Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KAJIAN ONTOLOGI TERHADAP HUKUM ISLAM


Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Sabilal Rosyad, M. S. I

Disusun Oleh :
1. Zita Maulida Salsabila (1120042)
2. M Nasik Nadiul Kaffi (1120044)
Kelas: HKI B

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UIN KH ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat taufik serta
inayah-Nya, sehingga makalah Kajian Ontologi Terhadap Hukum Islam ini dapat
terselesaikan dengan baik, guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam.
Terima kasih kepada bapak dosen Dr. H. Sabilal Rosyad, M. S. I yang telah
membantu saya akan pembuatan makalah ini.
Makalah ini merupakan kumpulan materi yang bersumber dari buku dan
internet(jurnal) dengan harapan semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman
kepada pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam memahami dasar-
dasar dan membuka jendela ilmu yang baru. Saya menyadari betul, bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga saya membutuhkan
saran dan kritik yang membangun untuk penyajian dan isinya agar kedepannya saya
dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

Pekalongan, 05 September 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. I


DAFTAR ISI ............................................................................................................... II
BAB I .............................................................................................................................1
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................................1
BAB II ........................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
A. Kajian Ontology Terhadap Hukum Islam ........................................................... 2
B. Asas-asas & Prinsip-prinsip Hukum Islam .......................................................... 4
C. Karakteristik Hukum Islam .................................................................................15
D. Keunggulan dan Keistimewaan Hukum Islam .................................................. 17
E. Ciri Khas Hukum Islam ....................................................................................... 20
BAB III ........................................................................................................................21
KESIMPULAN .......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................22

II
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran tentang
sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang suatu konsep dan
tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi merupakan kajian filsafat untuk
mencari hakekat kebenaran sesuatu. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas
dengan apa adanya. Pemahaman secara ontologis berarti membahas kebenaran suatu
fakta secara mendalam.
Ontologis hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bagian-
bagian yang dikenal dengan kajian pembidangan hukum Islam dan kajian geografis
hukum Islam. Hukum Islam adalah sistem hukum yang mempunyai beberapa istilah
yang mesti dijelaskan yaitu fikih, syariat, dan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini memiliki rumusan masalah
sebagai berikut
1. Bagaimana kajian ontology terhadap hokum Islam?
2. Apa saja asas-asas & prinsip-prinsip hukum Islam?
3. Bagaimana karakteristik hukum Islam?
4. Bagaimana keunggulan dan keistimewaan hukum Islam?
5. Apa ciri khas hukum islam?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini memiliki tujuan sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui kajian ontology terhadap hokum Islam.
2. Untuk mengetahui asas-asas & prinsip-prinsip hukum Islam.
3. Untuk mengetahui karakteristik hukum Islam.
4. Untuk mengetahui keunggulan dan keistimewaan hukum Islam.
5. Untuk mengetahui ciri khas hukum islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Ontology Terhadap Hukum Islam
Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran tentang
sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang suatu konsep dan
tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi merupakan kajian filsafat untuk
mencari hakekat kebenaran sesuatu.Ontologi membahas realitas atau suatu entitas
dengan apa adanya. Pemahaman secara ontologis berarti membahas kebenaran suatu
fakta secara mendalam. Ontologis hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum
Islam atau bagian-bagian yang dikenal dengan kajian pembidangan hukum Islam dan
kajian geografis hukum Islam.1
Secara ontologi, hukum Islam (dalam makna fikih) dikenal dengan kajian
pembidangan hukum Islam dan kajian geografis hukum Islam. Kajian pembidangan
hukum Islam adalah hukum amaliyah yang mempunyai dua ruang lingkup besar
pembahasan, meliputi: 1). bidang ibadah, adalah tata cara manusia melakukan
kewajiban sebagai hamba dan berhubungan dengan Tuhan-Nya, seperti tentang sholat,
zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan ibadah haji. Apabila dihubungkan dengan
hukum taklifi (ahkamul khamsah) maka hukum asal ibadah adalah haram, Artinya di
bidang ibadah ini tidak berlaku modernisasi dalam prosesnya secara hukum kecuali
alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaannya. 2). Mu’amalah, yakni berhubungan
dengan ketetapan Tuhan yang lansung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia.
Terbatas pada apa-apa yang pokok saja. Begitupun dengan penjelasan Nabi SAW
yang juga tidak rinci. Sehingga terbuka sebagai lapangan untuk berijtihad. Sehingga
apabila dihubungkan dengan hukum taklifi (ahkamul khamsah) maka hukum asal
mu‟amalah adalah kebolehan Artinya semua perbuatan yang termasuk dalam kategori
muamalah, boleh saja dilakukan asala saja tidak ada larangan untuk melakukan
perbuatan itu. Seperti akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat (pidana), dll.
Hukum Islam tidak sama dengan hukum Barat yang membagi hukum kepada
hukum privat dan hukum publik. Dalam hukum Islam yang perdata sesungguhnya
terdapat pula segi hukum publik begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya hukum Islam
itu tidak dibedakan kedua bidang hukum publik dan perdata. Misalnya, munakahat,
waris, jinayat dll.

1
Desi Asmaret, “Ontologi Hukum Islam”, Jurnal Al-Himayah, Vol. 2, No. 1, 2018, Hal. 60

2
Muhammad Abu az-Zarqa‟ menyebutkan cakupan (ruang lingkup) hukum
Islam meliputi hukum akidah, hukum ibadah, hukum keluarga, hukum mu‟amalah,
hukum jinayah, hukum tata negara, hukum antar negara dan hukum adab sopan santun.
Pembidangan hukum Islam sebagaimana pembagian ayat-ayat al-Qur‟an
tersebut adalah sama dengan pembidangan (objek kajian) atau ruang lingkup hukum
Islam yang dibuat oleh Muhammad Akram Laldin dengan membagi atas dua kategori
besar yakni fikih ibadah dan fikih mu’amalah atau fikih al-‘adah.
1) Fikih ibadah merangkum pengaturan rukun dan syarat dalam pelaksanaan ibadah
baik sholat, puasa, zakat dan haji.
2) Fikih Mu‟amalah atau fikih al-„adah mengatur relasi manusia dengan manusia
sebagai makhluk sosial maupun makhluk Allah sebagai khalifah di muka bumi.
Lapangan fikih mu‟amalah ini berkembang pesat karena merupakan penefsiran
kontekstual terhadap masalah-masalah duniawi. Fikih Mu‟amalah ini meliputi:
a) Al-ahwal al-Syakhshiyyah (hukum keluarga), yaitu bidang hukum yang
membahas masalah keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, perceraian dan
hadhanah.
b) Al-ahkam al-muamalah (hukum dagang), maksudnya muamalah dalam arti
sempit yaitu hukum yang terkait dengan transaksi keuangan (hukum dagang)
antara seorang dengan orang lain, baik perseorangan maupun badan hukum.
c) Fiqh al-iqtisad (hukum keuangan negara), yaitu bidang hukum yang
mempelajari sumber keuangan negara, pengelolaan keuangan negara, kebijakan
ekonomi makro termasuk pengaturan mengenai lembaga keuangan seperti
perbankan, pasar modal, asuransi.
d) Al-ahkam al-qada‟wa turuq al-ithbat (hukum administrasi dan acara di
pengadilan), yaitu bidang hukum yang mempelajari tentang prosedur beracara di
pengadilan.
e) Al-ahkam al-dhimmi wa al-musta‟min (hukum mengenai hak orang bukan
Islam dalam Negara Islam)
f) Al-ahkam al-siyasah (hukum pemerintahan), yaitu bidang hukum yang
membahas bagaimana sistem pemerintahan Islam bisa terbentuk seperti
pembentukan konstitusi negara, tata cara pemilihan pemimpin negara, dll.
g) Al-ahkam al-jinayah (hukum pidana), yaitu bidang hukum yang membahas
tentang tindak pidana (jarimah) beserta hukumannya.

3
Tujuh objek kajian hukum Islam dalam bidang mu‟amalah di atas
menunjukkan bahwa wacana hukum Islam sangat berkembang dalam seluruh aspek
kehidupan. Ketujuh objek kajian atau ruang lingkup hukum Islam tersebut dapat
dirangkum dalam lima kategori besar yang sering kita kenal di Indonesia yaitu fikih
munakahat (perkawinan), fikih mu’amalah (ekonomi dan perdagangan), fikih jinayah
(pidana), fikih siyasah (pemerintahan), dan fikih siyar (hukum internasional). Fikih al-
iqtisad (hukum keuangan negara), Al-ahkam al-dhimmi wa al-musta‟min (hukum
mengenai hak orang bukan Islam dalam Negara Islam), dan al-Ahkam al-qada‟ wa
turuq al-ithbat (hukum acara) dapat dimasukkan ke pembahasan fikih siyasah.
Ulama kontemporer menambah objek kajian hukum Islam dengan fiqh jender,
fiqh al-thib (kesehatan), fiqh al-faniyah, (kesenian), fiqh ekologi (lingkungan), dan
fiqh al-ijtimâ’iyah (sosial). Di samping pembagian sesuai dengan pembidangan
tersebut.
Kajian hukum Islam dari segi geografis, yaitu hukum Islam mengenai kajian
global, kawasan, dan lokal. Dalam kajian global seperti mengkaji hukum Islam di
belahan dunia Islam dan kajian kawasan seperti mengkaji Islam di kawasan dunia
Islam, seperti Asia Tenggara. Timur Tengah, dan sebagainya. Sedangkan dalam
kajian lokal, seperti mengkaji hukum Islam di komunitas, suku bangsa, atau dalam
geografi adaptasi ekologi tertentu.2
B. Asas-asas & Prinsip-prinsip Hukum Islam
Asas-asas Hukum Islam
 Asas-Asas Umum Hukum Islam
1. Asas Keadilan
Tuntunan mengenai seorang Muslim harus berlaku adil sangatlah banyak
dijumpai dalam al-Quran. Berlaku adil adalah sebuah upaya seseorang dalam
menempatkan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (‫ وضع الشيء في محلله‬/wadl’u as-
syai-i fî mahallihi). Hukum Islam menempatkan asas keadilan sebagai asas umum
yang harus diterapkan dalam semua bidang atau praktek keagamaan. Demikian
pentingnya, penyebutan asas keadilan dalam al-Quran hingga lebih dari seribu kali.
Berlaku adil diperuntukkan kepada seluruh manusia termasuk di dalamnya penguasa,
khalifah Allah, orangtua maupun rakyat biasa. Berlaku adil salah satunya ditekankan
dalam surat anNisa’: 135.

2
Desi Asmaret, “Ontologi Hukum Islam”, Jurnal Al-Himayah, Vol. 2, No. 1, 2018, Hal. 70-74

4
2. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi pelaksanaan asas keadilan dan
asas kepastian hukum. Dalam menegakkan hukum, selain mempertimbangkan
dimensi keadilan dan penjaminan kepastiannya, maka juga perlu diperhatikan dimensi
kemanfaatan di dalam penerapan hukum tersebut, baik untuk diri sendiri ataupun
masyarakat banyak.
3. Asas Tauhid (Mengesakan Tuhan)
Prinsip keesaan Tuhan (tauhid) memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap
cara seseorang memahami Tuhan dan firmanNya. Karena keesaan Allah yang
melambangkan kedaulatan Tuhan, maka tidak ada pihak manapun yang dapat
menyamai kedaulatan-Nya.
4. Asas Kemerdekaan atau Kebebasan
Islam mengenal asas kemerdekan (al-hurriyyah) bagi pemeluknya. Islam
memberikan kebebasan kepada setiap umatnya sejauh tidak bertentangan dengan
syariat atau melanggar kebebasan orang lain. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan
beragama, kebebasan bertindak atau berbuat sesuatu, kebebasan berpikir, dan
kebebasan individu dalam batas-batas norma yang dibenarkan hukum. Bahkan Allah
swt. secara tegas dalam firman-Nya menjelaskan bahwa tidak ada paksaan bagi setiap
orang untuk memasuki agama Islam, semua boleh memilih dengan konsekuensi
pilihannya masing-masing.
5. Asas Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum
Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat, bahkan
menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki turunnya ayat tertentu. Hal ini terjadi
lantaran kondisi sosial dunia Arab saat itu, hukum adat yang sudah mengakar kuat
seringkali bertentangan dengan syariat Islam.
 Asas-Asas Khusus Hukum Islam
1. Asas Asas Hukum Pidana
a. Asas Legalitas
Surat al-Isra’: 15 menjadi landasan hukum asas legalitas sebagai asas
hukum pidana. Yang dimaksud dengan asas legalitas yaitu asas yang menyatakan
bahwa tidak ada pelanggaran maupun hukuman sebelum terdapat peraturan yang
mengatur sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kalimat terakhir firman Allah di atas,

5
bahwa Allah tidak akan mengazab umat manusia sebelum Dia mengutus seorang
Rasul (yang menyampaikan ketentuan dari Allah).
b. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan pada Orang Lain
Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain banyak disebutkan
dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya 6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74: 38. Dalam
surat al-Muddatssir: 38 dinyatakan bahwa setiap diri bertanggung jawab atas Kullu
nafsin bimâ ‫ )رهينة كسبت بما نفس كل‬perbuatannya sendiri kasabat rahînah). Hal ini
memiliki arti bahwa masing-masing jiwa harus bertanggung jawab atas dirinya dan
tidak dapat dibebani oleh beban orang lain. Asas pertanggungjawaban pidana bersifat
individual, sehingga tidak bisa kesalahan seseorang dipindahkan kepada orang lain,
atau bahkan dimintakan untuk mengganti. Siapa pun yang berani berbuat, maka ia
sendirilah yang harus berani bertanggung jawab.
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan kejahatan, harus dianggap tidak bersalah
sampai hakim dengan bukti-bukti meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan
orang tersebut. Asas ini juga didasarkan pada al-Quran yang menjadi landasan dari
asas legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain.
2. Asas Asas Hukum Perdata
a. Asas Kebolehan atau Mubah
Al-ashlu fi al-mu’âmalati al-ibâhah. Hukum asal suatu hubungan perdata
(muamalah) adalah boleh, selama tidak ada dalil atau ketentuan yang melarang
muamalah tersebut. Asas ini memberikan kebebasan dan kesempatan luas bagi yang
berkepentingan untuk dapat melakukan hubungan muamalah dan mengembangkan
hubungan tersebut, selama tidak terdapat larangan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Hal ini karena Allah secara jelas menegaskan bahwa akan memudahkan dan tidak
akan menyempitkan kehidupan manusia.
b. Asas Menolak Mudarat dan Mengambil Manfaat
Asas ini mengandung arti bahwa mencegah atau menghindari kerusakan lebih
diutamakan daripada mendatangkan keuntungan.
c. Asas Kebajikan (Kebaikan)
Berdasarkan asas kebajikan ini seyogianya sebuah hubungan perdata
mendatangkan kebajikan bagi kedua belah pihak maupun pihak ketiga di lingkungan
masyarakat. Hal ini berdasar pada surat al-Mâidah: 90
d. Asas Kekeluargaan atau Asas Kebersamaan yang Sederajat

6
Hubungan perdata harus senantiasa dilandasi dengan asas kekeluargaan.
Karena asas ini melahirkan konsekuensi sebuah hubungan yang saling menghormati,
kasih-mengasihi, serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini
dibangun berdasar pada firman Allah surat al-Mâidah: 5.
e. Asas Adil dan Berimbang
Asas adil mengharuskan kepada setiap pihak pelaku hubungan perdata untuk
senantiasa berlaku adil baik dalam pembagian hak maupun kewajiban. Asas ini juga
memiliki arti dalam hubungan perdata tidak boleh mengandung unsur penipuan,
penindasan, atau merugikan salah satu pihak.
f. Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak
Untuk menghindari terjadinya wanprestasi atau kerugian bagi salah satu pihak,
maka asas mendahulukan kewajiban daripada hak harus dilakukan. Islam
mengajarkan bahwa seseorang akan mendapatkan hak (imbalan) setelah dia
menunaikan kewajibannya terlebih dahulu.
g. Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Islam tidak membenarkan tindakan yang dapat merusak diri sendiri dan
merugikan orang lain dalam suatu hubungan perdata. Semisal memusnahkan barang
demi mencapai kemantapan harga dan keseimbangan pasar.
h. Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak
Mukallaf yakni orang yang sudah akil balig, mampu memikul beban
kewajiban dan hak, serta sehat jasmani dan rohaninya adalah orang yang bisa menjadi
subjek dalam melakukan.
i. Asas Tertulis atau Diucapkan di depan Saksi
Asas ini mengajarkan sebuah pedoman bahwa suatu hubungan perdata
hendaknya dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis di hadapan saksi, atau
dilakukan secara lisan namun harus disaksikan oleh saksi-saksi yang memenuhi
kualifikasi sebagai seorang saksi.
3. Asas-asas Hukum Perkawinan
a. Asas Kesukarelaan
Perkawinan harus dilandasi dengan asas kesukarelaan antara kedua belah
pihak. Kedua belah pihak tersebut bukan hanya antara suami istri, melainkan orangtua
dan keluarga masingmasing mempelai. Yang tak kalah penting adalah kesukarelaan
orangtua mempelai wanita yang menurut ketentuan perkawinan Islam harus menjadi
wali.

7
b. Asas Kemitraan Suami Istri
Kemitraan pasangan suami istri menjadi salah satu asas penting dalam
menjalani kehidupan rumah tangga. Asas ini membantu menjaga keharmonisan dan
terhindar dari percekcokan. Dengan asas kemitraan ini, posisi suami-istri menjadi
setara, meski dalam hal lain posisi suami tetaplah pemimpin keluarga.
c. Asas Perkawinan untuk Selama-lamanya
Tujuan pernikahan adalah melangsungkan keturunan dan membinanya hingga
tercetak menjadi manusia beradab. Surat ar-Rûm: 21 menjelaskan betapa merupakan
kebesaran Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
d. Monogami terbuka (karena darurat)
Al-Quran membolehkan seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu, hanya
saja harus memenuhi sejumlah syarat. Surat an-Nisâ’ ayat 3 menjadi landasan
diperbolehkannya mempersunting istri lebih dari satu, hanya saja ayat tersebut
memberikan penekanan bahwa sang suami haruslah mampu berlaku adil kepada
semua istrinya. Sedang surat yang sama ayat 129 menyebutkan bahwa manusia tidak
mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian.
4. Asas-asas Hukum Kewarisan
a. Ijbâriy
Asas ijbâriy dalam hukum Islam mengandung arti bahwa dengan
meninggalnya si pewaris, maka secara otomatis harta warisan beralih dengan
sendirinya kepada ahli waris. Pengalihan tersebut tidak melalui rekayasa atau rencana
sebelumnya.
b. Bilateral
Asas bilateral mengatur bahwa seseorang dapat menerima warisan dari dua
garis keturunan. Kedua belah pihak tersebut adalah pihak kerabat keturunan laki-laki
dan kerabat keturunan perempuan. Semua terdapat penjelasannya dalam al-Quran
surat an-Nisâ’ ayat 7, 11, 12, dan 176.
c. Individual
Asas ini mengandung konsekuensi bahwa meskipun harta warisan yang
ditinggal berjumlah banyak secara komulatif, namun pembagiannya kepada setiap ahli
waris dapat dimiliki secara perorangan atau bersifat hak milik secara individual.
d. Keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang adalah sebuah asas yang mengharuskan adanya
keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan.

8
Artinya, seorang ahli waris laki-laki atau ahli waris perempuan mendapatkan hak
yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya kelak dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat.
e. Akibat kematian
Asas ini menunjukkan bahwa adanya proses peralihan harta warisan adalah
sebagai suatu akibat dari kematian. Artinya selama si pemilik harta masih hidup,
maka pengalihan harta yang dilakukan tidak dinamai sebagai warisan. Dengan
demikian, pengalihan harta warisan tersebut harus dilakukan setelah si pewaris
meninggal.
5. Asas-asas Penerapan Hukum Islam
a. Asas tidak memberatkan
Dalam firman-Nya, Allah menyampaikan bahwa tidak akan memberatkan
seseorang di luar batas kemampuannya (‫ يكلف نفسا ال وسعها ل‬,(apalagi dalam urusan
agama. Allah hanya menghendaki kemudahan bukan suatu kesulitan.
b. Asas Tidak Memperbanyak Beban
Asas tidak memperbanyak beban (qillatu at-taklîf) adalah suatu asas yang
tidak memberikan banyak beban kepada hamba-Nya, sehingga adanya kewajiban dan
larangan tidak memberatkan, dan dalam menjalankannya tidak menimbulkan
kepayahan dan penderitaan. Asas ini berdasar pada firman Allah surat alMâ’idah: 101.
c. Asas al-Tadrîj (Bertahap/Gradual)
Asas ini menunjukkan bahwa pada mulanya penerapan hukum Islam tidak
dilakukan secara sekaligus, melainkan secara bertahap. Allah memahami bahwa
jikalau perubahan terhadap tradisi masyarakat Arab yang notabene bertentangan
dengan syariat Islam dilakukan secara seketika, akan memunculkan pemberontakan
dan kegoncangan. Hal ini dikhawatirkan masyarakat Arab tidak bisa menerima
perubahan aturan yang senyatanya untuk kemashlahatan bersama.3
Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja yang dikutif oleh Beni
Ahmad Saebani sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa
semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang

3
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), Hal. 38-65

9
dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip
ini ditarik dari fi rman Allah QS. Ali Imran Ayat 64.
Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam
merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada
Allah sebagai manipestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh
terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya.
Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada
keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan
hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al- Qur’an dan As-Sunah). Barang
siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat
dikategorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5
Al- Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan
kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fi qih ibadah
sebagai berikut :
a) Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara, artinya
bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib
di sembah.
b) Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan
iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur,
Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur
atas nikmat Allah.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas
kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-
kaidah hukum ibadah sebagai berikut :
c) Al-ashlu fi i al-ibadati tuqifu wal ittiba’, yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak
wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
d) Al-masaqqah tujlibu at-taysiir, yaitu kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan
mendatangkan kemudahan.
2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/
moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-

10
mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Syura (42)
ayat 17:
‫ِ قو يال رمييَق اَق قو قما ييْ ريرييَق لقعق سل السسا قَةق َق رِييٌب‬
‫ٌ بر يال قح ّ ر‬
‫رٓ ا ق ينَق قل يال رك تٰ ق‬
‫لي السِ ي‬
َ‫ق‬

“Allah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran dan neraca
(keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat?”

Firman Allah dalam surat Al-Hadid (57) ayat 25:


‫َ رْ ييْب سو قمنقافر يع‬ ‫يۚ قوا ق ينَق يلنقا يال قح رْ ييْق فر يي ره بقْ ي ب‬
‫ٌ ق‬ ‫اٌ رب يال رِس طر‬ ‫ٌ قو يال رمييَق اَق رليقِي يْ قَ النس ي‬ ‫ت قوا ق ينَق يلنقا قمعق يه يُ يال رك تٰ ق‬
‫سلقنقا رب يالبق ريّ تن ر‬
‫س يلنقا ير ي‬
‫لقِق يْ ا ق ير ق‬
ࣖ َ‫ٓ قَ رَي بي‬ ‫لق َق رْ ي‬ َ َ‫ٌ ا سر‬ ‫سلقهه بر يالَق يي ب ر‬ ‫لي قم يْ يس ين ي‬
‫ُ يِ هٗ قو ير ي‬ َ ُ‫اٌ قو رليق يعلق ق‬ ‫رللنس ر‬

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan
kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan
banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”

Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau


kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.
Prinsip keadilan ketika dimaknai seba- gai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-
Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak
mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari
perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk
memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi
individu dan masyarakat.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam
praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang
menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai
kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu: “Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila
telah menyempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka
kembali menyempit”. Prinsip keadilan ini sesuai dengan tujuan dari pembentukan
kaidah fi qih itu sendiri yang pada praktiknya hukum itu disesuaikan dengan keadaan
yang berlaku pada masyarakat.
Dari teori keadilan ini dapat dikembangkan menjadi pernyataan sebagai
berikut:

11
a) Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”
perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia;
b) Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai
subjektif sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi
perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat
diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju
tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam fi lsafat hukum
Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi
Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran (3) ayat 110:
‫اّر قولق يْ تا قمْق ا ق يه يل يال رك تٰ ر‬
‫ٌ لق قكاَق‬ َ ‫ِ قوُ ق ين قه يَْق قَ رْ يال يم ينك رقِ قوُيْي رمني يَْق رب‬ ‫اٌ ُ قْ ي يم يِ يوَق رب يال قم يع يِ يو ر‬ ‫يك ينٰ ي يُ قْي قيِ ا ي سم ةة ا ي يْ رِ قَ ي‬
‫ت رللنس ر‬
‫قْي ريِا لس يه يُ رم ين يه يُ يال يمْي رمني يَْق قوا ق يكَ ق يِ يه يُ يال تف رسِي يَْق‬

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah
orang-orang fasik.”

Pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu


dan akal. Syari’at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan
kemafsadatan. Syeikhul Islam menjelaskan kaidah ini dalam pernyataannya: “Amar
ma’ruf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan lebih
besar kemunkaran. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemunkaran yang lebih
besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat (rajih) darinya”
Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan hal ini:
“Allah Ta’ala telah mensyariatkan kewajiban mengingkari kemunkaran, untuk
mendapatkan kema’rufan yang dicintai Allah dan RasulNya. Jika ingkar munkar
menghasilkan kemunkaran yang lebih besar dan lebih dibenci Allah dan rasulNya,
maka tidak boleh. Ingkar munkar memiliki empat derajat:
1) Kemunkarannya hilang dan digantikan dengan kema’rufan.
2) Kemunkaran berkurang walaupun tidak hilang seluruhnya.
3) Kemunkaran hilang diganti dengan kemunkaran yang semisalnya.
4) Kemunkaran tersebut diganti dengan yang lebih berat.

12
Dua derajat yang pertama disyariatkan (untuk dilaksanakan), derajat ketiga
kembali ke ijtihat pelakunya, sedang yang keempat diharomkan (pelaksanaannya).
Jika melihat orang jahat dan fasiq bermain catur-misalnya, maka pengingkaran itu
dikatakan tidak didasarkan fi qih dan ilmu, kecuali jika kamu memalingkan mereka
kepada sesuatu yang lebih Allah dan RasulNya cintai; seperti bermain panah dan
balap kuda serta yang sejenisnya. Jika kamu melihat fasiq berkumpul pada satu
amalan yang sia-sia atau mendengarkan tepuk tangan dan siulan, maka jika kamu
membawa mereka kepada ketaatan Allah, maka itu yang dicari; kalau tidak,
membiarkan mereka demikian lebih baik dari memberikan kesempatan kepada
mereka berbuat lebih buruk dari itu, karena amalan mereka tersebut menyibukkan
mereka untuk tidak beramal yang lebih jelek. Demikian juga jika ada seorang yang
sibuk membaca buku berisi kefasikan atau yang sejenisnya, lalu kamu khawatir
pindahnya mereka kebuku bid’ah, sesat dan sihir, maka lebih baik biarkan dia dengan
buku tersebut. Ini merupakan pembahasan yang luas sekali.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah semoga Allah mensucikan ruhnya mengatakan:
“Saya dan sebagian sahabatku di zaman Tartar melewati satu kaum yang meminum
khomr. Salah seorang yang bersamaku mengingkari mereka, lalu saya cegah. Saya
katakan padanya: “Allah mengharamkan khomr karena dia menghalangi zikir dan
sholat, sedangkan khomr menghalangi mereka dari membunuh, menawan anak-anak
serta merampok, maka biarkanlah mereka.”
Permasalahan maslahat dan mafsadat sangat penting dalam syari’at Islam,
khususnya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga Syeikhul Islam menyatakan:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang
mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat
penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih
besar, maka dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya
lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan
mafsadatnya adalah syari’at.”
Kemudian beliau mencela orang yang beramar ma’ruf nahi munkar tanpa
memperhatikan hal ini, dalam pernyataan beliau:
“Orang yang ingin amar ma’ruf nahi munkar baik dengan lisannya, atau
dengan tangannya begitu saja tanpa fi qih, hilm, kesabaran, tidak memandang apa
yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak mengukur mana yang mampu dan
yang tidak dimampui......Lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan keyakinan

13
mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia telah melanggar batasan-
batasan Allah Ta’ala (bermaksiat (pent).”
4. Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi,
argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam
arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun
kebebasan komunal. Keberagaman dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada
paksaan dalam beragama, dalam al-Qur’an QS. Al- Baqarah (3) ayat 256:
َ‫ا‬
‫ُ ق‬‫سَق بر يالعي يِ قوِر يال يْْي تِى قَ ا ين رف ق‬ َ ‫ِ قوييْي رم ن يْ بر‬
‫اّر فقِق رْ ا يسٰ يقم ق‬ ‫ُ يْ ر‬ ‫الّا ي‬ ّ ‫الِ يَْي رمْق يالَق‬
‫ي ر فق قم يْ يس يكفي يِ بر س‬ ‫َ ار يك قِاٗق فرى ال رّْي ب ريْ َق يْ ُسبقيسْق ر‬
‫قي‬
ُ‫س رم يي بع قَ رل يي ب‬ َ ‫لق قها قو‬
‫لي ق‬

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh)
pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.”

5. Prinsip Persamaan/Egalite

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-
Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah
manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol
sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifi kasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam. Prinsip toleransi tersebut pada tataran
penerapan ketentuan Al- Qur’an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan
kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan
syari’at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada

14
persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik
muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.4
C. Karakteristik Hukum Islam
Hakikat hukum Islam itu tiada lain adalah syari'ah itu sendiri, yang bersumber
dari al-Qur'an, Sunnah Rasul dari al-Ra'yu Doktrin pokok dalam Islam itu sendiri
yaitu konsep tauhid merupakan fondasi dalam struktur hukum Islam, yaitu hubungan
hablun win Allah (hubungan vertikal), dari hablun Min al-nas (hubungan horizontal),
al-anirit bil nia'ruf wa alnahyu al-munkar, taqwa, adil, dan bijaksana serta
mendahulukan kewajiban daripada hak dan kewenangan.
Sehubungan dengan doktrin di atas, maka terdapat lima sifat dan karakteristik
hukum Islam yaitu:
1. Sempurna.
Syari'at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar
permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-
ubah lantaran berubahnya masa dari berlainannya tempat. Untuk hukum-
hukum yang lebih rinci, syari'at isi am hanya menetapkan kaedah dan
memberikan patokan umum. penjelasan dan rinciannya diserahkan pada
ijtihad pemuka masyarakat.5
Menurut M. Hasbi AshShiddieciy, salah satu ciri hukum Islam adalah
takamul yaitu, lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya aneka
pandangan hidup. Menurutnya hukum Islam menghimpun segala sudut dan
segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan karenanya hukum Islam tidak
menghendaki adanya pertentangan antara Ushul dengan Furu', tetapi satu sama
lain saling lengkap-melengkapi kuat-menguatkan.6
2. Elastis
Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, Luwes), Ia meliputi Segala
bidang dan lapangan kehidupan manusia,. Hukum Islam memperhatikan
berbagai segi kehidupan baik bidang muamalah, ibadah, jinayah dan lain-lain.
Meski demiklan ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa.

4
Suparman Usman dan Itang Mag, Prinsip dan Kaidah Hukum Islam, (Serang: Laksita, 2015), hal 91-
104
5
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Jakarta: logos, 1997), h. 46.
6
M. Habsi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 105.

15
Hukum Islam hanya memberikan kaidah kaidah urn urn yang mesti dijalankan
oleh umat manusia.7
Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat dalam
salah satu contoh dalam kasus jual beli; bahwa ayat hukum yang berhubungan
dengan jual bell (Q.S. al-Bagarah (2): 275, 282, Q.S. an-Nisa' (4): 29, dan Q.S.
(62): 9). Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan hukum bolehnya jual beli,
persyaratan keridhaan antara kedua belah pihak, larangan riba, dan larangan
jual beli waktu azan Jum'at. Kemudian Rasul menjelaskan beberapa aspek jual
beli yang lazim berlaku pada masa beliau. Selebihnya, tradisi atau adat
masyarakat tertentu dapat, dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
3. Universal dan Dinamis.
Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaranajaran
Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang `Ajam (non Arab).
Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang
kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam mempunyai sifat yang
dinamis (cocok untuk setiap zaman).8
Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum yang
positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat. Dalam
gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia, mempunyai
kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab segala tantangan
masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian.
dari nilai-nilai asasinya.9
Dalam kaitannya dengan keuniversalan tersebut dapat dipahami lewat
konstitusi negara mushm pertama. Madinah, menyetujui dan melindungi.
kepercayaan non-muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan.
Konstitusi ini merupakan kesepakatan antara Muslim dan Yahudi, serta orang-
orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non-Muslim dibebaskan dari
keharusan membela negara dengan membayar Jizyah, yang. berarti hak hidup
dan hak milik mereka dijamin. Istilah Zimmi, berarti orang non-Muslim yang
dilindungi Allah dan Rasul. Kepada orang-orang non-Muslim itu diberikan

7
Lihat, H. Faturrahman Djamil, op.cit. h. 47.
8
Ibid, h. 49.
9
Lihat, M. Hasbi As-Shiddiegy, Op-cit.; h. 108

16
hak Otonomi yudisial tertentu. Warga Negara dan kalangan ahli kitab
dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa_yang Allah
wahyukan.
4. Sistematis
Arti dari pc.myataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah
bahwa hukum Islam nu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara
logis, sating berhubungan satu dengan lainnya.10
Perintah shalat dalam al-Qur'an senantiasa diiringi dengan perintah
zakat. Dan berulang-ulang Allah berfirman "makan dan minumlah kamu tetapi
jangan benlebihan". Dalam hal ini dipahami bahwa hukum Islam melarang
seseorang hanya mermuamalah dengan Allah dan melupakan dunia. Manusia
diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan
kolonial kctika mencari rezeki tersebut.
5. Hukum Islam bersifat Ta'aquli dan Ta'abbudi
Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang
mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai
ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia tidak boleh
beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam bidang ini, tidak
ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang muamalah, di
dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na (rasional). Artinya,
umat Islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan
syari'at tersebut.11
D. Keunggulan dan Keistimewaan Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang sempurna dan universal. Hukum Islam
memiliki banyak keunggulan dan keistimewaan. Keunggulan dan keistimewaan
hukum Islam terletak pada sifatnya yang dapat memenuhi hajat hidup banyak orang
serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Aplikasi hukum Islam
secara kaffah tentu benar-benar dapat membentuk suatu komunitas yang ideal dan
teratur atas dasar keadilan, keteguhan, dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang
utama.

10
Fathurrahman Djamil, Op.cit., h. 5 1
11
Ibid, h. 52.

17
Keunggulan dan keistimewaan hukum Islam tergambar dari karakteristiknya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasbi Ash Shiddieqy di dalam bukunya Falsafah
Hukum Islam, yang terdiri atas tiga aspek yaitu takamul, wasathiyah dan harakah.
1. Takamul
Takamul berarti utuh, sempurna, bulat dan tuntas. Meskipun waktu
terus berjalan dan berganti hukum Islam tetap cocok untuk diterapkan. Hukum
Islam sudah sempurna dan sudah lengkap untuk mengatur kehidupan manusia.
Tidak ada kesempatan lagi untuk membongkar pasang hukum Islam agar
relevan dengan perkembangan zaman.
2. Wasathiyah
Wasathiyah berarti keseimbangan atau harmoni. Hukum Islam
menginginkan keseimbangan tidak terlalu berat ke kanan maupun ke kiri.
Keseimbangan itu tergambar dari keselarasan antara kenyataan atau fakta dan
ideal dari cita-cita. Islam sangat melarang sesuatu yang berlebihan.
3. Harakah
Harakah berarti pergerakan, dinamis, dan berkembang. Harakah adalah
kedinamisan yang selalu menyesuaikan dengan tuntutan. Hukum Islam
mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup,
serta dinamis sehingga selalu relevan dengan tuntutan zaman. Hukum Islam
terpencar dari sumber yang luas dan dalam, sehingga dapat berlaku sepanjang
masa. Al Qur’an dan Hadits adalah sumber hukum Islam yang memuat seluruh
nilai-nilai kehidupan secara universal. Melalui penggalian hukum dari
sumbernya maka hukum Islam selalu terpelihara dalam memenuhi hajat hidup
manusia.
Hukum Islam merupakan nilai-nilai universal yang menuntun manusia kepada
kemaslahatan hidup. Keunggulan dan keistimewaan hukum Islam antara lain:
1. Hukum Islam menginginkan kemudahan dan jauh dari kesulitan serta
kesempitan. Hukum Islam dapat berjalan seiring dengan fitrah manusia.
2. Hukum Islam sesuai dengan akal dan logika yang benar. Namun perlu diingat
bahwasanya akal dan logika sangat tipis perbedaannya dengan hawa nafsu.
Padahal hukum Islam sangat tidak mentolerir terhadap hawa nafsu yang
berlebihan. Islam menginginkan keteraturan tapi juga mengutamakan
kemudahan. Ibnu Qayyim berkata dalam Ath Thuruqul Hukmiyah, yang
penulis kutip dari buku Hasbi Ash Shiddieqy,

18
“Allah dan Rasul-Nya tidak menetapkan sesuatu hukum yang
diyakini kebatalannya baik pada panca indera maupun ada akal (logika) maka
amat jauh Allah daripada yang demikian. Maka sesungguhnya tak ada hukum
yang lebih baik daripada hukum Allah dan tidak ada yang lebih adil. Dan
Allah tidak menetapkan suatu hukum yang akal mengatakan terhadapnya
alangkah lebih baik Allah tidak menetapkan hukum yang sedemikian itu.
Sebenarnya hukum-hukum Allah semuanya adalah hukum-hukum yang diakui
oleh akal dan nadhar tentang kebaikannya dan terjadinya hukum itu dengan
cara yang paling sempurna dan sebaik-baiknya dan bahwa hukum itulah yang
layak di tempat itu bukan selainnya.”
3. Hukum Islam bertujuan untuk menimbulkan kemaslahatan serta mewujudkan
keadilan yang mutlak.
4. Hukum Islam menginginkan keseimbangan. Keseimbangan disini ialah antara
fakta dan idealnya teori, antara jiwa dan tubuh, serta keseimbangan dalam
segala aspek kehidupan.
5. Hukum Islam tidak menganakemaskan seorang pun. Tidak ada perbedaan
perlakuan hukum terhadap seluruh manusia. Hukum Islam tetap berlaku
kepada semua mukallaf tanpa adanya perbedaan.
6. Segala perbuatan dikaitkan dengan niat dan motivasinya. Keikhlasan dalam
menjalankan perintah agama adalah kemutlakan. Hal yang percuma apabila
melakukan sesuatu namun jauh di lubuk hatinya ia menolaknya. Hal ini telah

digambarkan oleh suatu kaidah ‫بمِاصْها‬ ‫المْر‬ yang artinya segala

perkara tergantung dari niatnya.


7. Di samping hukuman-hukuman yang telah ditetapkan hukum Islam juga
memperkenalkan hukuman takzir. Hukuman takzir ialah hukuman yang
bersifat mendidik dan menjerakan. Jenis hukuman takzir ditentukan oleh
penguasa maupun hakim yang berwenang yang dapat disesuaikan dengan
nilai-nilai setempat yang berkembang.
8. Menghargai kemerdekaan berpikir dan berijtihad. Tidak ada pengekangan
untuk berpikir di dalam Islam, malah dianjurkan untuk selalu melibatkan akal
yang mendalam dalam menilai segala sesuatu. Peran akal sangat signifikan
dan tidak dapat diabaikan. Dalam Islam agama dan akal seolah bersaudara
atau senantiasa menjalin persaudaraan. Akal dapat memperjelas wahyu. Akal

19
bersama dengan hati nurani dapat menjadi kerja sama yang dahsyat untuk
memahami maksud Wahyu.
9. Peningkatan derajat bagi perempuan. Hukum Islam menempatkan perempuan
pada derajat yang terhormat dan proporsional.
10. Berkeadilan bukan hanya kepada umat Islam tapi juga kepada non-muslim.
Hal ini dicirikan dengan sifat rahmatan lil ‘alamin yakni rahmat bagi semesta
alam, bukan hanya bagi umat Islam saja. Hukum Islam juga memperhatikan
kehidupan di luar kehidupan manusia, seperti alam dan segala isinya.
11. Hukum Islam bersifat sistematis. Doktrin-doktrin yang terkandung di dalam
Islam selalu berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh perintah mencari
rezeki diiringi dengan larangan mencarinya dengan cara yang zhalim.
E. Ciri Khas Hukum Islam
ciri-ciri kekhusushukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain, adalah:
1. Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah AWT, yang terdapat dalam al-Qur'an
dan dijelaskan oleh Sunnah Rasul-Nya.
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan
akhlak (moral).
3. Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan
seluruh umat manusia (rahmatan lil 'alamin).
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
5. Hukum Islam mengarah kepada jama'iyah (kebersamaan) yang seimbang
antara kepentingan individu dan masyarakat.
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan
di akhirat.12

Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata
12

Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 64- 65.

20
BAB III
KESIMPULAN
Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran tentang
sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang suatu konsep dan
tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi merupakan kajian filsafat untuk
mencari hakekat kebenaran sesuatu.Ontologi membahas realitas atau suatu entitas
dengan apa adanya. Pemahaman secara ontologis berarti membahas kebenaran suatu
fakta secara mendalam. Ontologis hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum
Islam atau bagian-bagian yang dikenal dengan kajian pembidangan hukum Islam dan
kajian geografis hukum Islam.
Hukum islam mempunyai dua asas yang terdiri dari asas umum dan
asas khusus. Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja yang dikutif oleh
Beni Ahmad Saebani sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
2. Prinsip Keadilan
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar
4. Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
5. Prinsip Persamaan/ Egalite
6. Prinsip At-Ta’awun
7. Prinsip Toleransi
Hakikat hukum Islam itu tiada lain adalah syari'ah itu sendiri, yang bersumber
dari al-Qur'an, Sunnah Rasul dari al-Ra'yu Doktrin pokok dalam Islam itu sendiri
yaitu konsep tauhid merupakan fondasi dalam struktur hukum Islam, yaitu hubungan
hablun win Allah (hubungan vertikal), dari hablun Min al-nas (hubungan horizontal),
al-anirit bil nia'ruf wa alnahyu al-munkar, taqwa, adil, dan bijaksana serta
mendahulukan kewajiban daripada hak dan kewenangan.
Hukum Islam adalah hukum yang sempurna dan universal. Hukum Islam
memiliki banyak keunggulan dan keistimewaan. Keunggulan dan keistimewaan
hukum Islam terletak pada sifatnya yang dapat memenuhi hajat hidup banyak orang
serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Aplikasi hukum Islam
secara kaffah tentu benar-benar dapat membentuk suatu komunitas yang ideal dan
teratur atas dasar keadilan, keteguhan, dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang
utama. Salah satu ciri hukum islam adalah hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip
akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).

21
DAFTAR PUSTAKA
Asmaret, Des. 2018. “Ontologi Hukum Islam”, Jurnal Al-Himayah, 2(1), Hal. 60-74
Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books
Usman, Suparman dan Itang Mag. 2015. Prinsip dan Kaidah Hukum Islam. Serang:
Laksita
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: logos
Shiddieu, M Habsi Ash. 1993. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama

22

Anda mungkin juga menyukai