Anda di halaman 1dari 130

http://pustaka-indo.blogspot.

com
Demokrasi
Madinah
Model Demokrasi
Cara Rasulullah
http://pustaka-indo.blogspot.com

i
Demokrasi Madinah
Model Demokrasi Cara Rasulullah

ISBN 979-3210-12-5
Diterbitkan oleh Penerbit Republika
Jl.Warung Buncit Raya No.37, Jakarta, 12510.
Telp.7803747
Cetakan I, Maret 2003

Editor
Mohammad Shoelhi

Desain dan Tata Letak:


Kumara Dewatasari
http://pustaka-indo.blogspot.com

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved

ii
Daftar Isi

Pengantar Penerbit ............................................... v


Pengantar Editor ................................................. ix
1 Piagam Madinah,
Konstitusi Pertama di Dunia ....................... 1
1 Perspektif HAM dalam Piagam Madinah
dan Konteks HAM Masa Kini ................... 15
1 Demokrasi dalam Piagam Madinah ......... 2 7
1 Menata Harmoni dalam Perbedaan .......... 35
1 Perdamaian di Bawah Piagam Madinah ... 43
1 Piagam Madinah Menjamin Kebebasan
Beragama ..................................................... 53
1 Mereka Meneruskan Amanat Piagam
Madinah ....................................................... 61
1 Perspektif Syar’i dan Yuridis Antara Piagam
http://pustaka-indo.blogspot.com

Madinah dan Piagam Jakarta ..................... 71


1 Upaya Mewujudkan Konstitusi yang Adil
dan Demokratis ........................................... 87
Lampiran 1 Teks Piagam Madinah .................. 9 9
Lampiran 2 Teks Piagam Jakarta .................... 111

iii
http://pustaka-indo.blogspot.com

iv
Pengantar Penerbit

U
mat Islam boleh berbangga karena du­nia
pertama kali mengenal undang-un­dang
dasar (konstitusi) tertulis dari Du­nia
Islam. Konstitusi tersebut dirancang oleh pe­
negak Islam, Muhammad Rasulullah, dan di­
kenal luas sebagai Piagam Madinah. Semenjak
itu hingga pada zaman modern sekarang,
substansi Piagam Madinah telah menjadi spirit
bagi pen­tingnya keberadaan konstitusi sebuah
negara.
Keberadaan Piagam Madinah yang
monumental itu telah diakui para ahli sejarah
baik dari Barat maupun dari Timur. Sejarawan
Mont­gomery Watt menamainya The Consti­tu­
tion of Medina, R.A. Nicholson menyebutnya
Char­ter, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai
http://pustaka-indo.blogspot.com

Agreement, Zainal Abidin Ahmad sebagai


Piagam dan Ma­jid Khaduri menamainya Treaty.
Piagam Madinah telah menjadi bukti bah­
wa sebuah tatanan negara atau tatanan hu­bung­

v
an antar-kelompok masyarakat dalam ting­katan
apapun membutuhkan adanya sebuah per­
janjian atau kesepakatan atau konstitusi yang
harus dipatuhi bersama. Tanpa adanya kons­
titusi, kehidupan bernegara dan berma­ sya­
ra­
kat tidak akan teratur. Dalam realitas em­piris,
seperti dialami oleh sejumlah negara, bah­ wa
untuk mengatur kehidupan masyarakat yang
plural selama ini diakui tidak mudah. Na­mun,
menurut catatan sejarah, masyarakat Ma­di­nah
yang plural dengan berbagai keyakinan dan
tradisi yang heterogen itu dapat hidup aman,
tertib, teratur dan sejahtera di bawah na­ ung­
an Piagam Madinah. Lebih jauh lagi, pia­ gam
ini mengatur hak dan kewajiban serta sistem
hubungan antara pemimpin dan yang di­pim­pin,
antara negara dan rakyat, serta cara penyelesaian
konflik vertikal dan horisontal.
Sayang, wacana tentang Piagam Madinah se­
lama ini kurang banyak diminati, hal ini ba­rangkali
disebabkan oleh terbatasnya data dan in­formasi
tentang Piagam Madinah, selain pu­ bli­kasinya
juga sangat terbatas. Oleh karena itu, buku ini
diterbitkan sebagai upaya untuk memperbanyak
http://pustaka-indo.blogspot.com

informasi tentang Piagam Madinah agar


khalayak luas dapat mengetahuinya. Memang
dirasakan ada kebutuhan informasi semacam
ini, terlebih ketika masyarakat sibuk kembali

vi
mempersoalkan keberadaan konstitusi kita.
Informasi yang disajikan dalam buku ini
berasal dari artikel yang pernah diterbitkan oleh
harian umum Republika. Penyajian infor­ ma­­
si tersebut dalam bentuk buku dirasakan da­pat
memberikan manfaat lebih besar karena de­ngan
secara demikian masyarakat dapat memperoleh
pemahaman yang lebih utuh.
Semoga buku ini bermanfaat. Selamat
membaca.

Jakarta, medio Februari 2003


Penerbit
http://pustaka-indo.blogspot.com

vii
http://pustaka-indo.blogspot.com

viii
Pengantar Editor

S
udah jamak diketahui bahwa pada inti­
nya ajaran Islam melingkupi dua hal, yak­
ni hubung­an vertikal dengan Tuhan, dan
hubungan horisontal dengan sesama manusia
dan lingkungan hidup. Akan halnya dengan hu­
bungan horisontal, Islam mengajarkan umatnya
agar mengembangkan prinsip perbaikan kualitas
diri dan masyarakat sebagai upaya men­ capai
tingkat peradaban, harkat dan martabat yang
tinggi. Dan ini sudah dicontohkan Na­bi selama
memimpin masyarakat plural di Madinah.
Pembentukan masyarakat yang beper­adab­
an tinggi itulah yang terus diupayakan oleh
Na­bi dengan gigih selama di Madinah. Nabi
http://pustaka-indo.blogspot.com

mem­perhatikan bagaimana struktur sosial ma­


syarakat Madinah harus dibangun agar menjadi
masyarakat yang berpengaruh baik ke dalam
maupun ke luar. Mereka hidup bermasyarakat
dengan menggunakan aturan-aturan tertentu

ix
dan dilaksanakan dengan penuh kepatuhan.
Kepatuhan itu timbul secara sehat karena. Nabi
menggunakan ikatan ke­percayaan sebagai dasar
hubungan dan pe­merintahan masyarakat. Kasih
sayang dija­di­kan sebagai dasar hidup masyara­
kat. Itulah se­bab­nya, Nabi relatif tidak pernah
meng­ alami ke­ sulitan untuk melakukan kerja­
sama lintas golongan. Kerjasama semacam ini
dijadikan seba­gai sumber tenaga dan kekuatan
untuk mem­bangun kehidupan masa depan.
Ketertiban masyarakat diupayakan de­ngan
membentuk kesepakatan bersama yang di­ ke­
nal dengan Piagam Madinah. Piagam Ma­dinah
tidak lain merupakan dasar konsep Islam ten­
tang tata ketertiban pemerintahan dan ma­
syarakat, yang selanjutnya ikut memberikan
andil dalam pencapaian peradaban tertinggi
oleh umat Islam. Piagam ini dibuat dengan
menenmpatkan kepemimpinan di tangan umat
Islam, semangat kerjasama di tengah masyara­
kat plural, netralisasi konflik internal dan pe­
wu­judan peran dan citra kepemimpinan sebagai
pembela kebenaran dan keadilan.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Piagam Madinah yang telah menjadi tonggak


penting sejarah kehidupan bermasyarakat dan
bernegara ini pada intinya berisi sebuah tatanan
atau sistem keamanan sosial. Sistem tersebut
sekurangnya menentukan tiga hal. Pertama,

x
bahwa setiap kelompok masyarakat wa­ jib
menghindari dan meng­hukum tindak ke­jahatan.
Kedua, bahwa setiap ke­lompok harus ber­sedia
bersatu padu dalam ali­ansi untuk se­cara kompak
bekerjsaama da­ lam menghentikan dan jika
perlu menumpas tin­dak agresi dan tindak suap-
menyuap. Ketiga, bahwa anggota ma­ syarakat
harus bersedia menerima akibat dari se­ gala
perbuatan yang merugikan masyarakat. De­ngan
berfungsinya sistem keamanan sosial sedemikian
itu tata hu­bungan dengan lingkung­an internal
maupun eksternal dapat dikembangkan.
Di dalam lapangan kepemimpinan, Nabi
me­nempuh strategi yang bertumpu pada pengu­
a­­saan urusan dalam negeri, luar negeri, sumber
eko­nomi dan militer. Hal itu dapat dimengerti
ka­ re­
na urusan dalam negeri berkait dengan
peng­­aturan hubungan antarkelompok masyara­
kat; urusan luar negeri berkaitan dengan peng­
ambilan keputusan hubungan antarnegara da­
lam berbagai aspek kepentingan; urusan sumber
ekonomi berkait dengan kemampuan pembia­
yaan segala kebutuhan pemerintahan ma­sya­ra­
kat; sedangkan urusan militer berkait dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com

peng­uasaan komando dalam mengatasi ganggu­


an pemberontakan dari dalam atau penyerang­an
dari luar.

xi
Itulah strategi yang ditempuh Nabi ber­da­
sarkan jejak-jejak langkah perjuangan yang te­lah
dicontohkannya. Model kehidupan peme­ rin­
tahan masyarakat pada era Madinah itu me­ru­
pakan model ideal yang selalu didambakan ma­
syarakat mana pun. Persoalannya: mung­kin­kah
umat Islam pada masa kini dapat mewujudkan
tata masyarakat dengan model ideal seperti itu?
Yang jelas, tampaknya umat Islam hingga ki­
ni masih enggan becermin pada keteladanan
se­
jarah. Pengabaian keteladanan sejarah ini
diperburuk pula oleh kelemahan gerakan inte­
lektual di dunia Islam yang cenderung meng­
ikuti teori-teori yang berasal dari Barat secara
apa adanya.
Kecenderungan ini pada giliran selanjutnya
menimbul–kan ketidakmampuan mereka me­
nyetarafkan diri dengan kecenderungan pe­
mikiran dan kepentingan global, yang kini di­
pim­­pin Barat. Singkatnya, di alam pemikiran
pun umat Islam terkooptasi. Hanya beberapa
saja —untuk tidak mengatakan terlalu sedikit—
in­telektual Islam yang bersedia bekerja keras da­
lam ideasi dan sekaligus aksi untuk memperbaiki
http://pustaka-indo.blogspot.com

kualitas kepemimpinan dan keumatan. Mo­tivasi


untuk memikul tanggungjawab sosial ke­umatan
dalam seluruh aspek dan sektor ke­ hidupan
lebih banyak diselewengkan untuk men­ capai

xii
kepentingan sesaat ke–timbang untuk me­
raih
kebangkitan kembali Islam.
Mengingat demikian pentingnya babakan
era Madinah dan fungsi Piagam Madinah, buku
ini disusun sebagai upaya menyegarkan kembali
semangat Piagam Madinah di saat umat Islam
kini mengalami kerinduan akan hadirnya ke­pe­
mimpinan Islam di pentas dunia seperti di era
Ma­dinah. Konon, sejarah itu berputar.
Buku ini mengupas sisi kesejarahan ke­du­
dukan Piagam Madinah sebagai konstitusi ter­
tu­­lis pertama di dunia, yang adil, yang menga­
yomi seluruh kelompok masyarakat dan ber­
hasil membentuk karakter (character building)
masyarakat Madinah. Selain itu, buku ini men­
coba melakukan kajian perbandingan an­ tara
Piagam Madinah dan Piagam Jakarta baik da­
lam rumusannya maupun dalam kondisi so­sial
yang melatarbelakanginya. Ada yang me­ nga­
takan, ”Piagam Jakarta itu berwawasan Pia­gam
Madinah”.
Dalam era reformasi seperti sekarang ini,
fenomena tuntutan atau keinginan untuk me­
http://pustaka-indo.blogspot.com

lak­sanakan syari’at Islam dalam kehidpan ber­


masyarakat dan bernegara mencuat dan dianggap
sebagai hal yang sah-sah saja, dan bahkan se­
mestinya diapresiasi secara positif. Itulah se­
babnya, buku ini mengetengahkan sekilas urai­an

xiii
tentang upaya mewujudkan konstitusi yang adil
yang dipaparkan Dr. Hidayat Nur Wahid.
Tak kalah penting, perhatian pun diberi­
kan dalam buku ini terhadap isu-isu mutakhir
dalam hubungan in­ternasional, seperti isu hak
asasi manusia (HAM) dan demokrasi, yang tak
jarang diguna­kan oleh Barat sebagai instrumen
untuk mengebiri negara lemah dan megukuh­
kan hegemoni Barat itu sendiri. Perbedaan an­
tara HAM versi Barat dan versi Islam dijelaskan
da­lam buku ini untuk memberikan perspektif
da­lam pemakna­an penghormatan atas nilai-ni­lai
HAM dan ope­rasionalisasinya. Begitu juga hal­
nya dengan isu de­mokrasi. Semua tinjauan itu
tidak terlepas da­ri sudut pandang Piagam Ma­
dinah.
Belakangan ini tidak jarang terdengar
Islam dituding sebagai agama yang ”berwajah
buruk”, yang mengizinkan kekerasan, tidak to­
leran dan tidak mengakomodasi pluralitas, dan
sebagainya. Betulkah sedemikian buruk purwa­
rupa Islam? Padahal, seperti diuraikan dalam
bu­ku ini, bahwa sejak awal konsep kehidupan
http://pustaka-indo.blogspot.com

ber­­masyarakat dalam Islam lebih mengutama­


kan harmoni sosial. Model tatanan masyarakat
se­­demikian ini konon baru pertama kali di­per­
kenalkan ke dunia oleh Islam yang ditandai
de­ngan keberadaan Piagam Madinah. Dari pi­

xiv
agam ini dapat diketahui bahwa Islam ternyata
ada­lah agama perdamaian dan kesejahteraan.
Sisi perdamaian dan kesejahteraan dalam
Islam ini telah dibuktikan secara nyata dalam
operasionalisasi Piagam Madinah.
Kupasan tentang Piagam Madinah tentu­
nya luas sekali. Kendati demikian, buku ini di­
harapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi
se­
putar Piagam Madinah dalam batas-batas
me­madai. Semoga buku ini dapat memperkaya
khazanah wacana tentang Piagam Madinah.

Jakarta, Februari 2003

Mohammad Shoelhi
Editor
http://pustaka-indo.blogspot.com

xv
http://pustaka-indo.blogspot.com

xvi
Piagam Madinah,
Konstitusi Pertama di Dunia

H
ijrah Rasulullah dari Mekkah ke Ma­di­
nah, pada tahun ke-23 kenabian atau
622 Masehi, membuka era baru bagi Na­­
bi Muhammad saw dalam me–nyemaikan Islam.
Nama Madinah, yang digunakan untuk meng­­
ganti Yatsrib tidak sekadar berarti ‘kota’. Na­ma
itu punya pengertian lebih luas, yaitu ka­was­
an tempat menetap dan bermasyarakat mereka
yang memiliki tamaddun (peradaban dan bu­
da­ya), yang mencakup dawlah (negara) dan
hukumah (pemerintahan).
Di belakang kata Madinah, ditambahkan ka­
ta Mu–nawwarah atau Madinah al-Munaw­wa­
http://pustaka-indo.blogspot.com

rah. Artinya, negara dan pemerintahan yang di­


beri cahaya wahyu Ilahi, atau menurut istilah al-
Farabi, al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama).

1
Oleh karena itu, di Madinah selain bertugas
sebagai Rasul yang mengemban risalah Allah,
Na­bi Muhammad saw juga berperan se­ba­gai ke­
pala negara, yang warganegaranya ti­dak hanya
ter­diri dari kaum muslimin saja me­la­inkan juga
mu­syrikin, kaum Yahudi, Nasrani, ser­ta kabilah-
kabilahnya.
Untuk mempersatukan warganegara yang
majemuk itu, baik latar belakang sosio-kultural
maupun keagamaan, dipandang perlu adanya
su­atu perjanjian yang disepakati bersama. Atas
pertimbangan itu kemudian dibuat sebuah
perjanjian dan ditandatangani Nabi Mu­hammad
saw dalam kedudukannya sebagai Ra­ sulullah
dan pemimpin tertinggi sebuah negara. Per­
janjian itu disebut Piagam Madinah.
Untuk pertama kalinya, dalam piagam
itu di­sebutkan dasar-dasar masyarakat yang
partisipatif dan egaliter dengan ciri utama: peng­
akuan terhadap agama dan harta benda kaum
muslimin dan Yahudi serta unsur masyarakat
lainnya dengan kewajiban me­ wu­ jud­
kan per–
tahanan bersama.
http://pustaka-indo.blogspot.com

***

Jika naskah Piagam Madinah ini dikaji se­


cara lebih dalam, kita akan mendapat gambaran
tentang karakteristik ummah (masya­rakat) dan

2
ne­
gara Islam pada masa-masa awal kelahiran
dan perkembangannya. Karakteristik tersebut
meliputi:
a. Masyarakat pendukung piagam ini
ada­lah masyarakat majemuk, terdiri
atas berbagai ikatan keluarga besar,
suku dan agama. Seba­ gai­
mana di–
ketahui tribalisme (kesukuan) me­
me­gang peran penting dalam tata
hidup orang-orang Arab pra-Islam.
Ikatan darah merupakan ba­sis esensial
kelompok, yang identifikasinya berupa
kesetiaan paripurna pada suku dan
solidaritas kesukuan yang tak terbatas
(ashabiyah). Piagam Madinah tetap
mengakui eksistensinya, dan masing-
masing kepala suku dapat me­lan­jutkan
kepemimpinannya. Akan tetapi, dalam
hu­bungan antar-kelompok itu kemudian
di­
cip­takan suatu kepemimpinan baru
dengan Mu­ ham­ mad sebagai pe–
mimpinnya. Ia juga meng­­ hapuskan
kesetiaan sempit kepada suku dengan
kesetiaan kepada masyarakat yang lebih
http://pustaka-indo.blogspot.com

luas, dengan mengalihkan perhatian


sukuisme kepada pembangunan negara
baru, yang warganegaranya merdeka,
dan berdiri sendiri, bebas dari pengaruh

3
dan kekuasaan manusia lainnya (Pasal
1 Piagam Madinah). Adapun tali per–
satuannya adalah politik dalam rangka
mencapai cita-cita bersama (pasal 17, 23,
dan 42).
b. Masyarakat pendukung piagam ini
yang semula terpecah-belah dikelom–
pokkan menjadi dua (a) muslim dan
(b) non-muslim. Kelom­ pok pertama
adalah kaum muhajirin Quraisy, pa­
ra pengikut Nabi dari Makkah (Pasal
2), dan kabilah-kabilah Arab lainnya,
tiga dari Aws dan lima dari Khazraj,
yang kemudian dikenal dengan sebutan
Anshar (pasal 3-10). Ke­ lompok kedua
adalah sejumlah kabilah Ya­ hudi dan
pembantu-pembantunya (Pasal 25-35),
wa­lau ketiga kabilah Yahudi yang utama
- Banu Qainuqa, Banu Quraizhah dan
Banu Nadzir - ti­dak tercantum karena
ketiganya telah me­la­ku­kan desersi dan
dilikuidasi pada musim panas 627 M.
Jadi, kendati piagam ini ditandatangani
http://pustaka-indo.blogspot.com

se­ki­tar tahun pertama Hijriah (623 M)


sebelum ter­­jadinya perang Badar, namun
selama 10 ta­hun masa pertumbuhannya
telah mengalami beberapa penambahan
dan pengurangan, termasuk pada pasal

4
tentang orang-orang Yahudi yang ikut
menandatanganinya.
c. Semua orang mempunyai kedudukan
yang sama sebagai anggota masyarakat,
wajib sa­ling menghormati, dan wajib
bekerjasama an­ tara sesama mereka,
serta tidak seorang pun di­
per­
lakukan
secara buruk (Pasal 12, 16). Bahkan,
orang yang lemah sekali pun di antara
mereka harus dilindungi dan dibantu
(Pasal 11).
d. Negara mengakui, melindungi, dan
men­ja­min kekebasan menjalankan
ibadah dan aga­ma baik bagi orang-
orang muslim maupun non-muslim,
khususnya Yahudi (Pasal 25-33).
e. Setiap warganegara mempunyai ke­
du­duk­an yang sama di depan hukum
(Pasal 34, 40, 46). Demikian pula, hukum
harus ditegakkan dengan adil. Siapa
pun tidak boleh melindungi kejahatan,
apalagi berpihak kepada orang-orang
yang melakukannya. Demi tegaknya ke­
http://pustaka-indo.blogspot.com

adil­an dan kebenaran, siapa pun pelaku


keja­hat­­an harus dihukum (Pasal 13, 22,
36 dan 43).
f. Hukum adat dengan berpedoman
pada ke­
benaran dan keadilan, tetap

5
diberlakukan (Pasal 2, 10 dan 21).
g. Negara menganut asas pacta sun ser–
vanda (perjanjian harus dihormati) se–
lama perjanjian itu berlaku (Pasal 33, 46).
h. Semua warganegara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara.
Me­reka berkewajiban mempertahankan
negara de­ngan harta dan jiwa mereka,
dan mengusir setiap agresor yang meng–
ganggu stabilitas negara (Pa­sal 24, 36,
37, 38 dan 44). Demikian juga, tang­
gungjawab dalam melaksanakan tugas
dila­kukan bersama-sama (Pasal 18).
i. Perdamaian adalah tujuan utama. Na­
mun, pencapaiannya tidak boleh me–
ngorbankan kebenaran dan keadilan
(Pasal 45). Perdamaian an­ tara orang
mukmin bersifat tunggal. Apabila
ter­jadi peperangan di jalan Allah (fi
sabilillah), seorang mukmin tidak
dibenarkan mengadakan per­ damaian
secara terpisah dari mukmin yang lain.
j. Sitem pemerintahan adalah desentrali­
http://pustaka-indo.blogspot.com

sa­
si dengan Yatsrib sebagai pusatnya
(Pasal 39). Ma­­salah internal kelompok
diselesaikan kelompok masing-masing.
Namun, jika masalahnya me­ nyangkut
kepentingan kelompok lain, penye­ le­

6
saiannya haruslah diserah–kan kepada
Mu­ ham­
mad sebagai pemegang pucuk
pimpinan ne­ gara yang merupakan
pemutus terakhir (Pasal 23 dan 42).
***

Muhammad ibn Ishaq, lahir di Madinah


pada 85 H (704 M), dan wafat di Baghdad pada
151 H (768 M), telah merekam Piagam Madinah
dalam Sirah Rasul Allah. Buku yang sangat ber­
harga ini kini tidak dapat dijumpai lagi secara
utuh. Kita hanya mengetahuinya melalui buku-
buku lain yang menyebutkan bahwa sumber
rujukannya adalah buku karya Ibnu Ishaq
tersebut. Demikianlah misalnya, Ibn Hisyam
(wafat 213H/828M), mengutip naskah perjanjian
kenegaraan itu dalam bukunya yang berjudul
sama seperti judul buku ibn Ishaq Sirah Rasul
Allah.
Para sejarahwan Barat maupun Timur
menghargainya sebagai dokumen politik yang
paling lengkap dan paling tua usianya. Piagam
Madinah jauh mendahului Konstitusi Amerika
http://pustaka-indo.blogspot.com

Serikat (1787) yang biasanya dipandang sebagai


konstitusi pertama di dunia, yang dipelopori De­
claration of Human Rights (5 Juli 1775). Ia juga
mendahului Konstitusi Prancis (1795) yang di­
pelopori Les droits de l’homme et du citoyen

7
(Agustus 1789). Bahkan ia juga mendahului
kon­vensi (konstitusi tidak tertulis) Inggris yang
dise­but Magna Charta (15 Juni 1215).
Pendeknya, Piagam Madinah meliputi
segala pernyataan yang memelopori setiap
konstitusi tersebut, baik bersifat proklamasi,
deklarasi maupun lainnya.
***

Piagam Madinah jelas merupakan dokumen


amat berharga. Para sarjana orientalis, se­ per­
ti Julius Wellhausen, Leon Caetani, Hubert
Grimme atau Montgomery Watt menyepakati
oten­ tisitasnya. Tapi mereka berbeda pendapat
tentang kapan naskah ini dibuat dan ditanda­
tangani. Ibn Ishaq sendiri, perawi utama piagam
ini, tidak menyebutkan tanggalnya. Wellhausen
dan Caetani mengatakan, piagam ini dibuat pa­
da permulaan periode Madinah. Sedang Grim­
me berpendapat, piagam ini dibuat setelah terja­
di perang Badar pada tahun ke-2 H/624 M.
Namun, argumentasi yang dikemukakan
Grimme dipandang lemah. Sebab, tak dira­gu­
http://pustaka-indo.blogspot.com

kan lagi, perjanjian itu ditandatangani antara ta­


hun ke-1 H./623 M, karena suku `Aws, Kha­z­raj
dan sekutunya kaum Yahudi pada tahun ke-2 H
ikut bertempur melawan kaum kafir Makkah di
Badar.

8
Pendapat yang paling tepat adalah seperti
yang diungkapkan Watt. Menurut dia, piagam
ter­
sebut sekurang-kurangnya merupakan ga­
bung­an dari dua dokumen yang berbeda. Pert­a­
ma, ini ditunjukkan oleh pengulangan beberapa
pa­sal­nya. Kedua, ini juga ditunjukkan oleh ke­
nyataan bahwa sebagian dokumen tambahan itu
berasal dari tahun 627 M.
Ketiga, tiga suku utama Yahudi (Banu Qai­
nuqa’, Banu Quraizhah dan Banu Nadzir) —
yang semula ikut menan–datangani piagam ini
— ti­dak disebutkan lagi, karena ketiga kabilah
ini te­lah melakukan desersi dan dilikuidasi pada
627 M. Dengan demikian, piagam ini merupa­
kan hasil modifikasi dengan menghilangkan
be­be­rapa pasal yang dianggap tidak relevan
dan men­cantumkan pasal-pasal yang dianggap
masih relevan.
***

Pada Syawwal tahun ke-5 H atau 627 M,


terjadilah perang Khandaq atau perang al-Ah­
zab. Perang tersebut merupakan peristiwa pen­
http://pustaka-indo.blogspot.com

ting dalam sejarah Islam, karena merupakan ti­


tik penentuan agama Islam selanjutnya. Dalam
pe­perangan tersebut, kaum muslim mendapat­
kan cobaan besar yang tiada tara bandingannya
dan diabadikan dalam Alquran surat al-Ahzab

9
ayat 10-11.
Sebab utama terjadinya perang Khandaq itu
adalah pengkhianatan kaum Yahudi Banu Na­
dzir dan Banu Wa’il yang mengusulkan kepada
kaum Quraisy untuk memerangi Rasulullah
SAW. Sebelumnya, mereka juga telah mencoba
un­tuk berhadapan langsung dengan kaum
muslim, namun mereka merasa tidak mampu.
Hasutan kaum Yahudi ini akhirnya mengha­ –
silkan perjanjian angkatan perang antara kaum
Qu­raisy dengan tentaranya sebanyak enam ribu
orang, dan kaum Yahudi yang menyerahkan se­
luruh hasil panen kurma Khaibar selama se­tahun
penuh guna persiapan logistik perang un­ tuk
menumpas kaum muslim sampai ke akar­nya.
Peristiwa Khandaq ini akhirnya menya­dar­
kan kaum muslim, khususnya Nabi Mu­ham­mad
sendiri, bahwa ternyata golongan Yahudi mem­
buktikan dirinya sebagai orang yang tidak se­tia
pada janji sebagaimana tercantum dalam Piagam
Madinah.
Oleh sebab itu, dipandang perlu pengatur­
an kembali tentang hak dan kewajiban dan un­
http://pustaka-indo.blogspot.com

sur pengikat kesatuan yang lebih menjamin


ke­setiaan dan loyalitas terhadap negara. Yang
be­
nar-benar dapat diharapkan dan diyakini
kese­tia­annya ialah mereka yang mempunyai ke­
sa­
maan motif penggerak dalam berbuat. Dan

10
me­reka ini, tidak diragukan lagi, adalah kaum
mu­slimin.
***

Dengan pertimbangan itu, sejak perang


Khandaq, warganegara diklasifikasikan men–
jadi dua golongan, yaitu muslim dan dzimmi
atau Ahlal-Dzimmah. Dzimmi ialah orang-orang
non-muslim yang menyatakan diri tunduk dan
patuh di bawah kekuasaan negara Islam.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara
Islam di bawah pimpinan Muhammad SAW te­
lah membuat kategorisasi antara golongan mu­
slim dan non-muslim. Tetapi kategorisasi ini se­
benarnya bukan menguntungkan golongan mu­
slim, melainkan menguntungkan golongan non-
muslim. Golongan muslim diwajibkan mema­
suki dinas militer dan melaksanakan pertem­
pur­an baik di wilayah negeri sendiri maupun
di luar ne­­geri; sedang golongan non-muslim
dibe­bas­kan dari kewajiban itu, meski — sebagai
warga­ne­gara— mereka tetap mendapat hak dan
perlindungan atas keselamatan jiwa dan harta
http://pustaka-indo.blogspot.com

mi­lik mereka.
Lebih jauh, piagam ini menjamin hak asasi
ba­ik warga–negara muslim maupun non-muslim
dan tidak ada perbedaan mengenai hak dan pri­
velese antara kaum muslim dengan non-muslim

11
dalam kaitannya dengan hak-hak asasi. Pem­
bedaan apa pun yang dilakukan antara kedua­
nya, semuanya hanya terbatas pada pertang­
gung­jawaban politik saja.
Setelah Makkah dibebaskan (fath Makkah)
pa­da tahun ke-8 H, negara Madinah berkem–
bang menjadi sebuah negara yang wilayah ke­
kuasaannya meliputi seluruh jazirah Arab.
Se­
iring dengan luasnya wilayah kekuasaan
negara itu, permasalahan yang harus dihadapi
oleh pe­ merintah juga menjadi makin banyak
dan kompleks. Dalam melaksanakan fungsi
dan kewajibannya, negara membutuhkan
biaya besar untuk menjaga keselamatan negara
dan rakyatnya, juga untuk meningkatkan ke–
sejahteraan warganegaranya. Untuk meng–
himpun dana ini, maka sistem iuran seperti
yang tercantum dalam Piagam Madinah (pasal
24 dan 38) sudah tidak memadai lagi. Sebagai
penggantinya diperlukan pungutan tetap
terhadap kekayaan yang dimiliki warganegara.
Warganegara muslim dikenakan pungutan
zakat atas hasil pertanian, peternakan dan harta
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang berkembang yang telah mencapai nishab.


Sementara itu, Ahl Dzimmi dikenakan pajak
yang cukup lunak, disebut jizyah atau pajak
kepala (Q.S. 9:29) sebesar setengah dinar seta­
hun, dan kharaj atau pajak tanah, yang dalam

12
Al­
quran disebut sebagai pendapatan berupa
pajak yang merupakan karunia Allah (Q.S. 23:74,
23: 74).
Dari paparan di atas, dapat ditarik ke–
simpulan, bahwa perkembangan hukum ketata­
ne­ga­
raan (Islam) melalui tahapan-tahapan
sesuai de­­ ngan tuntutan waktu dan keadaan
(kontekstual). Demikianlah yang dialami oleh
sejarah per­ kembangan Kitabun Nabi atau
Piagam Ma­dinah. Empat belas abad yang lalu,
Muhammad SAW telah meletakkan dasar-dasar
tata ke­hi­dup­an sosial yang ideal, yang membuka
wawasan baru bagi kehidupan politik dan
peradaban dunia masa itu. l

Rachmat Taufiq Hidayat, 07/04/1995.


http://pustaka-indo.blogspot.com

13
http://pustaka-indo.blogspot.com

14
Perspektif HAM dalam Piagam
Madinah dan Konteks HAM
Masa Kini

S
ebagaimana tercatat dalam sejarah Islam,
bah­wa Muhammad diutus sebagai Rasul
ketika dunia mengalami ‘kegelapan’ se–
bagaimana tecermin dalam kehidupan jahiliyah
bangsa Arab. Peradaban manusia saat itu berada
pada titik yang paling rendah, khususnya
penegakan hak asasi manusia (HAM) yang tak
dihiraukan. Ini ditandai antara lain dengan
pembunuhan setiap bayi perempuan yang lahir.
Kesewenang­an dan penindasan menjadi jamak
dalam kese­ha­rian umat manusia. Oleh karena
itu, Rasul Muhammad diutus ke tengah kan­
http://pustaka-indo.blogspot.com

cah kehidupan umat manusia, terutama bangsa


Arab, untuk memberikan pencerahan.
Dr Mushlih Abdul Karim, MA, anggota
De­wan Syariah Partai Keadilan, pada suatu

15
kesempatan menyatakan bahwa salah satu wa­
risan paling berharga bagi umat manusia dari
kerasulan Muhammad ada­lah Piagam Madinah
yang berisikan sistem dan nilai kehidupan ber­
masyarakat dan bernegara. Me­lalui Piagam Ma­
dinah, Rasulullah meletak­kan pondasi peme­rin­
tahan negara dalam pers­pek­tif Islam, khu­susnya
mengenai urusan dalam ne­ geri, luar ne­ geri,
perekonomian, dan pertahanan-keamanan (mi­­
liter).
Sistem pemerintahan yang dibangun Islam
dalam per–kembangannya pun mengalami ber­
ba­ gai tahap pengujian seperti terlihat dalam
je­jak-jejak sejarah yang ditapaki selama perju­
ang­an Muhammad dalam menyebarkan Islam.
Peng­ujian itu pada akhirnya melahirkan ke­ter­
andalan dan keunggulan sistem yang dibangun
ter­sebut sebagaimana tecermin dari makin so­
lidnya sistem pertahanan dan ketahanan negara
Ma­ dinah hingga dicapainya masa kejayaan
Islam pada abad pertengahan.
Sejak hijrah dari Makkah ke Madinah, da­
sar-dasar kehidupan masyarakat yang dibangun
http://pustaka-indo.blogspot.com

Mu­hammad adalah peletakan dasar-dasar per–


satuan masyarakat yang plural. Strategi yang
ditempuh adalah mempersaudarakan para pen–
datang (Muhajirin) dan penduduk setempat
(An­­shor). Dengan ikatan ini, Nabi mampu me­

16
nang­kis segala upaya kaum munafikin yang gi­
gih memecah belah umat Islam.
Kecerdikan Rasulullah tampak pula dari
pene­rapan asas toleransi saat Islam tumbuh
berkembang semakin kuat di Madinah. Pada
waktu yang sama, rasa ukhuwah pun menjadi
kian mapan di kalangan kaum muslimin. Segala
aspek da­lam sistem keamanan sosial dituang–
kan dalam se­buah kesepakatan komunal antara
muslimin, Yahudi, Nasrani, musyrikin dan se–
genap kabilah, yang kemudian dikenal dengan
Piagam Ma­dinah. Piagam ini mengatur antara
hak dan ke­ wajiban, tanggungjawab, prinsip-
prinsip umum dan skala prioritas kehidupan
yang harus diselesaikan di antara masyarakat
Madinah yang lintas-etnis, ideologis dan
kultural.
Cendekiawan Nurcholish Madjid pada
sebuah forum diskusi pernah menukil pendapat
Giovanni Pico della Mirandola, tokoh humanis
Eropa za­man Renaisans. Ia menyatakan bahwa
ia mene­mu­kan catatan dalam mushaf Arab Mu­
slim bah­wa tidak ada sesuatu yang menak­jub­kan
http://pustaka-indo.blogspot.com

le­bih daripada penghormatan pada manusia dan


hak-hak asasinya. Dengan menukil penda­ pat
tersebut, Cak Nur menunjukkan bahwa sesung­
guh­nya pandangan seorang tokoh humanis ter­
kemuka, nyata-nyata mengakui tampilnya se­

17
orang muslim (baca: Muhammad) sebagai orang
yang sangat memahami harkat dan mar­ tabat
ke­manusiaan, yang merupakan esensi HAM. Le­
bih jauh, Cak Nur juga mengingatkan bah­wa ru­
musan-rumusan HAM yang dijadikan pa­tokan
saat ini hanyalah pemikiran manusia modern
yang tak lengkap dan padu, tanpa substansi
dasar HAM seperti dikemukakan dalam agama-
agama. Pendapat senada disampaikan pakar
hukum tatanegara yang juga Menkeh-HAM,
Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, In­donesia
perlu menggali konsep-konsep dasar HAM
dengan merujuk pada sumber doktrin ke­
agamaan, utamanya Islam, mengingat mayoritas
pen­duduk Indonesia adalah muslim.
Pendapat tersebut terasa relevan dengan
kenyataan sebagian besar negeri muslim yang
lebih cen­ derung menerapkan nilai-nilai HAM
dari Barat, kendati tidak memungkiri upaya re­
vitalisasi HAM di beberapa negara muslim yang
giat mengaktualisasikan konsep HAM versi
Islam. Padahal, konsep Islam tentang HAM be­
gitu kokoh, baik secara tekstual maupun da­lam
apli­kasi operasionalnya di Madinah, jauh se­
http://pustaka-indo.blogspot.com

be­lum Deklarasi Universal Hak Asasi Ma­nusia


PBB, 10 Desember 1948.

18
Persepsi HAM menurut Barat dan Islam
Rumusan HAM yang pada masa kini ba­nyak
diguna­kan sebagian bertentangan dengan ajaran
Islam, misalnya pasal 16 HAM PBB tentang kawin
cam­pur antaragama, dan pasal 18 yang ber­isi­
kan konsep tentang kebebasan ber­agama atau
ber­­ganti agama. Pasal 16 menentu­kan perka­win­­
an lelaki dan wanita yang tidak boleh dibatasi
atas dasar suku, bangsa dan aga­ma. Selain itu,
sejumlah konsep yang sering meng­ atasnama–
kan HAM, seperti homoseksual, lesbianisme,
aborsi, dan sejenisnya juga bertentangan dengan
hakikat kemanusiaan. Se­ mentara, pasal 18
menegaskan perlunya perlindungan atas hak
murtad. Semua itu menunjuk­kan bahwa HAM
PBB tidak mewakili kepen­ting­an seluruh umat
manusia, dan kalangan du­nia Islam sejauh ini
karena alasan itu menolak konsep HAM tersebut.
Karena alasan itu pula, pemberlakuan ni­
lai-nilai HAM PBB tidak boleh dipaksakan,
terlebih-lebih untuk kepentingan politik ter–
tentu. Merujuk kenyataan ini, Ketua KISDI,
Ah­ mad Sumargono, pernah mengemukakan
http://pustaka-indo.blogspot.com

pendapatnya yang sangat tidak setuju dengan


pe­nerapan pasal-pasal HAM PBB, apalagi di
ne­gara yang penduduknya mayoritas muslim
se­
perti Indone­sia. ”Barat cenderung subjektif,
ha­nya melihat kepentingan mereka dalam soal

19
HAM. Isu HAM lebih lanjut menjadi legitimasi
Barat untuk meng­ ambil tindakan terhadap
negara-negara yang lebih lemah,” tegasnya.
Sumargono pun menengarai adanya ja­ ri­
ng­an internasional yang berkedok HAM tetapi
di­landasi kepentingan politik. Ia menunjuk ba­
nyak kasus pelanggaran HAM yang menimpa
umat Islam tidak direspon secara memadai, na­
mun bila kasus serupa menimpa umat lain bu­
kan kepalang gegernya dunia. Dalam penerapan
HAM, Barat menyikapi dengan standar ganda.
Sayangnya, jangankan di seluruh dunia Islam,
da­lam level sebuah negara muslim saja, hingga
saat ini umat Islam belum memiliki Komite Islam
untuk HAM, yang berani menantang setiap
tudingan pelanggaran HAM semena-mena dari
Barat.

Urgensi Penegakan HAM versi Islam


Islam adalah agama yang sejak lahir telah
menata ulang bagaimana manusia hidup secara
ideal, khususnya dalam hubungan dengan se­
samanya. Dalam kaitan itu, pakar HAM, Marcel
http://pustaka-indo.blogspot.com

A. Boisard pernah menyampaikan pendapatnya


tentang konsepsi tanggung jawab sosial untuk
mengakui, memelihara dan menetapkan ke–
hormatan diri sebagai prinsip kehormatan
manusia. Menurut dia, tak ada agama atau

20
ideologi yang menekankan secara kuat arti
HAM sebelum Islam. Kendati demikian, di–
sesalkan mengapa HAM dalam perspektif
Islam kurang intensif dalam publikasi maupun
operasionalisasi sehingga HAM dalam perspektif
Islam kurang fungsional untuk mempengaruhi
perkembangan teori, kesadaran dan tindakan
dalam penegakan HAM. Bahkan hal ini telah
membawa akibat berupa kesalahpahaman ter–
hadap Islam itu sendiri. Barat kerap menuduh
Islam sebagai agama yang tidak hanya kurang
memberikan perhatian pada persoalan HAM,
bahkan Barat beranggapan Islam identik dengan
keke­rasan dan terorisme.
Itulah sebagian sisi dari stereotip Barat
tentang HAM dan Islam. Stereotip tersebut jelas
keliru. Dalam tataran konseptual-ideologis,
Islam telah menunjukkan pandangan yang
demikian jelas tentang HAM sebagaimana di–
paparkan dalam Piagam Madinah. Namun,
upaya mengembangkannya ke tingkat yang
lebih fungsional masih menjadi ganjalan serius.
Persoalan ini menjadi semakin rumit tatkala
pengaruh Islam dalam tataran teoretik-praksis
http://pustaka-indo.blogspot.com

terhadap pro­ gram aksi penanganan masalah


HAM dinilai masih lemah.

21
Sementara itu, konstelasi politik inter–
nasional yang dibangun Barat pun selama ini
me­nempatkan negara-negara dalam Dunia Islam
sebagai pihak yang seringkali dihukum - dengan
tuduhan seperti biasa - karena pelanggaran
HAM. Pada­hal, sesungguhnya itu hanya tafsiran
unilateral Ba­rat yang kemudian menimbulkan
implikasi isu HAM yang justru menimbulkan
konflik. Konflik tersebut didorong pula oleh
perebutan dominasi atas sumber-sumber eko­
nomi, dan juga hegemoni terhadap bangsa lain.
Realitas empiris HAM yang lahir dari motivasi
untuk tampil sebagai penguasa dunia ini dapat
menafikan hak asasi bangsa lain dan itu jelas
berseberangan dengan nilai-nilai hakiki HAM.
Itulah sebabnya, politik praktis semacam ini
berpotensi merugikan bangsa yang kurang mam–
pu berperan dalam berbagai persoalan dunia
akibat keterbatasan penguasaan atas sumber-
daya strategis iptek dan akses informasi. Dalam
ba­hasa lain, pemahaman HAM se­cara berlebih­
an cenderung menjadi alat bagi ne­gara adi­kuasa
un­tuk memaksakan kehendak politiknya me­
ngu­asai negara-negara berkembang dengan se­
http://pustaka-indo.blogspot.com

gala cara.
Atas pertimbangan ini, program aksi HAM
perlu diprioritaskan sekurang-kurang­nya ka–
rena dua alasan. Pertama, untuk mem­per­besar

22
pengaruh HAM versi Islam dalam te­o­ri, kesa­
daran dan tindakan, alasan ini berka­it­an dengan
persoalan paradigma pemikiran. Kedua, untuk
menjawab realitas meningkatnya kesadaran atas
kemuliaan harkat dan martabat manusia, alasan
ini merupakan ekspresi Islam sebagai rahmatan
lil’aalamiin dan sekaligus ko­mitmen umat Islam
sendiri untuk bersikap konsisten terhadap nor–
ma HAM sebagaimana di­gariskan dalam Piagam
Madinah.

HAM dalam Perspektif Islam


Dalam perspektif Islam, HAM diletakkan se­
bagai hurumat (kemulyaan, kelapangan, peng–­
hormatan). Dengan pengertian ini, pada ha­
kikatnya manusia didudukkan sebagai ma­khluk
yang dimuliakan Tuhan, dan kemuliaan ma­nusia
itu tampak pula pada anasir penciptaannya
yang sempurna. Manusia dalam kemuliaannya
ditandai dengan kewajiban untuk meng­ abdi
kepada Tuhan dan berhubungan baik de­ ngan
sesamanya serta memelihara kewajiban dan
tanggungjawab secara vertikal dan horisontal.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan demikian manusia dalam Islam bu­


kanlah sang pemilik hak asasi melainkan yang
dititipi hak asasi untuk ditegakkan ber­ sama-
sama manusia lainnya.

23
Fundamental HAM dalam Islam telah
dirumuskan Muhammad dalam Piagam Madi­
nah yang berisi: Pertama, perlunya kohesivitas
ma­syarakat plural. Tali pengikat persatuan ada­
lah politik dalam rangka mencapai cita-cita ber­
s­a­ma (pasal 17, 23, dan 42). Kedua, ma­sya­rakat
yang semula terpecah belah dipersa­ tukan da­
lam ke­ lompok Muslim, dan non-Muslim. Tali
pengikat sesama Muslim adalah persau­ da­ra­
an seagama, di antara mereka harus tertanam
rasa solidaritas yang tinggi (pasal 14, 15, 19, dan
21). Ketiga, negara mengakui dan melindungi
kebebasan menjalankan ibadat bagi pemeluk
aga­ ma yang berbeda-beda (pasal 25-30). Ke­
empat, hu­kum adat (tradisi masa lalu) dengan
pedoman pada keadilan dan kebenaran tetap
diberla­ku­kan (pasal 2 dan 10).
Kelima, semua warga ne­ gara mempunyai
hak dan kewajiban dan tanggungjawab yang
sama dalam menjalakan tugas negara (pasal 18,
24, 36, 37, 38, dan 44). Keenam, se­tiap warga ne­
gara mempunyai kedudukan yang sama di ha­
dap­an hukum (pasal 34, 40, dan 46). Ketujuh,
semua warga wajib saling membantu dan tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com

boleh seorang pun diperlakukan se­cara zalim,


bahkan orang yang lemah harus di­lindungi dan
dibantu (pasal 11, 16). Kedelapan, hukum ha­rus
ditegakkan. Siapa pun tidak boleh melindungi

24
apalagi berpihak kepada orang yang me­lakukan
kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan ke­
benaran, siapa pun pelaku kejahatan harus
dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22 dan
43). Kesembilan, perdamaian adalah tujuan uta–
ma. Namun dalam mengupayakan perdamai­an
tidak boleh mengorbankan keadilan dan ke­
benaran (pasal 45). Kesepuluh, hak setiap orang
harus dihormati (pasal 12). Kesebelas, penga­
kuan atas hak milik individu (pasal 47).
Ruh yang hidup dalam HAM versi Islam
seba­gaimana ditegaskan dalam Piagam Madi­nah
tersebut adalah: pengakuan adanya hak hi­dup,
hak kemerdekaan, hak persamaan, hak ke­adil­
an, hak perlindungan hukum, hak perlindungan
dari kezaliman penguasa, hak perlindungan dari
penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk
melaksanakan kerja sama dalam ke­ hidupan
sosial, hak-hak minoritas, hak kebe­bas­an berfikir
dan berbicara, serta hak-hak eko­nomi. Sebegitu
banyak nilai HAM dalam Islam, ti­ga yang sangat
relevan dengan tuntutan ke­hidupan saat ini yang
penuh dengan arogansi, tirani, dan hegemoni
kekuasaan adalah hak persamaan, hak keadilan,
http://pustaka-indo.blogspot.com

dan hak perlindungan.


Dengan adanya Piagam Madinah, sejak awal
Islam dan umat Islam sesungguhnya sudah me­
ngembangkan kesadaran dan pengakuan bah­

25
wa manusia adalah makhluk mulia dan ter­hor­
mat baik secara individual maupun secara ko­
munal, yang hak asasinya harus diberikan peng­
hormatan.l
Mohammad Shoelhi, 10/02/2003.
http://pustaka-indo.blogspot.com

26
Demokrasi dalam Piagam
Madinah

D
emokrasi seolah sudah menjadi tren
per­­
adaban dunia kontemporer. Ia ba­
nyak dikagumi layaknya bidadari. Se­
perti diutarakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
di Amerika demokrasi dilambangkan dalam ar­
sitektur gedung kapitol seperti yang ada di Wa­
shington D.C. dan setiap ibukota negara bagian.
Pem­bangunan gedung model arsitektur kapitol
itu merupakan usaha pembangunan kembali ge­
dung serupa di zaman Yunani kuno.
Tak terkecuali, klaim demokrasi pun menjadi
anutan sakral siapa pun. Nazisme ciptaan Hi­
tler menyebut dirinya demokrasi dan para pen­­
http://pustaka-indo.blogspot.com

dukung Nazi berkeras meyakinkan dunia bah­­ wa


Hitler terpilih sebagai pemimpin nasio­ nal lewat
pemilihan yang bebas. Begitu pula Komunisme
Rusia mengklaim dirinya sebagai sistem yang pa–
ling demokratis di antara semua sistem yang ada.

27
UNESCO pada tahun 1949 menyatakan,
‘’Mung­ kin untuk kali pertama dalam sejarah,
demokrasi dinyatakan sebagai nama yang pa­
ling baik dan wajar untuk semua sistem organi­
sasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pen­dukung-pendukung yang berpengaruh.’’ Ti­
dak hanya pemerintah, lembaga-lembaga swas­ta
pun turut andil dalam menyebarkan opini global
tentang nilai-nilai demokrasi universal.
Freedom House di Amerika Serikat, misal–
nya, mem­­buat rating indeks negara demokratis.
Untuk tahun 1997/1998, hanya 8,7 persen dari
48 negeri-negeri Islam digolongkan sebagai
ne­geri demokratis, 30 persen tergolong semi-
de­mo­kratis, dan sebagian besar (60,9 persen)
digolongkan sebagai negara otoriter. ”Fakta”
ini dihadapkan pada kondisi negara-negara
nonmuslim yang 23,3 persen otoriter, 30,1 persen
semi-demokratis, dan 46,6 persen demokratis.
Dengan logika simplistis, lawan kata de­
mo­ krasi adalah totalitarianisme. Jika tidak de­
mo­ kratis, sebuah negara pasti totaliter. To­
ta­
li­
tarianisme memiliki kesan buruk, kejam, dan
http://pustaka-indo.blogspot.com

be­ngis. Akibatnya, negara-negara komunis se­ka­­


lipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah de­
mokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai ‘’De­
mokrasi Sosialis’’ atau ‘’Demokrasi Kerak­yatan’’.
Bahkan, mereka menyebut demokrasi Ing­ gris

28
dan Amerika sebagai penganut paham plu­tokrasi
(demokrasi yang didominasi oleh orang-orang
kaya).
Dalam ketegangan tesis Samuel Hunting­
ton, seperti dipaparkan dalam artikelnya ber­
judul Clash of Civilization, demokrasi seolah
men­ jadi rebutan agenda kepentingan antara
Ti­mur dan Barat. Dua kutub itu seolah tengah
bere­but makna, siapa yang paling pantas me­
nyandangkan demokrasi dalam predikat sosio-
budaya komunitasnya.
Dalam konteks lokal, demokrasi menjadi
idaman. Namun dalam agenda peradaban glo­
bal, demokrasi ternyata menjadi ‘sosok’ yang
aneh. Antara epistemologi (landasan), ontologi
(in­frastruktur), dan aksiologi (gerak komunal),
se­
olah paradoksial alias tidak berkesesuaian
dengan kenyataan. Apakah ini memungkinkan
ada gugatan lain; bahwa dalam segi ini, jangan-
ja­
ngan demokrasi terbagi lagi menjadi: de­
mokrasi yang konsekuen dan demokrasi double
standard atau bahkan demokrasi multi-standar.
Dari sinilah kita menaruh ‘curiga’ sekaligus
http://pustaka-indo.blogspot.com

menggugat wujud maupun epistemologi de­


mokrasi. Akibatnya, dalam prasangka negara
ber­kembang, demokrasi sudah dipelintir men–
jadi bagian tak terpisahkan dari hegemoni keku­
a­saan global.

29
Apa yang terjadi kemudian? Demokrasi
men­jadi ‘rentan’ diperalat semata untuk kedok
neo-kolonialisme. Negara-negara Barat meng–
gunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan
negara-negara berkembang, terutama negara
Islam untuk tunduk kepada keinginannya. Set­
i­dak­nya, di balik hegemoni ini terdapat kepen­
tingan ekonomis —di samping politis— untuk
me­nguasai pasar global seluas-luasnya termasuk
pasar negara-negara berkembang. Untuk men­
capai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang le­
mah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal
atau badan-badan keuangan internasional.

Realitas Piagam Madinah


Menyandingkan Piagam Madinah dengan
konteks demokrasi bukanlah padanan yang te­
pat, untuk tidak dibilang terlalu sempit. Pa­
danan yang pas bagi Piagam Madinah adalah
hu­bungan agama dan negara. Dalam arti, masih
ba­nyak sisi yang belum tersorot dari berbagai fe­
nomena kehidupan bermasyarakat dan berne­ga­
ra dalam konteks demokrasi an sich.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Menurut Ali Bulac —pemikir asal Turki—


apa yang ditekankan dalam Piagam Madinah
bukanlah sebuah utopia yang artifisial atau se­
buah latihan politis-teoretis. Ia telah memasuki
sejarah tertulis sebagai sebuah dokumen

30
hukum yang diterapkan secara sistematis dan
konkret dari tahun 622 hingga 632 (Kurzman,
2001: 279). Ber­bagai realitas demokrasi, seperti
tripilar demokrasi; isogoria, isonomia, maupun
isokratia, pemberdayaan rakyat, ataupun peng–
hargaan terhadap pluralitas masyarakat bisa kita
temukan pada dokumen itu.
Gagasan John Locke dengan tiga hak alami
manusia — life, liberty, dan property, atau pun
ide Franklin D Rosevelt tentang four freedom
yang dikampanyekannya — freedom of speech
and expression, freedom of worship, freedom
from fear dan freedom from want — jauh
sebelumnya telah digagas oleh Islam. Dalam
ba­hasa Syafii Maarif, Piagam Madinah mempu­
nyai tujuan strategis bagi terciptanya keserasian
politik dengan mengembangkan toleransi sosio-
religius dan budaya seluas-luasnya. Substansi
piagam itu menunjukkan bahwa konstitusi
kesukuan telah batal dengan sendirinya.
Negara Madinah merupakan contoh kong­
kret tentang kerukunan hidup bernegara mau­
pun hidup beragama. Piagam Madinah —
http://pustaka-indo.blogspot.com

meminjam istilah demokrasi— meru–pakan


sebuah kon­ sen­
sus bersama antara berbagai
golongan, baik ras, suku maupun agama, yang
paling de­mokratis se­pan­
jang sejarah. Piagam
Madinah te­lah me­wariskan kepada kita prinsip-

31
prinsip yang tahan banting dalam menegakkan
ma­sya­rakat pluralistik yang harmonis. Terlebih
bagi ke­pentingan kon­vergensi dan rekonstruksi
so­
si­
al masyarakat agar mempunyai landasan
moral-re­ligius yang kokoh dan anggun (Maarif,
1996: 154).
Tak berlebihan rasanya jika ukiran sejarah
di atas merupakan karya terbesar (magnum
opus) seorang Muhammad Rasulullah. Beliau
ada­lah perpaduan sosok sakralitas wahyu dan
pro­fanitas dunia nyata: sebagai nabi, nega­ ra­
wan, legislator, penyeru moral, pembaharu, ah­li
politik dan ekonom (Hakim, 1995: 371). Beliau
mendirikan negara dari titik awal dan di te­ngah-
tengah bangsa yang tidak memiliki penga­laman
politik selain organisasi kesukuan. Tak luput,
beliau pun berhasil menetapkan norma-norma
hukum yang lebih kosmopolit dan manusiawi
daripada hukum yang telah ada saat itu. Berkat
piagam inilah, menurut Tor Andre, Islami­­
cist asal Swedia, Islam secara berangsur-ang­­
sur tampil sebagai imperium dunia dan aga­ma
dunia.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Demokrasi Transendental
Demokrasi sebagai sistem bernegara tidak
bisa kita pungkiri adanya. Apalagi untuk me­
nutup mata terhadap realitas tersebut. Tinggal
kita memilah, demokrasi bagaimana yang

32
hendak kita terapkan. Demokrasi bisa kita ambil
sebagai sebuah sistem politik utuh dengan se­
gala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, hanya
se­
batas tataran pranata sosial-politik an sich.
Se­baliknya, kita menolak tegas ‘demokrasi’ de­
ngan embel-embel ideologi tertentu. Apa yang
diajarkan oleh Nabi dalam praktek Negara
Madinah menunjukkan adanya kehidupan
‘demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.
Itulah Demokrasi Transendental, sebuah
sis­tem pranata sosial-politik modern dalam ke­
hidupan bernegara yang banyak digandrungi
orang. Disebut transendental karena kelang­
sung­­an sistem ini bukan berlandaskan kepen­
ting­an dan kekuasaan manusia belaka. Semua
per­masalahan manusia tidak mungkin bisa dise­
lesaikan dengan ‘kehendak’ manusia sendiri.
Terdapat nilai-nilai ketuhanan yang omni
presence. Tak lain, ini demi kemaslahatan orang-
banyak. Hanya dengan nilai-nilai dan ajaran
ketuhananlah, berbagai kemaslahatan manusia
bakal tercukupi.
Dengan demikian umat Islam —dalam ba­
http://pustaka-indo.blogspot.com

hasa Kuntowijoyo— harus menjadi makhluk


yang berjalan dengan mata hati menghadap ke
be­lakang, tetapi dengan mata fisik menghadap
ke depan. Dengan cara ini kita akan selalu dapat
menghadirkan struktur Nabi sampai kapan pun.

33
Sementara, fondasi dan pilar-pilar demokrasi itu
pada prinsipnya telah disediakan dalam Piagam
Madinah sebagaimana tecermin dalam pasal-
pasalnya.
Demokrasi bukanlah jaminan sukses hidup
ber­negara. Bahkan, sebagai sebuah sistem, de­
mokrasi memiliki tingkat relativitas keberhasil­
an yang cukup riskan (untuk tidak menyebut
belum ada contoh kongkret satu negara yang
paling demokratis sekalipun). Andaikan kita
mau belajar demokrasi dari Amerika Serikat,
yang mengklaim diri sebagai kampiun demo­
kra­si, ada baiknya kita renungkan perkataan
Stro­be Talbolt dalam bukunya, Democracy and
the International Interest. Kata dia, sejak terben­
tuk­­
nya negara federasi pada tahun 1776, AS
me­merlukan waktu 11 tahun untuk menyusun
konstitusi, 89 tahun untuk menghapus per–
budakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih
pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk
menyusun draf konstitusi yang ‘’melindungi’’
seluruh warganegara.
Sungguh, sebuah sistem demokrasi ma–
http://pustaka-indo.blogspot.com

terialis yang pembentukannya butuh banyak


waktu dan uang!!!l

Lutfi Lukman Hakim, 08/05/2002.

34
Menata Harmoni
dalam Perbedaan

H
eterogenitas kini nenjadi realitas kehi­
dupan yang tidak mungkin dihindari.
Se­mangat pos-modernisme telah meng­
gerakkan arus dekonstruksi terhadap ni­lai-nilai
mapan yang dominan. Dan, pluralitas tum­
buh bagai aneka bunga di taman kota: hidup
harmonis dalam perbedaan.
Banyak pengamat khawatir, pluralisme akan
mengganggu nilai-nilai Islam yang telah ma­pan.
Tetapi, tak kurang yang melihat itu sebagai cara
pandang yang keliru terhadap Islam. Sebab,
Islam sangat menghargai perbedaan. Seperti
pernah dikemukakan Dr Kun­ to­
wijoyo, Islam
http://pustaka-indo.blogspot.com

justru tumbuh menjadi agama be­sar dalam se–


mangat pluralisme
Piagam Madinah menjadi tonggak dem­

krasi dan pluralisme paling awal di dunia.

35
Menurut sejarawan Dr Achmad Syafi’i Maarif,
kar­ya monumental Rasulullah SAW itu punya
tu­juan strategis bagi terciptanya keserasian po­
litik dengan mengembangkan toleransi sosio-­
religius yang seluas-luasnya.
Sejarah mencatat, negara Madinah menjadi
contoh kongkret keserasian hidup bernegara
dan beragama. Sejumlah pengamat Barat pun
mengakui, Piagam Nabi itu merupakan sebuah
konsensus bersama antara berbagai golongan,
ras, suku, maupun agama, yang paling demo­
kratis sepanjang sejarah. Piagam Madinah, me­
nurut Syafi’i, telah mewariskan kepada kita
prin­sip-prinsip yang tahan banting dalam m­ e­
na­ta masyarakat pluralistik yang harmonis ber­
landaskan moral religius yang kokoh dan ang­gun.
Itu pula yang dilihat oleh KH Ali Yafie.
”Dengan Piagam Madinah, Rasulullah telah
membuktikan bahwa Islam adalah agama rah–
mat bagi seluruh umat manusia. Pesan-pesan
Islam pun dapat diterima oleh semua kalangan,
termasuk pe­me­luk Yahudi dan Nasrani, sehingga
tercipta suatu ta­
tanan yang adil dan damai,”
http://pustaka-indo.blogspot.com

ujarnya.
Yang menarik, piagam tersebut menjadi
per­setujuan bersama yang diadakan oleh Rasu­
l­ullah dengan berbagai pihak di Madinah untuk
hidup bersama dan membentuk suatu masya­

36
rakat yang dipimpin Nabi SAW. ”Keper­ca­yaan
yang besar kepada Nabi dari kalangan Yahudi,
Nasrani dan kaum Anshor (penduduk asli Madi­
nah) serta Muhajirin menunjukkan bahwa Nabi
adalah sosok yang amanah dan mampu me­mim­
pin mereka dalam tatanan yang plural. Karena
itulah, mereka semua meminta Nabi menjadi
imam mereka,” kata Alie Yafie.
Figur Rasulullah, menurut Dr Koma­ ru­
d–
din Hidayat, memang menjadi variabel pen­
ting suksesnya pelaksanaan kesepakatan dalam
piagam itu, dan figur inilah yang tidak tergantikan.
Ma­syarakat Madinah saat itu, menurut dia, adalah
cerminan masyarakat teokrasi karena ada sosok
yang disucikan, yakni Rasulullah yang menjadi
penentu hukum dan keputusan akhir. Tak lain
karena Rasulullah adalah manifestasi dan wakil
Tuhan.
Lebih dari itu, negara Madinah tidak ha­
nya membuktikan bahwa Rasulullah memang
se­orang negarawan, legislator, penyeru moral,
pem­baharu, ahli politik dan ekonom; tapi juga
se­kaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa
http://pustaka-indo.blogspot.com

Islam anti-demokrasi. Sebab, sebelum negara


demokrasi menemukan bentuknya di Barat,
Rasulullah justru telah meletakkan dasar-dasar
demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan
bermasyarakat dan bernegara.

37
Sebagai sebuah produk peradaban, Piagam
Ma­ dinah banyak memberi pelajaran penting
ba­gai­mana umat beragama membangun suatu
tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi.
Menurut intelektual muda Haedar Nashir, ta­
tanan yang didambakan itu dapat tercapai
karena substansi piagam itu memenuhi syarat-
sya­rat yang memungkinkan terwujudnya suatu
kons­telasi masyarakat yang berkeadilan dan ber­­
keadaban. Piagam Madinah menjadi jendela ba­
gaimana umat manusia membangun sistem per­
adaban yang tercerahkan dan memberi manfaat
bagi semua orang. Ia menjadi aturan main agar
tercapai semacam etika kolektif bagi ke­hidupan
bersama.
Memang, substansi Piagam Madinah me­ne­­
gas­kan suatu cita-cita terciptanya tatanan ma­­
syarakat zaman Nabi yang Islami dan sekaligus
dapat menjadi tempat berlindung bagi umat lain
dari berbagai suku dan agama. Piagam tersebut,
me­nurut Haedar, menjadi contoh suatu sistem
dan konstitusi yang mewadahi ma­sya­rakat yang
plural. Karena itu, tidak berlebihan sosiolog
Barat, Robert N Bellah, menyebutnya sebagai
http://pustaka-indo.blogspot.com

konstitusi termodern pada zamannya.


Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, setidak–
nya ada dua nilai penting yang dapat diambil
dari Piagam Madinah dan masih relevasn hingga

38
saat ini. Pertama, Nabi meletakkan prinsip
integrasi sosial dan politik dalam sebuah ne­
gara Madinah. Ini merupakan nilai penting dan
merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa
mengingat masyarakat Madinah saat itu bersifat
majemuk.
Kedua, adalah dasar penghormatan yang
kokoh bagi sebuah kehidupan yang toleran
dengan menjamin hak-hak kaum non-Muslim.
Ini diwujudkan dengan perlindungan pada
kehi­
dup­
an dan harta benda mereka. ”Inilah
sumbangan terbesar Piagam Madinah yang
kemudian diadopsi oleh kehidupan modern
dalam wu­jud hak asasi manusia,” katanya.
Meskipun demikian, tambah Azyumardi,
piagam tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
pembenar bagi pembentukan negara Islam. Se­
bab, Rasul sendiri dalam piagam itu tidak me­
nyebut negara yang didirikannya sebagai ne­gara
Islam. Istilah daulah Islamiyah baru mun­cul saat
Islam berhadapan dengan konsep Barat yang
disebut nation state.
Karena itu, jika hendak dijadikan model,
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang dapat diambil dari Piagam Madinah ada­


lah nilai-nilai penting yang ada di dalamnya.
Ini pula yang ditekankan KH Alie Yafie jika In­
donesia ingin keluar dari krisis multidimensio­
nal saat ini, bangsa Indonesia harus kembali ke

39
fitrahnya yang murni dengan cara menghayati
dan memahami ajaran agamanya lalu meng­
amal­kannya dalam kehidupan sehari-hari. ”Ma­
syarakat yang dipimpin Rasulullah itu dapat
men­jadi model untuk membangun suatu tatanan
yang adil, aman dan beradab. Piagam Madinah
sangat relevan kita jadikan acuan,” kata­nya.
Tetapi, piagam itu kini justru cenderung
disalah-artikan oleh beberapa kalangan ketika
berbicara tentang hubungan antara agama dan
negara. Bagi kalangan yang berpendapat bahwa
antara agama dan negara adalah entitas yang
satu dan tak terpisahkan, dan karenanya meng­
hendaki terwujudnya negara Islam, berargu­men
bahwa tuntutan mendirikan negara Islam se­
sung­guhnya telah ditekankan Nabi SAW dalam
piagam tersebut.
Klaim seperti itu, menurut Haedar, justru
menunjukkan bahwa pemahaman mereka ter­
ha­dap Piagam Madinah terlalu reduksionis. Itu
sama artinya mereka memperlakukan piagam
tersebut secara sederhana dan sangat simplistis.
Perlakuan seperti itu hanya akan mempersempit
http://pustaka-indo.blogspot.com

pesan Piagam Madinah dan Islam yang universal


menjadi pesan yang terbatas yang hanya cocok
dan berlaku bagi pemeluk Islam saja.
Tentang ini Komaruddin malah melontar–
kan pertanyaan mendasar, apakah memang ada

40
hubungan antara negara dan agama dalam Islam.
Dan, apa sebenarnya cita-cita politik ma­sya­rakat
Islam. Kalau pun ada, lanjutnya, bentuknya
seperti apa, sistemnya bagaimana, dan dalam
konteks apa. ”Semua itu masih remang-remang,
dan menjadi perdebatan yang tidak henti di
kalangan intelektual Islam,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, upaya
membawa Piagam Madinah ke dalam sebuah
negara Islam kini hanya akan mengalami jalan
buntu. Pasalnya, tidak ada sejengkal tanah pun
yang berada di luar batas nasionalisme. Ditam­
bah lagi dengan kondisi sekarang di mana antar
negara lebih mementingkan kerja sama global
dan sumbangan dunia Islam hanya berupa
sumber daya alam serta tenaga yang kurang
teram­pil. Ini berbeda dengan pada masa kejayaan
Islam yang banyak memberikan sumbangan per­
adaban.
Menjadikan Piagam Madinah sebagai
landasan konstitusional dalam pendirian negara
Islam, bagi Haedar, sama artinya dengan me­la­
ku­kan strukturalisasi Islam untuk ke–pentingan
http://pustaka-indo.blogspot.com

terbatas. Padahal, lanjutnya, permasalahannya


bukan pada bagaimana membawa pesan Islam
itu ke dalam bentuk pelembagaan dengan
cara strukturalisasi agama, tetapi bagaimana
pesan piagam itu dijadikan sebagai agenda

41
kultural bersama, yakni membangun peradaban
(tamaddun) yang adil. Dan, ini adalah agenda
kultural, bukan struktural.
Karena itu, kata Komaruddin, yang perlu
diambil dari piagam Nabi itu adalah spirit su­
pre­masi hukum dan universalitasnya. Jika di­
jadikan sebagai blue print pendirian negara
Islam, menurut dia, upaya penerapannya akan
meng­alami kegagalan. Sebab, Indonesia adalah
ne­gara bangsa yang diatur berdasarkan nasio­
nalitas dan undang-undang sebagi produk
DPR/MPR. Ini berbeda dengan kondisi Negara
Madinah di mana segala sesuatunya bersumber
pada Rasul.
Bagi umat Islam Indonesia saat ini, menurut
Haedar, yang penting adalah bagaimana agar
spirit Piagam Madinah dapat tetap menjiwai
kehidupan sehari-hari, baik kehidupan ber­
masyarakat maupun bernegara. Untuk itu, ka­
ta­
nya, agenda kultural harus dijadikan acuan
bersama dalam membangun masyarakat madani
yang bukan sekadar demokratis, tapi juga bisa
diterima semua kalangan disertai penegakan
http://pustaka-indo.blogspot.com

hukum dan keadilan bagi semua tanpa pandang


bulu. l
Hery Sucipto,
Indah Wulaningsih,
Ahmadun Yosi Herfanda, 29/06/2002.

42
Perdamaian di Bawah
Piagam Madinah

M
enurut catatan sejarah, sebuah karya
besar telah disumbangkan Islam bagi
kehidupan umat manusia, khususnya
dalam menciptakan sebuah masyarakat yang
ideal dan harmonis, penuh semangat persatuan
dan kesatuan. Karya besar itu adalah Piagam
Madinah, yang dirumuskan dan dilaksanakan
Ra­sulullah dalam menata masyarakat yang
plural dengan keyakinan agama yang heterogen
di Madinah. Mewujudkan konsep pembangunan
masyarakat sedemikian ini nyaris mustahil,
sebab kondisi dasar pada waktu itu tidak
mendukungnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Hingga pertengahan abad ke-7 Masehi,


bangsa Arab hidup berkabilah, membentuk ke­
rajaan-kerajaan, dan gemar berperang. Dalam
kehidupan mereka, perang sangatlah popular dan
acap berlangsung lama untuk memperebutkan

43
kekuasaan dan sumber ekonomi. Ke­kuatan dan
kemampuan perang merupakan faktor penentu
dalam memegang puncak keku­a­saan. Kekuatan
dan kemampuan tak tertan­dingi tercatat dimiliki
oleh suku Quraisy.
Sebelum Islam, kondisi bangsa Arab me­
mang sangat kacau, tak mengenal sistem peme­
rin­tahan dan kedaulatan yang ajeg. Mereka ti­
dak mempunyai kesatuan bangsa, ikatan tanah
air, kesatuan politik, serta dasar dan tujuan
yang sama. Ambisi politik, kerakusan ekonomi,
dan tribalisme yang ditandai sentimen klan dan
kesukuan mendominasi kehidupan mereka.
Dalam hal keyakinan agama, mereka me­
nyembah roh dan berhala. Ka’bah tempat ber­haji
pun dijadikan tempat penyembahan berhala.
Mereka percaya pada paranormal dan juru
ramal.
Selain bangsa Arab, di Madinah juga ber­
mukim bangsa Yahudi. Mereka terdiri dari dua
ke­
lompok besar. Pertama, Yahudi pendatang
seperti Bani Nadir, Bani Qainuqa, dan Bani
Quraizhah. Kedua, keturunan Arab yang meme­
http://pustaka-indo.blogspot.com

luk agama Yahudi atau yang kawin dengan Ya­


hudi pendatang seperti Bani Auf, Bani Khazraj,
Bani Saidah, Bani Hars, Bani Jusyam, Bani Najjar,
Bani Amr, dan Bani Nabit.

44
Berikutnya adalah orang-orang Nasrani.
Mereka hidup di wilayah-wilayah yang menjadi
pengaruh Islam. Agama Nasrani pada mulanya
masuk ke Yaman melalui misi orang-orang Syria.
Sekitar abad 5 Masehi, misi Nasrani di­ pim­
pin Faymiyun (Phemion) menyebarkan agama
Kristus itu di Najran. Menyusul kemudian,
penyebaran Nasrani oleh Hegus Habsyi dari
Etiopia yang juga didukung oleh negara.
Dengan demikian, di Jazirah Arab hidup
komunitas bangsa yang plural dengan keyakin­
an agama yang heterogen. Setiap penganut aga­
ma berupaya keras menyebarkan agamanya
hingga dipeluk khalayak luas. Selain itu, mereka
juga berkepentingan menguasai berbagai
sumber ekonomi, bahkan juga berkepentingan
mengunggulkan nilai-nilai budaya dan cita-cita
politik mereka masing-masing.
Dalam kondisi seperti itulah, Islam datang
melakukan transformasi sosial untuk menjunjung
tinggi peradaban. Semua itu dimulai Nabi dari
Madinah. Di sini kaum Anshar dan Muha­jirin
dipersatukan dalam ikatan persaudaraan Islam.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 2 Piagam Madinah menegaskan, Ans­har


dan Muhajirin merupakan satu komunitas yang
diikat tali akidah, bukan garis darah, sehingga
mereka bersatu dalam perasaan, pikir­an, tujuan,
dan cita-cita kolektif. Ikatan di luar aki­dah hanya

45
dipergunakan selama hal itu da­pat membantu
membangun sistem keamanan sosial.
Di bawah naungan Piagam Madinah, ber­
bagai golongan dan kelompok dalam ma­sya­ra­
kat, termasuk Yahudi dan Kristen, dibe­rikan hak
perlindungan dan diajak untuk hidup se­ cara
rukun dan damai. Piagam Madinah mem­be­rikan
jaminan bahwa umat Islam bersedia men­­ jalin
hubungan dengan golongan dan ke­lom­pok lain
secara adil. Sebagai konseku­en­si­nya, golongan
Yahudi mengikatkan diri mereka sen­diri untuk
membantu tegaknya pertaha­n­an-ke­amanan di
Madinah (Pasal 24 dan Pasal 47).

Membangun dengan Sistem Keamanan


Sosial
Hubungan antar-penganut agama diatur
dalam Pasal 25-35. Bagi Yahudi agama Yahudi
dan bagi mukminin pun agamanya sendiri. Se­
arah dengan jaminan kebebasan agama, Pasal
25 piagam ini juga membatasi tanggungjawab
ter­
hadap tindak kejahatan, kecuali terhadap
orang-orang yang tidak adil dan penuh dosa.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Da­lam perspektif Piagam Madinah, tindakan


mereka pada hakikatnya menyakiti diri mereka
sendiri dan keluarganya. Pasal ini sama sekali
tidak melindungi para pelaku tindak kejahatan
dan perbuatan tidak adil, pelakunya dijatuhi

46
hukuman.
Pada saat itu di Madinah berlaku sistem
riba yang menjadi dasar ekonomi masyarakat,
dan berbagai praktik sosial lain yang berten­
tangan dengan nilai-nilai kemanusian. Pada
saat yang sama, Islam masuk ke Madinah dan
tidak mempunyai alternatif lain kecuali ha–
rus menghentikan segala kondisi lama yang
bobrok. Berbagai bentuk kekacauan sosial
yang bersumber dari khamar (minuman keras)
dihentikan dengan menghancurkan kendi-ken–
di tempat menyimpan khamar. Hukum qi–
shash pun diberlakukan. Ketentuan hukum ini
dikukuhkan dalam Pasal 21 Piagam Madinah,
yang juga melarang siapapun membantu
dan/atau melindungi pelaku kejahatan atau
pelanggar hukum.
Pasal 3 piagam ini menekankan tang–
gungjawab kolektif semua mukminin untuk
melaksanakan keadilan dan keamanan dalam
ma­sya­rakat. Oleh karena itu, Rasulullah tidak
membangun berbagai satuan kekuatan yang
terorga­nisasi seperti angkatan kepolisian, untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com

mengejar dan menghukum para pelanggar hu­


kum. Karena menghukum para pelaku kejahat­
an merupakan perintah Allah dan sudah di­
gariskan secara tegas, maka kewajiban keaga­
ma­an berlaku bagi setiap mukmin untuk

47
melaksanakan hukuman tersebut, ada atau tidak
ada sebuah lembaga khusus. Hal ini diperkuat
de­ngan Pasal 13 yang menentukan agar setiap
mukmin menentang segala bentuk penyimpang­
an sosial dan penyebaran ketidakdilan serta ge­
rakan pemberontakan.
Penyelesaian perselisihan di antara mereka
hanya disandarkan pada hukum Allah, tidak
lagi atas dasar adat istiadat. Meskipun demi­
kian, tidak berarti perbedaan pendapat dan
pandangan tidak diperbolehkan. Perbedaan
didorong oleh Rasululahh dengan tujuan menja­
dikan umat Islam berbeda dengan Yahudi. Ten­
tu saja tidak asal beda. Nabi melarang umat­
nya meniru Yahudi karena sikap meniru itu
bertentangan dengan ketinggian orang-orang
beriman terhadap yang tidak beriman.
Umat Islam tidak diperbolehkan meng­
ada­kan perdamaian secara sepihak, tanpa se­
pe­ngetahuan dan dukungan dari mukmin lain­
nya (Pasal 17). Persyaratan perdamaian harus
adil untuk semua. Tanggungjawab memu­
tus­
kan peperangan dan perdamaian terletak
http://pustaka-indo.blogspot.com

sepenuhnya pada diri Nabi. Ketika Nabi menya­


ta­
kan perang, maka pada saat itu seorang
mukmin ti­dak boleh mengadakan perdamaian
de­ngan pi­hak musuh. Mukmin yang satu harus
melin­dungi mukmin yang lain (Pasal 18). Nabi

48
ber­
sabda, ”Orang beriman adalah pelindung
satu sa­ma lainnya.”
Tidak hanya sebatas itu, ketentraman ke­
hidupan sosial juga diciptakan Nabi dengan
mem­batasi kegiatan aliansi. Kaum Anshar dan
Muhajirin yang bersaudara itu tidak diperbo­
lehkan beraliansi tanpa seizin saudaranya yang
lain. Lagi pula, Nabi pun menentukan pada
prin­sipnya aliansi tidak boleh melebihi hak-hak
per­lindungan yang dimiliki seseorang. Aliansi
antara Anshar dan Muhajirin diatur dalam
Pasal 23, bahwa Rasulullah adalah referensi
satu-satunya terhadap berbagai perselisih­ an
orang-orang beriman. Pasal ini menyebut­ kan,
jika terjadi perbedaan tentang segala sesuatu,
maka hal itu dikembalikan kepada Allah dan
Muhammad.
Meskipun demikian, Piagam Madinah di­
su­
sun atas dasar sikap gotong-royong, saling
ba­hu-membahu, saling menyayangi dan meng­
hor­mati antara generasi muda dan tua, antara
golongan miskin dan kaya, antara penguasa dan
rakyat, antara Mukminin dan Yahudi, Kristen
http://pustaka-indo.blogspot.com

serta Musyrikin. Itulah sebabnya sebagai warga


dalam lingkungan masyarakat Islam, kaum
Ya­hudi dan Kristen tunduk pada ketentuan
Piagam Madinah. Pasal 45 menentukan bahwa
perdamaian yang telah disepakati harus se­pe­

49
nuhnya dipatuhi. Masing-masing pihak me–
lak­
sa­
nakan kewajiban yang menjadi beban
tanggungjawabnya.
Dengan semangat Piagam Madinah, Ra­
sulul­lah berupaya mencegah munculnya konflik
da­lam masyarakat. Golongan dan individu
tidak di­ pandang secara kategoris melainkan
dalam perspektif terminologis yang sama. Yang
membedakan di antara mereka adalah kesalehan.

Semangat persaudaraan
Islam di Madinah begitu kuat sehingga me–
nimbulkan integritas internal yang kuat pula
sebagaimana tecermin dari sikap warganya yang
selalu siap memenuhi setiap panggilan bela
negara.
Ditetapkan dalam Pasal 45, bahwa perjan–
jian antara Islam dan Yahudi mencakup pula
hubungan dengan sekutu masing-masing. Pasal
ini menekankan pentingnya penghormatan pada
upaya perdamaian. Setiap inisiatif perdamaian
perlu disambut oleh setiap komponen dalam
masyarakat. Pasal ini mewajibkan setiap ke–
http://pustaka-indo.blogspot.com

lompok membangun persaudaraan dengan


sekutu-sekutu lain, tetapi umat Islam tidak me–
masukkan sekutu Quraisy karena dalam status
harby (memerangi/memusuhi umat Islam).
Pasal ini melarang kelompok Yahudi melindungi

50
atau membantu kaum Quraisy. Pada waktu itu
Ra­sulullah telah membuat rencana untuk me­
lakukan pencegatan terhadap setiap kafilah da­
gang Quraisy yang melintasi Madinah bagian
ba­
rat dalam perjalanan dari Mekkah menuju
Sy­ria. Pasal ini diadakan untuk mencegah terja­
dinya konflik antara Yahudi dan Islam.
Adalah kebiasaan Yahudi membentuk
aliansi dan aktivitas militer. Oleh karena itu,
Piagam Madinah pun disusun tidak terlepas dari
nuansa latar belakang ini. Pasal 29 menentukan
larangan bagi Yahudi meninggalkan Madinah
kecuali seizin Rasulullah. Pembatasan terhadap
gerakan mereka dimaksudkan untuk mencegah
aktivitas militer Yahudi, termasuk ke­terlibatan
langsung atau tidak langsung dalam perang
antarsuku, sebab hal itu dapat mempengaruhi
stabilitas keamanan dan ekonomi domestik
Madinah secara keseluruhan.
Berdasarkan pasal 42, Yahudi mengakui
ko-eksistensi damai serta kekuasaan legislatif
yang lebih tinggi. Sementara itu, kelompok Ya­
hudi tidak dibenarkan merujuk kepada hukum
http://pustaka-indo.blogspot.com

Islam dalam menyelesaikan setiap kasus, ke­cuali


bila kasus itu terjadi antara mereka dan umat
Islam. Sedangkan dalam urusan mereka sendiri,
mereka merujuk pada Taurat dan keputusan
Rabi, atau mengangkat Muhammad sebagai

51
hakim mereka.
Kendati keadaan sosial, khususnya di Ma­
dinah, sedemikian plural dan heterogen, tetapi
segala potensi konflik kepentingan dapat di–
redam dan diken­ dalikan. Seluruh komunitas
sanggup hidup ber­ dampingan dalam suasana
damai, berkat Pia­
gam Madinah yang disusun
oleh Nabi Muham­mad SAW. l

Mohammad Shoelhi, 29/06/2002.


http://pustaka-indo.blogspot.com

52
Piagam Madinah Menjamin
Kebebasan Beragama

S
etiap kali berbicara mengenai negara da­
lam hubungannya dengan Islam, atau
yang diidealkan Islam, orang akan selalu
merujuk pemerintahan/negara pada zaman Ra­
sulullah di Madinah. Berikutnya adalah peme­
rin­tahan empat khalifah penerus Rasulullah
— Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Yang terakhir ini
seringkali disebut sebagai Khulafaur Rasyidin —
para khalifah yang mendapatkan petunjuk (dari
Allah).
Negara pada masa Rasulullah bercorak teo­
kratis, sedangkan zaman Khulafaur Rasyidin
http://pustaka-indo.blogspot.com

ber­corak republik demokratis — kepala negara


di­pilih oleh rakyat. Dalam surat-suratnya, Nabi
Mu­hammad selalu menyebutkan: dari Muham­
mad Rasulullah. Sedangkan Khulafaur Rasyidin
menyebutkan: dari Amirul Mukminin (pemim­

53
pin para mukmin).
Setelah Khulafaur Rasyidin, corak maupun
bentuk negara berubah-ubah menurut perkem–
bangan zaman. Dari sejak pemerintahan Bani
Umayyah di Damsyik (Damaskus), Bani Abbasi­
yah di Baghdad, dan kemudian Bani Us­ma­ni­yah
di Istambul, negara berbentuk kekhalifahan de­
ngan corak monarki absolut. Kemudian, ketika
Khalifah Usmaniyah bubar dan negara-negara
Islam merdeka dari penjajahan, muncullah se–
jumlah negara berbentuk republik atau kerajaan.
Munculnya beragam bentuk, corak mau­
pun model negara berpenduduk Muslim itu ba­
rangkali karena memang tidak ada teks —baik
Alquran maupun Hadis— yang mengatur hal
itu. Alquran hanya menggarisbawahi, kepada
umat Islam diperintahkan untuk athi’ullah wa
rasulihi wa ulil amri minkum (taatilah Allah, Ra­
sul-Nya, dan pemimpinmu). Dengan kata lain,
umat Islam diperintahkan untuk menerapkan
hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan
Hadis.
Itulah yang juga dilaksanakan pada masa
http://pustaka-indo.blogspot.com

pe­merintahan Rasulullah Muhammad SAW di


Ma­dinah. Kepada umat Islam, Rasulullah mene­
rapkan hukum-hukum Islam berikut sanksi-
sank­sinya. Namun, dalam hubungan dengan
ketatanegaraan di mana terdapat multi etnis,

54
kabilah, dan agama (kepercayaan), Rasulullah
—sebagai kepala negara dan pemerintahan—
memberlakukan aturan-aturan lain, yang ke­mu­
dian dikenal dengan Piagam Madinah.
Seperti diketahui, ketika Nabi Muhammad
SAW tiba di Madinah, di kota itu sudah terda­
pat tiga golongan besar: Muslimin, Yahudi,
dan Musyrikin. Muslimin terdiri dari kaum
Muha­jirin dan Anshar. Kaum Muhajirin adalah
pendatang yang hijrah dari Makkah. Mereka
adalah orang-orang Qurai­sy Makkah yang telah
masuk Islam, terdiri dari beberapa kelompok,
antara lain Banu Hasyim dan Banu Muthalib.
Kaum Anshar adalah pen­du­duk asli Madinah
yang sudah masuk Islam. Mereka kebanyakan
dari Kabilah Aws dan Khazraj.
Golongan Musyrikin merupakan orang-
orang Arab yang masih menyembah berhala.
Go­longan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi
pen­datang dan keturunan Arab yang masuk
agama Yahudi atau kawin dengan orang Yahudi
pendatang. Tiga kelompok Yahudi pendatang
adalah Banu Nadir, Banu Qaynuqa’, dan Banu
http://pustaka-indo.blogspot.com

Qurayzhah.
Di tengah kemajemukan penghuni Kota/­
Ne­gara Madinah itu, Rasulullah SAW berusaha
mem­bangun tatanan hidup bersama, mencakup
se­mua golongan yang ada di Madinah. Sebagai

55
langkah awal, beliau mempersaudarakan para
Muslim Muhajirin dengan Anshar. Persaudara­
an itu bukan hanya tolong-menolong dalam
kehidupan sehari-hari, tapi hingga ke tingkat
waris-mewarisi.
Kemudian diadakan perjanjian hidup ber­
sama secara damai di antara berbagai golongan
yang ada di Madinah, baik antara golongan-go­
longan Islam, maupun dengan golongan-golong­
an Yahudi.
Kesepakatan-kesepakatan antara golong­
an Muhajirin dan Anshar, dan perjanjian de­
ngan golongan Yahudi itu, secara formal, ditulis
da­lam suatu naskah yang disebut shahifah.
Shahifah dengan 47 pasal inilah yang kemudian
di­se­ but dengan Piagam Madinah. Piagam yang
men­jadi payung kehidupan berbangsa dan ber­
negara —dengan multi etnis dan agama— ini,
menurut sejumlah sumber, dibuat pada tahun
pertama Hijrah dan sebelum Perang Badar.
Di antara pasal-pasal yang menjamin ke­
bebasan golongan Yahudi (non-Muslim) adalah:
Kaum Yahudi adalah satu umat dengan Muk­
http://pustaka-indo.blogspot.com

minin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan


ba­gi kaum Muslimin agama mereka. Juga
(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan
diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan
jahat. Hal demikian akan merusak diri dan ke–

56
lu­ar­ganya (Pasal 25).
Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan
bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Me­
reka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu
dalam menghadapi musuh warga Piagam ini.
Mereka saling memberi saran dan nasihat.
Memenuhi janji tidak berkhianat. Seseorang
tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan)
sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak
yang teraniaya (Pasal 3).
Sesungguhnya piagam ini tidak membela
orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (be­
pergian) aman, dan orang berada di Madinah
aman, kecuali orang yang zalim dan khianat.
Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik
dan takwa. Dan Muhammad adalah Rasulullah
SAW (Pasal 47).
Meskipun umat non-Muslim diberi kebe–
basan, tidak harus mengikuti hukum-hukum
Islam, namun mereka (Ahlul Kitab/Yahudi)
tetap diharuskan menjalankan ajaran agamanya
masing-masing.
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan
http://pustaka-indo.blogspot.com

Imam Ah­mad dan Muslim, dikemukakan, di de–


pan Rasulullah SAW lewat orang-orang Ya­hudi
mem­bawa seorang hukuman yang dijemur dan
di­
pukuli. Lalu Rasulullah memanggil mereka
dan bertanya, ‘’Apakah demikian hukuman

57
terha­dap orang yang berzina yang kalian dapat
dalam kitab kalian?’’ Mereka menjawab, ‘’Ya.’’
Rasulullah kemudian memanggil seorang
ulama mereka dan bersabda, ‘’Aku bersumpah
atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat
kepada Musa, apakah demikian kamu dapati
hukuman kepada orang yang berzina di dalam
kitabmu?’’
Ulama (Yahudi) itu menjawab, ‘’Tidak. De­
mi Allah jika engkau tidak bersumpah lebih da­
hulu niscaya tidak akan kuterangkan. Hukuman
ba­gi orang yang berzina di dalam kitab kami
ada­lah dirajam (dilempari batu sampai mati).
N­a­
mun, karena banyak di antara pembesar-
pem­ besar kami yang melakukan zina, maka
kami biarkan, dan apabila seorang berzina kami
tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemu­dian
kami berkumpul dan mengubah hukum ter­
sebut dengan menetapkan hukum yang ri­ngan
dilaksanakan, bagi yang hina maupun pem­besar
yaitu menjemur dan memukulinya.’’
Rasulullah lalu bersabda, ‘’Ya Allah, se–
sungguhnya saya yang pertama menghidupkan
http://pustaka-indo.blogspot.com

perintah-Mu setelah dihapuskan oleh mereka.’’


Selanjutnya Rasulullah me–netapkan hu­ kum
rajam, dan dirajamlah Yahudi pezina itu.
Dari riwayat di atas dapat disimpulkan
bahwa orang-orang Yahudi (non-Muslim) tetap

58
di­
wajibkan menjalankan hukum-hukum Tau­
rat. Mereka juga dilarang membuat-buat hukum
sen­diri, meskipun mereka menyepakatinya.
Itulah substansi relijiusitas dari Piagam
Madinah. Piagam yang dibuat Rasulullah, ter­
kait dengan posisi penduduk Madinah yang
me­nunjukkan bahwa kelompok non-Muslim
memperoleh jaminan keadilan dalam menja­lan­
kan aga­manya. Hal ini akan menjaga integritas
bang­sa Madinah yang terdiri dari berbagai suku
dan pe­nganut agama, meskipun kaum Muslimin
me­­ru­pakan mayoritas. Piagam Madinah adalah
jamin­­an integrasi bangsa dan persamaan hak
dan kewajiban bagi masyarakat plural. l

Ikhwanul Kiram Mashuri, 29/06/2002


http://pustaka-indo.blogspot.com

59
http://pustaka-indo.blogspot.com

60
Mereka Meneruskan Amanat
Piagam Madinah

K
etika berada di Madinah dan kemudian
membentuk sebuah negara, pertama-
tama yang dilakukan Rasulullah adalah
menjalin ukhuwah Islamiyah, yakni memper­
sau­darakan kaum pendatang (Muhajirin) de­
ngan penduduk setempat (Anshor). Selanjutnya,
beliau juga menciptakan ukhuwah wathoniyah,
mempersatukan kaum Muslimin dengan orang-
orang Yahudi dan Nasrani dalam kerukunan.
Dalam hal ini, Nabi membuat perjanjian ter­
tulis berisi pengakuan atas agama mereka dan
harta benda mereka. Disebutkan dalam per­­
janjian ini bahwa orang-orang Yahudi ber­pegang
http://pustaka-indo.blogspot.com

pada ajaran mereka dan orang-orang Islam pun


berpegang pada agama mereka.
‘’Inilah dokumen politik yang telah diletak–
kan Nabi Muhammad sejak lebih 15 abad
lalu dan telah menetapkan adanya kebebasan

61
beragama, kebebasan menyatakan pendapat:
ten­tang keselamatan harta benda dan larangan
melakukan kejahatan,’’ tulis Muhammad Hu­
sein Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad.
Nabi, melalui dokumen —yang kemudian
dikenal dengan Piagam Madinah— itu, kata
Hae­kal, ”Telah membukakan pintu bagi kehi­
dup­an politik dan peradaban manusia masa itu.”
Dunia yang selama ini hanya menjadi permainan
tangan-tangan tirani, lanjut Haekal, te­lah diubah
lewat Piagam Madinah.
Perubahan tatanan masyarakat itu ternyata
membawa pengaruh besar. Seluruh Kota Ma–
dinah dan sekitarnya benar-benar menjadi
tempat yang nyaman bagi seluruh penduduk
yang multi suku dan agama itu. Masing-masing
pemuluk agama bisa menjalankan ajaran
agamanya dengan tenang. Dari Kota Yatsrib —
nama lain dari Madinah— inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya. Jumlah pemeluknya
terus bertambah.
Sekalipun Piagam Madinah kemudian
dikhianati orang-orang Yahudi, namun prinsip
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang tertulis dalam Piagam itu minimal telah


menjiwai semangat umat Islam. Tidak heran
ketika Khalifah Abu Bakar menggantikan Nabi
Muhammad SAW, Islam telah menyebar ke
segenap penjuru jazirah Arab. Seluruh jazirah

62
Arab sudah terhimpun di bawah panji-panji
Islam. Dan kesatuan politis pun dinyatakan
sebagai bagian tak terpisahkan dari kesatuan
relijius. Maka pada saat itu tibalah waktunya
bagi umat Islam melakukan dakwah ke Irak
dan Syam. Inilah langkah awal pembentukan
kemaharajaan Islam.
Seperti Abu Bakar, penggantinya Khalifah
Umar bin Khattab pun menerapkan prinsip-
prinsip yang telah digariskan Rasulullah. Di
masa Umar inilah kemaharajaan Islam semakin
meluas, berjaya, dan menerobos hingga ke Per­
sia, Mesir dan Palestina, selain Irak dan Syam.
Perlu dicatat, meskipun kemaharajaan
Islam begitu meluas, tapi kaum Muslimin sesuai
dengan prinsip Piagam Madinah tak pernah
memaksa penduduk negara-negara tersebut agar
memeluk Islam. Karena, sesuai prinsip Islam
yang ditetapkan Alquran, tidak ada paksaan
dalam beragama.
Setelah pengaruh Islam menyebar ke ber­
bagai wilayah, terutama pada masa Khalifah
Umar, kekhalifahan Islam pun semakin tegak.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana


kemaharajaan Islam itu kemudian bisa bertahan
selama berabad-abad? Mengapa berbagai per–
golakan seperti semasa Khalifah Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah (Bani Umaiyah) dan

63
kemudian antara Bani Umaiyah dengan Bani
Abbasiyah, tidak sanggup meruntuhkan pe­
ngaruh Islam sebagaimana terjadi pada ke–
maharajaan Iskandar Agung dan Mongol?
Menanggapi hal ini, menurut Haekal dalam
buku Pemerintahan Islam, sulit untuk menjelaskan
sebab-sebabnya secara rinci. ”Namun se­ ca­
ra
garis besar, saya dapat menunjukkan sa­tu se­bab
yang sangat menentukan. Yakni, se­sungguhnya
orang-orang Arab terdorong ber­perang bukan
semata-mata untuk mendapatkan materi, tapi
ada yang jauh lebih penting dari hal itu. Yaitu,
keyakinan bahwa mereka mengemban satu
misi atau risalah yang harus disampaikan pada
seluruh dunia ini demi kebenaran dan keadilan,”
jelas sejarahwan kondang Mesir itu.
Menurut Haekal, keyakinan umat Islam
yang demikian telah menegakkan kemaharajaan
Islam sehingga sampai bertahan berabad-abad.
Tapi, lanjutnya, ketika keyakinan itu memudar,
keretakan demi keretakan mulai merasuki
sekujur sendi-sendi kemasyarakat Islam dan
nasibnya pun sama seperti dialami kemaharajaan
http://pustaka-indo.blogspot.com

Byzantium dan Persia sebelumnya.


Bagi umat Islam, demikian Haekal, misi yang
telah dipelopori Rasulullah itu mereka anggap
sebagai amanat untuk disampaikan kepada
pihak lain adalah persaudaraan dan persamaan.

64
Mereka berpandangan, bahwa pada ha­ke­
katnya Tuhan seluruh manusia itu satu, Tuhan
yang Esa. Di hadapan Tuhan yang Esa ini, se­
mua manusia adalah sama. Tidak ada perbedaan
antara orang Arab dan non-Arab kecuali ke–
takwaannya. Di samping persaudaraan dan
persamaan ini, mereka adalah orang-orang
bebas merdeka.
Pada masa Rasulullah, prinsip-prinsip lu­
hur itu tersebar luas di semenanjung Arab. Se­
telah menetap di negara-negara yang mereka
tun­dukkan, kaum Muslimin mulai menerapkan
prinsip-prinsip mulia tadi pada penduduk se­
tempat. Salah satu yang menjadi dasar kebijakan
pemerintahan mereka adalah toleransi ber–
agama. Mereka tidak memaksakan seorang pun
di antara penduduk negara yang ditaklukkan
agar memeluk Islam.
Mereka juga memberikan berbagai ke–
bebasan yang sudah berlaku pada saat itu:
kebebasan berpikir, kebebasan mengeluarkan
pendapat, serta sejumlah kebebasan lainnya. Di
sam­ping itu mereka juga menghormati segala
http://pustaka-indo.blogspot.com

ben­tuk ibadah dan akidah. Sedangkan keadilan


mereka jadikan sebagai dasar pemerintahan.
Dalam menerapkan keadilan ini, tidak ada
beda antara Muslim dan non-Muslim. Semua
diperlakukan sama dan sederajat.

65
Dengan sikap demikian, tidak heran ba­
nyak orang tertarik kepada Islam. Bukan hanya
itu, mereka yang non-Muslim juga benar-benar
menikmati berbagai kebebasan. Hal ini tidak
per­nah mereka alami sebelumnya, baik di
Romawi maupun di negara Arab sendiri. Itulah
yang mendorong mereka berbondong-bondong
masuk ke dalam lingkungan agama baru, Islam.
Mereka ingin ikut menikmati prinsip-prinsip
kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang
ditetapkan Islam.
Prinsip toleransi dan kebebasan inilah yang
juga diberlakukan Khalifah Umar bin Khattab.
Dikisahkan, ketika Khalifah Umar merebut kota
suci Jerusalem pada 638 M atau 6 tahun setelah
Nabi wafat, ia pun mendirikan mas­jid di kota
suci itu, yang sekarang dikenal dengan nama
Baitul Muqdis. Ketika tentara Islam memasuki
Jerusalem dan mengambil alih kekuasaan kota
itu dari orang Kristen yang te­lah memerintah di
sana sejak masa Kon­s­tantinopel, Umar datang
sendiri ke kota suci itu.
Setelah uskup dari makam Kristus menye­
http://pustaka-indo.blogspot.com

rahkan kunci kota kepada sang Khalifah, ia


pun mengundang Umar untuk menunaikan
shalatnya dalam gereja mereka. Tetapi, ketika
Umar melihat bagian dalamnya yang dihiasai
berbagai simbol Kristen, dia dengan sopan me­

66
ngatakan, ”Saya akan shalat di luar pintu ini
saja.”
Selesai shalat uskup pun bertanya kepada
Umar, ”Mengapa Tuan tidak mau masuk ke
gereja kami?” Umar pun menjawab, ”Jika saya
sudah shalat di tempat suci kalian, para peng­
ikut saya dan orang-orang yang datang ke sini
pada masa yang akan datang akan mengambil
alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi
masjid. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan
ini dan supaya kalian tetap sebagaimana adanya,
maka saya shalat di luar.”
Tindakan Khalifah Umar itu ternyata
membuat kagum sang uskup terhadap agama
Islam. Begitu pula rakyat Palestina yang meng­
elu-elukan kedatangannya. Apalagi setelah kota
suci itu diperintah Islam, mereka mendapatkan
kebebasan dan diperlukan dengan baik, diban­
dingkan saat diperintah oleh Constantin.
Prinsip-prinsip yang sama juga diterapkan
oleh khalifah-khalifah berikutnya. Ali bin Abi
Thalib, misalnya, ketika menjadi khalifah me­
nerapkan hukum terhadap penduduknya sesuai
http://pustaka-indo.blogspot.com

dengan agama yang mereka anut. Menantu Nabi


ini, dalam menerapkan keadilan di bidang hu­
kum tidak pernah membedakan status sosial.
Ba­ik mereka yang punya kedudukan tinggi mau­
pun rakyat jelata diperlakukan sama. Bah­kan, ia

67
pernah menegur seorang hakim karena da­lam
suatu persidangan ia mendapatkan panggilan
kehormatan Abu Hasan, sedangkan tertuduh
seorang Yahudi dipanggil dengan nama biasa.
Se­lanjutnya, hal serupa juga terhadi pada Kha­
lifah Umar bin Abdul Azis.
Meskipun ia memerintah hanya dua tahun,
ta­
pi keadilannya tercatat dalam tinta emas
dalam sejarah Islam. Tak lama setelah menjadi
khalifah, Umar membasmi sistem feodalisme
yang diterapkan dan dipraktekkan oleh Bani
Umaiyah. Baginya, sistem feodalisme berten­
tang­­
an dengan ajaran Islam murni, yang
memberlakukan manusia sama di sisi Allah.
Bebe­rapa tanah luas milik kerabatnya sendiri
di­
be­
rikannya kepada Baitul Maal yang dapat
dinikmati rakyat luas.
Dalam masa pemerintahannya ia berhasil
mengembalikan kepemimpinan Islam seperti
yang dipraktekkan pada masa Nabi dan para
Khu­lafaur Rasyidin. Di samping itu, Umar
memerintahkan supaya menghentikan pemu­
ngutan pajak dari kaum Nasrani yang masuk
http://pustaka-indo.blogspot.com

Islam. Dengan begitu berbondong-bondonglah


kaum Nasrani memasuki agama Islam karena
penghargaan mereka terhadap ajaran-ajaran
Islam, dan juga karena daya tarik pribadi Umar
bin Abdul Aziz sendiri.

68
Di antara kebijaksanaan Umar yang terpuji
ialah, mengembalikan gereja kepada kaum
Na­srani yang diambil alih oleh khalifah se­be­
lumnya dan kemudian diubah menjadi masjid.
Ke­tika Umar menjadi khalifah, dan orang Na­
s­rani mengketahui bahwa Umar seorang yang
adil, maka mereka menuntut supaya gereja me­
reka dikembalikan kepada mereka. Umar mem­
ba­ talkan kebijakan khalifah sebelumnya yang
te­lah menjadikan gereja menjadi sebuah masjid.
Menurut pendapat Umar, apa yang dila­
kukan khalifah sebelumnya itu tidak adil
karena bertentangan dengan toleransi agama
yang di­ajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dengan de­mikian, kaum Nasrani merasa hak-
hak mereka tidak diabaikan, mereka pun me–
ngucapkan terima kasih kepada Umar. Semua
ini menunjukkan betapa pemimpin masyarakat
generasi penerus Nabi begitu patuh dan
konsisten dalam menegakkan hak warganya
sesuai amanat Piagam Madinah. l
Alwi Shahab, 29/06/2002
http://pustaka-indo.blogspot.com

69
http://pustaka-indo.blogspot.com

70
Perspektif Syar’i dan Yuridis
Antara Piagam Madinah
dan Piagam Jakarta

A
pakah ada hubungan antara Piagam Ma­
dinah dan Piagam Jakarta, dua peris­tiwa
sejarah yang terpisah rentang wak­tu 15
abad hijriah? Tentunya ada. Karena umat Islam
di Indonesia kini adalah sebagian pe­nerus dari
umat Islam yang dibangun Mu­ham­mad saw di
kala itu. Tulisan ini dimaksudkan untuk me­
nyumbangkan pemikiran tentang hu­ bungan
aga­ma dan negara serta sikap dan pan­dangan
syar’i umat Islam Indoneisa terha­ dap negara
Republik Indonesia - dengan pende­katan disi­
http://pustaka-indo.blogspot.com

plin ilmu fiqh, khususnya mazhab Syafi’i dan


lebih khusus mazhab Imam al-Ma­ wardi yang
banyak pengaruhnya dalam tata ke­hi­dupan di
Indonesia, dengan ciri bahwa urusan aga­ma me­
ru­pakan bagian yang tak terpisahkan dari tata

71
pemerintahan.
Piagam Madinah
Piagam Madinah diperkenalkan secara aka­
demis oleh H. Munawair Syadzali MA (mantan
Menteri Agama Kabinet Pembangunan IV dan
V) dalam rangkaian kuliahnya di Fakultas Pasca
Sarjana IAIN Jakarta yang dibukukan de­ngan
judul Islam dan Tata Negara (UI Press, 1990).
Dikatakannya antara lain bahwa umat Islam
memulai hidup bernegara setelah Nabi hi­ jrah
ke Yatsrib yang kemudian berubah nama men­
jadi Madinah untuk pertama kali lahir su­ a­
tu
komunitas Islam yang bebas dan merdeka... te­
tapi umat Islam di kala itu bukan satu-satu­nya
komunitas... di antara penduduk Madinah ter­
dapat juga komunitas lain, yaitu orang-orang
Ya­hudi dan suku-suku Arab yang belum mau
menerima Islam dan masih memuja berhala.
Dengan kata lain, umat Islam di Madinah
merupakan bagian dari suatu masyarakat
majemuk... belum cukup dua tahun dari
kedatangan Nabi di kota itu, beliau mem–
permaklumkan su­ atu piagam yang mengatur
http://pustaka-indo.blogspot.com

kehidupan dan hu­bungan antara komunitas yang


merupakan kom­ ponen-komponen masyarakat
majemuk di Madinah. Piagam tersebut lebih
dikenal sebagai Piagam Madinah.

72
Selanjutnya dinyatakan: ”Banyak di anta­ra
pemimpin dan pakar ilmu politik Islam ber­ang­
gapan bahwa Piagam Madinah adalah kons­titusi
atau undang-undang dasar bagi Negara Islam
pertama.
Isi piagam terdiri atas 47 pasal yang oleh
Mu­nawir disimpulkan sebagai batu-batu dasar
bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat
ma­jemuk di Madinah, yaitu:
1). Semua pemeluk Islam, meskipun ber­
asal dari banyak suku merupakan satu
komunitas.
2). Hubungan antara sesama anggota ko­
mu­nitas Islam dan anggota komunitas
lain di­
dasarkan atas prinsip (a) ber–
tetangga baik, (b) sa­ling membantu
dalam menghadapi musuh ber­ sama
(c) membela mereka yang teraniaya (d)
sa­
ling menasihati dan (e) kebebasan
beragama.

Piagam Madinah mengandung beberapa


aspek kenegaraan. Ada tiga aspek yang dija­di­
http://pustaka-indo.blogspot.com

kan acuan dalam membahas Piagam Jakarta di


sini, yaitu:
1). Rasulullah saw mengadakan perjanjian
an­tara umat Islam yang beliau pimpin
dengan umat beragama lain untuk

73
hidup bersama da­ lam suatu wilayah
tertentu, yakni wilayah Ma­di­nah yang
disebut Madinah al-Munawarah atau
Madinatun Nabi. Umat Islam pada
waktu itu adalah kaum Muhajirin (suku
Quraisy) dan kaum Anshor yang berasal
dari berbagai suku: Banu Auf, Banu
Harits - Banu Khazraj, Banu Sa’idah,
Banu Jusyam, Banu Najjar, Banu
Amir bin Auf, Banu Nabit dan Banu
Aus. Sedang umat non-Islam adalah
umat Yahudi dan keluarga suku-suku
tersebut, ditambah suku-Banu Tsa’labah,
warga Jafnah serta Banu Syutaibah serta
kaum Yahudi dari kedua sku tersebut.
Dalam ilmu fiqh, perjanjian atau
kesepakatan semacam itu disebut shulhu,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi r.a.: as-shulhu ja-
izun bainal muslimin illa shulhan
harrama halalan au ahalla haraman,
wal muslimuna ‘inda syuruthihim illa
syarthan harrama halalan au ahalla
haraman. Kesepakatan diperbolehkan
http://pustaka-indo.blogspot.com

antara orang Islam kecuali dalam ke­


se­pa­kat­an/perjanjian mengharamkan
yang ha­ lal atau menghalalkan yang
haram dan orang Islam h­a­rus menepati

74
persyaratan perjanjian itu.
2). Piagam itu lebih bersifat suatu pernya­
ta­an atau dekrit sepihak dari Rasulullah;
dan sung­­ guh pun dalam naskahnya
disebut ”surat per­ janjian”, namun
tidak jelas ada orang lain atau pihak
Yahudi yang turut menandata­nganinya.
Ini menunjukkan otoritas Rasulullah,
terbukti dari rumusan Pasal 1 yang
menempat­kan Rasululaah saw sebagai
pemimpin umat Islam, sedangkan
Pasal 23, 36 dan 42 diangap se­ bagai
”penengah, pemberi izin dan hakim”
ba­gi semua pihak. Dan tentu saja bentuk
dan ga­ya piagam itu belum secanggih
konstitusi mo­dern, misalnya UUD 1945.
Untuk dianggap sebagai preambule
konstitusi, di dalamnya me­ ngandung
rincian unsur perdata dan pidana yang
disebut menyediakan ruang bagi setiap
suku yang mengakui perjanjian itu.
3). Kaum Muslimin merupakan umat yang
ber­satu dan utuh, dan senantiasa taat
http://pustaka-indo.blogspot.com

pada ke­ se­


pakatan itu, baik terhadap
sesamanya mau­ pun terhadap kaum
Yahudi sekutunya. Daerah Yatsrib
beserta penghuninya selalu dilindungi
ber­sama. Dengan kata lain, Piagam

75
Madinah ber­ sifat mengikat bagi
Rasulullah saw dan umat Islam. Ke–
taatan umat itu tidak hanya bersifat aqli
(sekadar rasio atau moral positif) saja
me­lainkan juga syar’i (mengandung
unsur ibadah).
Pandangan dan sikap untuk senantiasa
ta­at pada persyaratan atau kesepakatan
bagi umat Islam, baik pada zaman
Rasulullah saw mau­ pun umat Islam
masa kini, sandarannya ada­lah Pasal 2
yang berasal dari hadits yang berkaitan
dengan aspek pertama, yaitu al-mus–
limuna ”inda syuruthihim” (umat
Muslim harus menepati janji).

Piagam Jakarta
Piagam Jakarta adalah dokumen tertanggal
22 Juni 1945, disusun oleh Panitia Perumus dari
BPPK yang beranggotakan sembilan orang ”ba­
pak pendiri” Republik Indonesia: Ir. Soe­ kar­
no, Dr Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moe­
http://pustaka-indo.blogspot.com

zakir, H Agus Salim; Mr. Ahmad Soebardjo,


Wachid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin.
Piagam Jakarta merupakan puncak ungkapan
citarasa bangsa Indonesia tentang:

76
1). Kemerdekaan adalah hak segala bangsa
dan dihapuskannya penjajahan di atas
dunia (alinea 1).
2). Rasa bahagia bahwa perjuangan perge­
rakan kemerdekaan Indonesia sudah
mencapai ke depan pintu gerbang Ne–
gara Indonesia (ali­nea 2).
3). Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa bertekad menyatakan kemerde–
kaan (ali­nea 3).
4).
Membentuk suatu pemerintahan
Negara In­ do­nesia yang berdasarkan
Pancasila (alinea 4).

Marilah kita kaji bersama Piagam Jakarta ini


dengan acuan ketiga aspek dalam Piagam Ma­
dinah yang telah dipaparkan di atas.
1). Bercermin pada Piagam Madinah, dari
su­dut ilmu fiqh dapat dikatakan bahwa
Piagam Jakarta adalah satu bentuk
”shulhu” pula, yaitu suatu pernyataan
yang rumusannya disepakati dari
wakil-wakil bangsa Indonesia untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com

membentuk suatu pemerintah negara


Indonesia dan menyusun kemerdekaan
kebangsaan Indonesia dalam suatu
hukum dasar negara Indonesia, dan

77
sebagainya. Para wakil itu atau orang-
orang yang dianggap sadar akan dirinya
mewakili bang­sa Indonesia waktu itu
yang berjumlah sembilan orang, delapan
beragama Islam dan satu beragama
Nasrani.
Bagi kedelapan orang Islam itu, apa pun
latar belakang pendidikannya, serta ideologi
yak­ni jalan pikiran dan keyakinan tentang cara
meng­ atur kehidupan bernegara yang mereka
anut dari pandangan fiqh (bukan pandangan
sosio-politik ideologi seperti biasa digunakan)
mereka harus dianggap sebagai ”mukallaf
yang adil”, yakni orang yang cukup dan cakap
(bevoged en bekwaam, Belanda) untuk melaku­
kan perbuatan hukum, termasuk menandata­
ngani perjanjian. Maka, piagam itu adalah suatu
ben­tuk shulhu antara wakil-wakil bangsa Indo­
nesia yang beragama Islam dengan wakil dari
me­reka yang tidak beragama Islam.
Di sini letak kesamaan antara Piagam Ma­
dinah dan Piagam Jakarta. Adapun perbedaannya
adalah: Rasulullah saw seorang diri berha­dap­an
http://pustaka-indo.blogspot.com

dengan beberapa pihak suku di Madinah, se­


dang di Jakarta delapan orang Muslim ber­ha­
dapan dengan seorang non-Muslim; dan kurang
le­bih demikian pula perbandingan jumlah pe­
me­ luk agama para wakil rakyat di lembaga-

78
lem­baga perwakilan sejak BPUPK, PPKI, KNI,
Konstituante dan MPR/DPR. Maksudnya,
tanggungjawab umat Islam terhadap keutuhan
dan keselamatan bangsa dan negara Indonesia
tentunya lebih besar daripada umat lain, karena
memang jumlahnya lebih besar.
2). Piagam Jakarta berisi berbagai pernya­
taan yang sifatnya umum namun
mendasar, di­ tandatangani sembilan
wakil bangsa Indonesia ser­ta dimaksud
sebagai preambule dari Hukum Dasar
Indonesia yang kemudian pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI disahkan
sebagai Pem­ bukaan UUD Negara
Republik Indonesia; yakni dengan
beberapa perubahan minor pada kata-
kata ”Hukum Dasar Negara Indonesia”
men­jadi ”Undang-undang Dasar Negara
Indo­nesia dan ”Ketuhanan dengan
kewajiban men­ ja­
lankan syari’at Islam
bagi pemeluknya” di­ ganti menjadi
”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, tanpa mengurangi nilai yang ter–
http://pustaka-indo.blogspot.com

kandung bila dibandingkan bentuk dan materi


pe­ru­musan kedua piagam itu dapat dikatakan
bahwa jika Piagam Madinah adalah ”mini-
konstitusi” dalam upaya menumbuhkan suatu
”em­ bryo negara” karena belum jelas mana

79
wilayah Yat­srib atau Madinah pada waktu itu,
maka Pia­gam Jakarta adalah suatu ”konsep yang
utuh dari preambule sebuah konstitusi negara
Indo­nesia” berwilayah dari Sabang sampai
Merauke yang sebelumnya disebut Nederlands
Indie.
3). Kiranya umat Islam sepanjang sejarah
yakin dan percaya, bahwa Rasulullah
saw dan para sahabat senantiasa taat
menepati isi perjanjian yang tercantum
dalam Piagam Madinah. Pertanyaannya:
Bagaimana umat Islam Indo­ne­sia harus
memandang dan bersikap terhadap
”shul­hu” atau kesepakatan yang
terkandung da­ lam Piagam Jakarta?
Bukankah piagam itu meng­ikat dalam
keadaannya sudah menjadi Pem­bukaan
UUD 1945 dengan hilangnya kata-ka­
ta ”dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluknya” setelah
pengesahannya da­lam sidang PPKI?
Penalaran dengan ilmu fiqh akan memberi
jawaban: ”Ya.. dan bahkan ikatan itu lebih ku­at,
http://pustaka-indo.blogspot.com

bersandarkan alasan-alasan syar’i dan yuridis.

80
Landasan Syar’i
1). Badan Penyelidik Persiapan Kemer­
de­kaan (BPPK) atau nama resminya
Dokuritsu Jum­bi Choosakai dibentuk
Penguasa Jepang. Pe­ nguasa semacam
ini oleh fiqh disebut Dzu Sya­ukah atau
sultan kafir (van Vollenhoven da­lam Des
Adatrecht menyebutnya ”de leitelijk po­
tenttat”) sama dengan Penguasa Hindia
Be­landa sebelumnya. Umat Islam wajib
taat pa­danya sepanjang perintah mereka
tidak menjurus pada kekufuran.
Para ulama biasa mengutip syair ibnu Ru­
slam dalam Kitab Zubad pada Muqadimah
bait ke-29: wa lam yajuz fi ghoiri makdlil kufri
khu­ru­
jana ‘ala waliyyil amri (kecuali dalam
pemak­sa­an kekufuran, kita tidak boleh melawan
pengu­asa). Artinya, semua pelembagaan yang
dibentuk penguasa kafir adalah sah, maka hasil
tu­
gasnya tentu sah pula sepanjang tidak me­
nying­gung inti akidah Islam, termasuk hasil dari
Dokuritsu Jumbi Choosakai itu.
2).
Proklamasi kemerdeklaan dalam
http://pustaka-indo.blogspot.com

pandangan fiqh adalah istilah yaitu


pengambil-alih­ an kekuasaan sebagai
alternatif ketiga da­lam cara in’iqod al-
imamah, menegakkan ke­pemim­pin­
an dalam bentuk negara. Ini karena

81
per­nya­
taan kemerdekaan tanpa ada
peralihan ke­
ku­a­
saan tak ada artinya.
Pengangkatan Soekarno dan Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden
pa­da 18 Agustus 1945 oleh Panitia Per­
siapan Ke­merdekaan Indonesia (PPKI)
adalah suatu bai’at yakni alternatif
pertama.
Tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 terjadi
dua peristiwa syar’i yang memenuhi syarat
bagi in’iqod al-imamah, yang menyebabkan
keberadaan RI harus dianggap sah. Karenanya
menjelang Pertempuran Surabaya, KH Hasyim
Asy’ari memfatwakan antara lain bahwa mem–
bela Republik Indonesia adalah suatu kewajiban
syar’i dan mereka yang gugur membela negara
RI adalah syuhada di sisi Allah swt.
Adapun PPKI sendiri dianggap ahlul halli
wal aqdi yakni badan atau dewan yang berhak
mengangkat dan melepas jabatan (antara
lain kepala negara) dan memang demikian
yang terjadi, van Vollenhoven menyebutnya
”het tot losmaken en binden bevoegden, als
http://pustaka-indo.blogspot.com

een kiescollege voor een nieuw staatshoofd”


(mereka yang ber­wenang melepas dan mengikat
jabatan sebagai dewan pemilih kepala negara
baru). Jadi, pe­ngo­lahan Piagam Jakarta menjadi
Pembukaan UUD RI terjadi sesudah merdeka

82
dan dilakukan lembaga milik umat dan bangsa
Indonesia sendiri.
Pembukaan UUD 1945 serta batang tu–
buhnya tetap merupakan bentuk ”shulhu”,
bahkan bersifat lebih mengikat bagi umat Islam
Indo­ne­sia dan umat beragama lain. Maka semua
produk legislatif MPR/DPR juga dari DPR/DPRD
adalah pelaksanaan shulhu yang juga mengikat
secara syar’i dan aqli bagi umat Islam Indonesia.
3). Penghapusan kata-kata ”dengan kewa­
jib­­
an menjalankan syariat Islam bagi
pe­me­luk­nya dalam Piagam Jakarta dan
diganti menjadi ”Ketuhan Yang Maha
Esa” dan ”Syariat Islam bagi Kepala
Negara” dalam batang tubuh UUD,
sedikit pun tidak mengurangi arti serta
ikatan syar’i maupun aqli bagi umat
Islam Indonesia kepada piagam yang
disempurnakan itu (Pembu ­ ka­
an dan
Batang Tubuh UUD 1945), sebab tan­
pa adanya ru­musan itu pun, sifat dan
ke­du­duk­an hukum dari kehidupan
bernegara adalah far­ dhu kifayah. Na­
http://pustaka-indo.blogspot.com

mun karena sudah menjadi kesepakatan,


ma­ ka ketentuan untuk ”kewajib­ an
menjalankan syari’at Islam bagi peme­
luk­nya” haruslah didasarkan pada
undang-un­ dang, seperti keputusan

83
DPR RI tentang UU Per­kawinan dan UU
Peradilan Agama.
Dalam hubungan ini, dengan penghapusan
tujuh kata dari Piagam Jakarta itu menjadikan
rumusan Pancasila sebagai ”hadiah terbesar
umat Islam bagi kemerdekaan Indonesia”.
Ini karena ia menghapus keraguan akan niat
baik para pemimpin yang beragama Islam di
Jawa tentang maksud dan tujuan kemerdekaan
Indonesia.

Alasan Yuridis
Dalam sejarah, konstitusi RI mengalami
berbagai perubahan. Dari 27 Desember 1945
sampai 15 Agustus 1950, misalnya, Indonesia
menjadi Negara Serikat dengan Konstitusi RIS.
Setelah itu RIS bubar dan kembali bergabung
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan UUDS. Dalam UUDS disepakati akan
dicarikan dasar negara yang lebih mantap
melalui Konstituante. (Semua konstitusi itu
dalam pandangan fiqh adalah shulhu yang di–
hasilkan lembaga perwakilan rakyat yang sah
http://pustaka-indo.blogspot.com

waktu itu). Karena Konstituante tak memperoleh


kesepakatan (buntu), dijatuhkanlah Dekrit
Presiden RI untuk kembali pada UUD 1945,
pada 5 Juli 1955. Dalam pertimbangannya (ali­
nea kelima) berbunyi: bahwa kami berkeyakin­

84
an Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai
UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Yuridis bahwa Piagam Jakarta telah lebur
dan menyatu dalam Pembukaan serta Batang
Tubuh UUD 1945. Hanya saja sementara ini
bunyi aliena tersebut sering dilupakan. Bahkan
yang alergi terhadap Piagam Jakarta menyebut
piagam itu berpotensi menumbuhkan persoalan
SARA dan cenderung menentang Pancasila dan
UUD 1945. Gejala ini jelas berlawanan dengan
maksud Dekrit Presiden RI itu.

Penutup
Membandingkan Piagam Madinah dan
Pia­gam Jakarta dengan titik berat pada konsep
shulhu, kiranya dapat meyakinkan kita, bahwa
keterikatan umat Islam pada Piagam Jakarta
yang sudah menjelma menjadi Pembukaan UUD
1945 adalah mutlak. Ini berarti keterikat­an umat
Islam pada Pancasila dan UUD 1945 adalah
mutlak pula.
Petunjuk dari Departmen Agama men–
http://pustaka-indo.blogspot.com

jelaskan bahwa umat Islam memandang ke–


hidup­ an bernegara sebagai suatu ibadah.
Namun, pa­ dangan itu tak boleh dipaksakan
kepada umat beragama lain. Sebaliknya, umat

85
Islam tak perlu mengikuti pandangan sekuler
dalam kehidupan bernegara yang dianut umat
beragama lain. l
Zaini Ahmad Noeh, 07/04/1995
http://pustaka-indo.blogspot.com

86
Upaya Wujudkan Konstitusi
yang Adil dan Demokratis
(Kasus Amandemen Pasal 29 Ayat 1 UUD
1945)

S
etiap bulan Juli, bangsa Indonesia
selalu mengenang peristiwa bersejarah:
dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh
Presiden Soekarno. Memori sejarah itu sering
ditafsirkan dalam pemahaman yang ambigu,
karena bangsa ini memang relatif belum matang
dalam kehi­dup­an bernegara, di samping pula
tak sedikit ke­pentingan politik mutakhir yang
ingin me­nung­gangi celah peristiwa sejarah.
Misalnya, banyak pihak yang menafsirkan
De­krit Presiden Soekarno merupakan tonggak
http://pustaka-indo.blogspot.com

pen­ting, karena kembalinya UUD 1945 sebagai


kons­titusi resmi Negara Kesatuan Republik In­
donesia (NKRI). Tak banyak orang yang tetap
meng­ ingat dengan jernih, betapa langkah

87
darurat Soekarno sesungguhnya telah menjegal
pro­ses demokrasi yang sedang berlangsung dan
ham­pir mencapai konsensus dalam Konstitu­an­
te. Sedangkan Konstituante merupakan lembaga
perwakilan rakyat, manifestasi kongkrit dari ha­
sil pemilu pertama sejak kemerdekaan bang­sa.
Sejak Dekrit 5 Juli itu, Indonesia mema­
suki masa ‘Demokrasi Terpimpin’, sebuah
sistem yang sama sekali tidak demokratis alias
oto­ritarian. Sehingga, mantan Wakil Presiden
Mohammad Hatta yang menyatakan berpisah
haluan dengan Soekarno sempat berkomentar
dalam bukunya Demokrasi Kita, bahwa ‘segala
sesuatunya ada pada masa Demokrasi Terpim­
pin, kecuali demokrasi itu sendiri’.
Dalam konteks sejarah yang ambigu itulah
per­
silangan pendapat tentang Piagam Jakarta
acap­kali menyertai. Sebab, dalam dekritnya
Pre­
siden Soekarno tegas menyatakan: ‘bahwa
Pia­
gam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD
1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan’. Anehnya, sebagian masyarakat me­
nerima kembalinya UUD 1945, namun enggan
http://pustaka-indo.blogspot.com

mengakui keabsahan Piagam Jakarta yang


digaransi oleh Presiden Soekarno sendiri.
Latar belakang sejarah Dekrit yang kelabu
membuat pemahaman sebagian orang atas le­
gitimasi historis Piagam Jakarta menjadi kabur.

88
Pa­dahal, landasan sejarah perumusan dan pe­
nye­pakatan Piagam Jakarta jauh lebih lama
dibandingkan pemberlakuan Dekrit. Tanpa ke­
munculan Dekrit Presiden Soekarno sekali­pun,
Pia­gam Jakarta telah mewarnai wacana pe­mi­kir­
an kebangsaan para pendiri republik ini. Ma­ri
kita tata kembali ingatan sejarah kita.
Kita patut belajar dari para pendiri bangsa
yang lebih mengedepankan argumentasi inte­lek­
tual dan visi kebersamaan daripada taruhan ke­
kuasaan dalam merumuskan kesepakatan bang­
sa (national enggagement).
Berdasarkan risalah sidang BPUPKI, jelas
yang dimaksud dengan Piagam Jakarta bukanlah
semata tujuh potong kata yang menjadi mo­mok
bagi sebagian orang, yaitu ketentuan tentang
‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya’. Itu hanyalah sebagian kecil da­
ri gentlemen agreement di antara tokoh-to­
koh nasional dari berbagai aliran. Sekalipun ia
sungguh sangat penting, sebab poin itulah titik
kom­promi yang diterima oleh founding fathers
kita.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian terbesar dari Piagam Jakarta justru


menandaskan: pengakuan kemerdekaan sebagai
hak universal dan perlawanan semesta terhadap
segala bentuk kolonialisme; pernyataan kemer­
de­kaan Indonesia sebagai buah perjuangan, bu­

89
kan pemberian negara asing; penyepakatan da­
sar-dasar bagi berdirinya negara Republik In­do­
n­esia yang merdeka; serta tujuan bersama yang
ha­rus diperjuangkan seluruh rakyat Indo­nesia
bersama masyarakat dunia yang beradab.
Ya, Piagam Jakarta itu tak lain adalah Pem­
bukaan UUD 1945 seutuhnya sebagaimana
disepakati Panitia Sembilan BPUPKI hingga ha­
ri kemerdekaan 17 Agustus 1945. Satu hari ke­
mudian, 18 Agustus 1945, sidang darurat Pa­nitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meng­
hapus klausul imperatif terhadap umat Islam itu
atas usulan Hatta yang telah dida­tangi seorang
opsir Kaigun Jepang dan diganti de­ngan ‘Yang
Maha Esa’.
Karena itu, dapat dipahami sewajarnya
upaya untuk mengembalikan UUD 1945 kepada
semangat otentiknya dengan mengusulkan ma­
suk­nya klausul Piagam Jakarta dalam proses
Perubahan UUD yang sedang berlangsung di
PAH I MPR. Usulan perubahan ditujukan kepada
Pasal 29 UUD 1945, bukan pada Pembukaan
UUD 1945 — tempat asli Piagam Jakarta
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang ki­ni tiba-tiba disakralkan kembali. Pasal


alternatif yang disodorkan Fraksi PPP dan PBB
adalah: ‘Negara berdasarkan Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya’.

90
Usulan itu memancing perdebatan panas,
ter­utama bagi mereka yang memiliki pemahaman
sejarah mendua seperti dijelaskan di mu­ ka.
Namun, kontroversi mungkin segera berlalu
karena pembahasan di PAH I MPR tampaknya
su­dah mengerucut. Terdengar kabar dua tokoh
dari Fraksi PPP dan PBB yang selama ini vokal
mendesakkan klausul Piagam Jakarta dalam
perubahan UUD 1945, akhirnya berkompromi.
Dengan begitu, sungguh tak beralasan ke­
khawatiran akan ancaman deadlock pada Si­
dang Tahunan MPR akibat perdebatan pasal-
pa­sal krusial. Bayang-bayang kebuntuan itu te­
lah dipergelap dengan kemungkinan skenario
ke­luarnya Dekrit Presiden Megawati yang
mem­ ba­
talkan proses amandemen konstitusi
seluruhnya, lalu memberlakukan kembali UUD
1945 sebagaimana ‘aslinya’. Andai benar begitu,
ma­ ka mirip dengan langkah drastis Presiden
Soe­karno 43 tahun yang lampau, yang kemudian
terbukti berhasil memberangus demokrasi, dan
bahkan kemudian menghancurkan rezimnya
sendiri.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Sementara itu, Fraksi Reformasi (gabung­


an PAN dengan PK) yang tetap mengusulkan
ama­n­demen Ayat 1 Pasal 29 UUD 1945 dalam
rumusan yang lebih inklusif, yakni: ‘Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan

91
kewajiban menjalankan ajaran agama bagi ma­
sing-masing pemeluknya’. Rumusan itu bisa di­
sebut sebagai klausul ‘Piagam Jakarta yang ber­
wawasan Piagam Madinah’.
Dengan usulan ini, phobi yang biasanya di­
kemukakan kelompok anti-Piagam Jakarta yai­
tu adanya diskriminasi dan kekhawatiran dis­
in­
te­
grasi terjawab tuntas. Dengan pendekatan
Piagam Madinah, maka berbagai kelompok
aga­ma mendapat hak yang sama untuk melak­
sa­nakan ajaran agamanya. Dan terbukti Piagam
Madinah justru menjadi faktor penting terjadi­
nya integrasi masyarakat Madinah yang plu­r­al
itu. Selain itu kewajiban melaksanakan ajaran
agama bagi para pemeluknya jelas dinya­takan
dalam Alquran misalnya QS As Syuro: 13, QS An
Nissa: 59, dan Al Maidah: 41-47.
Selain itu keperluan untuk mempertegas
identitas relijius dari bangsa ini semakin men­
desak. Justru ketika di era reformasi sekarang ini
Indonesia dinyatakan negara terkorup dan pa­
ling rendah kemampuannya dalam memun­cul­
kan keadilan hukum di Asia. Paham materialisme
http://pustaka-indo.blogspot.com

dan sekulerisme telah melanda hampir se­­luruh


sektor kehidupan bangsa, dan terbukti mem­­
bawa kerusakan fisik dan moral yang berat.
Banyak orang bingung mencari landasan
kehidupan yang lebih kokoh secara moral yang

92
akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Pe­gang­
an itu terutama bersumber dari ajaran aga­ma.
Sehingga, penerapan agama secara benar dan
menyeluruh dapat menjadi alternatif peme­
cah­an krisis nasional yang multidimensional.
Im­plementasi ajaran agama dalam kehidupan
ma­syarakat tak perlu terjebak silang pendapat
sis­
tem ‘teokrasi’ atau ‘demokrasi’. Sebab,
demokrasi yang anti-tuhan sama berbahayanya
dengan teokrasi yang tidak demokratis.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang
terkandung dalam Piagam Madinah dan Piagam
Jakarta dalam bentuk yang utuh sangat relevan
untuk diaktualisasikan kembali. Masa transisi
yang penuh ketidakpastian menuntut pe­ ngu­
atan falsafah kebangsaan dan keumatan kita.
De­ngan mewarisi semangat pencarian kebenar­
an yang dilakukan para pendiri bangsa, kita da­
pat mencermati kaitan historis antara Piagam
Madinah dengan Piagam Jakarta.
Piagam Madinah yang merupakan
sunnah Rasulullah SAW itu, pada hakekatnya
memuat prinsip-prinsip kehidupan beragama
http://pustaka-indo.blogspot.com

dan bernegara secara generik dan universal.


Sementara Piagam Jakarta — sekali lagi dalam
bentuknya yang utuh — merupakan upaya
pengejawantah­an kehidupan beragama dan
bernegara sesuai kon­teks keindonesiaan. Kedua

93
piagam politik itu (political charter) hendaknya
menjadi inspirasi politik kebangsaan baru.
Kita semua menyadari tantangan umat
dan bangsa dewasa ini jauh berbeda dengan
masa awal kemerdekaan. Saat ini, pergesekan
ideologi sudah beralih rupa. Arus globalisasi,
materialisme dan sekulerisme merambah ke
segenap sektor kehidupan bermasyarakat dan
bernega­ra. Tawaran ideologi Islam secara khusus
— yang disalahkaprahi sebagai motif utama di
ba­lik usul Piagam Jakarta — mendapat reaksi
keras. Tak cuma dari kalangan non-Muslim,
na­mun dari sebagian kaum muslimin sendiri
yang diam-diam telah menjadi sekuler tanpa di­
sadari. Untuk itu penggalian kembali nilai-nilai
otentik yang terkandung dalam Piagam Ma­
dinah dan Piagam Jakarta yang seutuhnya sa­
ngat diperlukan.
Tantangan praksis, misalnya bagaimana umat
pada tingkat individu, profesi, dan organi­sasi
dalam berbagai aktifitas mampu melaksanakan
ajaran agamanya secara kaafah dan menjadi
rahmatan lil alamin. Sebab, kewajiban itu juga
http://pustaka-indo.blogspot.com

sudah ada semenjak Rasulullah SAW men­


syariatkannya pada 14 abad lalu tanpa harus
dikaitkan dengan masalah amandemen UUD
‘45.

94
Juga tantangan ini terlihat dalam pem–
berlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darus­sa­
lam. Kewajiban menjalankan syariat
hanya di­ tu­
jukan kepada umat Islam dan
terbukti tidak di­
paksakan kepada umat lain,
dan bahkan tidak membuat umat non-Muslim
menjadi tidak nyaman hidup di Aceh, karena
pemberlakuan syariat Islam itu. Ketentuan
yang digodok sejak era Presiden Habibie, Gus
Dur, dan ditandatangani Presiden Megawati
itu diputuskan secara terbuka melalui legislasi
di DPR tanpa dikaitkan de­ngan Piagam Jakarta
yang parsial (7 kata sa­kral) itu. Menarik untuk
diawasi dan didorong efek­tivitas syariat dalam
meredam konflik, memajukan masyarakat dan
menghilangkan ketimpangan sosial. Tetapi
jangan sebaliknya, konflik terus direkayasa
untuk menggagalkan implementasi syariat.
Ada contoh menarik dari masyarakat Hin­du
di Provinsi Bali yang telah menerapkan hu­kum
agama Hindu berdasarkan Peraturan Dae­ rah
setempat. Ketentuan itu toh tidak dianggap in­
konstitusional. Pemberlakuan desa adat Banjar,
bahkan polisi adat Pencalang, dipercaya men­
http://pustaka-indo.blogspot.com

ciptakan keamanan tersendiri bagi ma­ sya­


rakat Bali, asal tidak bersifat diskriminasi ter­
ha­dap minoritas non-Hindu. Salah satu ritual
keagamaan di sana adalah Hari Raya Nyepi,

95
tat­kala seluruh pelosok Bali menghentikan ke­
giatan, sampai bandar udara internasional pun
berhenti beroperasi. Meskipun Bali termasuk ju­
risdiksi nasional Republik Indonesia, ternyata
ber­laku ketentuan khusus. Bukankah tidak ada
yang menaruh kecurigaan terhadap penerapan
ajaran agama Hindu di Bali? Lalu, mengapa
curiga dan takut dengan ajaran Islam?
Fenomena melaksanakan syariat itu mesti­
nya diapresiasi positif, menemukan akar historis
budaya lokal bagi pemecahan masalah sosial.
Per­soalannya jelas, masyarakat menyaksikan
penegakan hukum di republik ini tidak jalan.
Ter­jadi sandiwara dan mafia peradilan di
satu pi­hak, serta anarki massa di pihak lain.
Solusi pelaksanaan ajaran agama bisa menjadi
terobosan, bila dikelola secara bertanggung-
jawab.
Penerapan ajaran agama dalam kehidupan
masyarakat selayaknya diseriusi, karena de­mo­
krasi adalah tes ujian bagi penerapan nilai-nilai
yang dianut semua komponen bangsa. Keadilan
pa­tut diberikan bagi semua pemeluk agama. Ti­
http://pustaka-indo.blogspot.com

dak ada tempat bagi mereka yang tidak ber­agama


atau yang memusuhi agama. Karena ne­ge­ri ini
dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan
modal utama spirit keagamaan. Negeri ini
juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan

96
pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan.
Amandemen UUD 1945 harus dituntas­ kan
sehingga kita mempunyai UUD yang sungguh
reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita
sebagai bangsa dan negara. l

Hidayat Nur Wahid, 29/06/2002


http://pustaka-indo.blogspot.com

97
http://pustaka-indo.blogspot.com

98
Lampiran 1
Teks Piagam Madinah

S
ebagai produk yang lahir dari rahim
peradaban Islam, Piagam Madinah diakui
sebagai ben­tuk perjanjian dan kesepakatan
bersama bagi membangun masyarakat Madinah
yang plu­ral, adil, dan berkeadaban. Di mata pa­ra
sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Piagam
Ma­ dinah yang disusun Rasulullah itu dinilai
sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau
konstitusi pertama di dunia.
Berikut petikan lengkap terjemahan Pia­gam
Ma­dinah yang terdiri dari 47 Pasal.
Preambule: Dengan nama Allah Yang Ma­ha
Pe­ngasih dan Maha Penyayang. Ini adalah pia­
http://pustaka-indo.blogspot.com

gam dari Mu­hammad, Rasulullah SAW, di ka­


langan mukminin dan mu­slimin (yang ber­asal)
dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang
mengikuti mereka, menggabungkan diri dan
ber­juang bersama mereka.

99
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain
dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari
Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu mem­ bayar
diat di antara mereka dan mereka
membayar te­ busan tawanan de­
ngan
cara yang baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan)
me­reka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka se­perti semula,
dan setiap suku membayar tebusan ta­
wanan dengan baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara me­ reka
(seperti) semula, dan setiap suku
membayar te­ busan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (ke­bia–
http://pustaka-indo.blogspot.com

saan) me­ reka, bahu-membahu mem–


bayar diat di antara mereka (se­
perti)
semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik
dan adil di antara mukminin.

100
Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka
(seperti) semula, dan setiap suku
membayar tebusan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (ke–
bia­
saan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka
(seperti) semula, dan setiap suku
membayar te­ busan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara muk­
minin.
Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan
(kebia­
saan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka
(seperti) semula, dan setiap suku
membayar tebusan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebia­
saan) mereka, bahu-membahu mem–
http://pustaka-indo.blogspot.com

bayar diat di antara me­reka (seperti)


semula, dan setiap suku membayar te­
busan tawanan dengan cara yang baik
dan adil di antara mukminin.

101
Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (ke–
biasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara me­ reka
(seperti) semula, dan setiap suku
membayar te­ busan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak bo–
leh mem­biarkan orang yang berat
menanggung utang di an­tara mereka,
tetapi membantunya dengan baik
dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibo­ leh­
kan
membuat persekutuan dengan sekutu
mukmin lainnya, tanpa per­
setujuan
dari padanya.
Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa
harus menentang orang yang di
antara mereka mencari atau me­nuntut
sesuatu secara zalim, ja­hat, melakukan
permu­ suhan atau kerusakan di ka–
langan mukminin. Kekuatan me­
reka bersatu dalam menentangnya,
http://pustaka-indo.blogspot.com

sekalipun ia anak dari salah seorang


di antara mereka.
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh mem­
bunuh orang beriman lainnya lantaran
(mem­bunuh) orang kafir. Tidak boleh

102
pula orang mukmin membantu orang
kafir untuk (mem­bunuh) orang ber–
iman.
Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (per­lin­
dungan) diberikan oleh mereka yang
de­kat. Se­
sungguhnya mukminin itu
saling membantu, tidak tergantung
pada golongan lain.
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang
meng­ ikuti kita berhak atas per–
tolongan dan santunan, sepanjang
(mukminin) tidak terzalimi dan
ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah
satu. Seorang mukmin tidak boleh
membuat perdamaian tanpa ikut ser–
ta mukmin lainnya di dalam suatu
peperangan di jalan Allah, kecuali
atas dasar kesamaan dan keadilan di
antara mereka.
Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang ber–
sama kita harus bahu-membahu satu
sama lain.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas


pembunuh mukmin lainnya dalam
pepe­
rang­an di jalan Allah. Orang-
orang beriman dan bertakwa berada
pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

103
Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang
melindungi harta dan jiwa orang
(musyrik) Quraisy, dan tidak boleh
bercampur tangan melawan orang
beriman.
Pasal 21:
Barang siapa yang membunuh
orang beriman dan cukup bukti atas
perbuatannya, harus dihukum bu­nuh,
kecuali wali si terbunuh rela (menerima
diat). Se­
genap orang beriman harus
bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin
yang mengakui piagam ini, percaya
pada Allah dan Hari Akhir, untuk
membantu pembunuh dan memberi
tempat kediaman kepadanya. Siapa
yang memberi bantuan atau menye–
diakan tempat tinggal bagi pelanggar
itu, akan mendapat kutukan dan
kemurkaan Allah di hari kiamat,
dan tidak diterima daripadanya pe–
nyesalan dan tebusan.
Pasal 23:
Apabila kamu berselisih tentang
http://pustaka-indo.blogspot.com

sesuatu, penyelesaiannya menurut


(ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan
(keputusan) Muham­mad SAW.
Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama
mukminin selama dalam peperangan.

104
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah
satu umat dengan mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi
kaum muslimin agama mereka. Juga
(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-
sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi yang zalim dan jahat.
Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperla–
kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan
sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperla–
kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperla–
kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperla–
kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperla–
kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf,
kecuali orang zalim atau khianat.
Hukumannya hanya menimpa diri
http://pustaka-indo.blogspot.com

dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperla–
kukan) sama seperti mereka (Banu
Sa’labah).

105
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesung–
guhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain
dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan)
sama seperti mereka (Banu Tsa’labah).
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah)
sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal 36:
Tidak seorang pun dibenarkan
(untuk perang), kecuali seizin
Muhammad SAW. Ia tidak boleh
dihalangi (menuntut pembalasan)
luka (yang dibuat orang lain). Siapa
berbuat jahat (membunuh), maka
balasan kejahatan itu akan menimpa
diri dan keluarganya, kecuali ia
teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat
membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban
biaya, dan bagi kaum muslimin ada
kewajiban biaya. Mereka (Yahudi
dan muslimin) bantu-membantu da–
lam menghadapi musuh Piagam ini.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Mereka saling memberi saran dan


nasihat. Memenuhi janji lawan dari
khianat. Seseorang tidak menanggung
hukuman akibat (kesalah­ an) seku–
tunya. Pembelaan diberikan kepada

106
pihak yang teraniaya.
Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama
muk­minin selama dalam peperangan.
Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya
”haram” (suci) bagi warga Piagam ini.
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (di–
perlakukan) seperti diri penjamin,
sepanjang tidak bertindak merugikan
dan tidak berkhianat.
Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali
seizin ahlinya.
Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perse–
li­sih­an di antara pendukung Piagam
ini, yang dikha­wa­tirkan menimbulkan
bahaya, di­ serahkan penyelesaiannya
menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa
jalla, dan (keputusan) Muham­ mad
SAW. Sesungguhnya Allah paling
memelihara dan memandang baik isi
Piagam ini.
Pasal 43:
Sungguh tidak ada perlindungan
bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi
pendukung mereka.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-


membahu dalam menghadapi penye–
rang kota Yatsrib.

107
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam)
di­
ajak berdamai dan mereka (pihak
lawan) memenuhi perdamaian serta
melaksanakan perdamaian itu, maka
perdamaian itu harus dipatuhi. Jika
mereka diajak berdamai seperti itu,
kaum mukminin wajib memenuhi
ajakan dan melaksanakan perdamaian
itu, kecuali terhadap orang yang
menyerang agama. Setiap orang wajib
melaksanakan (kewajiban) masing-
masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum Yahudi al-’Aws, sekutu dan diri
mereka memiliki hak dan kewajiban
seperti kelompok lain pendukung
Piagam ini, dengan perlakuan yang
baik dan penuh dari semua pen–
dukung Piagam ini. Se­ sungguhnya
kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari
kejahatan (pengkhianatan). Setiap
orang bertanggungjawab atas per–
buatannya. Sesungguhnya Allah pa–
ling membenarkan dan memandang
baik isi Piagam ini.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 47:
Sesungguhnya Piagam ini tidak
membela orang zalim dan khianat.
Orang yang keluar (bepergian)
aman, dan orang berada di Madinah

108
aman, kecuali orang yang zalim dan
khianat. Allah adalah penjamin orang
yang berbuat baik dan takwa. Dan
Muhammad Rasulullah SAW.l
http://pustaka-indo.blogspot.com

109
http://pustaka-indo.blogspot.com

110
Lampiran 2
Teks Piagam Jakarta

Pembukaan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indo­
nesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia, de­ ngan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,


dan de­ngan didorong oleh keinginan luhur,
supaya berke­hidup­an kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.

111
Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pe­ merintah negara Indonesia Merdeka
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksa­ nakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
per­damaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu hu­kum dasar negara Indonesia
yang berbentuk dalam suatu su­ sunan negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat,
dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang di­pimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusya­wa­ratan-
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadil­an sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta 22 Juni 1945


http://pustaka-indo.blogspot.com

Panitia Sembilan:
1. Soekarno
2. Mohammad Hatta

112
3. Muhammad Yamin
4. Achmad Soebardjo
5. Abikoesno Tjokrosoejoso
6. Haji Agus Salim
7. A.A. Maramis
8. Abdul Kahar Muzakkir
9. Wachid Hasyim
http://pustaka-indo.blogspot.com

113

Anda mungkin juga menyukai