Anda di halaman 1dari 18

NEUROSAINS DAN KESEHATAN SPIRITUAL DALAM

MERANGSANG KREATIVITAS PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI


(PAUD)

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Komunikasi

Dosen Pengampu:
Drs. Alex Sobur, M.Si

Disusun Oleh :
Saori Ramdhani 41819197
Irfan Fadhlur Rahman 41819785

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu,
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok yang diberikan
oleh Dosen mata kuliah Psikologi Komunikasi dengan mengangkat judul “NEUROSAINS
DAN KESEHATAN SPIRITUAL DALAM MERANGSANG KREATIVITAS
PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI (PAUD)” sholawat dan salam semoga selamanya
mengalir tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang penerang alam semesta.
Kami ucapkan terimakasih kepada pihak yang telah terlibat dalam pembuatan makalah
ini, dan juga tak lupa kami ucapkan kepada bapak Dr. Alex Sobur, M.Si selaku Dosen pada
mata kuliah ini. Kami telah membuat makalah ini dengan semaksimal mungkin, namun dengan
segala kerendahan hati kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
akan besar manfaatnya bila pembaca berkenan memberi saran dan kritik, yang akan kami
gunakan untuk memperbaiki pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata, dari kelompok kami mohon maaf apabila banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan. Terimakasih.

Bandung, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2


BAB I ....................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 6
1.3 Maksud dan Tujuan ............................................................................................... 6
BAB II ..................................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 7
2.1 Tinjauan Tentang Neurosains ............................................................................... 7
2.1.1 Pengertian Neurosains ....................................................................................... 7
2.1.2 Tujuan Neurosains ............................................................................................. 8
2.1.3 Ruang Lingkup Neurosains ............................................................................... 8
2.2 Definisi Kesehatan Spiritual ................................................................................ 10
2.3 Definisi Kreativitas ............................................................................................... 10
2.4 Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ..................................................... 11
BAB III .............................................................................................................................. 12
PEMBAHASAN................................................................................................................ 12
3.1 Neurosains Dan Kesehatan Spiritual Dalam Merangsang Kreativitas Pada
Anak Usia Dini (PAUD) ................................................................................................... 12
3.2 Neurosains dalam Pembelajaran Anak Usia Dini (PAUD) ............................... 14
BAB IV .................................................................................................................................. 16
PENUTUP ............................................................................................................................. 16
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakekat pendidikan adalah optimalisasi potensi manusia atau peserta didik. Seluruh
potensi manusia semua bertumpu pada otaknya. Pengertian pendidikan dalam hal ini dibatasi
pada pengembangan potensi manusia, khususnya potensi yang bertumpu pada otaknya.
Pendidikan secara umum mengikuti jejak dalam neurosains, pendidikan tersebut dapat dilihat
dalam upaya optimalisasi fungsi otak untuk mencerdaskan peserta didik, begitupun hal nya
dalam pengembangan kreatifitas pesera didik.
Dalam era modern yang serba kompleks dan berubah dengan cepat, kreativitas
menjadi keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh individu di segala bidang
kehidupan. Dalam pembelajaran anak usia dini terdapat potensi untuk mengembangkan
kreativitas mereka, mengingat fase perkembangan otak yang dinamis pada usia dini atau
golden age (0-6 Tahun). Oleh karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua untuk memahami
cara merangsang kreativitas anak-anak tersebut.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru, solusi yang
inovatif, dan melihat dunia dengan cara yang unik. Dalam konteks pendidikan, merangsang
kreativitas anak usia dini menjadi salah satu tujuan penting agar mereka dapat mengembangkan
potensi mereka secara maksimal.
Kreativitas dikenal dari sejumlah kemapuanya, beberapa di antaranya adalah
kepekaan, kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan redefinisi. Kepekaan secara fisiologis
adalah proses memadukan hubungan sejumlah susunan saraf dan indra kita sehingga menjadi
dinamis, cepat, memberi, menerima. Secara psikologis, kita menjadi peka sehingga mampu
menangkap pesan dari suatu peristiwa yang bagi orang lain mungkin terlewat. Kelancaran
memapukan kita meluncurkan banyak ide (yang seakan-akan mengalir). Keluesan
memampukan kita untuk melihat suatu masalah dari berbagai arah dan dengan kacamata yang
berbeda. Orisinalitas adalah kemampuan untuk membuat gagasan yang asli, berbeda, tidak
seperti biasa. Elaborasi memampukan kita mengembangkan suatu ide sampai selesai dan
mendetail. Redifinisi mermampukan kita melihat sesuatu tetapi tapak sebagai sesuatu yang
lain.
Anak usia dini merupakan fase perkembangan yang kritis dalam kehidupan individu.
Pada periode ini, otak anak berkembang dengan pesat dan membentuk fondasi dasar untuk
pemahaman, keterampilan, dan potensi kreatif mereka di masa depan. Oleh karena itu, penting
untuk merangsang kreativitas anak usia dini agar mereka dapat mengembangkan daya
imajinasi, inovasi, dan berpikir kritis yang kuat.
Dalam upaya merangsang kreativitas anak usia dini, dua aspek yang perlu
diperhatikan adalah neurosains dan kesehatan spiritual. Neurosains, yang mempelajari sistem
saraf dan cara kerja otak manusia, memberikan pemahaman tentang dasar neurologis
kreativitas. Neurosains adalah sistim pendidikan baru yang mempelajari tentang sistim kerja
syaraf. Pendidik umumnya jarang memperhatikan permasalahan ini. Pengabaian terhadap
sistem ini menyebabkan suasana pembelajaran menjadi mati. tugas utama dari neurosains
adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam
otaknya.
Neurosains memiliki aplikasi luas dalam berbagai bidang, termasuk ilmu kognitif,
psikologi, neurologi, psikiatri, pendidikan, dan banyak lagi. Dalam konteks merangsang
kreativitas anak usia dini, neurosains membantu kita memahami dasar neurologis kreativitas,
seperti bagaimana otak memproses informasi, bagaimana hubungan antara area otak tertentu
dengan proses kreatif, dan bagaimana faktor lingkungan dan stimulasi dapat mempengaruhi
perkembangan kreativitas anak.
Sedangkan spiritualitas adalah dimensi kehidupan yang melibatkan hubungan
individu dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, seperti Tuhan, alam semesta,
nilai-nilai, atau kekuatan yang bersifat transenden. Hal ini melibatkan eksplorasi nilai-nilai,
tujuan hidup, makna eksistensial, dan pemahaman tentang diri sendiri serta hubungannya
dengan yang lebih besar. Spiritualitas dapat menjadi dasar untuk memperdalam pemahaman
tentang diri, mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan, dan mengeksplorasi aspek
batiniah yang lebih dalam.
kesehatan spiritual melibatkan dimensi batiniah dalam kehidupan individu.
Pemahaman tentang nilai-nilai, tujuan hidup, dan koneksi dengan yang lebih besar dari diri
sendiri, seperti nilai-nilai moral, etika, dan sikap positif terhadap kehidupan, menjadi penting
dalam merangsang kreativitas anak. Kesehatan spiritual memberikan dasar nilai-nilai yang kuat
dan membantu anak dalam mengembangkan sikap empati, toleransi, dan pemahaman diri yang
mendalam.
Integrasi antara neurosains dan kesehatan spiritual menjadi relevan dalam konteks
pembelajaran anak usia dini. Dengan memadukan pemahaman tentang dasar neurologis
kreativitas dan aspek spiritual dalam pendekatan pembelajaran, pendidik dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung pengembangan kreativitas anak secara menyeluruh. Pendekatan
ini melibatkan stimulasi yang tepat bagi perkembangan otak anak, serta pengenalan nilai-nilai
dan praktik spiritual yang membantu anak dalam menggali potensi kreatif mereka.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka terdapat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemahaman pendidik tentang pengaruh neurosains dan kesehatan
spiritual dalam merangsang kreativitas pada anak usia dini (PAUD)?
2. Bagaimana pengaruh neurosains dan kesehatan spiritual dalam merangsang
kreativitas pada anak usia dini (PAUD)?
3. Bagaimana perbedaan individu yang masuk lembaga PAUD dalam struktur dan
fungsi otak dapat mempengaruhi kemampuan belajar, memori, dan kreativitas?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman mengenai pengaruh


neurosains dan kesehatan spiritual dalam merangsang kreativitas anak usia dini (PAUD).
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Mengetahui pemahaman pendidik tentang pengaruh neurosains dan kesehatan
spiritual dalam merangsang kreativitas anak usia dini (PAUD).
2. Mengetahui pengaruh neurosains dan kesehatan spiritual dalam merangsang
kreativitas anak usia dini (PAUD).
3. Mengetahui perbedaan individu yang masuk lembaga PAUD dalam struktur dan
fungsi otak dapat mempengaruhi kemampuan belajar, memori, dan kreativitas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Neurosains


2.1.1 Pengertian Neurosains
Neurosains adalah sistem ilmu baru yang mempelajari tentang sistem kerja
syaraf. Neurosains secara etimologi adalah ilmu neural (neural science) yang
mempelajari sistem syaraf, terutama mempelajari neuron atau sel syaraf dengan
pendekatan multidisipliner. (Taufik Paisak 132:2012)
Neurosains dari kata neuro (sistem syaraf) dan science (Ilmu). Jadi, neurosains
adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dengan memeberi perhatian
pada sistem syaraf otak. Secara terminologi, neurosains merupakan bidang ilmu yang
mengkhususkan pada studi saintifik terhadap sistem syaraf. Atas dasar ini, neurosains
juga disebut ilmu yang mempelajari otak dan seluruh fungsi syaraf belakang.
Neurosains adalah sistem pendidikan baru yang mempelajari tentang sistem
kerja syaraf. Pendidik umumnya jarang memperhatikan permasalahan ini. Pengabaian
terhadap sistem ini menyebabkan suasana pembelajaran menjadi mati. Di dalam dunia
pendidikan, setelah para peneliti meneliti neurosains, muncul perdebatan dua kubu,
memisahkan dan menyatukan tiga elemen (otak-pikiran, jiwa-badan, akal-hati) belum
menemukan titik temu.
Kebanyakan sistem melarang peserta didik untuk memakai otak-pikiran dalam
pembelajaran yang selama ini peserta didik hanya dituntut untuk menjaga kemuliaan
hati dan akhlak mulia. Sistem dan obyek tidak mampu berjalan sempurna tanpa ada
subyek. Subyek di sini adalah pendidik yang memahami sistem pembelajaran yang
dilakukan. Semakin memahami pembelajaran neurosains maka tujuan pendidikan akan
sampai, sebaliknya tidak memahami pembelajaran neurosains maka tujuan tidak akan
sampai.
2.1.2 Tujuan Neurosains
Fokus utama ilmu ini adalah mempelajari dasar biologis setiap perilaku, yang
berarti tugas utama neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia melalui aktivitas
yang terjadi di dalam otaknya. Penelitian terbaru di neurosains telah menemukan bukti
penting tentang hubungan tak terpisahkan antara otak dan perilaku manusia atau
karakternya. Menggunakan instrumen Positron Emission Tomography (PET),
diketahui bahwa ada enam sistem otak yang bekerja bersama-sama untuk mengatur
semua perilaku manusia. Sistem-sistem otak tersebut meliputi cortex prefrontalis,
sistem limbik, gyros cingulatus, ganglia basalis, lobus temporalis, dan cerebellum.
Enam sistem otak tersebut memiliki peran penting dalam mengatur kognisi,
afeksi, dan psikomotorik, termasuk IQ, EQ, dan SQ. Memisahkan tubuh, jiwa, dan akal
berimplikasi pada pengembangan ketiga aspek tersebut (IQ, EQ, dan SQ), yang secara
otomatis menyebabkan ketidakseimbangan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik dalam pembelajaran.
Bukti ilmiah ini menginspirasi pendidikan karakter untuk mengembangkan
potensi otak, karena semua sistem dalam otak bekerja bersama-sama untuk membentuk
sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, mengatur kinerja otak secara normal akan
menghasilkan fungsi optimal sehingga perilaku dapat dikendalikan secara sadar dengan
melibatkan dimensi emosional dan spiritual.
Dengan demikian, pendidikan karakter dapat dijelaskan melalui mekanisme
kerja otak pada tingkat molekuler, terutama melibatkan enam sistem yang telah
disebutkan di atas. Berdasarkan ini, neurosains, yang juga dikenal sebagai ilmu yang
menghubungkan antara otak dan pikiran (brain-mind connection) atau jiwa dan badan,
termasuk hati dan akal.

2.1.3 Ruang Lingkup Neurosains


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, neurosains merupakan ilmu yang
mempelajari manusia secara menyeluruh atau secara interdisipliner. Neurosains
memiliki beberapa dimensi, antara lain:
a. Dimensi Seluler-Molekuler
Dimensi ini mempelajari berbagai jenis sel saraf dan bagaimana mereka
berfungsi secara spesifik untuk menghasilkan perilaku kompleks seperti emosi,
kognisi, dan tindakan. Secara singkat, ketiga aspek tersebut, yaitu emosi, rasio, dan
tindakan, saling terhubung dalam jaringan saraf yang berhubungan dengan akal
sehat, dan hal ini menghasilkan pengetahuan dan tindakan.
b. Dimensi Sistem Saraf
Bidang ini mempelajari sel-sel saraf yang memiliki fungsi yang serupa dalam
sebuah sistem yang kompleks. Sebagai contoh, masalah penglihatan dipelajari
dalam "sistem visual", masalah gerakan dipelajari dalam "sistem isotonik" atau
sistem kinestetik, masalah pendengaran dipelajari dalam "sistem auditori", dan
seterusnya.
c. Dimensi Neurosains Perilaku
Dimensi neurosains perilaku mempelajari bagaimana berbagai sistem saraf
yang telah disebutkan sebelumnya bekerja bersama untuk menghasilkan perilaku
tertentu. Misalnya, bagaimana saraf visual, saraf auditori, dan saraf motorik bekerja
secara simultan dalam memproses informasi (materi pelajaran), meskipun hanya
salah satunya yang dominan.
d. Dimensi Neurosains Sosial (Sosiosains)
Bidang ini mempelajari peran "otak sosial" manusia dalam membantu manusia
membentuk hubungan dengan orang lain. Kemampuan manusia untuk menjalin
hubungan dengan orang lain memiliki dasar biologis dalam otak, meskipun tidak
terlokalisasi secara jelas. Komponen lobus frontal, seperti cortex prefrontal, cortex
orbitofrontal, dan cortex ventromedial, merupakan komponen utama yang
bertanggung jawab atas hal ini.
2.2 Definisi Kesehatan Spiritual
Spiritual dapat memberikan keyakinan terhadap individu yang mampu memberikan arti
pentingnya hidup serta dapat membuka luas tujuan hidup seseorang. Spiritualitas ialah
mempercayai terhadap Tuhan, contohnya seperti seorang Muslim yang mengimani Allah
sebagai pencipta seluruh yang ada di alam semesta ini. Spiritualitas mempunyai hubungan
antara manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan alat atau instrumen seperti rukun
iman dan rukun islam.
Menurut Hamid Spiritual merupakan hal yang dirasakan oleh diri sendiri dengan
lingkungan sekitar, hal tersebut berupa sikap empati terhadap individu lain, baik, tidak
sombong, menghormati, dan menghargai pendapat orang lain agar terjalin hubungan baik
dengan seseorang.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa memiliki kesehatan spiritual yang baik
dapat memunculkan kebaikan-kebaikan antar individu Hal ini mencakup sikap empati
terhadap individu lain, perilaku yang baik, ketidak sombongan, penghormatan, dan
penghargaan terhadap pendapat orang lain.
Dalam konteks ini, spiritualitas tidak hanya terkait dengan dimensi pribadi, tetapi juga
mencakup aspek hubungan sosial. Dengan memiliki sikap empati, menghormati, dan
menghargai pendapat orang lain, individu dapat memperkuat hubungan dengan orang lain
dan menciptakan lingkungan yang saling mendukung.
Pentingnya spiritualitas dalam konteks ini adalah untuk menciptakan keseimbangan
antara kebutuhan individu dan kepentingan orang lain, serta untuk membentuk interaksi
sosial yang positif. Sikap spiritual yang ditunjukkan oleh individu dapat membantu dalam
membangun hubungan yang sehat, saling pengertian, dan saling menghargai dengan orang
lain.
2.3 Definisi Kreativitas
Kreativitas belajar seringkali dianggap sebagai sesuatu ketrampilan yang didasarkan
pada bakat alam, dimana hanya mereka yang berbakat saja yang bisa menjadi kreatif.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, walaupun dalam kenyataannya terlihat bahwa
orang tertentu memiliki kemampuan untuk menciptakan ide baru dengan cepat dan
beragam. Sesungguhnya kemampuan berpikir kreatif pada dasarnya dimiliki semua orang.
Menurut Munandar kreativitas sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru, sebagai kemampuan untuk memberi gagasan baru yang dapat diterapkan dalam
pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan baru antara unsur
yang sudah ada sebelumnya
Kreativitas seseorang dapat dilihat dari tingkah laku atau kegiatannya yang kreatif.
Menurut Slameto bahwa yang penting dalam kreativitas bukanlah penemuan sesuatu yang
belum pernah diketahui orang sebelumnya, melainkan bahwa produk kreativitas
merupakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang
baru bagi orang lain atau dunia pada umumnya.
Berdasarkan beberapa definisi yang diuraikan, disimpulkan bahwa kreativitas
merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode ataupun
produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, fleksibel, suksesi, dan diskontinuitas,
yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan suatu masalah. Jadi kreativitas
merupakan bagian dari usaha seseorang. Kreativitas akan menjadi seni ketika seseorang
melakulan kegiatan.
2.4 Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Definisi anak usia dini yang dikemukakan oleh NAEYC (National Assosiation
Education For Young Children) adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia
antara 0-8 tahun. Anak usia dini merupakan sekelompok anak yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan.
Pada usia 0-8 tahun, para ahli menyebutkan sebagai masa emas (Golden Age) yang
terjadi hanya satu kali dalam perkembangan kehidupan anak. Pertumbuhan dan
perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada fisik, kognitif, sosial emosional, bahasa,
dan kreativitas yang seimbang sebagai peletak dasar yang tepat guna pembentukan pribadi
anak yang utuh.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Neurosains Dan Kesehatan Spiritual Dalam Merangsang Kreativitas Pada Anak
Usia Dini (PAUD)
PAUD merupakan tempat anak-anak belajar mengembangkan berbagai macam
aspek perkembangan yang ada pada dirinya, yang salah satunya adalah
mengembangkan kemandirian. Perlu disadari bahwa hasil yang diharapkan dari PAUD
bagi anak-anak adalah tidak sekadar menyediakan tempat bermain. Satu hal yang juga
diharapkan adalah proses internalisasi nilai yang menuju kepada kemampuan mengurus
dirinya sendiri atau yang dikenal dengan istilah kemampuan otonomi.
Sejalan dengan ciri khas periode ini sebagai sebuah masa bermain, hampir seluruh
kegiatan pada usia prasekolah perlu melibatkan unsur bermain. Melalui kegiatan
bemain anak belajar mengembangkan kemampuan untuk mengolah diri dan teman
bermain dalam konteks interaksi sosial.
Dalam proses pembelajaran di insitusi prasekolah, yang harus dilakukan pendidik
adalah memberikan lingkungan dan stimulasi yang cocok untuk memenuhi kebutuhan
anak didik sesuai dengan karakteristik perkembangannya. Walaupun anak memiliki
keunikan masing-masing disertai latar belakang yang berbeda, pendidik perlu
memberikan metode pembelajaran yang variatif, sehingga suasana belajar menjadi
“hidup”. Hal ini juga untuk memfasilitasi setiap perbedaan yang ada pada anak. Dengan
landasan pemikiran tersebut pendidik harus mendasarkan diri pada suatu pedoman
pendidikan yang tepat untuk anak didik.
Temuan di bidang psikologi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara anak-anak yang masuk di lembaga PAUD dengan yang tidak
mengikuti pendidikan dini. Setidaknya terdapat tiga perbedaan mencolok antara anak-
anak yang masuk di lembaga PAUD dengan yang tidak.
Temuan pertama menyatakan bahwa lingkungan pada tahun-tahun permulaan anak
(0-6 tahun) akan memberikan efek belajar yang lama (long-term effects). Artinya, anak-
anak yang belajar pada masa ini akan mengingat dalam jangka waktu panjang, hingga
usia dewasa kelak. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan pepatah yang menyatakan
bahwa “Belajar di usia belia bagaikan mengukir di atas batu”
Temuan kedua mengungkapkan bahwa sekitar 70% sikap intelektual
(intellectual attitude) yang diukur melalui tes IQ dan sekitar 50% keterampilan
membaca (reading skill) orang dewasa terbina antara umur empat tahun dan sembilan
tahun.
Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan IQ anak dapat dipacu pada usia dini.
Oleh karena itu, kecerdasan intelektual bukanlah “pemberian tuhan” yang tidak boleh
diganggu gugat, melainkan proses berkembang yang tiada henti, dan perkembangan
kecerdasan IQ tersebut memuncak pada usia dini.
Temuan ketiga, riset yang dilakukan Piaget mencatat bahwa sistem kognitif dan
proses intelektual (intellectual processing) pada anak sangat berbeda jika dibandingkan
dengan anak yang lebih tua terlebih lagi orang dewasa. Banyak perubahan-perubahan
terjadi selama melewati akhir masa anak dan remaja, ikut berkontribusi dalam pola
perkembangan individu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
anak yang mengalami perkembangan sosial dan akademik secara baik akan berperilaku
dan bertindak secara baik pula pada akhir masa anak-anak, bahkan ketika dewasa dan
usia tua.
Dalam satu kelas, hanya 10%-30% anak yang belajar, dan anak-anak yang lain
beraktivitas sendiri dan sulit dikontrol. Dari 10%-30% tersebut, mereka belajar dengan
cara yang kurang baik karena hanya ingin membahagiakan orangtua dan melaksanakan
tugas/perintah guru. Untuk itu, diperlukan stimulasi sosial agar anak mengalami
perkembangan sosial yang baik pula. Stimulasi sosial, termasuk stimulasi yang lain,
adalah cara yang paling efektif diberikan oleh lembaga PAUD.
Senada dengan penelitian di bidang psikologi tersebut, penelitian di bidang
neurosains yang dilakukan oleh Osbon, White, dan Bloom menyatakan bahwa
perkembangan intelektual/kecerdasan anak pada usia 0-4 tahun mencapai 50%, pada
usia 0-8 tahun mencapai 80%, dan pada usia 0-18 tahun mencapai 100%. Selanjutnya,
penelitian itu juga mengukur perkembangan fisik anak yang hasilnya adalah
pertumbuhan fisik pada anak usia 0 tahun mencapai 25%, kemudian pada usia 6 tahun
mencapai 85%, dan pada usia 12 tahun telah final mencapai 100%.
Dengan demikian, terdapat korelasi atau hubungan yang erat antara
pembelajaran dan cara kerja otak. Semakin luas dan mendalam pendidik (guru)
memahami cara kerja otak, semakin mudah ia menumbuhkembangkan seluruh potensi
peserta didik. Sebaliknya, semakin tabu pendidik terhadap cara kerja otak, semakin
keliru ia menyelenggarakan pembelajaran.
Suatu hal yang perlu diingat adalah otak setiap anak berbeda-beda. Jika dalam
satu kelas terdapat 20 anak maka terdapat 20 cara belajar. Inilah sebabnya, mengapa
tidak ada anak yang sama di dunia ini, termasuk anak kembar sekalipun.
Konsekuensinya, guru harus memahami cara belajar semua anak sehingga seluruh
potensi setiap anak dapat ditumbuh-kembangkan. Memang hal ini tidak mudah, tetapi
dengan pengetahuan yang cukup tentang neurosains, hal itu akan lebih mudah
diwujudkan.
3.2 Neurosains dalam Pembelajaran Anak Usia Dini (PAUD)
Sejak penemuan-penemuan di bidang neurosains dipublikasikan, terutama
informasi tentang perkembangan otak anak, sektor pendidikan anak usia dini (PAUD)
di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Temuan-temuan dalam neurosains juga
telah membawa para psikolog pada kesimpulan bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan
periode yang sangat penting. Psikolog terkemuka, Howard Gardner, menyatakan
bahwa anak-anak pada usia lima tahun pertama cenderung mencapai keberhasilan
dalam belajar tentang segala hal.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Deborah Stipek (dalam Adi W.
Gunawan, 2003), yang menyebutkan bahwa anak usia enam atau tujuh tahun memiliki
harapan yang tinggi untuk berhasil dalam mempelajari segala hal, meskipun praktiknya
sering kali tidak sempurna.
Setidaknya terdapat tiga perbedaan mencolok antara anak-anak yang masuk di
lembaga PAUD dengan yang tidak. Tiga perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
• Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Hunt sebagaimana dikutip Aswardi
Sudjud, menyatakan bahwa lingkungan pada usia golden age anak (0-6 tahun)
akan memberikan efek belajar yang lama (long-term effects).
• Kedua, Bloom sebagaimana dikutip Aswardi Sudjud menganalisis studi-studi
terdahulu tentang belajar yang sudah dipublikasikan, kemudian dikonklusikan
dan hasilnya menyatakan bahwa sekitar 70% sikap intelektual (intelectual
attitude) yang diukur melalui tes IQ dan sekitar 50 persen keterampilan
membaca (reading skill) orang dewasa terbina antara umur 4 tahun dan 9 tahun.
• Ketiga, riset yang dilakukan oleh Piaget mencatat bahwa sistem kognitif dan
proses intelektual (intellectual proccessing) pada anak-anak sangat berbeda jika
dibandingkan dengan anak yang lebih tua terlebih lagi orang dewasa.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki peran yang signifikan dalam
mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, termasuk kemandirian dan
internalisasi nilai-nilai. Pada usia prasekolah, kegiatan bermain menjadi bagian integral
dalam pengembangan anak, membantu mereka belajar mengolah diri dan berinteraksi
secara sosial dengan teman sebaya.
Temuan di bidang psikologi menunjukkan bahwa lingkungan pada masa golden
age anak (0-6 tahun) memiliki efek belajar yang berkesinambungan, yang akan terbawa
hingga usia dewasa. Selain itu, kecerdasan intelektual anak dapat dipacu pada usia dini,
dan puncak kecerdasan IQ terjadi pada periode ini. Riset juga menunjukkan bahwa sistem
kognitif dan proses intelektual anak pada usia dini berbeda dengan anak yang lebih tua
atau orang dewasa.
Oleh karena itu, pendidik perlu menyediakan metode pembelajaran yang variatif
untuk memenuhi kebutuhan anak didik, sambil memberikan stimulasi sosial yang efektif
melalui lembaga PAUD. Pemahaman tentang cara kerja otak anak juga penting bagi
pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, mengingat setiap
anak memiliki cara belajar yang unik.
Dengan memahami hal ini, pendidik dapat menciptakan lingkungan belajar yang
hidup dan memfasilitasi perkembangan sosial dan akademik yang baik pada masa anak-
anak dan bahkan hingga usia dewasa.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, penemuan-penemuan dalam bidang
neurosains telah memberikan dampak positif yang signifikan. Informasi mengenai
perkembangan otak anak telah mendorong pertumbuhan pesat sektor PAUD di Indonesia.
Para ahli psikologi, seperti Howard Gardner dan Deborah Stipek, menekankan
pentingnya usia dini sebagai periode kritis dalam belajar. Anak-anak pada usia lima tahun
pertama cenderung mencapai keberhasilan dalam mempelajari berbagai hal, meskipun
praktiknya tidak selalu sempurna.

Penelitian dalam neurosains juga mengungkap perbedaan mencolok antara anak-


anak yang mengikuti pendidikan di lembaga PAUD dan yang tidak. Lingkungan pada usia
emas anak (0-6 tahun) memiliki efek belajar yang berkelanjutan, mempengaruhi ingatan
anak hingga usia dewasa. Lebih lanjut, sekitar 70% sikap intelektual dan 50%
keterampilan membaca orang dewasa terbentuk antara usia 4 hingga 9 tahun. Selain itu,
sistem kognitif dan proses intelektual anak pada usia dini berbeda dengan anak yang lebih
tua atau orang dewasa.
Dalam rangka memaksimalkan potensi peserta didik, pendidik perlu memahami
cara kerja otak anak dan menyediakan metode pembelajaran yang bervariasi. Setiap anak
memiliki cara belajar yang berbeda, sehingga pendidik harus memahami dan
mengakomodasi perbedaan tersebut.
Melalui stimulasi sosial yang efektif yang diberikan di lembaga PAUD, anak-anak
dapat mengalami perkembangan sosial yang baik. Pendidik juga perlu memahami bahwa
otak setiap anak unik, sehingga pemahaman tentang neurosains dapat membantu mereka
mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal.
Dalam kesimpulannya, penemuan-penemuan dalam neurosains telah memberikan
landasan ilmiah yang kuat bagi pendidikan anak usia dini. Melalui pemahaman tentang
cara kerja otak anak dan penerapan metode pembelajaran yang tepat, pendidik dapat
menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteristik perkembangan anak.
Dengan demikian, anak-anak dapat mengalami pertumbuhan yang holistik, baik secara
sosial maupun intelektual, selama masa prasekolah mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Asrori. (2020). Psikologi Pendidikan pendekatan Multidisipliner. Purwokerto: pena persada.


Wathon, A. (n.d.). Nurosains dalam Pendidikan. lentera, 138-144.
Sousa, D. A. (2012). Bagaimana Otak Belajar. Jakarta : Index.
Abdul Muhid, N. F. (2013). Psikologi Umum. Surabaya: Mitra Media.
Dr. Zubaedi, M. M. (2017). Stratei Taktis Pendidikan Karakter (Untuk Paud dan sekolah).
Jakarta: Rajawali Pers.
Lampung, U. N. (n.d.). Definisi Kreatifitas . Pendidikan, 16-20.
Widyatami, F. (2019). Turut Belajar dan Mendidik. Nusa Tenggara Timur: Ruteng.
P, A. T. (2014). Gambaran Pemenuhan Spiritual pada Lanjut Usia. Jurnal Ners dan Kebidanan,
I, 236-239.
Suyadi. (2010). Psikologi Belajar Pendidikan Anak Usia. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani.
Santoso, S. (2011). Dasar-Dasar Pendidikan TK. Jakarta: Universitas Terbuka.
Priyanto, A. (2014, november). Pengembangan Kreatifitas Anak Usia Dini Melalui Aktivitas
Bermain. Jurnal Ilmiah, 42.

Anda mungkin juga menyukai