Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

kurikulum pembelajaran
(Filsafat Kurikulum)

Yulita
120070
Teknologi Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
KAMPUS III KAHU
2022
Kata Pengantar
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa saya
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palattae, 17 Desember 2022

Yulita

1
Daftar Isi

BAB 1................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Pengertian Filsafat.....................................................................................................5
B. Kurikulum...............................................................................................................12
C. Landasan filsafat Kurikulum...................................................................................20
D. Aliran-aliran Filsafat Kurikulum.............................................................................23
BAB III............................................................................................................................29
PENUTUPAN..................................................................................................................29
A. Kesimpulan.............................................................................................................29
Daftar Pustaka..................................................................................................................30

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah keajaiban hidup yang nyaris tidak terbayangkan, bahkan oleh
imajinasi dan nalar terliar filsuf mana pun. Filsafat hadir dan meruang dalam
hidup manusia. Dari waktu ke waktu, filsafat terus-menerus berkembang sesuai
dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi pada dunia manusia. Oleh
karena itu, filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan,
termasuk dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan tidak lain adalah
spekulai filsafat akan hidup manusia. Dalam kepentingan itulah, pendidikan
kemudian lahir sebagai proses pengajaran atau transformasi nilai-nilai keteladanan
hidup di satu sisi dan peningkatan nilai-nilai keteladanan hidup di sisi lain melalui
desain kurikulum pendidikan. Makna pendidikan dalam filsafat tidak pernah
menjadi sesuatu yang lain selain sebuah upaya untuk membangun tata hidup dan
berkehidupan manusia yang ada. Makna fungsi ini memiliki kemiripan yang
hampir sama dengan manfaat fungsi ilmu dan pengetahuan bagi hidup manusia,
yaitu membangun hidup manusia agar hidup manusia semakin baik dan ideal di
satu sisi, dan mampu menjaga kualitas-kualitas hidup yang telah dicapainya di sisi
yang lain. Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat realitas, hakikat manusia,
hakikat pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak rumusan tujuan
pendidikan, berimplikasi pada penyusunan kurikulum.
Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak dapat
dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Dalam kedudukannya yang
strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan sebagai
wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan umat manusia. Tanpa
Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem
pendidikan yang sempurna. Kurikulum merupakan ruh (spirit) yang menjadi gerak
dinamik suatu sistem pendidikan, dan juga merupakan sebuah idea vital yang
menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Kurikulum
kemudian menjadi tolok ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik
buruknya kurikulum akan sangat menentukan baik buruknya kualitas output dan

3
outcome keluaran pendidikan. 4 Baik filsafat dan pendidikan maupun filsafat dan
kurikulum tentu memiliki hubungan yang sangat erat. Sejauhmana filsafat dan
pendidikan serta kurikulum memiliki hubungan, akan dijelaskan pada bagian
pembahasan.
Filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk
memahami semua hal yang timbul didalam pengalaman manusia. Dengan ini
manusia diharapkan dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan
sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia didalamnya.sesuai dengan
makna filsafat yakni berfikir maka manusia menugaskan fikirannya untuk bekerja
sesuai dengan aturan, oleh karena bersifat filosofis dengan sendirinya fisafat
merupakan suatu sarana analisa terhadap lapangan pendidikan.Pendekatan
filosofis terhadap pendidikan merupakan pendekatan untuk menelaah dan
memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan cara filsafat.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Filsafat Kurikulum?
2. Landasan filsafat Kurikulum?
3. Aliran-aliran Filsafat Kurikulum?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Secara Etimologis Dalam buku, Philosophy of Education, Pring memaparkan
arti etimologis kata filsafat (Vera & Hambali, 2021). Filsafat berasal dari kata
Yunani yaitu philosophia. Kata philosophia berasal dari dari gabungan dua kata
“phileo/philos” yang berarti “cinta” dan “sophi” yang berarti “kebijaksanaan”,
filsafat berarti cinta kebijaksanaan (Salminawati, S., & Hasibuan, 2021).
Mencintai sesuatu sama halnya menginginkannya. Kebijaksanaan bukan hanya
berkaitan dengan pengetahuan, karena seseorang mungkin memiliki pengetahuan,
tetapi tidak selamanya bijak.
Kebijaksanaan merupakan pengetahuan yang terimplikasi dalam segala situasi.
Dengan demikian, filsafat memberi manusia hikmat terhadap apa yang dipahami
menyangkut alam semesta dan implikasinya dengan diri sendiri dan orang-orang
di sekitarnya. Filsuf itu bijaksana, tetap dalam suasana hati yang bijaksana, sedang
mencari ide baru, pengetahuan baru dengan bantuan kebijaksanaannya yang terus
berkembang. Filsuf tertarik pada prinsip pertama dan kesimpulan akhir dari semua
cabang pengetahuan. Filsuf berada di bawah aliran pemikiran filsafat yang
berbeda seperti idealis, naturalis, pragmatis, eksistensialis, perennialis, realis,
esensialis, progresif.
Filsafat bervariasi dari budaya ke budaya tempat ke tempat dan waktu ke
waktu. Dengan demikian, orang yang berbeda secara ideologi, cara hidup pun
tentu berbeda, sehingga cenderung memiliki jenis filosofi yang berbeda dalam
pencarian untuk memahami Manusia, Alam dan Semesta. Filsafat adalah sistem
kepercayaan tentang realitas yang mengarah pada pemahaman tentang sifat
eksistensi, manusia, dan perannya di dunia.
Filsafat adalah dasar pengetahuan, yang mengarahkan manusia agar
menemukan kebenaran, dan menggunakan pikirannya yang benar untuk
mendukung hidupnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat adalah
ujian kritis terhadap realitas yang ditandai oleh penyelidikan rasional yang
bertujuan untuk menemukan kebenaran demi mencapai kebijaksanaan.

5
1. Pengertian filsafat Menurut Para Ahli
Brennen dalam bukunya Philosophy of Education menjelaskan beberapa arti
filsafat (Ihsan et al., 2022).
a. Filsafat adalah seperangkat pandangan atau keyakinan tentang kehidupan
dan alam semesta, yang sering dipegang secara tidak kritis.
b. Filsafat adalah proses untuk merefleksikan dan mengkritik konsep dan
keyakinan yang paling mendalam.
c. Filsafat adalah usaha yang rasional untuk memandang dunia secara
keseluruhan.
d. Filsafat adalah analisis logis bahasa dan klarifikasi makna kata dan
konsep.
e. Filsafat adalah kelompok masalah abadi yang menarik minat orang dan
karena itulah para filsuf selalu mencari jawaban.
Dalam pengertian lain, Titus (dalam Jalaluddin & Idi, 2013) mengemukakan
pengertian filsafat sebagai berikut.
a. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dana lam yang biasanya diterima secara kritis
b. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan
dan sikap yang sangat junjung tinggi
c. Filsafat merupakan usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
d. Filsafat adalah analisis logis dari bahasan dan penjelasan tentang arti
konsep
e. Filsafat merupakan kumpulan masalah-masalah yang langsung mendapat
perhatian manusia dan dicarikan jawabannya.
Barnadib (dalam Jalaluddin & Idi, 2013) menjelaskan filsafat sebagai
pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Menyeluruh, karena kajian filsafat
tidak hanya pada pencarian pengetahuan, tetapi suatu pandangan yang menembus
di balik pengetahuan itu sendiri. Sistematis, karena dalam berfilsafat
menggunakan pikiran kritis, logis, dan teratur.
Berpikir secara filosofis dalam hal ini mengarahkan seseorang pada cara
berpikir radikal, sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk membedah sebuah

6
permasalahan yang mendalam. Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam ruang kehidupan manusia.
Jawaban pertanyaan atas kehidupan manusia merupakam hasil pemikiran yang
sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban tersebut digunakan untuk
menjawabi permasalahan dalam pelbagai kehidupan manusia, termasuk bidang
pendidikan. Namun dalam perkembangan peradaban manusia, masalah-masalah
kehidupan semakin kompleks dan problematis dan membutuhkan jawaban yang
praktis dan realistis.
Filsafat yang bersifat teoritis kemudian mengalami kehilangan kemampuan
untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran. Atas dasar perkembangan
peradaban manusia dengan pelbagai problematikanya yang kompleks,
mengarahkan manusia untuk melakukan loncatan besar dalam bidang sains,
teknologi, kedokteran, dan pendidikan. Loncatan besar dalam pemikiran di
pelbagai bidang ini, memastikan manusia memilikirkan kembali pengertiannya
tentang kebenaran atau nilai-nilai kebenaran.
2. Cabang Filsafat
a. Metafisika
Ornstein dan Levine mengemukakan tentang metafisika sebagai cabang
filsafat yang mempelajari sifat utama dari realitas atau adanya (Kastamin, Anwar
&Afif, 2021). Metafisika mencari fondasi realitas atau 'prinsip pertama yang tak
dapat dirumuskan' dari mana pengetahuan atau kebenaran absolut dapat
diinduksi dan disimpulkan. Istilah Metafisika berasal dari kata Yunani “meta”
berarti (“di luar”, “pada” atau “setelah”) dan physika, berarti (“fisika”).
Secara harfiah itu mengacu 'hal-hal setelah fisika.' Kendati demikian, nama
metafisika bisa disimpulkan pertama kali dipakai oleh Simplicius, seorang filsuf
Neo-Platonis. Pada konteks ini, metafisika disimpulkan sebagai ilmu tentang apa
yang melampaui yang fisik, yang secara sistematis telah dimulai semenjak
periode abad keempat sebelum masehi dengan prakarsa Aristoteles. Awalnya,
pertanyaan seperti, 'Apa yang nyata?' Pertanyaan metafisik ini adalah yang
paling dasar untuk ditanyakan karena memberikan fondasi yang menjadi dasar
penyelidikan selanjutnya.

7
Knight (dalam Oernstein dan Levine, 2008) metafisika memiliki empat
dimensi kajian, Pertama, aspek kosmologis. Kosmologi terdiri dari studi teori
tentang asal usul, alam, dan perkembangan alam semesta sebagai sistem yang
tertib. Pertanyaan seperti ini mengisi ranah kosmologi: "Bagaimana alam
semesta terbentuk dan berkembang? Apakah itu terjadi secara kebetulan atau
didesain? Apakah keberadaannya punya tujuan? " Aspek metafisik kedua adalah
teologis. Teologi adalah bagian dari teori religius yang berhubungan dengan
konsepsi tentang Tuhan. "Apakah ada Tuhan? Jika ya, apakah ada satu atau lebih
dari satu? Apa atribut Tuhan? Jika Tuhan itu semua baik dan berkuasa, mengapa
kejahatan itu ada? Jika Tuhan ada, apakah hubunganNya dengan manusia dan
dunia 'nyata' dalam kehidupan sehari-hari? " Aspek ketiga metafisika adalah
antropologi-filosofis.
Antropolog-filosofis berhubungan dengan studi tentang manusia dan
mengajukan pertanyaan seperti berikut: Apa hubungan antara pikiran dan tubuh?
Apakah pikiran lebih mendasar dari pada tubuh, Apakah tubuh tergantung pada
pikiran, atau sebaliknya? Apa status moral umat manusia? Apakah orang terlahir
dengan baik, jahat, atau netral secara moral? Sampai sejauh mana individu
bebas? Apakah memiliki kehendak bebas, atau pikiran dan tindakan ditentukan
oleh lingkungan, warisan, atau keberadaan ilahi? Apakah setiap orang memiliki
jiwa? Jika ya, ada apa? Orang-orang jelas telah mengadopsi posisi yang berbeda
mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, dan posisi tersebut memengaruhi cita-cita
dan praktik politik, sosial, agama, dan Pendidikan. Aspek keempat dari
metafisika adalah ontologis.
Ontologi adalah studi tentang sifat eksistensi, atau apa artinya sesuatu yang
ada. Beberapa pertanyaan sangat penting bagi ontologi: "Apakah realitas dasar
ditemukan dalam materi atau energi fisik (dunia yang dapat rasakan), atau
apakah itu ditemukan dalam semangat atau energi spiritual? Apakah itu terdiri
dari satu unsur (misalnya materi atau roh), atau dua hal (misalnya materi dan
roh), atau banyak? "" Apakah realitas itu teratur dan baik, ataukah hanya tertib
oleh akal manusia? Apakah itu tetap dan stabil, atau mengubah fitur utamanya?
Apakah ini kenyataan ramah, tidak bersahabat, atau netral terhadap
kemanusiaan.

8
2. Epistemologi
Ornstein dan Levine (2008), dalam buku Foundations of Education
mengemukakan arti etimologis kata epistemologi dari kata Yunani episteme,
yang berarti “pengetahuan, pemahaman”, dan logos berarti “kata, pikiran,
pembicaraan, atau ilmu. Secara umum epistemologi adalah cabang filsafat yang
mengkaji sumber, watak/sifat dan ruang lingkup kebenaran pengetahuan dan
biasa disebut sebagai “teori pengetahuan”. Dengan kata lain epistemologi
adalah studi tentang sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Studi ini berusaha
untuk menjawab pertanyaan dasar seperti, apa yang benar? bagaimana
mengetahui yang benar? Jadi epistemologi mencakup dua bidang: isi pikiran
dan berpikir itu sendiri. Atau dalam istilah pendidikan, kurikulum dan instruksi
atau konten dan metode.
Studi tentang epistemologi berhubungan dengan isu-isu yang berkaitan
dengan ketergantungan pengetahuan dan validitas sumber melalui mana
mendapatkan informasi. Skeptisisme secara khusus mengklaim bahwa orang
tidak dapat memperoleh pengetahuan yang handal dan bahwa setiap pencarian
kebenaran adalah sia-sia. Pikiran itu diungkapkan oleh Gorgias (483-376 SM)
dalam (Ornstein dan Levine, 2008), yang menegaskan bahwa tidak ada yang
eksis, dan jika itu terjadi, tidak bisa tahu itu.
Kebanyakan orang mengklaim bahwa realitas dapat diketahui. Namun perlu
pembuktian melalui apa sumber-sumber realitas dapat diketahui, dan harus
memiliki argumentasi atas konsep tentang bagaimana untuk menilai validitas
pengetahuan. Masalah mendasar kedua epistemologi adalah apakah semua
kebenaran adalah relatif, atau apakah ada kebenaran yang mutlak. Apakah
semua kebenaran dapat berubah? Apakah mungkin bahwa apa yang benar hari
ini mungkin palsu besok? Jika jawabannya adalah “Ya” untuk pertanyaan
sebelumnya, berarti kebenaran tersebut relatif. Namun, jika ada kebenaran
mutlak, kebenaran tersebut abadi dan universal terlepas dari waktu atau tempat.
Jika kebenaran mutlak ada di alam semesta, maka pendidik ingin menemukan
dan membuatnya menjadi inti dari kurikulum sekolah. (Knight,2007)

9
mengemukakan bahwa dalam teori pengetahuan, ada beberapa aspek yang
dianggap sebagai sumber pengetahuan yakni: panca indera, wahyu, otoritas,
akal budi, dan intuisi.
Bagi Knight, tidak ada satu sumber pengetahuan pun yang mampu
memberikan manusia semua pengetahuan. Beragam sumber pengetahuan tadi
harus lebih dilihat dalam sebuah hubungan yang saling melengkapi daripada
sebagai sebuah pertentangan. Memang benar bahwa sebagian banyak pemikir
memilih satu sumber sebagai dasar utama di atas sumber-sumber lainnya.
Sumber yang paling utama ini kemudian digunakan sebagai pijakan dalam
menilai sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan lainnya. Namun, karena
kebenaran tersebut diperoleh manusia melalui akal dan pancaindra, maka
berbagai metode digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut, seperti; metode
induktif, deduktif, positivisme, metode kontemplatis, dan metode dialektis.
Sedangkan terkait dengan validitas pengetahuan manusia, ada beberapa teori
yakni antara lain korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Teori korespondensi
ialah pandangan yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih jika suatu
proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi obyek pengetahuan. Teori
koherensi ialah pandangan bahwa suatu proposisi (pernyataan atau
pengetahuan) diakui benar jika proposisi itu memiliki hubungan dengan
gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat
dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
Teori pragmatis merupakan pandangan yang menegaskan bahwa
pengetahuan itu dianggap sahih jika memiliki konsekwensi kegunaan atau
bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan. Demikian halnya Reley dan
Player (2010) dalam buku Philosophy of Education inthe Era of Globalization
menegaskan bahwa akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi akal dan
pengalaman, serta intuisi merupakan juga sebagai sarana mencari pengetahuan,
sehingga dikenal model-model epistemologi seperti; empirisme, rasionalisme,
positivisme, intuisionisme.
1) Empirisme
Berasal dari kata yunani empeirikos yang berasal dari kata empiera, berarti
pengalaman. Menurut aliran ini pengetahuan manusia diperoleh dari

10
pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, garam
asin karena ia men-cicipinya. John locke (1632-1704) (dalam Reley dan
Player, 2010) mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya
merupakan sejenis buku catatan yang masih kosong, pengalamanya mengisi
jiwa yang kosong itu, sehingga memiliki pengetahuan. Pengalaman indra
merupakan sumber pengetahuan yang benar. Teori ini disebut sebagai teori
tabula rusa (meja lilin). Menurut Pring (2005) kelemahan aliran ini, seperti;
indera terbatas, indera menipu, objek yang menipu, dan indra dan objek
sekaligus. Aliran lain yang mirip dengan empirisme adalah sensasionalisme
yaitu rangsangan indera secara kasar
2) Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan
manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja
akal. Jadi akal berada di atas pengalaman inderawi. Jelasnya aliran ini
menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran terletak pada 10 ide, dan bukanya pada
diri barang sesuatu. Rene Descartes (1596-1650) dalam (Pring, 2005)
menyatakan bahwa akal budi dipahami sebagai jenis perantara khusus yang
dengan perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan juga teknik deduktif
yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan berbagai kebenaran.
3) Positivisme
Positivisme merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan
mengambil titik tolak empirisme, dan dipertajam dengan eksperimen, sehingga
secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan. August
Compte (1798-1857) berpendapat bahwa indra itu sangat penting dalam
memperoleh pengetahuan, namun harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen.
4) Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi
pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang
dapat memahami kebenaran yang utuh, tetap dan unik. Henri Bergson (1859-

11
1941) beranggapan bahwa tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas.
Dengan memahami keterbatasan indera dan akal, Bergson mengembangkan
satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.
Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha, sehingga dapat
memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unique. Intuisi dalam hal ini
menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
3. Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari dua kata “axios” berarti “value, nilai” dan “logos”
berarti “alasan / teori / simbol / ilmu / studi”. Aksiologi adalah studi filosofis
tentang nilai dari sesuatu. Aksiologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa itu
nilai? Darimana nilai-nilai berasal? Bagaimana kebenaran nilai itu? Bagaimana
tahu apa yang berharga? Apa hubungan antara nilai-nilai dan pengetahuan?
Apakah ada jenis nilai? Apakah dapat dinyatakan bahwa satu nilai lebih baik dari
yang lain? Siapa yang diuntungkan dari nilai nilai?. Pertanyaan tentang nilai-nilai
berkaitan dengan pengertian tentang tanggapan seseorang atau masyarakat
terhadap sesuatu baik atau lebih baik.
Aksiologi, seperti metafisika dan epistemologi, berdiri di bagian paling dasar
dari proses pendidikan. Aspek utama pendidikan adalah pengembangan nilai-nilai.
Dalam ruang kelas penampilan aksiologis seorang guru dalam penghayatan moral
tidak dapat disembunyikan. Aksiologi memiliki dua kajian utama yaitu etika dan
estetika. Etika adalah studi tentang nilai-nilai moral dan tindakan moral.
Teori etika memberikan nilai-nilai yang tepat sebagai dasar untuk tindakan
yang tepat. Apa yang baik dan jahat, benar dan salah? Apakah dibenarkan
mengambil sesuatu yang bukan milik Anda? Dengan demikian, sekolah harus
mengajarkan konsep-konsep etis untuk siswa. Cabang utama kedua dari aksiologi
adalah estetika. Estetika adalah ranah nilai keindahan dan seni. Pengalaman estetis
terikat pada dunia kognitif intelektual, tetapi juga melampaui kognitif ke ranah
afektif karena fokusnya pada perasaan dan emosi.
B. Kurikulum
1. Konsep Umum
Perkataan kurikulum mulai dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia
pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum

12
terdapat dalam kamus Webster tahun 1812, dan baru muncul untuk pertama
kalinya dalam kamus tahun 1856. Arti kurikulum pada waktu itu ialah “A race
course; a place for running; a chariot. A cource, in general; applied particularly to
the course of study in a university”. Kurikulum dimaksud sebagai suatu jarak
untuk perlombaan, yang harus ditempuh pelari. Kurikulum juga sebagai suatu
“chariot” semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang membawa
seseorang dari “start” sampai “finish”.
Dalam kamus Webster tahun 1955 kurikulum diberi arti “a. A course, esp. a
specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a
degree. b. The whole bodya of course offered in an educational institution, or by a
department thereof, - the usual sense” (Nasution, 1988). Di Indonesia istilah
kurikulum baru dikenal populer sejak tahun lima puluhan, yang dibawa oleh yang
memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Sebelumnya digunakan istilah
“rencana pelajaran”, karena pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan
rencana pelajaran. Taba (1962) dalam bukunya “Curriculum Development,
Theory and Practice” mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”, yakni
sesuatu yang dipelajari oleh anak-anak. Dalam perkembangan, pengertian
kurikulum mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi karena ketidakpuasan
hasil pendidikan sekolah dan selalu ingin memperbaikinya. Memang tidak
mungkin disusun suatu kurikulum yang baik dan mantap untuk sepanjang zaman.
Suatu kurikulum mungkin hanya dapat baik untuk suatu masyarakat tertentu
pada masa tertentu. Oleh sebab zaman senantiasa berubah, maka dengan
sendirinya kurikulum pun tidak dapat tidak harus disesuaikan dengan tuntutan
zaman. Di samping itu, perubahan kurikulum juga terjadi sejalan dengan
perkembangan temuan research ilmu pengetahuan.
2. Pengertian Kurikulum
a. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Menurut Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu

13
b. Menurut Para Ahli, Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan zaman
memerlukan kurikulum baru dan juga pengertian baru mengenai kurikulum
itu sendiri. Berikut ini dipaparkan sejumlah definisi yang diberikan
beberapa ahli kurikulum
c. Galen Saylor dan William M. Alexander Saylor dan Alexander (1956)
dalam (Nasution, 1988) menjelaskan kurikulum sebagai berikut. “The
curriculum is the sum total of schol’s efforts to influence learning, wether in
the classroom, on the playground, or out of school.” Jadi segala usaha
sekolah untuk memengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, di
halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi segala pengalaman yang disajikan oleh sekolah agar
anak mencapai tujuan yang ditetapkan. Suatu tujuan tidak tercapai dengan
suatu pengalaman saja, akan tetapi melalui berbagai pengalaman dalam
bermacam-macam situasi di dalam maupun di luar sekolah. Pengalaman di
sekolah dapat memengaruhi pengalaman di luar sekolah dan sebaliknya.
“What results from planning (or the lack thereof), whether or not it comes
out as intended, is the curriculum.” Yang dianggap kurikulum adalah hasil
yang nyata (actual learning experiences) pada anak. Di sini tampak
perbedaan antara rencana pelajaran dan kurikulum.
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan, “a plan for learning”. Apa
yang direncanakan biasanya bersifat ideal, dan ini dianggap sebagai ideal
curriculum. Tidak segala sesuatu yang direncanakan akan menjadi
kenyataan. Berbagai kendala yang menyebabkan terjadi perbedaan atau
“gap” antara kurikulum yang ideal dengan kurikulum yang nyata atau real
curriculum. Menurut Saylor dan Alexander kurikulum bukan semata-mata
terdiri atas sejumlah mata pelajaran (program of studies) atau program
pelajaran. Kumpulan berbagai mata pelajaran dengan uraian materi
menggunakan perangkat pembelajaran disebut kurikulum. Demikian halnya
dengan kegiatan extra curricular atau co-curricular sesungguhnya sebagian
dari kurikulum.
d. Harold B. Alberty Dalam bukunya “Reorganizing the High-School
Curriculum”, Alberty (1965) (dalam Nasution, 1988) memandang

14
kurikulum sebagai “all of the activities that are provided for the students by
the school”. Kurilum dimaksudkan sebagai segalaa kegiatan yang disajikan
oleh sekolah bagi para pelajar. Tidak diadakan pembatasan antara kegiatan
di dalam kelas dan di luar kelas. Definisi Alberty ini banyak kesamaan
dengan yang diberikan oleh Saylor dan Alexander. Dengan kegiatan-
kegiatan itu, sekolah mengharapkan terjadi perubahanperubahan dalam
kelakuan peserta didik yang sesuai dengan filsafat dan tujuan pendidikan.
e. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores Smith dkk., (dalam
Nasution, 1988) memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential
experiences set up in the school for the purpose of disciplining children and
youth in group ways of thingking and acting”. Smith dkk., mengartikan
kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat
diberikan kepada anak, yang diperlukan agar dapat berpikir dan berkelakuan
sesuai dengan masyarakatnya. Dengan demikian kurikulum dapat dipandang
sebagai “actual learning experiences” yaitu pengalaman belajar yang nyata,
akan tetapi ada pula yang menganggap kurikulum sebagai “potential
learning experiences”, yaitu pengalaman belajar yang secara potensial
mungkin dapat diperoleh anak.
f. William B. Ragan Ragan (1966) dalam (Nasution, 2988) menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut. “The tendency in recent decades has been to use
the term in a broader sense to refer to the whole life and program of the
school. The term is used… tio include all the experiences of children for
which the school accepts responsibility. It denotes the results of efforts on
the part of the adults of the community, state, and the nation to bring to the
children the finest, most wholesome influences that exist in the culture.”
Berdasarkan pengertiaan kurikulum yang ada, Ragan memahami
penggunaan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi seluruh program
dan kehidupan dalam sekolah. Kurilum dalam hal ini mengandung beberapa
pemahaman sebagai berikut.
1) Segala pengalamaan anak di bawah tanggungjawab sekolah.
2) Kurikum merupakan alat atau instrumen untuk mempertemukan
keunikan karakter, latar belakang kehidupan, sehingga anak dapat

15
merealisasikan bakatnya secara optimal dan di samping itu juga belajar
menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan taraf hidup dalam
masyarakatnya.
3) Dengan kurikulum dimaksud “the result of efforts…”, yaitu hasil usaha
orang dewasa yang nyata dalam bentuk kelakuaana anak.
4) Kurikulum itu tidak hanya meliputi bahan pelajaran yang akan dipelajari
oleh peserta didik. Bahan itu baru merupakan kurikulum sampai bahan
pelajaran itu menjadi bagian dari pengalaman anak.
5) Hubungan antarmanusia dalam kelas, metode mengajar, dan prosedur
evaluasi merupakan bagian dari kurikulum seperti halnya dengan bahan
pelajaran itu sendiri.
6) Kurikulum membantu anak memperkaya hidupnya dengan memperoleh
pengetahuaan, ketrampilan, dan sikap yang berguna. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pembinaan kurikulum bukanlah sekedar
menentukan mata pelajaran yang harus diberikan untuk menambah
pengetahuannya atau mengembangkan bakatnya, melainkan merupakan
masalah memperbaiki dan meningkatkan mutu kehidupan individu dan
masyarakat.
3. Kurikulum 2013
Nasution menjelaskan dua macam kurikulum, yaitu kurikulum formal dan
kurikulum informal (hidden curriculum). Kurikulum 2013 adalah termasuk
kurikulum formal atau resmi karena direncanakan, terjadwal secara resmi, dan
merupakan keputusan politik pemerintah Repubik Indonesia. Kurikulum 2013
merupakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan
dan kebudayaan Indonesia.
Kebijakan ini didasarkan pada landasan yuridis yaitu Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun
2006 tentang Standar Isi (Kemendikbud, 2012:1).

16
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan
standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar
adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal
hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional
dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan.
Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu
jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005). Standar Kompetensi
29 Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan
Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK.
Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen
yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses
dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan
memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi
kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan.
Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal di mana
kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan
pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan
khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB) (Kemendikbud, 2012).
Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan
pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah,
masyarakat, dan lingkungan tempat yang bersangkutan berinteraksi. Kurikulum
dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta
didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar
tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan
kualitas yang dinyatakan dalam SKL (Kemendikbud, 2012). Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun
2003; PP nomor 19 tahun 2005).

17
Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang, baik
dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada
pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan
pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan
(Kemendikbud, 2012). Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan dalam
bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu
rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (imple- mentasi).
Pada dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan
SKL menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa
lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa
mendatang.
Pada dimensi rencana tertulis, konten kurikulum tersebut dikemas dalam
berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Pada setiap
mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten
berbagi 30 dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara
langsung, mata pelajaran menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan
berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum
(Kemendikbud, 2012). Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide
dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah
tenaga kependidikan utama yang mengembangkan ide dan rancangan
tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman guru tentang kurikulum
akan menentukan rancangan guru (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan
pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan apa yang
dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi pengalaman
langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan menjadi hasil
belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik
untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau
lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan
(Kemendikbud, 2012). Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-
based curriculum” dan oleh karenanya pengembangan kurikulum diarahkan

18
pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL. Demikian pula
penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian
kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian
kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta
didik (Kemendikbud, 2012).
Ada delapan karakteristik kurikulum berbasis kompetensi.
Pertama, isi atau konten kurikulum adalah kompetensi yang dinyatakan
dalam bentuk Kompetensi Inti (KI) mata pelajaran dan dirinci lebih lanjut
ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kedua, Kompetensi Inti (KI) merupakan
gambaran secara kategorial mengenai kompetensi yang harus dipelajari
peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, bidang mata pelajaran.
Ketiga, kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari
peserta didik untuk suatu mata pelajaran di kelas tertentu. Keempat,
penekanan kompetensi ranah sikap, keterampilan kognitif, keterampilan
psikomotorik, dan pengetahuan untuk suatu satuan pendidikan dan mata
pelajaran ditandai oleh banyaknya KD suatu mata pelajaran. Untuk SD,
pengembangan sikap menjadi kepedulian utama kurikulum. Kelima,
Kompetensi Inti menjadi unsur organisatoris kompetensi bukan konsep,
generalisasi, topik atau sesuatu yang berasal dari pendekatan disciplinary–
based curriculum atau content-based curriculum. Keenam, Kompetensi
Dasar yang dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat dan memperkaya antar mata pelajaran. Ketujuh, proses
pembelajaran didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada tingkat
yang memuaskan dengan memperhatikan karakteristik konten kompetensi di
mana pengetahuan adalah konten yang bersifat tuntas (mastery).
Keterampilan kognitif dan psikomotorik adalah kemampuan penguasaan
konten yang dapat dilatihkan. Adapun sikap adalah kemampuan penguasaan
konten yang lebih sulit dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan
yang tidak langsung. Kedelapan, penilaian hasil belajar mencakup seluruh
aspek kompetensi, bersifat formatif dan hasilnya segera diikuti dengan
pembelajaran remedial untuk memastikan penguasaan kompetensi pada

19
tingkat memuaskan (Kriteria Ketuntasan Minimal/KKM dapat dijadikan ti
ngkat memuaskan) (Kemendikbud, 2012).

C. Landasan filsafat Kurikulum


Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya
peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan
manusia, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa
menggunakan landasan yang kokoh dan kuat. Mungkin dapat membayangkan
andaikata sebuah bangunan rumah yang dibangun tidak menggunakan landasan
(fondasi) yang kokoh, maka ketika terjadi goncangan atau diterpa oleh angin
sedikit saja rumah tersebut akan mudah rubuh.
Demikian halnya dengan kurikulum, jika dikembangkan tidak didasarkan
pada landasan yang tepat dan kuat, maka kurikulum tersebut tidak bisa bertahan
lama, dan bahkan dengan mudah dapat ditinggalkan oleh para pemakainya. Bila
bangunan rumah rubuh yang diakibatkan tidak menggunakan landasan (fondasi)
yang kuat, kerugian tidak akan terlalu besar hanya sebanding dengan harga rumah
yang dibangun, dan jika kondisi keuangan memungkinkan maka dengan segera
akan mudah dibangun kembali. Tapi bila yang roboh itu kurikulum sebagai alat
untuk mempersiapkan manusia, maka kerugiannya bersifat fatal dan tidak bisa
diukur dengan materi karena menyangkut dengan upaya memanusiakan manusia.
Dengan demikian dalam mengembangkan kurikulum, terlebih dahulu harus
diidentifikasi dan dikaji secara selektif, akurat, mendalam dan menyeluruh
landasan apa saja yang harus dijadikan pijakan dalam merancang,
mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum.
Dengan landasan yang kokoh kurikulum yang dihasilkan akan kuat, yaitu
program pendidikan yang dihasilkan akan dapat menghasilkan manusia terdidik
sesuai dengan hakikat kemanusiannya, baik untuk kehidupan masa kini maupun
menyongsong kehidupan jauh kemasa yang akan datang. Penggunaan landasan
yang tepat dan kuat dalam mengembangkan kurikulum tidak hanya diperlukan
oleh para penyusun kurikulum ditingkat pusat (makro), akan tetapi terutama harus
difahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pengembang kurikulum
ditingkat operasional (satuan pendidikan), yaitu para guru, kepala sekolah,

20
pengawas pendidikan (supervisor) dewan sekolah atau komite pendidikan dan
para guru serta pihakpihak lain yang terkait (stacke holder). Dengan
diterapkannya kebijakan pemerintah (Depdiknas) yaitu pengembangan kurikulum
operasional dilakukan oleh setiap satuan pendidikan dengan program Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka seluruh jajaran di setiap satuan
pendidikan harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang landasan
pengembangan kurikulum, dan secara operasional harus dijadikan rujukan dalam
mengimplementasikan kurikulum di setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
Robert S. Zais (1976) mengemukakan empat landasan pokok
pengembangan kurikulum, yaitu: Philosophy and the nature of knowledge, society
and culture, the individual, dan learnig theory. Dengan berpedoman pada empat
landasan tersebut, maka perancangan dan pengembangan suatu bangunan
kurikulum yaitu pengembangan tujuan (aims, goals, objective), pengembangan
isi/materi (content), pengembangan proses pembelajaran (learning activities), dan
pengembangan komponen evaluasi (evaluation), harus didasarkan pada landasan
filosofis, psikologis, sosiologis, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Landasan yang dipilih untuk dijadikan dasar pijakan dalam
mengembangkan kurikulum sangat tergantung atau dipengaruhi oleh pandangan
hidup, kultur, kebijakan poltik yang dianut oleh negara dimana kurikulum itu
dikembangkan. Akan tetapi secara umum keempat landasan yang akan dibahas
dalam modul ini, yaitu landasan filosofis, psikologis, sosiologis, serta landasan
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah landasan umum dan pokok sebagai dasar
pijakan dalam mengembangkan kurikulum.
Oleh karena itu dalam modul Landasan Pengembangan Kurikulum ini,
intinya akan membahas keempat jenis landasan tersebut yaitu: landasan filosofis,
psikologis, sosiologis, serta landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat memiliki pemahaman dan
kemampuan sebagai berikut:
1. Dapat memahami dan mengimplementasikan penerapan landasan
filosofis dalam mengembangkan kurikulum baik pengembangan pada
level makro maupun pengembangan pada tingkat operasional oleh
setiap satuan pendidikan

21
2. Dapat memahami dan mengimplementasikan penerapan landasan
Psikologis dalam mengembangkan kurikulum baik pengembangan
pada level makro maupun pengembangan pada tingkat operasional
oleh setiap satuan pendidikan
3. Dapat memahami dan mengimplementasikan penerapan landasan
Sosiologis dalam mengembangkan kurikulum baik pengembangan
pada level makro maupun pengembangan pada tingkat operasional
oleh setiap satuan pendidikan
4. Dapat memahami dan mengimplementasikan penerapan landasan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dalam mengembangkan kurikulum baik
pengembangan pada level makro maupun pengembangan pada tingkat
operasional oleh setiap satuan pendidikan
Kemampuan tersebut diatas sangat penting dimiliki oleh Anda sebagai
calon guru maupun bagi Anda yang sudah berprofesi sebagai guru, mengingat
salah satu fungsi dan peran guru adalah sebagai pengembang kurikulum. Adapun
modal dasar agar dapat menghasilkan kurikulum yang dapat diterima oleh pihak-
pihak yang berkepentingan (Stake holder), salah satu syaratnya bahwa kurikulum
harus dikembangkan dengan didasarkan pada sejumlah landasan yang tepat, kuat
dan kokoh.
Untuk membantu Anda memiliki wawasan, pemahaman dan kemampuan
praktis mengembangkan setiap landasan dalam pengembangan kurikulum, maka
pengkajian keempat landasan tersebut diorganisasi kedalam tiga bagian berikut:
1. Landasan Filosofis dalam pengembangan kurikulum, yaitu akan membahas
dan mengidentifikasi landasan filsafat dan ilmplikasinya dalam
mengembangkan kurikulum (Al faith et al., 2022).
2. Landasan Psikologis dalam pengembangan kurikulum, yaitu akan membahas
dan mengidentifikasi landasan psikologis dan ilmplikasinya dalam
mengembangkan kurikulum.
3. Landasan Sosiologis dan Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dalam
pengembangan kurikulum. yaitu akan membahas dan mengidentifikasi
landasan sosiologis, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmplikasinya
dalam mengembangkan kurikulum.

22
D. Aliran-aliran Filsafat Kurikulum
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum.
Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kenalkan pada berbagai aliran
filsafat, yang dikembangkan Di bawah ini merupakan aliran-aliran filsafat dalam
kurikiulum, Tanpa bermaksud untuk mendikotomikan, dalam kajian filsafat
pendidikan pada umumnya, dikenal adanya dua aliran filsafat besar, yaitu
Idealisme dan Pragmatisme,
1. Idealisme
Dalam sejarah filsafat Barat, idealisme selalu identik dengan Plato. Hal
demikian sangat wajar sebab Palto memang dianggap sebagai Bapak dari filsafat
idealisme. Menurut Plato, hakekat segala sesuatu tidak terletak pada sifat materi
atau bendawi, tetapi sesuatu yang berada dibalik materi itu, yaitu ide. Ide bersifat
kekal, immaterial, dan tidak berubah.
Walaupun materi hancur, ide tidak ikut musnah, Pada ranah pendidikan,
aliran Idealisme ini menganggap bahwa hakekat pendidikan adalah semangat
ingin kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, sehingga
pendidikan diartikan sebagai “cultural conservation”, yakni sebagai pemelihara
kebudayaan Adapun yang menjadi tujuan pendidikan menurut aliran Idealisme ini
adalah untuk membentuk anak didik agar menjadi manusia yang sempurna, yang
berguna bagi masyarakatnya. Dan sebagai konsekuensi logisnya, maka pendidikan
model aliran Idealisme ini lebih menekankan pengkayaan pengetahuan (transfer of
knowledge) tanpa harus memperhitungkan tuntutan dunia praktis (kerja dan
industri).
Dengan model pemikiran seperti itu, maka kurikulum Idealisme
mendasarkan pada prinsip: Pertama, kurikulum yang kaya materi, berurutan, dan
sistematis yang didasarkan pada target tertentu yang tidak dapat dikurangi sebagai
satu kesatuan pengetahuan, kecakapan, dan sikap yang berlaku dalam kebudayaan
yang demokratis. Kedua, kurikulum menekankan penguasaan yang tepat atas isi
atau materi kurikulum.
Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian dibuat pedoman dalam
merumuskan kurikulum idealisme yang pada dasarnya harus sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan anak, yang mengutamakan pada “essential studies”
yang meliputi metode ilmiah, dunia organis dan an-organis, human environment

23
(lingkungan manusia, budaya, dan alamiah), serta apreasi terhadap seni.
Selain itu dalam kurikulum idealisme sekolah dianggap sebagai pusat intellectual
training dan character building, yang secara formal melatih dan mengembangkan
daya jiwa yang sudah ada.
2. Pragmatisme
Pragmatisme biasa diidentikkan dengan filsafat bangsa Amerika karena
Pragmatisme merupakan filsafat yang mencerminkan secara kuat sifat kehidupan
Amerika, dimana filsafat ini merupakan penengah antara filsafat empirisme dan
idealisme dengan menggabungkan hal-hal yang berarti antara keduanya.
Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer
telah banyak membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu
pengethuan maupun tehnologi.
Pragmatisme telah berhasil membuat aktifitas filsafat yang sebelumnya
bersifat metafisis, idealis, abstrak, dan intelektualis yang cenderung “melangit”,
menjadi aktifitas riil, inderawi, dan mnafaatnya langsung bisa dirasakan secara
prkatis-pragmatis dalam kehiudpan sehari-hari.Dalam ranah pendidikan, aliran
Pragmatisme berpendapat bahwa hakekat pendidikan merupakan proses
masyarakat mengenal diri. Dengan perkataan lain, pendidikan adalah proses agar
masyarakat menjadi hidup dan dapat melangsungkan aktifitasnya untuk masa
depan.
Dengan demikian, pendidikan adalah proses pembentukan impulse
(perbuatan yang dilakukan atas desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic,
yakni sebuah pendidikan yang berwawasan pada masa depan. Dari karakter yang
demikian, maka pendidikan pragmatisme menganjurkan agar yang berbuat, yang
menghasilkan, dan yang mengajar adalah peserta didik sendiri. Sedangkan peran
pendidik lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing.
Dalam pandangan Pragmatisme, tidak ada suatu materi pelajaran tertentu yang
bersifat universal dalam sistem dan metode pelajaran yang selalu tepat untuk
semua jenjang sekolah, sebab pengalaman, kebutuhan serta minat individu atau
masyarakat berbeda menurut tempat dan zaman. Dalam hal ini kurikulum
pragmatisme bersifat elastis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

24
masyarakat. Kurikulum Pragmatisme bergerak dinamis diatas prinsip kebebasan,
menghendaki bentuk yang bervariatif dan dengan materi yang kaya.
Adapun mengenai muatan isi kurikulum, Pragmatisme mendorong
perkembangan pribadi anak didik yang meliputi perkembangan minat, pikir dan
kemampuan praktis. Bentuk demikian inilah yang oleh Kilpatrick disebut dengan
emerging curriculum, yaitu kurikulum yang realistis dari kehidupan peserta didik
Dalam pelaksanaannya, kurikulum Pragmatisme mengutamakan pengalaman yang
didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, yang diarahkan bagi
perkembangan pribadi secara integral terutama aspek pikir, perasaan, motorik, dan
pengalaman sosial.
Demikianlah model kurikulum aliran Idealisme dan Pragmatisme, yang
sebenarnya hanya merupakan pembedaan secara garis besar saja, karena selain
kedua aliran utama tersebut, masih terdapat aliran-aliran filsafat lain yang
memiliki pengikut yang cukup banyak, dan kemudian terdapat empat aliran saja
sebagai penjelas dan penguat bagi kedua aliran utama tersebut diatas, yaitu
perenialisme, esensialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
3. Perenialisme
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa zaman
sekarang sebagai zaman yang kurang “sehat”, dan untuk mengembalikan kepada
keadan semula diperlukan “dokter” yang sudah terkenal. Aliran ini juga
menganggap bahwa kebudayaan dewasa ini mempunyai landasan-landasan yang
kurang jelas sehingga diperlukan usaha-usaha untuk kembali pada fundamen-
fundamennya dengan menunjuk kepada apa yang telah dihasilkan oleh zaman
Yunani dan abad pertengahan. Jelasnya, Perenialisme ini bercorak regresif, yaitu
sikap yang menghendaki kembali pada jiwa yang menguasai peradaban skolastik
Yunani dan abad pertengahan, karena merupakan jiwa yang menuntun manusia
hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara
rasional (Ma’ruf & Assegaf, 2021).
Dalam hal kurikulum, aliran ini menganggap hal yang terpenting dalam
kurikulum adalah isi (content) mata pelajaran-mata pelajaran yang tepat dan
benar. Oleh karena kondisi demikian, maka dalam pendidikan peran utama
dipegang oleh guru atau pendidik. Keaktifan dan kreatifitas subyek didik

25
dikembangkan dengan bersendikan atas pengetahuan dan keterampilan yang
benar.
Disamping itu, masih menurut aliran Perenialisme, pendidikan
persekolahan diusahakan sama bagi setiap orang, dimana peserta didik diajak
untuk menemukan kembali dan menginternalisasi kebenaran universal dan
konstan dari masa lalu. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam kurikulum
model aliran Perenialisme ini adalah mengkaji terhadap buku-buku yang
membahas peradaban Barat dan abad pertengahan melalui membaca dan diskusi
untuk menyerap dan menguasai fakta-fakta dan informasi.
4. Essensialisme
Aliran Esensialisme ini hampir mirip dengan Perenialisme. Bedanya, kalau
Perenialisme bercorak regresif, Esensialisme lebih bercorak konservatif, yakni
sikap untuk mempertahankan nilai-nilai budaya manusia. Esensialisme ini
menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang
hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai inilah yang hendaknya
sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.
Menurut teori Essentialist ini, tujuan pendidikan adalah sebagai perantara atau
pembawa nilai-nilai yang ada dalam “gudang” di luar ke dalam jiwa peserta didik,
sehingga perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang
tinggi (Rizka, 2022). Disini peran guru atau pendidik memiliki peran yang sentral
dalam menyampaikan warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang
terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk peserta didik. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kurikulum menurut aliran ini bersifat subject centered,
dimana guru sebagai pusat pembelajaran yang lebih ditekankan pada keterampilan
membaca, menulis dan menyerap ide-ide demi mengembangkan mind peserta
didik dan kesadaran akan dunia fisik sekitarnya.
5. Progresivisme
Aliran Progresivisme dapat dikatakan telah berbuat banyak dalam
mengadakan rekonstruksi di dalam pendidikan modern dalam abad XX.
Progresivisme banyak meletakkan tekanan dalam masalah kebebasan dan
kemerdekaan kepada peserta didik dan menentang keras pendidikan tradisional,

26
yang biasanya menentukan materi pembelajaran tanpa memperhatikan kebutuhan
dan minat peserta didik (Adisel & Suriyati, 2022).
Menurut George R. Knight, pemikiran progresivisme banyak sekali
dipengaruhi oleh pragmatisme-nya John Dewey dan Psikoanalisis-nya Sigmund
Freud yang menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta
didik dan lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat
mengerahkan energinya dengan cara yang efektif. Menurut aliran ini, peserta
didik dianggap sebagai makhluk yang dinamis, sehingga dia diberi kesempatan
untuk menetukan harapan dan tujuan dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai
penasehat, penunjuk jalan, dan rekan seperjalanan. Disini, guru bukanlah satu-
satunya orang yang paling tahu.
Dengan demikian, pendidikan harus berpusat pada peserta didik (child
centered),tidak tergantung pada text book atau metode pengajaran tekstual.
Pendidikan progresivisme juga tidak menggunakan hukuman fisik atau menakut-
nakuti sebagai pembentuk sikap disiplin.
Menurut teori Progresive ini, kurikulum dibangun dari pengalaman
personal dan sosial peserta didik. Hal demikian dilakukan agar peserta didik
memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial dengan melakukan interaksi
dengan lingkungan dan akhirnya memiliki kemampuan problem solving, baik
personal maupun sosial.
6. Rekonstruksionisme
Menurut penggagas teori rekonstruksionis, yaitu George S. Count, aliran
ini muncul sebagai akibat dari penerapan ide-ide demokrasi dan tata ekonomi
kapitalisme yang menjurus pada individualisme dan laises faire. Dan masyarakat
yang demikian perlu direkonstruksi kembali dengan penerapannya yang menjamin
adanya kesamaan (Farah, 2022).
Menurut teori Rekonstruksi, fungsi pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik sehingga menjadi cakap dan kreatif
sekaligus mampu bertanggungjawab dalam berinteraksi, membangun serta
mengembangkan masyarakatnya. Lebih jauh lagi, agar pendidikan dapat
menyadari antara keterikatan perumbuhan dan perkembangan tehnologi dan
industrialisasi dengan perubahan masyarakat. Disini, pengetahuan atau

27
kemampuan profesional, misalnya, hendaknya bisa disumbangkan bagi
terbentuknya masyarakat baru. Dan, peran sekolah adalah dengan menjadi
perantara utama bagi perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat
dengan membuat peserta didik sadar akan persoalan-persoalan yang dihadapi
umat manusia, memiliki kesadaran untuk memecahkan problem tersebut dan
akhirnya membangun tatanan masyarakat yang baru.

28
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat memegang peranan
penting dalam pengembangan kurikulum yang dikenalkan berbagai aliran filsafat,
setiap aliran diatas memiliki orientasi yang berbeda-beda sehingga dalam
pengembangan kurikulum senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu.
Menurut aliran Idealisme bahwa hakekat pendidikan adalah semangat ingin
kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, sehingga
pendidikan diartikan sebagai “cultural conservation”, Aliran Pragmatisme
berpandangan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan
yang dilakukan atas desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic, yakni
sebuah pendidikan yang berwawasan pada masa depan. Adapun kurikulum
Pragmatisme lebih mengutamakan pengalaman yang didasarkan atas kebutuhan
dan minat peserta didik, terutama aspek pikir, perasaan, motorik, dan pengalaman
sosial, aliran Idealisme dan Pragmatisme, aliran lain seperti Perenialisme yang
regresif, Esensialisme yang konservatif, Progresivisme yang bercorak bebas dan
modifikatif, serta Reconstructionism yang mewujud dalam sikap radikal
rekonstruktif.

29
Daftar Pustaka
. Al Fatih, M., Alfieridho, A., Sembiring, F. M., & Fadilla, H. (2022).
Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Implementasinya di SD
Terpadu Muhammadiyah 36. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 6(1),
421-427.
Adisel, A., & Suryati, S. (2022). Pendidikan Merdeka Belajar dalam Perspektif
Filsafat Progresivisme. JOEAI (Journal of Education and
Instruction), 5(2), 467-477.
Farah, L. N. A. (2022). Studi Komparatif Aliran-Aliran Utama Filsafat
Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Barat. HEUTAGOGIA:
Journal of Islamic Education, 2(1), 115-128.
Ihsan, N. H., Jamal, J. J., Kusuma, A. R., Bimasakti, M. D. A., & Rahmadi, A. R.
(2022). Worldview Sebagai Landasan Sains dan Filsafat: Perspektif
Barat Dan Islam. Reflektika, 17(1), 31-61.
Kastamin, N., Anwar, S., & Afif, N. (2021). Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi terhadap Guru Profesional. Jurnal Dirosah Islamiyah, 3(3),
382-406.
Ma'ruf, A., & Assegaf, A. R. (2021). Rekonstruksionalisme Pendidikan Formal
sebagai Agen Utama dalam Tatanan Sosial. Maharot: Journal of
Islamic Education, 5(2), 155-170.
Rizka, K. (2022). Landasan Filosofis Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar. At-
Tazakki: Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan Islam dan Humaniora, 6(2),
302-318.
Salminawati, S., & Hasibuan, F. H. (2021). Epistemologi Perspektif Barat &
Islam. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(3), 11190-11199.
Saragih, H., Hutagalung, S., Mawati, A. T., Chamidah, D., Khalik, M. F., Sahri,
S., ... & Kato, I. (2021). Filsafat Pendidikan. Yayasan Kita Menulis.
Vera, S., & Hambali, R. Y. A. (2021). Aliran rasionalisme dan empirisme dalam
kerangka ilmu pengetahuan. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 1(2),
59-73.

30

Anda mungkin juga menyukai