Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan salah satu bentuk seni dengan menggunakan media

bahasa. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra lebih dari sekedar

bahasa, deretan kata, namun unsur kelebihannya itu hanya dapat diungkap dan

ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur dominan,

emotif dan bersifat konotatif untuk memenuhi unsur estetis yang ingin diciptakan.

Namun kaum formalitas, kumpulan teoretikus sastra Rusia awal abad 20, menyatakan

bahwa bahasa sastra memiliki deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang

dianggap sebagai proses sastra yang mendasar.

Sastra merupakan wujud gagasan Sesorang melalui pandangan terhadap

lingkungan sosial yang berada disekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah.

Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra

sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar

cerita khayalan atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas

pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.

Karya sastra terdiri dari tiga bentuk yakni puisi, prosa, dan drama. Novel

merupakan sebuah cerita, karena didalamnya terkandung tujuan yang memberikan

hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Membaca novel/karya prosa

fiksi berarti menikmati cerita dan menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.

Melalui sarana cerita yang terdapat dalam novel tersebut pembaca secara tidak langsung

dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang

1
2

secara sengaja oleh pengarang. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui

berbagai unsur instrinsik. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat

mirip dengan dunia yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa didalamnya,

sehingga nampak seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan

karya sastra (novel) hadir. Unsur instrinsik sebuah novel adalah unsur secara langsung

membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur instriksik menjadikan sebuah

novel yang sangat bagus. Kemudian, untuk menghasilkan novel yang bagus juga

diperlukan pengolahan bahasa.

Bahasa dalam karya satra mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah aspek

dari estetika. Keindahan dalam karya seni sastra dibangun oleh seni kata, dan seni kata

atau seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terhujud dari ekspresi jiwa.

Terkait dengan pernyataan tersebut, maka membeca sebuah karya sastra atau buku akan

menerik apabila informasi yang diungkapkan penulis disajikan dengan bahasa yang

mengandung nilai estetik. Sebuah buku sastra atau bacaan yang mengandung nilai

estetik memang dapat membuat pembaca lebih bersemangat dan tertarik untuk

membaca. Apalagi bila penulis menyajikan dengan gaya bahasa unik dan menarik.

Bahasa sangatlah penting dalam proses terciptanya sebuah karya sastra yang

memiliki rasa tinggi. Karya sastra juga harus mempunyai nilai edukatif yang baik,

karena sastra adalah hasil dari perasaan penulisnya. Bahasa dan sastra memiliki

hubungan erat, atau dengan kata lain sastra tidak lepas dari gaya bahasa atau khususnya

gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style dan dalam bahasa Indonesia,

ilmu yang mempelajarinya disebut stilistika.

Gaya bahasa (ilmu stilistika) dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran

melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang, atau
3

pemakai bahasa. Gaya bahasa merupakan salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang

kritik sastra. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-

mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri standar bahasa, gaya adalah cara ekspresi seorang

pengarang dalam mengungkapkan perasaanya dalam bentuk karya. Dengan singkat

stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh

aspek kehidupan manusia. Gaya bahasa Secara praktis, khususnya dalam karya sastra

ruang lingkup stilistika adalah deskripsikan penggunaan bahasa secara khas. Ada tujuh

jenis gaya bahasa, sebagai berikut :

a. Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti: gaya Kespearean, Dantean, Homerik,

dan gaya Miltonik.

b. berdasarkan waktu, hari, dekade, abad, peristiwa sejarah, seperti: gaya pra-

Shakespeare, gaya abad keemasan sastra latin.

c. Gaya bahasa berdasarkan medium bahasa, seperti: gaya bahasa Jerman, gaya bahasa

Prancis.

d. Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti: gaya bahasa resmi, ilmu pengetahuan ,

filsafat, komis, tragis, dan gaya didaktis.

e. Gaya bahasa berdasarkan lokasi atau geografis, seperti: gaya bahasa Urban,

professional, gaya New England.

f. Gaya bahasa bedasarkan audieans,, seperti: gaya bahasa umum, istana,

kekeluargaan, popular, dan gaya bahasa mahasiswa.

g. Gaya bahasa berdasarkan tujuan atau suasanahati, seperti: gaya bahasa sentimental,

sarkastis, diplomatis , dan gaya informasional.

Novel Aurora Di Langit Alengka karya Agus Andoko pertama kali diterbitkan

pada bulan Maret 2013. Sejak kemunculan novel Aurora Di Langit Alengka mendapat
4

tanggapan positif dari penikmat sastra, meskipun novel ini tidak bergitu populer, namun

cerita yang dalam novel ini telah menjadi sebuah lagenda dalam masyrakat khusunya

masyarakat jawa.

Cerita novel Aurora Di Langit Alengka diperoleh dari mengeskplorasi kisah pada

zaman dahulu. Pengerang mengemas novel ini dengan bahasa yang sederhana dan

imajenatif, namun tetap memperhatikan kualitas isi. Dengan membaca novel Aurora Di

Langit Alengka membuat pembaca seolah-olah melihat potret nyata kehidupan

masyarakat jawa. Meskipun kisah yang terjadi dalam novel Aurora Di Langit Alengka

sudah sangat lama, akan tetapi pada kenyataannya kisah tokoh dalam novel tersebut

masih ada di zaman sekarang. Oleh kerena itu penulis berkeinginan untuk meneliti gaya

bahasa tersebut dengan judul ”Analisis Novel Aurora di Langit Alengka Karya Agus

Andoko Bersadarkan Pendekatan Stilistika”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimanakah Stilistika yang digunakan oleh pengarang pada

novel Aurora di Langit Alengka karyaAgus Andoko?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan, antara

lain:

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan tentang stilistika pada

novel Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko.


5

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk memperoleh data dan memperoleh informasi tentang kajian stilistikan

pada novel Aurora di Langit Alengla karyaAgus Andoko.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang stilistika

pada novel Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko. Penelitian ini diharapkan

dapat menambah ilmu pengetahuan dibidang sastra khususnya ilmu stilistika sehingga

menjadi pedoman, dan sumber referensi bagi penelitian yang akan meneliti hal yang

sama, untuk itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoretis

dan praktis.

Adapun manfaat teoretis merupakan manfaat yang berkenaan dengan

pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Stilistika (ilmu tentang gaya

bahasa). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori

linguistik, khususnya stilistika.

Secara praktis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan umum

untuk meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan tentang stilistika yang terdapat

dalam sebuah karya sastra baik itu berbentuk puisi, prosa, maupun drama.

1.5 Anggapan Dasar

Anggapan dasar merupakan dasar pemikiran dari suatu kebenaran yang kemudian

dapat dipertanggung jawabkan oleh seorang peneliti. Anggapan dasar tersebut harus

sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, yang menjadi anggapan dasar dalam

penelitian ini adalah :


6

a. Stilistika (gaya bahasa) merupakan unsur yang terdapat didalam novel.

b. Stilistika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa,

diksi, frasaologi, dan bahasa figuratif.

1.6 Definisi Istilah

a. Stilistika merupakan sebuah kajian terhadap keseluruhan karya sastra khususnya

gaya bahasa yang berpusat kepada penggunaan bahasa dan penyimpangan

bahasanya.

b. Novel adalah suatu karya sastra yang imajenatif atau merupakan cerita rekaan

berbentuk prosa yang isinya menggambarkan berbagai problema kehidupan

secara luas yang sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

c. Analisis merupakn sebuah kegiatan untuk meneliti suatu objek tertentu secara

sistematis, guna mendapatkan informasi mengenai objek tertentu.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Karya Sastra dan Genre Sastra

Karya sastra adalah hasil sastra, baik berupa puisi, prosa maupun lakon. (KBBI,

2005: 511). Menurut Wellek dan Warren (1993:243), salah satu batasan sastra adalah

segala sesuatu yang tertulis. Hal ini sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam

bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa

dalam bentuk tertulis.

Wellek & Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah suatu prinsip

keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau

tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau

susunan sastra tertentu”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa karya-karya

sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan

struktur atau susunan sastra tersebut.

Berkenaan dengan klasifikasi atau pembagian sastra telah begitu banyak kita

kenal. Pembagian itu dimulai dari pembagian secara garis besar atau secara umum

sampai kepada pembagian berdasarkan ciri-ciri khusus suatu karya sastra. Dari

pembagian yang sudah ada kita mengenal bentuk sastra puisi, fiksi, dan drama.

Selanjutnya genre sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas

puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis.

Pembagian sastra atas bentuk puisi fiksi, dan drama disebut dengan “pembagian

pokok”. Prosa fiksi yang terdiri dari tiga species; cerpen, novel, dan roman inilah yang

disebut sebagai “genre”. Wellek dan Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah

7
8

suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan

waktu atau tempat (periode atau pembagiansastra nasional), tetapi berdasarkan tipe

struktur atau susunan sastra. Genre sastra sebagai suatu karya sastra dapat disimpul.kan

bahwakarya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau

kelompokberdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.

2.2 Hakikat Novel dan Bahasa dalam Novel

2.2.1 Hakikat Novel

Pengertian novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh

Tarigan (1984:164) dijelaskan bahwa “novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam

panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang

representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut”. Novel

mempunyai panjang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif.

Novel adalah suatu cerita prosa fiktif yang mempunyai panjang tertentu, di

dalamnya terdapat unsur-unsur intrinsik dan semuanya bersifat imajiner. Meskipun

demikian, di dalam sebuah novel mengangkat sebuah cerita kehidupan yang diidealkan

karena menampilkan kehidupan manusia secara mendalam dan kejadiannya pun luar

biasa, serta disajikan secara halus.

2.2.2 Bahasa Novel

Wujud cipta sastra yang pertama-tama terlihat dari sisi bahannya adalah bahasa.

Bahasa adalah alat utama pengarang untuk menciptakan karya seni yang imajinatif

dengan unsur estetikanya yang dipandang dominan yang kemudian disebut dengan

nama sastra. Bahasa merupakan sarana pengarang agar leluasa dalam mengungkapkan

gagasan, pikiran, dan perasaannya.


9

Penelitian stilistika menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk

mengetahui bagaimana kiat pengarang memanfaatkan kemungkinan yangtersedia dalam

bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik daribahasa. Bunyi bahasa

yang dituturkan pengarang mungkin selalu berubah kadang-kadang secara teratur dan

kadang tidak dengan faktor-faktor pendorong yang bermacam-macam pula. Perubahan

mencakup segala wujudnya yang diatur oleh asas-asas tertentu, baik yang berasaskan

penggantian, penambahan, dan pelenyapan maupun yang berasaskan peloncatan,

penyusutan, dan kombinasi di antara sesamanya (Sudaryanto, 1989:18). Semua bentuk

ekspresi kejiwaan dalam karya sastra khususnya novel, disalurkan melalui bahasa yang

lebih ruwet, membahasakan ekspresi pengarang yang ditujukan kepada pembacanya

misalnya menyakinkan, menyindir, mengkritik, menghibur, dan sebagainya. Seorang

sastrawan, memerlukan kalimat yang sanggup menggugah perasaan yang halus dari

manusia dan peristiwa secara imajinatif maupun pemberian efek emotif bagi

pembacanya. Selanjutnya bahasa di dalam novel juga memperhatikan diksi. Diksi

berasal dari bahasa Latin dicere, dictum yang berarti to say „mengatakan‟. Diksi berarti

pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scoot, 1980:170).

Pemilihan kata dalam novel sangat penting, sebab kata dalam novel mempunyai dua arti

yaitu denotasi dan konotasi. Kata denotasi adalah bahasa yang menunjuk korespondensi

satu satu. Sementara itu, kata konotasi mempunyai arti asosiatif.

2.3 Defenisi Stilistika

Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya

sastradiciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis

memilikicara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya serta gaya bahasa untuk

menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Secara menyeluruh kajian stilistika


10

berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap

bagaimana nilai sebuah karya sastra dalam kehidupan manusia.

Stilistika sering dikaitkan dengan bahasa sastra meskipun Chapma menyatakan

bahwa kajian ini dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa

(Nurgiyantoro, 1995:279). Adapun, Pradopo (2005: 264) mengartikan stilistika sebagai

ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Dengan demikian,pengertian stilistika dalam

penelitian ini dapat dibatasi sebagai kajian terhadap gaya bahasa, khususnya yang

terdapat di dalam karya sastra. Pandangan Pradopo ini tidak berbeda dengan pandangan

Hartoko dan Rahmanto (1986:138) yang menyatakan stilistika sebagai cabang ilmu

sastra yang memiliki style atau gaya bahasa. Pendapat Chapman (Nurgiyantoro,

1995:280) yang menyatakan bahwa analisis stilistika dimaksudkan untuk menentukan

seberapa jauh penyimpanganbahasa yang digunakan pengarang serta bagaimana

pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek estetisnya.

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra.

Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilitika adalah pemakaian bahasa yang

menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut juga bahasa yang khas dalam wacana

sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhadap kaidah

bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, pemakaian unsur-unsur daerah, pemakian

bahasa asing atau unsur-unsur asing yang terdapat dalam karya sastra.

Stilistika sudah mulai dikenalsejak ratusan tahun yang lalu, kata stilistika secara

etimologis berasal dari analisis stilistika dimaksudkan untuk menentukan seberapa jauh

penyimpangan bahasa yangdigunakan pengarang serta bagaimana pengarang

mempergunakan tanda-tanda linguistikuntuk memperoleh efek estetis . Dengan

demikian, stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguitik yang kuat
11

sebab salah satu perhatianutamanya adalah kontras sistem bahasa sastra dengan bahasa

pada zamannya.

Stilistika secaraetimologis berasal dari Bahasa Inggris yang dikenal dengan istilah

stylistic. Kata stylistik berasal dari dua kata, yaitu kata style dan kata istik. Kata style

berarti gaya sedangkan kataistik berarti ilmu. Jadi kata Stylistik dalam bahasa

Inggrisnya dapat diartikan sebagai IlmuGaya (Gaya Bahasa).

Menurut Panuti Sudjiman (1993:3) stilistika mempunyai pengertian sebagai berikut.

Stilistika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji cara sastrawan
memanipulasi, dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapatdalam
bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh pengarang itu. Stilistika juga meneliti
ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan
atau mempertentangkan dengan wacana non sastra, meneliti deviasi terhadap tata
bahasa sebagai sarana literer, Jadi stilistika meneliti fungsi puitik suatu bahasa.

A. Teeuw (2009:34) menegaskan bahwastilistika pada prinsipnya selalu meneliti

pemakaian gaya bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang

penulis aliran sastra dan lain-lain yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau yang

dianggap normal.Stilistika merupakan salah satupendekatan dalam kritik sastra, yaitu

kritik sastra yang menggunakan linguistik sebagai dasar kajian.Kajian stilistika ini

berkaitan dengan bagaimana kata-kata tersebut menimbulkan efek dan makna tertentu.

Analisis stilistika ini merupakan pendekatan struktural, sehingga analisis ini boleh

dimulai dari unsur kebahasaanmanapun.Stilistika dalam kaitannya dengan studi retorika

haruslah merupakansuatu pencarian filosofis tentang bagaimana kata-kata bekerja atau

berpengaruh dalam wacana.

Penyimpangan penggunaan bahasa dalam sastra, menurut Riffaterre (dalam

stilistika prosa, 1978:2) penyimpangn bahasa disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing

of mesning (penggantian arti), distorting of meaning (perusakan atau penyimpangan

arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Sejalan dengan pendapat tersebut para
12

ahli bahasa dan satra menyimpulkan bahwa setiap karya cipta baik itu yang berupa

puisi, prosa dan drama memilki makna yang menyimpang dari segi kebahasaannya.

Kemampuan pengarang memilih bahasa yang akan digunakan untuk menuangkan

ide tahu gagasannya berhububungan dengan gaya penulis. Bahasa merupakan alat yang

digunakan pengarang untuk mengungkapkan kembali pengamatannya terhadap

fenomena kehidupan dalam bentuk cerita. Melalui penggunaan bahasa dalam karya

sastra, alur cerita dapat diidentifikasikan. Dari paparan bahasa dalam teks dapat

diketahui ciri penggunaan bahasa yang lazim disebut gaya bahasa seorang pengarang

yang digunaan untuk menyampaikan gagasannya.

Secara tradisional gaya bahasa dibatasi sebagai majas (trope,figures of speech,),

cara-cara penggunaan bahasa dengan kualitas estetis. Menurut Abrams unsur style atau

gaya bahasa terdiri dari unsur fonologi, sintaksis,leksikal, retorika(retorika yang berupa

karakteristik penggunaan bahasafiguratif,pencitraan, dan sebagainya).Menurut para ahli

yang menalaahteori stilistika berpandapat bahwa unsur style terdiri dari kategori

leksikal, gramatikal,figures of speech, konteks, dan kohesi.

Unsur figuratif (unusr retorika)meliputi pemajasan (bahasa kias), penyiasatan

struktur kalimat, dan pencitraan.Dalam penelitian ini unsur gaya bahasa yang digunakan

adalah unsur retorika. Pembahasan unsur-unsur gaya bahasa yang menjadi objek dalam

penelitian ini adalahunsur retorika yang meliputi pemajasan dan pencitraan.

Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd (dalam

stilistika Prosa, 2009:50) membedakan bahasa figuratif menjadi dua tipe yaitu tropen

dan figure of speechatau rhetorical figure. Kata tropen lebih dahulu populer sampai

abab XVIII. Oleh karena adanya ekses yang terjadi sebelumnya maka tropen dianggap

sebagai penggunaan bahasa indah dan menyesatkan. Oleh Karena itu, pada abab XVIII,
13

istilah itu mulai diganti dengan figure of speech. Bahasa figuratif merupakan bahasa

penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau bahasa standar untuk memperoleh efek

tertentu.Terlepas dari konotasi kedua istilah itu, keduanya dapat digunakan dengan

pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara

emotif dari bahasa biasa. Penyimpangan itu bisa dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata

(3) kontruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah untuk memperoleh

kejalasan, penekanan, hiasan, humor, atau suatu efek pada setiap karya sastra.

2.3.1 Stilistika sebagai Ilmu

Stilistika dapat juga dimasukkan sebagai bidang linguistik terapan. Secara

pengertian luas, stilistika adalah cara untuk mengungkapkan teori dan metodologi

penganalisisan formal sebuah teks sastra. Stilistika ini juga dapat disebut sebagai tempat

pertemuan antara makroanalisis bahasa dan makroanalisis sastra (Soediro dan

Satoto,1995: 36).

Turner (dalam Rahmad Djoko Pradopo, 1993: 2) mengemukakan bahwa stilistika

adalah bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa.

Stilistika berarti studi gaya, yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau

paling sedikit berupa studi yang metodis.

Stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antarabentuk

linguistik dengan fungsi sastra, seperti yang dikemukakan oleh GeoffreyLeech dan

Michael H. Short (1981: 4) bahwa, “Stylistics,...the study of relationbetween linguistics

form and literary function”. Stilistika mengkaji wacanasastra dari orientasi linguistik

dan merupakan pertalian antara linguistik padasatu pihak dan kritik sastra di pihak lain.

Secara morfologis, dapat dikatakanbahwa komponen style berhubungan dengan kritik


14

sastra sedangkan komponenistics berhubungan dengan linguistik. Kridalaksana

(1983:15) mengemukakan bahwa stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidikibahasa

yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antaralinguistik dan

kesusastraan; (2) penerangan linguistik pada penelitian gayabahasa.

Panuti Sudjiman (1993:7) mengungkapkan bahwa medium yang digunakan oleh

pengarang dalam karya sastra adalah bahasa, maka pengamatan bahasa ini pasti akan

mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau

bagian-bagiannya. Kajian ini disebut kajian stilistika. Selain membantu seseorang untuk

menafsirkan makna suatu karya sastra, kajian ini juga membantu bagaimana pengarang

memanfaatkan potensi bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu dalam

pengungkapannya.

2.3.2 Bidang Kajian Stilistika

Bidang kajian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorangpembicara

atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakanbahasa sebagai sarana.

Menurut Panuti Sudjiman (1993:12), style adalah gayabahasa dan gaya bahasa itu

sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, serta matra yang

digunakan seorang pengarang atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Stilistika

dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentu linguistik dengan

fungsi sastra, seperti yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech dan Michael H. Short

(1981:4) bahwa “Stylistics, ... the study of relation between lingistics form and

literaryfunction”.

Gaya bahasa dalam novel terdapat pada berbagai tataran seperti kata, kalimat dan

wacana. Tataran kata misalnya pada pilihan kata-kata arkais, katakata serapan, tataran
15

frasa misalnya personifikasi, tataran kalimat misalnya ironi, dan tataran wacana

misalnya alegori. Selanjutnya Aminuddin (1995:44) menjelaskan bahwa bidang kajian

stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain yang

dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Bidang kajian tersebut terwujud sebagai print-out

ataupun tulisan dalam karya sastra. Secara potensial print-out itu dapat membuahkan 1)

gambaran objek atau peristiwa, 2) gagasan, 3) satuan isi, 4) ideologi yang terkandung

dalam karya sastra.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa bidang kajian stilistika

secara umum membicarakan hal-hal yang mengandung ciri-ciri linguistik. Ciri-ciri

tersebut seperti fonologi, struktur kalimat, ciri makna kata, serta tidak melupakan ciri-

ciri bahasa yang bersifat figuratif.

2.4 Sejarah dan Tokoh Teori Stilistika

Dewasa ini, stilistika telah menjadi sebuah cabang ilmu, yang berasal dari

interdisipliner linguistik dan sastra.Sebelumnya, stilistika belum dikaji secara ilmiah.Di

bawah ini diuraikan sejarah stilistika di Barat dan Indonesia dari zaman klasik hingga

zaman modern.

Sejarah perkembangan stilistika pada umunya mengikuti perekmbangan dunia

Barat, oleh karena itulah, sejarah perekmbangan stilistika dibedakan menjadi dua

macam, pertama yang terjadi di dunia Barat, kedua bagaimana perkembangannya

sesudah berada di Indonesia.

Berbicara sejarah perkembangan stilistika di dunia Barat tidak bisa dilepaskan

dengan sejarah perkembangan retorika. Sejak zaman Plato (427-317 SM) dan

Aristoteles (384-322 SM) sesungguhnya telah ada kajian linguistik tentang proses

proaktif dalam kesusastraan. Zaman Plato dan Aristoteles mungkin terlalu jauh dari
16

zaman kita.Pada 1916 telah terbit sebuah kata hasil kerjasama sastrawan dan bahasa

berakhiran Formolisme Rusia judul buku itu, The Studi In Theory of Puitics

Language. Pada 1923 Roman Jakobsan menulis tentang puisi Ceko yang menerapkan

kriteria semantik modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi.

Chomsky membuka pandangan baru dalam linguistik dalam penerbitan

bukunya Syntactic Structures. Kesusastraan merasakandampak pandangan baru itu.

Pada awalnya, sastrawan dan kritikus sastra memungsikan manfaat pengkajian

linguistik terhadap karya sastra. Berbagai anggapan pengkajian demikian akan merusak

keindahan seni karya sastra itu.

Donysius Cassius Longibus merupakan seorang ahli kritik yang telah

mengemukan lima prinsip karya yang terbaik, yaitu pemikiran yang agung, emosi yang

intens, komposisi yang komplit, serta pemilihan kata yang sesuai dengai penggunaan

bahasa yang tepat,

Semakin lama semakin disadari bahwa pendekatan linguistik merupakan salah

satu pendekatan yang dapat ditempuh untuk menemukan makna karya sastra. Analisis

stilistika berupaya mengganti subjektif dan impressionisme yang digunakan kritikus

sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang

relatif lebih obyektif dan ilmiah. Di Indonesia stilistika juga mengalami sejarah dan

perkembangan.

Ilmu pengetahuan modern berkembang dari dunia Barat. Demikian jugs teori-teori

sastra, khususnya teori sastra modern. Genre sastra pun, seperti soneta, jenis-jenis puisi

bebas, cerpen, dan novel yang berasal dari dunia Barat. Berbeda dengan di dunia Barat,

perkembangan stilistika di Indonesia sengat lambat bahkan hampir tidak mengalami

kemajuan. Masalah yang sama terjadi terhadap studi yang dianggap genesisnya, aitu
17

retorika. Retorika hanya dipahami sebagai bahasa dalam kaitanya dengan kemampuan

berpidato.

Slametmuljana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang

berjiwa (1956:4).Pemahaman mengenai kata-kata berjiwa inilah yang disebut sebagai

stilistika. Bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke

dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan sendirinya sesuai dengan tujuan

pengarang. Istilah stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin.Ia menguraikan bahwa

ilmu yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa orang

menyebut gaya bahasa.

Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara

menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika

berbicara tentang Style seseorang pengarang yang dimaksud bukan saja gayanya dalam

mempergunakan bahasa,melainkan juga gayanya bercerita.Seorang stilistikus atau

ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang

menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain,

atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.Pada 1982, Sudjiman

membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian

Ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika

sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Peguruan Tinggi sebab telah menjadi satu

disiplin ilmu.Hal ini dilatar belakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha

memahami karya sastra, para kritikus sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan

ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu ada

hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang

menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang
18

mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang

terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya.Karena medium yang

digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan

hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-

bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut

pengkajian stilistika.Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistic atau ilmu bahasa

terhadap studi sastra.Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara

bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.

(Sudjiman,1993:8).

2.5 Prinsip Pendekatan Stilistika

Pendekatan stilistika dalam menguraikan sebuah karya sastra, harus menguasai

dengan baik konsep-konsep linguistik. Konsepsi dan kriteria pendekatan stilistika dalam

kritik sastra adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan stilistika memberikan perhatian utama terhadap tampilan bahasa di

dalam karya sastra. Hal-hal yang terkait, yaitu:

a. Bentuk dan variasi kalimat, klausa, frasa, kata, bunyi, dan majas.

b. Bentuk-bentuk penyimpangan dari struktur bahasa natural.

c. Manipulasi bunyi, kata, ungkapan, frase, kalimat, dan wacana dalam

penciptaan gaya.

d. Pilihan kata yang tepat.

e. Pencampuran berbagai gaya dalam suatu karya sastra.

f. Analisis pemakaian kata dalam kalimat, kalimat dalam paragraf, dan

paragraf dalam wacana.

g. Pemakaian dialek daerah atau ragam bahasa nonformal.


19

h. Aspek makna.

2) Pendekatan stilistika memberikan perhatian penuh kepada kemampuan dan

kreativitas pengarang. Hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Memperhatikan ciri khas atau gaya personal pengarang.

b. Memperhatikan corak dan pancaran bakat kepengarangan.

c. Analisis ciri khas kepengarangan tersebut kemudian dikaitkan dengan

kelompok pengarang pada periode tertentu.

d. Analisis tersebut juga dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan

terjadinya perubahan gaya pada seseorang yang menjalankan profesi dalam

jangka waktu yang panjang.

3) Pendekatan stilistika juga memberikan perhatian terhadap analisis wacana. Hal-

hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. Dalam menganalisisnya, cukup yang hanya terkait dengan aspek pemakaian

bahasa.

b. Cara pengembangan narasi dalam fiksiCara pengembangan pola deskriptif

dalam fiksi.

c. Cara pengembangan baris dalam larik, larik dalam puisi.

d. Hubungan antarkalimat dalam wacana.

4) Pendekatan stilistika juga dikaitkan dengan analisis perwatakan. Hal ini penting,

karena bahasa mempunyai kaitan dengan karakter tokoh. Selain itu, perwatakan

atau perilaku pengarang juga senantiasa tercermin dari bahasa yang digunakan.

5) Pendekatan stilistika juga terkait dengan pemahaman pembaca. Hal itu

disebabkan adanya pandangan bahwa keberhasilan sebuah komunikasi tidak

diukur dari segi pembicara (sastrawan), tetapi diukur dari penerimaan khalayak
20

pembaca.Bila terjadi kesukaran pemahaman pada pembaca, maka harus dicari

faktor penyebabnya. Resepsi pembaca yang terganggu mungkin disebabkan

kelemahan pembaca itu sendiri atau mungkin terjadi karena kesalahan penulis

dengan karyanya.

2.6 Bahasa Kiasan

Bahasa kiasan merupakan bahasa perbandingan. Istilah bahasa kias atau kiasan ini

merupakan terjemahan dari figure of speech. Menurut Harimurti (1992:85), bahasa

kiasan disebutfigure of speech atau rhetorical devicesyaitu alat untuk memperluas

makna kata atau kelompok kata untuk meperoleh efek tertentu untuk membandingkan

atau mengasosiasikan dua hal yang berbeda. Bahasa figuratif (figure of languange)

adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang

dipakai sehari-hari, penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata

suatu penyimpangan rangkaian kata untuk memperoleh beberapa arti khusus atau efek

khusus.

Bahasa kiasan menurut Abrams (1981:63-65) terdiri simile (perbanding),

metafora, metonomia, sinekdoke, dan personifikasi. Sementara itu Pradopo (1993:62)

membagi bahasa kiasan ke dalam tujuh jenis, yaitu perbandingan, metafora,

perumpamaan epos (smile), personifikasi, metonimia, dan alegori.

Kajian gaya bahasa kias tidak difokuskan pada penggunaan jenis gaya bahasa

tertentu tetapi lebih difokuskan pada banyaknya gaya bahasa kias yang digunakan

dalam keseluruhan cerita. Dengan demikian peneliti tidak menghitung berapa jumlah

jenis gaya bahasa yang terdapat pada sebuah teks. Hal ini disebabkan oleh penggunaan

kombinasi beberapa jenis gaya bahasa kiasan dalam karya sastra.


21

2.7 Pilihan Kata

Pilihan kata merupakan sinonim dari kata diksi. Istilah diksi berasal dari bahasa

Inggris diction (diksi) menurut Abrams (1981:140) digunakan untuk pemilihan kata-

kata, frasa dan gaya dalam karya sastra. Pilihan kata pengarang, menurut Abrams, dapat

dianalisis berdasar katagori-katagori seperti pada tingkat kosa kata (vocabulary) dan

frasa yang berbentuk konkret atau absrak, asli atau tidak, bentuk bahasa sehari-hari atau

formal, dan literal atau kiasan. Keraf (1986:22-23) mengungkapkan bahwa istilah diksi

digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkap suatu idea tau

gagasan, yang meliputi persoalan frasaologi, gaya bahasa dan ungkapan. Frasaologi

menurut Keraf mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunanya,

atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Pilihan

kata dimungkinkan karena penulis menguasai beberapa kosakata. Pilihan kata

merupakan unsur stilistika yang berhubungan dengan variasi. Konsep variasi berasal

dari linguistik.

Penyimpangan dalam pilihan kata yang dapat ditemukan dalam Aurora di Langit

Alengka banyak ditemukan pemanfaatan koaskata yang secara etimologis berasal dari

bahasa daerah, yaitu bahasa jawa dan bahasa asing (Inggris).

2.8 Frasaologi

Pilihan kata atau diksi hanya memilih kata-kata yang cocok dan tapat untuk

digunakan dalam mengungkapkan gagasan atau ide, tetapi juga menyangkut persoalan

frasaologi (cara memakai kata atau frase d dalam konstruksi yang lebih luas, baik dalam

bentuk tulisan maupun ujaran, uangkapan, dan gaya bahasa). Frkasaologi mencangkup

perseolan kata-kata dalam mengelompokan atau sususannya, atau menyangkut cara-cara


22

yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan khas. Pemilihan gaya bahasa yang akan

digunakan pun merupakan kegiatan memilih kata menyangkut gaya-gaya ungkapan

secara individu.

Istilah frasaologi berasal dari bahasa Inggris phraseologi. Menurut Kridalaksana

(1982:47), frasaologi membahas masalah (1) cara-cara memahami kata atau frasa dalam

tulisan atau ujaran, dan gaya bahasa(2) perangkap ungkapan yang dipakai oleh orang

atau kelompok tertentu. Kata frasaologi terbentuk dari kata dasar frasa (Inggris :phase),

yaitu gabungan dua kata lebih yang bersifat tidak predikatif. Gabungan itu dapat

renggang atau rapat (Kridalaksana, 1982:46). Frasaologi juga membahas tentang

pemakian bahasa yang khas. Setiap pengarang memilki cara atau kreatifitas yang

berbeda-beda dalam mengungkapkan imajenatif dan menyalurkannya dengan teks

sastra.

2.9 Pengertian Novel

Novel merupakan sebuah cerita, karena didalamnya terkandung tujuan yang

memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.Membaca

novel/karya fiksi berarti menikmati cerita dan menghibur diri untuk memperoleh

kepuasan batin.Melalui sarana cerita yang terdapat dalam novel tersebut pembaca secara

tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan

kehidupan yang secara sengaja oleh pengaran. Sedangkan Esten (1978:25) menyatakan:

Istilah novel berasal dari Italia yaitu nonella yang berarti “sebuah barang baru yang

kecil”. Dalam istilah novel tercakup pengertian roman yang dikenal sejak perang dunia

ke II. Di Indonesia istilah novel dikenal setelah kemerdekaan yakni setelah sastra

Indonesia banyak beralih kepada bacaan berbahasa Inggris.


23

Menurut Suharianto (1982:40), novel dapat mengungkapkan seluruh episode-

episode perjalanan hidup tokoh ceritanya, bahkan dapat pula menyinggung masalah-

masalah yang sesungguhnya tidak begitu internal dengan masalah pokok cerita itu

sendiri. Kehadiran novel hanyalah sebagai pelengkap saja dan kehadirannya tidak akan

menggangu atau mempengaruhi kepaduaan cerita. Cerita mengenai masalah- masalah

sempingan tersebut biasanya dikenal dengan istilah digresi. Tarigan (2005:54)

berpendapat bahwa definisi novel sebagai berikut:

Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang

melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang reprenttifdalam suatu

alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Novel adalah suatucerita dengan

suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria

dan wanita yang bersifat imajenatif. Novel ialah sebuah eksplorasi atai suatu kronik

penghidupanmerenungkan dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu , pengaruh,

ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia.

Batos (dalam Tarigan, 2005:164), menyatakan bahwa novel merupakan sebuah

sebuah roman, pelaku-pelaku mulai dengan waktu musa, menjadi tua, bergerak dari

sebuah adegan yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain. Novel merupakan karya

yang bersifat realities dan mengandung nilai psikologis yang mendalam, sehingga novel

dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-

dokumen, sedangkan roman atau romansa berada dalam kedudukan yang berbeda.Jassin

(dalam Nurgiyantoro, 2005:16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain

dalam dunia manusia dan benda yang di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak

melukiskan satu saat seseorang dan lebih mengenai suatu episode.Mencermati perkataan

tersebut, pada kenyataannya banyak novel di Indonesia yang digarap secara mendalam,
24

baik itu penokohan maupun unsur-unsur intrinsik lainnya. Sejalan dengan Nurhiyantoro,

Hendy (1993:225) mengemukakan bahwa novel merupakan prosa yang terdiri dari

serangkaian peristiwa dan latar. Ia juga menyatakan, novel tidaklah sama dengan roman.

Novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands)

tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia

dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (sayuti, 2000:6-7). Masyarakat tentu

berkaitan dengan dimensi ruang atau tempat, sedangakan tokoh dalam masyarakat

berkembang dalam dimensi waktu semua ini berkesinambungan. Perkembangan dan

perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama,

apalagi jika penulis menceritakan tokoh dari muali masa kanak-kanak hingga dewasa.

Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk mengembangkan

tokoh dan pendeskripsian ruang.

Sayuti (2000:7), dikatagorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat normal.

Bagi pembaca umumnya, pengategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi

apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam

mengapresiasi sastra akan lebih baik.

Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajenasi yang tinggi.Mendefinisikan

novel adalah meniru dunia kemungkinan. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah

dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat

diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus adanya dunia nyata,

namun semua imajinasi pengarang harus diterima oleh nalar. Dalam sebuah novel, si

pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada

gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel

tersebut.
25

Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang

disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara umum dan

bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang

dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya dapat

menyesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita

yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita

dari episode ke episode berikutnya akan terputus.Dari beberapa pendapat tersebut

disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan

atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya

sebagai ceritakhayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang

adalahrealitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.

2.10 Ciri-ciri Novel

Novel memiliki ciri yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mengetahui

apakah novel atau bukan. Berikut Hendy (1993:225) menyebutkan ciri-ciri novel

sebagai berikut:

a. Sajian cerita lebih panjang dari pada cerita pendek dan lebih pendek dari roman.

Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.

b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi

pengarang.

c. Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh

cerita, dan dirangkai dengan alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar

tersendiri).

d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang

berfungsi mendungkung tema pokok tersebut.


26

e. Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikan juga karakter

tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis.

Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak tetap sejak awal hingga

akhir. Tokoh dinamis sebalinya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda

atau tidak tetap.

Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri novel adalah cerita

yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara

fiksi, serta mempunyai unsur intrinsic dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel tersebut dapat

menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya

akan menjadi lebih hidup.

2.11 Jenis-jenis Novel

Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman

tema dan kreatifitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel.Nugiyantoro

(2005:16) membedakan novel menjadi novel serius dan novel popular.

a) Novel Anvontur

Pengambaran cerita novel anvontur dipusatkan pada seseorang tokoh yang

dianggapa sebagai tokoh pahlawan. Peristiwa demi peristiwa dihadapi oleh tokoh utama

melaju terus kedepan, artinya komplik-komplik yang dihadapi tokoh itu secara

berurutan dari awal hingga akhir cerita sebagai titik penyelesaiannya.

b) Novel Psikologis.

Novel psikologis sering disebut juga novel jiwa.Perkembangan peristiwa pada

novel psikologis ini tidak dititik beratkan pada satu tokoh saja. Tetapi seluruh tokoh

cerita ditonjolkan oleh sang pengarang.

c) Novel Fantasi
27

Novel fantasi adalah novel yang mementingkan ide, konsep, dan gagasan

pengarangnya untuk menggunakan karakter yang tidak realitas, setting, plot yang tidak

wajar

d) Novel Sejarah

Novel Sejarah yaitu novel yang dibuat berdasarkan prinsip ilmu pengetahuan atau

berdasarkan inspirasi-inspirasi yang ditimbulkan oleh sesuatu penemuan ilmu

pengetahuan.

e) Novel Hiburan

Jenis dari novel hiburan bermacam-macam menurut uapaya seperti: novel

detektif, novel roman, novel misteri, novel gothis, dan novel kriminal.Novel hiburan ini

merupakan bacaan ringan yang menghibur dan novel hiburan ini jauh lebih banyak

ditulis dan diterbitkan serta lebih banyak dibaca orang sebagi pembaca untuk jenis

novel ini amat banyak karena sifatnya yang personal dan isinya hanya kenyataan semua

dan gambaran fantasi pengarang saja.

Novel hiburan juga menceritakan hal-hal yang indah seperti cerita percintaan yang

sentimental, sehingga pembaca sangat menyukainya.Novel hiburan ini juga

diperhatikan oleh para kritisi yang menyangkut masalah komersialnya, novel ini

digemari oleh semua kalangan masyarakat dari anak-anak hingga orang dewasa.

2.12 Macam-macam Novel

Ada beberapa macam novel yang sering kita jumpai dalam dunia sastra yang

memamparkan hasil dari kreatifitas seorang pengarang dalam menciptakan sebuah

karya sastra. Nyoman Kutha Ratna (1999:23) membedakan novel menjadi novel

popular dan novel serius.


28

a) Novel Populer

Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan

kembali rekaman-rekaman kehidupan dengan tujuan pembaca akan mengenali kembali

pengalamannya. Oleh karena itu, sastra popular yang baik banyak mengundang

pembaca untuk mengindentifikasikan dirinya.

Heryanto (2009:2) mengungkapkan ragam kesustraan Indonesia, meliputi (1)

kesusastraan yang diresmikan, diasahkan, (2) kesusastraan yang dilarang, (3)

kesusastraan yang diremehkan, dan (4) kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraam

yang diresmikan (konon) adalah kesusastraan yang sejauh ini banyak dipelajari di

pendidikan (tinggi).Kususastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap

mengganggu status qua(kekuasaan) seperti yang telah terjadi pada zaman Balai Pustaka

yaitu karya Marco Kartodikromo.Pada zaman Orde Barum karya-karya Pramudya

Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung,

menjadi contoh yang terlarang pula.Sementara itu, karya sastra yang dianggap populer,

sastra hiburan.

Berbicara tentang sastra populer, Karya (dalam Nyoman,1992:78) menyebutkan

bahwa sastra populer adalah dua perekam kehidupan dan tak banyak

memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan.Ia menyajikan

kembali rekaan-rekaan kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali

pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah mencerita

pengelamanya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh kerana itu, sastra populer

yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengindentifikasikan dirinya.

Adapun pengkategorian novel sebagai novel populer atau novel serius bukanlah

menjadi hal baru dalam dunia sastra.Usaha ini tidak mudah dilakukan karena bersifat
29

riskan. Selain dipengaruhi oleh hal subjektif yangdike muncul dari pengamatan, juga

banyak faktor dari luar yang menentukan. Misalnya, sebuah novel yang diterbitkan oleh

penerbit yang biasa menerbit karya sastra yang telah mapan, karya tersebut akan

dikategorikan sebagai karya yang serius, karya yang bernilai tinggi, padahal pengamat

belum mambaca ini nover tersebut.

Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa novel popular adalah novel yang populer

pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja.Novel

jenis ini menampilkan masalah aktual pada saat novel itu muncul.Pada umumnya, novel

popular bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak

memaksa orang untuk membacanya sekali lagi seiring dengan munculnya novel-novel

baru yang lebih populer pada masa sesudahnya. Di sisi lain, novel populer lebih mudah

dibaca dan lebih mudah dinikmati karena semata-mata menyampaikan cerita.

b) Novel Serius

Novel serius atau yang lebih dikenal dengan sebutan novel satra merupakan jenis

karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dalam sejarah sastra tang bermunculan

cenderung mengacu pada novek serius. Novel serius harus sanggup memberikan segala

seseuatu yang serba mungkin, hal ini yang disebut makna sastra. Novel serius yang

bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan

memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih

telah sungguh-sungguh tentang masalah dan diketumakan.

Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra

tidak bersifat mengabdi pada pembaca.Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema

yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga

hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca.


30

Nurgiyantoro (2005:18)mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika

ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai

dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, disamping memberikan hiburan juga

terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling

tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-

sungguh tentang permasahan yang dikemukakan.

Beracuan dari pendapat di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa novel serius

adalah novel yang mngungkapkan sesuatu yang baru dengan cara penyajian yang baru

pula. Secara singkat disimpulkan bahwa unsur kebaruan sangat diutamakan oleh novel

serius. Di dalam novel serius, gagasan doalah dengan cara yang khas. Hal ini penting

mengingat novel serius membutuhkan sesuatu yang baru dan memilki ciri khas daripada

novel-novel yang telah dianggap biasa.Novel ini memberi kesan kepada pembaca

dengan teknik yang khas.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan jenis content

analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang

menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsikan data yang ada. Metode

content analysisatau analisis isiyang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen,

dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Aurora di Langit Alengka

karya Agus Andoko.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Aurora di LangitAlengka karya Agus

Andoko dengan jumlah 604 halaman, penerbit Diva Pres dan dicetak pada bulan Maret

2013 di Simpang Gepur Jogyakarta.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisisis

dokumen dengan cara mempelajari dokumen-dokumen dan catatan-catatan yang

berhubungan dengan masalah penelitian. Untuk mendapat kan data yang akurat, langkah

yang digunakan dengan membaca novel secara seksama dan mengindefikasinya.

Selanjutnya mengklasifikasi setiap aspek dengan akurat, dan menentukan hasil dari

setiap aspek yang diteliti.

31
32

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data ini bertujuan untuk memahami stlistika dalam novel Aurora

di langit alengka karya Agus Andoko. Setelah data terkumpul, maka dilanjutkan dengan

menganalisis data. Langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:

a) Membaca novel berulang-ulang dan memahami isi novel.

b) Mengindefikasi stilistika yang terdapat di dalam novel.

c) Mengklasifikasi stilistika yang terdapat di dalam novel.

d) Menganalisis stilistika yang terdapat didalam novel.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Stilistika dalam Aurora di Langit Alengka

Penelitian ini mengenai gaya bahasa (stilistika) yang terkandung dalam novel

Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko. Setelah dilakukan teknik analisis

dokumen, data yang diperoleh empat kajian stilistika yaitu : (a) bahasa kiasan (figures

of language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman

bahasa yang dipakai sehari-hari (b) pilhan kata (diksi) digunakan untuk pemilihan kata-

kata, frasa, dan gaya dalam karya sastra (c) frasaologi merupakan cara pengungkapan

kata secara khas.

4.1.1 Bahasa Kiasan (figures of language).

Bahasa kiasan(figures of language figures)merupakan penyimpangan

penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari,

penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata untuk memperoleh

beberapa arti khusus atau efek khusus. Bahasa kias dibagi dalam tujuh bagian yaitu:

perbandingan, metafora, perumpamaan epos (epic simile), Personifikasi, metonimi, dan

alegori.

Kajian gaya bahasa kiasan tidak difokuskan pada penggunaan jenis gaya bahasa

tertentu tetapi lebih difokuskan pada banyak gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam

keseluruhan cerita. Dengan demikian penelitian tidak menghitung berapa jumlah jenis

gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang, namun peneliti hanya membahas tentang

bahasa kiasan yang mendominasi novel Aurora di Langit Alengka.

33
34

a. Simile

Simile atau persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan

bersifat eksplisit mempunyai maksud bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama

dengan hal yang lain. Gaya simile memerlukan kata-kata perbandingan seperti kata-

kata: bagai, bagaikan, seperti, laksana, bak dan sebagainya. Adapun penggunaan simile

pada novel Aurora di Langit Aleng karyaAgus Andoko dapat dilihat padakutipan

berikut ini.

“ Alam seperti ikut berbahagia dengan gembiraan hati seluruh penduduk


Kolasa.”(hal 150)
“ Di mata Bara, Radit, dan Mambang, burung besar itu seperti pesawat terbang
yang berputar-putar di atas lapangan terbang menunggu kesempatan mendarat.”
(hal 154)
“ Airnya sangat bening laksama Kristal mengalir di sela-sela batu-batu besar
yang betebaran di tengah sungai.” (hal 208)
“ Bara memperhatikan jemari Nyai Drembo, jemari itu besar-besar dan gemuk
seperti buah mentimun yang kerap ibunya beli di pasar.” (109)
“ Hal iu terlihat pada Sinta pagi ini. Wajahnya tampak begitu segar, bagai
tanaman yang baru saja tersiram air. Rona ceria makin menyempurnakan
kecantikan putri dari Kerajaan Mantali itu.Mata jernih bagai bintang timur,
pipinya merona merah bak buah delims matang dan bibirnya merekah
menyungging senyuman bahagia.” (hal 250)

Data tersebut merupakan contoh pemanfaatan gaya bahasa bentuk simile karena

terdapat kata pembanding seperti, laksana. Kata pembanding tersebut digunakan untuk

menggambarkan bahwa satu hal yang sedang dibicarakan mempunyai kesamaan atau

selayaknya sama dengan hal lain, di luar yang dibicarakan.

Penggunaan kata pembanding seperti pada data (hal 150) menyamankan perasaan

manusia dengan alam yang ikut bahagia dengan bergembiran hati.Kerena pada saat itu

suasana alam jauh berbeda dari hari sebulumnya. Selanjutnya data (hal 154) kata seperti

juga secara terang-terangan penulis karya menyamakan burung dengan pesawat

terbang.Dimana di negeri Alengka sayap burung hampir sebesar pesawat terbang, dan

data (hal 208) penulisi juga menyamakan air laksana kristal yang mengalir dari sela-sela
35

batu, pengunkapan itu didasarin oleh warna air yang begitu bening dan jernih. Pada data

(109) dimana jameri tangan Nyai Drembo disamakan dengan bauh mentimun yang

kerap ibunya beli di pasar dan pada data (250) penulis menggunakan kata bagai dan kata

bak untuk menyamakan kecantikan Sinta dengan berbagai buah dan bintang yang

mengibaratkan kecantikan yang alami. Penggunaan kata pembanding seperti pada data-

data di atasdimaksudkan untuk memperkuat dan menyakinkan pembaca untuk

benarbenarikut merasakan apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Selain itu jugauntuk

membuat cerita seakan-akan lebih hidup dan sesuai dengankenyataannya.

b. Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan bendabenda mati

atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

Adapun penggunaan personifikasi pada novel Aurora di Langit Alengka karya Agus

Andoko adalah dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“ Lentera yang bergantung di kereta bergoyang-goyang seirana langkah


penarik.” (Hal 71)
“Mereka kini melaju melewati jalan tanah dengan ladang menghijau subur
dikana kirinya. Begitu cepat laju kuda yang mereka naiki sehingga pepohonan
yang tumbuh berjajar di pinggir jalan seperti berlari menjauh dan segera lenyap
dari pandangan.” (hal 179)

Data-data di atas dikategorikan sebagai bentuk personifikasi karena

menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Pada data (hal

71) dimanaAgua Andoko menyamakan benda mati seolah-olah hidup seperti manusia,

kerena hanya manusia yang bisa bergoyang-goyang mengerakan tubuh sesuai dengan

irama. Selanjutnya pada (hal179)data tersebut menjelaskan dimana pohon dan

tumbuhan berlari menjauh seakan-akan pohon dan tumbuhan memiliki kaki seperti

manusia yang bisa berlari dan berpindah tempat. Penggunaan gaya bahasapersonifikasi

itu tak terlepas dari fungsi personifikasi itu sendiri yaitu sebagaisarana retorika yang
36

mampu menghidupkan deskripsi cerita dan menyegarkanpengungkapan menjadi lebih

bermakna.

c. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatupernyataan yang

berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Adapunpenggunaan hiperbola pada

novel Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko adalahdapat dilihatpada data-data

berikut.

“ Sementaraitu, semburat lembayung mewarnai kaki langit sebelah timur,


pertanda pagi akan segera menjelang. Dan akhirnya, matahari pagi mulai
menampakan diri, serupa bola api bundar berwana jingga. Sinar hangat
lembutnya mengusir temara alam, mencaitkan embun-embun yang menempel di
dedaunan dan mengatkan udara yang semula terasa dingin menggigit tulang.
(hal97)
“ Terima kasih, Nyai,” sahut Bara mengambil sedikit nasi merah dengan centong
kayu sebesar sekop semen ke atas selembsr daun pisang yang sudah
disiapkanya.” (hal109)
“ Dari jauh, para penabuh dan pesinden tampak seperti boneka-boneka emas
yang brkilauan.” (hal153)
“ Cunduk mental yang ujungnya dipenuhi permata berlian berayun-ayun
melesatkan cahaya-cahaya putih bagai kilatan-kilatan bintang jatuh.” (hal155)
“ Berada di keteduhan di bawah naungan payung awan putih waktu seolah
berhenti.” (hal 164)
“ Mata yang jernih berkilau tajam menundukan siapa pun yang menatapnya.”
(hal 184)
“ Sayang, pemilik burung yang tak peka perasaannya tidak bisa membedakan
mana kicau riang dan tangis kepediahan .Burung-burung tni tidak menarik
suaranya , karena hanya berteriak-teriak dengan lengkingan tinggi, tapi cantik
sekali penampilannya. Bulu-bulunya berwarna hijau cerah, kintras dengan
paruhnya yang merah menyala.”(hal 199)
“ Bara dan teman-temannya tahu, bunyi kaki Rahwana mengambil langkah
seribu.” (hal 289)
“ Laras kaget bukan kepalang kerena di depannya kini berdiri seorang bertubuh
besar mengerikan, berjari-jarinya sebesar buah pisang ambon begitu kencang
mencengkeram tanganya.” (hal 306)

Pemilihan kosakata dengan menggunakan majas hiperbola oleh Agus Andoko

dalam mendeskripsikan cerita salah satunya dimaksudkanuntukmenyakinkan pembaca

bahwa apa yang dialami oleh tokoh cerita benarbenarbisa ikut dirasakan oleh pembaca.
37

Dalam data-data diatas merupakan contoh pemanfaatan bentuk Hiperbola yang indah

danmenarik. Data-data di atas dikategorikan sebagai bentuk Hiperbola karenaterlalu

membesar-besarkan apa yang diungkapkan atau yang dikisahkan. Halitu mampu

menghidupkan cerita, artinya mampu mengajak pembacanyamerasakan apa yang

dialami oleh tokoh cerita dan menyegarkanpengungkapan. Kosakata yang digunakan

dalam menggambarkan keadaantokoh sungguh berbeda dengan pengarang lain.

4.1.2 Pemilihan Kata (Diksi) dan Pemakaian Leksikon Bahasa Jawa

Istilah diksi digunakan untuk pemilihan kata-kata, frasa, dan gaya bahasa dalam

karya sasra. Persoalan yang ada dalam gaya bahasa adalah berkaitan dengan ungkapan-

ungkapan individual atau karatreristik. Sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah

bahasa terdiri dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan isi. Aspek bentuk atau ekspresi

adalah segi yang terdapat diserap dengan panca indra, yaitu dengan mendengar atau

melihat. Aspek isi adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau

pembaca karena rangsangan aspek bentuk. Pilihan kata merupakan unsur stilistika yang

berhubungan dengan variasi.Pendekan stilistika yang berkaitan dengan variasi dilihat

dari penyimpangan dalam pemilihan kata yang ditemukan dalam novel Aurora di Langit

Alengka. Karena didalam novel ini banyak ditemukan pemanfaatan kosakata yang

secara etimologis berasal dari bahasa jawa.

Pilihan kata digunakan untuk menamai tokoh diambil dari kosakata bahasa

Jawa. Kata-kata yang digunakan adalah: Laras, Bara, Radit, Mambang, Sedah, Sinta,

Narasoma, Wibisana, Rama, Eyang Gondo, Hanoman, Rahwana dalan lain-lain.Ada

beberapa namayang menyiratkan bahwa pemilik kebanyakan dipakai oleh orang

pendesaan seperti: Sedah, Sinta, Narasoma, Wibisana, Rama, Eyang Gondo, Hanoman,

Rahwana yang sering dipakai oleh masyarakat pedalamanJawa. Pilihan kata seperti
38

Laras, Radit, Mambang, dan Bara, dipakai untuk nama tokoh dari kota. Karena tokoh

Laras, Radit, Mambang, dan Bara, berasal dari kota dapat dipertegas dengan pilihan

kata seperti: mobil, lampu, gedung, nonsense(omong kosong), artis, koki hotel dan lain-

lain.

Pilihan kata untuk penamaan tokoh tersebut digunakan oleh pengarang untuk

menampilkan latar, yaitu latar desa dan latar kota. Ini artinya ada relasi antara tokoh

dengan latar. Sebagaimana prinsip strukturalisme, yaitu adanya relasional antara unsur-

unsurnya, unusr-unsur gaya bahasa (dalam hal ini diski), penokohan, dan latar dalam

novel Aurora di Langit Alengka. Pilihan kata dari kosakata bahasa daerah yang

digunakan untuk penamaan tokoh dapat mempertegas latar tempat.

Pemanfaatan leksikon bahasa Jawa juga digunakan dalam novel Aurora di Langit

Alengka diantaranya dapat dilihat pada kata, frasa ataupun klausa bahasa Jawa

yangdigunakan dalam kalimat bahasa Indonesia. Keunikanpemilihan dan pemakaian

leksikon bahasa Jawa dalam novel Aurora di Langit Alengka dapat kita temukan dalam

kalimat berikut.

Di depan mereka terlihat sebuah desa, dan sebentar kemudian mereka memasuki
gerbang batu berbentuk bentar dikanan jalan masuk. (hal.76)
Ia mengenakan kain yang melilit ketubuhnya, sabuk wolo. (hal. 83)
Hei, anak-anak lelaki tidak boleh kedapur, keluar sana! Ora ilok(hal. 95)
Oleh sedah, sego golong tadi dibentuk menjadi kerucut di tengah sebuah nyirut.
(hal. 98).

Pemilihan dan pemakaian kata bentar, sabuk, ora ilok, dan nyirut, pada data-data

di atas menunjukkan bahwa Agus Andoko kaya akan pengetahuan kosakata bahasa

Jawa. Pemakaian kata-kata tersebut dalam deskripsi cerita memperlihatkan bahwa

setidaknya penulis telah mengalami situasi seperti dalam deskripsi cerita, misalnya pada

data (1) Bantar merupakan leksikon dalam bahasa jawa yang mengambarkan bangunan

gapuraatau gerbang menyupai gunung yang sementri. Kemudian pada data (2) sabuk
39

wolomerupakan leksinkon bahasa Jawa dalam cara berpakaian. Sabuk wolo adalah cara

berpakain jarit, modelnya seperti kemban, namun ditahan menggunakan tali/sabuk

seehingga penggunanya bisa bebas bergerak dan bisa juga digunakan oleh anak-anak.

(3) kata Ora ilok yang artinya tidak pantas merupakan pilihan kata yang menunjukan

derajat lelaki, dimana anak lelaki pada zaman dahulu tidak pantas berada di dapur. (4)

Nyirut merupakan leksikon dalam bidang penyajian makanan yang biasa digunakan

oleh orang Jawa dalam acara-acara tertentu. Nyirut adalah alat rumah tangga berbentuk

bundar, dibuat dari ayaman bambu, gunanya untuk menapi beras.

Jika kata bahasa Jawa tersebut diganti ke dalam bahasa Indonesia tentunya

pelukisan cerita akan terasa hambar. Pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Jawa

tersebut mencerminkan suasana yang sedang dialami oleh para tokoh dalam novel, dan

penggambaran situasi menjadi lebih jelas. Penggunaan bahasa jawa juga digunakan

dalam kalimat berikut:

“ Enak sekali kamuMambang, naik bajak ditarik kerbau,” teriak Radit yang
ngicak-icak di belakang. (hal. 115)
“Sudah san gawe, kita pulang,” kata Ki Buyut. (hal 119)
“ Ulun yang datang pada kalian, diberkatilah kalian, hidup penuh cinta sampai
kaken ninen. (hal 161)

Penggunaan kata bahasa Jawa pada data di atas, digunakan secara spontan oleh

pengarang dalam mendeskripsikan cerita. Pada data (1-3) kata ngicak-icak, san gawe,

kaken ninem merupakan kata asli bahasa Jawa yang sering digunakan oleh pengarang

untuk mendeskripsikan situasi yang sedang dialami oleh para tokoh. Kata ngicak-icak

dalam bahasa Indonesianya menginjak-ijak, kata san gawe dalam bahasa Indonesianya

waktu siang untuk beristirahat, kaken ninendalam bahasa Indonesianya kakek nenek.

Pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Jawa pada data-data di atas jika diganti

dengan leksikon bahasa Indonesia, maka deskripsi cerita menjadi biasa dan tidak memiliki
40

daya pikat bagi pembaca. Agus Andoko adalah orang Klaten yang selalu menggunakan

leksikon bahasa jawa dalam deskripsi ceritanya dalam bentuk karya sastranya.

Selain pemanfaatan leksikon bahasa jawa, kata sapaan dalam bahasa Jawa juga

sering digunakan dalam sebuah karya sastra. Pada novel Aurora di Langit Aleng karya

Agus Andoko terdapat bentuk- bentuk kebahasaan seperti kata yang dipergunakan

untuk saling merujuk dalam situasi percakapan yang berbeda-beda menurut sifat

hubungan antara pembicaranya. Adapun sifat hubungan itu didasarkan atas hubungan

kekerabatan, keakraban dan penghormatan. Bentuk-bentuk semacam itu disebut sapaan.

Munculnya kata-kata sapaan di dalam suatu tindak komunikasi selalu ditentukan

oleh berbagai faktor yang erat berkaitan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi

penuturan. Faktor-faktor itu adalah situasi (resmi dan tidak resmi), etnik (suku Jawa dan

bukan Jawa), kekerabatan (berkerabat dan tidak berkerabat), keintiman (intim dan tidak

intim), status (lebih tinggi, sederajat dan lebih rendah), umur (lebih tua, sebaya dan

lebih muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), status perkawinan (kawin dan

tidak kawin), dan asal (kota dan desa). Berikut adalah penggunakan kata sapaan dalam

bahasa jawa yang terdapat dalam novel Aurora di langit Alengka karya Agus Andoko.

Nantik malam Eyang akan berkunjung ke kemah kalian, kata Eyang Gondobayu.
(hal. 35)
“ Nyai Drembo?”
“ Ya, Kami memanggilnya Nyai Drembo. Ia tinggal di desa yang baru saja kita
lewati tadi.” (hal 80)
“ Maaf Kisanak, adakah tempat penginapan di sini?” Tanya Bara. (hal 67)

Kata sapaan Eyang dan Nyai Drembon digunakan oleh eknis suku jawa dalam

memanggil orang yang lebih tua dari orang tua mereka. Sedangkan kata sapaan Kisanat

digunakan untuk memulai percakapan dengan orang yang belum mereka kenal.

Selanjutnya kata sapaan yang menunjukkan kekerabatan yaitu Biyung, Diajeng, dan

Kanda. Seperti yangterdapat pada kalimat di bawah ini:


41

“ Biyung bilang tidak boleh.” (hal 96)

Apa makan malam kita nantik, Diajeng? (hal 246)

“ Sampai sepekan ke dapan kita masih bisa makan nasi Kanda,” (hal 246)

Untuk kekerabatan antara ibu dan anak, yang mana anak berkomunikasi dengan

ibu menggunakan kata sapaan biyung.Sedangkan untuk memanggil Istri digunakan kata

sapaan Diajeng, dan kata sapaan Kanda digunakan untuk memanggil suami atau

suadara laki-laki yang lebih tua. Dalam berkembangan dunia sastra yang lebih modern,

dimana teori-teori satra telah berkembang dan diaplikasikan dalam sastra yang

menggunkan imajenasi dan kata yang sangat menarik hingga menimbulkan kesan

elegan pada setiap karya sastra. Namun Agus Andoko tetap mempertahankan bahasa

daerahnya untuk menyatakan sapaan dalam karyanya. Hal ini menunjukkan kalau Agus

Andoko selain melestarikan bahasa daerahnya khususnya kata sapaan, ia juga ingin

memperkenalkan kata sapaan tersebut kepada masyarakat luas, dalam hal ini pembaca

karyanya. Selain itu juga dapat dikatakan bahwa Agus Andoko ingin mempertahankan

budaya lokal dalam hal menghormati lawan bicara dengan menggunakan kata sapaan

yang tepat. Pemanfaatan kata sapaan itu menambah kekhasan dan kekhususan kosakata

yang digunakan Agus Andoko dan menjadi ciri khas gaya kepenulisannya.

4.1.4 Frasaologi

Kata frasaologi berbentuk dari kata frasa yaitu gabungan dua kata atau lebih yang

bersifat tidak predikatif. Frasaologi bukan saja membahas tentang frasa dalam suatu

karya sastra, namun frasaologi juga dapat dikaitkan dengan cara seorang pengarang

dalam mengungkapkan bahasa secara khas. Dalam novel Aurora di Langit Alengka

ditemukan ungkapan khas yang berasal dari bahasa Jawa.


42

Novel Aurora di Langit Alengka berlatar kebudayaan Jawa sehingga banyak

ditemukan ungkapan khas dari bahasa jawa. Ungkapan khas yang digunakan oleh

pengarang sebagai sarana ajaran yang bersifat religius. Ungkapan itu seperti dalam

kutipan berikut.

Mambang tiba-tiba menuju sebuah cahaya yang bergerak pelan di langit kelam.

Serupa pesawat yang terbang malam, tetapi tak mungkin di sini ada pesawat.

“ Apakah itu, Jambe?” Tanyanya.


“ Itu kereta Batara Kuwera.”
“ Batara Kuwera”
“ Kuwera adalah dewa yang bertugas membagikan rezeki kepada umat manusia
yang suka prihatin, betah melek. Beliau naik kereta terbang berkeliling negeri.”

Anak-anak geng Sarotama itu lalu ingit tembang “ Pangkur” yang kerap

dilantunkan ayah mereka ketika mereka masih kecil dulu. Sebuah tembang pengantar

tidur.

Aja turu sore kaki.


Ana dewa nganglang jagat
Nyaking bokok kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang lawan pangan
Yaiku bageanipu
Wong melek sabar narima………(Aurora, hlm.75-76)

Makna ungkapan dalam kutipan diatas adalah bentuk nasehat agar manusia harus

menjaga hati dan berjiwa sabar. Kerena dewa akan membagikan bongkahan emas

kepada masyrakat yang memilihat sifat baik. Pilihan ungkapan di atas sesuai dengan

situasi yang sedang dialami oleh para tokoh di negeri Alengka dimana masyarakatnya

masih beragama hindu yang mempercayain dewa. Mereka beranggapan bahwa dewa

akan membagi rezaki kepada rakyatnya yang menjaga hati dan berjiwa bersih.

Ungkapan khas juga terdapat dalam kalimat berikut.


43

“ Hari ini kita mengadakan upacara syukuran sebagai ungkapan rasa terima
kasih kepada Sang Hyang Widhi wasa yang telah menganungerahkan calon
permaisuri baginegeri kita!” Begawa Pemekas mengakat tanganya, dan
peralahan teriakan warga mereda.
“ Sekarang,” lanjutnya setelah suasana kembali sepi, “ saatnya bagi kita
memanjatkan doa kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa.”
(hal 10)

Arti ungkapan Sang Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang

memengang kekuasaan penuh atas isi dunia ini.Dalam ajaran agam Hindu dan Budha

setiap perayaan besar harus mengedakan acara syukuran atas nikmat yang telah

diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Tidak hanya ajaran agama Hindu dan Budha saja,

bahkan agama Islam juga mengajarkan kita tentang arti kata syukur atas nikmat Allah

Yang Maha Kuasa.


BAB V

PENUTUP

Setelah menguraikan tentang “ Analisis Novel aurora di Langit Alengka karya

Agus Andoko”, maka sebagai akhir dari tulisan ini penulis menarik kesimpulan. Di

samping itu, untuk mendapat penjelasan berimbang juga dikemukakan beberapa saran

yang dianggap perlu.

5.1 Simpulan

Keunikan atau kekhasan pemakaian bahasa pada novel Aurora di Langit Alengka

dilatarbelakangi oleh faktor sosial penulis yangdiungkapkan melalui deskripsi ceritanya.

Adapun keunikan pemilihan danpemakaian kosakata yaitu tampak pada pemilihan dan

pemakaianleksikon bahasa Jawa, pemilihan dan pemakaian leksikon pemakaian kata

sapaan dan frasaologi yang mengungkapkan kata secara khas. Novel Aurora di Langit

Alengka karya Agus Andoko mampu menonjolkankeunikan pemilihan dan pemakaian

kosakata yang spesifik dan lain dariyang lain. Hal itu menghasilkan style tersendiri yang

menjadi ciri khusus Agus Andoko dalam menuangkan gagasan melalui karya sastranya.

Pemakaian gaya bahasa figuratif pada novel Aurora di Langit Alengka membuat

pengungkapan maksud menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, lebih jelasdan lebih

menarik. Pada analisis yang dilakukan oleh peneliti, peneliti tidak menghitung seberapa

banyak bahasa kiasan yang digunakan oleh pengarang, namun peneliti hanya meneliti

bahasa kiasan yang mendominasi, seperti bahasa kiasan simile, personifikasi, dan

hiperbola.Data-data tersebut merupakan contoh pemanfaatan bentukpenggunaan gaya

bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efekestetis pada pembaca. Andrea

44
45

Hirata mampu memilih dan memanfaatkankosakata-kosakata yang metaforis yang

disesuaikan dengan makna dalam kalimat.

5.2 Saran

Analisis stilistika terhadap novel sangat penting peranannya padakemajuan studi

stilistika di Indonesia khususnya di Program Sarjana di UniversitasSerambi Mekkah

Banda Aceh. Studi stilistika ini mampu menemukanperihal kebahasaan, dan

kesusastraan sebagai objeknya. Terkait dengan kajianstilistika ini maka ada beberapa

saran untuk pembaca dan penelitian selanjutnya sebagai berikut.

1. Kajian stilistika terhadap karya sastra novel Aurora ini masih terbuka untuk

diteliti lebih lanjut, terutama masalah morfologi dan sintaksisnya.

2. Karya sastra khususnya novel Aurora di Langit Alengka sangat spesifik dan

kaya akanunsur-unsur bahasa sehingga memerlukan penanganan yang lebih

dalam danlebih luas terutama mengenai gaya bahasa figuratifnya.

3. Pada karya ilmiah ini, peneliti mempunyai kelemahan dalam menggunakan

stilistika untuk mengkaji karya sastra. Oleh karena itu, peneli lain sebaiknya

terus meningkatkan penelitian dalan bidang sastra khususnya stilistika di dalam

karya sastra agar kedepannya analisis yang berbentuk stilistika lebih bagus dan

berkualitas.
46

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A. Glossary of Literary Terms. New York: Hol, Rinehart and
Winston.

Agus Andoko. 2013. Aurora di Langit Alengka. Yogyakarta: Diva Press

Alenbend. 2009.Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Aminudin. 1995. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Esten.1978. Teori Sastra Kontemporari. Selagor: Pustka Karya.

Gorys Keraf. 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia

Harimurti Kridalaksana.1992. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hartoko dan Rahmanto. 1986. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius

Hendy, Zaidan. 1993. Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2.


Bandung: Angkas.

Heryanto. 2009. Bahasa Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press

Panuti Sujiman. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan
Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Kutha Nyoman. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rene Wellek dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Scoot. 1980. Current Literary Term, Aconcise Dictionary. London: The Macmilland
Press.

Slametmuljana. 1956. Stilistika.Surakarta: Pustaka Cakra

Soediro Satoto. 1995. Stilistika. Surakarta: Institut Seni Indonesia Press

Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius

Sumardjo. 1991. Prosa dan Puisi. Jakarta : Gunung Agung


47

Teew. 2009. Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Turner G.W. 1993.Teori Sastra Kontemporari. Selagor: Pustka Karya


48

Lampiran 1

COVER NOVEL
49

Lampiran 2

SINOPSIS NOVEL AURORA DI LANGIT ALENGKA

Jika ada sebuah cara yang begitu menyenangkan untuk kita bisa belajar tentang

dunia wayang, maka membaca buku ini adalah salah satunya. Penggabungan yang

sangat berani antara cerita fantasi dan dunia Ramayana yang begitu apik, dengan

beragam pengetahuan lokal tentang makanan, obat-obatan, tradisi, serta kekayaan alam

Nusantara. Aurora di Langit Alengka adalah sebuah novel tebal yang sarat akan isi.

Pembaca akan mencapatkan 3 hal sekaligus dengan membaca novel ini: penghiburan

lewat kisahnya yang seru, pengetahuan tentang dunia wayang dan Ramayana, serta

khazanah kekayaan lokal (terutama bangsa Jawa). Sebuah novel yang patut diapresiasi,

tidak heran jika bahkan Dalang Ki Mantep Soedhaesono pun ikut memberikan

dukungan bagi penulisan novel ini.

Dari segi cerita, Aurora di Langit Alengka memadukan antara kisah fantasi

dengan dunia perwayangan. Dikisahkan, empat orang sahabat (Bara, Radit, Laras, dan

Mambang) yang masih remaja tanpa sengaja menemukan sebuah jalan rahasia untuk

masuk ke dunia Ramayana saat mereka berlibur di rumah eyangnya di Klaten. Tahu-

tahu, mereka muncul di bukaan pohon beringin yang ternyata ada di tengah alun-alun

ibu kota Kosala. Bayangkan keterkejutan (sekaligus kegembiraan) mereka karena

kebetulan keempat anak muda ini juga sangat menggemari dunia wayang. Laras, satu-

satunya cewek dalam kelompok itu, tentu saja merasa sangat senang karena ia akhirnya

bisa menyaksikan langsung idolanya di dunia wayang, Dewi Sinta.

Tak butuh lama, keempatnya kemudian berbaur ke kehidupan Alengka. Mereka

tinggal bersama sebuah keluarga sederhana, menikmati keindahan dari masa-masa

tempo dulu ketika teknologi belum ada: membajak sawah dengan kerbau, mandi di
50

sungai, berburu di hutan sepertlunya, menyantap makanan yang sederhana namun

nikmat, mengikuti upacara sesaji desa yang penuh kehangatan, dan puncaknnya,

menghadiri acara pernikahan antara Rama dan Sinta. Bahkan, mereka bisa melihat para

bidadari dari kayangan yang asli, serta para dewa-dewi, batara-batari penguasa alam.

Puas dengan segala keajaiban itu, Laras yang begitu nge-fans dengan Sinta memutuskan

untuk mengubah jalannya cerita Ramayana. Ia ingin menyelamatkan Sinta dari

penculikan yang dilakukan Rahwana.

Maka rencana disusunlah. Keempatnya kemudian masuk ke Hutan Dandaka,

lokasi di mana Sinta akan diculik oleh Rahwana. Selama di hutan, keempat anak muda

itu telah belajar ilmu berburu kepada Suku Hutan jadi ketika akhirnya mereka bertemu

dengan rombongan Rama, Laksmana, dan Sinta; keempatnya terbukti menjadi sahabat-

sahabat yang senasib-sepenanggunggan, sama-sama berburu dan berjuang

menghabiskan masa pembuangan di hutan. Cerita pun bergulir sebagaimana Ramayana

dikisahkan. Salah satu antek Rahwana mencoba menarik Sinta dengan mengubah diri

menjadi kijang kencana. Tapi, Laras yang sudah tahu hal ini memperingatkan Sinta.

Rahwana gagal menculik Sinta, tapi sebagai akibatnya, Laras lah yang diculik dan

dibawa ke negeri Alengka.

Entah bagaimana, kisah pun bergulir mengikuti pakem yang sudah ditetapkan

dalam Ramayana, kecuali dalam hal ini yang diculik adalah Laras dan bukannya Sinta.

Merasa berutang budi, Rama pun betekad membebaskan sahabatnya itu. Dikumpulkannya

semua tokoh-tokoh yang ada du pewayangan untuk menggempur Alengka. Dan, perang

besar pun menanti di depan. Sebuah perang epic tentang Ramayana yang luar biasa,

penuh keajaiban dan juga darah, namun banyak mengajarkan tentang kesetiaan,

nasionalisme, pengurbanan, jiwa ksatria, serta keberanian.


51

Lampiran 3

BIOGRAFI AGUS ANDOKO

Nama Agus Andoko melejit seiring kesuksesan dalam menulis buku-buku baik itu

buku dibidang pengetahuan maupun dalam bidang karya sastra. Agus Andoko lahir

pada tanggal 12 Agustus 1965 di Klaten. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu

Komunikasi di Fisip UNS Surakarta pada tahun 1991. Memulai karir kepenulisan

sebagi wartawan harian umum Jayakarta, Jakarta tahun 1991-1994. Than 1994 keluar

dari Jayakarta menjadi penulis lepas untuk berbagai majalah, tabloid, dan surat kabar.

Awal tahun 2002, mulai menulis buku-buku pertanian, perkebunan, pertenakan, dan

tanaman hias di terbitkan oleh Agromedia Pustaka. Sampai tahun 2012 sudah sekitar 25

judul buku diterbitkan oleh Agromedia Pustaka. Setelah menulis buku Agus Andoko

mulai meranjak ke dunia sastra. Dia menulis karya fiksi perdananya pada tahun 2013

yang diterbitkan oleh Diva Press.

Anda mungkin juga menyukai