Anda di halaman 1dari 23

ISLAM SEBAGAI AGAMA

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Dirasah Islamiyah

DOSEN PENGAMPU :

Dr. H. AIDIL, S.Pd.I., M.Pd.I

DISUSUN OLEH :

NURFADILAH (2102010001)
RACHMADANA (2102010013)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUD DA’WAH WAL IRSYAD

(STAI-DDI) PINRANG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
bisa menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Islam sebagai Agama” ini
dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi tugas mata kuliah Dirasah
Islamiyah.

Dalam penulisan dan penyelesaian makalah ini penyusun tidak terlepas


dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pinrang, 03 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1 – 3

A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 3
C. Tujuan........................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4 – 18

A. Islam sebagai Agama................................................................. 4


B. Hakikat Islam............................................................................. 15

BAB III PENUTUP........................................................................................ 19

A. Kesimpulan................................................................................ 19
B. Saran........................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin), memiliki
sifat mudah beradaptasi untuk tumbuh di segala tempat dan waktu. Hanya
saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kelompok suku bangsa, diakui atau
tidak, sulit dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Namun demikian,
sekalipun berhadapan dengan budaya lokal di dunia, keuniversalan Islam
tetap tidak akan batal. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan antara satu
daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi kendala dalam mewujudkan
tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek
kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada
adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu
agama berkenaan dengan tata caranya (technicalities). 1
Islam lahir di tanah Arab, tetapi tidak harus terikat oleh budaya Arab.
Sebagai agama universal, Islam selalu sesuai dengan segala lingkungan
sosialnya. Penyebaran Islam tidak akan terikat oleh batasan ruang dan waktu.
Di mana saja dan kapan saja Islam dapat berkembang dan selalu dinamis,
aktual, dan akomodatif dengan budaya lokal. Islam hadir bukan untuk
melarang atau mengharamkan budaya atau adat istiadat yang ada sebelum
ajaran Islam ini lahir, akan tetapi Islam lahir untuk menunjukan jalan yang
benar sehingga budaya atau adat istiadat yang ada tidak membuat manusia
tersesat karenanya.
Allah swt telah menciptakan manusia dengan segala kriativitasnya.
Kreativitas yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia telah
memberikan variasi perilaku keagamaan yang berbeda-beda antara umat yang
satu dengan yang lainnya. Tradisi umat Islam di Sumatera mungkin akan
berbeda dengan di Jawa. Islam di Jawa pesisir dan pedalaman pun sudah
kelihatan perbedaannya. Perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dan dapat
menjadi rahmat bagi manusia, juga sudah menjadi sunatullah. Oleh karena

1
Ajat Sudrajat dkk, Dinul Islam (Cet. I; Yogyakarta: UNY Press, 2016), h. 72.

1
2

itu, cara beragama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dapat
berbeda. Perilaku keberagamaan akan senantiasa dipengaruhi oleh kultur
setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan kultur yang ada.
Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama
adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah SWT.
Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama
memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama
adalah sesuatu yang universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal
perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi karena agama
mempengaruhi kebudayaan dan dalam kebudayaan mengandung nilai-nilai
agama. Kebudayaan Indonesia dipengaruhi Islam melalui adanya pesantren-
pesantren dan kyai sehingga kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan
simbol agama.
Agama mengajarkan tentang bagaimana hubungan manusia dengan
manusia yang lainnya dalam sebuah keluarga yang sah secara syariat. Ini
dibuktikan dengan adanya keyakinan sebuah pernikahan yang harus
dilakukan bagi seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menjalin
sebuah hubungan keluarga halal melalui akad nikah dengan ketentuan-
ketentuan yang telah tertera dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Begitu pula adat atau budaya yang mengajarkan tentang sebuah pernikahan
yang syarat dengan budaya dan adat istiadat pada daerah tertentu. Lebih
jelasnya bahwa pernikahan diatur dalam ajaran syari’at Islam, peraturan
perundang-undangan dan adat isti adat demi memanusiakan manusia.
3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Islam sebagai agama?
2. Bagaimana hakikat Islam itu?
C. Tujuan
1. Mengetahui Islam sebagai agama.
2. Mengetahui hakikat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam sebagai Agama
Secara harfiah Islam berasal dari derivasi kata salima ( ‫لم‬GG‫ ) س‬yang
mempunyai arti perdamaian dan orang Muslim ialah orang yang damai
dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah artinya,
berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, dan damai dengan manusia
bukan berarti menyingkiri berbuat jahat atau sewenang-wenang kepada
sesamanya melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya.2
Dua pengertian ini dinyatakan dalam Qur’an Suci sebagai inti agama
Islam yang sebenarnya. Qur’an mengatakan:
“Ya, barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah (aslama),
dan berbuat baik kepada orang lain, ia memperoleh pahala dari Tuhannya,
dan tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan tiada pula mereka akan
susah.” (QS. Al-Baqarah:112)
Jadi sudah dari permulaan sekali, Islam adalah agama perdamaian,
dan dua ajaran pokoknya yaitu Keesaan Allah dan kesatuan atau
persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras
benar dengan namanya.3
Walaupun demikian makna terminologinya tentunya tidak sebatas
makna harfiahnya. Islam adalah agama yang mendorong bagi orang berakal
untuk berusaha mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.4

“Agama adalah kumpulan akidah-akidah dan ibadah-ibadah serta hukum-


hukum dan undang-undang yang disyariatkan oleh Allah swt untuk mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya.”
2
Abd. Kadir, Dirasat Islamiyah (Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016), h. 5.
3
Maulana Muhammad Ali, Islamologi:Dinul Islam (Cet. I; Jakarta: CV Darul Kutubil
Islamiyah, 1977), h. 2.
4
Abd. Kadir, Dirasat Islamiyah (Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016), h. 5.

4
5

“Agama (Islam) adalah ketetapan Tuhan yang mendorong manusia dengan


usahanya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan kemenangan di
akhirat.”
1. Islam sebagai Agama
Islam sebagaimana didefinisikan itu harus menjadi kepedulian
setiap orang, karena hal itu menjadi objek perintah Tuhan.5

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara


keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS.Al-Baqarah
[2:208]).
Sebagai perintah Tuhan Islam menjadi agama dunia yang telah
mendulang kepercayaan dari banyak pihak dan Tuhan meridhai Islam
sebagai agama manusia.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agama bagimu.” (QS: al Maidah:5:3).
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H)
menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang
diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama
mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula
Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi

5
Ibid, h. 6.
6

wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau


sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan
jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak
ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama
kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq,
benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama
sekali.6
Bukan sekedar agama dunia, tetapi juga agama yang dipilih Allah
untuk umat manusia.7

“Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah


kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS: al
Baqarah:2:132).

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.”


(QS: Ali Imran: 3:19).
Tidak ada pilihan lain bagi orang yang biasa berspekulasi mencari
agama alternatif kecuali Islam.

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah
mereka dikembalikan.” (QS: Ali Imran:3:83).

6
Almanhaj, Islam adalah Agama yang Sempurna (diakses dari
https://almanhaj.or.id/2043-islam-adalah-agama-yang-sempurna.html, pada tanggal 12 April 2023,
pukul 02.03 WITA.
7
Abd. Kadir, Dirasat Islamiyah (Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016), h. 7.
7

Bagi orang yang menerima Islam sebagai agamanya dia


mendapatkan harapan janji Tuhan yang tertuang dalam al Qur-an.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk


(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama
dengan orang yang membatu hatinya)?” (QS: az-Zumar:39:22).
Walaupun demikian banyak juga orang merasa keberatan dengan
himbauan dan perintah seperti di atas bila tanpa bersamaan dengan
hidayah-Nya. Dalam kalimat yang lebih ekstrim dapat dinyatakan bahwa
hanya orang yang mendapatkan hidayah dari Tuhan yang mau memeluk
Islam, sehingga Islam bukan ajaran yang harus dipaksakan kecuali
melalui kesadaran diri.

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya


petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)
Islam.” (QS: al-An’am:6:125).
Demikian pula seseorang tidak perlu membanggakan dirinya
ketika memeluk Islam dan mengolok-olokkan orang lain.

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman


mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang
melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada
keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar". (QS: Al-Hujurat
Ayat: 17).
8

Sebagian orang menolak ajaran Islam dan melakukan


propaganda-propaganda dengan mendustakan ajaran Islam.

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan


dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam?. Dan Allah
tiada member petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS: al-Shaf:
61:7).
Allah menyatakan, "Siapakah yang lebih zalim daripada orang
yang mengada-adakan dusta terhadap Allah", seperti mengatakan bahwa
Allah mempunyai sekutu dalam mengatur alam ini. Dari ayat ini
dipahami bahwa orang yang paling zalim ialah orang yang diajak
memeluk agama Allah, agama yang benar dan membawa manusia
kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat yaitu Islam, mereka menolak
ajakan itu. Bahkan mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah,
seperti mendustakan Nabi Muhammad, memandang Al-Qur'an sebagai
sihir ciptaan tukang sihir yang bernama Muhammad, dan sebagainya.
Orang-orang yang mengada-adakan kebohongan tentang Allah itu berarti
menganiaya diri mereka sendiri, dengan mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang terlarang. Orang-orang yang mengerjakan perbuatan itu
tidak akan memperoleh taufik dari Allah.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, sangat
memperhatikan konsep kesimbangan, yang dijelaskan pada QS. al-
Hijr :19 yang artinya: “Dan kami telah menghamparkan bumi dan
menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya
segala sesuatu menurut ukurannya. Dan Surah Al-Infithar ayat: 7,
artinya: “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang”.
Jadi dapat diketahui bahwa, motivasi adalah keseluruhan
dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang
9

mengarahkan perilaku manusia. Motivasi sudah diartikan suatu daya


yang digunakan untuk menimbulkan faktor-fakor tertentu di dalam
organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan
menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran. Motivasi juga dapat
diartikan sebagai semangat. Pengertian inilah yang berkembang di tengah
kehidupan masyarakat.8
2. Islam Sebagai Agama Penyerahan Diri
Islam dalam maknanya berserah diri menjadi tuntutan bagi setiap
orang dalam rangka mewujudkan perintah Allah. Berserah diri sebagai
makna Islam dinyatakan dalam beberapa preposisi yang mempergunakan
bermacam-macam gaya bahasa untuk menunjukkan sebagai perintah,
ajakan, penegasan, pernyataan, permohonan (do’a), dan sikap. Dengan
demikian berserah diri bagian dari doktrin Islam, atau berserah diri
adalah watak doktrin Islam, sehingga Islam mempunyai makna korelatif
dengan berserah diri. Dalam bentuk himbauan Tuhan menegaskan secara
jelas dalam al Qur-an dan mengulas latar belakang perlunya manusia
berserah diri.

Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu


berserah diri (kepada-Nya). (QS: al-Nahl:16:81).
Latar belakang diperlukannya berserah diri karena sebab Allah
telah menurunkan nikmatnya ke alam dunia ini dan setiap orang yang
menerima dan merasakan nikmatnya perlu berserah diri. Disamping itu
adalah kesediaan Tuhan memberi penjelasan sebagaimana tersurat
maupun tersirat dalam al Qur-an.

“Ketahuilah, sesungguhnya al Qur-an itu diturunkan dengan ilmu Allah


dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu
berserah diri (kepada Allah)?” (QS: Hud:11:14).

8
Ramadan Lubis, Psikologi Agama (Cet. I; Medan: Perdana Publishing, 2019), h. 60.
10

“Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka apakah kamu


berserah diri (kepada-Nya).” (QS: al-Anbiya’:21:108).

“Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (al Qur-an) untuk menjelaskan


segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS:al Nahl:16:89).

Katakanlah: Ruh al Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur'an itu dari


Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang
telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi
orangorang yang berserah diri (kepada Allah). (QS: al Nahl: 16:102).
Dalam bentuknya yang lain justeru Allah memerintahkan setiap
orang untuk berserah diri.

“Dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum dating adzab kepadamu


kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)”. (QS: al Zumar:39:54).
Perintah-perintah tidak bersifat sepihak dari Allah, tetapi juga
direspon oleh umat manusia secara baik.
11

“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah


kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS: al A’raf:7:126).
Walaupun demikian tidak semua orang mau dan mampu berserah
diri kepada-Nya, kecuali orang-orang yang telah beriman dan
mendapatkan petunjuk-Nya.

“Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-


orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan
(seorang pun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri.” (QS: al Naml: 27:81).
Perintah, pernyataan, ataupun ajakan sebagaimana tersebut di atas
adalah diksi bahasa dari pihak yang punya otoritas kepada pihak lainnya.
Tetapi bukan hanya Tuhan yang berperan aktif untuk menjadikan
berserah diri sebagai bagian hidup manusia, bahkan nabi-nabi-Nya
banyak yang mengajak dan mendorong umat manusia membangun
komitmen berserah diri.

Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri." (QS: Hud:10:84).
Dan banyak sekali hamba-hamba Tuhan menyatakan sikap
berserah sebagai komitmen pribadinya, atau sebagai permohonan untuk
menjadi komitmen atau integritas pribadi.
12

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,


akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlahdia termasuk golongan orang-orang
musyrik.” (QS: Ali Imran:3:67).

“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang


dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).” (QS: Yunus:10:90).

“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah)


Yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu,
dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri.” (QS: al Naml:27:91).

“Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami


dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS: al-Ankabut:29: 46).

“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?.”


(QS: Fushshilat: 41:33).
Hanya berserah diri itu harus didasarkan kepada keimanan.
13

“Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka


dahulu orang-orang yang berserah diri.” (QS: al Ankabut:43:69).
Taubat pun seharusya didasarkan kepada penyerahan diri.

“Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku


termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS: al Ahqaf:46:15).

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan


anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (QS:al
Shaffat:37:103).
Dalam sejarah sering kali dikenal adanya penyerahan diri atas
pihak lain, atas dasar kebanggaan, kepatuhan atau otoritas.

“Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan


datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri.” (QS: al
Naml:27:31).

“Berkata Sulaiman: Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu


sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka dating kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS:
al Naml:27:38).

Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah


singgasanamu? Dia menjawab: Seakan akan singgasana ini
singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami
adalah orang-orang yang berserah diri.” (QS: al Naml:27:42).
14

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia


melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan
disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya
ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat dzalim terhadap diriku dan
aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam". (QS: al-Naml:27:44).
Disamping itu berserah diri juga merupakan harapan orang
sebagaimana selalu dilakukan dan disebut dalam do’a-do’a. Ada sebagian
orang menyatakan dalam do’anya untuk membangun komitmen berserah
diri, dan lainnya sebagai pernyataan diri.9
3. Islam sebagai Lembaga Kedamaian dan keselamatan
Islam dalam maknanya yang lain, yaitu janji pemberian dan
tuntunan keselamatan kepada pemeluknya apabila ia menerima sesuai
dengan ajarannya. Orang Islam harus mampu menjaga orang lain dari
kejahatannya dalam rangka membangun hubungan yang harmonis. Hal
ini dapat ditemukan dalam hadits Nabi:
“Seorang muslim adalah orang yang selamat dari lisan dan
tangan muslim lainnya.”
Sedangkan makna lainnya, yaitu menebarkan perdamaian dengan
berbagai prilaku dan tindakan sebagaimana dapat ditemukan dalam sabda
Nabi:
“Apabila kamu berjumpa (dengan mulim lainnya) hendaklah
mengucap salam.”
Dalam dialog sehari-sehari ucapan salam itu diverbalkan dengan
ucapan ‫الم‬GG‫( عليكم الس‬kedamaian bagimu). Dengan demikian, Islam dalam
9
Abd. Kadir, Dirasat Islamiyah (Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016), h. 16.
15

makna premordialnya adalah berserah diri, kedamaian dan keselamatan.


Ucapan selamat diterima oleh N. Ibrahim atas prestasi yang dicapainya
setelah melaksanakan tugasnya secara baik.

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi


keselamatanlah bagi Ibrahim". (QS:al-Anbiya’:21: 69).
Orang yang menganut atau memeluk agama Islam disebut dengan
muslim/muslimah. Kewajiban mereka adalah berpegang teguh kepada
Islam sebagai doktrin, pandangan hidup, pedoman sikap dan perbuatan.10
B. Hakikat Islam
Kata hakikat (Haqiqat) merupakan kata benda yang berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata “Al - Haqq”, dalam bahasa indonesia menjadi
kata pokok yaitu kata “hak“ yang berarti milik (kepunyaan), kebenaran, atau
yang benar-benar ada.
Menurut bahasa, Islam berasal dari kata salama yang atinya damai
atau selamat. Menurut istilah, Islam berarti ketundukkan dan kepatuhan
kepada peraturan-peraturan Allahyang disampaikan melalui Nabi Muhammad
Saw untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraanhidup, baik di dunia
maupun di akhirat. Jadi Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, baik dalam hal ‘aqidah,syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya.
Tentang hakikat agama Islam, agama yang dengan bangga kita
menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul
karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.”


[Ali Imran/3 : 19].

10
Abd. Kadir, Dirasat Islamiyah (Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016), h. 18.
16

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. [Ali Imran/3 : 85].
Ayat ini merupakan dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim
dan merupakan syari’at yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama
yang haq, agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.
Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian
khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka
maksudnya adalah agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan makna umumnya, yaitu agama semua nabi yang mengajarkan
tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana
firman Allah.

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”[Al An’am/6 : 162-163].
Pasrah, menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing
nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara
khusus, yang karenanya Al Qur’an diturunkan, yaitu tunduk patuh kepada
Allah dan taat kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus
untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, Al Fatihah, surat terbesar dalam Al Qur’an, yang
menjadi rukun shalat, dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits:
“Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil
apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami
jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
17

nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini, ialah agama yang dianut
oleh para nabi, para shiddiq, syuhada dan kaum shalih, seperti firman Allah.

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-
orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.[An Nisa/4: 69].
Telah shahih di dalam As Sunnah, bahwa ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, Beliau mengatakan,
yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.
Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan
mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima, tetapi sifat
agama, maka ini tertolak dan batil. Yang Pertama, ia tertolak oleh Al Qur’an
surat Ali Imran ayat 85:

Dalam ayat ini, kata Islam terkait dengan nama dan sebutan, bukan
dengan sifat dan sikap. Yang Kedua, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menafsiri surat Al Fatihah tadi.
Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan
kepasrahan kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara
agama Islam, Yahudi, Nasraniyah dan agama keberhalaan, sebab para
penyembah berhala itupun berniat menyembah Allah. Bukankah mereka
mengatakan.

Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami


kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. [Az Zumar/39 : 3].
Jadi, mereka mengaku bertaqarrub (mendekatkan) kepada Allah.
Tetapi ucapan mereka ini batil dan rusak, kesesatan yang nyata yang sangat
18

jelas di depan mata, dan tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami
telah membantahnya.
Guna menguatkan yang haq dan menumbangkan yang batil, Allah
telah berfirman.

Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat
yang tidak layak bagiNya).[Al Anbiya/21 : 18].
Jika Islam hanya diartikan pasrah kepada Tuhan melalui agama
apapun, maka apa artinya ayat yang telah membedakan satu agama dari yang
lain ini?!
Adapun haditsnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidak ada bayi yang lahir, melainkan dia dilahirkan di atas fitrah (tauhid,
Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani
atau Majusi”. [HR Bukhari Muslim].
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tanganNya. Tidak ada
seorangpun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang
aku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada agama yang aku bawa,
melainkan ia menjadi penghuni neraka”. [HR Muslim].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas adapun yang dapat disimpulkan bahwa:


1. Islam sebagai agama adalah agama yang mendorong bagi orang berakal
untuk berusaha mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ada 3
pembagian, yaitu Islam sebagai agama, Islam sebagai agama penyerahan
diri, dan Islam sebagai lembaga kedamaian dan keselamatan.
2. Islam pada hakikatnya adalah agama yang bangga kita menisbatkan diri
kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Pasrah,
menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing.
B. Saran
Demikianlah makalah yang saya buat mudah – mudahan apa yang
saya paparkan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua untuk
lebih mengenal dunia agama Islam. Penulis  menyadari apa yang penulis
paparkan dalam makalah ini tentu  masih belum  sesuai apa yang di
harapkan,untuk itu penulis  berharap masukan yang lebih banyak lagi dari
dosen pengampu dan teman – teman semua.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Kadir. 2016. Dirasat Islamiyah. Surabaya: Dwiputra Pustaka Jaya.


Ali, Maulana Muhammad. 1977. Islamologi:Dinul Islam. Cet. I; Jakarta: CV
Darul Kutubil Islamiyah.
Almanhaj, Islam adalah Agama yang Sempurna (diakses dari
https://almanhaj.or.id/2043-islam-adalah-agama-yang-sempurna.html,
pada tanggal 12 April 2023, pukul 02.03 WITA.
Lubis, Ramadan. 2019. Psikologi Agama. Cet. I; Medan: Perdana Publishing.
Sudrajat, Ajat dkk. 2016. Dinul Islam. Cet. I; Yogyakarta: UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai