Anda di halaman 1dari 17

Aplikasi Teori Belajar Neurosains Terhadap

Pembelajaran Pada Siswa SD

Mata Kuliah Teori dan Psikologi Belajar Anak


Semester Ganjil Tahun Akademik 2021/2022
Dosen Pengampu Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si

Disusun Oleh :
Sri Margiani (21112251045)
Marlita Diah Milaningsih (21112251057)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori Belajar Neurosains
Terhadap Pembelajaran Pada Siswa SD”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Teori dan Psikologi Belajar Anak pada semester
ganjil tahun akademik 2021/2022. Makalah ini memaparkan mengenai konsep
dasar teori belajar neurosains, analisis kritis teori belajar neurosains dan teori
belajar neurosains terhadap pembelajaran pada siswa SD. Kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si karena telah membantu dan
memberikan saran kepada kami dalam menulis makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai apa saja konsep dasar teori belajar neurosains,
analisis kritis teori belajar neurosains dan teori belajar neurosains terhadap
pembelajaran pada siswa SD. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyusunan
maupun materinya. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang
membangun untuk penyempurnaan pembuatan makalah ini

Indonesia, 10 September 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………i


DAFTAR ISI ……..………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 2
C. Tujuan ……………………………….……………………………………2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Teori Belajar Neurosains ……………………………….. 3


B. Analisis Kritis Teori Belajar Neurosains ………………………………. 4
C. Teori Belajar Neurosains Terhadap Pembelajaran pada Siswa SD…….. 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………… 12
B. Saran ………………………………………………………………...… 12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengakomodasi
kebutuhan siswa dan mengoptimalkan kemampuan siswa. untuk menuju tujuan
tersebut perlu diketahui bahwa yang mendukung keberhasilan belajar siswa ada
pada faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal tersebut
meliputi kesehatan siswa, intelegensi dan bakat, motivasi dan cara belajar.
sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan baik keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Faktor-faktor internal tersebut sangat bergantung pada
kondisi fisik dan psikis tubuh siswa terutamanya kondisi otak siswa sebagai
sistem syaraf pusat. Sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang yang bertugas untu mengendalikan perilaku-perilaku sadar manusia.

Peranan otak dalam pembelajaran semakin disadari kegunaannya


belakangan ini. Para guru perlu memperhatikan peran otak dikarenakan urusan
para guru yang berkaitan dalam pembelajaran dan pembelajaran itu terjadi di otak
Namun, penelitian terhadap otak kaitannya dalam pembelajaran masih kurang
optimal karena lebih dicurahkan pada topik topik disfungsi otak. Pada beberapa
permasalahan teori belajar neuroscience relevan dengan pendidikan karena para
pendidik menjumpai para siswa yang memiliki kelemahan dalam belajar
disebabkan karena perkembangan otak anak.

Teori belajar neuroscience adalah bidang kajian neuroscience yang fokus


untuk mengkaji konsep pendidikan dari perspektif sistem kerja otak. Para guru
dan orang tua ternyata masih jarang memperhatikan bidang kajian ini sehingga
menyebabkan munculnya suasana pembelajaran yang pasif dan tidak optimal
dalam merangsang sel-sel saraf di dalam otak manusia. Pola pendidikan yang
dijalani saat ini cenderung berfokus ke otak kiri, padahal untuk mejadi pintar otak
kanan harus diberi perkerjaan secara seimbang dengan otak kiri. Memelihara
emosi postif siswa juga merupakan salah satu kunci membangun motivasi belajar
mereka. Jika stimulus hanya dikemas dalam bentuk kata, ia hanya disimpan dalam

1
otak kiri, seharusnya juga perlu dikembangkan dengan otak kanan melalui gambar
visual. Stimulus yang disajikan dalam panduan kata dan gambar akan lebih cepat
terserap dan tersimpan. Inilah yang sangat jarang diketahui oleh guru-guru ketika
mengajar anak didik, guru yang bertahun-tahun mengembangkan pembelajaran
yang terjadi di otak siswa tanpa mengetahui sedikitpun mengenai ilmu otak. Guru
dan orang tua yang seharusnya memiliki pengetahuan dalam dasar biologis anak
agar dapat mendidik dan mengembangkan potensi yang sebenarnya dimiliki anak
serta tidak mendorong anak belajar hanya untuk menyenangkan kehendak
orangtua atau guru. Maka, dalam makalah ini akan dibahas mengenai teori belajar
neurosains secara mendasar dan pengaplikasiannya dalam pembelajaran
khususnya di Sekolah Dasar (SD).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana mengenai konsep dasar teori belajar neurosains?


2. Bagaimana analisis kritis teori belajar neurosains ?
3. Bagaimana teori belajar neurosains terhadap pembelajaran pada siswa SD?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah


sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan konsep dasar teori belajar neurosains


2. Menganalisis secara kritis tentang teori belajar neurosains
3. Mendeskrpsikan penerapan teori belajar neurosains terhadap pembelajaran
pada siswa SD

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Teori Belajar Neurosains


Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang. sistem
saraf pusat merupakan pusat mekanisme dari tubuh yang mengendalikan
perilaku perilaku sadar seperti berfikir dan bertindak. Sistem saraf otonom
mengatur aktivitas aktivitas tidak sadar seperti gerakan-gerakan pada
pencernaan, pernapasan, dan sirkulasi darah. Sistem saraf pusat utamanya
organ otak yang mengatur dan mengendalikan berfikir anak belajar anak.

Neurosains adalah sistem pendidikan baru yang mempelajari tentang


sistim kerja syaraf. Pendidik umumnya jarang memerhatikan permasalahan ini.
Pengabaian terhadap sistem ini menyebabkan suasana pembelajaran menjadi
mati. Neurosains secara etimologi adalah ilmu neural (neural science) yang
mempelajari sistim syaraf, terutama mempelajari neuron atau sel syaraf dengan
pendekatan multidisipliner (Pasiak, 2012). Secara terminologi, neurosains
merupakan bidang ilmu yang mengkhususkan pada studi saintifik terhadap sistem
syaraf. Neurosains juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari otak dan seluruh
fungsi-fungsi syaraf lainnya (Bassett & Sporns, 2017).

Dalam perspektif neurosains, pembelajaran adalah sebuah perubahan daya


penerimaan sel-sel yang dibawa oleh koneksi-koneksi saraf yang dibentuk
diperkuat dan dihubungkan dengan yang lainnya melalui penggunaan koneksi-
koneksi tersebut. Dalam perspektif neurosains kognitif, pembelajaran merupakan
pembentukan dan penguatan koneksi-koneksi saraf yaitu sebuah proses yang
disebut dengan konsolidasi. pengalaman-pengalaman biang berulang membantu
memperkuat koneksi koneksi dan dan membuat tembakan-tembakan dan
transmisi transmisi saraf lebih cepat. faktor-faktor lain yang meningkatkan
konsolidasi adalah organisasi, latihan, penjelasan, an emosi dan pembelajaran.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori belajar neurosains
merupakan teori belajar yang mempelajari otak dan seluruh fungsi-fungsi syaraf
yang berdampak pada proses belajar anak.

3
B. Analisis Kritis Teori Belajar Neurosains

Anak mengalami periode-periode kritis perkembangan otak. Jika


pengalaman tertentu tidak terjadi makan perkembangan anak akan terganggu
bahkan secara permanen. Ada lima aspek perkembangan otak anak yang
mengalami periode kritis diantanya:

a. Perkembangan motorik indrawi

Motorik indrawi meliputi penglihatan, pendengaran dan gerak gerak


motorik berkembang melalui pengalaman-pengalaman yang dialami anak. dengan
menerikan ruang untuk bergerak dapat memberikan stimulasi pada motorik anak.

b. Perkembangan auditori

Masalah dalam perkembangan auditori dapat menyebabkan gangguan


dalam mempelajari bahasa karena penguasaan keterampilan bahasa banyak
tergantung pada kesempatan mereka mendengarkan perkataan perkataan orang
lain dalam lingkungan mereka.

c. Perkembangan Penglihatan

Kepadatan sinaptik dalam sistem visual meningkat pesat termasuk koneksi


saraf yang mengatur persepsi terhadap warna , kedalaman, gerak, dan corak
warna. Perkembangan visual yang baik memerlukan lingkungan yang kaya akan
stimulasi visual dimana anak dapat mengekplorasi objek yang bergerak.

d. Emosi

Emosi terhubung secara menyeluruh dengan proses kognitif dan aktivitas


syaraf. Reaksi-reaksi emosional, terdiri dari empat tahapan yang saling
bersinggungan: kompleks orientasi, integrasi peristiwa emosional, seleksi respon
dan konteks emosional yang berkelanjutan. Kompleks orientasi merupakan
sebuah respons otomatis dimana indivisu mengarahkan perhatian merekan
terhadap sebuah stimulus atau peristiwa dan memobilisasi sumber-sumber untuk
menghadapinya. Dalam tahap integrasi peristiwa emosional, stimulus atau
peristiwa ini diintegrasikan dengan informasi yang ada dalam memori. Tahapan
ketiga yaitu seleksi respon, seorang individu menghubunkan makna kognitif dan

4
stimulus, memadukan makna ini dengan sebuah komponen afektif,
mengidentifikasi Tindakan-tindakan yang memungkinkan dan memilih salah
satunya. Terakhir, tahapan konteks emosional yang berkelanjutan, suasana hati
individu terkait dengan output dati tahapan sebelumnya. Emosi dapat membantu
mengarahkan perhatian yang dibutuhkan dalam pembelajaran.

e. Perkembangan kemampuan berbahasa

Anak-anak yang berkembang secara normal memperlihatkan aktivitas


korteks bilateral dan anterior depan yang luas dan menonjolkan aktivitas otak
belahan kiri dalam daerah otak yang terkait dengan bahasa dan ucapan.
Kemampuan membaca tergantung pada aktivitas anterior dan pada kedua belah
otak. Perkembangan kemampuan bahasa meningkat ketika anak-anak berada
dalam lingkungan yang kaya akan bahasa di mana orang tuanya dan orang lain
disekitarnya berbicara kepada anak-anak. Kemampuan auditori dan visual sangat
menyuplai input bagi perkembangan kemampuan berbahasa.

Perkembangan kemampuan bahasa seharusnya ditunjang dengan


pengajaran yang mengkoordinasikan fungsi-fungsi yaitu pengalaman yang
melibatkan penglihatan pendengaran perkataan dan aktivitas berpikir. Contoh dari
penerapan pengembangan kemampuan berbahasa yaitu itu mendengarkan atau
membaca teks dan menyusun kalimat untuk. menulis

Teori Neurosains dalam pembelajaran

Teori Emosi

Cannon (1927) menyatakan bahwa peranan utama emosi berada di


talamus, yang merupakan bagian inti dari pusat otak. Canon berpendapat bahwa
talamus memberikan respon terhadap stimulus yang membangkitkan emosi
dengan mengirim impuls secara serempak ke korteks cerebral dan ke bagian
tubuh yang lain. Perasaan emosional merupakan akibat keterbangkitan korteks
dan sistem saraf simpatik. Menurut teori ini yang dikembangkan oleh Bard dan
dikenal sebagai teori Cannon Bard, perubahan badani dan pengalaman emosi
terjadi pada saat yang sama.

5
Penelitian berikutnya memperjelas kenyataan bahwa hipotalamus dan
sebagian tertentu dari sistem limbik, bukan talamus, merupakan pusat otak yang
paling banyak terlibat langsung dalam integrasi respons emosional. Impuls dari
kawasan ini dipancarkan ke inti sel dalam batang otak yang mengendalikan
fungsi sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom bekerja secara langsung pada
otot dan organ internal untuk menginisiasi beberapa perubahan badani yang
mencirikan emosi dan bekerja secara tidak langsung dengan merangsang hormon
adrenal untuk menimbulkan perubahan badani lainnya.

Emosi bukan peristiwa sesaat, tetapi pengalaman yang terjadi selama


beberapa saat. Pengalaman emosional dapat ditimbulkan oleh masukan eksternal
pada sistem sensoris, kita melihat atau mendengar stimulus yang membangkitkan
emosi. Tetapi sistem saraf otonom menjadi aktif segera setelah itu, sehingga
umpan balik dari perubahan badani menambah pengalaman emosional. Jadi,
pengalaman sadar kita tentang emosi melibatkan integrasi informasi tentang
keadaan fisiologis tubuh dan informasi tentang situasi yang membangkitkan
emosi.

Bentuk-bentuk emosi ada tiga aspek, yaitu: 1) aspek kognisi, 2)


kesigapan, 3) perasaan. Penilaian seseorang terhadap situasi yang
membangkitkan emosi merupakan faktor penentu respons emosional yang
penting. Schachter (1971) yakin bahwa emosi merupakan fungsi interaksi
faktor kognitif dan keadaan keterbangkitan fisiologis. Teori kognitif fisiologis
tentang emosi mengemukakan bahwa umpan balik ke otak dari aktivitas
fisiologis menimbulkan keadaan keterbangkitan yang tidak berbeda, tetapi
emosi yang dirasakan ditentukan oleh “label” yang diberikan orang pada
keadaan keterbangkitan itu. Penentuan label merupakan proses kognitif, individu
menggunakan informasi dari pengalaman masa lampau dan
persepsinya tentang keadaan saat ini untuk menginterpretasi
perasaannya. Interpretasi ini akan menentukan label yang mereka gunakan
untuk memberikan keadaan emosional mereka. Kesigapan untuk melakukan
tindakan bergantung pada sistem saraf autonom yang memiliki dua percabangan,
sistem saraf simpatetik dan parasimpatik. Sistem saraf simpatetik
mempersiapkan tubuh untuk respons yang singkat, intens dan “melawan atau

6
melarikan diri” yang penuh semangat. Sistem saraf parasimpatetik
meningkatkan pencernaan dan proses lain yang bertujuan mengonservasi energi
serta menyiapkan diri untuk persiapan selanjutnya. Akan tetapi tiap situasi
memerlukan pembangkitan sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik dengan
campuran yang unik.

Amygdala

Amygdala adalah struktur dalam sistem saraf berbentuk seperti


almonds yang terletak di dasar lobus temporalis. Amygdala merupakan bagian
dari sistem limbik yang terlibat dalam pengalaman emosional dan fungsi
seksual. Struktur ini berperan dalam ingatan yang bersifat emosional dan
terbentuk dari sebuah nukleus atau kluster badan sel.

Amygdala tumbuh dan mencapai puncak perkembangannya sebelum usia


4 tahun. Karena itu pada anak-anak di bawah 4 tahun, sensasi dan rangsangan
yang paling cepat ditangkap, dikonsilidasi dan disimpan adalah sensasi-
sensasi yang bersifat emosional. Pengalaman-pengalaman emosional
pada anak usia ini merupakan pengalaman hidup yang terpatri kuat.
Pengalaman atau pelajaran pada usia ini akan berdampak lebih kuat jika
diberikan dengan nuasa emosi yang tinggi, misalnya melalui bermain. Amygdala
menyimpan memori tentang peristiwa emosional, menerima input dari sistem
visual, auditif dan pencernaan, termasuk bagian otak yang mengenal rasa dan
sentuhan. Amygdala adalah peran stimulasi, regulasi, emosi dan respon
emosional terhadap informasi sensor serta mengevaluasinya dengan cepat dalam
menentukan nilai emosionalnya serta mengambil keputusan terhadap kejadian
tertentu. Jadi amygdala adalah struktur yang menghubungkan antara
emosional dan rasio atau kesadaran emosional (emotional awareness). Sebagai
contoh, apabila kita menghadapi rasa takut maka hal ini adalah suatu komponen
dari kondisi emosional yang cirinya adalah kondisi tergerak (a state of being
moved). Komponen emosi lainnya adalah kesadaran (awareness) yang
dirasakan. “Emotional awareness” kemudian timbul untuk menentukan tindakan
yang diambilnya terhadap rasa takut tersebut.

Joseph Le Doux (1996) dalam buku The Emosional Brain menulis bahwa sistem

7
emosional utama yaitu rasa takut mencakup amygdala dan bagian frontal dari
korteks singulat (cingulater cortex, yaitu struktur setengah lengkung yang
melingkupi bagian tengah otak atau daerah limbik melalui jalur neuron,
visual dan auditif yang mengait langsung ke struktur yang berbentuk almond
tersebut). Struktur ini ditemukan di setiap belahan bagian tengah
otak. Amygdala mengirimkan serabut ke hipotalamus dan batang otak,
tempat pernafasan, keringat, denyut jantung, pembuluh darah dan tonus otak
dikendalikan.

Belahan otak kiri dan otak kanan

Hipotesis lain mengemukakan kaitan antara dua belahan dengan


kategori emosi yang berbeda. Menurut Jeffrey Gray (1970), aktivitas belahan
otak kiri terutama lobus frontal dan temporalnya berkaitan dengan sistem aktivasi
perilaku. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan aktivitas (saraf) autonom
dari level rendah hingga tinggi dan kecenderungan untuk mendekat (ke orang
lain) yang dapat mengindikasi kesenangan atau kemarahan. Peningkatan
aktivitas lobus frontal dan temporal belahan otak kanan diasosiasikan
dengan sistem inhibisi perilaku yang meningkatkan perhatian dan
pembangkitan, menginhibisi tindakan dan menstimulasi emosi, antara lain rasa
takut dan muak. Perbedaan antara kedua belahan otak berkaitan dengan
kepribadian. Secara rata- rata, individu yang memiliki aktivasi korteks frontal
lebih tinggi pada belahan otak kiri cenderung lebih bahagia, mudah bergaul dan
lebih suka bersenang-senang. Individu yang memiliki aktivitas korteks frontal
lebih tinggi pada belahan otak kanan cenderung lebih tertutup, tidak puas dengan
hidup dan lebih mudah emosi yang tidak menyenangkan. Belahan otak kanan
lebih responsif terhadap stimulus emosional daripada belahan otak kiri. Sebagai
contoh, mendengar suara tawa atau tangis akan lebih mengaktivasi amygdala
kanan daripada amygdala kiri. Ketika seseorang mengamati wajah, perhatian
yang dicurahkan untuk mengenali ekspresi emosi akan meningkatkan aktivitas
korteks temporal belahan otak kanan.

Teori Triune Brain

8
Teori dari Paul D. Maclean berawal dari hipotesisnya di tahun 1960-an,
seorang Neuroscientist Amerika yang menjelaskan tentang evolusi otak
vertebrata di dalam bukunya The Triune Brain in Evolution (1990). Kajian
Teori Triune ini terus dikembangkan oleh para ahli sampai saat ini.

Berdasarkan teori Triune Brain ini, otak manusia terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu Reptilian Complex (Otak Reptil), Limbic System (sistem
Limbic), dan NeoCortex (Neokorteks). Ketiga lapisan otak tersebut saling
terkait dalam satu organisme menyeluruh dan saling terlibat dalam tugasnya
dengan cara yang rumit, tapi menentukan. Menurut teori ini, lapisan otak
manusia terdiri dari tiga bagian dasar yang berbeda, yaitu otak reptil, sistem
limbik, dan otak neokorteks yang disebut juga dengan otak belajar.

C. Teori Belajar Neurosains Terhadap Pembelajaran Pada Siswa SD

Hasil-hasil penelitian tentang teori belajar neuroscience tersebut tidak


dapat langsung diterapkan ke dalam pembelajaran di ruang kelas karena tentu
saja kondisi variabel di laboratorium berbeda dengan di kelas. Hal tersebut terjadi
karena perilaku dan keterampilan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
kompleks. Jadi perlu adanya penghubung antara neuroscience dengan
penerapannya dalam Pendidikan.

Teori Belajar Neurosains memiliki beberapa pengaruh terhadap paradigma


pendidikan diantaranya:

1. Optimalisasi Kecerdasan, Pendidikan sebaiknya mengembangkan


kecerdasan, bukan hafalan, yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak
yang cerdas meningkatkan kreativitas dan daya cipta baru untuk
menemukan hal yang baru yang tidak pernah terpikirkan.

2. Keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri, Otak kanan dan otak kiri memiliki
fungsi yang berbeda. Otak kanan lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur,
divergen. Otak kiri bersifat linier, teratur, dan konvergen. Pendidikan
hendaknya mengembangkan kedua belahan otak itu secara seimbang.
Pembelajaran yang bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari satu

9
kemungkinan jawaban benar akan mengembangkan kedua belahan otak
tersebut.

3. Keseimbangan Otak Triune, Pendidikan harus mengembangkan secara


seimbang fungsi otak atas, tengah dan bawah (logika, emosi, dan motorik)
yang sering disebut juga head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yaitu mengambangkan manusia yang cerdas,
terampil, dan berakhlak mulia.

4. Pengembangan motorik tangan, Stimluasi melalui motorik tangan perlu


dilakukan sejak dini. Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana
tangan kiri dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak
selayaknya kita melarang anak menggunakan tangan kirinya karena hal itu
justru sedang mengembangkan otak kanannya. (Amelia, R., 2021)

Pendekatan pembelajaran berbasis otak memiliki tujuan untuk upaya dalam


perkembangan otak siswa dengan cara menciptakan lingkungan belajar yang
mendorong siswa aktif, menyenangkan dan bermakna. Berikut ini merupakan
kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan di ruang kelas berdasarkan
penelitian dari penerapan teori belajar :

1. Pembelajaran berbasis masalah

Pembelajaran berbasis masalah mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam


pembelajaran dan meningkatkan keterampilan kerjasama mereka dalam belajar.
Metode ini dilaksanakan dengan pengerjaan proyek -proyek yang tidak memiliki
satu solusi yang benar secara pasti. Siswa yang bekerjasama dalam memecahkan
masalah akan menemukan cara-cara baru dalam memadukan dan menggunakan
pengetahuan, kemudian terbentuklah koneksi-koneksi dalam otak yang baru.

2. Simulasi dan Permainan peran

Baik metode simulasi maupun permainan peran memiliki manfaat motivasional


dan dapat memusatkan perhatian siswa. Metode ini juga membantu siswa untuk
dapat terlibat dengan materi-materi pelajaran secara aktif dan dan melibatkan diri
mereka sendiri secara emosional. secara keseluruhan manfaat ini dapat membantu
mengembangkan pembelajaran.

10
3. Diskusi aktif

Dengan partisipasi dalam diskusi , siswa dihadapkan pada ide-ide baru dan
didorong untuk menggabungkan ide-ide tersebut dengan konsepsi-konsepsi yang
telah mereka miliki. Aktivitas kognitif ini membantu siswa membangun koneksi-
koneksi synaptic dan dan cara-cara baru dalam menggunakan informasi.

4. Tampilan visual
Tampilan-tampilan visual membantu meningkatkan perhatian dalam
pembelajaran. guru yang yang menggunakan tampilan visual dalam aktivitas
mengajar mereka dan dan mengajak para siswanya untuk menggunakan tampilan
visual presentasi PowerPoint demonstrasi gambar peta konsep akan menonjolkan
pengolahan informasi visual dan dan cenderung meningkatkan pembelajaran.
5. Iklim yang positif
Pembelajaran dapat berjalan lebih baik ketika siswa memiliki sikap positif
dan merasa aman secara emosional. Penelitian terhadap otak membuktikan efek-
efek positif yang dinerikan oleh keterlibatan emosional terhadap pembelajaran dan
pembentukan koneksi-koneksi simpatik. Guru yang menciptakan iklim kelas yang
positif akan menemukan bahwa persoalan-persoalan perilaku dapat diminimalkan
dan bahwa siswa menjadi makin terlibat dalam pembelajaran. (Schunk, 2012: 92-
93)

Pengaruh teori belajar neurosains terhadap pembelajaran adalah mampu


membuat pendidik mengarahkan pembelajaran lebih ke kebutuhan kebutuhan
siswa secara spesifik. Aktivitas-aktivitas pembelajaran diarahkan pada
pembelajaran yang menarik keterlibatan para siswa (misalnya diskusi, bermain
peranan) dan mempertahankan kan perhatian mereka (misalnya tampilan-tampilan
visual) cenderung menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.(Schunk, 2012: 97)

Implementasi dari terori belajar neurosains dalam pendidikan dasar telah


mendorong guru dan orang tua untuk menyediakan lingkungan belajar yang sesuai
tahap perkembangan siswa dan dapat mendorong siswa untuk aktif membangun
kemampuannya dengan melakukan berbagai kegiatan yang dapat menstimulasi
otaknya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitaan dari Risky Amelia dkk
dalam Neuroscience Study in Science Development Elementary School bahwa telah

11
menginspirasi praktisi pada sekolah dasar untuk mengembangkan pendekatan
yang memfasilitasi belajar optimal dinamai pembelajaran berbasis otak.

Hal serupa juga disampaikan dari hasil penelitian Alghafri dan Ismail yang
berjudul The effects of neuroscience- and non-neuroscience-based thinking
strategies on primary school students’ thinking mendukung kemampuan berpikir
dan pembelajaran di sekolah dasar dengan menarik prinsip neurosains dalam
strategi yang berfokus dalam kemampuan berpikir. Strategi ini sesuai dengan
semua siswa. Hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi
secara akurat tingkat kemampuan berpikir siswa, memberi saran desain silabus
yang efektif untuk pembelajaran di sekolah dasar dan menyediakan informasi
dalam meningkatkan belajar dan kemampuan berpikir siswa.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa
Konsep pembelajaran dalam perpektif neuroscience adalah pembelajaran yang
memberdayakan kemampuan otak sesuai tahap perkembangannya dan
mengoptimalkan kinerja otak melalui penciptaan lingkungan belajar yang
menantang, menyenangkan, bermakna, dan mendorong siswa menjadi aktif.
Penerapan pandangan teori belajar neurosains berpengaruh terhadap paradigma
pendidikan diantaranya: Optimalisasi Kecerdasan dari berbagai sisi, pembelajarn
diarahkan untuk keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri, Keseimbangan Otak
Triune, dan perlu mengoptimalkan pengembangan motorik tangan. Beberapa
metode yang dapat dilakukan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajarn
berdasarkan penerapan teori belajar neurosains adalah pembelajaran berbasis
masalah, simulasi dan permainan peran, diskusi aktif, tampilan visual dan
menciptakan iklim positif. Implementasi dari terori belajar neurosains dalam
pendidikan dasar telah mendorong guru dan orang tua untuk menyediakan
lingkungan belajar yang sesuai tahap perkembangan siswa dan dapat mendorong
siswa untuk aktif membangun kemampuannya dengan melakukan berbagai
kegiatan yang dapat menstimulasi otaknya.

B. Saran

Sebaiknya sebelum memulai proses pengajaran, guru perlu mempertimbangkan


kompleksitas dari kognisi anak, penilaian terhadap permasalahan tertentu
diperlukan untuk merencanakan pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran
harusnya diarahkan sesuai dengan kebutuhan siswa secara spesifik sehinga siswa
dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan mempertahankan perhatian mereka.

13
Daftar Pustaka

Alghafri , Ismail . (2011). The effects of neuroscience- and non-neuroscience-


based thinking strategies on primary school students’ thinking. Journal Procedia
Social and Behavioral Sciences .15.3291–3298
Amelia, R., Sartono, K.E., Pasani, C.F. (2020) Neuroscience study in science
development Elementary School. Jurnal of Hunan University.48. 80-84
Batubara, H.H., Supena, S. Educational Neuroscience dalam Pendidikan Dasar. Jurnal
Pendidikan Dasar. 141-147
Hengki Wijaya (2018), Pendidikan Neurosains dan Implikasinya Dalam Pendidikan
Masa Kini, diakses dari https://www.researchgate.net/publication/323114055 pada 8
September 2021
Schunk, D.H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective. Teori-Teori
Pembelajaran: Perspektif Pendidikan (Terjemah). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

14

Anda mungkin juga menyukai