Anda di halaman 1dari 22

PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL

(Cakupan ilmu fiqih)

Makalah

Makalah diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Hukum


Islam Internasional Fakultas Syariah dan Hukum Islam Program
Studi Hukum Tata Negara Kelompok 1

Oleh :
AKMAL JAYA
NIM. 742352021001

MUH. GIBRAN HAMID


NIM. 742352021003

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis senantiasa tercurah atas kehadirat Allah Subhana

Wa Ta’ala sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana waktu yang

telah di tetapkan. Sholawat dan salam juga tercurah kepada Nabiullah Muhammad

Shallallahu Alaihi Wasallam, sebagai revulusioner sejati yang mengajarkan ilmu

serta menebarkan kasih sayang di muka bumi ini hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun guna memenuhi salah-satu tugas kelompok pada mata

kuliah Hukum Islam Internasional. Ucapan terima kasih kepada dosen pengajar,

Bapak Dr. FIRDAUS, S.SY.,M.H. Sebagaimana kebenaran datangnya dari Allah

dan kesalahan datang dari diri pribadi penulis, oleh karena kritik maupun saran

dari pembaca yang budiman merupakan solusi yang dibutuhkan penulis perbaikan

di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembacanya.

Bone, 19 September 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAS ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAS ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

C. Tujuan .................................................................................................. 3

BAB II PENDAHULUAN ............................................................................. 4

A. Definisi Hukum Internasional islam .................................................... 4

B. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Internasional Islam ............................... 5

C. Hubungan Antara Agama Dengan Hukum Internasional .................... 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17

A. Kesimpulan .......................................................................................... 17

B. Saran ..................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pada dasarnya tidak pernah netral dari kepentingan-

kepentingan di luar hukum. Hal ini juga berlaku dalam hukum

internasional. Beragam pengaruh; filsafat, politik, ekonomi, budaya,

agama dan lainnya turut membentuk hukum internasional saat ini. Dengan

kata lain, hukum internasional kontemporer merupakanhasil pertarungan

dari kepentingan-kepentingan yang ada.

Meskipun hukum internasional identik dengan kepentingan negara-

negara eropa, beberapa pengaruh kepentingan non-eropa juga tampak

dalam perkembangan hukum internasional. Salah satunya adalah Islam.

Pengaruh Islam dalam hukum internasional misalnya dapat dilihat dalam

hukum diplomatik konsuler, hak asasi manusiahukum perang serta hukum

penyelesaian sengketa dan perdamaian. Dengan demikian, identifikasi

bahwa hukum internasional sepenuhnya merupakan warisan dari eropa

sebenamya tidaklah tepat. Fakta dan data tersebut harus dibaca dalam

kerangka kritis dan progresif, yaitu bahwa perkembanganhukum

internasional ke depan akan banyak dipengaruhi oleh beragam

kepentingan yang ada. Pada titik itulah Islam harus berperan penting untuk

memberikan warna atau bahkan pengaruh yang signifikan sehingga misi

Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat terwujud.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka akan diuraikan ke dalam

sub-sub masalah sebagai berikut:

1
1. Bagaimana definisi hukum internasional islam?

2. Bagaimana prinsip-prinsip dasar hukum internasional islam?

3. Bagaimana hubungan antara agama dengan hukum internasional?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah,

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui definisi definisi hukum internasional islam.

2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar hukum internasional islam.

3. Unuk mengetahui hubungan antara agama dengan hukum

internasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Internasional Islam

Menurut Abd al-Wahhab Khallaf,1" terdapat pembagian bidang

muamalah dalamhukum Islam yang terdiri dari:

1) Hukum Keluarga

2) Hukum Perdata

3) Hukum Pidana

4) Hukum Acara Perdata dan Pidana

5) Hukum Tata Negara dan Perundang-undangan

6) Hukum Antar Negara/ Antar Bangsa

7) Hukum Ekonomi dan Keuangan

Berdasarkan pembagian bidang muamalah tersebut, maka hukum

Islam mengatur juga apa yang dikenal dengan hukum Internasional.

Namun, perlu ditelaah apakah pemahaman hukum Islam tentang hukum

internasional serupa dengan pengertian hukum internasional saat ini.

Beberapa sarjana muslim kemudianmemberikan istilah Siyar yang

dapatdiartikan sebagai hukum internasional Islam.Berdasarkan pelacakan

historis, istilah Siyarmerupakan hasil pemikiran dari Abu Hanifah 2(Imam

Hanafi) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya yaitu Abu Yusuf dan

Shaybani. Imam Hanafi memberi pengertian Siyar sebagai seperangkat

aturan dan prinsip yang mengatur hubungan hubungan eksternal umat

muslim dengan non-muslim.3Secara etimologi, Siyar merupakan bentuk

1
Abdul Wahhab Khallaf, 2003, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Pustaka
Amani, hlm.32
2
Muhammad Munir, "Islamic International Law (Siyar): an Introduction"; Hamdard
Islamicus, Vol. XXX, No.4, 2012, hlm. 11-12.
3
Majid Khadurri, 1966, The Islamic Law of Nations: Shaybani's Siyar, Baltomore, Johns
Hopkins Press, hlm. 25.

3
jamak dari kata Sira yang berarti perilaku, praktik, jalan hidup dan tingkah

laku.4 Sedangkan Sira sendiri berarti kondisi atau situasi.Berdasarkan asal

kata tersebut maka Siyar dapat diartikan sebagai perilaku seseorang untuk

berperilaku baik yang kemudian artinya meluas tidak hanya meliputi

perbuatan namun juga kondisi/situasi.

Pada dasarnya, Islam hanya mengenal adanya negara yang

universal (khilafah) Hal ini diperoleh manusia sebagai khalifah

(pemimpin) di bumi yang merupakan delegasi dari kedaulatan Allah SWT.

Pengertian ini diperoleh berdasarkan Surat Al Mulk ayat I yang

menyatakan bahwaPada dasarnya, Islam hanya mengenal adanya negara

yang universal (khilafah).5Hal ini diperoleh manusia sebagai khalifah

(pemimpin) di bumi yang merupakan delegasi dari kedaulatan Allah SWT.

Pengertian ini diperoleh berdasarkan Surat Al Mulk ayat 1 yang

menyatakan bahwa:

"Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah terletak segala

kekuasaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu"

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kajian klasik hukum

Islam,dunia ini dibagi menjadi dua wilayah yaitu dar al- Islam(wilayah

Islam) dan dar al-Harb (wilayah perang).6 Dar al-Islam merupakan

wilayah yang sistem pemerintahannya telah menggunakan hukum Islam

(dikuasai Islam) sedangkan dar al-harb merupakan wilayah yang sistem

hukumnya belum menggunakan hukum Islam (belum dikuasai Islam).

4
Muhammad Munir, "Islamic International Law (Siyar): an Introduction"; Hamdard
Islamicus, Vol. XXX, No.4, 2012, hlm. 3.
5
Majid Khadduri, "Islam and the Modern Law of Nations", the American Journal of
International Law, Vol. 50, No.2, 1956, hlm.358.
6
Tina Roeder. "Traditional Islamic Approaches to Public International Law - Historic
Concepts, Modem Implications", Heidelberg Journal of International Law, Vol. 72, 2012, hlm. 521-
522.

4
Relasi kedua wilayah tersebut selalu dalam hubungan yang tegang

(konflik). Adapun jika ada perjanjian perdamaian antara kedua wilayah

tersebut maka sebenarnya bersifat temporer. Artinya hubungan

perdamaian itu dilakukan hingga dar al-Harb tersebut menjadi dar al-

islam.

Pada perkembangan selanjutnya, Imam Syafii membuat kategori

ketiga yaitu daral- ahd atau dar al-sulh (wilayah damai) yaitu wilayah

netral yang membuat perjanjian damai dengan dar al-Islam. Wilayah

damai ini mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam selama

mereka mematuhi perjanjian damai tersebut.Praktik dalam masa

kontemporer dapat dilacak pada peristiwa pembuatan perjanjian damai

antara Kesultanan Ottoman Turki yang waktu itu dipimpin oleh Sultan

Suleyman I dengan Raja Francis I asal Perancis pada tahun 1535.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Islam

Prinsip-prinsip dasar hukum internasional dalam Islam yang

mengatur hubungan-hubungan antar bangsa/suku bangsa atau antar negara

kita lihat baik dalam Al-Qur'an, Hadist Nabi maupun dalam sejarah Islam.

Dalam Al- Qur'an Surat 49 (Al-Hujurat), ayat 13 dinyatakan, sebagai

berikut:

"Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami (Allah) telah

menciptakan kamu dari sepasang laki-laki dan perempuan dan

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara

kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"

5
Diciptakannya umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

agar saling mengenal satu sama lain. Hal ini mengandung makna bahwa di

antara bangsa-bangsa dan suku-suku tersebut harus saling berhubungan

berinteraksi. Ågar hubungan-hubungan tersebut berjalan secara harmonis

dan damai tentu diperlukan aturan-aturan atau norma yang mendorong

agar manusia atau bangsa/suku tersebut bertindak dan bertingkah-laku

secara baik demi kepentingan mereka sendiri dan mencegah dari tindakan-

tindakan yang tidak baik yang akan merugikan. Islam memberikan

tuntunan untuk itu, sebagaimana dinyatakan dalam Surat 3 (Ali Imran),

ayat 110:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf (baik), dan mencegah dari yang

mungkar (buruk)..... “

Demikian juga dalam Surat 5 (Al-Maidah), ayat 2, Allah

berfirman:

"Bertolong-tolonglah atas kebajikan dan taqwa dan janganlah

kamu tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan"

Amar ma'ruf berarti bahwa pelaksanaan hukum Islam dimaksudkan

untuk mendorong umat manusia ke arah perbuatan-perbuatan yang menuju

pada tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridlai Allah Swt.

atau memiliki fungsi social engineering. Sedang nahi munkar merupakan

social control-nya untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak

dikehendaki. Atas dasar prinsip inilah dalam hukum Islam dikenal adanya

perintah dan larangan; wajib dan haram; adanya pilihan antara melakukan

dan tidak melakukan perbuatan yang kemudian dikenal dengan istilah al-

6
Ahkam al-Khamsah atau hukum yang lima, yaitu: wajib, haram, sunnat,

makruh, dan mubah.

Semua sistem hukum, termasuk hukum internasional, sama, terdiri

dari ketentuan-ketentuan yang mengatur apa yang seharusnya dilakukan

dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan disertai dengan reward and

punishment. Reward atau keuntungan bagi mereka yang mentaatinya dan

punishment atau hukuman/kerugian bagi mereka yang melanggarnya.

Prinsip-prinsip dasar (basic principles) dalam hukum Islam tentang

hubungan-hubungan antar bangsa/suku bangsa atau antar negara tersebut

mengandung norma-norma yang berkenaan dengan asas persaudaraan

(brotherhood), asas persamaan derajat (equality egalite) di antara sesama

manusia/bangsa/negara, asas kemerdekaan atau kebebasan (freedom),

asastoleransi dan hidup berdampingan secara damai (tolerance dan

peaceful co- existence), asas persahabatan (friendship), asas kerja sama

atau tolong- menolong (cooperation), prinsip perikemanusiaan, dan lain

sebagainya.

Sebagaimana diketahui prinsip-prinsip tersebut dewasa ini telah

menjadi prinsip-prinsip yang dianut oleh hukum internasional, khususnya

dalam Piagam PBB (UN Charter) dalam usaha terciptanya perdamaian dan

keamanan internasional (international peace and security). Piagam PBB

sebagai suatu perjanjian internasional yang membentuk hukum secara

universal (law making treaties) merupakan sumber hukum internasional

terpenting pada saat sekarang ini. Prinsip atau asas persamaan derajat antar

umat manusia, antar bangsa, dan antar negara merupakan landasan utama

dalam hubungan-hubungan internasional mereka baik ditinjau dari segi

hukum, sosial, ekonomi, maupun politik. Diskriminasi yang didasarkan

7
atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, atau agama

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum internasional,

khususnya hukum internasional tentang hak-hak asasi manusia

(international law on human rights).

1. Prinsip persamaan

Prinsip persamaan (equal rights) merupakan prinsip fundamental

dalam hukum internasional dewasa ini. Perbedaan-perbedaan atas dasar

ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama dipandang sebagai pelanggaran

terhadap hukum internasional dan hak-hak asasi manusia. Demikian juga

pembedaan-pembedaan negara, baik atas dasar jumlah penduduk, luas.

wilayah, kekuatan ekonomi, politik yang dianut, dsb. dipandang

bertentangan dengan hukum internasional, seperti tercantum dalam

Piagam PBB.

Seperti telah dinyatakan di atas, lebih dari tiga belas abad yang lalu

hukum Islam telah mengatur dan melaksanakan prinsip tersebut. Selain

dalam Al-Qur'an, seperti dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13 tadi yang berisi

prinsip- prinsip dasar secara umum tentang persaudaraan dan persamaan,

prinsip persamaan secara lebih tegas dinyatakan dalam Hadist Nabi,

sebagai berikut:

"Orang-orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang bukan

Arab (ajami), tidak pula orang ajami mempunyai kelebihan atas

orang Arab. Orang kulit putih tidak mempunyai kelebihan atas

orang kulit hitam, orang kulit hitam juga tidak mempunyai

kelebihan atasorang kulit putih. Kamu semua anak-cucu Adam dan

Adam berasal dari tanah”.

8
Selanjutnya dalam riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Nabi

mendengar seorang sahabatnya, Abu Zar al-Ghaffari, berkata kepada

seorang pemuda hitam dengan ucapan: "Hai anak orang hitam!". Nabi

sangat marah kepada Abu Zar seraya mengecamnya: "Engkau seorang

manusia yang mempunyai sifat-sifat jahiliyah (tercela). Tidak ada

kelebihan seorang kuht putih atas orang hitam. Tidak ada yang

membedakan antara manusia selain ketaqwaannya kepada Tuhan".

Asas atau prinsip persamaan ini, memiliki landasan yang sangat

kuat dalam hukum Islam. Konstitusi Madinah yang dikenal dengan al-

Sahifah misalnya adalah contoh yang paling nyata dalam pelaksanaan

prinsip egalite (equality-al-Musa'wwah) dalam Islam. Bahkan penerimaan

bangsa-bangsa di dunia terhadap Islam, antara lain, disebabkan prinsip

egalite ini, Islam sangat menentang perbudakan dan penghisapan manusia

atas manusia.7

2. Prinsip kebebasan atau kemerdekaan

Prinsip kebebasan atau kemerdekaan (al-Hurriyyah) dalam arti luas

mencakup kebebasan individu maupun kebebasan dalam arti masyarakat

atau negara, seperti kebebasan beragama, berserikat dan berkumpul,

berbicara atau berpendapat, dan kebebasan berpolitik, adalah merupakan

hak-hak dasar (fundamental rights) dari hukum internasional tentang hak-

hak asasi manusia (international law on human rights). Dalam Islam

prinsip kebebasan atau kemerdekaan tersebut bukan saja tertera secara

tekstual dalam Al-Qur'an dan Sunnah, tapi telah dilaksanakan dalam

praktek sejak jaman Nabi, para Khalifah sejak Khalifah pertama hingga

jaman Abbasiyah. Al-Qur'an menegaskan jaminan tentang kebebasan

7
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Penerbit PIARA Bandung, 1993, hlm. 117

9
untuk menganut agama (freedom of religion), misalnya, dalam Surat 2

(Al-Baqarah), ayat 256; Surat 10 (Yunus). ayat 99; Surat 42 (Asy Syura),

ayat 48; Surat 88 (Al-Ghaasyiyah), ayat 21, dan dalam Surat 109 (Al-

Kaafiruun), ayat 6.

3. Prinsip kerja sama ata tolong-menolong

Prinsip kerja sama atau tolong-menolong (cooperation ta'awun)

berarti bekerja sama saling membantu antara sesama anggota masyarakat

(termasuk masyarakat internasional) dalam upaya mencapai keuntungan

dan kebaikan bersama. Dengan menegakkan prinsip ini juga berarti telah

melaksanakan prinsip persahabatan (friendship). Prinsip ta'awun bagi

kaum muslimin adalah agar saling tolong-menolong dalam kebaikan dan

ketaqwaan. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat 5 (Al-Maidah), ayat

2:

"Bertolong-tolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

taqwa, dan janganlah tolong-menolong berbuat dosa dan

pelanggaran"

4. Prinsip toleransi atau hidup berdampingan secara damai

Islam sangat toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai

(peaceful co-existance) terhadap perbedaan-perbedaan pandangan yang

dianut oleh seseorang, sesuatu bangsa atau negara, baik dalam bidang

sosial- budaya, politik, ekonomi, bahkan agama. Toleransi tersebut tentu

sepanjang mereka tidak memusuhi, memerangi, atau mengusir kaum

muslimin. Apabila hal-hal tersebut terjadi maka kaum muslimin berhak

untuk melawan dan memerangi mereka sebagai tindakan bela diri.

Ketenuan yang sama juga terdapat dalam hukum internasional

humaniter/perang, bahkan dalam Piagam PBB, Pasal 51, dinyatakan

10
bahwa setiap anggota PBB berhak melakukan tindakan balasan dengan

alasan mempertahankan diri (self defence) terhadap pihak yang memulai

penyerangan (agresor).

Dalam Surat 60 (Al-Mumtahanah), ayat 8 menyatakan: "Allah

tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tidak memerangimu karena agamamu dan tidak

(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berlaku adil".

Sedang dalam ayat 9 dinyatakan:

"Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama

danmengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain)

untukmengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai

kawan,maka mereka itulah orang-orang yang zalim".

Dan dalam Surat 109 (Al-Kaafiruun), ayat 6 menyatakan:

"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku".

Adapun pelaksanaan kebebasan berpolitik, antara lain, dapat dilihat

dalam Perjanjian Hudaibiyyah di jaman Nabi atau dalam Konstitusi

Madinah dan di jaman Dinasti Mughal di India. Dalam Konstitusi tersebut

dinyatakan bahwa kaum muslimin dan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)

menyatakan bahwa mereka sebagai umat yang satu (ummatan waahidan)

dimana masing- masing pihak menganggap musuhnya sebagai musuh

bersama dan kawannya sebagai kawan bersama.

5. Perang yang Sah/Adil dan yang Tidak Sah

Sejak abad ke 7 syari'at Islam telah membedakannya, yaitu antara

perang yang sah dan adil (masyru'ah wa 'adilah) dan perang yang tidak sah

11
(ghiaru masyru'ah). Perang yang sah menurut syari'at Islam adalah perang

dalam rangka pembelaan diri (self defence). Meskipun sudah selama 13

tahun kaum muslimin mendapat serangan dan tekanan dari kaum Quraisy

dan para pengikut Nabi mendesak untuk membalasnya, Nabi tetap berseru

agar bersabar karena beliau belum diizinkan oleh Tuhan untuk berperang.

Baru setelah Nabi beserta para pengikutnya hijrah ke Madinah dan kaum

musyrikin sudah memobilasi hendak menyerangnya, Allah Swt,

mengizinkan kaum muslimin berperang guna menangkis agresi dari luar.

Walaupun demikian Tuhan hanya mengizinkan berperang dengan orang-

orang yang menyerang mereka saja. Ayat-ayat pertama yang turun dari

Allah tentang perang adalah:

Surat 22 (Al-Hajj), ayat 39-40:

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,

karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya

Allah adalah Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-

orang yang telah diusir dari kampung halamannya tanpa alasan

yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah

Allah"

Surat 2 (Al-Baqarah), ayat 190 dan 194:

"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi

kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". Oleh

sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah

dia, yang seimbang dengan serangannya terhadapmu....

12
Sedang perang yang tidak sah menurut syari'at Islam adalah

peperangan yang bermaksud merampas atau menduduki atau berbuat

kerusakan.

Seperti disebutkan di atas Konvensi Den Haag 1907 juga

membedakan antara perang yang adil atau sah dengan yang tidak sah.

Dalam Konvensi Den Haag 1907 ke III disebutkan bahwa perang yang sah

adalah perang:

1. Untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang benar-benar

telah terjadi, dan

2. Untuk melindungi hak negara yang sah yang dilanggar oleh

suatu negara lainnya, tanpa sebab yang dapat diterima.

Sedang perang yang tidak sah adalah suatu peperangan yang

dimaksudkan untuk perluasan wilayah, perluasan penagruh, dan keinginan

untuk menguasaidan menduduki negara lain.

Salah seorang pakar hukum Islam Wahbeh al-Zuhili, membuat

daftar prinsip-prinsip pokok dalam hukum islam terkait dengan hubungan

antarnegara. Adapun prinsip-prinsip pokok tersebut adalah:

1) Persaudaran (Human Brotherhood! QS, 2:213)

2) Penghargaan terhadap martabat manusia dan perlindungan HAM

(Honouring the human being and preserving human rights/ QS, 17/70)

3) Komitmen terhadap moral dan etika (Commitment to the rules of ethics

and morality/Sunnah)

4) Keadilan dan Persamaan Hak serta Kewajiban (Justice and equality in

rights and duties/ QS, 16/90)

5) Pengampunan dalam Perang dan Damai (Mercy in peace and war/ QS,

21/107) T

13
6) Pemenuhan perjanjian selama pihak lain mematuhi dan

menghormatinya (Honouring covenants and commitments, as long as the

other party is faithful to its own pledges/pacta sunt servanda, QS, 5/1 dan

16/91)

7) Resiprositas/timbal balik selama tidak bertentangan dengan prinsip-

prinsip dan nilai fundamental (Reciprocity. unless contrary to the

fundamental principles of virtue and ethics/ QS, 16/126)

C. Hubungan Antara Agama Dengan Hukum Internasional

Perkembangan hukum internasional modern secara sederhana

dapat dibagi dalam dua periodesasi, Pertama adalah periode Pre-

Westphalia dan Kedua Post-Westphalia.8Pembagian periodesasi tersebut

pada dasarnya masih berada dalam pengaruh Euro-

Christian.Perbedaanyan adalah periode pertama agama (Kristen)

memainkan peran penting sebagai alas dalam melakukanhubungan antar

negara sedangkan pada periode kedua hukum internasional identik dengan

hukum yang sekuler yaitu memisahkan antara peran agama (Kristen)

dengan negara.9

Meskipun hikum internasional pasca Westphalia identik dengan

hukum yang sekuler namun pengaruh agama (Kristen) masih tetap ada.

Dengan demikian hukum internasional modern saat ini tidak bisa

sepenuhnya dibilang sekuler. Menurut Bantekas sebagaimana dikutip

Javaid, pertarungan sebenarnya adalah perdebatan antara kaum positivis

melawan naturalis tentang keberlakuan hukum internasional. Akan tetapi

8
Mashood A. Baderin, 2009, "Religion and International Law: Friends or Foes?",
European Human Rights Review, Issue 5, London, Sweet & Maxwell, hlm.639
9
Mashood A. Baderin, 2009, "Religion and International Law: Friends or Foes?",
European Human Rights Review, Issue 5, London, Sweet & Maxwell, hlm.640

14
perlu diingat bahwa kedua aliran tersebut pada dasamya masih meminjam

konsep-konsep dalam agama (Kristen) sebagai hukum internasional,10

M.Hamidullah membenarkan preposisi dari Bantekas.Menurut

beliau, hukum internasional di Eropa pada pertengahan abad ke-19

merupakan "a mere public law of Christian nations". Padahal, praktik

hukum internasional (hubungan antarnegara) sebenarnya juga dapat

ditemukan dalam Islam yang berlandaskan sumber hukum Islam.Hal

serupa terjadi dalam konteks agama Yahudi dan Hindu." Klaim yang

diajukan Hamidullah sebenarnya lebih mirip kepada pengertian hukum

internasional yang bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang

khusus berlaku di suatu bagian (region) tertentu. 11Dengan demikian,bukan

dalam pengertian hukum internasional yang berlaku secara universal.

Berdasarkan perspektif teoritis hubungan agama dengan hukum

internasional, maka saat ini perkembangan hukum internasional lebih

dekat kepada double-edge teori. Dengan kata lain, agama tetap dapat

berperan dan memiliki nilai penting sebagai sumber hukum dalam

pembentukan hukum internasional. Islam sebagai salah satu agama dengan

jumlah penganutnya yang terbesar di dunia, dengan demikian dapat

berperan sebagai salah satusumber hukum dalam pembentukan hukum

internasional. Menurut Baderin' pada tataran praktis (empiris) terdapat

empat tingkat (level) relasi antara agama dengan hukum internasional saat

ini yaitu:

1. Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dari negara yang

menjadikan agama sebagai dasar hukum negara tersebut.

10
Javaid Rehman & Susan C. Breau (ed), 2007. Religion Human Rights and International
Examinational of Islamic State Practices, Leiden, Martinus Nijhoff, hlm. 118.
11
Mochtar Kusumaatmadja 1997, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Bina Cipta,
hlm.5.

15
2. Hubungan hukum internasional dengan

organisasi regional. Hubungan hukum internasional dengan

3. hak kebebeasan beragama untuk individu dan kelompok

4. Hubungan hukum internasional dengan non-governmental organization

(NGO).

Keempat level tersebut menimbulkan hubungan yang dinamis

antara hukum internasional dengan agama. Sifat relasinya juga sangat

longgar. Dengan kata lain, tidak ada hirarki diantara hukum internasional

dengan agama.Pengaruh agama terhadap hukum internasional dengan

demikian terkadang bisa bersifat negatif maupun positif."

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa sarjana muslim kemudian memberikan istilah Siyar yang

dapat diartikan sebagai hukum internasional Islam. Berdasarkan pelacakan

historis, istilah Siyar merupakan hasil pemikiran dari Abu Hanifah (Imam

Hanafi) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya yaitu Abu Yusuf dan

Shaybani. Imam Hanafi memberi pengertian Siyar sebagai seperangkat

aturan dan prinsip yang mengatur hubungan hubungan eksternal umat

muslim dengan non-muslim. Secara etimologi, Siyar merupakan bentuk

jamak dari kata Sira yang berarti perilaku, praktik, jalan hidup dan tingkah

laku. Sedangkan Sira sendiri berarti kondisi atau situasi.Berdasarkan asal

kata tersebut maka Siyar dapat diartikan sebagai perilaku seseorang untuk

berperilaku baik yang kemudian artinya meluas tidak hanya meliputi

perbuatan namun juga kondisi/situasi.

Salah seorang pakar hukum Islam Wahbeh al-Zuhili, membuat

daftar prinsip-prinsip pokok dalam hukum islam terkait dengan hubungan

antarnegara. Adapun prinsip-prinsip pokok tersebut adalah:

1) Persaudaran (Human Brotherhood! QS, 2:213)

2) Penghargaan terhadap martabat manusia dan perlindungan HAM

(Honouring the human being and preserving human rights/ QS,

17/70)

3) Komitmen terhadap moral dan etika (Commitment to the rules

of ethics and morality/Sunnah)

4) Keadilan dan Persamaan Hak serta Kewajiban (Justice and

equality in rights and duties/ QS, 16/90)

17
5) Pengampunan dalam Perang dan Damai (Mercy in peace and

war/ QS, 21/107) T

6) Pemenuhan perjanjian selama pihak lain mematuhi dan

menghormatinya (Honouring covenants and commitments, as

long as the other party is faithful to its own pledges/pacta sunt

servanda, QS, 5/1 dan 16/91)

7) Resiprositas/timbal balik selama tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip dan nilai fundamental (Reciprocity. unless

contrary to the fundamental principles of virtue and ethics/ QS,

16/126)

Berdasarkan perspektif teoritis hubungan agama dengan hukum

internasional, maka saat ini perkembangan hukum internasional lebih

dekat kepada double-edge teori. Dengan kata lain, agama tetap dapat

berperan dan memiliki nilai penting sebagai sumber hukum dalam

pembentukan hukum internasional. Islam sebagai salah satu agama dengan

jumlah penganutnya yang terbesar di dunia, dengan demikian dapat

berperan sebagai salah satu sumber hukum dalam pembentukan hukum

internasional.

B. Saran

Di dalam penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan dan

masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami menerima saran dan kritik

yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Munir Muhammad, "Islamic International Law (Siyar): an Introduction",

Hamdard Islamicus, Vol. XXX, No.4, 2012

Roeder Tina, Traditional Islamic Approaches to Public International Law Historic

Concepts. Modern Implications, Heidelberg Journal of International Law,

Vol. 72, 2012

Khadduri Majid, Islam and the Modern Law of Nations, the American Journal of

International Law, Vol.50. No.2 1956

Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung. Penerbit PIARA, 1983.

A. Baderin Mashood, "Religion and International Law: Friends or Foes?",

European Human Rights Review, Issue 5, Sweet & Maxwell, London,

2009.

Rehman Javaid & Susan C. Breau (ed), Religion Human Rights and International

Law; A Critical Examinational of Islamic State Practices, Leiden,

Martinus Nijhoff, 2007.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1968, Konvensi-Konvensi Jenewa Tahun Mengenai

Perlindungan Korban Perang, Bandung. Binacipta.1949.

19

Anda mungkin juga menyukai