Anda di halaman 1dari 21

HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH) DAN PERMASALAHAN

HUKUM DIMASYARAKAT

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum
Islam Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Oleh:

KELOMPOK 6

A. HERMAN
742352020050
SRI WAHYUNI
742352020054

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini, atas rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum
Pidana Islm (Jinayah) dan Permasalahan Hukum dimasyarakat, makalah ini
disusun guna memenuhi salah satu tugas dari dosen pengajar Dr. Hamzah, S.Sy.,
M.Sy pada mata kuliah Kapita Selekta Hukum Islam di IAIN Bone selain itu,
kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
mengenai Hukum Pidana Islm (Jinayah) dan Permasalahan Hukum dimasyarakat
dengan itu kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada ibu Dosen
Dr. Hamzah, S.Sy., M.Sy yang selaku dosen pengajar, semoga tugas ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan terkait bidang yang ditekuni.
Menyadari bahwa eksistensi dasar kemanusiaan kita sebagai makhluk
hidup yang diciptakan dari kemahakuasaan sang pencipta, maka patutlah
diucapkan puji syukur atas kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga makalah ini selesai pada waktunya, walaupun dalam
bentuk yang sangat sederhana yang diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Kapita Selekta Hukum Islam program studi Hukum Tata Negara
(siyasah syar’iyyah) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone.

Watampone, 9 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................. Error! Bookmark not defined.


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................6
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 7
A. Hukum Pidana Islam Terhadap Korupsi ..................................................................7
B. Hukum Pidana Islam Terhadap Terorisme ............................................................13
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
A. Kesimpulan ...........................................................................................................18
B. Saran ....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

iii
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang rahmatanlil’alamin yaitu rahmat bagi


seluruh alam, meliputi segala apa yang ada dimuka bumi ini tidak ada yang luput
diatur oleh Islam, apabila Islam sebagai nama yang diberikan untuk suatu ajaran
dalam kehidupan, bila disandingkan dengan terminologi agama sebagai padanan
kata dari al-din dari bahasa semit berarti undang-undang atau hukum, maka
sebenarnya al-din al-Islam adalah aturan-aturan yang mengatur tingkah laku
manusia dalam segala aspeknya (hubungan vertikal dan horizontal) agar manusia
mendapat ridho dari Tuhannya (Allah swt) dalam kehidupannya sehingga akan
mencapai keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak. Karena itulah risalah
Islam adalah lengkap dan universal, tidak ada yang luput dari jangkauan Islam
termasuk korupsi. Di dalam kaidah ushul fiqih disebutkan bahwa tiada satupun
peristiwa yang yang tidak diatur dalam Islam. “Tiada suatu peristiwa pun di dalam
Islam, kecuali disitu ada hukum Allah swt.”
Kajian tentang hukum pidana Islam dalam perkembangannya mengalami
pasang surut untuk menjadi fokus kajian di Indonesia. Pertanyaan mendasar
sekarang adalah seberapa jauh Hukum Pidana Islam menjadi pertimbangan dalam
dunia penegakan hukum di Indonesia. Sebagaimana telah menjadi ketetapan dasar
bahwa Negara Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara dengan UUD
1945 yang menjadi dasar setiap sendi hukum yang ditopang dengan sistem
demokrasi.
Salah satu faktor yang juga ikut mendorong mundurnya kajian tentang
hukum pidana Islam adalah masih adanya paradigma tentang begitu kejamnya
hukuman yang diterapkan dalam hukum pidana Islam. Contohnya adalah masih
banyak orang yang berfikir sempit tentang hukum potong tangan kepada pelaku
tindak pidana pencurian dalam Islam. Paradigma seperti ini akhirnya membawa
5

ketakutan tersendiri untuk melihat sisi sebenarnya tentang apa yang dibawa oleh
agama melalui syariat yang telah diturunkan kepada manusia. Sedangkan di sisi
lain, fenomena merebaknya praktek korupsi yang tidak kunjung usai dan juga
kekecewaan akibat seringnya putusan pengadilan yang dianggap terlalu lemah
kepada pelaku koruptor menjadi pemicu kembali munculnya wacana tentang
urgensi penegakan hukum pidana Islam di Indonesia.
Setidaknya menurut Ahmad Wardi Muslih ada dua tujuan utama dari
penetapan hukuman dalam syariat Islam. Pertama, adalah pencegahan. Tujuan
penetapan hukuman disini tidak hanya terangkum dalam efek jera, terlebih
melihat pada sisi pencegahan baik bagi pelaku maupun orang lain yang
mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kejahatan. Kedua, adalah
perbaikan dan pendidikan. Dari tujuan yang kedua ini sangat terlihat sekali
bagaimana agama sangat menaruh perhatian terhadap perbaikan-perbaikan baik
dari internal terdakwa maupun dari sisi external berupa perbaikan yang harus
ditingkatkan dalam struktur organisasi kelembagaan dan pendidikan masyarakat.
Semangat tujuan perbaikan organisasi dan pendidikan masyarakat ini tidak
banyak disinggung dalam tulisan-tulisan tentang pidana hukum Islam, karena
justru dengan peningkatan kualitas dan sumber daya manusia-lah adanya
kesempatan untuk melakukan tindak pidana bisa lebih diminimalisir.
Dalam Pandangan Islam mengenai tindakan terorisne, tidak sama sekali
membenarkan menyebarkan risalah agama dengan kekerasan dan menakut-nakuti
masyarakat dengan tindakan yang tidak sepantasnya untuk dilakukan. Orang yang
membunuh dan mengambil harta bendanya dengan cara kekerasan atau bom
bunuh diri, itu tidak dibenarkan dalam agama Islam.1 Tetapi, yang sekarang
banyak persepsi bahwa kejahatan terorisme dikaitkan dengan islam padahal
sebenarnya islam tidak seperti itu. Islam sebenarnya adalah agama yang damai,
agama rahmatan lil‘alamin. Jika ada orang mengaitkan islam dengan terorisme,
maka itu bertentangan dengan sejarah.2

1
Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal, (Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007). h. 262.
2
Muh. Chirzin, Reaktualisasi Jihad fi Sabilillah dalam Konteks Kekiniandan
Keindonesiaan, Ulumuna, Vol. X, No. 1, 2006. h.
6

Korupsi juga termasuk kejahatan yang sangat berbahaya. Bahkan lebih


berbahaya dari pada terorisme. Jikalau aksi teroris “hanya” menewaskan beberapa
orang seperti kasus bom Bali atau di Mumbai India, tetapi korupsi bisa
membunuh seluruh warga negara yang berjumlah jutaan. Hal ini karena korupsi
menghancurkan dan meremukkan sendi perekonomian negara. Jika sendi
perekonomian negara hancur, maka berarti kehidupan warga negara terancam.
Bahkan bisa terjadi krisis besar yang bisa berakibat kelaparan, pertikaian antar
warga negara, kekacauan, saling tidak percaya, disintegrasi, dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan memfokuskan dalam
penjelasan dan pemahaman terhadap permasalahan yang ada seperti bagaimana
pandangan hukum pidana islam (jinayah) terhadap tindak pidana korupsi dan
terorisme.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi rumusan masalah
pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap korupsi ?
2. Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap terorisme ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam terhadap korupsi.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam terhadap terorisme.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Pidana Islam Terhadap Korupsi

Korupsi berbeda dengan tindak pidana pencurian. Para ulama


mensyaratkan sahnya pencurian apabila barang yang diambil tersimpan dan di
luar penguasaan pencuri (fi hirzihi). Sementara harta yang dikorupsi berada dalam
wilayah kekuasaan pelaku. Ia mendapat mandat penuh dan amanah dari rakyat
untuk mengelola anggaran untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
masyarakat.3
Dari perspektif inilah, maka pencurian berbeda dengan korupsi. Korupsi
bisa disamakan dengan ghulul (penggelapan) sebagaimana yang terjadi dalam
kisah raibnya harta rampasan perang saat perang Uhud. Tetapi yang sedikit
berbeda yaitu bahwa harta yang diambil berada dalam wewenang pelaku.
Misalnya kasus korupsi gubernur aceh dalam pembelian helikopter. Ia
diberi mandat untuk mengelola APBN rakyat Aceh. Tetapi justru diselewengkan
untuk kepentingan pribadi. Harga pembelian helikopter digelembungkan (mark-
up) dan sisanya masuk kantong pribadi sehingga negara dirugikan milyaran
rupiah. Jika didalami, tindak pidana korupsi ini lebih condong kepada
pengkhianatan amanah. Sehingga jika demikian maka hukumannya berada di luar
wilayah hudud dan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan pemerintah.
Dalam kasus penerimaan suap yangh dilakukan oleh Ibnu Qutaybah,
Rasulullah tidak menghukum dengan hukuman pencurian. Tapi beliau
mengumumukan di depan khalayak agar perbuatan itu tidak ditiru. Dalam fiqih
jinayat, tindakan beliau ini dinamakan tasyhir (mengumumkan untuk membuat
pelaku jera).
Dalam kondisi ini, pemerintah mempercayakan peradilan kepada hakim.
Untuk kasus di Indonesia, ranah ini masuk dalam wilayah peradilan umum. Hal

3
Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi dalam Fiqih Jinayat, Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta : Balitbang Depag, 2008), h. 44.

7
ini karena peradilan agama tidak berwenang menanganinya. PA hanya berwenang
menangani kasus perkawinan, cerai, wakaf dan waris. Kecuali nanti pemerintah
memberikan wewenang tambahan, maka masalah pidana bisa ditangani oleh
peradilan agama.
Dalam merespon sanksi korupsi ini, terdapat kaidah yang sangat terkenal,
yaitu tasharruful imam alarra’iyati manuuthun alal mashlahah. Artinya kebijakan
pemerintah terhadap rakyat bergantung kepada kemaslahatan. Dalam kasus
korupsi di Indonesia, tentunya harus dibedakan jumlah harta yang dikorupsinya.
Semakin besar harta yang dikorupsi, maka hukuman semakin berat, bahkan bisa
mengarah kepada hukuman mati.4
Kemudian hakim juga harus melihatkondisi dan aspek sosiologis, yaitu
bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat korup. Sehingga hukumannya
harus lebih berat dari pada hukuman korupsi di negara lain. Dalam hal ini negara
kita sudah memiliki pengadilan tipikor di Jakarta. Oleh karena itulah, hukuman
koruptor ini berbeda dari satu negara ke negara lain. Kita bisa mengaca sanksi
koruptor di Cina yaitu hukuman mati. Dengan adanya hal itu, maka para pejabat
menjadi sangat takut untuk melakukan korupsi. Kebijakan pemerintah Cina patut
menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberantas tipikor di negara yang
memiliki budaya korupsi ini.
Para ulama sepakat bahwa hukum korupsi adalah haram dan dosa besar.
Hal itu karena korupsi mengandung banyak unsur kejahatan yaitu:5
1. Kecurangan dan manipulasi karena mengandung unsur
penggelapan.
2. Kedzaliman karena merugikan rakyat yang telah membayar pajak.
3. Khianat karena melanggar dan menyalahi sumpah jabatan.
4. Tindakan kolusi dengan memanfaatkan fasilitas negara.
Dengan demikian,sanksi ta’zir dalam fiqih jinayat ini sudah diterapkan
oleh hakim di Indonesia.Hanya saja, keputusan yang dijatuhkan masih terasa

4
M. Wahib Aziz, Sanksi Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Fiqih Jinayat,
International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-din STAIN Al-Fatah Jayapura, Vol. 18, No. 2 (2016), h. 171.
5
Nasrun Haroen, Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. 3, (Cet. 1 ;Jakarta : PT Ichtiar Van
Hoeve, 2001). h. 974.

8
ringan bila dibanding perbuatannya.Karena itu masih harus terus dievaluasi secara
cermat dan teliti.
DR Setiawan Budi Utomo menjelaskan variasi hukuman ta’zir ini dengan
mengutip buku Tasyri’ Jinaiykarya intelektual Mesir Abdul Qadir Audah, bahwa
dalam sejarahnya, hukuman ta’zir terdiri dari beberapa macam yaitu:
1. Hukuman peringatan, ancaman,dan teguran. Dalam riwayat
Bukhari Muslim, Nabi Muhammad Saw pernah menghukum Abu
Dzar dengan dampratan sebagai takzir karena menghina ibu dari
sahabat Bilal bin Rabah. Bahkan Ia disuruh mencium kaki Bilal.
2. Hukuman penjara, baik bersifat sementara (penahanan) seperti
Nabi SAW yang pernah menahan seseorang yang menjadi
tersangka pencurian unta (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i)
maupun penjara yang bersifat tetap terhadap seseorang yang
berulang kali melakukan tindak pidana ta’zir.
3. ukuman penyaliban sebagaimana yang dilakukan Rasulullah
terhadap pelaku tindak keonaran dan pembangkangan (hirabah),
yaitu Abu Nab (HR Abu Dawud dan Ahmad).
4. hukuman mati bagi provokator, mata-mata, penyebar fitnah, dan
pembuat makar.
5. Hukuman pengasingan atau pembuangan seperti dilakukan Umar
bin Khaththab terhadap Nasr bin Hajjaj.
6. Hukuman publikasi Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti
terhadap pelaku kejahatan kesaksian palsu, dsb.
7. Hukuman pencopotan jabatan seperti dikemukakan Imam Ibnu
Taimiuah dan Ibnu Qayyim.
8. Hukuman penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial.6
Alasan lain dibolehkanya hukuman penjara sebagai ta’zir adalah tindakan
Nabi SAW, yang pernah memenjarakan beberapa orang di Madinah dalam
tuntutan pembunuhan. Juga kebijakan khalifah Utsman yang pernah
memenjarakan Dhabi’ ibnul Harits salah satu pencuri dari Bani Tamim, sampai ia

6
Setiawan budi Utomo, Fiqih Aktual, (Cet. 1; Jakarta : GIP, 2006), h. 22.

9
mati di penjara. Demikian pula khalifah Ali pernah memenjarakan Abdullah bin
Zubair di Makkah, ketika ia menolak untuk membaiat Ali.7
Hukuman ta’zir dari hakim ini bisa juga menggunakan hukum mati.
Seperti kita cermati dalam konteks modern ini, yaitu kebijakan Perdana Menteri
Cina tahun 1998, Zhu Rong jie. Saat ia menjabat, korupsi begitu mewabah di
negeri itu. Ia bertekad untuk memberantasnya sampai akar-akarnya. Ia berucap:
”Sediakan saya 100 peti mati: 99 peti untukkoruptor dan 1 untukku apabila
melakukan hal yang sama”.
Dalam tiga tahun pemerintahannya sampai tahun 2001, kurang dari 4000
orang ditembak mati di depan umum karena korupsi. Pada kuartal pertama 2003
teradapat 33.761 polisi dicopot karena terkena isu suap, mabuk, judi, membawa
senjata api di luar tugas, dan kualitas SDM nya di bawah standar.dan pelanggaran
lainnya. Sejak korupsi diberantas, Cina berhasil mendongkrak laju ekonominya
sampai 10,7 persen pertahun.Itu merupakan angka pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler dan belum pernah dicapai negara manapun di dunia.8
Menurut Wardi Muslich,9 untuk jarimah (kejahatan) ta’zir, hukuman mati
ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada
ulul amri (penguasa) untuk menghukum mati apabila jarimah dilakukan secara
berulang-ulang. Seperti pencurian yang berulang-ulang dan menghina Nabi
berkali-kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk
Islam.
Madzhab Maliki juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk
jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase (mata-mata) dan melakukan
kerusakan di muka bumi.
Wardi menyimpulkan dari pendapat fuqaha di atas, bahwa hukuman mati
untuk kejahatan ta’zir hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah (kejahatan)
yang sangat berat dan berbahaya dengan 2 syarat yaitu bila pelaku adalah residivis
yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati. Dan

7
Wardi Muslih, Fiqih Jinayat, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 262.
8
Musa Asy’ari dkk, Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Departemen Komunikasi dan
Informatika, 2005, h. 39.
9
Wardi Muslih, Fiqih Jinayat,…h. 262

10
selanjutnya, harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap
masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.10
Pakar hukum Islam Mesir, Mohammad Bahjat Utaybah menyatakan
bahwa ada beberapa macam ta’zir yang bisa diberlakukan dalam pidana Islam,
yaitu:11
1. Eksekusi mati. Ia beberapa pendapat madzhab fiqih. Menurut Abu
Hanifah, boleh menjatuhkan ta’zir berupa hukuman mati untuk
pelaku homoseksual yang sudah terbiasa melakukannya dan pelaku
aliran sesat yang berbeda dengan keyakinan dan kesepakatan umat
Islam serta pencuri yang sudah berkali-kali mencuri. Sedangkan
madzhab Maliki membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir bagi
mata-mata yang beragama Islam yang mengintai kaum muslimin
demi kepentingan musuh serta aliran sesat. Madzhab Syafii
berpendapat boleh mengeksekusi mati sebagai ta’zir bagi aliran
sesat serta pelaku homoseksual. Madzhab Hambali membolehkan
hukuman mati bagi pelaku mata-mata muslim yang bekerja demi
kepentingan musuh. Argumentasi kebolehan eksekusi mati ini
berlandaskan teks hadits yang menyuruh untuk membunuh pelaku
homo seksual, penganut aliran menyimpang serta pelaku seksual
kepada binatang. Hukuman mati ini banyak diterapkan di negara
modern sekarang ini setelah sebelumnya diabaikan, seperti Italia,
Rumania, Portugal.
2. Hukuman cambukan yang kadarnya berbeda di antara pendapat
para fuqaha.
3. Penjara atau penahanan.
4. Denda finansial.
Menurut pandangan penulis, hukuman ta’zir bisa disesuaikan dengan
tingkat kedudukan terpidana korupsi. Pendapat ini merujuk kepada hadits
Rasulullah SAW bersabda: ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-

Wardi Muslih, Fiqih Jinayat,…h. 260.


10
11
Bahjat Utaibah, Alfiqh Aljinaaiy Al-Islamy, Cet.1, (Mesir : Departemen Kajian Islam,
2000), h.391.

11
baik, kecuali had-had”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi). Maksud
dari hadits di atas, bahwa orang yang ternama atau yang terkenal shaleh dan baik,
jika mereka tergelincir dalam kejahatan, maka berikanlah keringanan dalam
hukuman, karena biasanya mereka melakukannya dengan tidak sengaja.
Hal ini berlaku di luar hudud.Apabila berkaitan dengan hudud, maka tidak
ada ampunan. Sebagaimana kisah yang sangat terkenal, yaitu seorang wanita dari
Bani Makhzumiyyah, yaitu Fathimah dimintakan ampunan oleh Usamah Bin
Zaid, anak angkat Rasulullah. Beliau marah dan merespon dengan bersabda:
”Bangsa yang sebelum kalian hancur akibat mengeksekusi pencuri dari kalangan
lemah, sementara meninggalkan eksekusi pencurian untuk kaum bangsawan”.
(HR Muslim).
Dari paparan di atas, jelas bahwa hukuman korupsi adalah ta’zir. Sebab
korupsi berbeda dengan pencurian yang dihukum dengan had potong tangan.
Hukuman ta’zir itu bisa lebih berat sesuai pertimbangan hakim. Bahkan bisa
mengarah kepada hukuman mati.Selama ini di negara kita belum pernah terjadi
eksekusi mati bagi terpidana korupsi yang berjumlah besar. Sehingga efek jera
dari perbuatan korupsi belum muncul.Hukuman mati baru diterapkan untuk
pelaku terorisme, penyelundup narkotika dalam jumlah besar atau pembunuhan
lebih dari satu korban.Oleh karena itu, maka alternatif hukuman ta’zir berupa
sangsi seberat-beratnya ini patut menjadi bahan pertimbangan kita semua.
Apabila kita analisa dalam perspektif korupsi sebagai ghashab(merampas
dengan paksa), maka hukumannya juga ta’zir.Karena merampas harta seseorang
dengan sewenang-wenang tidak diatur dalam sanksi hudud. Adapun jika
dihubungkan dengan tindakan hirabah berupaperampokan dengan ciri aksi anarkis
yang disanksi had, maka tidak bisa disamakan. Hal ini mengingat korupsi bukan
bersifat anarkis.Dengan demikianhukumannya tidak berupa had hirabah
(perampokan anarkis).Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa, hukuman korupsi
adalah adalah ta’zir sesuai ketentuan hakim.

12
13

B. Hukum Pidana Islam Terhadap Terorisme


Terorisme merupakan tinda pidana yang dapat dikategorikan sebagai
sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berakibat pada kematian
dan kerugian harta benda secara meluas, terorisme juga berakibat pada
terganggunya stabilitas keamanan naṣional.12 Sebagai tindak pidana luar biasa,
terorisme juga membutuhkan respon yang luar biasa. Hal ini disebabkan beberapa
hal, seperti: terorisme merupakan ancaman terbesar terḥadap hak asasi manusi,
terorisme memiliki target yang random dan turut berdampak pada orang-orang
tidak bersalah, penggunaan alat/bahan yang dapat memusnahkan dalam skala luas
(bom misalnya), adanya kerja sama antara organisasi teroris dalam skala naṣional
dan internaṣional, serta menjadi ancaman bagi keamanan naṣional maupun
internaṣional.
Berdasarkan beberapa kasus tindak pidana terorisme yang terjadi,
kemudian muncullah stereotype yang menyatakan bahwa Islam mengajarkan
radikalisme, fundamentalisme hingga melegalkan jiḥad yang dimaknai sebagai
‘amaliyah untuk berbuat teror. Akan tetapi, Azyumardi Azra menyatakan bahwa
Islam tidak memiliki kaitan dengan kejahatan terorisme. Menurutnya, terorisme
merupakan kekerasan politik yang sepenuhnya bertentangan dengan etos
kemanusiaan Islam. Secara universal, Islam mengajarkan etos untuk perjuangan
dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan kohormatan. Akan tetapi,
perjuangan itu tidak boleh dilandasi dengan cara-cara kekerasan atau terorisme.
Dalam Islam, memang diajarkan untuk berperang ḥarb dan menggunakan
kekerasan qital, namun tujuannya adalah melawan musuh-musuh Islam yang
secara nyata menunjukkan sikap permusuhan dan tidak mempunyai niat untuk
hidup berdampingan secara damai.13
Dalam hukum pidana Islam, Terorisme sebenaranya tidak ada pembahasan
khusus karena hal ini merupakan kejadian baru di masyarakat, namun terorisme
12
Syamsul Fatoni, Pembaruan Regulasi Terorisme Dalam Menangkal Radikalisme Dan
Fundamentalisme, Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 18, No. 1 (2018), h. 41.
13
Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme :Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
(Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 42.
14

dalam pidana Islam dipandang sebagai perbuatan yang dikategorikan pengganggu


dan pengacau keamanan masyarakat yang dapat mengganggu ketentraman hidup,
sehingga dapat dikategorikan pula sebagai bagian dari jarīmah dan bagi
pelakunya akan diberikan hukuman yang setimpal sesuai ketentuan al-Qur'an dan
Ḥadits.
Apabila terorisme dilihat dari konteks tindak pidana, maka dalam hukum
Islam termasuk jarīmah ḥirābah yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacauan di
masyarakat sehingga menggangu ketentraman umum atau ancaman dengan
menakut-nakuti yang dapat meresahkan keamanan masyarakat, misalnya,
ancaman bom serta meledakkannya, yang dapat menimbulkan kerusakan dan
jatuhnya korban (meninggal atau luka-luka). Definisi ini telah memenuhi kriteria
jāmi’, yaitu meliputi segala sesuatu perbuatan yang disebut ḥirābah, dan māni’
(mengeluarkan segala jenis perbuatan yang tidak termasuk ḥirābah). Didalam
pengertian ini akan mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut
orang lain agar melakukan tindakan kekerasan, provokator, aktor intelektual dan
tentunya pelaku peledakan bom.
Secara etemologis tindakan teror disebut dengan Irhāb, orangnya disebut
Irḥāby (teroris), sedangkan pahamnya disebut Irḥābiyyah (terorisme). Lafadz
‫ إرهاب‬dan ‫ إرهابى‬/‫ إرهابيون‬dalam Bahasa Arab mempunyai makna terorisme.14
Terorisme/al-Irḥāb adalah sebuah kalimat yang terbangun di atasnya makna yang
mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan
intimidasi atau teror atau gerakan yang menebarkan rasa takut kepada individu
ataupun masyarakat yang sudah dalam keadaan aman dan tentram.15
Dasar hukum jarīmah ḥirābah adalah firman Allah SWT. dalam surat al-
Maidah ayat 33, “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-
nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat
kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat
mereka mendapat azab yang besar.” Maksud ayat tersebut, yang diperangi bukan
14
Asad al-Kalili, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), h. 563.
15
Zaid bin Muhammad Hadi Al-Mudkhali, Terorisme Dalam Tinjauan Islam, (Jakarta :
Maktabah Salafy press, 2002), h. 65.
15

Allah dan Rosul-Nya, tetapi orang-orang yang menjadi kekasih Allah, yakni
orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban akibat perbuatan seseorang,
seperti pengeboman di Hotel, kafe, tempat ibadah dan lain-lain.16
Dalam sejarah sanksi ḥirābah tidak selamanya diterapkan secara letterlijk,
sebagaimana bunyi teks. Pengecualian diberlakukan juga dalam kasus ini, ketika
dipahami ayat selanjutnya, surat al-Maidah ayat 34. Ayat tersebut menurut Ibnu
Katsīr dijelaskan diterimanya taubat seseorang dari hukuman sebagaimana
ditentukan dalam surat al-Maidah ayat 33 sebelum perkaranya sampai di
pengadilan. Seperti pembebasan Ali al-Asadi pada pemerintahan Bani Ummayah.
Ia membunuh, menakut-nakuti, merampas harta, tetapi ia bertaubat, setelah
mendengar ayat illa al-la żīna tābu min qablu antaghdirū’alaihim. Ia masuk
Masjid untuk sholaat subuh dan mendekati Abu Huroiroh. Ketika itu Marwan bin
al-Hakam (wali kota Madinah) datang di Masjid dan berkata, “orang ini telah
datang kepadaku dan bertaubat, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk
menangkap dan mnghukumnya”.17
Kejahatan ḥirābah lebih berbahaya ketimbang pembunuhan sengaja,
karena kesengajaan membunuh mungkin hanya sekedar membalas dendam.
Kejahatan ḥirābah sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, jika kejahatan ḥirābah itu dilakukan secara sendirian, maka ia dapat
mengacau seluruh isi negara dan jika dilakukan oleh banyak orang, maka ia dapat
mengganggu (meruntuhkan) stabilitas keamanan dan merusak kepentingan umum
serta menjadi sebab segala kerusakan di muka bumi.18
Jarīmah ḥirābah (terorisme) adalah seseorang atau gerombolan orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat
menimbulkan suasana teror, yang mengakibatkan korban atau tidak (mati atau
luka-luka) serta mengakibatkan kerusakan dimuka bumi. Bentuk-bentuk terorisme
(ḥirābah) yang antara lain, menggunakan kekerasan fisik atau tanpa menggunakan

16
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka,
2004), h. 120.
17
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana… h. 121.
18
Syikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV.
Asy-Syifa’, 1992), h. 476.
16

kekerasan fisik (materi) atau mental (immateri) untuk menimbulkan ketakutan


atau penindasan demi kepentingan (keuntungan) pribadi, kelompok, atau
kepentingan politik atau non politik, merampok harta bendan atau melakukan
pembunuhan.
Dalam ayat suci al-Qur’an dijelaskan bahwa hukuman tindak kejahatan
ḥirābah ataupun terorisme sebagaimana ditentukan dalam Q.S. al-Maidah: (33),
ulama’ membagi hukuman bagi pelaku kejahatan perampokan yaitu kejahatan
terorisme dalam empat hukuman sesuai dengan berat dan ringannya suatu tindak
kejahatan yang dilakukannya, yaitu: Dibunuh dan disalib; Dibunuh saja; Diotong
kaki dan tangan bersilang; Dipenjarakan.19
Begitu juga orang-orang yang berbuat kerusakan dimuka bumi, para
perusuh pengganggu keamanan, pembuat kerusakan telah dikenai hukuman
potong tangan dan kaki secara bersilang atau diusir dari daerah kediamannya. 20
Tujuan diberlakukannnya hukuman dalam Islam ini adalah demi memelihara,
menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta manusia.21
Dalam Hukum pidana islam, tindak pidana terorisme terbagi dalam dua
golongan yaitu :
1. Jarimah Hirabah (Perampokan)
Menurut bahasa, perampokan (hirabah) memiliki arti yaitu
memerangi atau dalam kalimat haraballah arinya orang ang berbuat
maskiat kepada Allah.22 Sedangkan menurut istilah, hirabah sama
dengan qat’u tariq yakni sekelompok orang yang melakukan
pertumpahan darah, keonaran, merampas kehormatan, harta,
tatanan serta berbuat kerusakan di muka bumi.
Di dalam Al-Quran Allah memberikan hukuman yang berat pada
pelakunya, yang mana hukuman tersebut tidak dikenakan pada
jarimah yang lain. Ketentuan Hukuman Muharib, juga terjadi

19
Noerwahidah, Pidana Mati Dalam Hukum Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, t.thn), h.18.
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Kairo: Daar al-Fath Li al-I’lam al-‘Arabi, 2000), h. 18.
21
Abdul Malik, Hukum Pidana Islam Di Indonesia, Peluang, Prospek Dan Tantangan,
(Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001), h. 91
22
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam. (Jakarta : Amzah, 2016), h. 88.
17

dialog antara Nabi dan Malaikat Jibril. Saat itu Rasulullah saw
bertanya kepada Malikat Jibril mengenai sanksi bagi orang yang
melakukan jarimah hirabah. Lalu malaikat Jibril Menjawabnya,
“Barang siapa yang mengambil harta dan mengacau jalan, maka
potong tangan sebab ia mencuri dan potong kakinya sebab ia
mengacau, barang siapa yang membunuh bunuhlah, dan barang
siapa membunuh dan mengacau perjalanan saliblah. Dan barang
siapa yang membuat kekacauan tanpa mengambil harta dan
membunuh, maka buanglah atau penjarakanlah.”
2. Jarimah Al-Baghy (Pemberontakan)
Al-Baghy artiya seseorang yang tidak taat kepada imamnya yang
sah dengan tanpa alasan. Menurut Ulama Syafi’iyyah Al-baghy
ialah orang-orang muslim yang menyalahkan imam dengan tidak
taat kepadanya dan mau melepaskan diri dari imam yang sah atau
menolak kewajibannya dengan adanya kekuatan, pendapat-
pendapat, dan memiliki pemimpin yang lain. Ulama Madzhab
Maliki berargumen bahwa al-baghy adalah suatu penolakan untuk
taat kepada imamnya yang sah dengan cara adanya kekuatan.
Sebagian ulama telah memmahami hukumnya bagi pemberontaj
yaitu hukumannya harus dibunuh. Dalam Al-Quran, memerangi
para pemberontak ialah hukumnya wajib, karena hukumanya Allah
harus ditegakkan, sebagaimana telah diterangkan dalam Q.S. Al-
Hujurat Ayat 9.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan pada makalah


ini yaitu:
1. Korupsi berbeda dengan pencurian, karena barang yang diambil berada
dalam wilayah kekuasaannya. Sedangkan benda dalam pencurian terjaga
dan terlindungi serta berada dalam kekuasaan orang lain. Sanksi tindak
pidana korupsi adalah ta’zir, yaitu disesuaikan dengan keputusan hakim.
Sanksi berupa ta’zir ini bisa lebih berat mengingat korupsi membawa
dampak sosial yang sangat kompleks dan parah. Ta’zir juga bisa
beraneka ragam, seperti penjara,pencelaan, denda materi, bahkan bisa
hukuman mati.
2. Tindak pidana terorisme kemudian diqiyaskan dengan jarīmah ḥirābah
karena adanya unsur kesamaan ‘illat antara keduanya. Unsur tindak
pidana terorisme dalam perspektif hukum pidana Islam dapat
dikategorikan dalam beberapa hal, seperti: adanya unsur kekerasan
dengan memanfaatkan senjata, timbulnya rasa takut pada korban,
jatuhnya korban/timbulnya kematian dari tindak kekerasan itu, serta
menimbulkan kerusakan di bumi. Pelaku tindak pidana terorisme dalam
perspektif hukum pidana Islam dihukum dengan beberapa pilihan,
seperti: hukum mati dan disalib, hukum mati saja, dipotong tangan dan
kaki secara bersilangan, atau dipenjara sesuai keputusan hakim.
Terorisme adalah suatu tindakan yang membuat ketakutan dan kengerian
di kalangan masyarakat dan mengancam keamanan negara. Dalam
hukum pidana islam (fiqih jinayah), terorisme terbagi menjadi dua
golongan yaitu al-hirabah dan al-baghyu. Golongan al-hirabah harus
dipidana dengan pidana hukuman mati, disalib, potong tangan dan

18
kakinya secara bersilang dan hukuman pengasingan. Sedang al-baghyu
harus di perangi sampai mereka kembali kepada Allah. Terorisme tidak
bisa dikaitkan dengan jihad. Mengapa? Karena jihad merupakan suatu
tindakan untuk membela atau memperjuangkan agama-Nya Allah dengan
tujuan yang mulia. Adapun terorisme merupakan suatu tindakan yang
membuat kengerian terhadap orang-orang yang tidak berdosa untuk
mencapai tujuan politiknya. Tindakan bunuh diri merupakan perbuatan
yang di haramkan oleh Allah dalam islam yang mengakibatkan orang
tersebut masuk ke dalam neraka. Dalam ajaran islam, tindakan tersebut
tidak dibenarkan karena Allah sangat mencintai dan menyayangi setiap
hamba yang memohon kepada-Nya.

Fiqih Jinayat (hukum pidana Islam)sangat relevan untuk diterapkan dalam


pembangunan hukum di Indonesia. Namun semuanya itu perlu bertahap dan
pelan-pelan. Sama dengan hukum ahwal syakshsiyyah yang diundangkan melalui
peradilan Agama. Penerapan fiqih Jinayat ini memerlukan pikiran dari para
akademisi dan praktisi untuk merumuskan lebih jelas dan memasukkannya dalam
RUU pidana. Bahkan menurut guru besar UI, Prof. Dr Jimly Ashsiddiqie, masih
diperlukan ribuan doktor untuk mengkaji dan mengaktualisasikan kembali fikih
jinayat dalam pembangunan hukum Indonesia.

19
20

B. Saran

Dari Pembahasan diatas, penulis memberikan saran perlu adanya kultural

melalui pembinaan mental terhadap para pegawai atau pemangku jabatan

pemerintahan sehingga jabatan atau amanah yang di kerjakan tidak dislah

gunakan. Dan remunerasi yang diterapkan pemerintahan bisa diterapkan terhadap

semua institusi negara. Dan Perlunya pemerintah memberikan hukum sesuai

dengan kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan pertimbangn-


pertimbangan terhadap pelaku kejahatan baik pelaku tindak pidana korupsi

maupun terorisme.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Qadri. Eklektusme Hukum Islam. Cet. I ; Yogyakarta : Gama Media, 2002.

Aziz, M. Wahib. “Sanksi Tindak idana Korupsi dalam Perspektif Fiqih Jinayat,”

International Journal Ih’ya’Ulum Al-Din, Vol. 18, No. 2 (2016).

Chasanah, Chusnul. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Fiqh Jinayah dan

Hukum Positif Singapura. Skripsi. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga.

2013.

Miski, Miski. Terorisme Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif. Al-Mazaahib (Jurnal Perbandingan Hukum), Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga.

Akaha, Abdul Zulfidar. Terorisme Konspirasi Anti Islam. Jakarta : Pustaka Al-

Kautsar, 2017.

Fatoni, Syamsul. “Pembaharuan Regulasi Terorisme Dalam Menangkal

Radikalisme dan Fundamentalisme.” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam,

vol.18, No. 1 (2018).


Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung : CV Pustaka

Setia, 2000.

Zulkifli, dkk. Terorisme Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), Comparativa, Vol. 1, No. 1 (2020).

Mahfudh, Nur Iqbal. “Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi”, Jurnal Agama dan

Hak Azazi Manusia, Vol. 6, No. 2 (2017).

21

Anda mungkin juga menyukai