Anda di halaman 1dari 16

Makalah

filsafat idealisme dalam pendidikan

Disusun oleh:
I kade dwi ferianta
(220401140179)

Program studi pendidikan guru sekolah dasar fakultas ilmu


pendidikan universitas PGRI kanjuruhan malang
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Filsafat Idealisme”.
Makalah ini penulis buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu,
di samping sebagai salah satu keterlibatan penulis dalam pelajaran filsafat yaitu menyediakan bahan
perkuliahan. Makalah ini berisi tentang pengertian filsafat idealisme, aliran dalam filsafat idealisme,
tokoh-tokoh filsafat idealisme, dan filsafat idealisme dalam pendidikan yang bermanfaat bagi para
pembaca untuk menambah wawasan atau pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis tentu saja tidaka dapat menyelesaikannya sendiri
tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1) Bapak Drs. Dunia Siagian, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami;
2) Para penulis yang bukunya kami jadikan sebagai referensi dalam penulisan makalah ini;
3) Para sahabat bloger yang telah kami kunjungi blognya sebagai rujukan; dan
4) Terakhir kepada rekan kelompok yang turut bekerjasama demi terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna Karena masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan
mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke
depannya.
Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam
makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

jembrana, November 2023


Penulis,

I kade dwi ferianta

i
Daftar isi
Kata pengantar ......................................................................................................................... i
Daftar isi ................................................................................................................................... ii
Bab I pendahuluan ................................................................................................................... 1

1.1 latar belajang masalah ........................................................................................................ 1


1.2 identifikasi masalah............................................................................................................ 1
1.3 batasan masalah.................................................................................................................. 2
1.4 rumusan masalah ................................................................................................................ 2
1.5 tujuan ................................................................................................................................. 2
1.6 manfaat ............................................................................................................................... 2

Bab II pembahasan ................................................................................................................... 3

2.1 pengertian filsafat idealisme .............................................................................................. 3


2.2 jenis aliran idealisme .......................................................................................................... 5
2.3 tokoh-tokoh aliran idealisme .............................................................................................. 7
2.4 filsafat idealisme dalam pendidikan ................................................................................... 10

Bab III penutup ........................................................................................................................ 12

3.1 kesimpulan ......................................................................................................................... 12


3.2 saran ................................................................................................................................... 12

Daftar pustaka .......................................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophos”, philo berarti cinta dan sophos berarti
kebijaksanaan. Jadi, filsafat adalah cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Menurut bentuk kata,
seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Filsafat sering pula diartikan sebagai
pandangan hidup. Filsafat merupakan induk atau sumber dari segala ilmu karena filsafat mencakup
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Sesuai dengan pengertian di atas maka kita selaku masyarakat ilmiah harus berfilsafat.
Berfilsafat tidak sama dengan berpikir. Orang yang berpikir belum tentu berfilsafat, tetapi orang
yang berfilsafat sudah pasti berpikir. Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang disertai dengan
analisis menggunakan rasio dalam menemukan sebuah kebenaran sedangkan berpikir hanya
merupakan kegiatan memikirkan hal-hal tertentu yang belum tentu berakhir dengan penemuan
sebuah kebenaran.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu
secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan di dalam penggunaan
cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah
yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar
belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu
tempat. Ajaran filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu
sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir
apa yang disebut aliran filsafat. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah aliran materialisme, yang
mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan termasuk makhluk hidup dan manusia ialah
materi. Aliran idealisme/ spritualisme, yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang
menentukan hidup dan pengertian manusia. Dan aliran realisme yang menggambarkan bahwa ajaran
materialis dan idealisme yang bertentangn itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya,
realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Realitas adalah
perpaduan benda materi dan jasmaniah dengan yang nonmateri (spiritual, jiwa, dan rohani).

Perbedaan dari berbagai aliran tersebut jangan dijadikan sebagai objek pertikaian atas
kesalahpahaman tetapi dapat kita jadikan sebagai pilihan dalam menyikapi berbagai permasalahan
yang kita hadapi dalam kehidupan. Kebijaksanaan kitalah yang kembali mengambil tindakan dalam
memanfaatkan aliran-aliran tersebut sesuai dengan fungsi dan tujannya masing-masing. Oleh karena
perbedaan tersebutlah maka penulis membuat makalah ini yang membahas uraian mengenai salah
satu aliran filsafat, yaitu filsafat idealisme.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dituliskan beberapa masalah yang diidentifikasi, yaitu
sebagai berikut:
a. Apakah pengertian filsafat?
b. Apakah pengertian filsafat materialisme?
c. Apakah pengertian filsafat realisme?
d. Apakah pengertian filsafat idealisme?
e. Apakah pengertian filsafat eksistensialisme?

1
f. Bagaimana hubungan antara aliran-aliran filsafat tersebut?
g. Apa manfaat dari mempelajari filsafat?
h. dan lain-lain

1.3 Batasan Masalah


Penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini yaitu pada filsafat idealisme. Tujuan
pembatasan ini adalah agar pembahasan tidak terlalu mengambang dan pembahasan materi lain
yang bersangkutan tidak terlalu mendalam.
1.4 Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah di atas maka masalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah pengertian filsafat idealisme?
b. Adakah pembagian aliran dalam filsafat idealisme?
c. Siapa sajakah tokoh filsafat idealisme dan bagaimana pandangan mereka?
d. Dan apakah filsafat idealisme dalam pendidikan?
1.5 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas pada mata kuliah filsafat
ilmu adalah memberikan kajian teori mengenai filsafat idealisme agar pembaca mendapatkan
tambahan wawasan.
1.6 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai bahan perkuliahan pada mata kuliah filsafat ilmu;
b. Sebagai bahan berupa materi yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan pembaca
mengenai fisafat idealisme; dan
c. Dapat digunakan sebagai referensi dalam penulisan makalah lain yang relevan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Idealisme

Ide adalah rancangan yang tersusun dalam pikiran; gagasan; cita (Ali 2006:127). Idealisme
adalah aliran filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang
fundamental yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri. Idealisme
memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide itu timbul atau ada lebih
dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul sebagai hasil yang diciptakan
oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada.
Ada juga yang mengatakan bahwa idealisme adalah pemahaman yang berpendapat bahwa
pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang
diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme merupakan kebalikan dari materialisme yang
berpendapat bahwa materilah yang lebih utama dan lebih dulu ada dibandingkan dengan ide.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai idealisme dan materialisme, terlebih dahulu kita
harus mengetahuai dan memahami bahwa idealisme dan materialisme dalam filsafat memiliki
perbedaan makna dengan idealisme dan materialisme dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita
merujuk seseorang sebagai "idealis", kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-
ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang
sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya
memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain -
pendeknya, seorang yang sama sekali tidak menyenangkan dan mengutamakan materi di atas
segalanya. Dalam filsafat, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah
cerminan dari ide, pikiran, roh atau lebih tepatnya ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir.
Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita menurut aliran ini hanyalah salinan
yang kurang sempurna dari ide yang sempurna itu.
Aliran idealisme merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato.
Yang menyatakan bahwa alam cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam
nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles
memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu
tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sama sekali. Di
masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah
dasar idealisme ini. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut
Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat
yang mendalam. Puncak zaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme
Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa. Realitas muncul dari apa yang ada dalam cara
berfikir, yang berkaitan dengan isi dan struktur pikiran. Istilah ini berasal dari ide daripada yang
ideal dan lebih terkait dengan metafisika dari etika, kontras dengan realisme dan juga dengan
materialisme.
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut
Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara
gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara
jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta

3
menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami
perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide.
Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat
dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia ide, sebab
posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh
material. Pada kenyataannya, ide digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa
bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan
untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap
orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing-masing dalam masyarakat secara keseluruhan.
Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang
tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof,
perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah
mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut
kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato
mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan.
Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat
untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia ide adalah pekerjaan rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan
cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon,
rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi
dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat
dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif. Aliran idealisme kenyataannya sangat identik
dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu
apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan
pergi, ada yang hidup dan ada yang mati demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih
tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea,
dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang
tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling
akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia
idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih
berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada
dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai
penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang
keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan
tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian
jugahasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang
akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa berbagai

4
macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam
pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir
bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasan hanya bisa dicapai
dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang
fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran. Sehingga, rohani dan sukma
merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi
aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam
pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di
luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan
pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih
luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat
pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom
mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang
difungsikan di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia
nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak
kelihatan (cosmos neotos).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa
diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam
nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan
aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada
menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita
katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun
adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi
sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut:
1) Metafisika-idealisme.
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara
kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang
lebih dapat berperan;
2) Humanologi-idealisme.
Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih;
3) Epistemologi-idealisme.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir.
Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang
mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat
berpendapat; dan
4) Aksiologi-idealisme.
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat
tentang kenyataan atau metafisika.
2.2 Jenis Aliran Idealisme
Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif dan idealism objektif.
a. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide
manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang

5
timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau
idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/ fikiran dari dirinya
sendiri atau ide manusia. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-
persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda
material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan
pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George
Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan
kita itu bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk,
dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/ konsepsi tertentu yaitu
perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dan sebagainya. Dengan demikian Berkeley
dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi
atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis
“Aku-isme” yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya “Aku”, segala
sesuatu yang ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari “Aku”. Untuk
berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan “Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan
hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi.
Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan
kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari kekuatiran
atas revolusi di Inggris pada waktu itu
Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama
“Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya
hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak
ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk
menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat
ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal
dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu
filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai
suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya.
Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang mengedepankan
sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh
akal si “Aku” tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum
borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab
dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat
dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini:
1) “Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya,
ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang
menganggapnya buruk.”
2) “kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau
mereka diganti dengan orang-orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik.”
3) “aku bisa, kau harus bisa juga,” dsb.
b. Idealisme Objektif
Idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan
alam.
6
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil
dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang
bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum
dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.

Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian.
Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang
sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam di atas alam
benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi. Pandangan dunia Plato ini
mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu kelas pemilik budak. Dan
ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”. Pada jaman feodal, filsafat idealisme
obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini
memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu
tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada
dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada
dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta merupakan “penjelmaan” dari titah Tuhan atau
perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada
waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan
didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M),
Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dan sebagainya.
Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat
idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831
M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan
“obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide absolut” ini, dalam
prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran.
Filsafat Hegel ini mewakili kelas borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih
lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-
hak istimewa kaum bangsawan Junker.
Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa
berkembang dan berubah, tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal.
Akan tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani
terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu.
Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan
berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan doktriner-
isme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori sebagai
kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam penyakit, sehingga dalam
melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa berfikir
atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit.
2.3 Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
a. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-
1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk
memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud
ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya
kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional seperti pada
Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh

7
hanya dengan melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha.
Manusia dihadapkan kepada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia
berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih yang baik. Idealisme
etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan
dari tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada
pemilihan antara moral idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme menurut Fichte
ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme
ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang
sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti
tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat
dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
b. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling sudah mencapai kematangan sebagai filosof pada
waktu ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru
besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang.
Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan dilalui intelek dalam
proses mengetahui, semacam epistemology.
Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis
kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme
absolute Hegel. Dalam pandangan
Schelling, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu ekspresi
kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan cara melacak proses logis
perubahan sifat dan sejarah masa lalu. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang
sempurna. Schelling menyebut proses ini identitas absolute, Hegel menyebutnya ideal.
Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek) ini sungguh-
sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan belaka, melainkan mempunyai nilai yang positif.
Bagi Schelling, yang menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialah aku. Dunia ini muncul
daripada aku: dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada produksi dan reproduksi
dari ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang berpikir
(aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama sekali bertentangan dengan
pendapatnya semula, sebab aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang telah sadar. Alam itu
merupakan proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar serta lambat laun sadar akan dirinya
(aku) dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi dan dunia sama
derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek. Sebetulnya samalah keduanya, bertemu
pada asal semula ialah Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia
tidak cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam bentuknya yang makin
tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-dunia, manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan
dirinya menjelmakan ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara.
c. G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang
pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria
Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini
tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen.

8
Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41
tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah,
juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan
kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas
dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik
akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat yang
menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud
olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel
juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek.
Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real bersifat rasional dan semua yang
rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan
dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun
menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan
rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio
sambil mengutamakan perasaan.
Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real,
kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia
roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan
esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia.
Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula roh itu
merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh mutlak.
Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan: antropologi,
fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenallah roh itu akan dirinya dalam penjelmaan
pada alam. Dalam fenomenologi, kenallah ia akan dirinya dalam perbedaannya dengan alam.
Adapun pada psikologi, roh mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula
teoritis, kemudian praktis dan akhirnya merdekalah roh itu.

Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma pada
bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam hak dan
hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada hukum-hukum umum. Di samping itu adalah
kesusilaan yang merupakan kebatinan. Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.
Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal dirinya
dengan sempurna itu merupakan sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan
antara subjek dan objek antara berpikir dan ada. Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga,
maka ia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan kemudian filsafat
(sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera terhadap dunia, objeknya masih di
luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya.
Tetapi segala pengertian dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan
sintesis dari seni dan agama,merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya
dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis, antitesis, dan
akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis), Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Yang
dimaksud oleh Hegel dengan dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang
berlawanan. Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis

9
(fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis
menghilang. Dapat juga tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang
lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis
baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.
Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu
antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan
(campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras. Berikut ini
contoh tesis, antitesis, dan sintesis.
1. Yang “ada” (being) merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being)
sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2. Dalam keluarga,suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan
antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur
dengan baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga. Antitesis:
Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi
hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Sintesis: Negara konstitusional. Sintesis ini
mendamaikan antara pemerintahan diktator dengan anarki menjadi demokrasi.
2.4 Filsafat Idealisme Dalam Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah
pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T.
Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme
yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof
yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam
pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking.
Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat
di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam
filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang
teori pendidikan.
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Pendidikan harus terus eksis sebagai
lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar
kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan
tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk
spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang
mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman
pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat
dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham
idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat
murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak
sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat
pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan
untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi
kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh

10
warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan
mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan
sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu
dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan
rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara
tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru
adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu
pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru
haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari
para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk
belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga
menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang
komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang
diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;
(12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap
dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun
keadaannya.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas kita dapat memetik kesimpulan sebagai berikut:
a. Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual
adalah hal yang fundamental yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu
sendiri. Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide
itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul
sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih
dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada.
b. Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif yaitu filsafat yang berpandangan
idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri dan idealisme objektif yaitu
idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
c. Tokoh-tokoh aliran idealism antara lain J.G. Fichte (1762-1814 M), F.W.J. Shelling (1775-
1854 M), G.W.F Hegel (1798-1857 M), dan lain-lain.
d. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat pada idealisme. Pengajaran tidak
sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan
berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga
hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
3.2 Saran
Setelah kita memiliki pemahaman mengenai filsafat idealisme dan juga filsafat lain yang
berkaitan dengan aktivitas berfilsafat atau aktivitas dalam menemukan kebenaran, maka kita harus
bisa menggunakan atau memanfaatkan filsafat tersebut dalam kehidupan kita agar kita bisa menjadi
individu yang berpengetahuan dan dapat menemukan suatu kebenaran sesuai kenyataan, bukan
kebenaran dari mulut ke mulut yang masih diragukan kepastiannya. Perbedaan aliran-aliran filsafat
tersebut jangan kita jadikan sebagai bahan pertikaian yang memicu perselisihan dan saling
merendahkan yang akan menimbulkan perpecahan. Sebagai individu berpendidikan mari kita
gunakan perbedaan sebagai jalan persatuan dan saling menghargai karena tanpa perbedaan hidup ini
tidak berwarna.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Isep dan Zainal Arifin. 2002. Filsafat Umum. Bandung: Gema Media Pusakatama.
Abidin, Zainal. 2001. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ali, Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai