Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FIQH SIYASAH

SIYASAH DAULIYAH

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas mata kuliah Fiqh Siyasah

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

M. LUTHFI FADLULLAH :1222045


ALYA ANA TASYA :1222046

DOSEN PENGAMPU:

YAHDI DINUL HAQ, S.H.I.,M.H

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat AllahTa’al. Atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul,“Siyasah
Dauliyah”dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Fiqh Siyasah. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang bagaimana konsep Siyasah Dauliyah
tersebut bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Yahdi Dinul Haq,S.H.I.,M.H selaku
dosen Mata kuliah. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
beberapa kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Bukittinggi, 10 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.........................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Siyasah Dauliyah....................................................2
B. Pembagian Negara dalam Islam...............................................3
C. Pembagian Penduduk dalam Islam...........................................12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................18
B. Kritik dan Saran........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemudian


akhlak ini haruslah tercermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan
bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda
dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara
sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah
ada suatu wilayah, penduduk/ masyarakat dan ada pemerintahan yang berdaulat.
Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan karakter
suatu Negara, sehingga adanya suatu pembagian-pembagian mengenal Negara.
Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu
perbedaan yang dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam, perbedaan penduduk ini
bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat yang ia berdomisili.
Akibat dari suatu pembeda ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang diterima.
.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Siyasah Dauliyah ?


2. Bagaimana Pembagian Negara dalam Islam ?
3. Bagaimana Pembagian Penduduk dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengertian Siyasah Dauliyah


2. Menjabarkan Pembagian Negara dalam Islam
3. Menjabarkan Pembagian Penduduk dalam Islam

iii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Siyasah Dauliyah


Kata Siyasah berasal dari kata ‫ سياس>>>ه‬،‫ يس>>>وس‬،‫( س>>>اس‬mengatur,
mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau ‫( ساس القوم‬mengatur
kaum, memerintah dan memimpinnya). Dauliyah bermakna tentang daulat,
kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Siyasah Dauliyah bermakna
sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan
internasional, masalah teritorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan
tawanan. Politik, pengusiran warga negara asing.
Siyasah dauliyah juga mengatur hubungan antara warga Negara
dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan
lembaga Negara dari Negara lain. Dalam hubungan Internasional asas damai
merupakan asas hubungan. Internasional. Alasannya adalah perang itu
diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kezaliman,
menghilangkan fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi dari
asas damai. Sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah
perdamaian saling membantu dalam kebaikan maka :
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai
musuh.
3. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung
kepada damai
4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.

Subjek hukum dalam siyasah dauliyah adalah Negara, setiap Negara


mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak
Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Semua negara
yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam hubungan antar
negara diterapkan kewajiban menghormati negara sebagai tetangga negara
kita. Landasan dari kewajiban tersebut adalah: Sembahlah Allah dan janganlah

iv
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.1
Dasar-dasar yang dijadikan landasan para ulama di dalam Siyasah
Dauliyah dan dijadikan ukuran apakah siyasah dauliyah bejalan sesuai dengan
semangat al-Islam atau tidak, adalah:
1. Kesatuan umat manusia
2. Al-‘adalah (keadilan)
3. Al-musawah (persamaan)
4. Karomah insaniyah (kehormatan manusia
5. Tasamuh (toleransi)
6. Kerja sama kemanusiaan
7. Kebebasan, kemerdekaan/ al-huriyah
8. Perilaku moral yang baik (al-akhlak al-karimah)2

B. Pembagian Negara dalam Islam


Berbeda dengan syariat nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan
temporal, syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., bersifat
universal, internasional dan kekal hingga akhir zaman. Dengan kata lain,
syariat Islam bersifat melintasi batas-batas ruang dan waktu. Hal ini
ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Alquran:

“kami tidak mengutus mu (wahai Muhammad) kecuali untuk seluruh umat


manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, akan tetapi
banyak manusia yang tidak mengetahui.” (QS. Saba, 34:28)

Meskipun Alquran mengklaim syariat Islam bersifat kekal dan


universal, Alquran juga mengakui kebebasan manusia untuk menerima
sepenuh hati atau menolaknya dengan penuh kesadaran, tanpa merasa dipaksa.
Dalam surah al-kahfi, 18: 29, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad

1
Fatmawati Hilal, fikih Siyasah, (Makassar: Pustaka Almaida, 2015), hlm. 118-119
2
Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm.122-130
v
untuk menyampaikan kebenaran Islam. Karena itu, siapa yang mau beriman
silakan, dan siapa yang ingin ingkar (kafir) juga silakan.
Jumhur ulama membagi negara yang merupakan alat kekuasaan dalam
menerapkan hukum Islam kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam dan dar al-
harb. Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau
dar al-aman di samping keduanya. Para ahli fiqih mazhab Syiah Zaidiyah
mengistilahkan dar al-waqf untuk dar al-Islam dan dar al-fasiq untuk dar al-
harb. Kelompok khawarij sekte ibadiyah menamakan dar al-Islam dengan dar
al-tawhid, meskipun mayoritas penduduknya musyrik atau munafik, selama
penganut Islam tetap dapat melaksanakan kegiatan keagamaan mereka secara
terang-terangan dan aman. Untuk dar al-harb mereka menamakannya dengan
dar al-syirk.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara
sebagai Dar al-Islam. Di antara mereka ada yang melihat dari sudut hukum
yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi
keamanan warganya menjalankan syariat Islam. Sementara ada juga yang
melihat dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut.
Imam Abu Yusuf (w. 182 H/ 798 M), tokoh terbesar mazhab Hanafi,
berpendapat bahwa suatu negara disebut Dar al-Islam bila berlaku hukum
Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara
Dar al- harb, menurutnya adalah negara yang tidak memberlakukan hukum
Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam. Al-Kisani (w.
587 w/ 1191 M), juga ahli fiqih mazhab Hanafi, memperkuat pendapat Abu
Yusuf. Menurutnya, Dar al-harb dapat menjadi Dar al-Islam, apabila negara
tersebut memberlakukan hukum Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian juga dianut oleh
Sayyid Qutub (w. 1387 H/ 1966 M). Tokoh al-Ikhwan al-Muslimun ini
memandang negara yang menerapkan hukum Islam sebagai Dar al-Islam,
tanpa mensyaratkan penduduknya harus Muslim atau bercampur baur dengan
ahl al-dzimmi.
Al-Rafi’i (w. 623 H/ 1226 M), salah seorang tokoh Mazhab Syafi’i,
menjadikan alat ukur untuk menentukan apakah sebuah negara Dar al-Islam
atau dar al-harb dengan mempertimbangkan pemegang kekuasaan dalam

vi
negara tersebut. Suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila
dipimpin oleh seorang Muslim. Pendapatnya ini berdasarkan pada kenyataan
yang pernah berkembang pada masanya, di mana seorang pemimpin sangat
berpengaruh dan menentukan keputusan-keputusan politik negara tersebut.
Seorang pemimpin muslim yang memiliki komitmen kepada ajaran agamanya
tentu akan berusaha menjalankan nilai-nilai Islam dan hukum Islam di negara
yang dipimpinnya.
Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M) membedakan mana dar al-
Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya.
Bila umat Islam merasa aman dan at home dalam menjalankan aktivitas
keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya,
bila tidak ada rasa aman untuk umat Islam, maka negara itu masuk kategori
dar al-harb.
Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berpendapat
bahwa dar al-Islam adalah negara yang wilayahnya didiami oleh (mayoritas)
orang-orang Islam dan hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum
Islam. Bila kedua unsur ini tidak terpenuhi, maka negara itu bukan dar al-
Islam.
Dari perbedaan pendapat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa
mayoritas ahli fiqh mensyaratkan suatu negara sebagai dar al-Islam, bila
pemegang kekuasaan beragama Islam, sehingga hukum Islam dapat mereka
jalankan dengan baik. Kalau hal ini tidak terlihat, maka negara tersebut
termasuk ke dalam kategori dar al-harb. Konsekuensi logis dari kenyataan ini
adalah bahwa jika umat Islam tidak memperoleh jaminan keamanan di negara
atau wilayah tersebut, maka negara itu disebut dar al-harb, meskipun ada
umat Islam yang tinggal di sana.
Namun dalam perkembangan modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu
negara disebut dar al-Islam, bila penduduknya mayoritas beragama Islam,
meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam.
Contoh negara ini antara lain adalah Indonesia dan Mesir.
Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara
tentu merupakan hal terpenting untuk menentukan negara itu disebut dar al-
Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam. Contoh

vii
kriteria kedua ini termasuk Iran, Malaysia, dan Pakistan, Kedua kriteria inilah
yang digunakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menetapkan
dar al-Islam.
Adanya pembedaan dar al-Islam dan dar al- harb ini, menurut Wahbah
al-Zuhaili, adalah disebabkan oleh peperangan yang terjadi antara umat Islam
dengan non-Muslim. Karena banyak di antara dar al-Islam dan dar al-harb
yang muncul melalui peperangan. Meskipun demikian, pendapat Zuhaili ini
tidak sepenuhnya benar. Ada di antara negara yang lahir secara alami dan
damai. Oleh sebab itu, perlu pula diamati pandangan ulama lain dalam hal ini.
Mayoritas ahli fiqh memandang pembagian negara atau wilayah kepada dar
al-Islam dan dar al-harb didorong oleh beberapa faktor berikut:
1. Untuk menata dan mengatur kepentingan Muslim secara umum
sebagai pemimpin dan yang dipimpin di suatu wilayah dalam
hubungannya dengan non-Muslim yang berada di wilayah atau negara
yang sama; dan dengan negara atau wilayah yang berdampingan
dengannya.
2. Sebagai upaya untuk menerapkan hukum Islam, baik bagi umat Islam
sendiri maupun non-Muslim yang menetap di wilayah Islam.
3. Sebagai usaha ahli fiqh untuk merespons dan menata hukum Islam,
terutama dalam bidang muamalat dan munakahat, serta menetapkan
hukum hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dalam
berbagai lapangan kehidupan.
Perbedaan antara dar al-Islam dan dar al-harb bukan hanya terletak
pada sisi hukum yang berlaku di masing-masing negara tersebut melainkan
juga karena perbedaan penguasa/pemimpin negara tersebut. Oleh karena itu,
dalam dar al-Islam dan dar al-harb juga terdapat perbedaan kategori.
Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka suatu dar al-harb dapat dibagi dalam
tiga kategori:
1. Wilayah atau negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok
sebagai dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan
politik yang berada di tangan non-Muslim.
2. Wilayah atau negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok
untuk disebut sebagai dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya

viii
dikuasai oleh non-muslim dan hukum yang berlaku pun bukan hukum
Islam. Namun, umat Islam yang menetap di negara tersebut diberi
kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam, sehingga
dapat disebut Dar al-Islam (menurut Abu Hanifah). Negara dalam
bentuk ini dapat berupa:
a. Dar al-harb yang dipimpin dan dikuasai non-Muslim, namun
umat Islam di negara ini diizinkan melaksanakan kewajiban
agamanya dan sebagian syiar Islam, seperti shalat, zakat, haji,
pernikahan, dan kewarisan. Kondisi inilah yang dijadikan
alasan oleh al-Mawardi untuk mengelompokkannya ke dalam
dar al-Islam. Muhammad Rasyid Ridha pun memperkuat
pendapat ini. Berdasarkan pengamatannya terhadap negara-
negara Eropa dan Amerika, ia melihat umat Islam di wilayah
ini dapat dengan aman menjalankan kewajiban agamanya.
Dalam konteks negara modern, beberapa negara Asia
Tenggara, seperti Singapura dan Filipina juga termasuk ke
dalam kategori ini.
b. Wilayah atau negara yang pada mulanya dikuasai oleh umat
Islam, tetapi kemudian diambil alih oleh orang-orang non-
Muslim (kafir), sehingga umat Islam setempat terpaksa tunduk
kepada mereka. Umat Islam di negara ini tetap menjalankan
agama mereka, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kondisi
yang mereka hadapi. Mereka tetap berjuang untuk memperoleh
hak-hak mereka dari orang-orang kafir tersebut. Termasuk
dalam kategori ini adalah negara-negara di Asia tengah yang
pernah dicaplok oleh uni Soviet. Setelah negara beruang merah
ini bubar pada akhir 1980-an, negara-negara muslim tersebut,
seperti Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan
Azerbaijan bangkit kembali menunjukkan identitas
Keislamannya. Di samping itu, negara-negara Bosnia, Kosovo,
dan beberapa negara muslim Balkan di bekas Yugoslavia juga
termasuk dalam kategori ini.

ix
c. Wilayah atau negara yang dipimpin oleh orang-orang ahli
bid’ah yang menyatakan secara langsung dan tidak langsung
keluar dari barisan umat Islam yang berpegang kepada Alquran
dan Sunnah. Dalam bentuk lain, wilayah ini dipimpin oleh
orang-orang fasik. Mereka masih mengaku sebagai Muslim,
tetapi tidak menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam
pemerintahannya. Mereka menempatkan hukum ciptaan
manusia sebagai aturan yang berlaku di negaranya.
Pemerintahan Dar al-harb bentuk ketiga ini membiarkan orang
orang Islam menjalankan hukum Islam yang berhubungan
dengan ibadah dan menjalankan sebagai hukum Islam yang
berhubungan dengan masalah al-ahwal al-syakhshiyah
(pernikahan, perceraian, dan keharusan. Ibn Taimiyah (w. 729
H/1326 M) mengidentifikasi negara ini dengan dar al-fasiq,
karena dipimpin dan didiami oleh orang-orang fasik.
Untuk contoh negara ini, agaknya adalah Turki yang dipimpin
oleh Mustafa Kemal Pasha sejak melakukan sekularisasi pada
1924. Sejak kejatuhan khilafah Usmani pada tahun tersebut,
Turki mencampakkan agama (Islam) dari pemerintahannya.
Islam tidak boleh ikut campur mengatur kenegaraan mereka.
Bahkan sampai sekarang, didukung oleh militer, Turki
berusaha mencegah masuknya kembali agama ke dalam sistem
politik mereka.

3. Wilayah atau negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah


ini dikuasai oleh pemerintah non muslim dan tidak memberlakukan
hukum Islam. Penduduk muslim yang menetap di sini tidak mendapat
kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam
bentuk ini terbagi dua:
a. Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyun dan tidak terikat
perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara lain.
b. Dar al-muwada’ah atau dar al-muhadanah, yaitu negara yang
dikuasai oleh non muslim dan mempunyai ikatan kerja sama

x
atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. mereka tidak
tunduk ke dalam kekuasaan Islam dan berdaulat penuh terhadap
negaranya, namun telah mengadakan perjanjian damai dengan
negara Islam. Perjanjian ini bisa terjadi sejak semula, atau
sebagai alternatif bagi mereka untuk menghindarkan terjadinya
peperangan antara mereka dengan umat Islam. Kategori ini bisa
disebut juga dengan dar al-shulh atau dar al-aman.
Sebagaimana halnya dar al-harb di atas, dalam dar al-islam juga
terdapat beberapa perbedaan. Hal ini didasarkan pada tingkat kesucian wilayah
dan hak non-Muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam tersebut. Dalam
hal ini ada tiga bagian:
1. Kota Mekkah dan sekitarnya, jumhur ulama juga memasukkan kota
Madinah dalam kelompok ini. Di kedua wilayah ini orang-orang non-
muslim, baik ahl al-dzummi maupun musta’min, tidak boleh menetap.
Bahkan untuk kita Mekkah, di sekitar al-Masjid al-Haram orang-orang
non-Muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Hal ini ditegaskan
sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an surat at-taubah, 9:28.
‫ۚ ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَّنَم ا اْلُم ْش ِر ُك ْو َن َنَج ٌس َفاَل َيْقَر ُبوا اْلَم ْس ِج َد اْلَحَر اَم َبْع َد َعاِم ِه ْم ٰه َذ ا‬

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik


itu adalah najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati al-Masjid
al-Haram setelah tahun ini.

Ayat ini menunjukkan larangan bagi orang musyrik untuk


mendekati al-Masjid al-Haram. Meskipun ayat ini hanya menyebutkan
al-Masjid al-Haram secara khusus, yang dimaksud adalah wilayah
Mekah dan sekitarnya yang disebut dengan Tanah Haram.
Berbeda dengan Mekah, orang-orang non muslim boleh
memasuki wilayah Madinah untuk tujuan tertentu, seperti urusan
perdagangan atau mengadakan perjanjian. Pembolehan ini didasarkan
pada sunnah nabi yang menerima utusan Nasrani Najran untuk
melakukan perundingan dengan umat Islam menyangkut kepentingan
bersama. Wilayah ini boleh dimasuki oleh non muslim.

xi
2. Wilayah Hijaz. Wilayah ini boleh dimasuki oleh non muslim dengan
mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Akan tetapi,
mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi batas maksimal
yang dibutuhkan untuk melanjutkan perjalanan (over stay), yaitu
selama tiga hari. Ketentuan ini berlaku berdasarkan keputusan
Khalifah Umar bin Khattab yang mengizinkan orang-orang Yahudi
tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang mereka.
Namun pada zaman modern ini, penerapan pembatasan ini
menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan hukum internasional
yang membolehkan suatu negara menempatkan korps diplomatiknya di
negara lain. Hal ini berbeda dengan mereka dan Madinah yang
dipandang sebagai wilayah suci bagi umat Islam dan diterima oleh
dunia internasional.
3. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya selain Mekah dan Madinah
serta Hijaz. Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad
dzimmah dengan non muslim lainnya, seperti musta’min dan harbiyun.
Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara
waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak.3

Perubahan Dar al-Islam dan dar al-harb


Berpijak pada unsur-unsur hukum yang berlaku dan pemegang
kekuasaan untuk menentukan sebuah negara disebut Dar al-Islam, maka bisa
saja terjadi perubahan dalam status Dar al-Islam menjadi Dar al-harb, atau
sebaliknya. Namun ulama berbeda pendapat tentang masalah ini.
Sebagian pengikut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa suatu negara
yang telah menjadi dar al-Islam tidak dapat berubah status menjadi Dar al-
harb. Pendapat ini diperkuat pula oleh Imam al-Nawawi. Menurutnya, Dar al-
Islam yang di dalamnya telah menetap umat Islam tetap dipandang sebagai
dar al-Islam, meskipun kemudian dikuasai oleh non-muslim. Berdasarkan
pendapat ini, suatu negara yang telah menerapkan hukum Islam dan dikuasai
oleh pemerintah muslim dalam waktu tertentu tetap dianggap sebagai dar al-
Islam selamanya.
3
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.258-
267
xii
Sejalan dengan perkembangan sejarah, pendapat ulama Syafi’iyah di
atas juga berkembang. Sebagian pengikut Mazhab Syafi’i merumuskan bahwa
Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-muslim tetap tidak berubah
status menjadi Dar al-harb apabila orang-orang Islam tidak dihalangi untuk
menjalankan syariat agama mereka. Bila penguasa non-muslim tersebut
menghalangi mereka melaksanakan ajaran Islam, dar al-Islam tersebut pun
berubah menjadi Dar al-harb.
Adapun Abu Yusuf, Ibn Qudamah (w. 620 H/1223 M), sebagian
pengikut Syi’ah Zaidiyah dan Mu’tazilah berpendirian bahwa dar al-Islam
dapat berubah menjadi dar al-harb apabila pemerintahannya dipegang oleh
non-Muslim dan di dalamnya tidak berlaku lagi hukum Islam. Untuk
memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan beberapa argumen sebagai
berikut:
1. Suatu negara dapat disebut dar al-Islam bila berlaku di dalamnya
hukum Islam dan penguasa negara tersebut memberi kebebasan kepada
umat Islam untuk melaksanakan agama mereka. Bila hal ini tidak
terwujud, maka negara tersebut dipandang sebagai dar al-harb.
2. Mayoritas fuqaha’ menyetujui perubahan dar al-harb menjadi dar al-
Islam dengan syarat diberlakukannya hukum Islam sebagai perundang-
undangan negara tersebut. Oleh sebab itu, status dar al-harb tidak
berubah selama mereka tidak memakai hukum Islam.
3. Pengelompokan negara kepada dar al-Islam dan dar al-harb yang
didasarkan pada pemegang kekuasaan mempunyai konsekuensi bahwa
pemerintahan Islam adalah dar al-Islam, meskipun sebelumnya
merupakan dar al-harb.

Pengikut mazhab Maliki dan sebagian pengikut mazhab Syafi’i


berpendapat bahwa dar al-Islam tidak dapat berubah menjadi dar al-harb
hanya karena hukum Islam tidak berlaku atau pemerintahannya tidak dipegang
oleh umat Islam. Menurut mereka, selama warga Muslim masih dapat
mempertahankan eksistensi mereka dan mereka dapat menjalankan sebagian
syariat Islam seperti shalat dan azan, maka negara tersebut masih tergolong
dar al-Islam.

xiii
Ibn Taimiyah mempertimbangkan agama yang dipeluk penduduk suatu
negara dalam menentukan identitas negara yang bersangkutan. Negara yang
ada umat Islam di dalamnya disebut dar al-Islam, sehingga dar al-Islam sulit
berubah menjadi dar al-harb. Sementara Abu Hanifah memberi kemungkinan
terjadinya perubahan dar al-Islam menjadi dar al-harb apabila terdapat hal
berikut ini: (1) yang berlaku di negara tersebut bukan lagi hukum Islam; (2)
negara Islam yang berdampingan batas yang jelas dengan dar al-harb,
sedangkan antara kedua negara bertetangga tersebut tidak pula dibatasi oleh
dar al-Islam; dan (3) muslim atau ahl al-dzimmi yang menetap di sana tidak
lagi merasa aman melaksanakan kegiatan keagamaan. Sebagaimana diuraikan
di atas, Abu Hanifah menekankan rasa aman untuk menentukan identitas dar
al-Islam. Karena itu, apabila tiga unsur ini tidak terwujud, maka negara
tersebut tidak termasuk ke dalam kategori dar al-Islam. 4

C. Pembagian Penduduk dalam Islam


Islam adalah negara yang mementingkan kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ajarannya serta aktual
bagi manusia di segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya merupakan
rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam memperlakukan
manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit, dan
agamanya. Berdasarkan prinsip ini, maka Islam membuat berbagai ketentuan
yang mengatur hubungan antar manusia, baik sesama muslim sendiri maupun
non muslim.
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang,
mempertimbangkan adanya negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada
atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih
membagi kewarganegaraan seseorang muslim dan non muslim. Orang non
muslim terdiri dari al-dzimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-
Islam terdiri dari, Muslim, al-dzimmi dan musta’min, sedangkan penduduk
Dar al-harb terdiri dari Muslim dan harbiyun.

a. Muslim

4
Ibid., hlm. 267-269
xiv
Istilah “muslim” merupakan nama yang diberikan bagi orang yang
menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati
kebenaran agama Islam dalam akidah, syariat dan akhlak sebagai
aturannya. Di samping itu, ia menentang segala bentuk penyimpangan
yang dapat mengubah identitas seseorang dari Muslim. Kata “muslim
berasal dari bahasa Arab, yang berarti “orang yang selamat”. Ini seakar
dengan kata “Islam” yang berarti menyelamatkan. Kedua istilah ini banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Gelar “muslim” sendiri
langsung diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana dalam surah al-
Hajj, 22:78.

‫ من قبل وفي هذا ليكون الرسول هو سمنكم المسلمين شهيدا عليكم وتكونوا شهداء على الناس‬.... –
“... Dia yang menamakan kamu “Muslim” semenjak masa lalu. Hal ini
dimaksudkan supaya Rasul menjadi saksi atas kamu dan kamu menjadi
saksi atas sekalian manusia....”

Seseorang dapat disebut muslim tidak hanya sekadar menganut dan


meyakini Islam sebagai agamanya. Lebih dari itu, keyakinan tersebut
harus dibuktikan dalam perbuatan konkret. Dalam hal ini, seorang Muslim
minimal memenuhi sejumlah syarat sebagaimana diterangkan dalam sabda
Rasulullah:

‫ من شهد ان ال اله اال هللا واستقبل قبلتنا‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن أنس بن مالك قال‬
‫وصلى وأكل ذبيحتنا فذالك المسلم الذي له ذمة وذمةهللا ورسوله‬.

Dari Anas ibn Malik, ia berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda, “Siapa
yang mengaku tiada Tuhan selain Allah dan menghadap kiblat yang kita
yakini, lalu melakukan shalat serta memakan sembelihan kita, maka orang
tersebut adalah muslim yang mendapat jaminan Allah dan Nabi-Nya.”
(HR. Bukhari).

Hadis di atas menginformasikan bahwa seseorang yang disebut


Muslim minimal memenuhi unsur-unsur mengucap kalimat syahadat,
melaksanakan shalat dan memakan sembelihan yang dilakukan secara
islami.

xv
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara
satu dengan yang lain. Pertama, mereka yang menetap di dar al-Islam dan
mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam.
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap
sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen
kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua, Muslim yang
menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan hijrah ke dar al-Islam.
Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan
Muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap
terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai
penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam.
Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.

b. Ahl al-Dzimmi
Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk tarkib
idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata
“ahl”, secara bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Adapun kata
“dzimmi/dzimmah” berarti janji, jaminan, atau keamanan. Seseorang yang
mempunyai janji disebut rajulun dzamiyyun. Dzimmah dalam arti janji
dapat dilihat pada surah at-Taubah, 9-10:

‫ال يرقبون في مؤمن إال وال ذمة وأوليك هم المعتدون‬

“Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang


mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas.”
Dalam pandangan al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), ahl al-dzimmi
Adalah setiap ahli kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu
berperang, dan membayar jizyah.26 Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan
definisi yang hampir sama dengan al-Ghazali bahwa al-dzimmi adalah orang
kafir yang merdeka, baligh, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam,
mampu membayar jizyah dan tidak gila. Al-Ungari (w. 1383 H) mempertegas
pendapat di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-dzimmi adalah orang
non-Muslim yang menetap di dar al-Islam dengan membayar jizyah.

xvi
Dari ketiga definisi di atas, maka unsur penting untuk menentukan
status seseorang sebagai dzimmi adalah non-Muslim, baligh, berakal, bukan
budak, laki-laki, tinggal di dar al-Islam, dan mampu membayar jizyah kepada
pemerintah Islam. Status dzimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian
(akad dzimmah) dengan pemerintah Islam. Akad tersebut dibenarkan dalam
Islam, karena membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini,
ahl al-dzimmi dapat hidup berdampingan dengan umat Islam, sehingga secara
langsung mereka menyaksikan ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya.
Dengan demikian, mereka akan tertarik dengan cara-cara kehidupan umat
Islam. Selain itu, dari segi materi, keberadaan mereka di dar al-Islam dapat
menjadi sumber keuangan negara, karena mereka diwajibkan membayar pajak
(jizyah).
Pemerintah Islam boleh melakukan perjanjian akad dzimmah dengan
non-Muslim yang ingin menetap di dar al-Islam. Namun dalam menentukan
non-Muslim mana yang termasuk ahl al-dzimmah ini, ulama berbeda
pendapat. Menurut kesepakatan ulama, ahl al-dzimmi adalah mereka yang
termasuk ke dalam kategori ahl al-kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani serta
Majusi. Penganut agama ini dapat diterima untuk mengadakan perjanjian
dengan pemerintah Islam. Penganut Majusi dikelompokkan kepada ahl al-
kitab lainnya, meskipun kemudian mereka tinggalkan. Jadi pada prinsipnya,
penganut Majusi bukan ahl al-kitab. Kewajiban jizyah yang dibebankan
kepada mereka adalah berdasarkan praktik Nabi SAW.

c. Musta’min
Secara bahasa, kata “musta’min” merupakan bentuk isim fail (pelaku)
dari kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana pengertian
“meminta jaminan keamanan, dan orang yang meminta yang berarti aman.
Dengan demikian, kata ista’mana mengandung jaminan tersebut disebut
musta’min. Menurut pengertian ahli Fiqh. Musta’min adalah orang yang
memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah
setempat, baik ia Muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki (w.1230 H)
antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid
adalah orang non-Muslim yang memasuki wilayah dar al-harb. Musta’min

xvii
adalah orang yang memasuki wilayah dar al-Islam sebagai utusan perdamaian,
anggota korps diplomatik, pedagang/investor, atau orang-orang yang
berhijrah. Mereka yang menetap di dar al-Islam dapat berubah status menjadi
dzimmi melalui perjanjian yang dibuat dengan pemerintah Islam.
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan
ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan
jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka
hanya menetap sementara di tempat tersebut dan kembali ke dar al-Islam
sebelum izinnya habis. Status yang bersangkutan masih tetap Muslim, selama
ia tidak murtad. Bila murtad, maka ia menjadi harbiyun. Sementara itu, ahl al-
dzimmi yang menetap lama di dar al-harb berubah status menjadi harbiyun.
Ajaran Islam membolehkan dar al-Islam menerima permohonan non-
Muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surah At-Taubah, 9: 6:
‫وإن أحد من المشركين استجارك فأجره حتى يس>مع كلم هللا ثم أبلغ>>ه مأمنه ذل>ك بأنهم ق>>وم ال‬
‫يعلمو‬

“Jika salah seorang di antara kaum musyrik itu meminta suaka kepadamu,
maka lindungilah dia supaya ia sempat mendengarkan firman Allah. Setelah
itu antarkanlah ia ke tempat yang aman di mana ia bebas menganut
kepercayaannya. Yang demikian itu adalah karena mereka kaum yang tidak
mengetahui.”

Berdasarkan ayat ini, permohonan orang musyrik harbiyun untuk


mendapatkan jaminan keamanan di dar al-Islam harus dikabulkan. Keamanan
ini meliputi keselamatan diri, harta, transaksinya, bahkan keluarga mereka
juga. Ia tidak hanya dibolehkan menetap di dar al-Islam, tetapi juga
melakukan hubungan muamalah dengan umat Islam serta saling menolong.
Dengan jaminan ini, mereka tidak dibebankan membayar jizyah.
Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai dengan masa yang
ditetapkan dalam perjanjian dengan dar al-Islam. Namun mazhab Syafi’i
membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan, selama musta’min tersebut
bukan musafir dan utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi mereka terkait
dengan berakhirnya kepentingan atau urusan musta’min itu sendiri.
Pembatasan masa aman ini dikhususkan hanya bagi laki-laki, sedangkan bagi
perempuan tidak dikaitkan dengan waktu tertentu.
xviii
Menurut mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu
dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan. Adapun
keamanan yang dibatasi waktu tertentu berakhir sesuai masanya selama
perjanjian tersebut tidak dibatalkan. Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah
membatasi masa aman maksimal selama setahun. Bila lewat masa setahun,
maka si musta’min wajib membayar jizyah kepada pemerintah Islam,
sebagaimana halnya ahl al-dzimmi. Sementara mazhab Hanbali memberi
batasan waktu yang lebih luas dan lama, yaitu empat tahun. Ahmad Ibn
Hanbal merujuk pendapatnya berdasarkan pada kenyataan sejarah bahwa para
anggota korps diplomatik memperoleh jaminan keamanan selama tiga hingga
empat tahun.

d. Harbiyun
Kata “harbiyun” berasal dari harb, berarti “perang”. Kata ini
digunakan untuk pengertian warga negara dar al-harb yang tidak menganut
agama Islam dan antara negara Islam dengan dar al-harb tersebut tidak
terdapat hubungan diplomatik.
Menurut Syi’ah Imamiyah, istilah harbiyun dipakai untuk non-Muslim
selain ahl al-kitab. Pandangan ini berawal dari asumsi bahwa antara Islam
dengan ahl al-kitab memiliki kesamaan, yaitu sama-sama agama samawi yang
berasal dari Allah. Orang-orang harbiyun tidak terjamin keamanannya bila
memasuki dar al-Islam, karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah
berdasarkan salah satu dari dua hal, yaitu beriman memeluk agama Islam, atau
melalui perjanjian damai.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa warga negara dar al-
Islam terdiri dari umat Islam, ahl al-dzimmi dan musta’min. Adapun warga
negara dâr al-harb terdiri dari non-Muslim yang disebut harbiyun, Muslim
sendiri dan musta’min. 5

5
Ibid., hlm. 269-278
xix
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Siyasah Dauliyah bermakna kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur Negara


dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi,
tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga Negara asing. Selain
itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal
balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishah. Dasar-dasar
Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah : kesatuan umat manusia, al-‘adalah,
musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah,
dan akhlakul karimah. Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu
hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan Internasional
dalam waktu perang.
2. Jumhur Ulama’ membagi Negara menjadi dua, yaitu Dar Al-Islam dan Dar Al-
Harb. Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk
menetap di wilayah Dar Al-Islam, maka Dar Al-Islam terbagi dalam 3 bagian,
yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan Dar Al-Harb
dibedakan menjadi 3, yaitu: Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur
pokok Dar Al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok
Dar Al-Islam, dan Negara yang dikategorikan sebagai Dar Al-Harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat
tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan
Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi
muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari Ahl Al-Zimmi,
Musta’min, dan Harbiyun. Penduduk Dar Al-Islam terdiri dari muslim, ahli al-
zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim
dan harbiyun

xx
B. Kritik dan Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca sangat diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga penulis bisa terus menghasilkan karya
tulis yang bermanfaat untuk banyak orang.

xxi
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli. (2003). Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu


Syariah. Jakarta: Kencana.
Hilal, Fatmawati. (2015). Fikih Siyasah. Makassar: Pustaka Almaida.
Iqbal, Muhammad. (2014). Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
Kencana.

xxii
xxiii

Anda mungkin juga menyukai