang posisi Sunah di hadapan Alquran, Nabi menyatakan, "Perintahku tidak dapat membatalkan perintah Allah, namun perintah Allah dapat membatalkan perintahku." (HR Daruquthni).

Legislator

Islam

pertama

Di dalam kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang terkait dengan masalah hukum. Ayat-ayat tersebut meliputi masalah waris, pernikahan, mahar, perceraian, gratifikasi (pemberian hadiah), wasiat, jual beli, perlindungan, jaminan dan pidana.

Namun di dunia yang senantiasa berubah dan berkembang, beberapa masalah hukum ini tidak bisa

mencakup seluruh situasi dan masalah-masalah baru. Karenanya, Alquran telah memerintahkan kepada para legislator di masa depan untuk menyusun hukum-hukum sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat di bawah arahan prinsip-prinsip dasar Islam, memastikan semuanya sesuai dengan semangat hukum Islam dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasarnya.

Dalam hal ini, Nabi SAW adalah legislator Islam pertama. Beliau menafsirkan hukum Alquran dan memberikan komentar terhadapnya dan menjelaskan tata cara penerapan Alquran ke dalam masalahmasalah praktis kehidupan. Beliau tidak bisa mengganti atau mengubah hukum Ilahi mana pun yang terkandung dalam Alquran. Beliau bertindak hanya sebagai penafsir dan komentator, kemudian menerapkannya dalam beragam situasi Kondisi sebagian besar tanah di wilayah Hijaz, khususnya sekitar Makkah, adalah kering, berpasir, berbatu-batu, dan langka air. Tidak ada hasil pertanian yang dapat dipetik di wilayah itu. Oleh karena itu, mata pencaharian penduduk di kawasan itu pada khususnya adalah berdagang. Kegiatan berdagang ini tak terkecuali juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Ayahanda Nabi SAW, Abdullah, telah wafat ketika Nabi masih dalam kandungan. Sang ibu, Aminah, menyusul wafat enam tahun kemudian, sehingga Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Setelah kematian sang kakek, selang dua tahun kemudian, Muhammad pun tinggal bersama pamannya, Abu Thalib, yang berprofesi sebagai pedagang sebagaimana kebanyakan pemimpin Quraisy lainnya.

Dari sang paman-lah Muhammad berkenalan dengan dunia perdagangan untuk pertama kalinya. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Pedagang, memaparkan, Muhammad tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu Thalib dan terus belajar mengenai bisnis perdagangan dari pamannya ini.

Seperti kebanyakan pemuda yang jujur dan punya harga diri, Nabi tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang miskin. Maka, beliau bekerja sebagai penggembala untuk penduduk Makkah dengan imbalan yang kecil pada masa kanak-kanaknya. Ketika beranjak dewasa dan menyadari bahwa pamannya bukanlah orang berada serta memiliki keluarga besar yang harus diberi nafkah, Nabi pun mulai berdagang di Kota Makkah.

Dalam menggeluti profesinya sebagai pedagang, Nabi tak sekadar mencari nafkah yang halal guna memenuhi biaya hidup, tetapi juga untuk membangun reputasinya agar orang-orang kaya berdatangan dan mempercayakan dana mereka kepadanya.

Berbekal pengalamannya dalam berdagang dan reputasinya yang terkenal sebagai pedagang yang terpercaya dan jujur, beliau memperoleh banyak kesempatan berdagang dengan modal orang lain, termasuk di antaranya modal dari seorang pengusaha kaya raya Khadijah, yang kelak menjadi istrinya.

Pengusaha

ideal

Aku tidaklah diberi wahyu untuk menumpuk kekayaan atau untuk menjadi salah seorang dari pedagang, sabda Nabi SAW. Rasulullahi telah menjadi pedagang ideal yang sukses dan memberi petunjuk bagaimana menjadi pedagang ideal dan sukses. Beliau selalu memegang prinsip kejujuran dan keadilan dalam berhubungan dengan para pelanggan.

Muhammad SAW selalu mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam setiap transaksi. Beliau juga selalu menasihati para sahabatnya untuk melakukan hal serupa.

Ketika berkuasa dan menjadi kepala negara Madinah, beliau telah mengikis habis transaksi-transaksi dagang dari segala macam praktik yang mengandung unsur-unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian, keraguan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan, dan pasar gelap.

Nabi Muhammad juga melakukan standardisasi timbangan dan ukuran, serta melarang orang-orang mempergunakan standar timbangan dan ukuran lain yang kurang dapat dijadikan pegangan.

Sebagai contoh, ketika memulai usaha dagang dengan menjadi agen Khadijah, Nabi SAW mendapat laba yang melebihi dugaan. Tidak sepeser pun yang digelapkan dan tak sesenpun yang dihilangkannya. Rasulullah bersabda, Berdaganglah kamu sebab lebih dari sepuluh bagian penghidupan, sembilan di antaranya dihasilkan dari berdagang. Alquran juga memberikan motivasi bagi umat Islam untuk berdagang seperti yang diterangkan dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 198: "Bukan suatu dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu".

Anda mungkin juga menyukai