MAKALAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum
Islam Internasional Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Bone
Oleh :
AGUNG SUDARMIKO
(742352020170)
AINUN TRI RESKIAWAN
(742352020183)
20 Hukum Tata Negara - 7
KELOMPOK 6
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan......................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 1
Bab II Pembahasan......................................................................................... 2
A. Kesimpulan........................................................................................... 9
B. Saran..................................................................................................... 9
Daftar Pustaka................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
termuat dalam ajaran Islam. Fathi Al-Durainy mencoba menawarkan lima prinsip
dasar yang mengatur hubungan international, yaitu:
1. Perang dan gencetan senjata tidak boleh dilakukan secara individu harus
berdasarkan hasil instruksi presiden.
2. Draft rancangan perdamaian tidak boleh bertentangan dengan syariat.
3. Perang menjadi kewajiban setiap individu muslim ketika musuh telah
memasuki dan menguasai wilayah Islam.
4. Kewajiban perang akan selalu berlaku sampai tujuan perang itu tercapai
untuk melaksanakan hukum Allah.
5. Tawaran damai dari musuh tidak boleh diterima kecuali jika mereka
memintanya karena menyerah diri dan tidak berdaya, atau menerima
kebenaran dan bersedia tunduk pada keadilan dengan syarat kepala negara
melihat kemaslahatan di dalamnya.
C. Perang dan Moralitas Perang
Term yang digunakan untuk istilah perang di sini adalah jihad. Hal ini
sangatlah wajar karena di dalam lieratur fikih, jihad sering didefnisikan sebagai
perang. Wahbah Zukhaili menukil definisi jihad dari berbagai madzhab.
Hanafiyah mengatakan bahwa jihad adalah mengajak kepada agama yang benar
dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya dengan harta dan jiwa. Al-
Syafi’iyah juga berpendapat bahwa jihad adalah memerangi orang kafir untuk
menolong Islam. Selalu ada kata perang di dalam definisi tersebut.
Menurut bahasa, al-Jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-jahda atau
juhdan, yaitu keluasan atau kekuatan.' Secara yuridis-teologis berarti berusaha
dengan sekuat tenaga di jalan Allah, menyebarkan keimanan dan firman-firman
Allah ke seluruh dunia. Jihad, dalam arti luas, tidak selalu bermakna perang atau
mengobarkan peperangan, sebab melangkah di jalan Allah bisa dicapai dengan
cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad dianggap sebagai suatu propaganda
religius yang dilakukan persuasif ataupun pedang. Para ahli hukum membedakan
4 (empat) cara bagi umat untuk memenuhi panggilan jihad yaitu: dengan hati,
dengan lidah, dengan panggilan dan dengan pedang.
3
Cara pertama (hati) berkenaan dengan perintah melawan setan dan
berusaha menghindari bujuk rayu setan dan jihad ini bagi nabi Muhammad
dianggap sebagai jihad terbesar. Cara kedua (lidah) dan ketiga (tangan) dilakukan
untuk penegakan kebenaran serta mengoreksi kesalahan. Cara keempat (pedang)
setara dengan makna perang dan dititikberatkan pada peperangan melawan orang
kafir serta musuh Islam atas nama iman.
Jihad atau perang suci harus dilakukan dengan suci agar tidak menodai
kesucian Islam. Oleh karena itulah diperlukan etika berperang yang baik.
Setidaknya ada tujuh hal yang ditawarkan oleh Syaikh Muhammad Ibrahim bin
Abdullah al-tuwaijiri yaitu
1. tidak berkhianat,
2. tidak membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, para pendeta yang
tidak telibat peperangan
3. menjauhi sifat ujub, sombong, riya, tidak mengharapkan bertemu
musuh, dan tidak membakar manusia dan hewan
4. bersabar
5. ikhlas
6. menjauhi maksiat, dan
7. berdoa meminta pertolongan kepada Allah.
Perang dalam konteks Islam bertujuan untuk memelihara perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan umat serta untuk melindungi kemerdekaan penyiaran
dakwah islamiyah. Selain tujuan tersebut, adapun tujuan yang lainnya, yaitu:
1. Untuk menolak permusuhan kepada Islam dan kaum Muslimin, yang
dilakukan oleh kaum musyrikin, kafirin, pembangkangan dan orang-
orang yang dendam terhadap Islam.
2. Untuk mengokohkan dakwah Islam agar bisa sampai kepada orang-
orang yang berhak mengetahuinya.
3. Untuk menawarkan Islam kepada kaum musrikin, kaum kafirin, orang-
orang yang zhalim dan orang-orang yang mempunyai prasangka buruk
kepada Allah.
4. Untuk mengokohkan agama dan syariat Allah.
4
D. Gencatan Senjata dan Diplomasi Perdamaian
Islam datang dengan semangat rahmat lil alamin. Maka ketika ada sinyal
gencetan senjata dari musuh, Islam akan menyambutnya dengan antusias.
Gencetan senjata dalam Islam dapat diwujudkan dengan dua hal, musuh bersedia
masuk Islam dan melalui perjanjian gencetan senjata.
Perjanjian gencetan senjata dapat ditempuh melalui tiga cara, dua khusus
menjadi hak kepala negara dan satu cara dapat dilakukan secara individu. Dua
cara itu adalah akad sulh dan akad dzimmah. Dan yang satu adalah permintaan
suaka keamanan dari orang kafir dalam jumlah yang terbatas.
1. Akad Hudnah
Hudnah adalah kesepakatan dua negara, Islam dan non-Islam untuk
menghentikan peperangan selama waktu tertentu. Akad ini mempunyai
empat syarat yaitu;
a. mengandung kemaslahatan,
b. dilakukan oleh kepala negara,
c. tidak mengandung poin perjanjian yang fasid, dan
d. tidak melewati batas waktu yang dibutuhkan.
2. Akad Dzimmah
Akad dzimmah dalam terminologi fikih didefinisikan sebagai
kesanggupan kita menerima orang kafir di dalam negara kita (Islam),
melindungi mereka, dan membela mereka dengan kewajiban
membayar pajak dan kerelaan mereka (untuk tunduk pada aturan
Islam).
Sebagai konsekuensi mereka atas akad itu, mereka harus patuh
pada aturan negara Islam. Menurut al-Kabaliy, ada dua belas hal yang
harus mereka penuhi yaitu:
1. membayar pajak,
2. menjamu orang Islam yang lewat selama tiga hari,
3. tidak membangun geraja di wilayah Islam,
4. tidak menunggang kuda yang gagah dan apik,
5
5. tidak berjalan di jalan yang baik tetapi mengalah ke jalan yang
lebih sempit,
6. memakai identitas khusus,
7. tidak mematai orang Islam,
8. tidak melarang orang Islam memasuki gereja baik siang maupun
malam,
9. mencitpakan kondisi yang kondusif bagi umat Islam, tidak boleh
memukul dan mencela mereka,
10. merahasiakan ritual keagamaan, dan
11. tidak mencela para nabi dan tidak menanpakkan akidah mereka.
Seperti halnya hukum tentang jihad, suatu perdamaian hanya berlaku
untuk sementara saja yakni untuk mengatur hubungan umat Islam dengan dunia
luar pada waktu perang tidak berlangsung hingga dar al-Islam meliputi seluruh
dunia. Hubungan damai antara dar al- Islam dengan dar al-harb, yang didasari
dengan sikap saling menghormati dan kepentingan bersama, tidak menunjukkan
bahwa kedua daerah tersebut memmpunyai derajat yang sama karena dar al-harb
tidak dapat memperoleh kedudukan yang biasa atau khusus apabila penduduknya
tidak mau menganut agama Islam atau agama lain yang diperbolehkan.
Dalam perdamaian dikenal istilah fakta perdamaian (muhadana atau
muwada'a), merupakan suatu prinsip ikatan atau semacam hubungan
kemasyarakatan yang bersifat internal dan universal yang sangat didambakan.
Muwada'a ialah semacam ikatan aqad hubungan antara kaum muslim dengan
orang-orang non-muslim yang dibolehkan sebagai suatu bentuk persetujuan
bersama antara keduanya mengenai suatu perbuatan tertentu yang bertujuan untuk
menciptakan akibat-akibat tertentu secara legal.
Dalam islam fakta perdamaian minimal harus memilik tiga syarat, yaitu :
1. Perjanjian diadakan kesediaan antara kedua belah pihak tanpa ada
paksaan dan intimidasi, unsur kerelaan merupakan syarat mutlak yang
harus terpenuhi sebagai karakter perjanjian damai.
2. Perjanjian harus diselenggarakan dengan tujuan dan cara-cara yang
jelas, tidak bisa ditafsirkan atau diinterprestasikan lain, harus jelas
6
tujuan untuk mengusahakan terwujudnya perdamaian abadi. Harus
jelas batas-batas komitmen dan hak-haknya.
3. Isi perjanjian tidak bertentangan dengan Al-qur'an dan syariat Islam
sehingga tidak akan memberikan kemungkinan-kemungkinan kepada
musuh-musuh Islam berkesempatan menerobos kubu-kubu pertahanan
Islam yang dapat menggoyahkan kesatuan, bahkan melemahkan
potensi umat Islam.
Selain dengan perjanjian, ada lagi macam-macam bentuk perdamaian yang
ada dalam Islam, antara lain:
1. Perlindungan terhadap orang asing dalam wilayah muslimin yakni
kaum Harbi dan kaum Musta'min. Kaum Harbi, apabila dar al-harb
berada pada keadaan perang dengan dar al-islam dalam arti hukum,
mereka dianggap orang asing bagi kaum muslimin. Apabila kaum
Harbi tersebut seorang musyrik, dia dapat dikenakan hukuman mati
bila berhadapan dengan seorang Muslimin. Dan apabila kaum Harbi
termasuk golongan Ahli Kitab, bisa di jamin keselamatannya tapi dia
juga dapat diperlakukan sebagai tawanan perang dan dijadikan sebagai
budak. Mereka dapat memasuki dar al-islam tanpa ada gangguan dan
penganiayaan jika memperoleh izin khusus yang disebut dengan aman
(surat jaminan keamanan dalam perjalanan) dalam jangka waktu
tertentu.
2. Arbritrasi. Tujuan utamanya adalah menyelesaikan perselisihan dengan
jalan dan cara-cara damai, tetapi lembaga arbritrasi lebih mengarah
kepada pokok-pokok dan dasar-dasar penggabungan (konsiliasi),
dengan mencoba mengajak kelompok- kelompok yang bertikai menuju
penyelesaian permasalahan dengan jalan kompromi secara menyeluruh
dengan mengabaikan pembedaan kelompok-kelompok yang benar dan
salah. Contohnya arbitrasi antara 'Ali, khalifah keempat (656-661 M)
dan Mu'awiyyah sebagai Gubernur Syria, yang dibuat untuk
mengakhiri perang sipil. Meskipun karakter politiknya lebih keliatan
daripada karakter hukum namun cara- cara yang digunakan untuk
7
menangani kasus secara formal menunjukkan dasar-dasar dan prosedur
arbitrasi sebagaimana yang dimengerti dan dipahami."
E. Rampasan Perang
Ketika perang sudah usai, maka pemenang akan jaya dengan perolehan
rampasan perang yang melimpah. Dalam Islam, rampasan perang dikategorikan
menjadi dua, ghonimah dan fai’.
Fai’ dalam terminologi fikih adalah harta yang diperoleh oleh umat Islam
dari orang kafir tanpa melakukan peperangan. Seperlima dari fai’ ini diberikan
kepada orang yang menerima seperlima harta ghonimah dan empat perlimanya
diberikan kepada orang yang berperang di jalan Allah.
Sedangkan Ghonimah adalah harta yang diperoleh oleh umat Islam dari
orang kafir harbi melalui peperangan, atau sekedar parade kekuatan, atau yang
semisalnya.
Ghonimah ini mencakup tujuh hal, laki-laki kafir, isteri-isteri, anak-anak,
harta, tanah, makanan, dan minuman mereka. Orang kafir laki-laki, isteri-isteri,
dan anak mereka akan menjadi tawanan perang yang akan diputuskan sesuai
dengan kebijakan kepala negara (imam). Dalam hal ini, ada beberapa prinsip yang
harus diperhatikan kepala negara dalam memutuskan perkara mereka. Muhammad
bin Muhammad mencoba merumuskan prinsip itu sebagai berikut:
1. Imam boleh memutuskan tokoh kafir di antara lima pilihan yaitu (a)
membunuhnya, (b) membebaskannya tanpa syarat, (c) menebusnya,
(d) pembebanan pajak atasnya, dan (e) memjadikannya budak.
2. Imam boleh memutuskan bagi perempuan dan anak-anak di antara tiga
pilihan yaitu (a)membebaskannya tanpa syarat, (b)menebusnya, dan
(c)menjadikannya budak.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam teori hukunm Islam, perang tidak bertujuan untuk mencapai
kemenangan atau merampas harta kekayaan musuh. Perang lebih bertujuan untuk
menjalankan kewajiban jihad di jalan Allah dengan cara penyebaran agama Islam.
Orang-orang yang melakukan jihad diminta untuk menahan diri dari pertumpahan
darah atau penghancuran kekayaan yang tidak perlu dilakukan demi mencapai
tujuan. Seperti halnya jihad, hukum perdamaian secara teoritis hanya alat
sementara untuk mengatur hubungan antara kaum muslimin dengan dunia luar
selama periode damai sampai dar al-Islam mencakup seluruh penjuru dunia.
Hubungan damai antara dar al-islam dan dar al-harb yang diatur berdasarkan
prinsip saling menghormati dan kepentingan tertentu mempengaruhi secara tidak
langsung persamaan ide antara dua dar, sebab dar al-harb tidak dapat
mendapatkan status normal atau permanen kecuali penduduknya memeluk Islam
atau menerima status agama yang ditolerir (Ahli Kitab).
B. Saran
Demiklanlah Islam memberikan akar yang kokoh dalam hukum perang
dan damai. Walaupun banyak penyimpangan yang terjadi dalam hukum
internasional khususnya hukum perang dan damai, tetapi warna Islam tersebut
tidak dapat dihilangkan begitu saja dalam sejarah kehidupan manusia modern
beradab sampai kini. Warna tersebut akan lebih jelas dan cemeitang tentu saja
apabila yang sesungguhnya berhak melaksanakannya yang memegang kendall
peradaban manusla. Tentu sesuatu yang wajar dan sudah seharusnya umat Islam
yang memiliki kekuatan penuh dengan menyatukan segala potensi limiah, alamiah
dan amaliah yang berpandu pada llahiah untuk tampll menjadi para pembaharu
dan pemimpin yang mampu menampilkan peradaban baru yang damai, tertib dan
lebih sejahtera.
9
DAFTAR PUSTAKA
10