Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

LANDASAN FILOSOFI SEKOLAH DASAR

Diajukan untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah


Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Pembelajaran Sekolah Dasar

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd.

Oleh:
Muhammad Aqmal Nurcahyo
NIM 23012050065

PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2024
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Landasan Filosofi Sekolah
Dasar” pada mata kuliah Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Pembelajaran
Sekolah Dasar yang diampu oleh Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas individu. Makalah ini akan
membahas mengenai pengertian filosofi pendidikan, hubungan antara filosofi dan
kurikulum, serta aliran filosofi sekolah dasar (perenialisme, esensialisme,
progresivisme, dan rekonstruksionisme).
Penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Semoga paparan yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan gambaran secara rinci mengenai kepada pembaca mengenai landasan
filosofi sekolah dasar.

Yogyakarta, April 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


PRAKATA .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
A. Pengertian Filosofi Pendidikan ............................................................... 4
B. Filosofi dan Kurikulum ........................................................................... 6
C. Aliran Filosofi Sekolah Dasar ................................................................. 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 19
A. Kesimpulan ............................................................................................. 19
B. Saran dan Rekomendasi .......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat menangani semua
pengetahuan sebagai bidangnya (Bacon, dalam Kristiawan, 2016). Filsafat,
secara harfiah, berasal dari kata Yunani "philosophia", yang berarti "cinta
terhadap kebijaksanaan" atau "cinta terhadap pengetahuan". Secara luas,
filsafat melibatkan eksplorasi konseptual dan analisis mendalam tentang
berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan.
Aliran filsafat pendidikan dalam pelaksanaan pembelajaran di
sekolah dasar adalah esensial untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip
dan nilai-nilai dari masing-masing aliran ini dapat membentuk pendekatan
pembelajaran yang beragam dan berdampak. Aliran filsafat pendidikan
adalah pondasi yang mengarahkan cara sekolah mengajar, apa yang
diajarkan kepada siswa, dan bagaimana pembelajaran dievaluasi. Dalam
konteks ini, perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan
rekonstruksionisme adalah empat aliran utama yang mempengaruhi
pandangan dan praktik pendidikan di sekolah dasar.
Perenialisme, sebagai salah satu aliran utama, menekankan pada
keabadian nilai-nilai dan pengetahuan yang telah teruji waktu. Dalam
pendidikan dasar, pendekatan perenialisme mencerminkan pentingnya
pembelajaran konsep-konsep fundamental dan kebenaran universal yang
relevan dalam berbagai konteks budaya. Esensialisme, sementara itu,
menyoroti pentingnya penguasaan keterampilan dasar seperti membaca,
menulis, dan berhitung sebagai pondasi untuk keberhasilan akademik dan
kehidupan sosial peserta didik di masa depan.
Di sisi lain, progresivisme menekankan pada pembelajaran yang
aktif, kolaboratif, dan berpusat pada kepentingan peserta didik. Dalam
pembelajaran progresif, siswa didorong untuk mengambil peran aktif dalam
proses pembelajaran, mengeksplorasi minat dan bakat mereka, serta

1
2

mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif. Rekonstruksionisme, sebagai


aliran yang menyoroti perubahan sosial melalui pendidikan, memandang
pendidikan sebagai sarana untuk membangun kesadaran sosial dan budaya
dalam peserta didik serta mendorong mereka untuk bertindak sebagai agen
perubahan positif dalam masyarakat.
Pemahaman yang mendalam mengenai berbagai aliran filsafat
pendidikan menjadi kunci untuk membentuk pendekatan pembelajaran
yang seimbang dan efektif di sekolah dasar. Pendekatan-pendekatan ini
mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang beragam, dan
penggabungan elemen-elemen dari berbagai aliran filsafat pendidikan dapat
menciptakan pengalaman pembelajaran yang bermakna dan relevan bagi
semua peserta didik berdasarkan kurikulum yang dirancang.
Peran filsafat dalam kurikulum sekolah sangat signifikan. Filsafat
memberikan arahan dan landasan teoritis bagi pengembangan kurikulum
yang efektif. Ini membantu menentukan tujuan pendidikan,
mengidentifikasi nilai-nilai yang diinginkan, serta memandu proses
pengajaran dan pembelajaran di kelas. Filsafat juga membantu membentuk
pandangan tentang apa yang penting untuk diajarkan kepada generasi masa
depan, baik dalam hal pengetahuan akademik maupun keterampilan hidup.
Dalam konteks kurikulum sekolah, filsafat membantu menentukan
esensi dari apa yang seharusnya dipelajari peserta didik. Ini mencakup
penentuan materi pelajaran, metode pengajaran yang digunakan, serta
penilaian atas keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Filsafat juga membantu membentuk sikap dan nilai-nilai
yang diinginkan, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kerja sama.
Dengan kata lain, filsafat adalah pondasi dari kurikulum sekolah.
Tanpa pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai, tujuan, dan prinsip-prinsip
yang membimbing pendidikan, kurikulum akan kehilangan arah dan tujuan
yang jelas. Oleh karena itu, penting bagi para pengambil kebijakan
pendidikan untuk memahami peran penting filsafat dalam membentuk
kurikulum sekolah dan memastikan bahwa nilai-nilai filosofis yang
3

mendasari pendidikan tercermin dalam setiap aspek pembelajaran. Dengan


demikian, filsafat bukan hanya menjadi aspek teoritis dari pendidikan, tetapi
juga menjadi landasan praktis yang membentuk pengalaman belajar peserta
didik di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan pembahasan secara
khusus landasan filosofi sekolah dasar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
rumusan masalah pada pembahasan makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian filosofi pendidikan?
2. Bagaimana hubungan antara filosofi dan kurikulum?
3. Apa saja yang termasuk dalam aliran filsoofi sekolah dasar?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penulisan pada pembahasan makah ini yaitu:
1. Menjelaskan pengertian filosofi pendidikan;
2. Menjelaskanhubungan antara filosofi dan kurikulum; dan
3. Menjelaskan aliran filosofi sekolah dasar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filosofi Pendidikan


Filosofi atau “filsafat” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata
“Philos” dan “Sophia”. Philos artinya cinta yangs angat mendalam, dan
sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harfiah
adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan
(Sadulloh, 2006).
Titus (dalam Sadulloh, 2006) mengemukakan makna filsafat, yaitu:
(1) filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta; (2) filsafat
adalah suatu metodee berpikir reflektif, dan penelitian penalaran; (3) filsafat
adalah suatu perangkat masalah-masalah; dan (4) filsafat adalah
seperangkat teori dan sistem berpikir.
Bakry (dalam Kristiawan, 2016) menjelaskan jika filsafat adalah
ilmu yang menyeldiiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
Ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah
mencapai pengetahuan itu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika filsafat adalah
suatu disiplin ilmu yang melibatkan cinta yang mendalam terhadap
kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan, alam
semesta, dan manusia. Filsafat melibatkan sikap reflektif dan penelitian
penalaran yang mendalam untuk memahami hakikat keberadaan dan makna
hidup. Lebih dari sekadar metode berpikir, filsafat juga merupakan
kumpulan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan serangkaian teori
serta sistem berpikir yang menggambarkan pandangan tentang realitas,
termasuk Ketuhanan, alam semesta, dan hakikat manusia. Dengan
demikian, filsafat merupakan upaya manusia untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang eksistensi dan tujuan hidup, serta
mengembangkan sikap dan pandangan yang benar setelah

4
5

mempertimbangkan pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi dan


penalaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Sadulloh (2006) jika berfilsafat
merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam
menentukan dan menemukan eksistensinya.
Kegiatan berpikir dalam filsafat tidak sama dengan berpikir pada
umumnya. Berpikir dalam filsafat memiliki ciri tertentu, yaitu radikal,
sistematis, dan universal. Gazalba (dalam Sadulloh, 2006) menguraikan ciri
berpikir filsafat tersebut yaitu: (1) berpikir radikal, berpikir sampai ke akar-
akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir.
Berpikir itu tidak separuh-paruh, tidak berhenti di jalan, tetapi terus sampai
ke ujungnya; (2) berpikir sistematis, berpikir logis yang bergerak selangkah
demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung
jawab dan saling hubungan yang teratur; dan (3) berpikir universal, tidak
berpikir khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu,
melainkan mencakup keseluruhan.
Filsafat memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang
pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berhadapan dan memikirkan
permasalahan mengenai pendidikan, maka akan lahirnya yang namanya
“filsafat pendidikan”. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan
dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan (Kurniawan, 2016).
Filsafat pendidikan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan,
menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita
dalam memilih tujuan dan kebijakan pendidikan (Sadulloh, 2006).
Filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari
yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses
pendidikan (Al-Syaibany, dalam Sadulloh, 2006). Kneller (dalam Sadulloh,
2006) menguraikan jika filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat
dalam lapangan pendidikan. Permasalahan dalam dunia pendidikan tidak
hanya terkait pelaksanaan pendidikan, namun juga masalah-masalah
lainnya yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks yang tidak
mungkin dijangkau hanya dengan sains atau penelitian.
6

B. Filosofi dan Kurikulum


Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para
perencana pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan (Sadulloh, 2006). Filsafat pendidikan juga harus mampu
memberikan kontribusi dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, satu di
antaranya melalui ketersediaan kurikulum yang sesuai dan relevan dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, filsafat adalah inti dari kurikulum
(Ornstein & Hunkins, 2018).
Filsafat pendidikan memiliki peran yang penting dalam
pembentukan dan pengembangan kurikulum. Dengan mempertimbangkan
nilai-nilai, prinsip, dan tujuan filosofis pendidikan, kurikulum dapat
dirancang dan disusun untuk mencerminkan pandangan tentang keberadaan,
tujuan hidup, serta cara terbaik untuk mencapai pengetahuan yang
mendalam. Oleh karena itu, filsafat pendidikan memberikan landasan dan
arah bagi penyusunan kurikulum yang berorientasi pada pembentukan
karakter, pemberdayaan individu, dan pengembangan potensi manusia
secara holistik.
Ornstein & Hunkins (2018) menyatakan jika peranan filsafat dalam
sekolah mempengaruhi tujuan, isi, dan organisasi kurikulum yang
digunakan. Biasanya, sebuah sekolah mencerminkan beberapa filsafat
pendidikan yang digunakannya. Keberagaman dalam penerapan filsafat ini
meningkatkan dinamika kurikulum yang digunakan di sekolah. Oleh karena
itu, mempelajari filsafat tidak hanya untuk lebih memahami sekolah dan
kurikulumnya, tetapi juga untuk memahami keyakinan dan nilai-nilai
pribadi kita (Ornstein & Hunkins, 2018).
Filsafat terhubung dengan dimensi kehidupan yang lebih
komprehensif serta cara kita mengelola pikiran dan menganalisis kenyataan.
Hal ini merupakan usaha untuk memahami keberadaan, termasuk segala
permasalahan dan tantangannya dalam konteks yang lebih menyeluruh.
Proses ini melibatkan eksplorasi pertanyaan-pertanyaan serta perspektif kita
7

sendiri maupun sudut pandang orang lain; juga mencakup pencarian nilai-
nilai yang khas serta mengklarifikasi keyakinan yang kita anut.
Filsafat memberi para pendidik, khususnya pekerja kurikulum,
kerangka atau kerangka kerja untuk mengatur sekolah dan ruang kelas
(Ornstein & Hunkins, 2018). Ini membantu mereka dalam menetapkan misi
sekolah, menilai relevansi mata pelajaran, strategi pembelajaran, serta
materi dan metode pengajaran yang tepat. Hal ini mengklarifikasi tujuan
pendidikan, konten yang sesuai, proses pembelajaran mengajar, serta
pengalaman dan aktivitas yang perlu ditekankan oleh lembaga pendidikan.
Filsafat juga menjadi landasan untuk menentukan buku teks yang sesuai,
cara penggunaannya, jumlah tugas rumah yang diberikan, strategi evaluasi
siswa, dan penekanan pada mata pelajaran atau topik tertentu.
Ornstein & Hunkins (2018) menguraikan jika fungsi filsafat sebagai
sumber kurikulum dapat dipahami sebagai (1) titik awal dalam
pengembangan kurikulum, atau (2) fungsi yang saling bergantung dengan
fungsi lain dalam pengembangan kurikulum. Selain itu, Dewey (2004)
berpendapat bahwa “filsafat mungkin . . . didefinisikan sebagai teori umum
pendidikan” dan bahwa “tugas filsafat adalah menyediakan” kerangka kerja
bagi “tujuan dan metode” sekolah. Dewey menyimpulkan jika filsafat
adalah cara berpikir yang memberi makna pada kehidupan kita. Filsafat
bukan hanya merupakan titik awal bagi sekolah, namun juga krusial bagi
seluruh kegiatan kurikulum. “Pendidikan adalah laboratorium di mana
perbedaan filosofis menjadi nyata dan diuji.” (Dewey, 2004).
Dalam kerangka kurikulum Ralph Tyler, filsafat umumnya
merupakan salah satu dari lima kriteria yang digunakan dalam memilih
“tujuan pendidikan” (Ornstein & Hunkins, 2018). Hubungan antara filsafat
dan kriteria lainnya—studi terhadap pelajar, studi tentang kehidupan
kontemporer, saran dari spesialis mata pelajaran, dan psikologi
pembelajaran—ditunjukkan pada berikut.
8

(Sumber: Ornstein & Hunkins, 2018)


Gambar 1. Pandangan Tyler tentang Filsafat dan Hubungannya
dengan Tujuan Sekolah

Dipengaruhi oleh Dewey, Tyler tampaknya lebih mementingkan


filsafat dibandingkan kriteria lain untuk mengembangkan tujuan pendidikan
(Ornstein & Hunkins, 2018). Ia menulis, “Filsafat pendidikan dan sosial
yang menjadi komitmen sekolah dapat berfungsi sebagai layar pertama
untuk mengembangkan program sosial.” Ia menyimpulkan bahwa “filsafat
berupaya untuk mendefinisikan hakikat kehidupan yang baik dan
masyarakat yang baik” dan bahwa filsafat pendidikan dalam masyarakat
demokratis cenderung “menekankan nilai-nilai demokrasi yang kuat di
sekolah.” (Tyler, 1949).
Terdapat empat paham filsafat utama yang telah mempengaruhi
sistem pendidikan Ameriak Serikat, yaitu: idealisme, realisme,
pragmatisme, dan eksistensialisme. Dua filosofi pertama bersifat
tradisional; dua yang terakhir bersifat kontemporer. Adapun gambaran
umum secara ringkas mengenai empat filsafat utama tersebut sebagai
berikut.
9

Tabel 1. Empat Paham Filsafat Utama

(Sumber: Ornstein & Hunkins, 2018)


C. Aliran Filosofi Sekolah Dasar
Terdapat empat aliran filsafat pendidikan yang telah disepakati telah muncul
dalam sekolah dasar, yaitu: perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan
rekonstruksionisme (Ornstein & Hunkins, 2018). Setiap aliran filsafat ini
berasal dari satu atau lebih dari empat tradisi filsafat utama. Contohnya,
perenialisme banyak dipengaruhi oleh realisme, sementara esensialisme
berakar pada idealisme dan realisme. Di sisi lain, progresivisme dan
rekonstruksionisme berlandaskan pada pragmatisme, dan beberapa aliran
rekonstruksionisme terkait dengan pandangan eksistensialisme.
1. Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada
abad kedua puluh. Perenialisme merupakan aliran filsafat pendidikan
tertua dan paling konservatif, berakar pada realisme (Ornstein &
10

Hunkins, 2018). Perenialisme mendominasi sebagian besar pendidikan


amerika dari masa kolonial hingga awal tahun 1990-an.
Sebagai suatu pendekatan dalam filsafat pendidikan, perenialisme
mengacu pada warisan masa lampau dan menitikberatkan pada prinsip-
prinsip tradisional. Pendekatan ini menekankan pentingnya
pengetahuan yang telah teruji oleh waktu serta menghormati nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat. Syam (dalam Sadulloh, 2006)
mengemukakan pandangan perenialisme, bahwa pendidikan harus lebih
banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang
telah teruji dan tangguh. Terdapat tiga tokoh filsuf yang menganut aliran
ini, yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
Bagi penganut paham perennialis, sifat manusia adalah konstan
karena manusia mempunyai kemampuan untuk bernalar dan memahami
kebenaran universal alam (Ornstein & Hunkins, 2018). Pandangan
perenialisme dalam pendidikan adalah pendidikan harus berdasarkan
pada nilai-nilai luhur, norma-norma dan agama dan merupakan proses
belajar mengajar yang harus dikembalikan pada nilai-nilai luhur, norma-
norma, dan agama pada masa lalu (Afiyah, 2020).
Untuk mewujudkan proses pembelajaran pada peserta didik,
terutama yang sesuai dengan pendekatan perenialisme yang
menekankan pemberian dan penanaman nilai-nilai kebenaran,
keabadian, dan norma-norma agama, kurikulum menjadi suatu
kebutuhan penting dalam pendidikan anak. Kurikulum berperan sebagai
dasar, panduan, dan pegangan dalam proses pembelajaran, serta
memiliki peran krusial dalam seluruh aktivitas pendidikan.
Pengembangan kurikulum ini tidak terlepas dari pengaruh dan
kontribusi dari berbagai aliran filsafat pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam aliran perenialisme adalah
mengembangkan pribadi rasional dan mengungkap kebenaran universal
melalui pengembangan kecerdasan dan karakter moral siswa (Ornstein
& Hunkins, 2018). Filsafat perenialisme memandang bahwa tugas
11

pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang norma-norma dan


nilai-nilai kebenaran yang absolut, pasti, dan abadi dan terdapat dalam
suatu kebudayaan masa lampau yang dipandang memiliki kebudayaan
ideal (Afiyah, 2020). Oleh karena itu, tujuan pendidikan tersebut adalah
membantu peserta didik dalam mengungkapkan dan memahami nilai-
nilai kebenaran yang tetap dan mendalam, sehingga mereka dapat
mencapai kebijaksanaan dan kebaikan dalam kehidupan mereka.
Kurikulum dalam aliran perenialisme perenialisme berpusat
pada mata pelajaran; ia sangat bergantung pada disiplin ilmu tertentu
atau kumpulan konten yang disusun secara logis, menekankan pada
bahasa, sastra, matematika, dan sains (Ornstein & Hunkins, 2018).
Untuk menjadi “terpelajar secara kultural”, para siswa harus berhadapan
dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang merupakan karya terbaik
dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia (Sadulloh, 2006).
Sehingga, kurikulum terorganisir sebagaimana suatu disiplin ilmu (body
of knowledge) (Ghufron, 2008).
Guru dalam aliran perenialisme dipandang sebagai otoritas di
bidangnya (Ornstein & Hunkins, 2018). Guru memiliki peranan yang
dominan dan terpusat dalam penyelenggaran kegiatan pembelajaran di
kelas. Guru membentuk dan mengembangkan potensi-potensi pesrta
didik untuk berkembang dengan merangsang diskusi dan keterampilan
berpikir peserta didik. Metode pengajaran dalam aliran perenialisme
menekankan pada ekspositori, ceramah, dan penjelasan (Ornstein &
Hunkins, 2018). Maka dari itu, peserta didik dalam aliran perenialisme
ini diharapkan akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara
fisik dan psikis, meliputi self discovery dan moral authority setelah
dibimbing oleh guru sebagai seseorang yang dianggap profesional. Pada
aliran ini, siswa lebih diposisikan sebagai pihak penerima pengetahuan,
sehingga ia lebih pasif dalam pembelajaran (Ghufron, 2008).
12

2. Esensialisme
Aliran esensialisme muncul pada awal tahun 1930, denga beberapa
orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Broggs,
Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Esensialisme merupakan suatu
filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai
suatu kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah (Sadulloh,
2006). Esensialisme didukung oleh dua aliran filsafat lainnya yaitu
idealisme dan realisme (Hidayat, 2008).
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikam
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas
(Kristiawan, 2016). Seperti halnya para penganut paham perennialis,
banyak penganut paham esensialis yang menekankan pada penguasaan
keterampilan, fakta, dan konsep yang menjadi dasar materi pelajaran
(Ornstein & Hunkins, 2018). Lahirnya esensialisme menjadi cerminan
dari tuntutan masyarakat saat ini untuk meningkatkan standar akademik
yang telah ada.
Esensialisme memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme,
bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang
harus diberikan di skeolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara
yang sistematik dan berdisiplin (Sadulloh, 2006). Namun, terdapat pula
beberapa perbedaan di antara keduanya. Jika perenialisme berfokus
pada penekanan kebenaran-kebenarna eksternal, esensialisme berfokus
pada pengetahuan dan keterampilan yang diyakini memiliki peranan
penting dan harus diketahui oleh masyarakat.
Sadulloh (2006) menguraikan jika esensialisme menyajikan hasil
karya mereka untuk; (1) penyajian kembali materi kurikulum secara
tegas; (2) membedakan program-program di sekolah secara esensial;
dan (3) mengangkat kembali wibawa guru dalam kelas, yang telah
kehilangan wibawanya oleh progresivisme.
13

Tujuan pendidikan dalam aliran esensialisme adalah untuk


meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan
inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama,
serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan
dikenal oleh semua orang (Sadulloh, 2006). Selain mementingkan
warisan budaya, esensialisme juga memiliki tujuan untuk
“mempersiapkan manusia untuk hidup”. Sekolah dalam pandangan
aliran esensialisme memiliki kontribusi dalam merancang sasaran dan
target mata pelajaran dengan tujuan pembelajaran yang dapat
dipertanggungjawabkan guna mempersiapkan manusia untuk hidup,
dalam hal ini adalah peserta didiknya.
Kurikulum dalam aliran esensialisme menekankan pada
pengajaran fakta-fakta, berpusat pada mata pelajaran (subject amtter
centered) (Sadulloh, 2006). Kurikulum sekolah harus dikembangkan
dengan mengacu pada hal-hal yang esensial, misalnya membaca,
menulis, dan berhitung (Ghufron, 2008). Selanjutnya, pada sekolah
menengah kemampuan yang dikembangkan diperluas pada matematika,
sains, humaniora, bahasa, dan sastra (Sadulloh, 2006).
Peran guru dalam aliran esensialisme mengikuti aliran filsafat
perenialisme. Guru dianggap sebagai penguasa suatu mata pelajaran
tertentu dan merupakan teladan yang patut ditiru; bertanggung jawab
terhadap kelas dan memutuskan kurikulum dengan masukan siswa yang
minimal; dihormati sebagai otoritas, menunjukkan standar yang tinggi,
dan mengharapkan hal yang sama dari siswa (Ornstein & Hunkins,
2018). Guru dalam aliran esensialisme dipandang sebagai model yang
sangat baik untuk ditiru, karena guru harus terdidik, mahir, dan
menguasai pengetahuan sesuai bidang studi yang diajarkannya
sehingga kelas berada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.
Metode pembelajaran dalam aliran esensialisme merupakan
metode pembelajaran tradisional, atau sesuai dengan insiiatif guru
dikarenakan guru memiliki pengaruh dan pengawasan yang besar pada
14

proses pembelajaran. Oleh karena itu, peserta didik dalam aliran


esensialimse hanya berfokus untuk belajar, menerima pengajaran yang
logis atau dapat dipercaya yang diberikan oleh sekolah. Aliran
esensialisme melihat kedudukan siswa dalam pembelajaran adalah
pasif, tunduk, lemah secara kognitif, penerima informasi (Lapp, et al.,
dalam Hidayat, 2008).
3. Progresivisme
Progresivisme berkembang dari perspektif pragmatis dalam filsafat,
sebagai respon terhadap pandangan perenialisme dalam pendidikan.
Progresivisime berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju.
Aliran ini merupakan satu di antara aliran filsafat yang menghendaki
suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini dapat membawah sebuah
perubahan yang baik dalam dunia pendidikan khususnya. Adapun filsuf
yang menganut aliran ini seperti John Dewey, Thomas Paine, dan
Thomas Jefferson.
Dalam pandangan progresivisme pendidikan merupakan suatu
sarana atau alat yang dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik supaya tetap survive terhadap semua tantangan
kehidupannya yang secra praktis akan senantiasa mengalami kemajuan
(Muhmidayeli, 2011). Progresivisme didasarkan pada keyakinan bahwa
pendidikan harus terpusat pada anak (child-centered) bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan (Sadulloh, 2006). Kaum
progresif menolak metode belajar dengan menghafal, pembelajaran
pasif dari teks, serta otoritas yang mutlak dari buku teks. Mereka juga
menyoroti kekurangan dari materi pelajaran yang konvensional dan
berani mencoba pendekatan kurikulum yang berbeda. Pendidikan
progresif lebih menitikberatkan pada proses belajar daripada pada
materi pelajaran itu sendiri, dengan menekankan kegiatan dan
pengalaman daripada keterampilan verbal atau matematis.
Pendidikan harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi peserta
didik, terutama dalam menghadapi persoalan yang ada di lingkungan
15

masyarakat (Fadlillah, 2017). Maka dari itu, aliran ini menghendaki


adanya perubahan dalam proses pembelajaran terutama cara-cara yang
digunakan yaitu menekankan peserta didik aktif dalam belajar agar
terjadinya peningkatan keterampilannya. Adapun keterampilan yang
dikembangkan antara lain: pemecahan masalah, penemuan, kooperatif,
metode ilmiah (Ghufron, 2008; Ornstein & Hunkins, 2018). Melalui
kegiatan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik tersebut
diharapkan peserta didik dapat mengubah dunia menjadi tatanan
kehidupan yang lebih baik lagi.
Tujuan pendidikan dalam aliran progresivisme menekankan
pada memberikan pengalaman empiris kepada peserta didik, sehingga
terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat (Muhmidayeli, 2011).
Tujuan berikutnya adalah dengan memberikan keterampilan dan alat-
alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada
salam proses perubahan secara terus-menerus (Sadulloh, 2006). Maka
dari itu, kaum progresif menekankan “bagaimana berpikir”, bukan “apa
yang dipikirkan”. Pendidikan bertujuan untuk menyediakan beragam
pengalaman kepada para peserta didik dalam upaya mengatasi masalah
yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan melatih cara
berpikir mereka. Dalam konteks ini, pengalaman yang dipelajari
haruslah konkret dan relevan dengan kehidupan nyata.
Kurikulum dalam aliran progresivisme disusun berdasarkan
pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial
(Sadulloh, 2006). Kurikulum yang digunakan dalam aliran ini harus
dapat memengaruhi peserta didik untuk dapat belajar secara edukatif,
sehingga dapat mengembangkan berbagai potensi peserta didik, serta
dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka. Kurikulum
seharusnya disusun dengan pendekatan interdispliner, agar berdampak
pada keterampilan pemecahan masalah, komunikasi, proses matematis,
dan penelitian ilmiah. Progresivisme disebut sebagai salah satu dasar
pengembangan Kurikulum 2013, karena dalam kurikulum ini,
16

pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah pendekatan saintifik.


Pendekatan ini lebih mengutamakan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah (problem solving).
Peran guru dalam aliran progresivisme adalah membimbing
siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan kegiatan proyek
(Sadulloh, 2006). Progresivisme menekankan bahwa peran guru adalah
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi peserta didik dalam
proses pembelajaran, dan berupaya menciptakan lingkungan
pembelajaran yang optimal. Sebagai pembimbing, guru tidak
seharusnya menonjolkan diri, melainkan harus bersikap demokratis dan
memperhatikan hak-hak alamiah siswa secara menyeluruh. Guru harus
menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang
bermakna, menemukan sumber-sumebr data yang relevan, menafsirkan
dan menilai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan (Sadulloh,
2006).
Metode pembelajaran dalam aliran progresivisme adalah
metode ilmiah dalam inkuiri dan metode problem solving. Sehingga
peserta didik sebagai pusat pendidikan (student-centered) diharapkan
selalu aktif dalam proses pembelajaran, memiliki keterampilan
memecahkan berbagai permasalahan baru dalam kehidupan pribadi
maupun sosial serta mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari aliran filsafat
progresivisme. Rekonstruksionisme dapat diartikan sebagai
membangun kembali atau menyusun kembali. Rekonstruksionisme
hadir karena menganggap jika aliran progresivisme hanya berusaha
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat
yang ada pada saat sekarang ini (Sadulloh, 2006). Adapun tokoh yang
mempelopori aliran ini adalah George Count dan Harold Rugg.
Aliran rekonstruksionisme berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern
17

(Kristiawan, 2016). Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus


mendominasi/mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan
sosial saat ini (Sadulloh, 2006).
Pendidikan dalam aliran rekonstruksionisme beranggapan jika
perlu mengembangkan kesadaran sosial pada peserta didik agar mereka
memahami dan aktif mencari solusi terhadap masalah-masalah sosial.
Kesadaran sosial dapat ditanamkan dengan mendorong peserta didik
untuk berani mengajukan pertanyaan tentang status quo dan
mendiskusikan isu-isu kontroversial dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti agama, masyarakat, ekonomi, politik, dan pendidikan. Melalui
kajian dan diskusi yang kritis, peserta didik akan mampu melihat
ketidakadilan dan kegagalan beberapa bagian dari sistem saat ini, serta
dapat mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijakan yang sudah
lazim.
Tujuan pendidikan dalam aliran rekonstruksionisme adalah
menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-
masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia dalam skala
global. dan memebri keterampilan kepada mereka agar memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Sadulloh,
2006). Adapun tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai adalah
terbentuknya masyarakat baru yang sesuai dengan masyarakat global
yang saling tergantung satu sama lain.
Kurikulum dalam aliran rekonstruksionisme merupakan subject
matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang
beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-
masalah sosial dan pribadi terdidik itu sendiri (Sadulloh, 2006).
Kurikulum harus diubah agar sesuai dengan pendidikan sosial-ekonomi-
politik yang baru; ia harus memasukkan strategi reformasi; kurikulum
yang didasarkan pada isu-isu dan layanan sosial adalah pilihan yang
ideal (Ornstein & Hunkins, 2018).
18

Peran guru dalam aliran rekonstruksionisme memiliki kesamaan


dengan aliran progresivisme. Guru memberikan bantuan kepada peserta
didik untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah agar peserta
didik memiliki keterampilan terhadap pemecahan masalah tersebut.
Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir alternatif dalam
memecahkan masalah; mampu menciptakan aktivitas belajar yang
berbeda secara serempak (Sadulloh, 2006).
Metode pembelajaran dalam aliran rekonstruksionisme
berfokus pada learning by doing dan proses penemuan ilmiah (scientific
inquiry) yang berperan dalam memecahkan masalah-masalah sosial
yang dihadapi peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik sebagai
pusat pendidikan diharapkan aktif karena merupakan agen perubahan.
Hal ini akan berdampak pada kesiapan peserta didik untuk dapat hidup
di era kehidupan yang penuh keragaman (Ghufron, 2008).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar, empat aliran filsafat
pendidikan—perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan
rekonstruksionisme—mempunyai peran yang berbeda namun penting.
Perenialisme menekankan pada pembelajaran pengetahuan inti yang
telah teruji oleh waktu dan mempertahankan nilai-nilai tradisional. Dalam
konteks sekolah dasar, hal ini bisa tercermin dalam pengajaran materi yang
dianggap esensial dan konsentrasi pada pembelajaran yang bersifat
akademis.
Esensialisme juga menekankan pada pengetahuan inti, namun
dengan pendekatan yang lebih pragmatis. Dalam pelaksanaan di sekolah
dasar, hal ini dapat tercermin dalam pembelajaran yang fokus pada
keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, serta
penekanan pada disiplin dan akademik.
Progresivisme menekankan pada pengalaman langsung dan
pembelajaran yang aktif serta kolaboratif. Dalam konteks sekolah dasar, hal
ini bisa tercermin dalam pembelajaran berbasis proyek, eksperimen, dan
penekanan pada pengembangan keterampilan sosial serta pemecahan
masalah.
Rekonstruksionisme menekankan pada transformasi sosial melalui
pendidikan dan pengajaran yang kritis. Dalam pelaksanaan di sekolah dasar,
hal ini bisa tercermin dalam pendekatan yang mengajak siswa untuk
mempertanyakan status quo, menganalisis isu-isu sosial, dan
mengembangkan pemikiran kritis serta alternatif-alternatif solusi.
Dengan memahami dan mengintegrasikan prinsip-prinsip dari
empat aliran filsafat pendidikan ini, sekolah dasar dapat menciptakan
lingkungan pembelajaran yang seimbang dan beragam, yang mampu
memenuhi kebutuhan dan potensi setiap siswa secara holistik.

19
20

B. Saran dan Rekomendasi


1. Integrasi Aliran Filsafat
a) Mendorong pendekatan holistik dengan mengintegrasikan elemen-
elemen dari berbagai aliran filsafat pendidikan, seperti perenialisme,
esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme;
b) Memahami karakteristik dan kebutuhan siswa secara individu untuk
menentukan pendekatan yang paling sesuai dalam pembelajaran..
2. Kreativitas dalam Pembelajaran
a) Menggunakan kreativitas dan inovasi dalam merancang
pembelajaran yang menarik dan relevan bagi siswa;
b) Mendorong penggunaan teknologi dan sumber daya lainnya untuk
memperkaya pengalaman belajar siswa.
3. Pembelajaran Aktif
a) Mengutamakan pendekatan pembelajaran yang aktif dan
partisipatif, di mana siswa terlibat secara langsung dalam proses
belajar;
b) Menggunakan metode-metode seperti pembelajaran berbasis
proyek, diskusi, simulasi, dan eksperimen untuk merangsang
keterlibatan siswa.
4. Pengembangan Keterampilan Abad ke-21
a) Memperhatikan pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti
keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikasi, kolaborasi, dan
pemecahan masalah;
b) Mendorong penggunaan pembelajaran lintas disiplin dan situasi
belajar yang autentik untuk mengembangkan keterampilan tersebut.
5. Pendekatan Berbasis Nilai
Memastikan bahwa pendidikan di sekolah dasar tidak hanya
mengajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga memperkuat nilai-nilai
positif seperti integritas, empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial.
Dengan menerapkan saran-saran ini, sekolah dasar dapat menciptakan
lingkungan pembelajaran yang merangsang, relevan, dan inklusif bagi
21

semua siswa, serta mempersiapkan mereka dengan keterampilan dan nilai-


nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Afiyah, I.N. (2020). Filsafat Perenialisme dalam Kurikulum Pendidikan Anak Usia
Dini, Jurnal Pendidikan Raudhatul Athfal, 3(2), 52-70.
Dewey, J. (2004). Democracy and Education: An Introduction to the Philosphy of
Education. Delhi: Aakar Books.
Fadlillah, M. (2017). Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia, Jurnal
Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, 5(1), 17-24.
Ghufron, A. (2008). Filsafat Pengembangan Kurikulum. Pondasia, 1 (9), 1-10.
Hidayat, A. (2008). Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Esensialisme, Jurnal
Komunikasi Pendidikan Islam, 4(3).
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Yogyakarta:
Penerbit Valia Pustaka.
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Ornstein, A.C. & Hunkins. F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and
Issues. Seventh Edition. England: Pearson.
Sadulloh, U. (2006). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Tyler, R.W. (1949). Basic Principle of Curriculum and Instruction. Chicago:
University of Chicago Press.

22

Anda mungkin juga menyukai