Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“ONTOLOGI HUKUM ISLAM”

Dosen Pengampu : Muhammad Irfan M,S.I

Di susun oleh :

1. Budiman Nugraha (5210035)


2. Fildia Usma Yusuf (5210036)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG

Jl. DI Panjaitan KM 3, Paduraksa Pemalang

KATA PENGANTAR
Puji syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih atas kehadirat Allah
subhanahu wa ta’ala . Karena dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasalam beserta keluarga dan para sahabatnya sekalian, yang dengan penuh kesetiaan dan
telah mengorbankan jiwa raga maupun harta mereka demi tegaknya syiar islam yang
pengaruh dan manfaatnya masih kita rasakan sampai saat ini.

Makalah yang kami buat ini membahas tentang “Ontologi Hukum Islam”. Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat serta dapat menambah wawasan bagi kita semua.

Adapun tujuan dari makalah yang kami buat ini adalah untuk memenuhui tugas dari
mata kuliah Filsafat Islam. Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Irfan selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Islam. Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun agar dapat
menjadi perbaikan bagi kami kedepannya insya Allah.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3

A. Definisi Ontologi Hukum Islam………………………............................................3


B. Kebenaran-Kebenaran dalam Hukum Islam…………………….............................6
C. Perbedaan antara Syariah dan Fikih dalam Islam…...………...................................9

BAB III PENUTUP..........................................................................................................13

A. Kesimpulan.................................................................................................................13
B. Saran...........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran tentang


sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang suatu
konsep dan tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi merupakan
kajian filsafat untuk mencari hakekat kebenaran sesuatu. Ontologi membahas
realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pemahaman secara ontologis berarti
membahas kebenaran suatu fakta secara mendalam. Ontologi hukum Islam di sini
adalah objek kajian hukum Islam atau bagian-bagian yang dikenal dengan kajian
pembidangan hukum Islam dan kajian geografis hukum Islam. Dimana hukum
Islam pada dasarnya merupakan ajaran Islam yang mengatur segala aspek
kehidupan dan rahmatan lil ‘alamin. Hukum Islam adalah sistem hukum yang
mempunyai beberapa istilah yang mesti dijelaskan yaitu fikih, syariat, dan
hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Ontologi Hukum Islam
2. Bagaimana Kebenaran Hukum-Hukum dalam Islam
3. Bagaimana Perbedaan antara Syariah dan Fikih dalam Hukum Islam
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan tentang Definisi Ontologi Hukum Islam
2. Memahami dan Menjelaskan tentang Kebenaran Hukum-Hukum dalam Islam
3. Membedakan antara Syariah dan Fikih dalam Hukum Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ontologi Hukum Islam


1. Ontologi Dalam Filsafat

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan :

a. Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan tentang


hakikat segala sesuatu.
b. Epistimologi membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu.
c. Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.

Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, dan memungkinkan semua filsafat


masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika,
Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.

2. Ontologi Hukum

Teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif
interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam
keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan
praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji, dan ia lebih luas
kajiannya dibandingkan dengan filsafat hukum (Ali, 2017).

Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (dalam hal ini yaki
merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti sifat
dan tujuan hukum, konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, dan juga
hubungan hukum dan moral).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ontologi hukum adalah cabang


filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan perkataan lain, ontologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat, atau bisa juga
diartikan dengan kajian yang mendalam, dan sungguh-sungguh secara sitematis dan
metodis tentang hakikat hukum sampai kedasar atau akarnya (Prasetyo, 2014).

Adapun yang menjadi objek filsafat hukum adalah masalah hukum, maka
persoalan filsafat hukum dapat dirinci sebagai berikut: (Usman, 2016)

– Apakah hukum itu? Atau apakah hakikat hukum?


– Apakah atau dari manakah asal hukum?
– Apakah atau bagaimana tujuan hukum?
– Apakah atau bagaimana kedudukan manusia dalam hukum?
– Apakah norma-norma yang berlaku bagi pemelihara (pengembala) hukum?

3. Ontologi Hukum Islam

Ontologi Hukum Islam ialah ilmu tentang hakikat sesuatu (dalam hal ini objek
kajiannya ialah hukum Islam itu sendiri, ia meliputi apa itu hukum Islam, sumber
hukum Islam, tujuan hukum Islam, kedudukan dan objek kajian hukum Islam dan
lain-lain).

a. Hukum Islam

Adalah hukum (aturan-aturan) yang berasal dari Allah swt yang


dibebankan kepada para mukallaf, ia berupa printah dan larangan dengan tujuan
untuk mendatangkan mashlahatan dan menolak kemudharatan bagi para mukallaf
itu sebdiri..

b. Sumber hukum Islam

Sumber hukum Islam Wahyu (Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah saw


(Hadist), dan akal (Ijma’ Qiyas).

c. Subjek dan objek


Subjeknya ialah perbuatan para mukallaf dan Objeknya ialah mukallaf.
d. Tujuan hukum Islam
Untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.
B. Kebenaran Hukum-Hukum dalam Islam
1. Hakikat Kebenaran
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun
abstrak. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah proposisi yang
benar. Namun apabila menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti
memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan nilai. Hal yang demikian itu
karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat dan hubungan
nilai itu sendiri (Tim Dosen Fakultas Ilmu Filsafat, 1996).

Plato pernah berkata " Kebenaran itu adalah kenyataan " tetapi bukanlah
kenyataan itu tidak selalu yang seharusnya terjadi. Kenyataan yang terjadi bias saja
berbantuk ketidakbenaran. Jadi ada dua pernyataan yaitu kebenaran yang berarti
nyata-nyata terjadi di suatu pihak dan kebenaran yang berarti lawan dari keburukan.

Dalam menentukan suatu kebenaran pada dasarnya kita mengulurkannya


berdasarkan dua kemungkinan yaitu kebenaran apriori ( Hipotesis ) dan kebenaran
Aposteori ( enpiris ). Apriori Artinya kebenaran yang berdasarkan akal semata, secara
logika tanpa memerlukan bukti empiris. Sedangkan kebenaran Aposteori yaitu
kebenaran yang terjadi setelah pengalaman, artinya kebenaran yang dilakukan melalui
seatu abstraksi berupa ukuran-ukuran dari wujud yang ingin diketahui. Kebenaran
seperti ini adalah kebenaran ilmu pengetahuan yang saat ini banyak berlandaskan teori
mengenai ilmu pengetahuan dari kant, comte dan lain sebagainya (Wiramiharja,
2006).

2. Kebenaran menurut Islam dan Pembuktian Kebenaran dalam Islam

Menurut konsep islam bahwa keadilan tidak sama dengan sikap netral, sebab
keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Sedang masalahnya adalah bagaimana
seseorang itu dapat berpihak pada kebenaran jika kebenaran itu masih diragukan.

Dalam islam kebenaran substabsial dan esensial ayat-ayat al Quran bersifat


deterministik, namun kebenaran tafsiran dan pemakaian bersifat indetermantik yaitu
dapat dikembangkan secara luas dan terus-menerus. Bagi manusia disediakan
kawasan indhetermunistik yaitu kawasan untuk menjangkau kebenaran empirik
sensual, kebenaran empirik logis, kebanaran empirik etik, kebenaran empirik
mu'amalah terhadap manusia.

Teori pengetahuan menurut Islam tidak menunjukkan sudut yang khusus


darimana kaum muslimin memandang ilmu, akan tetapi juga menekankan keharusan
yang mendesak untuk mencari ilmu. Karena ilmu mempunyai dua tujuan yaitu tujuan
ilahiah dan tujuan duniawi. Tujuan duniawia adalah ilmu untuk memungkinkan
seseorang hidup dengan berhasil dan dengan efektif dengan jalan memahami alam,
baik yang fisik maupun yang psikis, dan jalan memanfaatkan ilmu itu untuk
kemaslahatan para individu dan masyarakat.

Hal ini membuktikan kebesaran Allah dengan menempuh cara sebagai berikut:

a. Bukti langsung kepada Allah yang disebut Hablum min-Allah dengan


memelihara hubungan kepada Allah.
b. Bukti kepada Allah melalui bakti kepada manusia dengan berbuat baik kepada
manusia sesamanya dengan hablum minannas. Keduanya harus berjalan
serempak untuk menghindarkan diri dari murka Allah (Syarifuddin, 1997).

Dengan demikian maka peranan akal manusia sangat ditonjolkan, apalagi pada
ayat pertama turun telah mengajak kita untuk membaca. Al-Syatibi mengakui
besarnya peranan akal dan memahami dalil-dalil syari’at. Dalam hal ini dia
menetapkan ada tiga macam dalil, satu diantaranya dalil akal, sedangkan dua lainnya
adalah dalil adat dan dalil teks Al-Quran dan Sunnah yang disebut dalil sam’iyat.
Dalil akal dan dalil adat disejajarkan olehnya dan dibagi masing-masing menjadi
wajib, mustahil dan ja’iz. Perbedaan keduanya ialah dalil akal bersifat teoritis
sedangkan dalil adat bersifat empiris, namun dua-duanya bersifat rasional. Keabsahan
dalil akal diuji dari segi benar dan tidaknya, sedangkan dalil adat diuji dari segi
kenyataan dan ketidaknyataan (Al Syatibiy).

Lebih lanjut dikatakan bahwa dalil akal mempunyai kedudukan yang kuat,
dapat mencapai tingkat kepastian sebagaimana dalil-dalil syari’at yang tercantum
dalam teks Al- Quran dan Al-Sunnah. Menurut dia, dalil-dalil syari’at itu sendiri tidak
dapat mencapai derajat kepastian jika masing-masing berdiri sendiri secara parsial.
Dalil-dalil itu mancapai kepastiannya hanya jika terumuskan secara induktif yang
dalamnya akal itu berperan (Al Syatibiy).

Surah Al-Zumar ayat 1837 dapat dipahami bahwa disamping ada kebenaran
mutlak yang terdapat pada agama dan terbantahkan dalam wujud al-Quran juga diakui
adanya kebenaran yang sesuai dengan kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang tidak
bertentangan dengan Al-Quran. Kebenaran tersebut merupakan hasil usaha manusia
dengan akalnya. Akal adalah pemberian Allah Yang Maha Benar, dan Allah
menciptakannya tidaklah dengan kesiasiaan. Karena itu akal bukanlah untuk disia-
siakan, tapi harus dimanfaatkan dengan senantiasa mengingat sifat kerelatifannya.
Artinya dengan berpegang kepada kebenaran realtif, seseorang harus siap untuk
meninggalkannya manakalah ditemukan hasil yang lebih benar dan lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Manakala kebenaran relative bertentangan dengan kebenaran
mutlak, ia harus berpindah kepada kebenaran mutlak tersebut (Djamil, 1997).

Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa disamping ada kebenaran mutlak


dari Allah, diakui pula ada kebenaran relative dari hasil budaya manusia, baik
kebenaran itu berupa kebenaran spekulatif (filsafat) dan kebenaran positif (ilmu
pengetahuan) maupun kebenaran sehari-hari (Anshari, 1987).

Dalam islam kebenaran hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran disisi
Allah. Akan tetapi bila dikaitkan dengan interprestasi yang dilakukan manusia dalam
mencari kebenaran tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan
pertentangn.

Misalkan 2 = 2 = 4, 2 +2 = 6

Teori ini mudah diterima, tetapi bila persoalannya manyangkut interprestasi


atas ajaran agama, maka persoalannya menjadi berbeda sama sekali. Al Qur'an
menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam
raya dan fenomenanya. Uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat kauniyah.
Tidak kurang dari 450 ayat yang menguraikan hal tersebut. Dan selain itu juga
terdapat ayat Qouliyah (Mufid. 2008)

C. Perbedaan antara Syari’ah dan Fiqh dalam Islam


1. Pengertian Fiqih

Fikih secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan


pengerahan potensi akal (Syarifuddin, 2009).  Sedangkan secara terminologi fikih
merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang
hukum syari’ah  Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah
dewasa dan berakal sehat (mukallaf ) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan
menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fikih adalah ilmu tentang hukum-
hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang
tafsili (Syarifuddin, 2009). Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut
menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu
yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas
menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat
lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat amaliah seperti masalah keimanan
atau aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fikih dalam uraian ini. Penggunaan kata
digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih itu adalah hasil penggalian,
penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fikih itu adalah
hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tidak dijelaskan oleh nash.

2. Pengertian Syari’ah

Syariah menurut bahasa memiliki beberapa makna, antaranya adalah al-warid
yang berarti jalan, ia bermakna pula tempat keluarnya (mata) air. Al-Raghib
menyatakan syariah adalahmetode atau jalan yang jelas dan terang misalnya
ucapaan ‫نهجا‬ ‫له‬ ‫شرعت‬  (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan). Manna' Khalil Al-
Qathan berkata “Syariat 
pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum,
kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-shirath
al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan
dan keselamatan/kesehatan badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang
mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan
pengoptimalan akal mereka (Al Qatan, 2001).

Secara istilah syariat adalah seperangkat norma yang mengatur masalah-


masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala,
serta bermuamalah dengan sesama manusia. Al Fairuz Abady menyebutkan bahwa
syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya. Al-Fairuz
Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada
para hambaNya. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah Segala
sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien(agama) dan diperintahkanya seperti puasa,
shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.

Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan


yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah setiap sesuatu yang datang dari
Allah Subhanahu Wata’ala yang disampaikan oleh utusan/ RasulNya kepada para
hambaNya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumya dinamakan syar’an.

Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikannya dengan


sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan Allah Subhanahu
Wataala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai
pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan anatar sesama manusia,

Para intelektual muslim Indonesia memberikan  definisi dari Syariah dengan


beraneka ragam, misalnya Hasbi Ash-Shidieqy (2001) mendefinisikannya dengan
segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an
ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya.Sedangkan M.
Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh
Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik
menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah  (cabang-cabang
amaliyah). Dalam bagian lain disebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang
disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur'an maupun melalui
sunnah rasul (Hasan, 1995).

Secara etimologis syariah berarti jalan yang harus diikuti. Kata syariah muncul
dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah: 48, asy-Syura: 13,
yang mengandung arti jalan yang jelas yangmembawa kepada kemenangan
( Syarifuddin, 2009). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah,
dalam artian lughawi karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya.

Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fikihdan syariah
memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia didunia dalam mencapai
kehidupan yang baik itu harus tunduk kepadakehendak Allah dan Rasulullah.
Kehendak Allah dan Rasul itu sebagianterdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut  syari’ah.

Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus


ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat
diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituang
dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia
mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah
itu disebut fikih.

3. Perbedaan antara Syari’ah dan Fikih dalam Islam

Dari pengertian syari'ah dan fikih yang telah dibahas sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya memiliki karakter masing-masing. Di lihat dari
sumbernya maka syariah bersumber dari Allah Subhanahu Wata’ala yaitu berupa Al-
Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Sedangkan fikih
bersumber dari para ulama dan ahli fikih yang telah menggali hukum-hukum yang
berasal dari Al-Qur'an dan Hadist.

Sementara dari segi objeknya maka syariah objeknya meliputi bukan saja batin
manusia akan tetapi juga lahiriyah manusia dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan
fikih objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan
manusia serta manusia dengan makhluk lainnya. Perbedaan selanjutnya adalah
mengenai sanksi ketika melanggarnya, syariah sanksinya adalah pembalasan Allah
Subhanahu Wata’ala diakhirat, sedangkan fikih semua norma sanksinya bersifat
sekunder yaitu negara sebagai pelaksana sanksinya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam adalah aturan-aturan yang
datang dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui perantara para rasul-Nya yang berupa
hukum-hukum yang qath’i (syariah) dan juga yang bersifat dzanni yaitu fikih. Dengan
kata lain hukum Islam adalah syariat yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum
yang terdapat didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta hukum-hukm yang dihasilkan
oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fikih).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ontologi Hukum Islam ialah ilmu tentang hakikat sesuatu (dalam hal ini objek
kajiannya ialah hukum Islam itu sendiri, ia meliputi apa itu hukum Islam, sumber
hukum Islam, tujuan hukum Islam, Kedudukan dan objek kajian hukum Islam
dan lain-lain).
2. Fikih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang
hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah
dewasa dan berakal sehat (mukallaf  ) dan diambil dari dalil yang terinci.
3. Syariah adalah seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana
tata cara beribadah kepada Allah Subhanahu Wataala, serta bermuamalah dengan
sesama manusia.
4. ukum Islam adalah aturan-aturan yang datang dari Allah Subhanahu Wata’ala
melalui perantara para rasulNya yang berupa hukum-hukum yang qathi’ (syariah)
dan juga yang bersifat dzanni yaitu fikih. Dengan kata lain hukum Islam adalah
syariat yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum yang terdapat didalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta hukum-hukm yang dihasilkan oleh para ahli
hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fikih).
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaikan. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana.2017)
Ali Hasan, Perbandingan  Madzhab, Jakarta : PT RajagrafindoPersada, 1995.M.
Amir Syarifuddin,Ushul Fikih, Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2009.
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Cet. VII; Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. II; Ciputat: Logos, 1997
Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN Kudus, 2008,
Hasbi Ash-Shidieqy,Pengantar Hukum Islam, Semarang : PT. PustakaRizki Putra , 2001.
Manna' Khalil Al-Qatan,  At-Tasyri' Wa Al-Fikihi fi Al-Islam Tarikhan wa  Manhajan, Mesir :
Maktabah Wahbah, 2001.
Prof.Dr.Suterdjo A Wiramihardja.P.Si, Pengantar Filsafat, PT Refika Aditama, Bandung,
2006
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, SUHUD Sentrautama
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Baraktullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Jakarta, Rajawali Pres, 2014)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1996

           

Anda mungkin juga menyukai