Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Fiqh Siyasah Maswir, S.Ag., M.H

SIYASAH DAULIYAH

Disusun Oleh :
Nia Khusnul Mardiyah : 12020127269
Yulanda Putra Handika : 12020117375

PROGRAM S1

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Puji
bagi Allah yang telah memberikan taufik dan hidayahnya. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada suri teladan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya yang membawa kebenaran bagi kita semua.

Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada dosen Pengampu yakni Bapak
Maswir, S.Ag., M.H yang telah membimbing serta mengajarkan kami, dan mendukung
kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “Siyasah Dauliyah” dan juga terima
kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami
sehingga terselesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa saya ucapkan, sebagai wujud rasa syukur dengan
tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi selama penyusunan
makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik secara moril maupun materiil,
terutama kepada Dosen Pengampu dan teman-teman sekalian.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................2

A. Pengertian Siyasah Dauliyah........................................................................2


B. Dasar-Dasar Hukum Internasional Dalam Islam.........................................2
C. Pembagian Negara Dalam Islam..................................................................5
D. Hubungan Diplomatik Antar Negara...........................................................8

BAB IV PENUTUP..............................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang.
Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk
mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas,
ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing.
Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal
balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash Atau dapat dikatakan
yang mengatur hubungan antar negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka (Library
Research), menggunakan data sekunder (secondary data) dari bahan-bahan pustaka
yang telah tersedia di perpustakaan atau tempat lainnya serta bahan-bahan atau
sumber penelitian yang bisa diakses melalui internet antara lain jurnal ilmiah, surat
kabar, portal berita, hasil penelitian dari lembaga riset dan dokumen-dokumen.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Siyasah Dauliyah?
2. Apa Dasar-Dasar Hukum Internasional Dalam Islam?
3. Bagaimana Pembagian Negara Dalam Islam?
4. Hubungan Diplomatik Antar Negara?
C. Tujuan
1. Memahami pengertian Siyasah Dauliyah
2. Mengetahui Dasar-Dasar Hukum Internasional Dalam Islam
3. Mengetahui Pembagian Negara Dalam Islam
4. Mengetahui Diplomatik Antar Negara

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Siyasah Dauliyah


Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang.
Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk
mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas,
ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing.
Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal
balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan
yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).1

B. Dasar-Dasar Hukum Internasional Dalam Islam


Hubungan international dalam islam didasarkan pada sumber-sumber
normative tertulis dan sumber-sumber praktis. Yang pernah diterapkan umat islam
dalam sejarah. Sumber-sumber normative berasal dari Al-Qurran dan Hadist
Rasulullah Saw. Dari kedua sumber ini kemudian ulama menuangkanya kedalam
kajian Fiqh Al-Syiar wa al-jihad (hukum international tentang damai dan perang).
Pada masa-masa selanjutnya kemudian banyak ulama menulis kitab-kitab yang
mengkaji hubungan international ini. Maka lahirlah istilah-istilah seperti al-jihad,
alghanimah dan al maghazi2 . Sedangkan sumber-sumber praktis adalah aplikasi
sumbersumber normative tersebut oleh pemerintah di negara-negara islam dalam
berhubungan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dirujuk langsung oleh
kebijakan-kebijakan politik Nabi Muhammad Saw. Terhadap negara-negara sahabat
maupun musuh, kebijakan al-khulafa‟ al-Rasyidin dan para pelanjut mereka.

Prinsip Dasar Al-Qur’an dalam hubungan international Hubungan

a. kejasama yang baik dan adil.


‫هّٰللا‬
ِ َ‫وْ ُك ْم ِّم ْن ِدي‬BBBُ‫ ِّد ْي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرج‬BBB‫اتِلُوْ ُك ْم فِى ال‬BBBَ‫اَل يَ ْن ٰهى ُك ُم ُ ع َِن الَّ ِذ ْينَ لَ ْم يُق‬
‫م اَ ْن‬Bْ ‫ار ُك‬BBB
‫هّٰللا‬
ِ ‫ اِلَ ْي ِه ۗ ْم اِ َّن َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس‬B‫م َوتُ ْق ِسطُ ْٓوا‬Bُْ‫تَبَرُّ وْ ه‬
َ‫طيْن‬
1
Fatabiruu.blogspot.com
2
Syarifuddin Pirzada, “Islam and international Law, “ “dalam Ataf Gauhar, et. Al, The Challenge of Islam,
(London: Islamic Caouncil of Europe,1978), hal 198
2
Artinya :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil “(Qs. AlMumtahanah 60:8).
‫ ۚ اِ َّن‬B‫ا َرفُوْ ا‬BBB‫ل لِتَ َع‬Bَ ‫عُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى‬BBB‫ َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُش‬B‫ر َّواُ ْن ٰثى‬BBB
ٍ ‫ا النَّاسُ اِنَّا خَ لَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك‬BBBَ‫ٰيٓاَيُّه‬
‫اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬
Artinya :
“Wahai manausia, sesungguhnya kami menciptakan kamu terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Dan menjadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa untuk kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu adalah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui lagi maha mengenal” (Al-Hujarat 49.13).
b. Mengutamakan perdamaian
Dalam peraturan islam juga erat ketegasan yang tidak boleh dilanggar,
yakni perintah untuk memilih perdamaian jika orang kafir itu tabiatnya
cenderung untuk perdamaian. Hal ini jelas terdapat didalam Al-Qurran.
Didalam surat Al hujarat.
 ‫ل َعلَى هّٰللا ِ ۗاِنَّهٗ ه َُو ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِ ْي ُم‬Bْ ‫َواِ ْن َجنَحُوْ ا لِلس َّْل ِم فَاجْ نَحْ لَهَا َوت ََو َّك‬
Artinya:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Anfal, 8.61).
c. Memperkuat kewaspadaan dalam suasana damai
Islam juga telah memprediksi mengenai tipu daya orang-orang kafir.
Agar meski dalam suasana damai, kewaspadaan harus tetap ada karena dalam
sejarah telah terbukti bahawa orang-orang kafir, yahudi dan nashrani tidak
akan puas sebelum kita orang-orang islam mengikuti millah mereka.
Mengenai hal ini diterangkan didalam Al-Qurran Surat Al-Anfal-62.
َ‫ك بِنَصْ ِر ٖه َوبِ ْال ُمْؤ ِمنِ ْي ۙن‬ ْٓ ‫ك فَاِ َّن َح ْسبَكَ هّٰللا ُ ۗهُ َو الَّ ِذ‬
َ ‫ي اَيَّ َد‬ َ ْ‫ اَ ْن ي َّْخ َد ُعو‬B‫َواِ ْن ي ُِّر ْيد ُْٓوا‬
Artinya :
3
“Jika mereka ingin menipumu maka cukuplah Allah menjadi
pelindungmu. Dia yang memperkuatmu dengan pertolonganNya. Dan dengan
orang mukmin” (QS. Al-Anfal. 8:62).
d. Peperangan dizinkan hanyalah kalau terpaksa dan untuk tujuan defensive
bukan opensif
Mengenai hal ini Allah menjelaskan di dalam Al-Qurran :
٣٩ۙ ‫ُأ ِذنَ لِلَّ ِذ ْينَ يُقَاتَلُوْ نَ بَِأنَّهُ ْم ظُلِ ُموْ ۗا َوِإ َّن هّٰللا َ ع َٰلى نَصْ ِر ِه ْم لَقَ ِد ْي ٌر‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫م‬Bُْ‫ه‬B‫ْض‬
َ ‫اس بَع‬ َ َّ‫ ُع ِ الن‬B‫وْ اَل َد ْف‬BBَ‫ا ۗ ُ َول‬BBَ‫وْ ا َربُّن‬BBُ‫ق ِإاَّل َأ ْن يَّقُوْ ل‬ ٍّ ‫ار ِه ْم بِ َغي ِْر َح‬ ‫ُأ‬
ِ َ‫الَّ ِذ ْينَ ْخ ِرجُوْ ا ِم ْن ِدي‬
‫ َر َّن هّٰللا ُ َم ْن‬B ‫ص‬
ُ ‫ت َّو َم ٰس ِج ُد ي ُْذ َك ُر فِ ْيهَا ا ْس ُم هّٰللا ِ َكثِ ْير ًۗا َولَيَ ْن‬
Bٌ ‫صلَ ٰو‬
َ ‫ع َوبِيَ ٌع َّو‬Bُ ‫ص َوا ِم‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ْض لَّهُ ِّد َم‬
ٍ ‫بِبَع‬
٤٠ ‫َز ْي ٌز‬ ‫يَّ ْن ُ ۗ هّٰللا‬
ِ ‫صر ُٗه ِإ َّن َ لَقَ ِويٌّ ع‬
“Di izinkan bagi orang-orang yang diserang (teraniaya) untuk membela diri.
Sesungguhnya Allah maha kuasa untuk menolong mereka. (yaitu) orang-
orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar,
hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah." Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.” (Qs. Al-Hajj 22:39-40).
e. Mengajak orang lain kepada islam dengan cara yang baik dan bijaksana. Jika
jika mereka berbuat jahat balaslah kejahatan mereka dengan yang setimpal,
tidak boleh berlebihan.
f. Tidak boleh memaksakan agama kepada orang lain.
g. Menghormati fakta-fakta perjanjian yang telah di tandatangani.

Beberapa Tuntunan Nabi dalam Hubungan internasional

Dalam hubungan dimasa perang, Nabi memberi tuntunan kepada panglima


perang untuk memperhatikan etika sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim berikut ini:

4
1. Perang dilandasi oleh rasa takwa kepada Allah, bukan tujuan-tujuan lain
yang bersifat duniawi.
2. Yang diperangi adalah orang-orang kafir yang memushi islam.
3. Jangan menggelapkan rampasan perang
4. Jangan berkhianat, termasuk lari dari perang, karena hal ini merupakan
dosa besar.
5. Jangn membunuh secara kejam,
6. Langan membunuh anak-anak termasuk didalamnya orang tua jompo.
7. Terahadap orang yang belum memeluk islam dan tidak memusuhi islam,
membayar jizyah atau diperangi.

Selain itu ada lagi etika yang disampaikan oleh khalifah Abu Bakr kepada
panglikma Usahamah ibn Zaid, dan tentara islam yang akan berperang melawan tentara
romawi. Pesan itu adalah; 1. Jangan bekhianat, jangan korupsi, 3. Jangan mengecoh, 4.
Jangan menganiaya 5. Jangan mem6 bunuh anak-anak, orang tua jompo dan perempuan,
6. Jangan menebang atau membakar kebun kurma, 7. Jangan menebang pohon yang
sedang berbuah. 8. Jangan menyembelih binatang ternak. Jangan membakar rumah
penduduk, 9. Jangan mengganggu orang yang sedang beribadah di gereja.10. kalau
memakan sesuatu sebutlah nama Allah.

Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia,


al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah,
dan akhlakul karimah. Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan
Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang3

Demikianlah beberapa dasar atau perinsip ajaran islam dalam mengatur hubungan
internasional, pada masa damai maupun pada masa perang. Adapaun sumber-sumber
hukum yang biasa yaitu sumber yang telah berlaku dalam kewajaran adalah sumber yang
berasal dari fatwa-fatwa ulama. Maupun ucapan dan pendapat para khalifah.dalam
menafsirkan dan melaksanakan hukum internasional.4

C. Pembagian Negara Dalam Islam

3
Prof. H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 122-133
4
Pirzada, Ibid.., hal.199-200
5
Berbeda dengan syariat Nabi-nabi sebelumnya, yang bersifat lokal dan temporal,
syariat islam dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Bersifat international dan kekal,
hingga akhir zaman. Dengan kata lain syariat islam syariat islam bersifat universal
melintasi batas-batas ruang dan waktu. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Al-
quraan:
‫ض َولَهُ ْال َح ْم ُد فِى ااْل ٰ ِخ َر ۗ ِة َوه َُو ْال َح ِك ْي ُم ْالخَ بِ ْي ُر‬ ‫هّٰلِل‬
ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد ِ الَّ ِذيْ لَهٗ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
ِ ْ‫ت َو َما فِى ااْل َر‬
Artinya : “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di
bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui” (QS. Saba‟, 34:1)
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan
Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan
pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi
muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan
harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min,
sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu
dengan yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan
mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam.
Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara
waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam
serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tinggal menetap di
dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status
mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim
lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara.
Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun,
karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta
benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut
demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan

6
Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di
bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka
(orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim
berdasarkan akad dzimmah. Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam
warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk
membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama
mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan
perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta
tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-
persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu
dalam Surat At Taubah ayat 29. Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-
zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di
dar al-Islam dan mampu membayar jizyah. Yang dikatakan non-muslim
adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang
dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih
Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu
Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-
orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan
Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang
artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah
masuk Islam.
c.  Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima
orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali,
Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan
Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-
Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka.
Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah
orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan
mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim

7
al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari
orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka
sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah
lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia
muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad
Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid
mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang
memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari
pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar
al-Harb. Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian
jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh
melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut
tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan
sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir
sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal
selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan
paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam
perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau
musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min. Ditinjau dari
aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman,
artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan
atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah
berperang/memerangi kaum Muslim.
D. Diplomatik Antar Negara
Sesuai dengan namanya sebagai agama damai dan sejahtera, islam lebih
mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan Negara mana saja. Islam
diturunkan sebagai rahmatan lilaalamin. Islam mengajarkan kepada nikmat islam,

8
bahwa landasan hubungan antar Negara adalah perdamaian. Dan melalui jalinan
kerja sama dengan berbagai Negara, umat islam atau dar Al-Islam diharapkan dapat
menampilkan sosok islam yang simpatik dan sejuk sehingga menarik pihak lain
untuk menerima dengan kesadaran sendiri.
Dalam Negara madinah Rasulullah SAW juga melakukan kerjasama dengan
berbagai negara sahabat. Kerjasama ini deperkuat dengan hubungan diplomatik
dengan negara tersebut. Negara sahabat yang memiliki hubungan diplomatik dengan
Negara Dar al-Islam dinamai oleh ulama Syafi‟iyyah dengan Dar al-Ahd atau dar as-
Shulh.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur
negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas,
ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara
asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama,
akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash.
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia,
al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan,
hurriyah, dan akhlakul karimah. Hubungan Internasional dibagi menjadi dua
yaitu hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional
dalam waktu perang.
2. Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam dan dar al-
harb.Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk
menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian,
yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb
dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur
pokok dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar
al-Islam, dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat
tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan
Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi
muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi,
musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-
zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim
dan harbiyun.
4. Landasan hubungan antar Negara adalah perdamaian. Dan melalui jalinan
kerja sama dengan berbagai Negara, umat islam atau dar Al-Islam diharapkan
dapat menampilkan sosok islam yang simpatik dan sejuk sehingga menarik
pihak lain untuk menerima dengan kesadaran sendiri. Negara sahabat yang
memiliki hubungan diplomatik dengan Negara Dar al-Islam dinamai oleh
ulama Syafi‟iyyah dengan Dar al-Ahd atau dar as-Shulh.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fatabiruu.blogspot.com

Pirzada, Syarifuddin. 1978,“Islam and international Law, “dalam Ataf Gauhar, et. Al, The
Challenge of Islam, (London: Islamic Caouncil of Europe)

Prof. H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah.

11

Anda mungkin juga menyukai