Dosen Pengampu:
Drs. Alex Sobur, M.Si
Disusun Oleh :
Saori Ramdhani 41819197
Irfan Fadhlur Rahman 41819785
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu,
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok yang diberikan
oleh Dosen mata kuliah Psikologi Komunikasi dengan mengangkat judul “NEUROSAINS
DAN KESEHATAN SPIRITUAL DALAM MERANGSANG KREATIVITAS
PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI (PAUD)” sholawat dan salam semoga selamanya
mengalir tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang penerang alam semesta.
Kami ucapkan terimakasih kepada pihak yang telah terlibat dalam pembuatan makalah
ini, dan juga tak lupa kami ucapkan kepada bapak Dr. Alex Sobur, M.Si selaku Dosen pada
mata kuliah ini. Kami telah membuat makalah ini dengan semaksimal mungkin, namun dengan
segala kerendahan hati kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
akan besar manfaatnya bila pembaca berkenan memberi saran dan kritik, yang akan kami
gunakan untuk memperbaiki pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata, dari kelompok kami mohon maaf apabila banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan. Terimakasih.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Hakekat pendidikan adalah optimalisasi potensi manusia atau peserta didik. Seluruh
potensi manusia semua bertumpu pada otaknya. Pengertian pendidikan dalam hal ini dibatasi
pada pengembangan potensi manusia, khususnya potensi yang bertumpu pada otaknya.
Pendidikan secara umum mengikuti jejak dalam neurosains, pendidikan tersebut dapat dilihat
dalam upaya optimalisasi fungsi otak untuk mencerdaskan peserta didik, begitupun hal nya
dalam pengembangan kreatifitas pesera didik.
Dalam era modern yang serba kompleks dan berubah dengan cepat, kreativitas
menjadi keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh individu di segala bidang
kehidupan. Dalam pembelajaran anak usia dini terdapat potensi untuk mengembangkan
kreativitas mereka, mengingat fase perkembangan otak yang dinamis pada usia dini atau
golden age (0-6 Tahun). Oleh karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua untuk memahami
cara merangsang kreativitas anak-anak tersebut.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru, solusi yang
inovatif, dan melihat dunia dengan cara yang unik. Dalam konteks pendidikan, merangsang
kreativitas anak usia dini menjadi salah satu tujuan penting agar mereka dapat mengembangkan
potensi mereka secara maksimal.
Kreativitas dikenal dari sejumlah kemapuanya, beberapa di antaranya adalah
kepekaan, kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan redefinisi. Kepekaan secara fisiologis
adalah proses memadukan hubungan sejumlah susunan saraf dan indra kita sehingga menjadi
dinamis, cepat, memberi, menerima. Secara psikologis, kita menjadi peka sehingga mampu
menangkap pesan dari suatu peristiwa yang bagi orang lain mungkin terlewat. Kelancaran
memapukan kita meluncurkan banyak ide (yang seakan-akan mengalir). Keluesan
memampukan kita untuk melihat suatu masalah dari berbagai arah dan dengan kacamata yang
berbeda. Orisinalitas adalah kemampuan untuk membuat gagasan yang asli, berbeda, tidak
seperti biasa. Elaborasi memampukan kita mengembangkan suatu ide sampai selesai dan
mendetail. Redifinisi mermampukan kita melihat sesuatu tetapi tapak sebagai sesuatu yang
lain.
Anak usia dini merupakan fase perkembangan yang kritis dalam kehidupan individu.
Pada periode ini, otak anak berkembang dengan pesat dan membentuk fondasi dasar untuk
pemahaman, keterampilan, dan potensi kreatif mereka di masa depan. Oleh karena itu, penting
untuk merangsang kreativitas anak usia dini agar mereka dapat mengembangkan daya
imajinasi, inovasi, dan berpikir kritis yang kuat.
Dalam upaya merangsang kreativitas anak usia dini, dua aspek yang perlu
diperhatikan adalah neurosains dan kesehatan spiritual. Neurosains, yang mempelajari sistem
saraf dan cara kerja otak manusia, memberikan pemahaman tentang dasar neurologis
kreativitas. Neurosains adalah sistim pendidikan baru yang mempelajari tentang sistim kerja
syaraf. Pendidik umumnya jarang memperhatikan permasalahan ini. Pengabaian terhadap
sistem ini menyebabkan suasana pembelajaran menjadi mati. tugas utama dari neurosains
adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam
otaknya.
Neurosains memiliki aplikasi luas dalam berbagai bidang, termasuk ilmu kognitif,
psikologi, neurologi, psikiatri, pendidikan, dan banyak lagi. Dalam konteks merangsang
kreativitas anak usia dini, neurosains membantu kita memahami dasar neurologis kreativitas,
seperti bagaimana otak memproses informasi, bagaimana hubungan antara area otak tertentu
dengan proses kreatif, dan bagaimana faktor lingkungan dan stimulasi dapat mempengaruhi
perkembangan kreativitas anak.
Sedangkan spiritualitas adalah dimensi kehidupan yang melibatkan hubungan
individu dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, seperti Tuhan, alam semesta,
nilai-nilai, atau kekuatan yang bersifat transenden. Hal ini melibatkan eksplorasi nilai-nilai,
tujuan hidup, makna eksistensial, dan pemahaman tentang diri sendiri serta hubungannya
dengan yang lebih besar. Spiritualitas dapat menjadi dasar untuk memperdalam pemahaman
tentang diri, mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan, dan mengeksplorasi aspek
batiniah yang lebih dalam.
kesehatan spiritual melibatkan dimensi batiniah dalam kehidupan individu.
Pemahaman tentang nilai-nilai, tujuan hidup, dan koneksi dengan yang lebih besar dari diri
sendiri, seperti nilai-nilai moral, etika, dan sikap positif terhadap kehidupan, menjadi penting
dalam merangsang kreativitas anak. Kesehatan spiritual memberikan dasar nilai-nilai yang kuat
dan membantu anak dalam mengembangkan sikap empati, toleransi, dan pemahaman diri yang
mendalam.
Integrasi antara neurosains dan kesehatan spiritual menjadi relevan dalam konteks
pembelajaran anak usia dini. Dengan memadukan pemahaman tentang dasar neurologis
kreativitas dan aspek spiritual dalam pendekatan pembelajaran, pendidik dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung pengembangan kreativitas anak secara menyeluruh. Pendekatan
ini melibatkan stimulasi yang tepat bagi perkembangan otak anak, serta pengenalan nilai-nilai
dan praktik spiritual yang membantu anak dalam menggali potensi kreatif mereka.
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka terdapat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemahaman pendidik tentang pengaruh neurosains dan kesehatan
spiritual dalam merangsang kreativitas pada anak usia dini (PAUD)?
2. Bagaimana pengaruh neurosains dan kesehatan spiritual dalam merangsang
kreativitas pada anak usia dini (PAUD)?
3. Bagaimana perbedaan individu yang masuk lembaga PAUD dalam struktur dan
fungsi otak dapat mempengaruhi kemampuan belajar, memori, dan kreativitas?
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Neurosains Dan Kesehatan Spiritual Dalam Merangsang Kreativitas Pada Anak
Usia Dini (PAUD)
PAUD merupakan tempat anak-anak belajar mengembangkan berbagai macam
aspek perkembangan yang ada pada dirinya, yang salah satunya adalah
mengembangkan kemandirian. Perlu disadari bahwa hasil yang diharapkan dari PAUD
bagi anak-anak adalah tidak sekadar menyediakan tempat bermain. Satu hal yang juga
diharapkan adalah proses internalisasi nilai yang menuju kepada kemampuan mengurus
dirinya sendiri atau yang dikenal dengan istilah kemampuan otonomi.
Sejalan dengan ciri khas periode ini sebagai sebuah masa bermain, hampir seluruh
kegiatan pada usia prasekolah perlu melibatkan unsur bermain. Melalui kegiatan
bemain anak belajar mengembangkan kemampuan untuk mengolah diri dan teman
bermain dalam konteks interaksi sosial.
Dalam proses pembelajaran di insitusi prasekolah, yang harus dilakukan pendidik
adalah memberikan lingkungan dan stimulasi yang cocok untuk memenuhi kebutuhan
anak didik sesuai dengan karakteristik perkembangannya. Walaupun anak memiliki
keunikan masing-masing disertai latar belakang yang berbeda, pendidik perlu
memberikan metode pembelajaran yang variatif, sehingga suasana belajar menjadi
“hidup”. Hal ini juga untuk memfasilitasi setiap perbedaan yang ada pada anak. Dengan
landasan pemikiran tersebut pendidik harus mendasarkan diri pada suatu pedoman
pendidikan yang tepat untuk anak didik.
Temuan di bidang psikologi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara anak-anak yang masuk di lembaga PAUD dengan yang tidak
mengikuti pendidikan dini. Setidaknya terdapat tiga perbedaan mencolok antara anak-
anak yang masuk di lembaga PAUD dengan yang tidak.
Temuan pertama menyatakan bahwa lingkungan pada tahun-tahun permulaan anak
(0-6 tahun) akan memberikan efek belajar yang lama (long-term effects). Artinya, anak-
anak yang belajar pada masa ini akan mengingat dalam jangka waktu panjang, hingga
usia dewasa kelak. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan pepatah yang menyatakan
bahwa “Belajar di usia belia bagaikan mengukir di atas batu”
Temuan kedua mengungkapkan bahwa sekitar 70% sikap intelektual
(intellectual attitude) yang diukur melalui tes IQ dan sekitar 50% keterampilan
membaca (reading skill) orang dewasa terbina antara umur empat tahun dan sembilan
tahun.
Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan IQ anak dapat dipacu pada usia dini.
Oleh karena itu, kecerdasan intelektual bukanlah “pemberian tuhan” yang tidak boleh
diganggu gugat, melainkan proses berkembang yang tiada henti, dan perkembangan
kecerdasan IQ tersebut memuncak pada usia dini.
Temuan ketiga, riset yang dilakukan Piaget mencatat bahwa sistem kognitif dan
proses intelektual (intellectual processing) pada anak sangat berbeda jika dibandingkan
dengan anak yang lebih tua terlebih lagi orang dewasa. Banyak perubahan-perubahan
terjadi selama melewati akhir masa anak dan remaja, ikut berkontribusi dalam pola
perkembangan individu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
anak yang mengalami perkembangan sosial dan akademik secara baik akan berperilaku
dan bertindak secara baik pula pada akhir masa anak-anak, bahkan ketika dewasa dan
usia tua.
Dalam satu kelas, hanya 10%-30% anak yang belajar, dan anak-anak yang lain
beraktivitas sendiri dan sulit dikontrol. Dari 10%-30% tersebut, mereka belajar dengan
cara yang kurang baik karena hanya ingin membahagiakan orangtua dan melaksanakan
tugas/perintah guru. Untuk itu, diperlukan stimulasi sosial agar anak mengalami
perkembangan sosial yang baik pula. Stimulasi sosial, termasuk stimulasi yang lain,
adalah cara yang paling efektif diberikan oleh lembaga PAUD.
Senada dengan penelitian di bidang psikologi tersebut, penelitian di bidang
neurosains yang dilakukan oleh Osbon, White, dan Bloom menyatakan bahwa
perkembangan intelektual/kecerdasan anak pada usia 0-4 tahun mencapai 50%, pada
usia 0-8 tahun mencapai 80%, dan pada usia 0-18 tahun mencapai 100%. Selanjutnya,
penelitian itu juga mengukur perkembangan fisik anak yang hasilnya adalah
pertumbuhan fisik pada anak usia 0 tahun mencapai 25%, kemudian pada usia 6 tahun
mencapai 85%, dan pada usia 12 tahun telah final mencapai 100%.
Dengan demikian, terdapat korelasi atau hubungan yang erat antara
pembelajaran dan cara kerja otak. Semakin luas dan mendalam pendidik (guru)
memahami cara kerja otak, semakin mudah ia menumbuhkembangkan seluruh potensi
peserta didik. Sebaliknya, semakin tabu pendidik terhadap cara kerja otak, semakin
keliru ia menyelenggarakan pembelajaran.
Suatu hal yang perlu diingat adalah otak setiap anak berbeda-beda. Jika dalam
satu kelas terdapat 20 anak maka terdapat 20 cara belajar. Inilah sebabnya, mengapa
tidak ada anak yang sama di dunia ini, termasuk anak kembar sekalipun.
Konsekuensinya, guru harus memahami cara belajar semua anak sehingga seluruh
potensi setiap anak dapat ditumbuh-kembangkan. Memang hal ini tidak mudah, tetapi
dengan pengetahuan yang cukup tentang neurosains, hal itu akan lebih mudah
diwujudkan.
3.2 Neurosains dalam Pembelajaran Anak Usia Dini (PAUD)
Sejak penemuan-penemuan di bidang neurosains dipublikasikan, terutama
informasi tentang perkembangan otak anak, sektor pendidikan anak usia dini (PAUD)
di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Temuan-temuan dalam neurosains juga
telah membawa para psikolog pada kesimpulan bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan
periode yang sangat penting. Psikolog terkemuka, Howard Gardner, menyatakan
bahwa anak-anak pada usia lima tahun pertama cenderung mencapai keberhasilan
dalam belajar tentang segala hal.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Deborah Stipek (dalam Adi W.
Gunawan, 2003), yang menyebutkan bahwa anak usia enam atau tujuh tahun memiliki
harapan yang tinggi untuk berhasil dalam mempelajari segala hal, meskipun praktiknya
sering kali tidak sempurna.
Setidaknya terdapat tiga perbedaan mencolok antara anak-anak yang masuk di
lembaga PAUD dengan yang tidak. Tiga perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
• Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Hunt sebagaimana dikutip Aswardi
Sudjud, menyatakan bahwa lingkungan pada usia golden age anak (0-6 tahun)
akan memberikan efek belajar yang lama (long-term effects).
• Kedua, Bloom sebagaimana dikutip Aswardi Sudjud menganalisis studi-studi
terdahulu tentang belajar yang sudah dipublikasikan, kemudian dikonklusikan
dan hasilnya menyatakan bahwa sekitar 70% sikap intelektual (intelectual
attitude) yang diukur melalui tes IQ dan sekitar 50 persen keterampilan
membaca (reading skill) orang dewasa terbina antara umur 4 tahun dan 9 tahun.
• Ketiga, riset yang dilakukan oleh Piaget mencatat bahwa sistem kognitif dan
proses intelektual (intellectual proccessing) pada anak-anak sangat berbeda jika
dibandingkan dengan anak yang lebih tua terlebih lagi orang dewasa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki peran yang signifikan dalam
mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, termasuk kemandirian dan
internalisasi nilai-nilai. Pada usia prasekolah, kegiatan bermain menjadi bagian integral
dalam pengembangan anak, membantu mereka belajar mengolah diri dan berinteraksi
secara sosial dengan teman sebaya.
Temuan di bidang psikologi menunjukkan bahwa lingkungan pada masa golden
age anak (0-6 tahun) memiliki efek belajar yang berkesinambungan, yang akan terbawa
hingga usia dewasa. Selain itu, kecerdasan intelektual anak dapat dipacu pada usia dini,
dan puncak kecerdasan IQ terjadi pada periode ini. Riset juga menunjukkan bahwa sistem
kognitif dan proses intelektual anak pada usia dini berbeda dengan anak yang lebih tua
atau orang dewasa.
Oleh karena itu, pendidik perlu menyediakan metode pembelajaran yang variatif
untuk memenuhi kebutuhan anak didik, sambil memberikan stimulasi sosial yang efektif
melalui lembaga PAUD. Pemahaman tentang cara kerja otak anak juga penting bagi
pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, mengingat setiap
anak memiliki cara belajar yang unik.
Dengan memahami hal ini, pendidik dapat menciptakan lingkungan belajar yang
hidup dan memfasilitasi perkembangan sosial dan akademik yang baik pada masa anak-
anak dan bahkan hingga usia dewasa.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, penemuan-penemuan dalam bidang
neurosains telah memberikan dampak positif yang signifikan. Informasi mengenai
perkembangan otak anak telah mendorong pertumbuhan pesat sektor PAUD di Indonesia.
Para ahli psikologi, seperti Howard Gardner dan Deborah Stipek, menekankan
pentingnya usia dini sebagai periode kritis dalam belajar. Anak-anak pada usia lima tahun
pertama cenderung mencapai keberhasilan dalam mempelajari berbagai hal, meskipun
praktiknya tidak selalu sempurna.