Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

SUMBER-SUMBER AGAMA
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama

Disusun Oleh :

Hamdah Ridhaka W P2.06.24.2.8.016


Raisa Aulia Safrida P2.06.24.2.8.029
Ranti Anggiliana P2.06.24.2.8.030
Sashanti Nurul S P2.06.24.2.8.034
Zhafira Adzra P2.06.24.2.8.040

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
KEBIDANAN TINGKAT 1
PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN CIREBON
TAHUN AKADEMIK
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur seraya kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala

atas karunia, rahmat, dan nikmat-Nyalah makalah yang berjudul, “Sumber-sumber

Ajaran Islam” dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak

kekurangan dan kesalahan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan dan kemampuan

kami sendiri. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua

pihak khususnya para pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri,

umumnya bagi para pembaca.

Cirebon, September 2018

PENULIS
DAFTAR ISI

Halamanu

KATA PENGANTAR.......................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah......................................................................... 1

Rumusan Masalah................................................................................... 1

Tujuan Masalah....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

Agama Islam...........................................................................................3

Sumber Ajaran Islam Al-Qur’an............................................................. 4

Sumber Ajaran Islam Al-Hadits.............................................................. 17

Sumber Ajaran Islam Ijtihad................................................................... 21

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan............................................................................................. 26

Saran....................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 27
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai agama terakhir, islam diketahui memiliki karakteristik yang khas
dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai
literature yang berbicara tentang islam dapat dijumpai uraian mengenai
pengertian agama islam, sumber, dan ruang lingkup ajarannya serta cara untuk
memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran islam, berbagai aspek yang
berenaan dengan islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan
pemahaman islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas
pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
tindakan keislaman yang bersangkutan. Kita barangkali sepakat terhadap kualitas
keislaman seseorang yang benar-benar komprehensif dan berkualitas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana itu islam?
2. Bagaimana sumber ajaran islam dari Al-Qur’an?
3. Bagaimana sumber ajaran islam dari Al-Hadits?
4. Bagaimana sumber ajaran islam dari Ijtihad?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mengambil tujuan
sebagai berikut :
1. Ingin mengetahui bagaimana itu islam.
2. Ingin mengetahui sumber ajaran islam dari Al-Qur’an.
3. Ingin mengetahui sumber ajaran islam dari Al-Hadits.
4. Ingin mengetahui sumber ajaran islam dari Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN

A. Agama Islam
1. Pengertian Islam
Kata islam memiliki banyak akar kata, menurut Fazlur Rahman;
a. Kata Islam berasal dari kata s-l-m yang berarti merasa aman, utuh dan
integral kata kerja ini tidak populer digunakan oleh Al-Qur’an.
b. Kata silm yang berarti damai.
c. Salam yang bermakna utuh sebagai lawan dari pemilihan-pemilihan.
Kata salam juga dimaknai dengan damai, aman, ucapan salam.
d. Aslama bermakna menyerahkan dirinya, memberikan dirinya.
Jadi seorang yang memperoleh atau melindungi atau
mengembangkan keutuhan dirinya, integritasnya dengan menyerahkan diri
kepada hukum Tuhan disebut dengan Muslim dalam Al-Qur’an dinyatakan
bahwa alam juga termasuk muslim, karena kepatuhannya terhadap hukum
alam (sunatullah). Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Secara Umum
1. Islam berarti ketundukan terhadap hukum-hukum Alam (sunatullah).
Hukum alam adalah ciptaan Allah, maka alam beserta isinya tunduk
patuh kepada Allah dan meraka disebut muslim. Rela atau tidak
manusia dan alam harus patuh pada sunatullah.
2. Ketundukan terhadap ketentuan Tuhan yang tertulis yang disebut
syariah. Dalam mentaati syariah manusia diberi kebebasan memilih
dan menentukan, jika memilih tunduk berarti muslim dan mendapat
keselamatan dan ridha Allah, jika memilih tidak tunduk berarti ia kafir
dan temazuk kepada orang zalim.
b. Secara Khusus
Islam yang ditulis dengan huruf “I” menunjuk pada agama
terakhir yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk
disampaikan pada seluruh manusia. Agama islam mempunyai hubungan
yang tak terpisahkan dengan agama nabi sebelumnya, karena islam
diturunkan sebagai puncak dan akhir dari semua agama.
Islam melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri seerta
perdamaian diantara sesama manusia dan lingkungannya. Kata Islam,
makna aslinya adalah “masuk dalam perdamaian”. Muslim adalah orang
yang damai dengan Allah SWT. dan damai dengan manusia. Damai
dengan Allah SWT. artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak
Allah SWT. damai dengan manusia adalah menghindari berbuat jahat
dan menghiasi diri dengan berbuat baik kepada sesamanya.
Secara terminologis, islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diberikan oleh Allah SWT. kepada manusia memalui para utusan-Nya.
Islam adalah agama yang dibawa oleh para nabi pada setiap zaman yang
terakhir pada Muhammad SAW.
2. Peranan Agama Islam dalam Kehidupan
Agama islam sangatlah memiliki peran penting dalam kehidupan,
contoh nya yaitu;
a. Menentramkan batin
Berdasarkan akar katanya (salima). Islam berarti sejahtera.
Oleh karena itu orang yang mempelajari ajaran islam akan dapat
menikmati kesejahteraan, akan mendapatkan ketentraman batin serta
jauh dari ketakutan dan kekhawatiran dalam menjalani kehidupannya.
b. Sebagai landasan peradaban
Manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
berkembang dalam sejarah kehidupannya telah mampu menciptakan
sebuah peradaban yang silih berganti dari generasi ke generasi
berikutnya.
Dalam sejarah peradaban tiap bangsa-bangsa, kita bisa
menemukan peradaban yang telah dibangun tersebut akhirnya hancur.
Hal ini disebabkan adanya tabiat manusia yang cenderung kepada
mementingkan diri sendiri, yang pada akhirnya muncul permusuhan
dan pertumpahan darah demi memenuhi kepentingan tersebut.
c. Sebagai kekuatan pemersatu
Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamin bukan saja
menciptakan kesatuan antar bangsa-bangsa dalam batas wilayah
tertentu saja melainkan merupakan sebuah kekuatan yang
mempersatukan seluruh bangsa tanpa adanya batasan wilayah.
d. Sebagai kekuatan rohani
Sejarah kehidupan manusia yang selalu dihiasi dengan
kepercayaan hal-hal yang berbau tahayul, kebodohan, perbuatan
mesum yang amat kotor, kebiasaan buruk yang berabad-abad lamanya
telah berubah menjadi peradaban yang santun, bermoral, dan
bermartabat. Hal ini membuktikan bahwa islam merupakan kekuatan
rohani yang sangat besar, karena telah mampu membebaskan manusia
dari kekuatan dirinya yang bersumber dari hawa nafsu.
e. Menjawab segala problem kehidupan
Islam bukan saja merupakan kekuatan rohani yang mampu
memanusiakn manusia di dunia, melainkan islam juga memberi jalan
pemecahan berbagai persoalan yang kompleks yang dihadapi manusia.
dua hal yang tidak luput dari perhatian islam diantaranya masalah
yang berhubungan dengan harta dan kehidupa seksual.
B. Sumber Ajaran Islam dari Al-Qur’an
1. Pengertian
‫َف ِإَذ ا َق َر ْأ َنا ُه َف ا َّت ِب ْع ُق ْر آَنُه‬
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah “
bacaannya itu”. (Q.S. Al-Qiyamah:18)
Secara etimologis Al-Qur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca,
berasal dari kata “qara-a” yang berarti “membaca” (Q.S. 75:18). Menurut
Quraish Sihab, Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan yang sempurna”.
Kesempurnaan Al-Qur’an diantaranya adalah bacaan yang terkandung di
dalamnya memberikan pengaruh kepada kehidupan umat manusia selama
lima belas abad terakhir. Seorang orientalis H.A.R Gibb pernah menulis
bahwa “tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani dan
demikian luas getaran jiwa yang ditimbulkannya. Seperti yang dibaca
Muhammad SAW. yaitu Al-Qur’an.
Secara etimologis Al-Quran berarti qalam Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW dengan bahas arab melalui malaikat Jibril
sebagai mukjizat dan argumentasi dalam mendakwahkan kerasullannya dan
sebagai pedoman hidup untuk mencapai kedamaian dunia akhirat. Firman
Allah SWT,
‫َتنِزياًل َو َنَّز ْلَٰن ُه ُم ْك ٍث َع َلٰى ٱلَّناِس َع َلى ِلَتْقَر َأ ۥُه َفَر ْقَٰن ُه َو ُقْر َء اًنا‬
“Dan ini adalah quran yang kami buat beda, agar engkau membacakan
itu kepada manusia dengan perlahan lahan, dan kami menurunkan itu
setahap demi setahap.” (QS. 17:106.)
Menurut Dr. Daud al-Aththar (1979) Al-Qur’an adalah wahyu Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, secara lahfadzh (lisan),
makna serta gaya bahasa (uslub) nya, yang termaktub dalam mushaf yang
dinukil darinya secara mutawatir. Deifinisi diatas mengandung beberapa
kekhusussan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tidak ada satu katapun yang datang
dari perkataan atau pikiran dari Nabi Muhammad SAW.
2. Al-Qur’an terhimpun dalam miushaf, artinya Al-Qur’an tidak
mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk
hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa nabi sendiri.
3. Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan
kepada orang lain secara terus menerus, mereka tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berada
tidak pada satu tempat.
Al-Qur’an adalah sumber asli dari semua ajaran dan syariat islam yang
diturunkan oleh Allah SWT, kepada Rasulullah SAW, sebagai mana
firmannya

“Dan (orang-orang) yang beriman kepada apa yang diwahyukan kepada


Muhammad, dan ini adalah kebenaran dari tuhan mereka. “ (QS. 47:2).
2. Nama-Nama Al-Qur’an
a. Al-kitab, berarti sesuatu yang ditulis dalam mushaf. Hal ini sebagaimana
firman Allah SAW.

“segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-
kitab (Al-Qur’an) dan dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya . “
(Q.S. Al-kahfi : 1)
b. Al-Furqan, artinya sebagai pemisah (Al-Furqan :1. )

Sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia. Al-Qur’an


menyajikan norma dan etika secara jelas, tegas, dan tuntas terutama dalam
segala kebaikan dan keburukan, hak dan batil.
c. Ar-Rahmah, yang berarti karunia (An-Naml : 77).
Semua pemberian tuhan akan menjadi rahmat didunia dan akhirat,
ketika pemberian itu diberikan, dijalani, dan dikembangkan dengan
landasan Al-Qur’an.
d. An-Nur, yang artinya cahaya (An-Nisa : 174).

Fungsi ini menunjukan fungsi Al-Qur’an sebagai wadah. Sebutan


cahaya seolah mengilustrasikan bahwa Al-Qur’an ibarat cermin yang
mewadahi sinar yang terpancar dari Sang Maha Pelita dan kemudian
memancarkan cahayanya kepada manusia. Al-Qur’an memantulkan cahaya
Tuhan dan karena ia mampu menembus bungkus jasad manusia dan
menyinari rongga dadanya sehingga kegelapan menjadi sirna. Pantulan
cahaya Al-Qur’an ini akan terjadi jika manusia itu sendiri sanggup
merespon Al-Qur’an dengan baik.
e. Al-Huda, berarti petunjuk (At-Taubah:33).

Nama ini menunjukan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk , hanya


dengan Qur’an manusia dapat memperoleh keridhoannya.
f. Adz-Dzikra, artinya peringatan (Al-Hijr:9).

Yaitu kitab yang berisi peringatan Allah kepada manusia, karena


manusia itu makhluk yang punya kelemahan yaitu lupa.
3. Proses Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit, bukan sekaligus dalam secara
keseluruhan. Menurut sebagian ulama, Al-Qur’an itu diturunkan menurut
keperluan, misalnya lima ayat, sepuluh ayat, kadang-kadang lebih dan
kadang-kadang diturunkan hanya setengah ayat.
Menurut An-Nakhrawy dalam kitab Al-Waqaf, Al-Qur’an diturunkan
bercerai berai, satu ayat, dua ayat, tiga ayat, empat ayat dan ada yang lebih
banyak lagi. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqy dari Khalid ibn Dinar, “Abul
‘Aliyah berkata : pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat, karena Nabi SAW
menerimanya dari jibril lima ayat-lima ayat. Sesudah Nabi SAW
menghafalnya, kemudian disampaikan kepada umatnya.
Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT.

“demikianlah (kami menurunkan dia berangsur-angsur) untuk Kami


kuatkan dengan dia hati engkau” (Q.S. 25:32).
a) Meneguhkan hati penerima dalam hal ini Muhammad SAW. karena
diturunkan sesuai dengan kejadian tertentu.
b) Memudahkan Nabi Muhammad SAW. Menghafalnya.
Al-Qur’an terdiri atas 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah
SWT. sendiri dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode-metode
penyusunan buku ilmiah, dengan membagi persoalan ke dalam bab-bab dan
pasal-pasal secara berurutan.
4. Periode Turunnya Al-Qur’an
Masa turunnya Al-Qur’an dibagi menjadi dua periode yang masing-
masing memiliki corak tersendiri.
a. 17 Ramadhan
Masa Nabi bermukim di Makkah yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari,
yakni 17 Ramadhan tahun 41 dari milad hingga Rabi’ul Awal tahun 54
dari milad nabi. Semua ayat yang turun di Makkah disebut surat
Makkiyah dengan ciri:
- Ayatnya pendek
- Membahas persoalan tauhid, kepercayaan, adanya Allah dan ‘adzab
b. 10 Hijriyah
Ayat yang turunkan sesudah hijrah yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9
hari yaitu dari permulaan Rabi’ul Awal tahun54 dari milad Nabi hingga
Sembilan dzulhijjah tahun 63 dari milad atau tahun 10 Hijriyah. Semua
yang turun di Madinah dinamai surat Madaniyyah dengan cirinya:
- Teks ayatnya panjang
- Membahas masalah hukum sosial kemsyarakatan
- Umumnya teks ayat dimulai dengan: “wahai orang yang beriman”
5. Kandungan Al-Qur’an
a) Prinsip-prinsip keimanan
Yaitu doktrin kepercayaan untuk meluruskan dan menyempurnakan
keyakinan, seperti keimanan kepada Allah SWT, malaikat, kitab, rasul dan
hari lain-lainnya.
b) Prinsip-prinsip syari’ah
Yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya (ibadah khusus), seperti shalat, zakat, puasa, haji dan ketentuan
mengenai hubungan manusia dengan sesame serta hubungan manusia
dengan alam semesta.
c) Janji dan ancaman
Seperti janji kepada orang-orang yangberbuat kebaikan dan ancaman
kepada orang-orang yang berbuat kejahatan dan dosa.
d) Sejarah atau kisah-kisah masa lalu
Seperti kisah tentang para nabi dan rasul, orang-orang saleh, orang-
orang jahat, masyarakat dan bangsa-bangsa terdahulu.
e) Ilmu pengetahuan
Yaitu informasi tentang ilmu ketuhanan, agama, manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, langit, bumi, matahari, planet-planet di angkasa dan
isyarat-isyarat ilmiah yang lainnnya.
6. Fungsi dan Peran Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah undang-undang yang dibuat oleh Allah SWT harus
dipahami, dihayati seluruh ajarannya selanjutnya dijadikan sebagai pedoman
hidup dan kehidupan agar terwujud sebuah kehidupan yang nyaman, damai,
sejahtera lahir batin dunia akhirat. Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat, sebagai
bukti kebenaran Rasulullah SAW yang disampaikan kepada seluruh umat
manusia. Kemukjizatan Al-Qur’an antara lain terletak dari segi bahasa
(keindahan dan ketelitian redaksinya) serta kandungan ajaran-ajarannya, yang
akan nampak dan terasa manfaatnya apabila kita mampu memahami dan
mengamalkannya secara utuh dan konsisten dalam kehidupan nyata.
Diantara sekian banyak fungsi dan peran Al-Qur’an, dapat disebutkan
antara lain sebagai berikut:
a. Al-Qur’an Sebagai Petunjuk Bagi Manusia
Al-Qur’an memberikan petunjuk kearah pencapaian kebahagiaan
yang hakiki, yaitu kebahagiaan lahir batin, individu maupun kelompok
baik didunia maupun akhirat. Kebahagiaan yang diajarkan oleh Al-Qur’an
bukanlah kebahagiaan yang semu, melainkan kebahagiaan yang abadi. Al-
Qur’an memberikan petunjuk bagaimana memperoleh kebahagiaan itu
dengan meletakkan seluruh aspek kehidupan, menjadikan Allah SWT
sebagai muara (ghayah) dari seluruh pengabdian dan penghambannya.
b. Al-Qur’an Sebagai Penjelas
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi ini untuk
menjelaskan segala sesuatu yang meliputi seluruh aspek kehidupan,
sebagai pedoman dan arahan bagi manusia dalam menjalankan tugas
hidupnya sebagai hamba Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT.
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri” (QS. 16:89).
Ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an memberikan
petunjuk, rahmat dan menyampaikan kabar gembira kepada manusia yang
berserah diri. Penjelasan Al-Qur’an meliputi segala sesuatu yang tidak
dapat diketahui manusia, seperti hal-hal yang ghaib. Memberi petunjuk
berarti memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia terhadap
segala sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangka mencapai kebahagiaan
hidupnya, sehingga tidak keliru dan selalu berjalan diatas aturan yang
diridhai Allah SWT. Memberi rahmat, berarti Al-Qur’an membawa
manusia ke dalam kasih sayang Allah, sehingga seluruh ide, gagasan dan
karya manusia senantiasa sinergis dengan keinginan Allah SWT,
sedangkan sebagai kabar gembira berarti Al-Qur’an memberikan isyarat
kepada manusia untuk berlomba-lomba melakukan amal kebajikan dengan
imbalan kenikmatan yang hakiki dari Allah SWT.
c. Al-Qur’an Sebagai Penawar Jiwa
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an juga berfungsi sebagai obat
(penawar) bagi manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al-
Israa, 17:82)
Allah memerintahkan kita berinteraksi dengan Al-Qur’an bukan
sekedar melalui pendekatan religius yang bersifat ritualistik dan mistik,
yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. Tapi karena Al-
Qur’an adalah petunjuk Allah SWT yang bila dipelajari secara mendalam
akan membantu kita untuk menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman bagi penyelesaian berbagai masalah kehidupan. Apabila dihayati
dan diamalkan, maka akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita
mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dam masyarakat.
7. Penulisan Mushaf Al-Qur’an
Ketika wahyu Al-Qur’an turun, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
tidak hanya menghafal teks-teksnya, tetapi juga menuliskannya. Hal itu
dilakukan guna menjaga kelestarian suatu teks Al-Qur’an. Sejarah
menginformasikan bahwa setiap ada ayat turun. Nabi Muhammad SAW lalu
memanggil para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk menuliskan ayat-
ayat yang baru saja diterimanya sambil menyampaikan tempat dan urutan
setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut merekaa tulis dalam pelepah
kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang.
Namun setelah Rasulullah SAW wafat, dan banyaknya sahabat Nabi
Muhammad SAW yang hafal Al-Qur’an juga meninggal dunia dalam perang
Yamamah, maka membuat Umar bin Khatab menjadi risau tentang masa
depan Al-Qur’an. Oleh karena itu Umar mengusulkan kepada khalifah Abu
Bakar agar mebgumpulkan tulisan-tulisan ayar Qur’an. Walaupun pada
mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut, dengan alasan bahwa
pengumpulan semacam ini tidak pernah dilakukan dimasa Rasul SAW, namun
pada akhirnya Umar bin Khatab dapat meyakinkannya, pada akhirnya kedua
sahabat tersebut sepakat untuk membentuk tim yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit dalam rangka tugas suci itu.
Zaid pada mulanya merasa sangat berat menerima tugas tersebut, namun
pada akhirnya ia dapat diyakinkan, apalagi ia adalah termasuk salah seorang
sekretaris andalan Nabi Muhammad SAW semasa beliau hidup untuk
menuliskan wahyu Al-Quran. Akhirnya bersama-sama dengan sahabat yang
lain tugas besar ini dimulai. Abu Bakar menyuruh para sahabat untuk
membawa naskah tulisan wahyu yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk
diteliti oleh Zaid bin Tsabit beserta timnya. Abu Bakar memberi petunjuk agar
tim tersebut tidak menerima naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, naskah harus sesuai dengan hafalan sahabat yang lain. Kedua,
naskah tersebut adalah benar-benar ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi
Muhamad SAW, karena ada sebagian sahabat yang menulis wahyu atas
inisiatif sendiri. Untuk membuktikan kedua syarat tersebut diharuskan adanya
dua orang saksi mata.
Suatu ketika Zaid menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak
sahabar menghafal ayat Surat : 9 : 128 yang artinya sebagai berikut: Ayat ini
yang ditulis dihadapan Nabi Muhammad SAW tersebut tidak ditemukan.
Namun pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga ditangan seorang
sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah sekelumit
kerja keras yang dilakukan oleh tim tersebut alam rangka menjaga koetantikan
Al-Qur’an al-Karim. Dengan demikianlah Al-Qur’an yang sekarang
dihadapan kita ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa
yang diterima dan dibaca oleh Rasul SAW lima belas abad yang lalu.
8. Al-Qur’an dan Tafsirnya
Tafsir menurut bahasa berasal dari wazan taf’il diambil dari akar kata al-
fasr yang berarti menjelaskan, menyingkapi dan menampakkan atau
menerangkan yang abstrak atau yang tertutup. Sedangkan tafsir secara istilah
adalah ilmu untuk mengetahui kandungan firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, penjelasan maknanya, dan pengambilan
hukum serta hikmahnya. Menurut al-Suyuthi tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang Al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah
sesuai dengan kemampuan manusia.
Pada saat Al-Qur’an diturunkan Rasul SAW yang berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan) mengenai kandungan ayat-ayat Al-Qur’an,
terutama tentang ayat-ayat yang samar artinya. Turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur menunjukkan bukti bahwa ayat-ayatnya begitu komunikatif
dengan sasarannya, dan jika para sahabat menemukan kesulitan biasanya
langsung bertanya kepada Rasul SAW. Keadaan demikian berlangsung hingga
wafatnya Rasul SAW. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua penjelasan
tersebut kita ketahui, karena dua kemungkinan. Pertama, akibat tidak
sampainya riwayat-riwayat tentangnya. Kedua, karena Rasul SAW sendiri
tidak memperjelas semua kandungan Al-Qur’an.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’am berdasarkan ijtihad
masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah bahasa serta arti-arti yang
dikandung oleh satu kotakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akalh atau
ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an sehingga bermunculanlah
berbagai kitar atau penafsiran Al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut dintujang pula oleh Al-Qur’an yang keadannya seperti
dikatakan oleh ‘Abdullah Drraz dalam ‘Al-Naba’ Al-Azhim bahwa Al-Qur’an
“bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika
anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih
banyak dari apa yang anda lihat”.
Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer, menulis bahwa: Al-
Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada
tingkat wujud adalah mutlak. Oleh karena itu ayat selalu terbuka untuk
diinterpretasi.
Jika kita perhatikan bahwa Al-Qur’an memerintahkan kepada kita untuk
merenungkan ayat-ayatnya dan Allah mengecam terhadap mereka yang
sekedar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita
perhatikan pula bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk setiap manusia atau setiap
masyarakat kapan dan dimanapun. Maka dapat disampulkan bahwa tuntutan
untuk memahami Al-Qur’an harus dilakukan sepanjang zaman, sebagaimana
tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan
turunnya Al-Qur’an.
Ada empat pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pertama,
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika ingin menafsirkan suatu ayat,
maka hendakah mencari tafsir ayat tersebu dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Kedua, menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadits. Berfungsi sebagai penjelas Al-
Quran. Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an sahabat, karena mereka lebih
mengetahui dan menyaksikan kondisi ketika wahyu turun. Keempat,
menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan kaedah bahasa Arab dan
ushlub-ushlubnya, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
9. Beberapa Metode Penafsiran Al-Qur’an
a. Tafsir bil Ma”tsur
Metode ini menafsirkan ayat-ayat berdasarkan ayat Al-Qur’an dan
riwayat, baik hadist nabi maupun atsar sahabat. Penafsiran semacam ini,
dilakukan oleh para ahli tafsir pada masa-masa awal penafsiran Al-Qur’an.
b. Tafsir bil Ma’qul
Metode ini disebut juga tafsir bil Ra-yi, yaitu menafsirkan ayat
berdasarkan akal (rasio) atau dengan cara Ijttihad.
c. Tafsir Ijdiwad (campuran)
Yaitu sebuah metode tafsir Al-Qur’an dengan memadukan antara tafsir
bil Ma’tsur dengan tafsir bil ma’qul.
d. Tafsir Tahili
Metode ini adalah menafsirkan ayat secara berurutan dari surat
pertama, ayat pertama, sampai surat terakhir, ayat yang terakhir.
e. Tafsir Maudlu’I
Yaitu menafsirkan ayat berdasarkan tema, yang telah di tetapkan.
Dalam metode ayat Al-Qur’an tidak ditafsirkan secara berurutan dari ayat
ke ayat, melainkan dicari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang
sedang dibahas
f. Tafsir bil Ilmi
Yaitu menafsirkan ayat dengan menggunakan pendekatkan ilmu
pengetahuan, iasanya bersifat tematik. Misalnya ayat yang berkaitan
dengan proses kejadian manusia di dalam Rahim dengan sudut pandang
ilmu kedokteran.
10. Tata Cara Al-Qur’an Diwahyukan
a. Malaikat jibril memasukan wahyu ke dalam qalbu nabi, dalam hal ini nabi
tidak melihat apapun, hanya beliau merasa bahwa ada wahyu yang telah
berada dalam qalbunya.
b. Malaikat jibril menampakkan dirinya kepada nabi berupa seorang laki-laki
tampan, yang mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga nabi
mengetahui dan hafal benar ayat-ayat yang diwahyukan itu.
c. Wahyu datang kepada nabi seperti gemerincingnya lonceng. Cara ini
sangat beray dirasakan nabi, sampai-sampai nabi mengeluarkan keringat
dari keningnya, meskipun wahyu itu turun pada waktu musim dingin.
d. Malaikat menampakkan dirinya kepada nabi, tidak berupa seorang laki-
laki, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. (Q.S. An-Najm:13-14)

“sesungguhnya Muhammad telah melihat jibril itu (dalam rupanya


yang asli) pada waktu yang lain.” “ (yaitu) di Sidratil Muntaha”.
11.Kelebihan Al-Qur’an atas Kitab lain
a) Dari kandungan ayat maupun bahasa, Al-Qur’an mempunyai kehebatan
luar biasa yang tidak tertandingi dari masa ke masa, sepanjang peradaban
manusia. Keserasian dan keindahan bahasanya, keseimbangan kata-kata
dan kalimatnya dan keselarasan kata dan maknanya memberikan
kedalaman makna yang berdimensi luas.
b) Banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang
belum terjadi ketika ayat itu diturunkan, kemudian apa yang diisyaratkan
Al-Qur’an itu terbukti kebenarannya.
c) Bahasa yang digunakan Al-Qur’an yaitu bahasa arab, sampai hari ini
tetap merupakan bahasa yang banyak dipelajari oleh bangsa-bangsa di
dunia, karena negara Arab menunjukkan peran strategis pada dunia
internasional.
d) Al-Qur’an diturunkan untuk semua umat manusia, tidak dibatasi oleh
geografis, tidak juga dibatasi oleh kurun waktu. Al-Qur’an diturunkan
untuk semua umat manusia di segala penjuru dan sepanjang zaman.
e) Naskah Al-Qur’an sejak pertama diturunkan sampai sekarang, bahkan
sampai kapanpun masih tetap terpelihara, tidak mengalami perubahan
meski hanya satu ayat bahkan satu huruf sekalipun.
f) Kandunga Al-Qur’an menyempurnakan kitab suci sebelumnya,
khususnya Taurat, Zabur, dan Injil. Banyak kandungan Al-Qur’an
menyempurnakan aspek kehidupan dengan demikian Al-Qur’an satu-
satunya kitab suci yang paling suci.
g) Kandungan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan fitrah manusia, sejalan
dengan akal manusia. Secara basyar, manusia pasti mengalami lapar,
maka Al-Qur’an membatasi waktu puasa dari mulai terbit fajar sampai
matahari tenggelam.

C. Sumber Ajaran Islam dari Al-Hadits


1. Pengertian Al-Hadits
Al-Hadits menurut bahasa adalah perjalanan, pekerjaan atau cara.
Menurut istilah, Al-Hadits berarti perkataan Nabi Saw.., perbuatan dan
ketetapan (taqrir) Nabi.
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits
a. Al-Hadits Qauliyah: hadist dalam bentuk perkataan atau ucapan
Rasulullah Saw.. yang menerangkan dan merinci isi Al-Qur’an.
b. Al-Hadits Fi’liyah: hadist dalam bentuk perbuatan yang menerangkan
cara melaksanakan ibadah.
c. Al-Hadits taqririyah: ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas
perkataan atau perbuatan sahabat, tidak ditegur atau dilarang.
3. Macam-macam Hadist
a. Dilihat dari periwayatan:
1. Hadits Mutawatir: Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang tidak terhitung jumlahnya, yang karena banyaknya ini
menurut akal, tidak terhitung jumlahnya, yang karena banyaknya
ini menurut akal. Tidak mungkin terhitung jumlahnya, yang karena
banyaknya ini menurut akal, tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta.
2. Masyhur: Hadits yang perawi lapis pertamanya beberapa orang
sahabat atau lapis keduanya beberapa orang tabi’in, setelah itu
tersebar luas menukilkan orang banyak yang tak dapat mereka
bersepakat untuk berdusta.
3. Hadits Ahad: Hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebat-sebab yang
menjadikannya ketingkat Masyhur.
b. Dilihat dari kualitas:
1. Hadits Shahih: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
hafalannya sempurna (dhabith), sanadnya bersambung, tidak
terdapat padanya keganjilan (syadz) dan tidak cacat (‘illah).
2. Hadits Hasan: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
hafalannya kurang sempurna, sanadnya bersambung, tidak
terdapat keganjilan dan tidak cacat.
3. Hadits Dha’if: Hadits yang kehilangan salah satu dari syarat-syarat
Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
4. Hadits Maudhu’: Hadits palsu yaitu hadits yang dibuat-buat oleh
seseorang yang dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi Saw.
4. Hubungan Al- Hadits dengan Al-Qur’an
a. Al- Hadits menguatkan hokum yang ditetapkan secara bersama-sama
oleh Al-Qur’an dan Al- Hadits, namun tetap kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber hokum pertama dan utama dan Al- Hadits sebagai
penguat. Dalam hal ini dapat dicontohkan hokum haramnya
menyekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua, pada ayat
berikut:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia


memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Lukman [31] : 13)
b. Al- Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang
bersifat global.
Dalam hal ini sedikitnya ada tiga cara yaitu:
1. Memberikan rincian, contohnya perintah mendirikan shalat,
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan diwaktu
berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).

Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan


waktunya atau orang-orang yang beriman. (Q.S.An-Nisa [4] :
103)

ayat diatas tampak jelas bersifat global, sehingga memerlukan


rincian dari Al- Hadits (contoh real dari cara shalat Rasulullah),
termasuk di dalamnya Al- Hadits merinci waktu-waktu wajib
mendirikan shalat. Demikian juga ketika ada perintah menunaikan
zakat dan melaksanankan ibadah haji, Al- Hadits tampil sebagai
pemberi rincian atas ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi global. Lalu,
bagaimana dengan seseorang yang hanya berpegang teguh pada
Al-Qur’an saja, tanpa pernah menggunakan Al- Hadits?
Jawabannya:
Q.S. An-Nisa [4] : 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Q.S. Al-Hasyr [59] : 7

Apa saja harga rampasan (fai-i) yang diberikan Allah


kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota. Maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dakam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.
2. Membatasi kemutlakan
Ayat Al-Qur’an mengenai wasiat: “ditetapkan kepadamu,
apabila salah seorang dari kamu telah kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk
ibu, bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, sebagai suatu hak
(ketetapan) atas orang yang bertaqwa”.
Dari ayat di atas jumlah wasiat diungkapkan secara mutlak,
tanpa ada batasan banyak, sedikitnya. Kemudian Rasulullah
menetapkan jumlah wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari
jumlah peninggalan harta warisan.
3. Memberikan pengecualian,
perhatikan ayat berikut:

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari


Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” katakanlah:
“Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari
kiamat.”Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-
orang yang mengetahui. (Q.S. Al-A’raf [7] : 32)

Perhiasan pada ayat diatas bersifat umum, dapat berupa


emas, perak, kendaraan mewah, rumah indah, dan lainnya. Dalam
Sunnah Rasulullah ditemukan Al- Hadits yang mengaramkan laki-
laki memakai emas.
c. Al- Hadits menetakan hokum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-
Qur’an
Dalam hal ini Al- Hadits menetapkan hokum tersendiri, yaitu
bukan menguatkan atau menjelaskan yang telah tercantum dalam Al-
Qur’an, tetapi justru masalah yang bersangkutan tidka ditemukan
dalam Al-Qur'an. Contoh masalah ini ketika Al-Qur’an
mengharamkan bankai, darah, daging babi, dan binatang yang
disembelih tidak atas nama Allah tetapi di Rasulullah Saw..
menyampaikan salah satu Al- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim yang berbunyi: “Rasulullah Saw.. melarang memakan setiap
binatang buat yang bertaring dan setiap burung yang mempunyai cakar
yang kuat”.

5. Kedudukan Al- Hadits


Al- Hadits (As-Sunnah) menempati kedudukan nomor dua setelah
Al-Qur’an, sebagai sumber norma dan hokum serta syariat islam. Karena
itu setiap muslim, selain harus patuh kepada Al-Qur’an, juga harus patuh
patuh kepada Al- Hadits (Sunnah Nabi). Keharusan untuk taat kepada Al-
Hadits berdasarkan firman Allah Swt.
Q.S. Ali-Imran [3] : 132,

“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.”


Q.S. Al-Hasyr [59] : 7,
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumnya.
D. Sumber Ajaran Islam dari Ijtihad
1. Pengertian
Ijtihad secara estimogis berasal dari kata jahd yang berarti
mengerahkan kemampuan. Maupun secara terminologis, ijtihad adalah
mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan
kejelasan hukum Islam atau untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-
persoalan yang muncul. Kata ijtihad juga dalam harfiah mengandung arti yang
sama, yaitu berbagai ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha
untuk menentukan pendapat dalam hal yang pelik dan sukar.
Oleh karena itu, Mukti Ali pula berpendapat, ijtihad dapat disebut pula
sebagai upaya mencurahkan segenap kemampuan untuk merumuskan hukum
dengan cara istinbath (menggali hukum syara' yg belum ditegaskan ) tetap
berada di atas kendali dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah.
2. Posisi Ijtihad dalam Syariat Islam
Adapun posisi ijtihad dalam Syariat Islam adalah sebagai alat untuk
mencapai keputusan apabila suatu hal tidak terdapat di dalam Al-Qur'an
maupun As-Sunnah.
Ijtihad pula sudah menjadi metode dari dahulu kala dalam menyelesaikan
perbedaan atau masalah hukum agama. Karena pada saat Nabi Muhammad
SAW wafat, umat Islam merasa kehilangan tempat untuk bertanya. Maka dari
itu, Ijtihad lah yang menjadi alat untuk mengambil hukum.

3. Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah seseorang yang boleh menetapkan suatu hukum
Ijtihad. Tentu saja tidak sembarangan orang, karena Ijtihad dilakukan oleh
orang yang memiliki kualifikasi ilmu tertentu dengan aturan tertentu pula.
Berikut merupakan syarat-syarat seorang Mujtahid:
a. Memiliki Integritas keimanan yang kuat
b. Mengetahui isi Al-Qur'an dan Hadist yang berkenaan dengan hukum
c. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmunya.
d. Mengetahuin kaidah kaidah ushuliyah (berbahasa) yang luas karena ilmu
ini menjadi dasar ber-Ijtihad.
e. Mengetahui contoh-contoh Ijtihad jaman dahulu
f. Mengetahui ilmu riwayah yang berkenaan dengan kaedah-kaedah ke asihan
Hadist
g. Mengerti rahasia tasyri, yaitu kaedah yang menerangkan tujuan syara'
dalam meletakkan beban taklif kepada mukkalah.
4. Macam-macam Ijtihad
1. Qiyas
Menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya. Menurut istilah adalah menetapkan sesuatu perbuatan
yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah
ditentukan oleh nash, disebabkan oleh adanya persamaan diantara keduanya.
Contohnya arak, bir binatang dan narkoba.
2. Ijma’
Menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan semua ahli ijtihad
umat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pada suatu masa tentang suatu
hukum. Contoh mengangkat Abu Bakar As-siddiq sebagai khalifah pertama,
fatwa majlis ulama Indonesia pada 7 Maret 1981 mengharamkan mengikuti
natal bersama bagi umat Islam.
3. Istihsan
Adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah
atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berkaitan dengan kebaikan,
keadilan, kasih sayang dan sebagainya dari Al-Qur’an.
Menurut Qiyas yang haid atau junub haram hukumnya membaca Al-
Qur’an. Adapaun menurut Istihsan untuk kepentingan wanita karena haid
yang waktunya lama maka boleh membaca Al-Qur’an.
4. Mashlahatul Mursalah
Adalah menetapkan hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas
dasar pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
syariat islam, sekalipun tidak ada dalil-dalil secara ekplisit dari Al-Qur’an
dan Hadits. Contohnya menulis Al-Qur’an dan membukukannya, tanah di
Irak ketika Islam masuk tetap milik penduduk tetapi harus bayar pajak,
adanya surat nikah, peringatan maulid Nabi, isra’ mi’raj, nuzulul qur’an, juga
1 Muharram, membangun rumah tahanan, dan mencetak uang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama islam merupakan agama terakhir, islam diketahui memiliki karakteristik
yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui
berbagai literature yang berbicara tentang islam dapat dijumpai uraian mengenai
pengertian agama islam, sumber, dan ruang lingkup ajarannya serta cara untuk
memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran islam, berbagai aspek yang
berenaan dengan islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan
pemahaman islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas
pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
tindakan keislaman yang bersangkutan. Dalam ajaran agama islam itu sendiri
tedapat empat sumber ajaran yang dimana keempat hal tersebut selalu berkaitan,
diantaranya Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad yang didalamnya terdapat dua
macam yaitu Ijma dan Qiyas.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lagi focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabakan.
DAFTAR PUSTAKA

Suryana, Toto A.F. 2008. Islam, Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung :
CV.MUGHNI SEJAHTERA.

Djamali, Abdul. 1992. Hukum Islam.Penerbit Mandar Maju.

Sathory, Abdullah. 2013. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas X. Cirebon.

Ramli. 2003. Memahami Konsep Dasar Islam. Semarang: UPT UNNES PRESS.

Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Bogor: Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai