“Makalah Ini DiSusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Tersetruktur Mata Kuliah Fiqih
Siyasah”
Dosen pengampu;
DiSusun oleh :
Ridwan Jalaludin
Yadi Sutiana
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alakum wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Fiqih
Siyasah dengan judul “Siyasah Dauliyah”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu, khususnya kepada dosen Fiqih Siyasah yang telah banyak memberikan
ilmu sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan....................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam pada hakekatnya bertumpu pada perdamaian abadi, meskipun
dalam praktek terjadi penggunaan kekuatan dalam skala tertentu.Bagi kaum
muslimin,penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional hanyalah sebagai alat
untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan penyempurna dakwah Nabi
kepada umatnya. Awal peristiwa hubungan internasional umat Islam dengan negara
lain terjadi pada masa Rasul ketika beliau mengirimkan surat permintaan kepada
Kaisar Persia untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Pada saat itu,surat yang
diajukan oleh Rasulullah diabaikan oleh Kaisar Persia dan dicabik-cabik di depan
utusan Rasul bahkan lebih jauh utusan Rasulullah kemudian dibunuh oleh sekutu
Romawi dari suku Arab yang tunduk kepada bangsa Romawi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
iv
BAB II
PEMBAHASAN
Siyasah dauliyah merupakan rangkaian dari dua kata yang memiliki makna
masing-masing.Makna kata siyasah secara etimologi adalah mengatur, mengendalikan
atau membuat keputusan.Sedangkan kata siyasah secara istilah adalah segala
perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemashlahatan dan lebih jauh
dari kemafsadatan. Sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah
SWT tidak menentukannya.1 Adapun kata dauliyah secara etimologi berasal dari kata
daala-yaduulu-daulah (Negara, kerjaan, dan kekuasaan) memiliki ragam makna,
diantaranya hubungan antarnegara, kedaulatan, kekuasaan, dan kewenangan. Dari
ragam makna kata dauliyah, makna yang relevan dengan kajian ilmu hubungan
internasional dalam Islam adalah hubungan antar negara.2
1
H.A Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemashalatan Umat Dalam Rambu-
rambu Syariah, (Jakarta,Kencana 2009), h. 25.
2
Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah) (Bandung :
Pustaka Setia, cet I 2015) ,h. 15.
3
ibid.
v
tentang perkara yang mereka perselisihkan.Tidaklah berselisih tentang kitab
itu melainkan kitab yang telah di datangkan kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata,karena dengki antara mereka sendiri.Maka allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman pada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-nya.Dan allah selalu
memberi petunjuk orang yang di kehendaki-nya.Kepada jalan yang lurus
(Qs.Al-Baqarah ayat 213)”
b) Asas Persamaan
Asas persamaan menekankan bahwa setiap bangsa di dunia harus
menempatkan bangsa lain sebagai pemilik derajat yang sama. Hubungan
antarbangsa tidak diperkenankan sedikit pun mempertimbangkan asal-usul, ras,
agama, bahasa, dan status sosial dalam menentukan hak membangun hubungan
internasional. Isi kesepakatan hubungan atau kerja sama harus menempatkan
setiap bangsa dalam posisi sederajat dalam hak dan kewajiban.
c) Asas Keadilan
Asas keadilan menghendaki agar setiap bangsa ditempatkan pada
kedudukannya, tidak dilanggar hak-haknya. Setiap butir perjanjian yang
dirumuskan menetapkan bahwa setiap Negara bertanggung jawab atas risiko dan
akibat setiap tindakan yang dilakukannya. Dengan kata lain, tidak hanya satu pihak
yang menanggung risiko,sedangkan pihak lain bebas risiko. Butir
perjanjian(memorandum) tidak membolehkan satu Negara atau bangsa dituntut
atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
d) Asas Musyawarah
Asas musyawarah mengajarkan bahwa kesepakatan semua dalam suatu
perjanjian merupakan hasil dari berbagai keinginan yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Asas musyawarah menghendaki agar konten butir-butir
perjanjian tidak bersifat tirani. Asas musyawarah merupakan pintu pembuka bagi
peserta atau actor perjanjian untuk mengakses, mengkritik, dan meluruskan redaksi
perjanjian yang selaras dengan kepentigan bangsanya. Selain itu, asas musyawarah
menekankan pada actor perjanjian agar bertanggung jawab atas kesepakatan yang
dibuatnya.
vi
e) Asas Kebebasan
Asas kebebasan memberikan kewenangan kepada para pihak yang terlibat
kerja sama untuk melakukan perbuatan apa pun yang tidak merugikan pihak
lain.Berdasarkan asas kebebasan, semua pihak yang memiliki hak dan kewajiban
yang sama. Asas kebebasan mengajarkan bahwa setiap pihak memiliki kebebasan
untuk bertindak tanpa merasa takut ditangkap selama tidak bertentangan debgab
peraturan internasional yang berlaku. Tindakan seseorang tidak boleh dihukum,
kecuali karena alasan hukum internasional yang disepakati.
f) Asas Kehormatan Manusia
Asas kehormatan manusia menghendaki agar suatu bangsa tidak merendahkan
bangsa lainnya. Asas kerhomatan manusia ini menolak terhadap klaim superior dan
inferior bangsa. Seluruh manusia terhormat secara fitrah. Asas kehormatan
manusia merupakan landasan yang harus dipegang dalam hubungan internasional.
g) Asas Toleransi
Asas toleransi menghendaki agar setiap perjanjian memuat kesepakatan untuk
saling menghargai perbedaan, kekurangan, dan kelebihan tiap-tiap peserta
perjanjian. Asas toleransi ini mengajarkan bahwa perbedaan hal-hal yang sangat
mendasar tidak dapat dianggap sebagai pengahalang untuk melakukan kerja sama.
Perbedaan keyakinan dan peribadatan dalam beragama harus disikapi secara
terbuka dan diberikan ruang yang bebas dalam setiap perjanjian. Tidak
diperkenankan terdapat naskah perjanjian yang isinya melarang salah satu pihak
untuk berbeda dalam berkeyakinan.4
h) Asas Kerja Sama
Asas kerja sama (al-ta‟awwun) mengajarkan sebuah perjanjian internasional
harus ada kesepakatan bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus
berkontribusi secara fisik, baik biaya, tenaga (teknologi) maupun manfaat. Setiap
biaya atau tenaga yang dikeluarkan oleh satu pihak harus dibalas oleh mitra
perjanjian dengan manfaat yang setara.5
4
ibid
5
Beni ahmad saebani,fiqih siyasah terminologi dan lintasan sejarah politik islam sejak nabi
muhamad.SAW.Hingga al-khulafa ar-rasiddin (bandung CV.pustaka setia 2014),h. 122
vii
C. Hubungan Internasional dalam Masa Damai Dan pada masa Perang
Oleh karena itu, upaya-upaya yang bermaksud untuk segera berhentinya peperangan
menjadi penting. Penghentian peperangan bisa terjadi dengan berbagai kemungkinan
anatara lain:
1. Peperangan bisa berhenti karena telah tercapainya tujuan perang, yaitu menyerahnya
musuh yang diperangi seperti: mneyerahnya kaum kafir Quraisy ketika Rasulullah
membebaskan kota Mekkah, contoh lain adalah menyerahnya Jerman dan Jepang
6
1Muhammad Abu Zahra, al-Islām wa ‘Alāqat al-Dauliyah diterjemahkan oleh Muhammad Zein Hassan, dengan
judul Hubungan-Hubungan Internasional Dalam Islam (Cet, I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 52.2Al-Mawardi,
al-Ahkām al-Ṣulṭāniyah wa al-‘Alāqah al-Dinīyah (Beirut: al-Maktabah al-Islāmiyah, 1996)
viii
kepada sekutu di dalam Perang Dunia II, mengakhiri peperangan yang terjadi waktu
itu.
2. Perang juga bisa berhenti karena adanya perjanjian damai, Al-Qur’an
menyatakan:“Dan jika mereka (musuh) cenderung kepada perdamaian, maka kamu
pun harus cenderung kepada perdamaian. Dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika manusia
bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah menjadi
pelindungmu, Dialah yang memperkuat dengan pertolongannya dengan para
mukminin.” (Q.S. AlAnfal: 61-62)
Sikap netralisasi muslimin itu hanya dimungkinkan apabila terjadi perang antara dua
negara yang bersengketa yang salah satunya tidak ada perjanjian damai dengan negeri
muslim, atau mungkin keduanya mengadakan perjanjian damai dengan negeri
muslim, alasannya antara lain:
a) Karena hubungan pokok antara muslim dan non muslim adalah perdamaian, maka
selama tidak ada sebab yang mewajibkan perang perdamaian harus dipertahankan,
oleh karena itu sikap netral adalah sikap konsekuensi logis dari prinsip damai itu.
b) Karena perang dalam kasus ini adalah untuk tujuantujuan duniawi dan tidak ada
hubungannya dengan akhlak dan budi baik, kedua belah pihak adalah zalim. Imam
Malik pernah berkata: Biarkanlah Tuhan membalas kezaliman yang zalim, dan
kemudian Dia membalas kezaliman kedua-duanya.
3. Masuknya kaum muslimin dalam ranah peperangan , berarti menyokong yang zalim
atas yang zalim lainnnya, sedangkan menyokong kezaliman terlarang dalam Islam.
ix
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
x
DAFTAR PUSTAKA
xi