Anda di halaman 1dari 22

KERANGKA DASAR AGAMA DAN AJARAN

ISLAM HUKUM ISLAM


MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum di Bawah Bimbingan Dosen
BU Mas Anienda Tien F. SH. MH.

Oleh :
KELOMPOK 3

KELAS C PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA
TIMUR
SURABAYA
2013

TIM PENYUSUN

M.FADHOL RYAN FATHONY


(1271010086)

TRI WAHYU KURNIAWAN


(1271010078)

KATA PENGANTAR
Sesuai dengan tujuan perkuliahan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu
serta mengembangkan sistim proses belajar mengajar perlu menerapkan
suatu metode yang lebih efektif dalam bentuk makalah, tanya jawab dan
dialog kepada para mahasiswa serta mempergunakan modul di dalam
tahapan studi, disamping itu perlu dibentuk sub sub kelompok belajar yang
dibimbing oleh dosen.
Kondisi tersebut mendorong kami untuk menyusun makalah yang sistematis
sebagai sarana- pembantu bagi para mahasiswa serta lebih mempercepat
proses belajar.
Kita sampaikan terimakasih kepada kawan-kawan yang telah membantu atas
terselesaikannya pembuatan makalah ini sebagai tambahan tugas pengantar
hukum indonesia

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
TIM PENYUSUN..............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
iv
BAB I

PENDAHULUAN...........................................................................................1
1 1. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
1.2. Perumusan Masalah...................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN................................................................................................2
2.1. ruang lingkup hukum islam..........................................................................2
2.2. tujuan hukum islam......................................................................................2
2.3.ciri-ciri hukum islam.....................................................................................2
2.4.hukum islam dengan HAM...........................................................................2

BAB III

PENUTUP.........................................................................................................
3.1. kesimpulan..................................................................................................
3.2. daftar pustaka...............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Hukum islam adalah suatu petaruran-peraturan agama islam yang harus di patuhi
oleh seorang muslim maupun muslimah,jika merela melanggar hukum
tersebut,mereka akan mendapatkan hukuman.
1.2.PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah pada
makalah ini adalah,bagaimana hukum islam secara rinci itu,dari ruang
lingkup,tujuan ciri ciri serta hubungan hukum islam dengan hak asasi manusia?
1.3 TUJUAN MAKALAH
Kalau kita pelajari seksama ketetapan allah dab ketentuan rasulnya yang terdapat
di dalam al-quran dan al-hadist kita dapat tau kebahagiaan hidup manusia di
dunia ini dan di akhirat kelak jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak yang mudarat.yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Jika membandingkan antara hukum islam bidang muamalah ini dengan hukum
barat yang membedakan antara hukum privat dengan hukum publik,maka sama dengan
hukum adat di indonesia ini.hukum islam tidak membedakan antara hukum perdata
dengan hukum publik.karena menurut sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat
segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
bagian-bagian hukum islam tidak di bedakan bagian bagianya seperti
munakahat,wirasah muamalat dalam ari khusus,jinayat.jika bagian-bagian hukum islam
itu di susun menurut sistematik hukum barat yang membedakan antara hukum perdata
dengan hukum publik seperti yang di ajarkan dalam pengantar hukum indonesia ,maka
huum muamalah dalam arti luas adalah sebagai berikut
Hukum perdata adalah munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan,perceraian serta akibat-akibatnya
Wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,ahli
waris,harta peninggalan serta pembagian warisan.hukum kewarisan islam di sebut
dengan hukum faraid.
Muamalar dalam arti yang khusus,mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
bemda,tata hubungan manusia dalam soal jual beli,sewa menyewa pinjam
meminjam dan perserikataan.
Hukum publik adalah jinayatyang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan
yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam
jarimah tazir.yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana.jarimah
hudud adalah pernuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam alquran dan sunnah nabi muhammad.sedangkan jarimah tazir
adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya di tentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
Jika bagian-bagian hukum islam dalam bidang muamalah dalam arti luas di atas
dibandingkan dengan susunan hukum barat yang seperti telah menjadi tradisi
diajarkan dalam pengantar hukum di indonesia maka
1. dapat disamakan dengan hukum perkawinan
2. dapat disamakan dengan hukum kewarisan
3. dapat disamakan dengan hukum benda,dan perjanjian,perdata khusus
4. dapat disamakan dengan hukum pidana
5. dapat disamakan dengan hukum tata negara dan administrasi negara

6. dapat disamakan dengan hukum internasional


7. dapat disamakan dengan hukum acara.
2.2. TUJUAN HUKUM ISLAM
Secara umum sering di rumuskan bahwa tujuan hukum islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak,dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang muradat,adalah yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan.dengan kata lain tujuan hukum islam adalah kemaslahatan hidup
manusia,baik rohani maupun jasmani,individual maupun sosial.kemaslahatna itu tidak
hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kela di akhirat
nanti.Abu ishaq al shatibi merumuskan lima tujuan hukum islam:
1. agama
2. jiwa
3. akal
4. keturunan
5. harta
tujuan hukum islam dapat di lihat dari dua segi yakni dari segi pembuat hukum islam
yaitu Allah dan Rasulnya dan segi keduanya adalah segi manusia yang menjadi plaku dan
pelaksanaan hukum islam.kalau di lihat dari pembuat hukum islam,tujuannya adalah
pertama,untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer,sekunder dan
tersier.kedua tujuan hukum islam adalah untuk di taati di laksanakan oleh manusia dalam
kehidupanya sehari-hari.ketiga supaya dapat di taati dan dilaksanakan dengan baik dan
benar,manusia wajib meningatkan kemampuanya untuk memahami hukum islam dengan
mempelajari usul al fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum islam sebagai
metodologinya.kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang di sebut dengan
istilah darruriyat mrupakan tujuan utama yang harus di pelihara oleh hukum islam.
pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum islam,sebabnya adalah
karena agama merupakan pedoman hidup manusia,dan di dalam agama islam selain
komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim,tersapat juga syariah
yang merupakan jalam hidup seorang muslim baik berhubungan dengan tuhannya
maupun berhubungan dengan manusia maupun benda lainnya.
pemeliharaan jiwa merupakam tujuan kedua hukum islam.karena itu hukum islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankam kehidupannya.untuk
itu hukum islam melarang untuk saling membunuh.
pemeliharaan akal samgat di pewntingkam oleh hukum islam,karena dengan
mempergunakan akalnya,manusia dapat berpikir tentang allah,alam semesta dan dirinya
sendiri.dengan mmpergunakan akalnya,manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.tanpa akal,manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan
pelaksana hukum islam
pemeliharaan keturunan,agar kemurniaan darah dapat di jaga dan kelanjutan umat
manusia dapat di teruskan,merupakan tujuan keempat hukum islam
pemeliharaan harta adalah tujuan kelima hukum islam.menurut ajaran islam harta
adalah pemberiaan tuhan kepada manusia agar manusia sapat mempertahankan hidup dan
melangsungkan kehidupamnya.oleh karena itu hukum islam melindungi hak manusia
intuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal serta sah serta melindungi
kepentingan harta seseorang

2.3. CIRI-CIRI HUKUM ISLAM


Ciri hukum islam yakni adalah merupakan bagian dan bersumber dari agama
islam,kedua mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dari iman atau
akidah dan kesusilaan atau akhlaq islam,ketiga mempunyai dua istilah kunci yakni syariat
dan fiqih,syariat terdiri dari wahyu allah dan sunnah nabi Muhammad,fiqih adalah
pemahaman dan hasil pemahaman manusia dengan syariah,keempar terdiri dari dua
bidang utama yakni ibadah dan muamalah dalam arti yang luas.ibadah bersifat tertutup
karena telah sempurna dan muamlah dalam arti khusus dan bersifat terbuka untuk di
kembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa,kelima struktur
berlapis terdiri dari nas atau teks alquran,sunnah nabi Muhammad,hasil
ijtihad,pelaksanaan dalam praktik baik berupa keputusan hakim,maupun berupa amalanamalan umat islam dalam masyrakat untuk fiqih,keenam mendahulukan kewajiban dari
hak,amalan dari pahala,ketujuh dapat di bagi menjadi
a)
hukum takifi,terdiri dari lima kaidah yakni jaiz,sunnat,makruh,wajib dan haram
b)
hukum wadhi yang mengandung sebab,syarat halangan terjadi atau terwujudnya
hubungan hukum
kedelapan bersifat universal,berlaku abadi untuk umat islam suatu tempat dimanapun
mereka berada,tidak terbatas pada umat islam suatu tempat atau negara pada suatu masa
saja,kesembilan menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga,rohani
dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia secara keseluruhan,kesepuluh
pelaksanaanya dalam praktik di gerakkan oleh iman dan akhlaq umat islam.terdapat dala
buku falsafah hukum islam,T.M Hasbi Ash shiddieqy ,menyebut ciri-ciri khas hukum
islam.yang relevan untuk di catat.
2.4. HUKUM ISLAM DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Hukum islam,sebagian agama islam melindungi hak asasi manusia.hal ini dapat
dilihat pada tujuan hukum islam yang di bicarakan di bawah.kalau hukum islam di
bandingkan dengan pandangan atau pemikiran hukum barat tentang hak asasi
manusia,akan kelihatan perbedaanya.perbedaan itu terjadi karena pemikiran hukum barat
memandang hak asasi manusia semata-mata antroprosentris artinya berpusat pada
manusia dengan pemikiran itu manusia sangat di pentingkan.sebaliknya pandangan
hukum islam yang bersifat teosentris.artinya berpusat pada tuhan manusia adalah
penting,tetapi yang lebih utama adalah Allah.Allah lah pusat segala sesuatu.
oleh karena perbedaan pandangan itu,terdapat perbedaan pokok antara deklarasi
hak-hak manusia yqng disponsori barat dengan deklarasi hak-hak manusia yang di
keluarkan oleh umat islam.deklarasi kairo tahun 1990,misalnya yang di keluarkan oleh
organisasi konferensi islam (OKI),di dalamnya termasuk juga indonesia.merupakan
pendirian resmi umat islam mengenai hak-hak asasi manusia,berbeda kerangka acuannya
dengan deklarasi atau pernyataan hak-hak asasi manusia yang disponsori oleh negaramegara barat.dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa semua hak dan kebebasan yang
terumus dalam deklarasi tunduk kepada syariat atau hukum islam.satu-satunya ukuran
,mengenai hak-hak asasi manusia adalah syariat islam
hak-hak yang di rumuskan dalam deklarasi itu,kebanyakan hak ekonomi.hak
politik,seperti hak umtuk mengutarakan pendapat secara hukum,tidak boleh bertentangan
dengan asas-asas syariah.ketentuan lain adalah keluarga merupakan dasar

masyarakat,wanita pria sama dalam martabat kemanusiaan.hak atas


hidup,dijamin.pekerjaan adalah hak individu yang diu jamin oleh negara.demikian juga
hak atas.pelayanan kesehatan,sosial dan kehidupan yang layak.di tegaskan pula bahwa
tidak ada sanksi,kecuali sanksi yamg di tentukan dalam syariat atau hukum islam

BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas kita semua bisa menyimpulkan bahwa kerangka
agama islam yang terdiri dari tujuan hukum islam,tujuan hukum islam,ciri-ciri hukum
,serta hunumgan hukum dengan hak asasi manusia sangat penting untuk di pelajari
maupun di ilhami,karena hal tersebut merupakan salah satu hal awal dari terbentuknya
agama islam,jadi kita sebagai umat muslim yang sangat taat pada hukum islam,harus
mempelajari kerangka-kerangka tersebut
3.2.DAFTAR PUSTAKA

Prof muhammad daud ali,S.H,hukum islam,rajawali pers1998

About Us
Contact Us
Redaksi
Privacy Policy
Disclaimer
Sitemap
Kirim Tulisan

Home
Islamiana
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Berita
o
o
o

Info
o
o
o
o

Artikel
o
o
o

Beasiswa Kemenag
Lowongan Dosen

Search...

Home Hukum dan Syariah Makalah Hukum Islam, Fiqih dan Syariah
Islam Cendekia Hukum dan Syariah

Makalah Hukum Islam, Fiqih dan


Syariah
Makalah Hukum Islam, Fiqih dan Syariah
Oleh Lismanto
NIM 092211017
I.

PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabiin serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam

kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain


sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masingmasing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis
waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi tidak bisu
dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
II.

RUMUSAN MASALAH
1.

Pengertian ijtihad

2.

Pengertian hukum dan macam-macam hukum

3.

Kriteria mujtahid

4.

Masalah taqlid

5.

Ittiba

6.

Talfiq

III.

PEMBAHASAN
1.

Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan
atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan
semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama
ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam asSyaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara yang bersifat operasional dengan cara istinbat
(mengambil kesimpulan hukum.[1]
Sementara

Imam

al-Amidi

mengatakan

bahwa

ijtihad

adalah

mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat


dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu.[2] Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut
sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam SyafiI menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak
tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguhsungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian
juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali

sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan


bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang
mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua
kemampuannya.

Sehingga

Imam

Syaukani

memberi

komentar

bahwa

penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan


yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
[3]
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh
kemampuan

untuk

menetapkan

hukum

syara

dengan

jalan

istinbat

(mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok


mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum
syara. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan
dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah
bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh
yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).[4]
2.

Pengertian hukum
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama,
sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan
tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa
hanya menyangkut soal keduniaan semata.[5] Sedangkan Joseph Schacht
mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur
kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan
ritual, politik dan hukum.[6]

Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan


terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan
dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih
klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan aladillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa
sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah alSyariyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang
diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum
dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur
ulama adalah Al Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat
dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan
para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah
mursalah, istishab, uruf, madzhab as-Shahabi, syaru man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat
sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan,
enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzarai.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan
sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam[7] mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi
Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah
dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah
sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan.
Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan dan
kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural
dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat penulis, hukum
Islam meliputi syariat (al-Quran dan sunnah) sebagai sumber primer dan fiqh

yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan sebagai landasan
hukum.[8]
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi
formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a.

Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu
ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu
ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya
wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak
berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah
atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari sampai
malam telah gelap dan bacalah Al Quran di waktu Fajar, sesungguhnya
membaca Al Quran di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang
bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).

b.

Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan
tidak berdosa. Atau bisa anda katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta
oleh syari tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.

c.

Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang
melanggarnya, berdosalah orang itu.

d.

Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang lebih
baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari
pada melakukannya.

e.

Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu
perbuatan

yang

tidak

ada

ganjaran

atau

siksaan

bagi

orang

yang

mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang


diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya.

3.

Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat
mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu
ada yang telah disepakati, dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun
syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

a.

Mengetahui al-Quran
Al-Quran adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar
hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Quran
secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Quran sudah tentu ia
tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Quran tidak cukup dengan
piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Quran memberi
cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

Mengetahui Asbab al-nuzul


Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat
mengatahui al-Quran secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks
tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk
memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia.
Imam

as-Syatibi

dalam

bukunya

al-Muwafaqaat

mengatakan

bahwa

mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang
hendak memahami al-Quran. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab
turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga
sering menimbulkan perselisihan.[9]
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai
berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah
dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
b.

Mengetahui as-sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang


dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang
diriwayatkan dari Nabi SAW.
-

Mengetahui ilmu diroyah hadits


Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan
memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima
dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis
dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima
atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil
dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang tercakup dalam ilmu
hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis
sebagai dasar hukum.

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh


Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan
nikah mutah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadishadis lain.

Mengetahui asbab al-wurud hadis


Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai
asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus
hadis tersebut ada.

c.

Mengetahui bahasa Arab


Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu
diturunkan menggunakan bahasa Arab.

d.

Mengetahui tempat-tempat ijma


Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash

dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.


Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan
ijma para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.
e.

Mengetahui ushul fiqh


Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu
suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidahkaidah dan cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan
cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh,
mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan
ketetapan hukum.

f.

Mengetahui maksud dan tujuan syariah


Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara
kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan
maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama,
harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi rukshah
dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak
yang baik).

g.

Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya


Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat,
problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal hubungan
masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling
mempengaruhi antara masyarakat tersebut.

h.

Bersifat adil dan taqwa


Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid
benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik
dalam istinmbat hukumnya.

i.

Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui


ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, dan mengetahui cabang-cabang fiqh.

4.

Taqlid
Dalam bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan
di mana ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan

aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya


masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam
madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M.
Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual,
moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi
aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga
terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang
sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama
sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber
utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid.
Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan
menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik,
pengikut asy syafii atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab
itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan
imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh
karenanya berhentillah masa tasyri dan bekulah masa pembinaan hukum,
padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap
transisi

membawa

peristiwa

yang

menimbulkan

masalah

baru

yang

membutuhkan hukum.
5.

Ittiba
Menurut ulama ushul, ittiba adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain
ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan
Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba ialah menerima pendapat
seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal
pendapat itu. Ittiba ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba adalah lawan
taqlid.
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak
membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba itu hanya

dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang
lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).[10]
6.

Talfiq
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman.
Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab
Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada

dasarnya

talfiq

dibolehkan

dalam

agama,

selama

tujuan

melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling


benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih
kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringanringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun
dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu
hakekatnya pada niat.
IV.

KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah
ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan
adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan
manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam
sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma,
qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab, syaru man qoblana, urf, dan lain
sebagainya.

V.

PENUTUP

Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh
bapak Musahadi HAM, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran,
untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat
dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan
Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1988
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan
Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal
Qardawi,Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Ramadan, Said, Islamic Law, Its Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh dengan
judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press,
1971)
Syafei, Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009

[1] Irsyad al-Fuhul dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[2] Al-Amidi, al-ihkam fi ushul al-ahkam, dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam
Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 5
[4] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih
[5] Said Ramadan, Islamic Law, Its Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh
dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991),
hal. 7.

[6] Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon


Press, 1971), hal. 1.
[7] Penulis akan menggunakan redaksi hukum Islam sebagai keseluruhan
hukum syariat yang sifatnya hukum Tuhan (devine law) dan fiqih yang sifatnya
profan (proses ijtihad ulama fuqaha dari syariat itu sendiri). Sikap ini berbeda
dengan pandangan Joseph Schacht yang mengidentikkan hukum Islam (the law
of Islam) dengan syariat, dan berbeda dengan Hasbi Ashshiddieqy yang
mendekatkan hukum Islam dengan fiqih. Hukum Islam dalam makalah ini
mencakup kedua-duanya, yakni syariat dan fiqih.
[8] Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya
Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal
[9] Op.cit., hal. 14-15.
[10] http://ahmadfuadhasan.blogspot.com pada 3 Maret 2012
0
inShare

Anda mungkin juga menyukai