Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

“ HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN PENDIDIKAN “


DISUSUN UNNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
FILSAFAT PENDIDIKAN

DOSEN PENGAMPU : Drs. H. Sulaiman,M.Pd, Ph. D


Drs. Asrani M.Pd

DISUSUN OLEH
KELAS 4D
KELOMPOK 4

Muhammad Risal Herpindi 1910125310089


Nisa Kamila 1910125220044
Siti Rahmah 1910125220004
Karen Amalin Lestyani 191012520044

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hubungan Antara Filsafat dan
Pendidikan ” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Filsafat Pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Hubungan Antara Filsafat dan Pendidikan bagi para pembaca dan juga bagi
penyusun. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. Sulaiman,M.Pd, Ph. D dan
Ibu Drs. Asrani M.Pd selaku dosen Filsafat Pendidikan yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin , 22 Februari 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

A. Latar Belakang................................................................................................

B. Rumusan Masalah...........................................................................................

C. Tujuan.............................................................................................................

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Pendidikan....................................................

B. Hubungan Filsafat dan Pendidikan.................................................................

C. Manfaat belajar filsafat...................................................................................

D. Ruang lingkup Filsafat Pendidikan.................................................................

E. Cabang-Cabang Filasafat................................................................................

F. Problem Epistemologi Filsafat Pendidikan.....................................................

G. Filsafat menurut para ahli...............................................................................

H. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan...................................................................

I. Aspek-aspek kajian filsafat pendidikan.........................................................


BAB IV PENUTUP................................................................................................

A. KESIMPULAN...............................................................................................

B. SARAN...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan modern ini, filsafat diartikan sebagai ilmu yang mencari hakikat
sesuatu, berupaya melakukan penafsiran-penafsiran atas pengalaman-pengalaman
manusia dan merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul
dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Jawaban tersebut merupakan suatu hasil
pemikiran yang mendasar dan digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aspek kehidupan manusia, termasuk aspek pendidikan. Pada
prinsipnya, konsep filsafat menempatkan sesuatu kebenaran berdasarkan kemampuan
nalar manusia, yang merupakan tolak ukur suatu peristiwa yang terjadi sebelum dan
sesudahnya.
Filsafat sangat berperan penting dalam dunia pendidikan yaitu memberikan sebuah
kerangka acuan bidang filsafat pendidikan guna mewujudkan cita-cita pendidikan yang
diharapkan oleh suatu masyarakat atau bangsa. Oleh karena itu, filsafat pendidikan pada
suatu negara menjadi sebuah anutan. Filsafat pendidikan yang lahir dan menjadi tumpuan
konsep ilmu pendidikan, sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, merupakan disiplin
ilmu yang merumuskan kaidah-kaidah nilai yang akan dijadikan ukuran tingkah laku
manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat serta tugas dari pendidikan, sebagai
aspek kebudayaan yaitu menyalurkan nilai-nilai hidup, melestarikan dan mengembangkan
nilai-nilai norma tingkah laku kepada subjek didik yang bersumber dari filsafat,
kebudayaan, dan agama yang berlaku dalam suatu masyarakat atau negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat dan filsafat pendidikan?
2. Bagaimana hubungan antara filsafat dengan pendidikan?
3. Apa saja manfaat dari belajar filsafat?
4. Apa saja ruang lingkup dari filsafat pendidikan?
5. Apa saja cabang-cabang filsafat?
6. Apa problem epistemologi filsafat pendidikan?
7. Bagaimana filsafat pendidikan menurut ahli?
8. Apa saja aliran dalam filsafat pendidikan?
9. Apa saja aspek dalam filsafat pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari filsafat dan filsafat pendidikan.
2. Untuk mengetahui hubungan antara filsafat dengan pendidikan.
3. Untuk mengetahui apa saja manfaat dari belajar filsafat.
4. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup dari filsafat pendidikan.
5. Untuk mengetahui apa saja cabang-cabang filsafat.
6. Untuk mengetahui problem epistemologi filsafat pendidikan.
7. Untuk mengetahui filsafat pendidikan menurut para ahli.
8. Untuk mengetahui apa saja aliran dalam filsafat pendidikan.
9. Untuk mengetahui apa saja aspek dalam filsafat pendidikan.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Barnadib (1976:7) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan mengadakan kajian


yang luas mengenai realita. Oleh karenanya filsafat pendidikan mengkaji antara lain
pandangan du nia dan pandangan hidup. Konsep-konsep ini dapat menjadi landasan
penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidikan. Di samping itu, pengalaman pendidik
dalam menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan
dengan realita dan hakikatnya (ontologis). Semua pengalaman ini diambil alih oleh filsafat
pendidikan untuk dijadikan bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk mengembangkan
dirinya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa filsafat mengadakan pembahasan soal
“Aku dan Tujuan”, yang perlu menjadi perhatian pendidik sebelum ia terjun aktif dalam
prosesnya. Bahwa pandangan filsafat karena “aku”nya manusia (individu), adalah suatu yang
lain dari yang lain, dapat menjadi landasan pandangan mengenai bentuk kesungguhan (formal
substansialis) mengenai manusia ini dapat menjelma menjadi pandangan pendidik mengenai
anak didik.

Contoh lain, bahwa bila pendidik memandang forma substansialitas manusia itu
sebagai biologis, maka konsep pendidikan yang dapat akan lahir adalah pendidikan naturalis
(berdasarkan kepada alam). Tokoh pendidikan yang menganjurkan prinsip naturalisme ini
adalah J.J. Rousseau yang menulis pandangan-pandangannya dalam bukunya yang “Emile”.
Dalam buku ini dituliskan bahwa latihan indera adalah praktek pendidikan yang amat penting
artinya, karena indera merupakan salah satu atribut biologis manusia. Lain halnya bila anak
dipandang sebagai makhluk spiritual. Landasan ini menentukan ide dan tujuan pendidikan
yang akan dicapai, yaitu pandangan tentang kehidupan manusia dalam kaitannya dengan
super natural (ke-Tuhan-an). Anak didik dipandang mempunyai kepribadian bukan sebagai
entitet yang bersifat mekanistis belaka, tetapi sebagai makhluk spiritual yang memiliki entitas
material.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Pendidikan

1. Pengertian Filsafat
Dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli
filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama. Pengertian filsafat dapat dipilahkan ke
dalam dua garis besar, yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
a. Pengertian Secara Etimologi
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Philosophy adalah berasal dari bahasa
Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta
(love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga pengertian
etimologis dari istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom dalam
arti yang sedalam-dalamnya.
Poedjawijatna menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang
berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani.
Kata filsafat dalam bahasa Yunani adalah philoshophia. Kata philoshophia dalam
bahasa Yunani merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas philo dan shopia: philo
artinya cinta dalam arti luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang
diinginkan itu: shopia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang
mendalam. Berdasarkan asal katanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai,
cinta pada kebijakan (Djamaluddin, 2014).
b. Pengertian Secara Terminologi
Pengertian terminologis merupakan uraian yang menjelaskan berdasarkan
batasan-batasan definisi yang disusun oleh sejumlah filsuf dan ahli filsafat. Pengertian
terminologis tentang filsafat adalah (i) upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas; (ii) upaya untuk
melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata; (iii) upaya untuk
menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuannya: sumbernya, hakikatnya,
keabsahannya, dan nilainya; (iv) penyelidikan kritis atas pengandaian-peng- andaian
dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan; (v)
disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan
untuk mengatakan apa yang yang kita lihat (Adib, 2011).
Adapun pengertian terminologis filsafat yang diuraikan lebih lanjut adalah
definisi filsafat menurut Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Immanuel Kant, Ali
Mudhofir, dan Notonagoro, Harold H Titus, Ibnu sina dan Driyarkara. Para filsuf dan
ahli filsafat itu mendefinisikan tentang.
Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk
mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Menurut Aristoteles, filsafat
adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat
keindahan). Menurut Rene Descartes filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di
mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan; Immanuel Kant,
filsafat adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan
yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui; Menurut Notonagoro, Guru Besar
UGM, filsafat menelaah hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang
mutlak dan yang terdalam, yang tetap, dan yang tidak berubah yang disebut hakikat;
Sedangkan menurut Ali Mudhofir, seorang ahli filsafat yang juga dosen UGM,
filsafat diartikan sebagai: (i) suatu sikap; (ii) suatu metode; (iii) kelompok persoalan;
(iv) kelompok teori atau sistem pemikiran; (v) analis logis tentang bahasa dan
penjelasan makna istilah; dan (vi) usaha untuk mendapatkan pandangan yang
menyeluruh.
Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi
terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup. Di pihak lainnya ada yang
beranggapan, bahwa filsafat merupakan cara berpikir yang kompleks, suatu
pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis, tetapi mendasar bagi lmu
pengetahuan.
Harold H. Titus, mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan
dalam arti luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berhubungan
dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna. Filsafat diartikan
sebagai "science of science", dengan tugas utamanya memberikan analisis kritis
terhadap asumsi- asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mensistematisasikan
pengetahuan. Dalam arti luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan
manusia dari berbagai pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta,
hidup, dan makna hidup.
Ibnu Sina, mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan otonom yang
perlu ditimba oleh manusia sebab ia dikaruniai akal oleh Allah.
Prof. Dr. N. Driyarkara S.J., seorang filsuf besar dan ulung Indonesia yang
dalam bukunya Percikan Filsafat yang menyatakan bahwa, filsafat adalah pikiran
manusia yang radikal, artinya dengan mengesampingkan pendirian dan pendapat
"yang diterima saja" mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari
lain-lain pandangan dan sikap praktis.
Oleh karena itu, kami cenderung untuk memberikan definisi filsafat itu
sebagai berikut: "Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu
dengan memandang sebab-sebab terdalam, tercapai dengan budi murni" (philosophy
is the science which by the natural light of reason studies the first causes or hightest
principles of all things).
2. Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan, secara harfiah mengandung substansi filsafat dan pendidikan.
Filsafat (Philosophy) berasal dari kata Philos (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan) bahasa
Yunani yang menjadi asal muasal kata dari filosofi atau filsafat. Filosofi berarti cinta akan
kebijaksanaan. Filosofi dikatakan sebagai ilmu yang menjadi dasar dari seluruh ilmu yang
menjadi panutan manusia. Tanpa adanya sebuah filosofi maka ilmu yang lain tidak akan
berkembang. Filosofi dapat berguna untuk mengentaskan manusia dari kehilangan jati
diri yang memiliki sebuah tujuan dan arah.
Secara steriotif, filsafat dapat dipandang sebagai berpikir reflektif-kritis terhadap
suatu realita, dalam rangka mencari kebenaran/kebijaksanaan. Di sisi yang lain,
pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan,
kesatuan, organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-
masalah pendidikan.
Pandangan filsafat pendidikan sama dengan peranannya sebagai landasan filosofis
yang menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Dimana landasan filosofis
merupakan landasan yang berdasarkan atas filsafat. Landasan filsafat menalaah sesuatu
secara radikal, menyeluruh, dan konseptual tentang religi dan etika yang bertumpu pada
penalaran. Oleh karena itu antara filsafat dengan pendidikan sangat erat kaitannya,
dimana filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan
pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut. Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta,
rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam
perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis,
harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Dalam menerapkan filsafat pendidikan, seorang guru sebagai pendidik, dia
mengharapkan dan mempunyai hak bahwa ahli-ahli filsafat pendidikan menunjukkan
dirinya pada masalah pendidikan pada umumnya serta bagaimana masalah itu
mengganggu pada penyekolahan yang menyangkut masalah perumusan tujuan,
kurikulum, organisasi sekolah dan sebagainya. Dan para pendidik juga mengharapkan
dari ahli filsafat pendidikan suatu klasifikasi dari uraian lebih lanjut dari konsep, argumen
dirinya, literatur pendidikan terutama dalam kotraversi pendidikan sistem-sistem,
pengujian kopetensi minimal dan kesamaan kesepakatan pendidikan. Brubacher (1950)
dalam (Sugiarta, 2019) mengemukakan tentang hubungan antara filsafat dengan filsafat
pendidikan, dalam hal ini pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau
pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat merupakan
kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan,
sedangkan filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada hakekatnya jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat
filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini hakekatnya adalah penerapan dari
suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.

B. Hubungan Filsafat dan Pendidikan

Menguji konsep-konsep dasar tentang hukum maka muncul filsafat hukum, dan bila ia
mempersoalkan tentang masalah-masalah pendidikan, akan timbul filsafat pendidikan
(philosophy of education atau educational philosophy). Sebagaimana filsafat berusaha
memahami kenyataan sebagai suatu keseluruhan dengan menjelaskannya secara umum
dan sistematis. Demikian pula filsafat pendidikan berusaha menjelaskan soal-soal
pendidikan dalam bentuknya yang menyeluruh, menafsirkannya dengan konsep-konsep
umum yang menjadi pedoman dalam menentukan tujuan dan kebijaksanaan-
kebijaksanaan pendidikan.

Demikian pula bila filsafat merangkum bukti-bukti yang ditunjukkan oleh ilmu-ilmu
yang bermacam-macam itu, filsafat pendidikan berusaha menafsirkan bukti-
bukti/penemuan-penemuan tersebut dalam konteks pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak
dapat menjelaskan implikasi pendidikan secara langsung, atau tidak dapat diterapkan
oleh praktek pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filsafat. Mengenai hubungan
antara filsafat dengan pendidikan dikemukakan pula oleh Kneller (1971:5) sebagai
berikut :

"We cannot critizes existing educational policies or suggest new ones without
considering such general philosophic problems as

(a) the nature of the good life, to with educational should lead;

(b) the nature of him self, because it is man we are educating;

(c) the nature of society because education is social proses; and

(d) the nature of ultimete reality, which all knowladge seeks to penetrate. Educational
philosophy, then, involves among other thing the aplication of formal philosophy to the
field of education."
Dalam kutipan di atas dinyatakan bahwa kita tidak dapat mengkritik kebijaksanaan
pendidikan yang ada atau menyarankan kebijaksanaan pendidikan yang baru tanpa
mempertimbangkan masalah-masalah filsafat itu sebagai berikut :

1. Hakikat kehidupan yang baik ke mana pendidikan

diarahkan.

2. Hakikat manusia itu sendiri karena manusia itulah yang dididik.

3. Hakikat masyarakat, karena pendidikan adalah suatu proses sosial.

4. Hakikat dari kenyataan yang sesungguhnya (ultimate reality), karena semua


pengetahuan terarah ke situ. Filsafat pendidikan antara lain mencakup aplikasi filsafat ke
dalam lapangan pendidikan.

Seperti halnya filsafat, filsafat pendidikan juga berbentuk spekulatif, preskriptif dan
analitik. Spekulatif bila ia berusaha membangun teori-teori tentang hakikat manusia,
masyarakat dan dunia yang dijadikan menyusun dan menafsirkan data-data penelitian
pendidikan dan pengetahuan/ilmu-ilmu sosial yang saling bertentangan. Preskriptif bila
ia menentukan tujuan pendidikan dan alat-alat umum untuk mencapai tujuan pendidikan
itu.

Analitik bila ia berusaha menjelaskan pernyataan-pernyataan yang bersifat spekulatif


dan preskriptif. Ahli filsafat analitik, mencoba dasar-dasar pemikiran (rational) dari ide-
ide yang lain dan cara-cara dimana ide-ide itu menjadi distorsi (menjadi salah) oleh
pemikiran yang kosong. Ahli filsafat analitik mentest logika dan ketidaktepatan dari
konsep-konsep terhadap fakta-fakta yang ingin dijelaskannya. Ia mencoba untuk
menjelaskan berbagai makna yang berbeda artinya seperti arti kata "kebebasan”,
“penyesuaian”, “pertumbuhan", "pengalaman", dan “pengetahuan”.

Menurut Schaffler (Soelaiman, 1985:40) berpikir kritis atau analitis merupakan hal
yang sangat penting dalam menyusun konsepsi dan organisasi kegiatan-kegiatan
pendidikan. Pembahasan filosofis mengenai masalah-masalah pendidikan menghendaki
alat dan lkonsepsi yang bersifat secara analitik.
Hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan tidak hanya ke-insidental melainkan
suatu keharusan. John Dewey, seorang filosof Amerika, mengatakan bahwa filsafat itu
adalah teori umum dari pendidikan. Lebih dari itu, memang filsafat mengajukan
beberapa pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman
yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan. (Barnadib, 1976:15). Dari uraian di
atas jelaslah bahwa antara filsafat dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang
sangat erat sekali. Demikian juga antara filsafat dengan filsafat pendidikan. Malah
menurut Schaffler (Soelaiman, 1985:40) memisahkan filsafat dengan filsafat pendidikan
tidak ada artinya sama sekali. Dasar filosofis dari filsafat pendidikan adalah sama halnya
dengan dasar filosofis bagi ilmu pengetahuan yang lain seperti filsafat hukum, dan lain-
lain. Setiap bidang ilmu itu berada dalam garis utama filsafat. Dengan filsafat pendidikan
tidak ada artinya sama sekali. Dasar filosofis dari filsafat pendidikan adalah sama halnya
dengan dasar filosofis bagi ilmu pengetahuan yang lain seperti filsafat hukum, dan lain-
lain. Setiap bidang ilmu itu berada dalam garis utama filsafat.

Dalam ruang inilah pendidikan bagi hidup manusia menjadi sesuatu hal yang penting
untuk membawanya pada hidup yang bermakna. Dengan pendidikan, manusia akan mampu
menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Dengan demikian, ia bisa tertawa, menangis,
bicara, dan diam mengambil ukuran-ukuran yang tepat. Ini sangat berbeda dengan banyak
diri yang tidak terdidik. Hubungan ini menurut pakar merupakan ilmu yang paling tertua
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu, mereka menyebut bahwa
filsafat adalah induk semua ilmu-ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Sementara, filsafat
mengakui bahwa menurut substansinya yang ada itu tunggal, dan berada di tingkat abstrak,
bersifat mutlak, serta tidak mengalami perubahan. Sedangkan, menurut eksistensinya, yang
ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relatif, dan mengalami perubahan terus-
menerus.

Jadi segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman itu berasal mula dari satu substansi.
Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyikapi segala pluralitas ini agar tidak terjadi
benturan antara satu dan lainnya ? misalnya, pluralitas jenis, sifat dan bentuk manusia,
binatang, tumbuhan, dan badan-badan benda berasal dari substansi. Apakah yang seharusnya
dilakukan agar antara manusia satu dan lainnya tidak saling berbenturan kepentingan
sehingga dapat mengancam keteraturan sosial dan ketertiban dunia ?
Jawaban terhadap persoalan di atas adalah manusia harus bersikap dan berperilaku adil
terhadap diri sendiri, masyarakat, dan terhadap alam. Agar dapat berbuat demikian, manusia
harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala sesuatu
yang ada ini, dari mana asalnya, bagaimana keberadaannya, dan apakah yang menjadi tujuan
akhir keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik diri dan sesamanya secara
terus-menerus.

Bertolak dari pemikiran filsafat tersebutlah pendidikan muncul dan memulai sesuatu.
Manusia mulai mencoba mendidik diri dan sesamanya dengan sasaran menumbuhkan
kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan
pada materi yang berisi pengetahuan umum berupa wawasan asal mula, eksistensi, dan tujuan
kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan kehidupan menjadi landasan bagi
perilaku sehari-hari sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur
menuju satu titik tujuan akhir. Berdasarkan filsafat, pendidikan berkepentingan membangun
filsafat hidup agar dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Untuk
selanjutnya, kehidupan sehari-hari tersebut selalu dalam keteraturan. Jadi, terhadap
pendidikan, filsafat memberikan sumbangan berupa kesadaran menyeluruh tentang asal mula,
eksistensi, đan tujuan kehidupan manusia. Tanpa filsafat, pendidikan tidak dapat berbuat apa-
apa dan tidak tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filsafat tetap
berada di dalam dunia utopianya. Oleh karena itulah, seorang guru harus memahami dan
mendalami filsafat, khususnya filsafat pendidikan. Melalui filsafat pendidikan, guru
memahami hakikat pendidikan dan pendidikan dapat dikembangkan melalui falsafah
ontologi, epistimologi, dan aksiologi.

Pengertian filosofi pendidikan dan bagaimana penerapannya serta apa dampak dari
pendidikan harus diketahui oleh guru karena pendidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan bagi setiap manusia, termasuk guru di dalamnya. Jadi, seorang guru harus
mempelajari filsafat pendidikan karena dengan memahami dan memaknai filsafat itu, akan
dapat memberikan wawasan dan pemikiran yang luas terhadap makna pendidikan. Filsafat
pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan filsafat lainnya, misalnya
filsafat hukum, filsafat agama, filsafat kebudayaan, dan filsafat lainnya.

Dalam pengertian tersebut, filsafat tidak lain bertujuan membawa manusia mengalami
hidup yang dimilikinya dengan pandangan, pengalaman, pengetahuan, serta penghayatan
yang baik dan benar. Dengan pemahaman tersebut, manusia mampu menyadari hidup yang
dimilikinya dengan benar tanpa adanya. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu,
kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Oleh karena itu, dalam filsafat, jauh sebelum persoalan-persoalan mesti dicari jawabannya,
filsafat selalu terlebih dahulu mempertanyakan sejauh mana relevansi persoalan-persoalan
tersebut. Adakah ia sungguh-sungguh memang sebuah problem atau justru hanya
diproblematikakan saja? Di sini, filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang
mendalam. Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif karena kebenaran ilmu hanya
ditinjau dari segi yang dapat diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya, isi alam yang dapat
diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat
yang di atas permukaan laut saja. Sementara, filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar
gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang
kritis. Sedangkan, pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-
ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya, yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan
ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya,
pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri
dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan
memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk

memimpin perkembangan jasmani dan ruhani ke arah kedewasaan. Secara garis besar,

pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, pendidikan; kedua, teori umum

pendidikan; dan ketiga, ilmu pendidikan. Dalam pengertian pertama, pendidikan pada

umumnya mendidik yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pendidikan seperti ini sudah ada

sejak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba, kebanyakan manusia memerlukan

anak-anaknya secara insting atau naluri, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup

keturunannya. Tindakan yang termasuk insting manusia antara lain sikap melindungi anak,

rasa cinta terhadap anak, bayi menangis, kemampuan menyusu air susu ibu, dan merasakan

kehangatan dekapan ibu. Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu

yang bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan,
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan iman.

Kegiatan mendidik bermaksud membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia

meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Kegiatan mendidik

adalah membudayakan manusia. Dalam pengertian kedua, pendidikan dalam teori umum,

menurut John Dewey, “The general pheory of education dan Philoshophy is the general

theory of education.” Dia tidak membedakan filsafat pendidikan dengan teori pendidikan atau

filsafat pendidikan sama dengan teori pendidikan. Sebab itu, ia mengatakan pendidikan

adalah teori umum pendidikan. Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat

pendidikan progresif. Inti filsafat pragmatis yang berguna bagi manusia itulah yang benar,

sedangkan inti filsafas pendidikan progresif mencari terus-menerus sesuatu yang paling

berguna hidup dan kehidupan manusia. Dalam pengertian ketiga, ilmu pendidikan dibentuk

oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan.

Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.

C. Manfaat belajar filsafat

Manfaat belajar fulsafat ada untuk umum dan mahasiswa. Secara umum manfaat filsafat :

1. Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya.

2. Filsafat membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita, karena filsafat
mengajarkan bagaimana kita bergulat dengan pertanyaanpertanyaan mendasar.

3. Filsafat membuat kita lebih kritis. Filsafat mengajarkan pada kita bahwa apa yang mungkin
kita terima begitu saja ternyata salah atau menyesatkan atau hanya merupakan sebagian dari
kebenaran.

4. Filsafat mengembangkan kemampuan kita dalam: menalar secara jelas, membedakan


argumen yang baik dan yang buruk, menyampaikan pendapat (lisan dan tertulis) secara jelas,
melihat sesuatu melalui kacamata yang lebih luas, melihat dan mempertimbangkan pendapat
dan pandangan yang berbeda.
5. Filsafat memberi bekal dan kemampuan pada kita untuk memperhatikan pandangan kita
sendiri dan pandangan orang lain dengan kritis. Kadang ini memang bisa mendorong kita
menolak pendapat-pendapat yang telah ditanamkan pada kita, tetapi filsafat juga memberikan
kita cara-cara berfikir baru dan yang lebih kreatif dalam menghadapi masalah yang mungkin
tidak dapat dipecahkan dengan cara lain. Kemampuan berfikir secara jernih, menalar secara
logis, dan mengajukan dan menilai argumen, menolak asumsi yang diterima begitu saja, dan
pencarian akan prinsip-prinsip pemikiran dan tindakan yang koheren.

Bagi mahasiswa dengan mengenal ilmu filsafat diharapkan dapat mendapatkan manfaatnya
antara lain:

1. Dengan mempelajari filsafat diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya.
Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam
teori yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.

2. Mempelajari filsafat mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa sebagai calon ilmuwan
untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan
mempelajari filsafat diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan
mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan
penelitian ilmiah.

3. Mempelajari filsafat memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja
mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan
masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari
filsafat dapat diterapkan.

4. Membiasakan diri untuk bersikap logis-rasional dalam opini dan argumentasi yang
dikemukakan. 5. Mengembangkan semangat toleransi dalam perbedaan pandangan
(pluralitas). Karena para ahli filsafat tidak pernah memiliki satu pendapat, baik dalam isi,
perumusan permasalahan maupun penyusunan jawabannya.

6. Mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah.


D. Ruang lingkup Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan adalah filsafat yang secara khusus mengambil bidang garapan
pendidikan sebagai objek bahasannya. Di situ filsafat pendidikan berurusan dengan konsep-
konsep serta gagasan, baik menjadi landasan ataupun panduan pelaksanaan upaya-upaya
penyelenggaraan pendidikan. Atau, mengulas tentang apa, mengapa, dan bagaimana
pendidikan secara mendasar. Dalam makna ini, ruang lingkup filsafat terbagi ke dalam tiga
ruang, yaitu (1) ruang ontologi pendidikan; (2) ruang epistemologi pendidikan; serta (3)
ruang aksiologi pendidikan. Dalam ruang ontologi, filsafat pendidikan akan mengulas tentang
apa itu hakikat pendidikan. Kemudian, dalam ruang epistemologi, filsafat pendidikan akan
mempersoalkan mengapa dan bagaimananya pendidikan itu karena pertanyaan mengapa
pendidikan dianggap penting dan mesti ada dalam kehidupan manusia adalah pertanyaan-
pertanyaan yang masuk dalam ruang epistemologi. Adapun yang ketiga, yaitu dalam ruang
aksiologi. Dalam ruang aksiologi ini, filsafat pendidikan akan mengulas makna keberadaan
pendidikan dalam ruang kehidupan. Di sini filsafat pendidikan akan mempersoalkan
validitasi urgenisasi umum yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang
penting dalam kehidupan manusia. Lebih jauhnya, filsafat pendidikan akan membawa kita
pada ulasan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pendidikan serta makna yang mendasar bagi
keberlangsungan hidup manusia. Ruang lingkup ini akan kita ulas dalam sub-subbab
tersendiri, yang kesemuanya masuk dalam ruang metafisika filsafat pendidikan-mulai dari
metafisika ontologis, metafisika epistemologi, serta metafisika aksiologi.

E. Cabang-Cabang Filasafat

Cabang-cabang filsafat yang utama adalah sebagai berikut:

1. Metafisika (ontologi). Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari hakekat


realitas terdalam dari segala sesuatu, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non
fisik.
2. Epistemologi adalah cabang filsafat yang melakukan penelaahan tentang hakekat
pengetahuan manusia. Secara khusus, dalam. epistemologi dilakukan kajian-kajian yang
mendalam tentang hakekat terjadinya perbuatan mengetahui, sumber pengetahuan,
tingkat-tingkat pengetahuan, metode untuk memperoleh pengetahuan, kesahihan
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
3. Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari hakekat nilai. Berdasar pada pokok
penekanannya, aksiologi dapat dibagi menjadi etika (filsafat tentang baik buruk perilaku
manusia) atau filsafat moral dan estetika atau filsafat keindahan (Jenilan, 2018).

Selain cabang-cabang utama filsafat di atas, masih terdapat cabang-cabang filsafat lain

yang bersifat khusus. Cabang filsafat khusus itu antara lain adalah: filsafat manusia, filsafat

ketuhanan, filsafat alam (kosmologi), filsafat agama, filsafat sosial dan politik, filsafat seni,

filsafat politik, filsafat ekonomi dan filsafat pendidikan (Hanurawan, 2012) dalam

(Hikmawan, 2017).

F. Problem Epistemologi Filsafat Pendidikan

Dunia manusia nyaris selalu menjadi dunia pendidikan. Dalam pengertian ini, dunia
yang senantiasa mengakui pendidikan adalah sesuatu hal yang penting. Hal itu didasarkan
pada beragam tujuan nilai, termasuk salah satunya yang utama adalah adalah tujuan-tujuan
etis: untuk membuat manusia menjadi baik. Pandangan ini kemudian dilengkapi dengan
berbagai penjelasan bahwa pendidikan kemudian memercayai pengetahuan sebagai instrumen
utama guna mendidik manusia. Pendidikan memercayai bahwa dengan membuat manusia
menjadi berpengetahuan manusia akan menjadi baik. Pandangan ini telah menjadi common
sense yang diterima secara meluas di berbagai tradisi dan bangsa, bahkan juga mendapat
berbagai legitimasi ortodoksial dari berbagai kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam tradisi
Islam, misalnya, kita bahkan dapat menemukan bahwa mereka memiliki kitab suci yang
selalu menyeru para pemeluknya agar hidup sebagai manusia yang terus mencari ilmu. Ini
bisa kita temukan, misalnya dengan adanya postulasi mencari ilmu dimulai dari ayunan
hingga menjelang kematian. Sementara, dalam tradisi lainnya, Hindu, misalnya juga memiliki
semangat dan optimisme yang sama dalam meyakini bahwa pengetahuan bisa membuat
manusia menjadi baik. Vedantik bahkan menjadi kitab yang bermakna pengetahuan. Oleh
karena itu, jika sepakat bahwa jalan Hindu adalah jalan Veda, agama Hindu adalah agama
yang menjadikan pengetahuan sebagai jalan utama untuk seorang Hindu yang baik. Di
periode lama, keyakinan terhadap pengetahuan menjadi keyakinan umum umat manusia.
Manusia di setiap periode, bahkan selalu memiliki suara yang sama di dalam memercayai
pengetahuan. Pengetahuan dipandang sebagai kunci kebaikan hidup. Dari pendapat tersebut,
terdapat pandangan yang menyatakan bahwa tanpa pengetahuan, dunia manusia tidak akan
pernah sungguh-sungguh mampu berdiri menjadi dunia. Sebaliknya, ia akan menjadi ruang
lengang, tempat ribuan pasang mata hidup dalam situasi yang begitu mati dan tempat ribuan
pasang mata hidup dalam situasi yang begitu mati dan tanpa nyala apa pun. Hanya saja,
sepanjang itu kita nyaris tidak pernah menelisik lebih jauh dan mencoba kritis, dengan
bertanya benarkah pengetahuan dapat membuat manusia menjadi baik? Benarkah
pengetahuan dapat membentuk manusia menjadi spesies yang bermoral? Jika memang
pengetahuan mampu melakukan keajaiban itu, apa sebenarnya yang dimiliki pengetahuan
hingga ia dapat mengubah manusia yang jahat menjadi manusia baru yang baik ?

Dalam sejarahnya, siapa pun memang tidak dapat mengingkari betapa dunia manusia
selalu dunia yang lahir dari sesuatu yang oleh dunia disebut sebagai pengetahuan. Cina
berabad lampau, misalnya, tanpa pengetahuan sepanjang waktu tidak lebih akan menjadi
kisah primata berkulit kuning, yang lahir dan hidup di atas endapan sedimen lumpur
berwarna. Hal yang sama juga akan terjadi pada tradisi Indus, Mesir, Asyiria, Persia, serta
Yunani. Tanpa pengetahuan, mereka bukanlah apapun selain deretan kisah tentang
bagaimana manusia, yang terus berupaya mempertahankan kehidupan fisiknya dengan pola
yang begitu alami dan instingtual. Dengan tipe kecerdasan instingnya yang dinamis, manusia
mungkin tetap mampu mempertahankan kelestarian spesiesnya sampai kapan pun. Akan
tetapi, tanpa pengetahuan, semua pelestarian itu tidak akan berarti apa pun. Sepanjang waktu,
manusia akan hidup sebagaimana kawanan burung atau sekumpulan bison yang hidup dan
bertahan berdasarkan kesadaran-kesadaran insting serta kelompoknya. Tanpa pengetahuan,
kehidupan manusia tidak akan pernah bergerak ke mana pun selain berputar-putar menjadi
hewan yang sepanjang waktu tidak pernah mengalami ketersadaran apa pun. Manusia
kemudian akan hidup dalam situasi yang paling primordial, yang berjalan dalam keteraturan
waktu tubuh serta instingtualnya. Pengetahuan demikian tak ubahnya tangan halus yang
ajaib. Tangan halus yang dengan diam-diam datang lalu memberi ruh bagi hidup yang
sepenuhnya beku dan tidak bergeming. Pengetahuan mengubah kehidupan, tidak lagi hanya
sekadar “udara”, tetapi “napas” yang hidup. Manusia yang pada mulanya hidup dengan pola
apa adanya, karena pengetahuan, kemudian memulai hidupnya dengan cara serta kesadaran-
kesadaran baru. Meskipun di era-era awal, peran pengetahuan berkisar pada aspek-aspek
yang begitu pragmatis, terkait dengan berbagai pengubahan sisi praksis keberlangsungan
hidup semata, lahirnya pengetahuan telah menjadi era baru yang menandai betapa gerak
sejarah perjalanan manusia telah dimulai dalam pola yang sepenuhnya berbeda dari
sebelumnya.
Dalam fashion, misalnya, manusia yang pada mulanya hidup seperti binatang, tanpa
pakaian apa pun, di era ini mulai mengalami gejala fashion, tertarik menggunakan pakaian-
pakaian ala kadarnya. Dalam soal pangan, manusia yang mulanya hidup dalam pola berburu,
mulai melakukan kerja-kerja produksi, termasuk salah satunya mulai mengenal cara hidup
bercocok tanam. Pendeknya, sejak pengetahuan itu tiba, manusia terlahir menjadi subjek
yang tumbuh dan terus mengalami perkembangan kesadaran dan terus-menerus melakukan
berbagai pengubahan pada keberlangsungan hidup yang ada. Pengetahuan telah membuat
manusia berubah tidak lagi sekadar primata atau hewan berkaki dua yang mampu berjalan
tegak. Pengetahuan telah mengubah manusia menjadi makhluk yang juga mengenal seni tata
cara menjalani hidup dengan cara yang jauh lebih baik, termasuk salah satunya berkaitan
dengan soal pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, serta hal-hal praktis lainnya. Secara
kreatif, dalam berhubungan dengan sesamanya, pada periode itu manusia juga mengalami
perkembangan signifikan. Manusia mulai menciptakan simbol-simbol verbal ataupun simbol-
simbol non-verbal. Meskipun simbol-simbol itu masih begitu sangat sederhana, hal itu
menjadi tanda bahwa periode hidup baru telah dimulai dengan semangat dan tatapan yang
jauh lebih memiliki ruh. Kelak, di kemudian hari, gejala ini akan diungkap sebagai gejala
awal manusia dalam berbahasa era ketika untuk kali pertama manusia mulai menggunakan
sistem kode atau fase pertama, tempat embrio bahasa ditemukan serta berkembang ke dalam
bentuk baku yang paling secara sederhana. Pengetahuan menjadi hal yang ajaib, yang selalu
berhasil mengubah manusia dari spesies yang begitu sangat hewan menjadi makhluk kreatif
yang hidup dalam berbagai penciptaan. Di sini, menjadi hal yang tepat jika seorang Hegel
kemudian menyadari pengetahuan sebagai wujud teoretis dari adanya ruh kehidupan serta
wujud abstrak dari sesuatu yang bernama “peradaban" dimulai. Pengetahuan adalah berkah
yang membuat hidup manusia makin menjadi baik-hidup yang pada mulanya bukan apa pun.
Pengetahuan kemudian mengalami pemaknaan menjadi keberlangsungan yang memiliki
nilai, makna-makna, dan tujuan. Manusia kemudian hidup dalam visi atau penglihatan baru,
ketika hidup tidak lagi dialami secara sekadarnya, semata-mata hanya sebagai gerak insting
dan gejala tubuh. Sebaliknya, ruang aktual, tempat hidup selalu terarah pada proyeksi, makin
pasti dan terang. Di titik inilah, untuk kali pertamanya, manusia mulai mengalami kesadaran
falsafi yang paling sederhana. Maka, jika ditanyakan filsafat apa yang pertama kali lahir,
jawabannya adalah pengetahuan. Pengetahuan itulah filsafat yang pertama kali manusia
temukan. Pengetahuan membuat manusia menjadi bijak, baik di sisi pragmatis ataupun
kesadaran. Hingga di sini pengetahuan terlihat memiliki peran yang begitu penting. Sebab,
pengetahuan manusia bahkan mulai mengalami kebernapasannya dengan berbagai pertanyaan
serta kegelisahan-kegelisahan elementer akan diri pribadi serta keberadaannya sebagai salah
satu primata yang menghuni tatanan alam biosfera ini. Maka, pada periode ini, kegelisahan-
kegelisahan tentang siapakah aku, dari mana, bagaimana, dan mengapa aku hadir meruang
dengan begitu berlimpah, tidak ubahnya hamparan air di setiap sungai. Dengan pola yang
sederhana, diam-diam serta nyaris tanpa suara, kegelisahan-kegelisahan itu terus membanjir
dan menjangkiti benak setiap pribadi. Manusia mulai berpikir tentang keberadaan asal
kedatangannya, arah kepulangan, dan tujuan keberadaan yang mereka alami. Perlahan dan
pasti, di periode itulah manusia mulai menyadari dirinya sebagai sosok yang berbeda dari
spesies lain. Mereka sampai pada perenungan-perenungan: betapa hidup yang mereka miliki
bukanlah hidup yang sama dengan hidup makhluk mana pun. Manusia mulai serta nyaris
tanpa suara, kegelisahan-kegelisahan itu terus membanjir dan menjangkiti benak setiap
pribadi. Manusia mulai berpikir tentang keberadaan asal kedatangannya, arah kepulangan,
dan tujuan keberadaan yang mereka alami. Perlahan dan pasti, di periode itulah manusia
mulai menyadari dirinya sebagai sosok yang berbeda dari spesies lain. Mereka sampai pada
perenungan-perenungan: betapa hidup yang mereka miliki bukanlah hidup yang sama dengan
hidup makhluk mana pun. Manusia mulai terbuka pada gagasan-gagasan baru tentang hidup.
Meski bersamaan dengan tumbuhnya keterbukaan-keterbukaan itu, masa lalu masih menjadi
ingatan-ingatan yang terus hidup dan tak sungguh-sungguh terlepaskan Jauh sebelum mereka
berpengetahuan, di situasi-situasi tertentu, mereka kerap bersikap seperti serigala. Mereka
mendesis seperti ular, memukul-mukul dada sebagaimana gorila, atau meraung-raung
sebagaimana kera. Saat makan, mereka bahkan makan dengan cara yang tak berbeda. Mereka
memetik buah-buahan di hutan seperti kera, memakan daging seperti halnya serigala,
harimau, singa, ataupun kucing. Di hari-hari yang lain, saat mereka tidak lagi menemukan
binatang yang bisa diburu, mereka pun mengunyah rumput seperti rusa serta hewan herbivora
lainnya. Namun, belakangan hal alami itu berubah. Sejak pengetahuan menghampiri, mereka
tidak lagi bisa melakukan cara hidup seperti di atas. Uniknya, itu bukan karena mereka tidak
mampu melakukannya, melainkan karena kesadaran-kesadaran diri mereka melarang hal itu.
Kesadaran pola hidup baru telah merebut mereka untuk tinggal dan hidup dalam cara
pandang yang lain.

Di sebagian diri, kesadaran-kesadaran tersebut terkadang tumbuh dengan begitu kuat


meski tidak selalu sama di sebagian diri yang lain. Maka, saat kenangan serta ingatan-ingatan
masa lalu menyergap, mereka dilanda kegelisahan dingin dan yang tak terkatakan. Ingatan-
ingatan itu tak ubahnya mimpi buruk yang terus hadir dalam tidur ataupun dalam keterjagaan.
Di waktu-waktu tertentu, ketika mereka tengah mengalami diri mereka ingatan-ingatan itu
berpengaruh sedemikian kuat sehingga sebagian diam-diam memutuskan kembali dengan
pola pengaturan lama. Mereka hidup dalam ketelanjangan bebas, bergerak dalam kebebasan,
serta keliaran-keliaran murni. Mereka rindu situasi-situasi saat sepanjang waktu berdiri di
atas tebing, lalu berteriak dan mengeluarkan suara lolongan seperti serigala. Atau, situasi-
situasi ketika mereka mengunyah daging dari tubuh binatang buruan meski kerinduan-
kerinduan itu selalu pupus dengan sendirinya, terutama ketika kesadaran mereka berbenturan
dengan kenyataan hidup, betapa mereka bukan lagi diri yang sama seperti di era masa lalu.
Dalam berbagai hal, mereka mungkin masih mengenal dengan baik setiap inci kehidupan
lampau yang pernah dilewati. Mereka mengingat dengan baik bagaimana cara memakan
burung tanpa membunuhnya terlebih dahulu atau menggali tanah dengan jari jemari, untuk
mendapatkan seekor ular guna diminum darahnya.

Akan tetapi, kesadaran hidup yang disentuh tangan pengetahuan benar-benar telah
menjadi koma juga spasi, yang membuat mereka tidak lagi sanggup melakukan pola
pengintegrasian diri dengan cara yang sama, sebagaimana saat mereka masih hidup di masa
lampau. Oleh karena itu, seluruh ingatan juga kenangan-kenangan hidup masa lampau
kemudian hidup dalam ruang-ruang tersembunyi, terpendam di alam bawah sadar. Kelak, di
masa-masa berikutnya, ketika mereka mulai mengalami periode-periode falsafi di fase lebih
jauh, tanpa mereka sadari, ingatan-ingatan itu akan kembali hadir, meruang, serta
memberikan pengaruhnya secara berlimpah, termasuk dalam upaya-upaya mereka dalam
melakukan pencarian atas kegelisahan-kegelisahan hidup yang menimpa. Pengaruh itu salah
satunya terekspresikan secara khas dengan adanya kebiasaan baru di antara mereka, yang
tiba-tiba gemar melakukan pemujaan terhadap berbagai binatang. Ada yang mengultuskan
jenis-jenis burung tertentu, ular, ada pula yang mengultuskan serigala serta hewan lainnya.
Kultus atau pemujaan seperti ini menjadi gejala umum yang biasa terjadi di masyarakat kuno,
di ruang ketika hidup masih berlangsung dengan cara-cara yang begitu alami dan penuh
kesahajaan. Di Mesir, misalnya, terdapat pemujaan terhadap beragam jenis hewan, mulai dari
kucing, ular, anjing, serta burung. Hal yang sama juga terjadi di Yunani. Orang-orang Yunani
memandang burung sebagai hewan yang memiliki kecerdasan tertentu. Pola-pola pemujaan
seperti ini memiliki tipologi yang berbeda-beda di setiap tradisi. Di Mesir, pemujaan binatang
terlihat lebih terarah pada hewan-hewan yang dipandang berkekuatan fisik, seperti buaya,
ular, ataupun serigala. Periode ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga kemudian
digantikan dengan hadirnya sosok adikodrati baru yang dikenal sebagai dewa atau titan.
Kemunculan para dewa atau para titan ini tidak melahirkan tatanan dunia baru sama sekali.
Sebaliknya, meneruskan hidup yang ada. Perpaduan unik antara sosok adikodrati itu dan
binatang-binatang yang disucikan ini melahirkan gejala yang oleh G.W.E. Hegel, disebut
zoolatry atau semacam pemujaan para dewa yang digambarkan bertubuh setengah manusia
dan setengah binatang. Di periode awal, kemunculan para titan atau dewa-dewa zoolatry ini
semakin menguatkan posisi pentingnya pengetahuan. Pengetahuan bahkan diinsyafi sebagai
sesuatu yang sakral dan suci. Ini bisa ditemukan di berbagai peradaban tua dunia yang selalu
menjadi tradisi yang sarat dengan kearifan serta perhatiannya yang begitu berlimpah pada
sesuatu, yang oleh kita di hari ini, dikenal sebagai pengetahuan. Indus, misalnya, pada
periode itu, tumbuh menjadi negeri tempat pengetahuan disadari dengan pola transendensi
menakjubkan, disadari sebagai kunci menuju Tuhan. Maka, di Indus, Vidya atau Veda, yang
berarti pengetahuan menjadi kitab suci yang disucikan. Vidya atau Veda di sini dianggap
sebagai sesuatu yang suci karena dianggap sebagai perkataan Tuhan. Gambaran tidak berbeda
juga terjadi di Cina, Mesir, Babilonia, Asyiria, dan Persia, tempat perhatian dan kepedulian
akan pengetahuan berlangsung dengan sama berlimpahnya. Di Mesir Lama, kita akan
menemukan sosok adikodrati bernama Thoth. Kata ini kerap dilawankan dengan kata Avidya
yang berarti tanpa pengetahuan.

Thoth adalah sosok menawan yang dipandang sebagai dewa pengetahuan. Ia tak
berbeda dengan Ganesha atau Saraswati di dalam tradisi Indus. Thoth ini pula yang konon
melahirkan tulisan untuk pertama kalinya. Selain itu, Thoth juga dipandang sebagai penemu
ilmu hitung, ilmu astronomi ilmu musik, kedokteran, hukum, olahraga, bahasa, serta semua
hal yang teratribusikan ke dalam sistem pengetahuan. Di antara negeri-negeri itu, Yunani
ternyata bukan negeri berbeda. Di sana kita akan menemukan adanya sosok adikodnati yang
tidak berbeda dengan Thoth di Mesir Atau Ganesha di India. Kesemua itu menunjukkan
betapa jauh di waktu yang begitu lampau. Yunani telah pula hidup dalam kesadaran logos
atau pengagungan dan penyucian pada pengetahuan. Apollo adalah titan pengetahuan, yang
disadari tak berbeda dengan Thoth di Mesir atau Ganesha di Indus. Begitulah dunia manusia
lahir dan terbangun, dari dan dengan pengetahuan. Pengetahuan telah membawa manusia
pada berbagai keajaiban yang terus berkembang tanpa ada habisnya. Dalam lindungan dan
sentuhan pengetahuan, kehidupan tumbuh menjadi keajaiban yang sarat dengan berbagai
kesenangan serta kepuasan. Meski sayangnya, periode-periode menyenangkan ini tidak
sanggup berlangsung lebih lama, dari waktu yang diharapkan. Bersamaan dengan tumbuhnya
kelimpahan-kelimpahan itu, pengetahuan pun kemudian mulai tercemar berbagai halyang
begitu gelap. Tanpa manusia sadari, bersamaan dengan tumbuhnya pohon pengetahuan,
diam-diam, sesuatu yang begitu gelap dan pekat lahir serta berkembang hingga berlimpah.
Sesuatu yang gelap ini, bahkan memiliki sistem jauh lebih canggih dari capaian yang telah
pengetahuan temukan. Ini terlihat manakala hal gelap ini selalu mampu mengadaptasikan diri
pada seluruh sistem pengetahuan-pengetahuan yang ada sehingga mereka menjadi begitu
berkuasa dalam kehidupan yang ada. Di kemudian hari, “hal gelap" ini dikenal sebagai
sesuatu yang bernama "hasrat". Para sarjana modern membuat analisis betapa di era ini
manusia mulai dikendalikan oleh hasrat-hasrat baru, yang tidak mereka pahami, dan belum
pernah mereka rasakan, di kehidupan sebelumnya. Hasrat-hasrat itu menguat, menguasai dari
segala sisi, dari sisi yang tersembunyi hingga sisi yang terlihat. Pengetahuan, sesuatu yang
pada mulanya menjadi hal suci serta mampu membawa manusia dalam keselarasan-
keselarasan hidup menawan, seketika berubah menjadi bengis, mengerikan, dan melahirkan
hal-hal yang bersifat ilusif.

Mulanya, rasio memang menjadi berkah. Namun, saat ia tumbuh menjadi besar, rasio
kemudian melahirkan dilema sebab ia selalu membawa manusia pada dua medan energi kuat,
yang terus saling bertentangan, antara satu sama lainnya. Secara potensial, manusia
sebenarnya memiliki kebebasan memilih salah satu dari dua energi itu sehingga pengetahuan
bisa diselamatkan dari berbagai pencemaran-pencemaran. Akan tetapi, sejarah sepertinya
memiliki takdir yang sulit diterka centang perenangnya. Dalam hidupnya, manusia
tampaknya lebih sering membuat pilihan yang salah sehingga yang dihidupinya justru energi
gelap yang membuat pengetahuan terus mengalami pencemaran. Pencemaran yang membuat
pengetahuan kemudian kehilangan berkah dan kesembuhannya. Pengetahuan, sesuatu yang
pada mulanya, tumbuh, selaras dengan semangat kehidupan yang murni, pada
perkembangannya justru memunggungi kehidupan meski di beberapa negeri hal itu tidak
selalu menunjuk indikasi yang sama. Namun, di banyak negeri, tumbuhnya pengetahuan
selalu nyaris menjadi awal berkuasanya kekuatan gelap yang jahat dan mengerikan kekuatan
gelap yang membuat kehidupan menjadi tragedi yang penuh dengan kepedihan dan ratapan.

Pencemaran itu terus berlangsung hingga membawa manusia pada puncak kehidupan
yang sarat dengan berbagai kekacauan. Tanda tidak lagi menunjuk pada arah yang benar.
Pengetahuan berkembang di ruang-ruang yang sepenuhnya berpisah dari kehidupan yang ada.
Kenyataan itu mengundang sebuah refleksi: betapa kepercayaan lama akan pengetahuan yang
ajaib tidak lagi memadai untuk digunakan sebagai pijakan hidup. Pengetahuan ternyata tidak
selalu menunjuk arah yang terang. Suatu ketika, dengan tanpa terduga, pengetahuan bahkan
sanggup mengarah pada berbagai hal yang berlawanan. Berlimpahnya pengetahuan menjadi
awal, berlangsung, dan dimulainya zaman yang sepenuhnya gelap di sebagian dunia yang
lain, gejala ini membawa beberapa diri pada beberapa perenungan (kontemplasi) seputar
pengetahuan-pengetahuan yang melahirkan kekacauan hidup atau sebaliknya. Di sini, diri-
diri itu melakukan pelacakan mendasar tentang pengetahuan serta keterkaitannya dengan
hidup yang ada. Sayangnya, sejauh itu kegelisahan-kegelisahan yang muncul selalu menjadi
anak panah yang membentur kerasnya dinding batu. Meski di satu sisi mereka memang telah
menemukan betapa pengetahuan yang tercemar itulah yang menjadikan hidup penuh dengan
kekacauan, sejauh itu mereka tetap tidak sanggup menemukan akar penyebab yang membuat
pengetahuan-pengetahuan itu bisa mengalami ketercemaran. Dunia mungkin butuh sesuatu
hal yang baru, sesuatu hal yang bisa membawa manusia pada pemahaman hidup yang benar.
Akan tetapi, apakah itu? Seseorang mengatakan bahwa “sesuatu itu adalah sesuatu yang
sanggup memberitahukan manusia, dalam membedakan, mana pengetahuan ilusi dan mana
pengetahuan yang senyatanya. Tanpa itu, tumbuhnya pengetahuan akan terus-menerus
melahirkan tragedi secara berulang dari waktu ke waktu, sejak awal kali pertama manusia
mulai memercayai dan menemukan pengetahuan hingga ketika manusia mulai kehilangan
kepercayaan pada pengetahuan. Pengetahuan telah sedemikian tercemar sehingga kepedihan
demi kepedihan tumbuh dan berkarat di setiap diri, bahkan pada setiap bocah, bersamaan
dengan makin majunya perkembangan pengetahuan. Ini memang ironi yang kuat. Sesuatu hal
yang menunjuk betapa sesuatu yang suci dan hangat dapat membawa manusia pada
kehidupan yang agung, suatu ketika juga bisa berubah menjadi sesuatu yang begitu dingin,
bengis, dan tanpa mata. Maka, hidup sepenuhnya merupakan kebuntungan- kebuntungan
perih nan busuk. Pengetahuan memang ajaib. Namun, keajaibannya senantiasa bersifat
potensial. Oleh karena itu, keberlimpahan pengetahuan kerap menjadi keberlimpahan
terburuk yang bisa membawa hidup jauh dari berkah dan kesembuhan. Di tengah-tengah
zaman, ketika keberlimpahan pengetahuan kehilangan daya sembuhnya, filsafat untuk kali
pertamanya lahir dan memulai perjalanannya dengan cara yang begitu marginal. Oleh karena
itu, Yunani sesungguhnya bukanlah rahim pertama tempat filsafat lahir dan dimulai. Yunani
adalah akumulasi kepedihan dan keprihatinan zaman, ketika keberlimpahan pengetahuan
telah memunggungi kehidupan. Filsafat tidak muncul ketika dunia hampa pengetahuan.
Filsafat justru terlahir ketika keberlimpahan pengetahuan tidak lagi memiliki kesembuhan
hidup. Filsafat selalu tidak lain adalah falsifikasi dan pencarian dasar untuk menjadi
bijaksana dan sembuh, serta landasan mengapa kita, manusia, mesti menyakini bahwa
pengetahuan adalah kunci dari segala kebaikan hidup. Di sini jika filsafat dipandang lahir di
Yunani, filsafat di Yunani tidak lahir sebagai fase pengetahuan pertama, ketika pemikiran
manusia baru memasuki tahapan how to know atau ketika hidup manusia baru mengalami
ketersadaran hidup di wilayah teknis pragmatis. Sebaliknya, filsafat di Yunani lahir pada fase
pengetahuan kedua, yaitu masuk ditahapan how to act—tahapan ketika di satu sisi dunia
manusia telah sarat dengan pengetahuan, sedangkan di sisi yang lain pengetahuan telah
kehilangan visi kosmologisnya. Dalam pengertian inilah, kegelisahan-kegelisahan filsafat di
Yunani tidak muncul sebagai gejala filsafat yang bersifat mekanistis yang mengulas
persoalan-persoalan teknis pragmatis hidup, sebaliknya bersifat abstrak teoretis, sarat dengan
kosmologi dan problem-problem etika. Kenyataan ini memiliki bukti dan penggambaran
banyak hal. Yunani di era-era itu, sepertinya cukup memahami betapa pengetahuan tidak
pernah berimplikasi tunggal. Sebaliknya, selalu menjadi hal yang potensial. Yunani dengan
kejeliannya memahami hal ihwal sejarah pengetahuan. Betapa di negeri-negeri di masa lalu,
pengetahuan, selalu menjadi Dewa Janus,'' yang di satu sisi, membangkitkan hidup. Akan
tetapi, di waktu yang lain, pengetahuan sanggup pula menghancurkan peradaban yang paling
agung. Di Indus, pencarian-pencarian pengetahuan itu melahirkan para Rishi-sosok pelihat
yang mampu mendengar suara-suara suci dan mengalami ingatan-ingatan suci. Sedangkan, di
kaki Himalaya, pencarian- pencarian itu melahirkan Aria Sangha atau orang yang dipandang
duduk di atas garis kesempurnaan hidup. Di Cina, pencarian itu melahirkan Kong fu Tze dan
Lao Tze serta berderet-deret nama tokoh yang kemudian dikenal dengan sebutan para Junzi.
Junzi adalah sosok pemberani, sama pemberaninya dengan para filsuf di Yunani-meski para
filsuf Yunani lebih banyak dikenal sebagai “Docta Ignoratia" atau sekumpulan orang-orang
bodoh yang bijak. “Docta Ignoratia" atau sekumpulan orang-orang bodoh yang bijak.

G. Filsafat menurut para ahli

Filsafat merupakan kegiatan pikiran. Pikiran manusia ini menerawang dan menelaah segala
yang ada di alam semesta. Penelaahan ini melahirkan pengertian tentang realitas itu, tentang
segala itu. Upaya mengetahui segala itu dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan
hukum berpikir.Pikiran filosofis ini mencari hakikat segala sesuatu itu sampai ke pengertian
yang paling dasar, paling dalam.

Menurut Rassel (2004:xiii), filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara
teologi dan sain. Filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang
secara definitif belum jelas pengertiannya.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah dunia ini
terbagi menjadi dua: jiwa dan materi, apakah jiwa dan materi itu?, apakah alam semesta ini
mempunyai maksud terrtentu? Apakah alam semesta ini sedang bergerak ke suatu tujuan?
dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan-pertanyaan filsafat.
Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawan filsafat hampir sama dengan
pertanyaan atau jawaban yang ada dalam teologi atau agama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan yang mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan
hubungannya dengan sain terlihat ketika filsafat mempertanyakan alam ini, maka jawaban
filosofis muncul. Jawabam filosofis ini kemudian diselidiki, dipertanyakan lagi maka
semakin mendetil jawaban itu. Maka muncullah ilmu yang merupakan jawaban detil atau
jawaban yang lebih praktis.

Sedangkan menurut Harun Nasution (1987:3) , filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun
dari dua kata, yaitu: philein, artinya cinta dan sophos, artinya hikmat (wisdom). Jadi, filsafat
adalah cinta kebijakan (hikmah) atau kebebasan. Senada dengan Harun Nasution, Tobrani
(2008:2-3) mengemukan pendapat bahwa filsafat berarti cinta kebenaran (al-haq) dan
kebijaksanaan (al hikmah). Penggunaan istilah “cinta” bukan istilah lain misalnya penemu,
pemilik dan penjaga, menggambarkan sikap rendah hati para filosof akan keterbatasannya
dalam usaha menggapai kebenaran dan kebijaksanaan. walaupun telah berpikir secara
istematis, radikal dan universal, ia tetap belum bisa menemukan, menjangkau, memiliki,
menguasai kebenaran dan kebijaksanaan dengan sesungguhnya. Ia hanya mendapatkan
kebenaran dan kebijaksanaan secara relatif dan temporal.

Menurut will Durant, filsafat ditamsilkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri tersebut adalah ilmu pengetahuan. Setelah itu
ilmu lah yang merambah hutan, membelah gunung, menyelami lautan dan seterusnya. Setelah
penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Filsafat bagaikan azan dan ilmu bagaikan
shalat (Tobroni, 2008:3). Filsafat juga disebut the supreme art, pengetahuan tertinggi, atau the
art of life, pengetahuan tentang hidup. Ia bagaikan puncak gunung tertinggi sehingga dapat
dengan jelas dan secara terpadu melihat realitas dibawahnya

Menurut Handerson sebagaimana dikutip oleh Burhanudin Salam (2002:33)

mengatakan bahwa filsafat dapat berarti sebagai pandangan hidup. Misalnya Pancasila

sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Di Jerman, dibedakan antara filsafat dengan
pandangan hidup. Pandangan hidup adalah welt-anschauung.Filsafat diartikan suatu

pandangan kritis sampai ke akar- akarnya mengenai segala sesuatu yang ada.

Harald Titus, mengemukakan bahwa filsafat dalam arti sempit adalah science of science.
Tugas utama filsafat adalah memberikan analitis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan
konsep sain, dan mengadakan sistematisasi sain. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat
berusaha mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai lapangan pengalaman
manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan komprehensif tentang alam
semesta, hidup, dan makna hidup.

H. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan


A. Aliran Progresivisme

Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu maju (progress) bertindak konstruktif,
inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia mempunyai naluri selalu
menginginkan perubahan-perubahan. Menurut Imam Barnadib, Progresivisme menghendaki
pendidikan yang progresif (maju), semua itu dilakukan oleh pendidikan agar manusia dapat
mengalami kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak dengan intelegensinya sesuai
dengan tuntutan dan lingkungan (Barnadib, 2000: 75). Aliran Progresivisme didirikan pada
tahun 1918, muncul dan berkembang pada permulaan abad XX di Amerika Serikat. Aliran
Progresivisme lahir sebagai pembaharu dalam dunia filsafat pendidikan terutama sebagai
lawan terhadap kebijakan-kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad XIX. Pencetus
Aliran filsafat Progresivisme yang populer adalah Jhon Dewey. Aliran filsafat Progresivisme
bermuara pada aliran filsafat pragmativisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-
1910) dan Jhon dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada manfaat praktis. Dalam
banyak hal, Progresivisme identik dengan pragmativisme. Filsafat Progresivisme dipengaruhi
oleh ide-ide filsafat pragmativisme yang telah memberikan konsep-konsep dasar dengan asas
yang utama, bahwa manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus
pragmatis dalam memandang kehidupan (Ali, 2001: 45). Pertumbuhan masyarakat maju
melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang mandiri. Hal ini didorong oleh fitrah
manusia yang membutuhkan pengakuan (recognition) atas kehadirannya di tengah
masyarakat. Semakin besar kompleksitas masyarakat akibat pembangunan, semakin kuat
hasrat memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri sebagai anggota masyarakat. Apabila
masyarakat diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
mewujudkan aspirasinya secara mandiri, maka timbullah kekuatan besardalam masyarakat
untuk membangun. Karena itu, kebebasan masyarakat untuk mengaktulisasikan diri dan
mewujudkan aspirasinya merupakan prasarat pokok bagi perkembangan masyarakat maju
atau modern. (Dephankam, 1999: 22). Pendidikan merupakan proses budaya, karena itu ia
tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakat dan sering bersumber
pada agama dan tradisi yang dianut oleh masyarakat sehingga kehadirannya mempunyai akar
yang kuat pada budaya masyarakat. Pendidikan menjadi modal dasar untuk membina dan
mengembangkan karakter serta perilaku manusia di dalam menata hidup dan kehidupannya
(Depdikbud, 1989: 34). Dengan demikian Pendidikan merupakan proses budaya, karena ia
tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakat dan sering bersumber
pada agama dan tradisi yang dianut oleh masyarakat sehingga kehadirannya mempunyai akar
yang kuat pada budaya masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan modal dasar
untuk membina dan mengembangkan karakter serta perilaku manusia di dalam menata hidup
dan kehidupannya (Depdikbud, 1989: 36). Kecenderungan perkembangan lingkungan di
masa mendatang perlu dianalisis secara mantap, tepat dan cepat, pengaruh lingkungan
tersebut dapat menimbulkan tantangan dan kendala, akan tetapi sekaligus dapat dimanfaatkan
juga sebagai peluang. Oleh karena globalisasi sarat dengan perubahan yang cepat dan radikal
diberbagai aspek kehidupan manusia, maka untuk menjaga dan memelihara human survival
globalisasi perlu dikendalikan dan dimanfaatkan, karena manusia sebagai pencipta globalisasi
yang harus dikendalikannya. Dalam dunia pendidikan Progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar, aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada peserta didik. Peserta didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara
berpikir, untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam diri peserta
didik tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu
Progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang bersifat otoriter. Aliran ini memandang
bahwa peserta didik yang berkaitan dengan akal dan kecerdasan, hal itu ditunjukkan dengan
fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan makhluk lain.
Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, aliran progresivisme ini
menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan
martabat manusia sebagai pelaku hidup (Barnadib, 2000: 67). Kurikulum sebagai jantung
pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata pelajaran yang
ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan di Sekolah tetapi sesungguhnya
kurikulum mengandung arti lebih luas sehingga banyak pakar memaknai kurikulum dengan
titik tekan yang berbeda (Nasution, 2005: 19). Crow dan Crow (1990: 75) menjelaskan
kurikulum dengan rencana pelajaran, yaitu rancangan pengajaran yang isinya sejumplah mata
pelajaran yang disusun secara sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu progam
pendidikan tertentu. Sedangkan menurut Abdullah (t.t: 123) kurikulumdalah rencana belajar
murid, yaitu sejumplah mata pelajaran yang disiapkan secara sistematik dan koordinatif
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam bidang kurikulum
Progresivisme menghendaki kurikulum yang bersifat luwes dan terbuka. Kurikulum dapat
dirubah dan dibentuk, dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan Iptek. Hal ini
sejalan dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan dan perubahan
kurikulum di Indonesia, yang dimulai dari Rencana Pembelajaran pada tahun 1947,
Kurikulum tahun 1975, Kurikulum tahun 1984, kurikulum tahun 1994, kurikulum tahun 2004
(KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP) dan kurikulum tahun 2013 yang belum dilaksanakan
menyeluruh karena masih banyak problem dan kajian yang mendalam terlebih dalam masalah
evaluasi dan lainya. Dalam kurikulum pendidikan aliran Progresivisme ini menghendaki
lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak
terkait dengan doktrin-doktrin tertentu, bersifat terbuka, memilki relevansi dengan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum pendidikan. Salah satu dari prinsip pengembangan
kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni
agar dapat berkembang secara dinamis (Sutrisno, 2012: 88). Dalam konteks model
pengembangan kurikulum pendidikan, terdapat komponen-komponen yang saling terkait
secara sistemik, yaknikomponen kompetensi, materi, metode dan juga evaluasi. Materi
pelajaran memerlukan metode, tehnik, dan strategi pembelajaran, untuk mencapai
kompetensi. Strategi pembelajaran berkaitan dengan upaya yang harus dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan pendidikan. Strategi pembelajaran sangat tergantung pada tujuan
dan materi kurikulum. Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran sangat diperlukan
evaluasi. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektifitas pencapaian tujuan
pembelajaran. Dalam konteks kurikulum evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan dapat pula digunakan sebagai umpan balik
dalam perbaikan strategi yang telah ditetapkan, sehingga tujuan dari pendidikan benar-benar
tercapai sebagaimana yang telah ditentukan. Dari berbagai pandangan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya pengembangan kurikulum pendidikan progresivisme
menekankan pada how to think (bagaimana berpikir), how to do (bagaimana bekerja), bukan
what to think dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode dari pada
materi. Tujuannya adalah memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya untuk
berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek
metodologi kurikulum yang disusun berdasar landasan filosofi progresivisme akan dapat
menyesuaikan situasi dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta
familier terhadap masa kini. Progresivisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk
memahami masa kini dan masa kini sebagai landasan bagi masa mendatang.
B. Aliran Konstruktivisme

Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor Konstruktivisme adalah Jean Piaget. Dia
adalah seorang psikolog kelahiran Nauchatel Swiss pada tanggal 9 agustus 1896 di Swiss.
Ayahnya, Athur Piaget, adalah seorang Profesor sastra Abad Pertengahan. Tahun 1918 Jean
Piaget mengambil program Doktor dalam bidang ilmu pengetahuan alam di Universitas
Neuchatel. Pada tahun 1921 Jean Piaget menjadi guru besar dalam Psikologi dan Filsafat
Ilmu. Tahun 1955 mendirikan International Center of Genetic Epistimology, yaitu studi
tentang bagaimana seorang anak memperoleh dan memodifikasi ide-ide abstrak seperti ruang,
waktu, gaya dan lainnya. Teori ini yang sangat dikenal dengan teori perkembangan mental.
Selama hidupnya Jean Piaget telah menulis lebih dari 60 buku dan ratusan artikel. Piaget
meninggal di Janewa Swiss pada tanggal 16 September 1980 (Glaserfeld, 1997: 33).
Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam bidang pendidikan dikenal dengan
nama kontruktivisme kognitif atau personal contructivisme. Jean Piaget menyakini bahwa
belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Aliran konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah kontruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan
(realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan
seseorang. Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan
yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan
setiap kali akan mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru
(Suparno, 2000: 123). Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif tersendiri yang
kemudian dinamakan skema (schema). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang
memungkinkan seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan
sekitarnya. Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis,
seperti intelektual, kreativitas, kemampuan dan naluri. Skema dapat terbentuk karena
pengalaman, proses penyempurnaan skema melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam suatu
pola yang sudah ada dalam pikiran, atau penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru,
atau menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat. Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa
(Pannen dkk, 2001: 94). Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif
dimana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri
makna yang dipelajari. Hal ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman
dengan membuat hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain
untuk membentuk konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik
bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan
tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil
dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam
atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu (Wiles dan Janjuri,
2008: 72). Teori konstruktivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar, siswa yang
harus mendapat penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan pengetahuan,
bukan guru atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu siswa menjadi orang
yang kritis menganalisis suatu hal karena siswa berpikir dan bukan meniru saja. Mengajar
dalam pandangan konstruktivisme bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah
tahu (guru) kepada orang yang belum tahu (siswa), melainkan membantu seseorang agar
dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomena dan
objek yang ingin diketahui. Oleh karena itu menurut prinsip konstruktivisme guru berperan
sebagai mediator dan fasilisator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan
baik. Pendekatan ada pada siswa yang belajar, dan bukan pada guru yang mengajar.
Penekanan pada siswa ini yang belakangan melahirkan konsep learning centered yaitu
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Tugas guru dalam proses ini adalah merangsang
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan
konsepnya. Menurut Peodjiadi (2011: 67) implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap persolan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian
rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan ketrampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Prinsip-prinsip yang sering diadopsi dari konstruktivisme antara lain: (1)
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri secara aktif, (2) tekanan dalam proses belajar
terletak pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa belajar, (4) tekanan dalam proses
belajar lebih pada proses bukan pada hasil, (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
(6) guru adalah fasilisator. Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan
proses belajar mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan
guru, dan untuk mengevaluasi praktek belajar mengajar (Pannen dkk, 2001: 66-68).
Pegembangan Kurikulum Pendidikan merupakan kurikulum yang berorientasi pada standar
kompetensi. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi menuntut praktik pembelajaran
yang konstruktif, bermakna (fungsional) bagi peserta didik, berpusat pada siswa,
mementingkan segala kecakapan hidup, mementingkan kemampuan riil yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup secara nyata, dalam bentuk untuk kerja
sesungguhnya, dengan penilaian otentik yang memanfaatkan berbagai cara penilaian,
mementingkan proses dan hasil (Akbar dan Sriwijaya, 2010: 45). Salah satu prinsip dalam
pelaksanaan pengembangan kurikulum pendidikan yaitu didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi dalam dirinya. Oleh
karena itu peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta
memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan
menyenangkan. Prinsip ini merupakan bagian spiritkonstruktivisme yang lebih memfokuskan
pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman siswa. Bukan kepatuhan siswa
dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi
dan akomodasi. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilisator, dan teman yang membuat
situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Implikasi konstruktivisme terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang
berkaitan dengan pembealajaran, berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial.
Implikasi itu antara lain sebagai berikut (1) Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa
pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap
realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi,
melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan
realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses
transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses
pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan
pengalamanpengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek
pemaknaan. (2) Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri
individu atas dasar struktur kognitifyang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses
belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan
lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif
peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan.
Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif,
sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan
suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi dari pembentukan kurikulum,
perencanaan, pelaksanaan, penilaian hingga evaluasi pembelajaran. Konstruktivisme sangat
menitik beratkan tentang apa, dan bagaimana peserta didik mengetahui pengetahuan. Peserta
didik akan melakukan rekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah mendapatkan
pengetahuan baru yang merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya. Selain
mementingkan proses, konstruktivisme juga mementingkan hasil yang di dapatkan oleh
peserta didik.
C. Aliran Humanistik

Aliran humanistik muncul pada pertengahan abad 20 sebagai reaksi teori psikodinamika dan
behavioristik. Teori Psikodinamika yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939) yang
berupaya menjelakan hakekat dan perkembangan tingkah laku kepribadian. Model
Psikodinamika yang di ajukan Freud disebut dengan Teori Psikoanalisis (analytic theory).
Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan hasil tenaga yang beroperasi didalam
pikiran yang sering tanpa disadari oleh individu. Freud menyakini bahwa tingkah laku
manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologi yang tidak disadarinya.
Tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis, naluri
irasional (terutama naluri menyerang dan naluri sex) yang sudah ada sejak awal setiap
individu. Sedangkan behavioristik merupakan aliran dalam pemahaman tingkah laku manusia
yang dikembangkan oleh Jhon B. Watson (1878-1959). Perspektif behavioristik berfokus
pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingah laku manusia. Asumsi dasar mengenai
tingkah laku manusia menurut teori ini, bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya ditentukan
oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan juga bisa dikendalikan (Desminta, 2010: 134). Salah
satu tokoh aliran humanistik terkenal adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970). Maslow
dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia
tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat
terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Need (Hirarki Kebutuhan).
Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai
teori hirarki kebutuhan (Freire, 2008: 38-42) Dalam teori hirarki kebutuhan, Maslow
menyebutkan ada lima jenis kebutuhan dasar manusia secara berjenjang dan bertingkat mulai
dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Pada tingkat paling bawah terletak kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs),
tingkat kedua terdapat kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (need for self-security
and security), tingkat ketiga mencerminkan kebutuhan yang digolongkan dalam kelompok
kasih sayang (need for love and belongingness), tingkat keempat mencerminkan kebutuhan
atas penghargaan diri (need for self-system), sedangkan tingkat kelima adalah kebutuhan
aktualisasi diri (need for self-actualization) (Desminta, 2010: 58). utuhan-kebutuhan itu
merupakan inti kodrat manusia, sebagaimana kebutuhan peserta didik juga tidak jauh berbeda
dengan kebutuhan manusia pada umumnya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru
harus mengenal dan memahami jenis dan tingkat kebutuhan peserta didiknya, sehingga dapat
membantu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan berbagai aktivitas kependidikan, terutama
aktivitas pembelajaran. Dengan mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta didik, guru dapat
memberikan pelajaran setepat mungkin sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Mengutip
pernyataan Freire (2008: 116) yang menyatakan bahwa, sejatinya pendidikan adalah proses
pemanusiaan manusia. Pendidikan idealnya harus membantu peserta didik tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh
didalam masyarakatnya, bertanggung jawab, bersifat proaktif dan kooperatif serta
mengembangkan potensi yang ada. Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong
peserta didiknya untuk mencapai keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan
penghargaan atas prestasi yang tinggi, memberikan penghargaan atas prestasi yang mereka
capai, betapapun kecilnya, baik berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-
verbal. Penghargaan yang tulus dari seorang guru akan menumbuhkan perasaan sukses dalam
diri peserta didik serta dapat mengembangkan sikap dan motivasi tinggi untuk berusaha
mencapai kesuksesan. Kalau terdapat peserta didik yang gagal tetap perlu diberi penghargaan
atas segala kemauan, semangat dan keberanian dalam melakukan suatu aktivitas.

Guru harus menghindari komentar-komentar yang bernada negatif dan menampakkan sikap
tidak puas terhadap peserta didik yang gagal. Komentar-komentar negatif atau sikap tidak
puas akan membuat peserta didik kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak berharga dan
putus asa (Freire, 2008: 76-78). Belajar bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan, seperti
konsep pendidikan gaya bank dimana pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Ruang gerak yang disediakan bagi murid
hanya sebatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Menurut Paulo Freire,
menganggap bodoh secara mutlak orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti
mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai pencarian. Belajar adalah suatu kegiatan
yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Pengetahuan
ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru berperan sebagai fasilisator yang
menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-
bahan pelajaran melalui suatu proses belajar. Belajar akan efektif bila siswa diberi peluang
untuk mendiskusikan informasi yang diterima, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan dan
mengajarkannya kepada siswa lain. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri (Hamruni, 2009: 88-90). Pendekatan
berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih holistik dimana
belajar difokuskan dengan arah yangjelas untuk membantu mengembangkan potensi peserta
didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu pengembangan kurikulum lebih menekankan
pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai tingkat pertumbuhan
dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan pengembangan kemampuan, minat,
bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik. Pendidik merupakan faktor penting
yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar, bahkan sangat menentukan
berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. Demikian pula halnya dalam model
pengembangan kurikulum pendidikan yang menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam
membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak
mungkin melibatkan peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan
kemudahan belajar (facilitate learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat
belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, berani
mengemukakan pendapat secara terbuka dan lainnya. Salah satu model pendidikan terbuka
mencakup konsep belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori
humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan
para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan, dan
umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran yang humanistik,
dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri
sebagaiberikut: 1) Merespon perasaan siswa; 2) Menggunakan ide-ide siswa untuk
melaksanakan interaksi yang sudah dirancang; 3) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa; 4)
Menghargai siswa; 5) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan; 5) Menyesuaikan isi
kerangka berfikir siswa, penjelasan untuk menetapkan kebutuhan segera dari siswa; 6)
Tersenyum pada siswa dan tidak terbawa emosi. (Harper dan Row, 1999: 26-32) Hal ini
menjadi modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia
yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki kehidupan yang
penuh tantangan dan persaingan.Inilah esensi humanisme dalam implementasi model
pengembangan kurikulum pendidikan yang didasarkan pada potensi, perkembangan dan
kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya, meningkatkan
kemampuan dan kemandirian dalam bermasyarakat. Pemberdayaan bukan meliputi
penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan
nilainilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, terbuka, bertanggung jawab adalah
bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Kondisi ini merupakan potensi dalam strategi
menciptakan manusia kreatif-produktif, daya nalar yang berwawasan ke masa depan atau
melahirkan manusia yang berdaya unggul. Beberapa alternatif strategi dan upaya
menciptakan peserta didik yang bersumber daya unggul, maka tipe peserta didik yang ideal
yang diharapkan akan terealisasi, strategi pembelajaran harus dikembangkan berdasarkan
kepada kebijaksanaan pendidikan nasional dan keterpaduanpelaksanaan/operasional dan
strategi keterpaduan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan iman dan taqwa (Imtaq).
I. Aspek-aspek kajian filsafat pendidikan

Arifin (1987:4) mengemukakan bahwa aspek-aspek kajian filsafat pendidikan ada tiga,
sebagai berikut :

1. Aspek asumsi yang dipegangi oleh para pendidik dalam memberikan kritikan-kritikan
terhadap masalah-masalah pendidikan.

2. Aspek tujuan-tujuan pendidikan, di mana filsafat pendidikan membantu memperjelas


tujuan-tujuan pendidikan

3. Aspek evaluasi, yaitu filsafat pendidikan melakukan evaluasi secara kritis tentang berbagai
metode pendidikan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah
dipilih.

Noor Syam (1984:48) mengemukakan bahwa apabila kita mencoba mengerti persoalan-
persoalan pendidikan, akan dipahami bahwa analisa persoalan itu tidak mungkin semata-mata
melalui analisa ilmiah. Sebab masalahnya merupakan masalah filosofis, dalam hal ini
merupakan kajian filsafat pendidikan. Adapun aspek-aspek kajian filsafat pendidikantersebut,
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Apakah pendidikan itu bermanfaat, atau mungkin, guna membina kepribadian


manusia, atau tidak. Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian ataukah
faktor-faktor luar (alam sekitar dan pendidikan). Mengapa anak yang potensi
hereditasnya relatif baik, tanpa pendidikan dan lingkungan yang baik tidak mencapai
perkembangan kepribadian sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, mengapa seorang anak
yang abnormal, potensi hereditasnya relatif rendah, meskipun dididik dengan positif dan
lingkungan yang baik, tidak akan berkembang baik.

b. Apakah tujuan pendidikan sesungguhnya. Apakah pendidikan itu berguna bagi


individu sendiri, atau untuk kepentingan sosial. Apakah pendidikan dipusatkan bagi
pembinaan manusia pribadi, ataukah untuk masyarakatnya. Apakah pembinaan pribadi
manusia itu demi hidup yang riel dalam masyarakat dan dunia ini, ataukah bagi
kehidupan akhirat yang kekal.
c. Apakah hakikat masyarakat itu, dan bagaimanakah kedudukan individu di dalam
masyarakat. Apakah hakikat pribadi manusia itu, manakah yang utama yang
sesungguhnya baik untuk pendidikan bagi manusia, apakah ilmu intelek atau akalnya,
ataukah kemauan, ataukah perasaan. Apakah pendidikan jasmani ataukah rohani dan
moral yang lebih utama. Ataukah pendidikan kecakapan-kecakapan praktis (skill),
jasmani yang sehat ataukah semuanya.

d. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal, apakah diutamakan isi pendidikan
(kurikulum) yang diutamakan yang relevan dengan pembinaan kepribadian sekaligus
cakap memangku sesuatu jabatan di dalam masyarakat. Apakah kurikulum yang luas
dengan konsekuensi kurang intensif ataukah dengan kurikulum yang terbatas tetapi
intensif penguasaannya sehingga praktis.

e. Bagaimana atas penyelenggaraan pendidikan yang baik, sentralisasi atau desentralisasi


dan otonomi; oleh negara ataukah oleh swasta. Apakah dengan kepemimpinan yang
instruktif ataukah secara demokratis. Bagaimana metode pendidikan yang efektif
membina kepribadian baik teoritis ilmiah, kepemimpinan, maupun moral dan aspek-
aspek sosial dan skill yang praktis. Dengan mengerti aspek-aspek dan nilai-nilai filosofis
tersebut, dengan mendasarkan segenap pelaksanaan pendidikan pada asas-asas tersebut
di atas, maka filsafat pendidikan menjadi norma pendidikan, yaitu norma-norma filsafat
yang sifatnya khusus berlaku di dalam dunia pendidikan.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Filsafat pendidikan, secara harfiah mengandung substansi filsafat dan pendidikan.
Filsafat (Philosophy) berasal dari kata Philos (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan) bahasa
Yunani yang menjadi asal muasal kata dari filosofi atau filsafat. Filosofi berarti cinta akan
kebijaksanaan. Filosofi dikatakan sebagai ilmu yang menjadi dasar dari seluruh ilmu yang
menjadi panutan manusia. Tanpa adanya sebuah filosofi maka ilmu yang lain tidak akan
berkembang. Filosofi dapat berguna untuk mengentaskan manusia dari kehilangan jati
diri yang memiliki sebuah tujuan dan arah.
Pandangan filsafat pendidikan sama dengan peranannya sebagai landasan filosofis
yang menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Dimana landasan filosofis
merupakan landasan yang berdasarkan atas filsafat. Landasan filsafat menalaah sesuatu
secara radikal, menyeluruh, dan konseptual tentang religi dan etika yang bertumpu pada
penalaran. Oleh karena itu antara filsafat dengan pendidikan sangat erat kaitannya,
dimana filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan
pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut. Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta,
rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam
perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis,
harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekeliruan dan masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun. Selanjutnya kami berharap makalah kami dapat
menambah wawasan serta menambah pengetahuan baru bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Nursikin, Mukh. 2016. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN


IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM. Journal of Islamic Culture and Education. Vol. I, No. 2, 310-330.

Hermawan, A.Haris. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam.

Putri, Enne. 2015. Perlukah Ilmu Filsafat? Survey Mata Kuliah Filsafat Pada Program Studi
Akuntansi Di Indonesia. Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol. 5 No. 1, 32-33.

Bibliography
Drs. H. Anisal Amri, M. (2017). STUDI FILSAFAT PENDIDIKAN. Aceh: Yayasan PeNA
Aceh, Divisi Penerbitan.

HW, T. W. (2014). FILSAFAT PENDIDIKAN : Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan.


Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Jenilan, J. (2018). Filsafat Pendidikan. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir
Hadis, 7(1), 69-74. https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/1588

Hikmawan, F. (2017). Perspektif Filsafat Pendidikan Terhadap Psikologi Pendidikan


Humanistik. Jurnal Sains Psikologi, 6(1), 31-36.

http://journal2.um.ac.id/index.php/JSPsi/article/view/952
Djamaluddin, Ahdar. (2014). Filsafat Pendidikan. Istiqra: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran
Islam, 1(2). http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/istiqra/article/view/208

Adib, H. Mohammad. (2011). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemol ogi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: http://difarepositories.uin-suka.ac.id/2/

Sugiarta, I. Made, Ida Bagus Putu Mardana, and Agus Adiarta. "Filsafat Pendidikan Ki Hajar
Dewantara (Tokoh Timur)." Jurnal Filsafat Indonesia 2.3 (2019): 124-136.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/view/22187

Anda mungkin juga menyukai