Dosen Pengampu:
Dr. H. Fery Muhammad Firdaus, S.Pd., M.Pd.
Oleh:
Muhammad Aqmal Nurcahyo
NIM 23012050065
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Neuroscience dalam
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar” pada mata kuliah Studi Multidisiplin
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar yang diampu oleh Dr. H. Fery Muhammad
Firdaus, S.Pd., M.Pd.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas individu. Makalah ini akan
membahas mengenai pengertian neuroscience, cara kerja otak dalam kajian
neuroscience, ruang lingkup neuroscience, neuroscience dalam pendidikan, dan
implementasi neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar.
Penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Semoga paparan yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan gambaran secara rinci kepada pembaca mengenai neuroscience dalam
pengembangan ilmu sekolah dasar.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam
lingkungan belajar merupakan tahap awal bagi peserta didik dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Pada masa usia dini, pendidikan diberikan
karena masa ini merupakan periode kritis dalam tahap perkembangan anak.
Pendidikan bagi anak di usia ini sejatinya tidak hanya memberikan
pengalaman belajar layaknya pada orang dewasa, namun juga diharapkan
mampu mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasan otaknya.
Otak manusia merupakan suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha
Esa karena diberikan kepekaan dan kemampuan yang luar biasa dalam
memproses setiap informasi yang ada di sekitar kita. Otak manusia memiliki
potensi kecerdasan yang beraneka ragam. Kecerdasan masing-masing
manusia tidak ditentukan oleh besar kecilnya otak yang mereka miliki,
tetapi ditentukan oleh proses yang berlangsung dalam kehidupan setiap
orang seningga setiap orang memiliki andil atas perkembangan otaknya
sendiri-sendiri (Lusiawati, 2017).
Saat ini, sistem pendidikan cenderung mendorong peserta didik
untuk hanya menerima satu jawaban yang diajarkan oleh dosen dan guru,
yang kemudian diharapkan mereka dapat mengulangi dengan baik saat
ujian. Tidak ada ruang bagi pemikiran lateral, alternatif, pencarian jawaban
yang kreatif, atau pandangan yang terbuka. Mungkin tanpa disadari, baik
sebagai pendidik maupun orang tua, kita telah membatasi potensi berpikir
anak-anak dan menghambat perkembangan otak mereka.
Ilmu yang mempelajari tentang otak dan sistem saraf tersebut
dikenal dengan neuroscience. Neuroscience adalah cabang ilmu yang
mengkaji tentang otak dan sistem saraf manusia. Otak memiliki peran
penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh dan mengendalikan berbagai
perilaku dasar manusia seperti makan, tidur, dan pembelajaran. Selain itu,
1
2
A. Pengertian Neuroscience
Neuroscience berasal dari kata neuro yang berarti sistem saraf dan science
yang berarti ilmu. Neuroscience dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang sistem saraf khususnya terhadap perilaku manusia
dengan memberi perhatian pada sistem saraf, terutama otak (Pasiak, 2012).
Ikrar (2015) mengartikan neuroscience sebagai ilmu masa depan (ultimate
science) berupa ilmu yang tingkat kerumitannya sangat menantang dan
menarik karena meyangkut otak yang menjadi pusat kehidupan, di mana
neuroscience mempelajari cara kerja otak, seperti anatomi, fisiologi,
biokimia, biologi molekuler, sains kognitif, dan ditambah dengan ilmu
psikologi.
Mempelajari neuroscience dalam bidang pendidikan bertujuan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait kesadaran dan
kepekaan otak dalam membantu prestasi belajar peserta didik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Husamah, dkk. (2018) bahwa neurosicence
merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di
dalam otak manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan
otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan adanya kaitan dengan
pembelajaran.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka neuroscience
merupakan bidang ilmu multidisipliner yang mempelajari struktur, fungsi,
perkembangan, evolusi, gangguan, serta bagaimana sistem saraf bekerja dan
bagaimana aktivitas otak memiliki keterkaitan dengan perilaku dan fungsi
tubuh.
Mempelajari mengenai neuroscience dalam pendidikan tentunya
tidak terlepas dari psikologi kognitif individu. Preiss & Sternberg (2010)
menjelaskan bukti dari neuroscience kognitif dan psikologi kognitif
mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi mental dapat dikarakterisasi oleh
4
5
dua jenis kognisi yang berbeda dengan fungsi yang agak berbeda dan
kekuatan serta kelemahan yang berbeda pula.
Uraian dari pernyataan tersebut adalah bahwa penelitian dari
neuroscience kognitif dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa terdapat
dua jenis kognisi yang berbeda dalam fungsi serta kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Dua jenis kognisi ini mungkin mengacu pada proses
kognitif yang berbeda dalam otak manusia, mungkin seperti kognisi verbal
dan kognisi spasial, atau bisa juga merujuk pada dua sistem pemrosesan
informasi yang berbeda, misalnya sistem pemrosesan informasi otomatis
dan sistem pemrosesan informasi yang reflektif.
B. Cara Kerja Otak dalam Kajian Neuroscience
Otak manusia adalah jaringan lebih dari 80 miliar sel saraf individu yang
saling berhubungan dalam sistem—sirkuit saraf—yang menyusun persepsi
kita tentang dunia luar, memperbaiki perhatian kita, memandu keputusan
kita, dan mengimplementasikan tindakan kita (Kandel, et al., 2021). Secara
medis otak manusia adalah organ yang unik dan dahsyat, tempat diaturnya
proses berpikir, berbahasa, kesadaran, emosi, dan kepribadian, sedangkan
secara garis besar, otak terbagi dalam 3 bagian, yaitu neocortex atau cortex
cerebri, sistem limbik, dan batang otak yang bekerja secara simbiosis
(Nurasiah, 2016). Adapun penjelasannya sebagai berikut (Lusiawati, 2017).
1. Neocortex atau Cortex Cerebri
Struktur ini berhubungan dengan kemampuan berpikir manusia, yaitu
dalam kinerja penalaran dan kemampuan berbahasa. Bagian otak ini
lebih menonjol pada laki-laki, yang menyebabkan laki-laki cenderung
mengedepankan rasionalitas. Neokorteks kerap dijuluki sebagai
direkturnya otak. Neokorteks inilah yang menjadi letak keistimewaan
manusia sehingga dapat membaca dan menulis, juga memiliki
kemampuan untuk menghitung. Neokorteks dapat bekerja secara
optimal dan berpikir secara kreatif jika emosi seseorang dalam keadaan
bersemangat dan merasa aman. Neokorteks terbungkus di sekitar bagian
atas dan sisi sistem limbik, yang membentuk 80% dari materi otak.
6
manusia. Fungsi yang paling urgen dari otak reptilia adalah sebagai
sistem pengamanan pada otak manusia. Bagian ini pula bertanggung
jawab atas fungsi-fungsi motor sensor – pengetahuan tentang realitas
fisik yang berasal dari pancaindra.
Pasiak (2007) menguraikan jika otak manusia dalam satu kepala
terdiri dari empat otak yang disebut kuadran, yaitu kuadran A, B, C, dan D.
Kuadran A terletak pada otak kiri atas, bekerja dengan mengacu fakta (fakta
apa saja yang ada). Kuadran B pada otak kiri bawah berkaitan dengan form
(bagaimana sebuah peristiwa berlangsung). Kuadran C pada kanan bawah
dihubungkan dengan feelings (bagaimana suasana psikologis yang timbul).
Kuadran D pada kanan atas berkaitan dengan futures (bagaimana efek
sebuah kejadian terhadap hal-hal lain).
Struktur otak manusia sangat luar biasa. Otak memiliki sekitar satu
triliun sel yang terdiri dari 100 milyar sel aktif dan 900 sel pendukung,
masing-masing sel otak tersebut dapat membuat koneksi (Nurasiah, 2016).
Terjadinya ketidaksamaan tingkat kecerdasan manusia disebabkan oleh
perbedaan dalam pemanfaatan potensi yang ada. Kecerdasan manusia tidak
hanya bergantung pada jumlah sel otak, tetapi lebih pada jumlah koneksi
yang terbentuk antara sel otak tersebut. Faktor ini sangat penting terutama
dalam konteks pembelajaran, karena kemampuan seseorang untuk
menyerap informasi atau pengetahuan yang diajarkan tergantung pada
kesiapan otaknya. Jika otak tidak siap, proses pembelajaran tidak akan
efektif. Oleh karena itu, sebagai pendidik, penting untuk memahami
bagaimana otak bekerja, atau dalam konteks yang lebih luas memahami
mengenai neuroscience.
Inti dari otak adalah sistem saraf otak yang bertugas mengenali,
memproses, merespons, dan mengoordinasikan tindakan sebagai respons
terhadap rangsangan. Pada awalnya, sel-sel pada indera menerima stimulus.
Jika stimulus tersebut cukup kuat, sel-sel saraf reseptor pada indera akan
terstimulasi, menghasilkan arus listrik. Arus listrik tersebut kemudian
dikirimkan ke otak melalui saraf sensoris. Di otak, informasi tersebut
8
A. Kesimpulan
Penerapan neuroscience dalam pengembangan ilmu sekolah dasar
merupakan implementasi pembelajaran aktif yang mengajak peserta didik
untuk terlibat aktif di dalam pelaksanaannya. Saat peserta didik terlibat
dalam pembelajaran aktif, mereka menjadi pihak yang memimpin kegiatan
pembelajaran. Mereka secara aktif memanfaatkan otak mereka untuk
menemukan konsep-konsep kunci, menyelesaikan masalah, atau
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapatkan pada situasi
kehidupan nyata. Melalui pembelajaran aktif ini, peserta didik diundang
untuk terlibat sepenuhnya dalam proses pembelajaran, tidak hanya secara
mental tetapi juga melibatkan aspek fisik.
Pembelajaran neuroscience melibatkan rangsangan yang
berkelanjutan, memperkuat hubungan-hubungan yang sudah terbentuk
sehingga akhirnya menjadi stabil. Proses pembelajaran ini memikat
perhatian peserta didik, melibatkan konsolidasi, serta mempertimbangkan
peran emosi dan motivasi dalam proses belajar.
Penting bagi semua guru untuk memiliki pemahaman tentang
neuroscience karena struktur sistem saraf menjadi dasar dari perilaku
manusia dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian,
guru akan lebih mampu mengembangkan kecerdasan intelektual melalui
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Pengetahuan tentang
neuroscience juga diperlukan bagi guru dalam menentukan metode dan
model pembelajaran yang efektif dan berfungsi dengan baik dalam
mengembangkan kecerdasan intelektual peserta didik.
B. Saran dan Rekomendasi
1. Sekolah sebaiknya mendukung pengembangan pembelajaran
neuroscience melalui inisiatif seperti menyediakan koleksi buku yang
komprehensif di perpustakaan, menciptakan lingkungan sekolah yang
19
20
Amelia, R., Sartono, E.K.E., & Pasani, C.F. (2020). Kajian Neuroscience dalam
Pengembangan Ilmu Sekolah Dasar, Jurnal Inovasi Pendidikan dan
Pembelajaran Sekolah Dasar, 4 (1), 1-15.
Hidayat, B. (2017). Pembelajaran Alquran pada Anak Usia Dini Menurut Psikologi
Agama dan Neurosains, Annual Conference on Islamic Early Childhood
Education, 2, 59-70.
Husamah, dkk. (2018). Belajar dan Pembelajaran. Malang: UMM Press.
Ikrar, T. (2015). Ilmu Neurosains Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kandel, E.R., Koester, J.D., Mack, S.H., & Siegelbaum, S.A. (2021). Principles of
Neural Science, Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
Limbing, I.N., Rahmawatim D., & Wulandari, R. (2024). Pembelajaran Berbasis
Neurosains dalam Pendidikan Sekolah Dasar, Jurnal Pendidikan Tambusai,
8 (1), 9190-9194.
Lusiawati, I. (2017). Pengembangan Otak dan Optimalisasi Sumber Daya Manusia,
TEDC, 11 (2), 162-171.
Munfarokhah, I.R. (2020). Neurosains dalam Mengembangkan Kecerdasan
Intelektual Peserta Didik SD Islam Al-Azhar BSD. Tesis: Institut PTIQ
Jakarta. Tidak diterbitkan.
Nurasiah. (2016). Urgensi Neuroscience dalam Pendidikan (sebagai Langkah
Inovasi Pembelajaran), Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7, 72-93.
Pasiak, T. (2007). Brain Management for Self Improvement. Bandung: Mizan.
Pasiak, T. (2012). Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan Pustaka.
Preiss, D.D. & Sternberg, R.J. (2010). Innovations in Educational Psychology:
Perspectives on Learning, Teaching, and Human Development. New York:
Springer Publishing Company.
Rakhmat, J. (2005). Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC.
Reynolds. W.M. & Miller, G.E. (2003). Handbook of Psychology Volume 7
Educational Psychology. New Jersey: Jhon Wiley & Sons, Inc.
21
22