HUKUM DIMASYARAKAT
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum
Islam Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Oleh:
KELOMPOK 6
A. HERMAN
742352020050
SRI WAHYUNI
742352020054
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini, atas rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum
Pidana Islm (Jinayah) dan Permasalahan Hukum dimasyarakat, makalah ini
disusun guna memenuhi salah satu tugas dari dosen pengajar Dr. Hamzah, S.Sy.,
M.Sy pada mata kuliah Kapita Selekta Hukum Islam di IAIN Bone selain itu,
kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
mengenai Hukum Pidana Islm (Jinayah) dan Permasalahan Hukum dimasyarakat
dengan itu kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada ibu Dosen
Dr. Hamzah, S.Sy., M.Sy yang selaku dosen pengajar, semoga tugas ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan terkait bidang yang ditekuni.
Menyadari bahwa eksistensi dasar kemanusiaan kita sebagai makhluk
hidup yang diciptakan dari kemahakuasaan sang pencipta, maka patutlah
diucapkan puji syukur atas kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga makalah ini selesai pada waktunya, walaupun dalam
bentuk yang sangat sederhana yang diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Kapita Selekta Hukum Islam program studi Hukum Tata Negara
(siyasah syar’iyyah) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ketakutan tersendiri untuk melihat sisi sebenarnya tentang apa yang dibawa oleh
agama melalui syariat yang telah diturunkan kepada manusia. Sedangkan di sisi
lain, fenomena merebaknya praktek korupsi yang tidak kunjung usai dan juga
kekecewaan akibat seringnya putusan pengadilan yang dianggap terlalu lemah
kepada pelaku koruptor menjadi pemicu kembali munculnya wacana tentang
urgensi penegakan hukum pidana Islam di Indonesia.
Setidaknya menurut Ahmad Wardi Muslih ada dua tujuan utama dari
penetapan hukuman dalam syariat Islam. Pertama, adalah pencegahan. Tujuan
penetapan hukuman disini tidak hanya terangkum dalam efek jera, terlebih
melihat pada sisi pencegahan baik bagi pelaku maupun orang lain yang
mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kejahatan. Kedua, adalah
perbaikan dan pendidikan. Dari tujuan yang kedua ini sangat terlihat sekali
bagaimana agama sangat menaruh perhatian terhadap perbaikan-perbaikan baik
dari internal terdakwa maupun dari sisi external berupa perbaikan yang harus
ditingkatkan dalam struktur organisasi kelembagaan dan pendidikan masyarakat.
Semangat tujuan perbaikan organisasi dan pendidikan masyarakat ini tidak
banyak disinggung dalam tulisan-tulisan tentang pidana hukum Islam, karena
justru dengan peningkatan kualitas dan sumber daya manusia-lah adanya
kesempatan untuk melakukan tindak pidana bisa lebih diminimalisir.
Dalam Pandangan Islam mengenai tindakan terorisne, tidak sama sekali
membenarkan menyebarkan risalah agama dengan kekerasan dan menakut-nakuti
masyarakat dengan tindakan yang tidak sepantasnya untuk dilakukan. Orang yang
membunuh dan mengambil harta bendanya dengan cara kekerasan atau bom
bunuh diri, itu tidak dibenarkan dalam agama Islam.1 Tetapi, yang sekarang
banyak persepsi bahwa kejahatan terorisme dikaitkan dengan islam padahal
sebenarnya islam tidak seperti itu. Islam sebenarnya adalah agama yang damai,
agama rahmatan lil‘alamin. Jika ada orang mengaitkan islam dengan terorisme,
maka itu bertentangan dengan sejarah.2
1
Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal, (Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007). h. 262.
2
Muh. Chirzin, Reaktualisasi Jihad fi Sabilillah dalam Konteks Kekiniandan
Keindonesiaan, Ulumuna, Vol. X, No. 1, 2006. h.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi rumusan masalah
pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap korupsi ?
2. Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap terorisme ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam terhadap korupsi.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam terhadap terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi dalam Fiqih Jinayat, Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta : Balitbang Depag, 2008), h. 44.
7
ini karena peradilan agama tidak berwenang menanganinya. PA hanya berwenang
menangani kasus perkawinan, cerai, wakaf dan waris. Kecuali nanti pemerintah
memberikan wewenang tambahan, maka masalah pidana bisa ditangani oleh
peradilan agama.
Dalam merespon sanksi korupsi ini, terdapat kaidah yang sangat terkenal,
yaitu tasharruful imam alarra’iyati manuuthun alal mashlahah. Artinya kebijakan
pemerintah terhadap rakyat bergantung kepada kemaslahatan. Dalam kasus
korupsi di Indonesia, tentunya harus dibedakan jumlah harta yang dikorupsinya.
Semakin besar harta yang dikorupsi, maka hukuman semakin berat, bahkan bisa
mengarah kepada hukuman mati.4
Kemudian hakim juga harus melihatkondisi dan aspek sosiologis, yaitu
bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat korup. Sehingga hukumannya
harus lebih berat dari pada hukuman korupsi di negara lain. Dalam hal ini negara
kita sudah memiliki pengadilan tipikor di Jakarta. Oleh karena itulah, hukuman
koruptor ini berbeda dari satu negara ke negara lain. Kita bisa mengaca sanksi
koruptor di Cina yaitu hukuman mati. Dengan adanya hal itu, maka para pejabat
menjadi sangat takut untuk melakukan korupsi. Kebijakan pemerintah Cina patut
menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberantas tipikor di negara yang
memiliki budaya korupsi ini.
Para ulama sepakat bahwa hukum korupsi adalah haram dan dosa besar.
Hal itu karena korupsi mengandung banyak unsur kejahatan yaitu:5
1. Kecurangan dan manipulasi karena mengandung unsur
penggelapan.
2. Kedzaliman karena merugikan rakyat yang telah membayar pajak.
3. Khianat karena melanggar dan menyalahi sumpah jabatan.
4. Tindakan kolusi dengan memanfaatkan fasilitas negara.
Dengan demikian,sanksi ta’zir dalam fiqih jinayat ini sudah diterapkan
oleh hakim di Indonesia.Hanya saja, keputusan yang dijatuhkan masih terasa
4
M. Wahib Aziz, Sanksi Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Fiqih Jinayat,
International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-din STAIN Al-Fatah Jayapura, Vol. 18, No. 2 (2016), h. 171.
5
Nasrun Haroen, Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. 3, (Cet. 1 ;Jakarta : PT Ichtiar Van
Hoeve, 2001). h. 974.
8
ringan bila dibanding perbuatannya.Karena itu masih harus terus dievaluasi secara
cermat dan teliti.
DR Setiawan Budi Utomo menjelaskan variasi hukuman ta’zir ini dengan
mengutip buku Tasyri’ Jinaiykarya intelektual Mesir Abdul Qadir Audah, bahwa
dalam sejarahnya, hukuman ta’zir terdiri dari beberapa macam yaitu:
1. Hukuman peringatan, ancaman,dan teguran. Dalam riwayat
Bukhari Muslim, Nabi Muhammad Saw pernah menghukum Abu
Dzar dengan dampratan sebagai takzir karena menghina ibu dari
sahabat Bilal bin Rabah. Bahkan Ia disuruh mencium kaki Bilal.
2. Hukuman penjara, baik bersifat sementara (penahanan) seperti
Nabi SAW yang pernah menahan seseorang yang menjadi
tersangka pencurian unta (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i)
maupun penjara yang bersifat tetap terhadap seseorang yang
berulang kali melakukan tindak pidana ta’zir.
3. ukuman penyaliban sebagaimana yang dilakukan Rasulullah
terhadap pelaku tindak keonaran dan pembangkangan (hirabah),
yaitu Abu Nab (HR Abu Dawud dan Ahmad).
4. hukuman mati bagi provokator, mata-mata, penyebar fitnah, dan
pembuat makar.
5. Hukuman pengasingan atau pembuangan seperti dilakukan Umar
bin Khaththab terhadap Nasr bin Hajjaj.
6. Hukuman publikasi Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti
terhadap pelaku kejahatan kesaksian palsu, dsb.
7. Hukuman pencopotan jabatan seperti dikemukakan Imam Ibnu
Taimiuah dan Ibnu Qayyim.
8. Hukuman penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial.6
Alasan lain dibolehkanya hukuman penjara sebagai ta’zir adalah tindakan
Nabi SAW, yang pernah memenjarakan beberapa orang di Madinah dalam
tuntutan pembunuhan. Juga kebijakan khalifah Utsman yang pernah
memenjarakan Dhabi’ ibnul Harits salah satu pencuri dari Bani Tamim, sampai ia
6
Setiawan budi Utomo, Fiqih Aktual, (Cet. 1; Jakarta : GIP, 2006), h. 22.
9
mati di penjara. Demikian pula khalifah Ali pernah memenjarakan Abdullah bin
Zubair di Makkah, ketika ia menolak untuk membaiat Ali.7
Hukuman ta’zir dari hakim ini bisa juga menggunakan hukum mati.
Seperti kita cermati dalam konteks modern ini, yaitu kebijakan Perdana Menteri
Cina tahun 1998, Zhu Rong jie. Saat ia menjabat, korupsi begitu mewabah di
negeri itu. Ia bertekad untuk memberantasnya sampai akar-akarnya. Ia berucap:
”Sediakan saya 100 peti mati: 99 peti untukkoruptor dan 1 untukku apabila
melakukan hal yang sama”.
Dalam tiga tahun pemerintahannya sampai tahun 2001, kurang dari 4000
orang ditembak mati di depan umum karena korupsi. Pada kuartal pertama 2003
teradapat 33.761 polisi dicopot karena terkena isu suap, mabuk, judi, membawa
senjata api di luar tugas, dan kualitas SDM nya di bawah standar.dan pelanggaran
lainnya. Sejak korupsi diberantas, Cina berhasil mendongkrak laju ekonominya
sampai 10,7 persen pertahun.Itu merupakan angka pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler dan belum pernah dicapai negara manapun di dunia.8
Menurut Wardi Muslich,9 untuk jarimah (kejahatan) ta’zir, hukuman mati
ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada
ulul amri (penguasa) untuk menghukum mati apabila jarimah dilakukan secara
berulang-ulang. Seperti pencurian yang berulang-ulang dan menghina Nabi
berkali-kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk
Islam.
Madzhab Maliki juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk
jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase (mata-mata) dan melakukan
kerusakan di muka bumi.
Wardi menyimpulkan dari pendapat fuqaha di atas, bahwa hukuman mati
untuk kejahatan ta’zir hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah (kejahatan)
yang sangat berat dan berbahaya dengan 2 syarat yaitu bila pelaku adalah residivis
yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati. Dan
7
Wardi Muslih, Fiqih Jinayat, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 262.
8
Musa Asy’ari dkk, Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Departemen Komunikasi dan
Informatika, 2005, h. 39.
9
Wardi Muslih, Fiqih Jinayat,…h. 262
10
selanjutnya, harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap
masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.10
Pakar hukum Islam Mesir, Mohammad Bahjat Utaybah menyatakan
bahwa ada beberapa macam ta’zir yang bisa diberlakukan dalam pidana Islam,
yaitu:11
1. Eksekusi mati. Ia beberapa pendapat madzhab fiqih. Menurut Abu
Hanifah, boleh menjatuhkan ta’zir berupa hukuman mati untuk
pelaku homoseksual yang sudah terbiasa melakukannya dan pelaku
aliran sesat yang berbeda dengan keyakinan dan kesepakatan umat
Islam serta pencuri yang sudah berkali-kali mencuri. Sedangkan
madzhab Maliki membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir bagi
mata-mata yang beragama Islam yang mengintai kaum muslimin
demi kepentingan musuh serta aliran sesat. Madzhab Syafii
berpendapat boleh mengeksekusi mati sebagai ta’zir bagi aliran
sesat serta pelaku homoseksual. Madzhab Hambali membolehkan
hukuman mati bagi pelaku mata-mata muslim yang bekerja demi
kepentingan musuh. Argumentasi kebolehan eksekusi mati ini
berlandaskan teks hadits yang menyuruh untuk membunuh pelaku
homo seksual, penganut aliran menyimpang serta pelaku seksual
kepada binatang. Hukuman mati ini banyak diterapkan di negara
modern sekarang ini setelah sebelumnya diabaikan, seperti Italia,
Rumania, Portugal.
2. Hukuman cambukan yang kadarnya berbeda di antara pendapat
para fuqaha.
3. Penjara atau penahanan.
4. Denda finansial.
Menurut pandangan penulis, hukuman ta’zir bisa disesuaikan dengan
tingkat kedudukan terpidana korupsi. Pendapat ini merujuk kepada hadits
Rasulullah SAW bersabda: ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-
11
baik, kecuali had-had”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi). Maksud
dari hadits di atas, bahwa orang yang ternama atau yang terkenal shaleh dan baik,
jika mereka tergelincir dalam kejahatan, maka berikanlah keringanan dalam
hukuman, karena biasanya mereka melakukannya dengan tidak sengaja.
Hal ini berlaku di luar hudud.Apabila berkaitan dengan hudud, maka tidak
ada ampunan. Sebagaimana kisah yang sangat terkenal, yaitu seorang wanita dari
Bani Makhzumiyyah, yaitu Fathimah dimintakan ampunan oleh Usamah Bin
Zaid, anak angkat Rasulullah. Beliau marah dan merespon dengan bersabda:
”Bangsa yang sebelum kalian hancur akibat mengeksekusi pencuri dari kalangan
lemah, sementara meninggalkan eksekusi pencurian untuk kaum bangsawan”.
(HR Muslim).
Dari paparan di atas, jelas bahwa hukuman korupsi adalah ta’zir. Sebab
korupsi berbeda dengan pencurian yang dihukum dengan had potong tangan.
Hukuman ta’zir itu bisa lebih berat sesuai pertimbangan hakim. Bahkan bisa
mengarah kepada hukuman mati.Selama ini di negara kita belum pernah terjadi
eksekusi mati bagi terpidana korupsi yang berjumlah besar. Sehingga efek jera
dari perbuatan korupsi belum muncul.Hukuman mati baru diterapkan untuk
pelaku terorisme, penyelundup narkotika dalam jumlah besar atau pembunuhan
lebih dari satu korban.Oleh karena itu, maka alternatif hukuman ta’zir berupa
sangsi seberat-beratnya ini patut menjadi bahan pertimbangan kita semua.
Apabila kita analisa dalam perspektif korupsi sebagai ghashab(merampas
dengan paksa), maka hukumannya juga ta’zir.Karena merampas harta seseorang
dengan sewenang-wenang tidak diatur dalam sanksi hudud. Adapun jika
dihubungkan dengan tindakan hirabah berupaperampokan dengan ciri aksi anarkis
yang disanksi had, maka tidak bisa disamakan. Hal ini mengingat korupsi bukan
bersifat anarkis.Dengan demikianhukumannya tidak berupa had hirabah
(perampokan anarkis).Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa, hukuman korupsi
adalah adalah ta’zir sesuai ketentuan hakim.
12
13
Allah dan Rosul-Nya, tetapi orang-orang yang menjadi kekasih Allah, yakni
orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban akibat perbuatan seseorang,
seperti pengeboman di Hotel, kafe, tempat ibadah dan lain-lain.16
Dalam sejarah sanksi ḥirābah tidak selamanya diterapkan secara letterlijk,
sebagaimana bunyi teks. Pengecualian diberlakukan juga dalam kasus ini, ketika
dipahami ayat selanjutnya, surat al-Maidah ayat 34. Ayat tersebut menurut Ibnu
Katsīr dijelaskan diterimanya taubat seseorang dari hukuman sebagaimana
ditentukan dalam surat al-Maidah ayat 33 sebelum perkaranya sampai di
pengadilan. Seperti pembebasan Ali al-Asadi pada pemerintahan Bani Ummayah.
Ia membunuh, menakut-nakuti, merampas harta, tetapi ia bertaubat, setelah
mendengar ayat illa al-la żīna tābu min qablu antaghdirū’alaihim. Ia masuk
Masjid untuk sholaat subuh dan mendekati Abu Huroiroh. Ketika itu Marwan bin
al-Hakam (wali kota Madinah) datang di Masjid dan berkata, “orang ini telah
datang kepadaku dan bertaubat, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk
menangkap dan mnghukumnya”.17
Kejahatan ḥirābah lebih berbahaya ketimbang pembunuhan sengaja,
karena kesengajaan membunuh mungkin hanya sekedar membalas dendam.
Kejahatan ḥirābah sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, jika kejahatan ḥirābah itu dilakukan secara sendirian, maka ia dapat
mengacau seluruh isi negara dan jika dilakukan oleh banyak orang, maka ia dapat
mengganggu (meruntuhkan) stabilitas keamanan dan merusak kepentingan umum
serta menjadi sebab segala kerusakan di muka bumi.18
Jarīmah ḥirābah (terorisme) adalah seseorang atau gerombolan orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat
menimbulkan suasana teror, yang mengakibatkan korban atau tidak (mati atau
luka-luka) serta mengakibatkan kerusakan dimuka bumi. Bentuk-bentuk terorisme
(ḥirābah) yang antara lain, menggunakan kekerasan fisik atau tanpa menggunakan
16
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka,
2004), h. 120.
17
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana… h. 121.
18
Syikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV.
Asy-Syifa’, 1992), h. 476.
16
19
Noerwahidah, Pidana Mati Dalam Hukum Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, t.thn), h.18.
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Kairo: Daar al-Fath Li al-I’lam al-‘Arabi, 2000), h. 18.
21
Abdul Malik, Hukum Pidana Islam Di Indonesia, Peluang, Prospek Dan Tantangan,
(Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001), h. 91
22
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam. (Jakarta : Amzah, 2016), h. 88.
17
dialog antara Nabi dan Malaikat Jibril. Saat itu Rasulullah saw
bertanya kepada Malikat Jibril mengenai sanksi bagi orang yang
melakukan jarimah hirabah. Lalu malaikat Jibril Menjawabnya,
“Barang siapa yang mengambil harta dan mengacau jalan, maka
potong tangan sebab ia mencuri dan potong kakinya sebab ia
mengacau, barang siapa yang membunuh bunuhlah, dan barang
siapa membunuh dan mengacau perjalanan saliblah. Dan barang
siapa yang membuat kekacauan tanpa mengambil harta dan
membunuh, maka buanglah atau penjarakanlah.”
2. Jarimah Al-Baghy (Pemberontakan)
Al-Baghy artiya seseorang yang tidak taat kepada imamnya yang
sah dengan tanpa alasan. Menurut Ulama Syafi’iyyah Al-baghy
ialah orang-orang muslim yang menyalahkan imam dengan tidak
taat kepadanya dan mau melepaskan diri dari imam yang sah atau
menolak kewajibannya dengan adanya kekuatan, pendapat-
pendapat, dan memiliki pemimpin yang lain. Ulama Madzhab
Maliki berargumen bahwa al-baghy adalah suatu penolakan untuk
taat kepada imamnya yang sah dengan cara adanya kekuatan.
Sebagian ulama telah memmahami hukumnya bagi pemberontaj
yaitu hukumannya harus dibunuh. Dalam Al-Quran, memerangi
para pemberontak ialah hukumnya wajib, karena hukumanya Allah
harus ditegakkan, sebagaimana telah diterangkan dalam Q.S. Al-
Hujurat Ayat 9.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
kakinya secara bersilang dan hukuman pengasingan. Sedang al-baghyu
harus di perangi sampai mereka kembali kepada Allah. Terorisme tidak
bisa dikaitkan dengan jihad. Mengapa? Karena jihad merupakan suatu
tindakan untuk membela atau memperjuangkan agama-Nya Allah dengan
tujuan yang mulia. Adapun terorisme merupakan suatu tindakan yang
membuat kengerian terhadap orang-orang yang tidak berdosa untuk
mencapai tujuan politiknya. Tindakan bunuh diri merupakan perbuatan
yang di haramkan oleh Allah dalam islam yang mengakibatkan orang
tersebut masuk ke dalam neraka. Dalam ajaran islam, tindakan tersebut
tidak dibenarkan karena Allah sangat mencintai dan menyayangi setiap
hamba yang memohon kepada-Nya.
19
20
B. Saran
maupun terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Qadri. Eklektusme Hukum Islam. Cet. I ; Yogyakarta : Gama Media, 2002.
Aziz, M. Wahib. “Sanksi Tindak idana Korupsi dalam Perspektif Fiqih Jinayat,”
Chasanah, Chusnul. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Fiqh Jinayah dan
2013.
Miski, Miski. Terorisme Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif. Al-Mazaahib (Jurnal Perbandingan Hukum), Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga.
Akaha, Abdul Zulfidar. Terorisme Konspirasi Anti Islam. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2017.
Setia, 2000.
Zulkifli, dkk. Terorisme Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), Comparativa, Vol. 1, No. 1 (2020).
Mahfudh, Nur Iqbal. “Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi”, Jurnal Agama dan
21