Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

NEUROSCIENCE DALAM PENGEMBANGAN ILMU SEKOLAH DASAR

Diajukan untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah


Studi Multidisiplin Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar

Dosen Pengampu:
Dr. H. Fery Muhammad Firdaus, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Muhammad Aqmal Nurcahyo
NIM 23012050065

PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2024
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Neuroscience dalam
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar” pada mata kuliah Studi Multidisiplin
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar yang diampu oleh Dr. H. Fery Muhammad
Firdaus, S.Pd., M.Pd.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas individu. Makalah ini akan
membahas mengenai pengertian neuroscience, cara kerja otak dalam kajian
neuroscience, ruang lingkup neuroscience, neuroscience dalam pendidikan, dan
implementasi neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar.
Penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Semoga paparan yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan gambaran secara rinci kepada pembaca mengenai neuroscience dalam
pengembangan ilmu sekolah dasar.

Yogyakarta, Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


PRAKATA .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
A. Pengertian Neuroscience ......................................................................... 4
B. Cara Kerja Otak dalam Kajian Neuroscience ......................................... 5
C. Ruang Lingkup Neuroscience ................................................................. 9
D. Neuroscience dalam Pendidikan ............................................................. 10
E. Implementasi Neuroscience dalam Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar
................................................................................................................. 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 19
A. Kesimpulan ............................................................................................. 19
B. Saran dan Rekomendasi .......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam
lingkungan belajar merupakan tahap awal bagi peserta didik dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Pada masa usia dini, pendidikan diberikan
karena masa ini merupakan periode kritis dalam tahap perkembangan anak.
Pendidikan bagi anak di usia ini sejatinya tidak hanya memberikan
pengalaman belajar layaknya pada orang dewasa, namun juga diharapkan
mampu mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasan otaknya.
Otak manusia merupakan suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha
Esa karena diberikan kepekaan dan kemampuan yang luar biasa dalam
memproses setiap informasi yang ada di sekitar kita. Otak manusia memiliki
potensi kecerdasan yang beraneka ragam. Kecerdasan masing-masing
manusia tidak ditentukan oleh besar kecilnya otak yang mereka miliki,
tetapi ditentukan oleh proses yang berlangsung dalam kehidupan setiap
orang seningga setiap orang memiliki andil atas perkembangan otaknya
sendiri-sendiri (Lusiawati, 2017).
Saat ini, sistem pendidikan cenderung mendorong peserta didik
untuk hanya menerima satu jawaban yang diajarkan oleh dosen dan guru,
yang kemudian diharapkan mereka dapat mengulangi dengan baik saat
ujian. Tidak ada ruang bagi pemikiran lateral, alternatif, pencarian jawaban
yang kreatif, atau pandangan yang terbuka. Mungkin tanpa disadari, baik
sebagai pendidik maupun orang tua, kita telah membatasi potensi berpikir
anak-anak dan menghambat perkembangan otak mereka.
Ilmu yang mempelajari tentang otak dan sistem saraf tersebut
dikenal dengan neuroscience. Neuroscience adalah cabang ilmu yang
mengkaji tentang otak dan sistem saraf manusia. Otak memiliki peran
penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh dan mengendalikan berbagai
perilaku dasar manusia seperti makan, tidur, dan pembelajaran. Selain itu,

1
2

otak juga bertanggung jawab atas kemajuan peradaban manusia, penciptaan


seni, ilmu pengetahuan, bahasa, dan banyak hal lainnya. Namun, dalam
dunia pendidikan, masalah ini sering diabaikan. Kurangnya perhatian
terhadap sistem limbik dapat mengakibatkan kurangnya suasana belajar
yang produktif. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam tentang
pembelajaran, sistem dan materi pembelajaran tidak dapat berfungsi dengan
baik. Subjek pembelajaran yang penting adalah pendidik yang memahami
proses belajar yang terjadi.
Memiliki pemahaman yang baik tentang neuroscience dapat
membantu mencapai tujuan pendidikan dengan lebih efektif. Selama ini,
neuroscience jarang diperhatikan secara serius dalam bidang pendidikan,
padahal hal ini sangat penting untuk memaksimalkan fungsi otak. Selain itu,
integrasi neurosains dalam pembelajaran telah menghasilkan berbagai teori
pembelajaran berbasis otak yang bermanfaat. Otak juga merupakan pusat
dari perasaan dan perilaku manusia. Cara kerja otak mempengaruhi kualitas
hidup manusia, termasuk tingkat kebahagiaan, hubungan interpersonal, dan
kesuksesan dalam karier. Dengan mengatur seluruh fungsi tubuh manusia,
otak berperan dalam mengendalikan berbagai perilaku dasar manusia
seperti makan, tidur, dan menjaga suhu tubuh.
Tujuan utama dari implementasi neuroscience adalah untuk
meninjau konsep dan praktik pendidikan berdasarkan perspektif sistem
kerja otak manusia. Neuroscience dalam pendidikan dasar mendorong guru
dan orang tua agar dapat memfasilitasi peserta didik dengan menyediakan
lingkungan belajar yang sesuai dengan tahp perkembangannya sehingga
dapat mendorong peserta didik untuk secara aktif melakukan berbagai
kegiatan yang dapat merangsang dan menstimulasi otaknya.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan pembahasan secara
khusus mengenai neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
rumusan masalah pada pembahasan makalah ini yaitu:
3

1. Apa pengertian dari neuroscience?


2. Bagaimana cara kerja otak dalam kajian neuroscience?
3. Apa saja ruang lingkup neuroscience?
4. Bagaimana neuroscience dalam pendidikan?
5. Bagaimana implementasi neuroscience dalam pengembangan ilmu
sekolah dasar?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penulisan pada pembahasan makah ini yaitu:
1. Mengetahui pengertian dari neuroscience;
2. Mengetahui cara kerja otak dalam kajian neuroscience;
3. Mengetahui ruang lingkup neuroscience;
4. Mengetahui neuroscience dalam pendidikan;
5. Mengetahui implementasi neuroscience dalam pengembangan ilmu
sekolah dasar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Neuroscience
Neuroscience berasal dari kata neuro yang berarti sistem saraf dan science
yang berarti ilmu. Neuroscience dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang sistem saraf khususnya terhadap perilaku manusia
dengan memberi perhatian pada sistem saraf, terutama otak (Pasiak, 2012).
Ikrar (2015) mengartikan neuroscience sebagai ilmu masa depan (ultimate
science) berupa ilmu yang tingkat kerumitannya sangat menantang dan
menarik karena meyangkut otak yang menjadi pusat kehidupan, di mana
neuroscience mempelajari cara kerja otak, seperti anatomi, fisiologi,
biokimia, biologi molekuler, sains kognitif, dan ditambah dengan ilmu
psikologi.
Mempelajari neuroscience dalam bidang pendidikan bertujuan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait kesadaran dan
kepekaan otak dalam membantu prestasi belajar peserta didik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Husamah, dkk. (2018) bahwa neurosicence
merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di
dalam otak manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan
otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan adanya kaitan dengan
pembelajaran.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka neuroscience
merupakan bidang ilmu multidisipliner yang mempelajari struktur, fungsi,
perkembangan, evolusi, gangguan, serta bagaimana sistem saraf bekerja dan
bagaimana aktivitas otak memiliki keterkaitan dengan perilaku dan fungsi
tubuh.
Mempelajari mengenai neuroscience dalam pendidikan tentunya
tidak terlepas dari psikologi kognitif individu. Preiss & Sternberg (2010)
menjelaskan bukti dari neuroscience kognitif dan psikologi kognitif
mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi mental dapat dikarakterisasi oleh

4
5

dua jenis kognisi yang berbeda dengan fungsi yang agak berbeda dan
kekuatan serta kelemahan yang berbeda pula.
Uraian dari pernyataan tersebut adalah bahwa penelitian dari
neuroscience kognitif dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa terdapat
dua jenis kognisi yang berbeda dalam fungsi serta kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Dua jenis kognisi ini mungkin mengacu pada proses
kognitif yang berbeda dalam otak manusia, mungkin seperti kognisi verbal
dan kognisi spasial, atau bisa juga merujuk pada dua sistem pemrosesan
informasi yang berbeda, misalnya sistem pemrosesan informasi otomatis
dan sistem pemrosesan informasi yang reflektif.
B. Cara Kerja Otak dalam Kajian Neuroscience
Otak manusia adalah jaringan lebih dari 80 miliar sel saraf individu yang
saling berhubungan dalam sistem—sirkuit saraf—yang menyusun persepsi
kita tentang dunia luar, memperbaiki perhatian kita, memandu keputusan
kita, dan mengimplementasikan tindakan kita (Kandel, et al., 2021). Secara
medis otak manusia adalah organ yang unik dan dahsyat, tempat diaturnya
proses berpikir, berbahasa, kesadaran, emosi, dan kepribadian, sedangkan
secara garis besar, otak terbagi dalam 3 bagian, yaitu neocortex atau cortex
cerebri, sistem limbik, dan batang otak yang bekerja secara simbiosis
(Nurasiah, 2016). Adapun penjelasannya sebagai berikut (Lusiawati, 2017).
1. Neocortex atau Cortex Cerebri
Struktur ini berhubungan dengan kemampuan berpikir manusia, yaitu
dalam kinerja penalaran dan kemampuan berbahasa. Bagian otak ini
lebih menonjol pada laki-laki, yang menyebabkan laki-laki cenderung
mengedepankan rasionalitas. Neokorteks kerap dijuluki sebagai
direkturnya otak. Neokorteks inilah yang menjadi letak keistimewaan
manusia sehingga dapat membaca dan menulis, juga memiliki
kemampuan untuk menghitung. Neokorteks dapat bekerja secara
optimal dan berpikir secara kreatif jika emosi seseorang dalam keadaan
bersemangat dan merasa aman. Neokorteks terbungkus di sekitar bagian
atas dan sisi sistem limbik, yang membentuk 80% dari materi otak.
6

Bagian otak ini merupakan tempat bersemayamnya kecerdasan


manusia. Inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui
pengelihatan, pendengaran, dan sensasi tubuh. Proses yang berasal dari
pengaturan ini adalah penalaran, berpikir secara intelektual, pembuatan
keputusan, perilaku waras, bahasa, kendali motorik sadar, dan
penciptaan gagasan nonverbal. Dalam neokorteks, semua kecerdasan
yang lebih tinggi berada, yang membantu manusia unik sebagai spesies.
2. Sistem Limbik
Berfungsi untuk mengatur perasaan atau emosi pada manusia. Sistem
limbik inilah yang mengendalikan memori dan sistem kekebalan tubuh
manusia. Bagaian otak ini lebih menonjol pada kaum perempuan
terutama pada aspek perasaan dan memori. Sistem limbik ini terletak
pada bagian tengah dari otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan
kognitif, yaitu menyimpan perasaan, pengalaman, dan kemampuan
belajar. Sistem ini juga mengendalikan bio-rhythm manusia, seperti pola
tidur, lapar, haus, tekanan darah, detak jantung, gairah seksual,
temperatur dan kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem
ini merupakan bagian penting dalam mempertahankan kehidupan
manusia. Kenyataan bahwa bagian otak seseorang yang mengendalikan
semua fungsi tubuh menjelaskan mengapa emosi seseorang dapat secara
langsung mempengaruhi kesehatannya Sistem limbrik merupakan panel
kontrol utama seseorang yang menggunakan informasi dari indra
penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh dan yang tidak begitu sering,
indra peraba dan penciuman sebagai inputnya. Kemudian informasi
tersebut didistribusikan ke bagian pemikir dalam otak seseorang, yaitu
neokorteks.
3. Batang Otak
Batang otak berfungsi menentukan pilihan ketika manusia sedang
dihadapkan pada suatu keadaan yang berbahaya. Bagian otak ini sangat
memahami kemampuan fisik manusia, dan berfungsi mengendalikan
fungsi sensorik dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
7

manusia. Fungsi yang paling urgen dari otak reptilia adalah sebagai
sistem pengamanan pada otak manusia. Bagian ini pula bertanggung
jawab atas fungsi-fungsi motor sensor – pengetahuan tentang realitas
fisik yang berasal dari pancaindra.
Pasiak (2007) menguraikan jika otak manusia dalam satu kepala
terdiri dari empat otak yang disebut kuadran, yaitu kuadran A, B, C, dan D.
Kuadran A terletak pada otak kiri atas, bekerja dengan mengacu fakta (fakta
apa saja yang ada). Kuadran B pada otak kiri bawah berkaitan dengan form
(bagaimana sebuah peristiwa berlangsung). Kuadran C pada kanan bawah
dihubungkan dengan feelings (bagaimana suasana psikologis yang timbul).
Kuadran D pada kanan atas berkaitan dengan futures (bagaimana efek
sebuah kejadian terhadap hal-hal lain).
Struktur otak manusia sangat luar biasa. Otak memiliki sekitar satu
triliun sel yang terdiri dari 100 milyar sel aktif dan 900 sel pendukung,
masing-masing sel otak tersebut dapat membuat koneksi (Nurasiah, 2016).
Terjadinya ketidaksamaan tingkat kecerdasan manusia disebabkan oleh
perbedaan dalam pemanfaatan potensi yang ada. Kecerdasan manusia tidak
hanya bergantung pada jumlah sel otak, tetapi lebih pada jumlah koneksi
yang terbentuk antara sel otak tersebut. Faktor ini sangat penting terutama
dalam konteks pembelajaran, karena kemampuan seseorang untuk
menyerap informasi atau pengetahuan yang diajarkan tergantung pada
kesiapan otaknya. Jika otak tidak siap, proses pembelajaran tidak akan
efektif. Oleh karena itu, sebagai pendidik, penting untuk memahami
bagaimana otak bekerja, atau dalam konteks yang lebih luas memahami
mengenai neuroscience.
Inti dari otak adalah sistem saraf otak yang bertugas mengenali,
memproses, merespons, dan mengoordinasikan tindakan sebagai respons
terhadap rangsangan. Pada awalnya, sel-sel pada indera menerima stimulus.
Jika stimulus tersebut cukup kuat, sel-sel saraf reseptor pada indera akan
terstimulasi, menghasilkan arus listrik. Arus listrik tersebut kemudian
dikirimkan ke otak melalui saraf sensoris. Di otak, informasi tersebut
8

diproses dan dihasilkan tanggapan yang selanjutnya dikirimkan ke efektor


(organ gerak) melalui saraf motoris. Faktor-faktor seperti kepekaan
terhadap stimulus, kecepatan penghantaran, pemrosesan, dan respon
terhadap stimulus menjadi faktor penting dalam kecerdasan.
Pentingnya memahami cara kerja otak dalam teori pembelajaran
neuroscience adalah agar kita dapat mengoptimalkan potensi otak. Dengan
pemahaman tentang bagaimana otak beroperasi, kita dapat memanfaatkan
potensi otak tersebut secara maksimal. Manusia memiliki dua belahan otak,
yaitu otak kiri dan otak kanan. Salah satu bagian otak yang sedang menjadi
topik pembicaraan adalah otak tengah, yang berperan dalam mengatur
keseimbangan antara kedua belahan otak, yaitu otak kiri dan otak kanan.
Individu yang dominan pada otak kiri cenderung memiliki
kemampuan untuk menganalisis dan melakukan proses pemikiran logis
dengan baik, namun mungkin kurang terampil dalam interaksi sosial.
Mereka juga seringkali memiliki kepekaan yang lebih besar pada telinga
kanan dan kemampuan motorik yang lebih baik pada tangan dan kaki kanan
dibandingkan dengan sisi kiri. Kemampuan yang dimiliki meliputi analisis,
logika, keterampilan praktis, dan organisasi yang berbasis pada fakta dan
prosedur.
Individu yang cenderung dominan pada otak kanan umumnya
memiliki sifat yang ramah dan mudah bergaul, tetapi mungkin menghadapi
kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep teknis. Kemampuan yang
dimiliki cenderung bersifat konseptual, humanistik, intuitif, dan emosional,
serta mungkin memiliki wawasan yang lebih luas dan kecenderungan untuk
memikirkan hal-hal yang bersifat spiritual dan visi.
Teori pembelajaran neuroscience mempertimbangkan berbagai
kemampuan otak, karena otak tidak hanya memiliki satu gaya belajar.
Penting bagi pendidik untuk memahami bagaimana otak bekerja dan gaya
belajar yang dihasilkan, sehingga dapat mengoptimalkan fungsi otak dan
menghasilkan individu yang berkualitas dan mampu bersaing, terutama di
era global saat ini.
9

C. Ruang Lingkup Neuroscience


Neuroscience berfokus untuk mempelajari manusia secara utuh melalui
studi interdisipliner. Neuroscience memiliki beberapa dimensi, yaitu
seluler-molekuler, sistem saraf, neurosains perilaku, dan neurosains sosial
(Wathon, 2016). Adapun uraiannya sebagai berikut.
1. Seluler-Molekuler
Lingkup kajian seluler-molekuler ini mempelajari berbagai macam sel
saraf dan bagaimana mereka melakukan fungsi-fungsi spesifik yang
berbeda satu dengan yang lain untuk menghasilkan pelbagai perilaku
yang kompleks, seperti emosi, kognisi, dan tindakan. Hal tersebut
memunculkan pengetahuan dan tindakan yang diakibatkannya.
2. Sistem Saraf
Bidang sistem saraf mengkaji sel-sel saraf yang berfungsi sama dalam
sebuah sistem yang kompleks. Misalnya, masalah penglihatan dikaji
dalam “sistem visual”; masalah gerakan dikaji dalam “sistem isotonik”
atau “sistem kinestetik”; masalah pendengaran dikaji dalam “sistem
auditori”; dan seterusnya.
3. Neurosains Perilaku
Neurosains perilaku mengkaji bagaimana berbagai sistem saraf bekerja
sebagaimana disebutkan di atas bekerja sama untuk menghasilkan
perilaku tertentu. Misalnya, bagaimana saraf visual. saraf auditori, saraf
motorik memproses informasi (materi pelajaran) secara simultan
(mseskipun hanya salah satu yang dominan).
4. Neurosains Sosial
Bidang ini mempelajari bagaimana “otak sosial” manusia berperan
dalam membantu manusia membentuk hubungan dengan orang lain.
Kemampuan manusia untuk menjalin hubungan dengan orang lain
merupakan nature-nya yang tersimpan secara biologis dalam otak.
Meskipun bukan merupakan sistem yang terlokalisasi dan mudah
diidentifikasi dengan jelas, “otak sosial” memiliki akar yang kuat dalam
interaksi antara pelbagai bagian.
10

D. Neuroscience dalam Pendidikan


Saat ini, neurosains adalah disiplin ilmu yang mengalami kemajuan
tercepat. Semakin kita memahami aktivitas otak, semakin mudah mengelola
perilaku individu, dan semakin cepat pula kemajuan dalam bidang
neuroscience. Berikut ini merupakan beberapa kegiatan otak yang
berkontribusi bagi pendidikan (Wathon, 2016).
1. Electroencephalography (EEG) dan Magnetoencephalography (MEG)
EEG dan MEG mampu membaca seberapa cepat informasi diproses
dalam otak. Alat ini memiliki 100 detektor magnetik yang ditempelkan
di sekitar kepala. Fungsinya adalah untuk mendeteksi aktivitas elektrik
dan magnetik yang terjadi pada otak selama proses mental (termasuk
proses belajar-mengajar) berlangsung. EEG dan MEG mencatat
perubahan yang terjadi di dalam otak secara berkelanjutan, yakni dalam
kisaran satu mili detik (satu per seribu detik) kisaran umum waktu yang
dibutuhkan otak untuk memproses kata. Hasil pencatatan memberi
informasi mengenai waktu yang diperlukan oleh otak untuk proses
membaca atau menghitung angka matematika.
2. Positron-Emission Tomography (PET)
PET merupakan teknologi yang diakui untuk mengobservasi fungsi-
fungsi otak yang mengandung radioaktif pada subjek di mana cairan
akan bereaksi ke dalam otak. Wilayah bereaksi ke tingkat tinggi akan
mengakumulasi lebih banyak radiasi dan aktivitas ini ditangkap oleh
cincin detektor yang di pasang di sekitar kepala subjek (pasien).
3. Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI)
FMRI merupakan teknologi yang dengan cepat menggantikan
pemindaian PET karena efek radiasi yang terlalu tinggi. Teknologi
mampu menunjukkan area-area otak yang lebih besar atau lebih kecil
ketika memproses informasi (belajar). Operasinya berdasarkan fakta
bahwa bagian otak yang lebih aktif membutuhkan oksigen dan nutrisi
yang lebih tinggi. Oksigen dibawa menuju sel-sel otak oleh hemoglobin.
Hemoglobin mengandung zat besi yang bersifat magnetik. FMRI
11

memiliki magnet untuk membandingkan jumlah hemoglobin


teroksigenasi yang memasuki otak dengan hemoglobin teroksigenasi.
4. Functional Magnetic Resonance Spectroscopy (FMRS)
FMRS adalah teknologi yang dapat menunjukkan dengan tepat area otak
yang sedang aktif berpikir serta dapat mengidentifikasi apakah zat-zat
kimiawi muncul pada area otak teraktivasi.
5. Single Photon Emission Computed Tomography (SPELT)
SPELT adalah instrumen yang paling canggih di bidang neuroscience.
Teknologi ini mampu merekam gelombang otak ketika manusia melakukan
kegiatan tertentu tanpa membawa orang tersebut ke dalam laboratorium rekam
medis.
E. Implementasi Neuroscience dalam Pengembangan Ilmu SD
Sekolah Dasar (SD) sebagai lembaga pendidikan formal menjadi tempat
diajarkannya pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah anak dididik di
lingkungan keluarganya. Pada fase di sekolah ini, pemikiran anak-anak
masih sangat mudah untuk dibentuk, sehingga dapat dikatakan otak mereka
dapat memiliki kemampuan untuk mengubah struktur dan fungsi sebagai
bentuk respon berdasarkan pengalaman dan pembelajaran yang
diperolehnya baik di kelas maupun di luar kelas. Anak-anak usia SD akan
menemukan banyak sekali pengalaman baru di lingkungannya, baik dari
lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya sekitarnya. Tentunya hal ini juga
akan berpengaruh terhadap pemerolehan informasi yang akan diterima dan
diproses oleh otaknya.
Reynold & Miller (2003) menyatakan jika meningkatnya peranan
faktor budaya dan sosial dalam perkembangan manusia bersama dengan
kemajuan neuroscience menyebabkan munculnya tantangan bagi teori
pembelajaran dan pengembangan yang ada. Ochsner & Lieberman (dalam
Reynold & Miller, 2003) menggambarkan munculnya neurosicence
kognitif sosial dalam tiga tingkatan yaitu: tingkat sosial yang berkaitan
dengan faktor motivasi dan sosial yang mempengaruhi perilaku dan
pengalaman; tingkat kognitif yang berkaitan dengan mekanisme
12

pemrosesan informasi yang mendasari fenomena tingkat sosial; dan tingkat


saraf yang berkaitan dengan mekanisme otak yang menginstansi proses
kognitif.
Pembelajaran berbasis neuroscience adalah pendekatan pendidikan
yang didasarkan pada pemahaman tentang bagaimana otak manusia bekerja
dan bagaimana informasi diproses dalam otak (Lombing, dkk., 2024).
Memahami sistem kerja otak dan keterkaitannya dengan pembelajaran
melalui implementasi prinsip-prinsip neuroscience diharapkan mampu
memberikan dampak positif dalam pengembangan ilmu sekolah dasar.
Pelaksanaan pembelajaran di SD tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Proses belajar haruslah berdasarkan pada teori-teori ataupun
prinsip belajar tertentu sehingga guru dapat merancang pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang otak anak, dalam hal ini yang
berkaitan dengan praktik neuroscience di lapangan. Kegiatan pembelajaran
tidak hanya sekadar proses transfer ilmu dari guru ke peserta didik, namun
ada keterlibatan impuls yang merupakan akibat dari stimulus dalam
lingkungan belajar. Guru dituntut untuk dapat menghadirkan lingkungan
belajar positif yang mampu merangsang perkembangan otak peserta didik.
Rakhmat (2005) menguraikan perkembangan otak dimulai dengan
over produksi neuron pada minggu pertama kehamilan. Setiap hari
diproduksi 250.000 neuroblast, sehingga bagian otak paling dalam menjadi
penuh sesak. Neuron-neuoron selanjutnya akan bermigrasi ke lapisan otak
paling luar. Setiap neuron mempunyai cabang hingga 10.000 cabang
dendrit, kemudian dendrit menerima impuls listrik dari neuron yang lain dan
mengirimkannya melalui akson. Impuls akan berhenti setelah berada di
ujung akson yang membentuk sinapsis, kemudian neurotransmitter mampu
menyampaikan pikiran dan perasaan seseorang ke seluruh jairngan saraf
yang merupakan esensi dari memori, kecerdasan, kreativitas, dan kemauan.
Kemampuan peserta didik untuk memahami suatu materi sangat
dipengaruhi oleh cara mereka memproses informasi, dimulai dari tahap
sensori dan perhatian. Proses pemrosesan informasi ini melibatkan tiga
13

sistem memori yang saling berinteraksi. Register sensorik berperan dalam


menyimpan informasi dalam waktu singkat, sekitar satu atau dua detik,
dengan tingkat akurasi yang tinggi. Sistem ini juga bertanggung jawab atas
pemilihan informasi yang akan disimpan, yang mana informasi tersebut
berasal dari berbagai sumber. Memori jangka pendek, atau yang disebut
juga sebagai short term memory, mampu menyimpan sejumlah informasi
dalam batas waktu sekitar 30 detik dan mengubahnya menjadi bentuk
penyandian, seperti kata atau frasa. Sementara itu, memori jangka panjang
atau long term memory memiliki kapasitas penyimpanan yang lebih lama,
mencakup rentang waktu dari beberapa menit hingga kurun waktu tertentu.
Ketiga sistem memori ini saling bekerja sama untuk membentuk
pemahaman dan retensi informasi yang optimal.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan
belajar peserta didik dipengaruhi oleh penerimaan informasi, di mana
peserta didik kemudian melakukan pemrosesan berdasarkan pengalaman
dan tahap pembelajaran yang tengah berlangsung. Pengalaman belajar yang
sudah dimiliki oleh peserta didik dan proses pembelajaran saat itu dapat
memberikan dorongan bagi peserta didik untuk membentuk persepsi awal
terhadap informasi tertentu. Persepsi awal tersebut nantinya dapat
dimanfaatkan dalam memori jangka pendek dan jangka panjang,
mendukung proses pembelajaran yang sedang dijalani peserta didik.
Proses pembelajaran diharapkan dapat menghasilkan peningkatan
optimal dalam lingkungan sekitar peserta didik, dengan menyajikan situasi
nyata yang memungkinkan peserta didik untuk memahami informasi
dengan tingkat akurasi yang tinggi. Stimulasi dalam bentuk permasalahan
nyata yang relevan dengan lingkungan peserta didik juga dapat
meningkatkan minat peserta didik terhadap proses pembelajaran.
Keterlibatan yang timbul (arousal) akibat stimulus tersebut memberikan
sinyal kepada otak bahwa peristiwa tersebut memiliki kepentingan yang
signifikan, sehingga perlu diolah dan disimpan untuk digunakan di masa
mendatang.
14

Adapun langkah-langkah implementasi neuroscience dalam


pengembangan ilmu sekolah dasar sebagai berikut (Munfarokhah, 2020).
1. Mendapatkan Atensi/Perhatian dari Peserta Didik
Pada pelaksanaan pembelajaran, guru harus mampu untuk
mendapatkan atensi/perhatian dari peserta didik. Terjadinya
koneksi sinaptik antar neuron membutuhkan stimulus yang
masuk ke dalam otak salah satunya dengan melakukan apresiasi
sebelum memulai pembelajaran untuk mendapatkan perhatian
dari peserta didik. Apresiasi harus dilakukan semenarik mungkin
sehingga fokus peserta didik tertuju pada guru dan melibatkan
emosi sehingga dapat tersimpan lama di dalam memori jangka
panjang.
2. Menentukan Metode dan Model Pembelajaran yang Tepat
Upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun
dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu emtode
yang digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah
ditetapkan. Selain metode, pemilihan model pembelajaran juga
faktor keberhasilan dalam penerapan neuroscience. Model
pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien
untuk mencapai tujuan pendidikannya. Beberapa contoh sistem
pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas otak di
antaranya adalah seperti brain based learning (BBL), contextual
learning, inquiry learning, active learning, dan lain sebagainya.
Sasaran utamanya adalah berfokus pada pekembangan dan
pertumbuhan otak dengan cara mengaktfikan sistem-sistem
belajar di otak agar lebh seimbang, dengan pendekatan yang
berbeda. Baik itu dengan pendekatan motorik, visual, maupun
auditori.
15

3. Guru sebagai Motivator bagi Peserta Didik


Dalam suatu pembelajaran, peserta didik tang memiliki
perbuatan yang baik seperti tingkah laku maupun prestasi harus
diberikan penghargaan atau pujian. Diharapkan dengan
penghargaan atau pujian itu peserta didik akan termotivasi
berusaha yang lebih baik lagi. Dalam proses belajar mengajar
pemberian penguatan sebagai salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar peserta didik sangatlah penting
diberikan guru kepada peserta didiknya. Penguatan adalah
respon positif dalam pembelajaran yang diberikan seorang guru
terhadap perilaku peserta didik dengan tujuan mempertahankan
dan meningkatkan perilaku tersebut. Keterampilan memberi
penguatan mempunyai dua jenis penguatan yaitu penguatan
verbal (kata-kata dan kalimat) dan non verbal (gerak, isyarat,
pendekatan, sentuhan, melalui kegiatan yang menyenangkan,
simbol, benda).
4. Refleksi Proses Pembelajaran
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau
baru saja dipelajari. Refleksi adalah berpikir ke belakang tentang
apa yang sudah dilakukan di masa lalu, peserta didik
mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, peserta didik diberi
kesempatan untuk mencerna apa yang telah dipelajari,
menimbang, membandingkan, menghayati, dan melakukan
diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).
Pembelajaran neuroscience akan efektif jika memenuhi beberapa prinsip-
prinsip berikut (Tantowie, 2014).
1. Pembelajaran tersebut menarik perhatian, karena mengandung kesan
penting, mengandung hal-hal baru, adanya intensitas yang berbeda, serta
16

mengandung unsur gerak. Pembelajaran tersebut memperhatikan cara


kerja perhatian;
2. Adanya konsolidasi dalam pembelajaran. Konsolidasi merupakan
proses stabilisasi dan pengetahuan koneksi sinaptik saraf. Konsolidasi
bisa dilakukan melalui proses organisasi atau penyimpulan,
pengulangan, dan penjelasan;
3. Melibatkan emosi dalam pembelajaran. Pembelajaran akan lebih
bermakna jika dilakukan dengan cerita, gambar, dan juga berlangsung
menyenangkan;
4. Mengandung stimulasi yang terus menerus, sehingga koneksi yang telah
terbangun akan terus diperkuat sehingga akhirnya stabil; dan
5. Memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
Implementasi neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah
dasar menunjukkan bahwa struktur dan sistem saraf di dalam otak
mendasari perilaku dan perkembangan keterampilan anak. Tommerdhal
(dalam Hidayat, 2017) mengusulkan ada lima jembatan penghubung yang
ahrus dilakui sebelum menerapkan ahsil temuan riset di laboratorium
neuroscience ke dalam praktik pembelajaran, yaitu: neuroscience,
neuroscience kognitif, mekanimse psikologi, teori pendidikan, dan ruang
kelas pembelajaran. Adapun jembatan tersebut digambarkan sebagai
berikut.

Gambar 1. Jembatan Penghubung Neuroscience Tommerdahl


Temuan dalam neuroscience pendidikan telah memberi inspirasi
kepada praktisi pendidikan untuk mengembangkan metode yang
17

memfasilitasi kinerja optimal otak, yang dikenal sebagai pembelajaran


berbasis otak (brain based learning). Latifah & Mahmudi (2018)
mengungkapkan jika pendekatan ini mempertimbangkan apa yang sifatnya
alami bagi otak dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan
pengalaman sehingga proses pembelajaran tidak memaksa siswa untuk
belajar, tapi mendorong siswa untuk belajar dengan sendirinya.
Neuroscience dalam pendidikan dasar telah mendorong guru dan
orang tua untuk menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan tahap
perkembangan siswa, serta mendorong siswa untuk secara aktif membangun
kemampuan mereka melalui berbagai kegiatan yang merangsang otak.
Kebermanfaatan pembelajaran berbasis otak pada implementasi
neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar yaitu (Amelia, dkk.,
2020):
1. Optimalisasi Kecerdasan
Pendidikan sebaiknya mengembangkan kecerdasan, bukan
hafalan, yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak yang
cerdas meningkatkan kreativitas dan daya cipta baru untuk
menemukan hal yang baru yang tidak pernah terpikirkan.
2. Keseimbangan Fungsi Otak Kanan dan Kiri
Otak kanan dan kiri memiliki fungsi yang berbeda. Otak kanan
lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur, divergen. Otak kiri
bersifat linier, teratur, dan konvergen. Pendidikan hendaknya
mengembangkan kedua belahan otak itu secara seimbang.
Pembelajaran yang bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari
satu kemungkinan jawaban benar akan mengembangkan kedua
belahan otak tersebut.
3. Keseimbangan Otak Triune
Pendidikan harus mengembangkan secara seimbang fungsi otak
atas, tengah, dan bawah (logika, emosi, dna motorik) yang sering
disebut juga head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan tujuan
18

pendidikan nasional yaitu mengembangkan manusia yang


cerdas, terampil, dan berakhlak mulia.
4. Pengembangan Motorik Tangan
Stimulasi melalui motorik tangan perlu dilakukan sejak dini.
Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana tangan kiri
dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak
selayaknya kita melarang anak menggunakan tangan kirinya
karena hal itu justru sedang mengembangkan otak kanannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penerapan neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar
merupakan implementasi pembelajaran aktif yang mengajak peserta didik
untuk terlibat aktif di dalam pelaksanaannya. Saat peserta didik terlibat
dalam pembelajaran aktif, mereka menjadi pihak yang memimpin kegiatan
pembelajaran. Mereka secara aktif memanfaatkan otak mereka untuk
menemukan konsep-konsep kunci, menyelesaikan masalah, atau
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapatkan pada situasi
kehidupan nyata. Melalui pembelajaran aktif ini, peserta didik diundang
untuk terlibat sepenuhnya dalam proses pembelajaran, tidak hanya secara
mental tetapi juga melibatkan aspek fisik.
Pembelajaran neuroscience melibatkan rangsangan yang
berkelanjutan, memperkuat hubungan-hubungan yang sudah terbentuk
sehingga akhirnya menjadi stabil. Proses pembelajaran ini memikat
perhatian peserta didik, melibatkan konsolidasi, serta mempertimbangkan
peran emosi dan motivasi dalam proses belajar.
Penting bagi semua guru untuk memiliki pemahaman tentang
neuroscience karena struktur sistem saraf menjadi dasar dari perilaku
manusia dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian,
guru akan lebih mampu mengembangkan kecerdasan intelektual melalui
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Pengetahuan tentang
neuroscience juga diperlukan bagi guru dalam menentukan metode dan
model pembelajaran yang efektif dan berfungsi dengan baik dalam
mengembangkan kecerdasan intelektual peserta didik.
B. Saran dan Rekomendasi
1. Sekolah sebaiknya mendukung pengembangan pembelajaran
neuroscience melalui inisiatif seperti menyediakan koleksi buku yang
komprehensif di perpustakaan, menciptakan lingkungan sekolah yang

19
20

merangsang rasa ingin tahu peserta dengan menyajikan stimulus seperti


gambar dan motivasi melalui tulisan-tulisan, serta meningkatkan
fasilitas yang mendukung implementasi neuroscience dalam
meningkatkan kecerdasan intelektual peserta didik;
2. Guru mampu merancang hingga menerapkan metode dan model
pembelajaran yang sesuai serta menyenangkan bagi para peserta
didiknya sehingga mereka dapat terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran tanpa merasa terpaksa; dan
3. Keterlibatan orang tua peserta didik agar dapat memiliki pemahaman
yang lebih mendalam tentang neuroscience dan menerapkannya,
sehingga terdapat keselarasan antara sekolah, guru, dan orang tua dalam
upaya meningkatkan kecerdasan intelektual peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R., Sartono, E.K.E., & Pasani, C.F. (2020). Kajian Neuroscience dalam
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar, Jurnal Inovasi Pendidikan dan
Pembelajaran Sekolah Dasar, 4 (1), 1-15.
Hidayat, B. (2017). Pembelajaran Alquran pada Anak Usia Dini Menurut Psikologi
Agama dan Neurosains, Annual Conference on Islamic Early Childhood
Education, 2, 59-70.
Husamah, dkk. (2018). Belajar dan Pembelajaran. Malang: UMM Press.
Ikrar, T. (2015). Ilmu Neurosains Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kandel, E.R., Koester, J.D., Mack, S.H., & Siegelbaum, S.A. (2021). Principles of
Neural Science, Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
Limbing, I.N., Rahmawatim D., & Wulandari, R. (2024). Pembelajaran Berbasis
Neurosains dalam Pendidikan Sekolah Dasar, Jurnal Pendidikan Tambusai,
8 (1), 9190-9194.
Lusiawati, I. (2017). Pengembangan Otak dan Optimalisasi Sumber Daya Manusia,
TEDC, 11 (2), 162-171.
Munfarokhah, I.R. (2020). Neurosains dalam Mengembangkan Kecerdasan
Intelektual Peserta Didik SD Islam Al-Azhar BSD. Tesis: Institut PTIQ
Jakarta. Tidak diterbitkan.
Nurasiah. (2016). Urgensi Neuroscience dalam Pendidikan (sebagai Langkah
Inovasi Pembelajaran), Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7, 72-93.
Pasiak, T. (2007). Brain Management for Self Improvement. Bandung: Mizan.
Pasiak, T. (2012). Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan Pustaka.
Preiss, D.D. & Sternberg, R.J. (2010). Innovations in Educational Psychology:
Perspectives on Learning, Teaching, and Human Development. New York:
Springer Publishing Company.
Rakhmat, J. (2005). Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC.
Reynolds. W.M. & Miller, G.E. (2003). Handbook of Psychology Volume 7
Educational Psychology. New Jersey: Jhon Wiley & Sons, Inc.

21
22

Wathon, A. (2016). Neurosains dalam Pendidikan, JURNAL LENTERA: Kajian


Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi, 14 (1), 284-294.

Anda mungkin juga menyukai