Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Teori Penelitian Psikologi Sastra


PSIKOLOGI SASTRA
Dosen : Siti Maemunah, S.Pd, M.Pd

Oleh:

Roofidah Shoolihah (201010750001)


Salma Amalianda Putri Casym (201010750034)
Yuana Prila Dewi (201010750047)

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pamulang, 15 Maret 2022

Kelompok 7

i
Daftar Isi
BAB 1.....................................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................6
C. Tujuan Pembahasan..................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................................7
A. Teori Dasar Psikologi Sastra.......................................................................................................7
B. Teori Konvergensi......................................................................................................................8
C. Teori Psikotekstual...................................................................................................................15
BAB III..................................................................................................................................................18
A. Kesimpulan..............................................................................................................................18
B. Saran........................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................20

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Membicarakan tentang psikologi sastra, pastinya orang-orang beranggapan bahwa
karya sastra berhubungan dengan psikologi atau kejiwaan seseorang. Hakikatnya
memang keduanya saling berhubungan, karena psikologi sendiri merupkan sebuah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang perilaku, fungsi mental, dan proses
mental manusia melalui prosedur ilmiah. Psikologi seseorang dipengaruhi oleh sistem
syaraf atau otak, yang merangsang untuk menghasilkan sebuah emosi kejiwaan atau
perasaan. Terdapat sebuah konsep dasar teori dari Freud, tentang kedasaran dan
ketidaksadaran yang dianggap sebagai aspek kepribadian dan tentang insting dan
kecemasan. Menurut Freud (Walgito, 2004:77) kehidupan psikis mengandung dua
bagian, yaitu kesadaran dan ketidaksadaran. . Insting ini merupakan kekuatan yang
kreatif dan bermanifestasi yang disebut libido.

Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan bukan oleh kekuatan-
kekuatan ketidaksadaran melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri.
Banyak cara untuk mengekspresikan perasaan seseorang, salah satunya dengan
menghasilkan sebuah karya seni seperti karya sastra. Sastra merupakan hasil karya
seni yang diciptakan pengarang atau pun kelompok masyarakat tertentu bermediakan
bahasa. Sebagai karya seni yang bermediakan bahasa, karya sastra dipandang sebagai
karya imajinatif. Dikutip oleh Luxemburg dkk. (1989), mengemukakan beberapa ciri
sastra. Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata
sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua, sastra
merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra, khususnya puisi, terungkap
hasrat kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup, dan alam. Dalam istilah penyair
Wordsworth, Poetry is the spontaneous overflow or powerfull feelings. Ketiga, sastra
bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, sastra tidak bersifat
komunikatif. Wordsworth, berkeyakinan bahwa seni sastra hanya dapat didefinisikan

1
lewat pembeberan latar belakang psikologi (Hardjana, 1984:62-63). Freud, sebagai
seorang psikoanalis yang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap karya sastra
juga menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan diri penyairnya (Hardjana,
1984:63). Menurut Freud kreativitas seorang pengarang tidak lain adalah sebuah
pelarian. Pendapat tersebut tampak pada kutipan berikut (Hardjana, 1984:63).
Seniman atau penyair pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari kenyataan
hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri. Dengan bakatnya yang
istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru
yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.

Kembali pada apa yang akan dibahas mengenai psikologi dan sastra. Selain
pengertiannya yang dapat dipahami, terdapat teori psikologi sastra.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan babarapa
permasalahan yang akan diteliti, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan teori psikologi sastra?
2. Bagaimana teori psikologi sastra bisa dihubungkan dengan psikologi sastra?
3. Mengapa teori psikologi sastra
4. Terdapat berapa jenis teori psikologi sastra?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini, antara lain:
1. Memahami pengertian teori psikologi sastra,
2. Memahami bagaimana teori psikologi sastra bisa dihubungkan dengan psikologi
sastra.
3. Mengetahui alasan mengapa
4. Mengetahui jenis-jenis psikologi sastra.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Dasar Psikologi Sastra


Perkembangan kajian sastra yang bersifat interdisipliner telah mempertemukan
ilmu sastra dengan berbagai ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
gender, dan sejarah. Pertemuan tersebut telah melahirkan berbagai macam
pendekatan dalam kajiansastra, antara lain psikologi sastra, sosiologi sastra,
antropologi sastra, kritik dan sastra feminis.
Psikologi sastra merupakan cabang ilmu kajian sastra yang melihat karya sastra
sebagai aktivitas dan pantulan kejiwaan. Karya sastra sendiri memiliki arti karya
cipta yang berisi permasalahan yang ada di lingkingungan sekitar atau
permasalahan yang di alami oleh pengarangnya. Gejala jiwa yang di temukan oleh
pengarang di kehidupan sehari-hari di tuangkan dalam teks.
Psikologi sastra merupakan ilmu lintas disiplin, yang memiliki konsep bahwa
sastra adalah hasil karya cipta dari pengarang yang bisa di abadikan. Sastra
tercipta karena ide kreatif dan suasana hati seorang pengarang, yang mencakup
ungkapan perasaan pengarang tersebut. Oleh karena itu, pengkajian sastra
memiliki hubungan yang erat dengan psikologi. Sasrta lahir dari proses imajiner
yang syarat muatan kejiwaan. Ketika dada sesak, orang mencipta sastra. Pada
waktu duka, lara, sengsara, sastra cair dengan sendirinya. Meskipun jiwa dapat
melakukan kebohongan diri dan publik, tetapi ekspresi sulit menyembunyikan
nya.
Manusia sebagai tumpuan sastra selalu terkait dengan gejolak jiwanya. Manusia
yang memiliki derajat istimewa, memiliki budi bahasa, watak, dan daya juang
kejiawaan berekspresi. Namun, manusia juga tidak sendirian di dunia. Mereka
harus hidup berdampingan dengan manusia-manusia lain. Fenomena ini akan
menjadi bidikan pengarang. Pengarang akan mengarahkan kamera jiwanya ke
arah hal tersebut secara masak. Mereka memiliki kepekaan jiwa sangat tinggi
sehingga mereka mampu menagkap suasana batin manusia lain yang paling
dalam.

4
Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama
berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya
perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada di dalam karya sastra adalah dari
manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia
riil. Namun, keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia,
karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak
mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya.
Akhirnya, dapat di katakan bahwa sastra sebenarnya dapat dijadikan objek
penelitian kejiwaan. Sastra dapat membantu psikologi ataupun sebaliknya. Belajar
kejiwaan dari sastra mungkin jauh lebih intens dibanding dalam dunia nyata.
Lebih dari itu, sastra akan menawarkan sejumlah rekaan manusia. Psikologi juga
akan menawarkan sederet kejiwaan manusia. Titik temu keduanya dapat di
gabung menjadi psikologi sastra. Melalui psikologi sastra, misteri diantara dua
disiplin ini akan terjawab.

B. Teori Konvergensi
William Louis Stren (1871-1938): Stren adalah salah satu pelopor dari psikologi
modern dan peranan utamanya terletak dalam kemampuannya untuk menyatukan
teori-teori yang saling bertentangan untuk menerangkan tingkah laku. Ia melihat
bahwa tiap teori mempunyai kekuatanya sendiri dan masing-masing mengandung
kebenaran untuk menerangkan tingkah laku. Ia melihat bahwa tiap teori
mempunyai kekuatannya sendiri dan masing-masing mengandung kebenaran
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu. Suatu gejala mungkin dapat dijelaskan
oleh teori lainnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian maka teori-
teori yang nampaknya saling bertentangan itu sesungguhnya saling melengkapi.
Stren adalah kelahiran Jerman. Ia lahir di Berlin pada tanggal 29 April 1871,
tetapi meninggal di Amerika Serikat, yaitu di Durham, North California, pada
tanggal 27 Maret 1938. Hal ini disebabkan karena pada 1933 ia terpaksa
melarikan diri ke Amerika Serikat karena alas an rasial. Sebelum ia melarikan diri
ke Amerika Serikat ia menjadi mahasiswa di Berlin dan kemudian menjadi dosen
di Breslau sampai tahun 1916. Setelah itu ia bekerja di Hamburg dalam riset
psikologi dalam riset psikologi dan dalam kesempatan ini ia ikut mendirikan

5
Universitas Hamburg berikut laboratorium psikologinya dan kemudian menjadi
direktur lembaga psikologi di Universitas Hamburg tersebut sampai tahun 1933.
Di Amerika serikat ia mengajar di Harvard dan Duke University. Ada 3 pendapat
besar tentang manusia, yaitu: Nativisime: berasal dari kata natus (lahir); nativisme
(pembawaan) memandang manusia sejak lahir sudah membawa potensinyam
misalnya: kalau ayah pintar, maka kemungkinan anaknya pintar. Empirisme: tidak
mengakui adanya pembawaan atau potensi. Teori “tabula rasa” John Locke (1704-
1932). Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh
besar dalam menentukan perkembangan anak. Konvergensi: faktor bawan dan
factor pengalaman memainkan peranan penting dalam perkembangan
manusia.Perkembangan selanjutnya, Aristoteles mencoba mengembangkan teori
mimesis ini. Aristoteles justru berpendapat dunia dalam karya sastra (KS) lebih
menarik daripada dunia nyata (DN). Jadi karya sastra (KS) lebih bermakna dan
berharga daripada dunia nyata (DN). Misalnya jika kita melihat seorang dosen
berpacaran dengan seorang mahasiswi, hati kita akan merasa tidak senang.
Sebaliknya peristiwa pacaran kekasih ini jika dilukiskan dalam sebuah cerita
novel, pembaca akan merasa empati dan senang. Gejala inilah membuktikan
bahwa dunia ide atau karya sastra lebih tinggi daripada dunia nyata. Jadi menurut
Aristoteles apa yang terdapat dalam KS (karya sastra) lebih indah daripada di DN
(dunia ide). Dengan perkataan lain seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada
seorang tukang; sebab karya seni merupakan cara unik untuk membayangkan
pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat
diungkapkan dengan jalan lain. Pada abad pertengahan, fungsi karya seni dalam
khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam puisi jawa kuno digunakan untuk meniru
keindahan alam. Pada abad ke 18, menurut pandangan Marxiz dan sosiologi
sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Dengan demikian terdapat
persamaan antara pendekatan sosiologis dengan pendekatan mimesis.
Perbedaannya adalah jika mimesis memakai karya sastra sebagai dasar
pencerminan, sementara itu sosiologi memakai masyarakat sebagai dasar
pencerminan (Nyoman, 2004: 70).

1. Teori Psikobudaya

6
Budaya menurut pengertian banyak orang adalah tercipta dari rasa, cipta, karya
manusia. Budaya sendiri juga bentuknya beragam, menyesuaikan dengan karakter
orang tiap-tiap daerah. Kejiwaan dan kepercayaan manusia terekspresikan dengan
membentuk sebuah budaya. Budaya sendiri bentuknya tidak hanya tentang seni
seperti tarian, wayang, lukisan, tetapi juga bisa berupa tulisan sastra jawa kuno
yang dinamakan kakawin (puisi).
Psikologi sendiri berhubungan dengan kejiwaan dan kepercayaan manusia.
Biasanya manusia menuangkannya dalam bentuk sesuatu untuk menggambarkan
psikologinya. Jadi, dalam teori ini membahas tentang hubungan antara psikologi
budaya dalam karya sastra. Menurut Wallek dan Warren (1989:92-93), dalam
sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni.
Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi
jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut. Pendapat terakhir ini
memberikan pemikiran penelitian psikologi sastra agar tidak keliru arah.
Penelitian psikologi sastra agar tidak terjebak pada penelitian psikologi. Psikologi
sekadar ilmu bantu, bukan hal yang pokok.
Di samping kebudayaan terdapat istilah lain yang berkaitan erat, yaitu pradaban
(dari akar kata adab, bahasa Arab). Dalam tradisi Barat, peradaban disebut
civilization (dari akar kata civis, civitas) yang berarti warga negara, negara kota.
Jadi, secara etimologis kebudayaan dan peradaban adalah sinonim, keduanya
berarti keseluruhan hidup masyarakat manusia. Meskipun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya pada umumnya peradaban didefinisi-kan sebagai
bentuk-bentuk kebudayaan yang paling tinggi, seperti teknologi, ilmu
pengetahuan, seni bangunan, sistem ketatanegaraan, dan sebagainya.Jadi, sastra
dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yaitu aktivitas manusia, tetapi
dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas,
sebagai kemampuan emosionalitas, kebudayaan lebih banyak melalui
kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas.
Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan
penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis
adalah karya-karya yang memberikam intensitas pada aspek kejiwaan tersebut,
karya sastra arus kesadaran, seperti belenggu, karya-karya iwan simatupang, dan
Putu Wijaya. Novel-novel konvensional pun dapat dianalisis dari segi psikologis
dengan mempertimbangkan dominasi konflik antar tokoh, seperti Atheis (Achdiat

7
Karta Mihardja), Grotta Azzurra dan Kalah dan Menang ( Sutan Takdir
Alisjahbana), Jalan Tak Ada Ujung dan Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis),
dan sebegitunya. Informasi ini perlu ditambahkan lagi bahwa karya sastra lokal
pun banyak yang menantang jika dikaji secara psikologis. Prototipe tokoh dalam
dongeng kancil misalnya, juga relevan jika dikaji secara psikologi. Mengapa
kancil selalu menang? Mengapa kancil menjadi simbol pemikiran cerdas, dan
seterusnya.
Teori konvergensi di atas harus dibangun dalam bentuk konstruk analisis yang
memadai. Konstruk akan menjadi arahan penelitian konversi psikologi dan sastra
yang handal. Konstruk ini bukan sekadar kompilasi teori, melainkan
mengakrabkan teori psikologi dan sastra. Teori yang dibangun tidak lagi berdiri
sendiri, tetapi campuran yang halus. Kemapanan membangun konstruk analisis
sebenarnya sudah setengah berhasil dalam penelitian.

2. Teori Psikomimesis
Mimesis berasal dari bahasa yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya
dengan sastra diartikan sebagai pendekatan yang berupaya untuk mengaitkan
karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles
sejak masa keemasan filsafat Yunani kuno, hingga pada akhirnya Abrams
memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis seni
selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari
pendekatan sosiologi seni yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik seni
yang lain.
Pada bagian lain, Daichess (Roekhan, 1987:145) berpendapat bahwa penggunaan
psikologi dalam kritik sastra adalah seperti penggunaan pendekatan sosiologi,
yakni bersifat genetis di satu sisi, dan di sisi lain ia mengatakan bahwa kajian itu
(oleh psikolog yang profesional) dapat dilakukan dengan memakai pengetahuan
tentang berbagai masalah dan situasi kejiwaan untuk menafsirkan suatu karya
tanpa memperhatikan petunjuk dari aspek biografis pengarangnya. Berkenaan
dengan peryataannya di atas, Daiches mengemukakan bahwa masuknya psikologi
dalam kritik sastra melalui dua cara. Pertama, melalui penelitian tentang hasil
kreasi yang mengarah kepada penelitian imajinatif, dan kedua, melalui penelitian

8
psikologis penulis secara pribadi untuk menunjukkan kaitan antara sikapnya dan
pernyataan-pernyataan kejiwaannya dengan kualitas tertentu karyanya.
Sementara teori Mimesis yang digunakan dalam makalah ini adalah teori mimesis
dari Plato. Abrams (1976:8-9) mengatakan teori mimesis adalah pendekatan
pendekatan estetik dalam studi sastra yang paling sederhana dan kuno, karena
adanya diskusi yang diadakan oleh filosuf Plato dengan murid-muridnya pada
lebih dari 2000 tahun yang lalu, kemudian ditentang oleh muridnya Aristoteles.
Dalam diskusi Plato itu dipaparkan secara panjang lebar hubungan antara dunia
kenyataan dengan puisi. Hubungan antara karya sastra dalam makalah ini dengan
dunia nyata sangat kompleks. Hal ini sesuai pendapat Teeuw(1984:219) yang
menyatakan, kehidupan nyata selain terkait dengan ilmu sastra, juga terkait
dengan masalah filsafat, psikologi, sosiologi dan lain sebagainya.. Peristiwa
mimesis sebuah karya sastra ini juga dipertegas oleh Wellek & Warren (1989:
109), yang mengatakan sifat sastra memang menyajikan sebagian besar tentang
kehidupan, sementara itu kehidupan dunia nyata merupakan keadaan sosial
masyarakat. Jadi ada faktor tiruan terhadap keadaan sosial dunia nyata dalam
karya sastra. Jadi bagi Plato mimesis terikat pada ide pengarang, dan ide itu tidak
bisa mengahasilkan tiruan yang persis sama, lewat mimesis tataran yang lebih
tinggi hanya berupa angan-angan. Karya seni (sastra) tidak bisa menjelma
langsung dalam wujud yang ideal. Pandangan Plato terhadap seni adalah negatif,
karena apa yang dituangkan dalam karya sastra merupakan khayalan yang masih
jauh dari “kebenaran”. Misalnya wujud meja mencerminkan suatu ide yang asli,
sementara itu seorang tukang membuat meja merupakan jiplakan dalam ide. Hasil
jiplakan itu selalu tidak bisa menyamai dengan meja yang berada dalam ide.
Masih menurut Plato, meskipun meja hasil tukang kayu belum memadai, tetapi
masih lebih mendekati kebenaran jika dibanding dengan hasil yang dicapai oleh
seorang penyair (Luxemburg dkk, 1986: 16).
Akhirnya, tugas peneliti psikomimesis harus mencermati gejala jiwa. Gejala jiwa
dalam memang dipandang yang amat rumit, apa lagi jika gejala itu telah
diekspresikan dalam sastra yang bernuansa absurd. Peneliti tentu perlu menguasai
absurditas sastra. Keanehan dalam sastra jelas tak bisa lepas dari aspek jiwa. Jiwa
itu akan ditiru secara estetis. Jiwa menjadi pusat mimesis yang luar biasa
3. Teori Psikobiografis

9
Biografis atau biografi sendiri merupakan sebuah kisah pengarang. Kehidupan
pengarang amat menentukan kondisi sastra. Biografi itu amat membantu
penelitian psikobiografis. Wallek dan Warren (1989:81-82) menunjukkan empat
model pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif,
karya sastra, dan pembaca. Kehidupan pribadi dilacak hingga ditemukan titik
poin antara kehidupan riil dengan kehidupan imajinatif.Pengertian kepribadian
menurut Philip Kotler adalah ciri bawaan dari psikologi manusia atau human
psychological traits yang berbeda dan menghasilkan tanggapan yang relatif
konsisten dan bisa bertahan lama dalam rangsangan lingkungan tertentu.
Biasanya kepribadian digambarkan dalam karakteristik perilaku seperti
kepercayaan diri, sosialisasi, dominasi, mempertahan diri, beradaptasi, otonomi,
dan sifat yang agresif. Itulah sebabnya kepribadian berkaitan dengan konsep diri
yang merupakan inti dari kepribadian individu. Inti ini sangat berperan penting
dalam mengarahkan dan menentukan perkembangan kepribadian dan perilaku
positif seseorang.
Dasar dari pemikiran konsep diri adalah apa yang dimiliki seseorang dapat
memberi kontribusi dan jadi cerminan identitas mereka. Sehingga “kami adalah
apa yang menjadi milik kami”. Itulah sebabnya untuk memahami tingkah laku
konsumen, sebagai pemasar kita perlu memahami hubungan antara konsep diri
konsumen dan kepemilikannya. Kepribadian ini kemudian berkaitan dengan
adanya bentuk perbedaan karakteristik yang paling dalam dari diri seseorang atau
disebut inner psychological manusia. Perbedaan fisik tersebut bisa menunjukan
ciri- ciri unik yang dimiliki masing-masing individu sebagai makhluk sosial.
Bentuk perbedaan karakteristik tersebut bisa mempengaruhi respons seseorang
pada lingkungannya atau stimulusnya secara konsisten. Jadi kepribadian menjadi
salah satu kajian psikologi yang kemudian lahir karena pemikiran, kajian, dan
temuan- temuan (hasil praktek penanganan kasus) yang dilakukan para ahli,
dimana objek kajiannya adalah human behavior. Akhirnya pembahasan perilaku
manusia berhubungan dengan ada, mengapa, dan bagaimana perilaku individu
tersebut. 
Sehingga kepribadian manusia dapat menunjukan sifat dalam diri atau kejiwaan
yakni kualitas sifat pembawaan kemampuan yang dapat mempengaruhi individu
dan perangai khususnya untuk membedakan satu individu dengan individu
lainnya. 

10
Penelitian psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu
pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan
psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Arah
dari penelitian ini sebenarnya cenderung memburu genetika sastra, yang dalam
penelitian sosiologi sastra dikenal strukturalisme genetik. Jika biografis bisa lebih
luas, mengarah ke berbagai hal tentang pengarang, psikologi pengarang jelas
fokusnya pada aspek kejiwaan saja. Namun, cara menggali data antara keduanya
berbeda. Sayang sekali dalam khazanah sastra, persoalan genre biografi biasanya
kurang begitu berkembang. Biografi sering dianggap sebagai kesombongan
estetis. Apalagi, kalangan akademis selalu memburu biografi pengarang ternama
saja. Sementara pengarang kelas teri, mungkin akan terabaikan. Dalam studi
psikologis tidak akan bisa lepas dari studi pengarang kelas apa pun. Hal ini
dikarenakan aspek kejiwaan akan melanda siapa saja. Tiap-tiap level pengarang
memiliki kekhasan masing-masing. Apa pun alasannya, studi psikologis dapat
mengungkap aspek biografis pengarang secara proporsional. Tentu penekanan
biografis tetap pada gejala psikis. Tumpuan akhir dari sebuah penelitian adalah
menemukan relevensi biografis dengan kandungan nilai dalam sastra. Aspek-
aspek biografis, apakah akan menciptakan ide baru atau tidak, tergantung
kemampuan peneliti mengungkapkannya Arswendo Atmowiloto, Pramudya
Ananta Tour, Suhindriyo, dan penyair lekra yang pernah mengenyam dunia jeruji
besi, tentu mengalami dentuman psikologis yang khusus. Pada tataran ini, peneliti
psikologi sastra perlu memanfaatkan biografis dari waktu ke waktu.

C. Teori Psikotekstual

Psikotekstual adalah teori psikologi sastra dari aspek teks. Teks menjadi tumpuan
utama. Penelitian teks sastra, menurut Barthes (1988:172) cukup luas cakupannya.
Penelitian teks tidak hanya membedah sastra sebagai struktur, tetapi juga unsur
pembentuk sastra itu. Bagaimana sastra itu dihasilkan, sampai dampaknya pada
pembaca. Gagasan ini sebenarnya mengisyaratkan bahwa teks sastra boleh dibaca

11
dalam sekian hal. Termasuk di dalamnya membaca teks secara psikologis. Jadi,
penelitian tekstual dalam konteks psikologi sastra juga lebar wilayahnya.

Pada hakekatnya, karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan adalah bertujuan
untuk dapat dinikmati, dipelajari dan dimanfaatkan oleh para pembacanya. Sastra
adalah suatu karya nyata yang mewakili kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan
masyarakat yang dikaji adalah hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan
pribadi, masyarakat dengan masyarakat lain serta antara manusia dengan kejadian
yang dialami secara batiniah seseorang. Kajian-kajian ini adalah yang menjadi topik
utama karya sastra. Atau dengan kata lain, karya sastra ada secara bersamaan dengan
lembaga sosial primitif yang ada di masyarakat, misalnya sastra dalam upacara
keagamaan, ilmu gaib, kehidupan sehari-hari atau dalam permainan. Dunia sastra
adalah dunia penuh dengan konsep khayalan. Di dalam sebuah karya sastra akan
terdapat banyak simbol dengan bermacam-macam ari dan makna. Sastra bisa juga
disebut sebagai sebuah ungkapan pengarang sastra atau sastrawan yang berasal dari
pengalaman pribadi, sebuah pemikiran, sesuatu yang dirasakan, ide yang dimiliki,
semangat dalam diri pengarang serta sebuah gambaran nyata yang meningkatkan rasa
melalui alat bahasa (Sumardjo, 1988:1-3). Selain psikologi perkembangan, psikologi
olahraga, psikologi sosial, psikologi faal, psikologi forensik, psikologi industri dan
organisasi, psikologi pendidikan, psikologi eksperimen juga terdapat psikologi sastra.
Adanya kajian psikologi di dalam sebuah karya sastra bisa jadi adalah sebuah visi
yang ingin disampaikan oleh pengarang. Mengapa bisa begitu? Sebab, pengarang
berkeinginan untuk meningkatkan aliran psikologi yang diyakininya. Akan tetapi,
kaidah psikologi ini juga terjadi karena ketidaksengajaan. Ini bisa dilihat dari rentetan
perilaku tokoh dalamm alur cerita yang berkaitan dengan konflik yang terjadi. Tokoh
dalam cerita seperti inilah yang disebut dengan tiruan murni yang hanya dapat
diedakan dengan metode psikologis di kehidupan yang sebenarnya.

Teori pendekatan tekstual dalam karya sastra pernah dibahas oleh Roekhan (1990:88-
105). Dia mengungkapkan bahwa pendekatan tekstual dalam psikologi sastra adalah
pendekatan dari segi psikologis tokoh yang ada di dalam karya sastra tersebut.
Pendekatan ini muncul akibat dari pengkaji sastra yang kurang puas terhadap
pendekatan ekspresif dan reseptif pragmatis. Hal inilah yang membuat pendekatan
ekspresif dan pendekatan reseptif pragmatis menjadi kurang terdengar keberadaannya
daripada pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual adalah salah satu metode

12
pendekatan yang dikaji dlaam psikologi sastra dimana pendekatan ini berawal dari
tumpuan pendekatan psikologi dalam yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, C.
Gustac Jung dan tim yang lainnnya. Seperti yang sudah kita singgung di atas,
pendekatan tekstual adalah pendekatan yang mengkaji tentang tokoh yang berperan
dalam karya sastra. Sebenarnya, segala macam teori analisis bisa dijadikan patokan
dalam menganalisa teks ini namun yang terutama adalah pendekatan dengan teori
tekstual harus dihilangkan jauh dar latar belakang psikologis pengarang. Yang
terkahir, pemdekatan ini lebih menekankan ke arah pembaca. Walaupun sering
muncul beberapa analogi, namun seluruh materi lebih mengarah ke hal tersebut. Poin
utama dari pendekatan tekstual ini adalah menganalisa tokoh yang berperan dalam
karya sastra dari segi psikologis.

Kehadiran penelitian tekstual ini bermula dari munculnya rasa tidak puas dari
sekelompok pengkaji sastra terhadap pendekatan reseptif pragmatis yang telah ada.
Ketidakpuasan tersebut dilatari oleh alasan bahwa (1) penelitian ekspresif dan reseptif
pragmatif tidak menggunakan karya sastra sebagai objek penelitiannya, tetapi justru
menempatkan penulis dan pembaca karya sastra sebagai gantinya. Dengan demikian,
kehadirannya sebagai bagian dari studi sastra masih diragukan; (2) penelitian
ekspresif dan reseptif pragmatis cenderung menyeret penelaah sastra untuk melakukan
“kesalahan genetis”, yakni terjadinya kecenderungan penelaah sastra menentukan
nilai sebuah karya sastra dengan semata mendasarkan diri pada otoritas maksud
penulis sebagai penghasil karya. Akibatnya, karya sastra hanya boleh (sahih)
ditafsirkan berdasarkan keterangan dari penulis semata. Selain itu, penelitian ini
sering menyeret penelaah pada “kesalahan fungsional”, yakni kesalahan yang berupa
penentuan nilai sebuah karya berdasarkan bermanfaat atau tidaknya sebuah karya bagi
masyarakat pembaca. Sebuah karya dikatakan bernilai apabila mampu memberikan
manfaat tertentu pada masyarakat pembacanya. Sebaliknya, sebuah karya dikatakan
tidak bernilai sastra kalau tidak memberikan manfaat apa-apa pada masyarakat
pembacanya, dan karya-karya yang bervisi “sakramental”. Misalnya, sebuah karya
dikatakan bernilai kalau dapat dijadikan cermin oleh pembaca untuk mempertebal
iman, menyucikan batin, memperluas wawasan, dan sebagainya.
Dengan semakin berkembangnya penelitian psikologi sastra, terutama dengan
meneraapkan pendekatan tekstual di atas, pada akhirnya para penelaah sastra tidak

13
puas dengan satu pendekatan saja. Mereka mencoba mencari alternatif baru dengan
cara mencoba menerapkan pendekatan-pendekatan psikologi yang lain, yang dapat
diterapkan dalam studi psikologi sastra. Akhirnya, bermunculanlah pendekatan-
pendekatan baru, seperti pendekatan kognitif, pendekatan behavioral, pendekatan
ghanzeid, dan pendekatan eksistensial, serta masih banyak lagi.
Begitulah sistem psikotekstual. Teks menjadi endapan kejiwaan. Teks selalu
dipandang sebagai simpanan jiwa. Gejolak jiwa dari yang sederhana sampai ke
kompleks, menjadi ruh teks. Jiwa akan menghidupkan teks. Maka, penelitian psikotes
bertumpu dari teks untuk mencermati.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Teori Dasar Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan cabang ilmu kajian sastra yang melihat karya sastra
sebagai aktivitas dan pantulan kejiwaan. Karya sastra sendiri memiliki arti karya
cipta yang berisi permasalahan yang ada di lingkingungan sekitar atau
permasalahan yang di alami oleh pengarangnya.
2. Teori Konvergensi
a. Teori Psikobudaya
Dalam teori ini membahas tentang hubungan antara psikologi budaya dalam
karya sastra. Menurut Wallek dan Warren (1989:92-93), dalam sebuah karya
sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni.
b. Teori Psikomimesis
Wellek & Warren (1989: 109), mengatakan bahwa sifat sastra memang
menyajikan sebagian besar tentang kehidupan, sementara itu kehidupan dunia
nyata merupakan keadaan sosial masyarakat. Jadi ada faktor tiruan terhadap
keadaan sosial dunia nyata dalam karya sastra.
c. Teori Psikografis
Kehidupan pengarang amat menentukan kondisi sastra. Menurut Philip Kotler,
ciri bawaan dari psikologi manusia atau human psychological traits yang
berbeda dan menghasilkan tanggapan yang relatif konsisten dan bisa bertahan
lama dalam rangsangan lingkungan tertentu. Biasanya kepribadian
digambarkan dalam karakteristik perilaku seperti kepercayaan diri, sosialisasi,
dominasi, mempertahan diri, beradaptasi, otonomi, dan sifat yang agresif.
Kepribadian menjadi salah satu kajian psikologi yang kemudian lahir karena

15
pemikiran, kajian, dan temuan- temuan (hasil praktek penanganan kasus) yang
dilakukan para ahli, dimana objek kajiannya adalah human behavior.

3. Teori Psikotekstual
Psikotekstual adalah teori psikologi sastra dari aspek teks. Penelitian teks tidak
hanya membedah sastra sebagai struktur, tetapi juga unsur pembentuk sastra itu.
Bagaimana sastra itu dihasilkan, sampai dampaknya pada pembaca.

B. Saran
Dengan adanya pembahasan tentang Penelitian Teori Psikologi Sastra ini, diharapkan
pembaca dapat memahami lebih lanjut tentang “TeoriPsikologi Sastra” dan dapat
memanfaatkannya dalam pembelajaran atau kehidupan sehari-hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://www.psikologimultitalent.com/2015/09/pengertian-teori-konvergensi-dalam.html

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873962/pendidikan/Bukuajar-Psikologi+Sastra.pdf

https://www.psikologimultitalent.com/2015/09/pengertian-teori-konvergensi-dalam.html

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_sastra

https://media.neliti.com/media/publications/235006-sastra-dan-budaya-9f18ccea.pdf

http://repository.petra.ac.id/16016/1/Publikasi1_06003_706.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai