Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Secara umum sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi

berdasarkan luapan emosional yang spontanitas yang mampu mengungkapkan

aspek-aspek etentik baik didasarkan pada kebahasaan maupun aspek makna.

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang pergunakan bahasa sebagai

mediumnya yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan dan ditulis dengan

bahasa yang indah. Karya sastra diungkapkan melalui ekspresi dan bahasa yang

artistik melalui imajinatif. Dengan demikian, karya sastra merupakan sebuah

kreatifitas yang dilakukan oleh seseorang untuk mengungkapkan tentang

kehidupan manusia dengan menggunakan bahasa-bahasa yang indah. Oleh sebab

itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang

melingkupi manusia.

Untuk dapat mengekspresikan karya sastra dengan baik pada diri peserta didik

tentunya harus di tanamkan rasa cinta terhadap karya sastra. Rasa cinta itu dapat

melalui pengenalan terhadap karya satra di dalam pembelajaran di kelas. Dengan

memahami sebuah karya sastra maka peserta didik tentunya dapat

mengembangkan wawasan pengetahuan siswa terhadap sebuah karya sastra, hal

ini karena di dasarkan pada karya-karya satra yang terdapat pengalaman hidup

tokoh-tokoh yang imajinatif yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didik.

1
Karya sastra dibedakan atas puisi, drama dan prosa. Prosa merupakan sejenis

karya satra yang bersifat paparan, sering juga disebut karangan bebas karena

tidak diikat oleh aturan-aturan khusus misalnya ritme, seperti halnya pada puisi.

Ragam prosa terdiri dari dua macam, yaitu prosa lama dan prosan baru. Prosa

lama cenderung bersifat statis, sesuai dengan masyarakat lama mengalami

perubahan cerara lambat. Sebaliknya prosa baru bersifat dinamis yang senantiasa

berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang termasuk prosa lama seperti

hikayat, mitos, dongeng, fabel dan legenda. Sedangkan prosa baru seperti novel,

cerita pendek dan roman.

Kedua jenis karya sastra tersebut perlu diterapkan pada siswa terutama siswa

kelas X hal ini seperti yang tercantum dalam kurikulum K13 dengan kompetensi

dasar mengidentifikasi jenis gaya bahasa yang terkandung dalam cerita rakyat

(hikayat) baik lisan maupun tulisan. Pengajaran sastra bertujuan untuk

meningkatkan apresiasi siswa dalam hal mengembangkan kemampuan

berbahasanya. Pentingnya pengajaran satra di sekolah agar siswa diharapkan

tidak hanya memiliki pengetahuan tentang satra atupun menjadi seorang

sastrawan, tetapi pengajaran satra di sekolah bertujuan memberikan dasar pokok

dalam memahami sebuah karya satra agar siswa dapat lebih mencintai dan dapat

menghargai sebuah karya satra sesuai dengan kaidah-kaidah kesusastraan yang

telah mereka dapatkan.

Salah satu karya sastra yang perlu diajarkan pada siswa adalah hikayat. Hikayat

ialah salah satu bentuk prosa lama yang merupakan karya sastra melayu klasik

2
yang berisi cerita, keagamaan dan sejarah. Selain sebagai suatu hiburan, hikayat

juga dapat dijadikan sebagai pembangkit semangat juang, untuk mengenang jasa

para pahlawan. Hikayat disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut. Di dalam

hikayat terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya diantaranya terdapat

gaya bahasa dan konjungsi. Penggunaan gaya bahasa dalam suatu karya terutama

hikayat sangat produktif terutama gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa

perbandingan ini biasanya digunakan dalam hikayat. Selain gaya bahasa yang

produktif di dalamnya terdapat juga kata hubung (konjungsi) terutama di awal

cerita yang digunakan sebagai pengantar cerita seperti alkisah, sebermula, dan

penggunaan di dalam cerita, seperti maka, hatta, dan kalakian.

Berdasarkan wawancara pada prapenelitian yang dilakukan pada tanggal 09 April

2018 siswa kelas X semester ganjil di SMK Muhammadiyah Ambarawa dengan

melibatkan guru bahasa Indonesia Bapak Ferdi Rado, S.Pd. Data yang

didapatkan sebagai berikut: materi pelajaran telah diberikan sesuai dengan

kurikulum 2013, guru telah menyusun RPP. Adapun sarana dan prasarana untuk

menunjang pembelajaran di sekolah tersebut telah dilengkapi dengan buku-buku

penunjang yang berada di perpustakaan. Namun, sebagian besar siswa masih

kesulitan dalam mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi pada hikayat

dengan kehidupan saat ini. Setelah peneliti mengamati pembelajaran, banyak

memerlukan evaluasi berupa analisis untuk mengukur tingkat kemampuan siswa

dalam penguasaan materi pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu, peneliti

menganggap perlu untuk melakukan sebuah penelitian lebih lanjut tentang

3
kemampuan siswa terhadap mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi dalam

hikayat pada siswa kelas X semester ganjil di SMK Muhammadiyah Ambarawa.

B. Masalah dan Fokus Penelitian

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai

berikut: “Bagaimanakah kemampuan mengidentifikasi gaya bahasa dan

konjungsi dalam hikayat pada siswa kelas X semester ganjil SMK

Muhammadiyah Ambarawa tahun pelajaran 2018-2019?”

Berdasarkan rumusan di atas, maka judul penelitian ini sebagai berikut:

KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI GAYA BAHASA DAN

KONJUNGSI DALAM HIKAYAT PADA SISWA KELAS X SEMESTER

GANJIL SMK MUHAMMADIYAH AMBARAWA TAHUN

PELAJARAN 2018-2019.

2. Fokus Penelitian

a) Subjek penelitian : Siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Muhammadiyah

Ambarawa

b) Objek penelitian : Kemampuan Mengidentifikasi Gaya Bahasa Metafora

Dalam Hikayat Pada Siswa Kelas X Semester Ganjil SMK

Muhammadiyah Ambarawa Tahun Pelajaran 2018-2019

c) Waktu Penelitian : Waktu penelitian yaitu dilaksanakan pada semester I

Tahun Pelajaran 2018-2019.

4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa

dalam mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi terhadap hikayat di SMK

Muhammadiyah Ambarawa kelas X semester ganjil tahun pelajaran 2018-

2019.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan

informasi untuk mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi dalam

hikayat.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi siswa, hasil penelitian diharapkan dapat  memberikan informasi

tentang mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi dalam hikayat.

2. Bagi guru, materi tentang mengidentifikasi gaya bahasa dan

konjungsi dalam hikayat dapat menjadi informas dalam pembelajaran

yang lebih baik.

3. Bagi peneliti, peneliti mampu memberikan informasi memberikan

informasi mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi dalam

hikayat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Mengidentifikasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2010: 336)

“Mengidentifikasi adalah menentukan atau menetapkan identitas (orang, benda,

dsb)”. Sedangkan menurut Ernawati Waridah (2017: 105) “identifikasi adalah

tanda diri; bukti diri; penentu atau penetapan identitas seseorang benda, dan

sebagainya”. Mempunyai arti menentukan atau menetapkan identitas (orang,

benda, dan sebagainya).

Adapun menurut Keraf (dalam Dalman, 2016: 123) identifikasi merupakan

sebuah metode yang menyebutkan ciri-ciri atau unsur yang membentuk suatu

hal atau objek sehingga pembaca dapat mengenal objek itu dengan tepat dan

jelas. Dalam keseharian kita sering menggunakan metode ini untuk menjawab

pertanyaan seperti apa itu? Atau seperti itu? Di mana sesuatu yang

diidentifikasi dapat bersifat, fisik atau konkret, dapat pula nonfisik atau abstrak.

Berdasarkan pengertian yang disebutkan di atas dapat disimpulkan

mengidentifikasi adalah kegiatan yang mencari, menemukan, mengumpulkan,

meneliti, mendaftarkan, mencatat data dan informasi agar informasi yang

diperoleh bersifat fakta.

6
2. Gaya Bahasa

a) Pengertian Gaya Bahasa

Menurut Dale (dalam Tarigan, 2013: 4) gaya bahasa adalah bahasa indah

yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memeperkenalkan

serta membandingkan sesuatu benda atau hal tertetu dengan benda atau hal

lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu

dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Sedangkan di dalam

buku Bright Learning Center (2017: 89) gaya bahasa adalah bentuk dari

majas. Majas adalah peristiwa pemakaian kata yang menyimpang dari arti

harfiahnya akibat dari pengkiasan atau pengandain.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa gaya

bahasa merupakan bahasa yang indah atau bentuk kiasan yang digunakan

dalam membuat sastra, dengan menggunakan gaya bahasa sebuah karya

sastra akan membuat pembaca atau pendengar menjadi lebih tertarik dan

terkesan.

b) Jenis-Jenis Gaya Bahasa

Ada beberapa jenis gaya bahasa yang harus diperhatikan, yakni menurut

Tarigan (2013: 6) ialah gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa

pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan, yang

dibahas antara lain:

7
1) Gaya Bahasa Perbandingan

Jenis gaya bahasa yang senantiasa membanding-bandingkan sesuatu

dengan sesuatu lainnya, diantaranya:

(a) Gaya Bahasa Perumpamaan

Menurut buku Bright Learning Center (2017: 99) gaya bahasa

perumpamaan disebut juga dengan simile adalah gaya bahasa

perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan keadaan lain

yang berbeda namun dianggap sama. Perumpamaan adalah

perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang

sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata

perumpamaan disamakan dengan persamaan. Perbandingan itu

secara eksplisit dijelaskan oleh pemakain kata seperti dan

sejenisnya. Simile basanya dinyatakan dengan kata seperti, bagai,

sebagai, laksana, bak, dan ibarat.

Contoh: seperti air dengan minyak

(b) Gaya Bahasa Metafora

Menurut Dale (dalam Tarigan, 2013: 15) metafora membuat

perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu

kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit

dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama,

laksana, penaka, dan serupa. Sedangkan di dalam buku Bright

Learning Center (2017: 99) metafora adalah majas membandingkan

dengan sesuatu yang mempunyai kesamaan.

8
Contoh: perpustakaan gudang ilmu

(c) Gaya Bahasa Personifikasi

Menurut Dale (dalam Tarigan, 2013: 17) personifikasi berasal dari

bahasa Latin persona ‘orang, pelaku, aktor, atau topeng yang

dipakai dalam drama’ + fic ‘membuat’. Oleh karena itu, apabila kita

menggunakan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri

kualitas, yaitu kualitas pribadi orang kepada benda-benda yang

tidak bernyawa atau pun kepada gagasan-gagasan. Dengan kata

lain, penginsanan atau personifikasi, ialah jenis majas yang

melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan

ide yang abstrak. Sedangkan di dalam buku Bright Learning Center,

(2017: 99) personifikasi yakni majas yang membandingkan suatu

benda, seolah-olah benda tersebut mempunyai nyawa dan dapat

melakukan hal-hal yang dilakukan oleh manusia.

Contoh: hujan memandikan tanaman

(d) Gaya Bahasa Depersonifikasi

Menurut Tarigan (2013: 21) depersonifikasi atau pembendaan,

adalah kebalikan dari gaya bahasa personifikasi, yakni biasanaya

terdapat dalam kalimat pengandaiain yang secara eksplisit

memanfaatkan kata kalau dan sejenisnya sebagai penjelas gagasan

atau harapan. Sedangkan di dalam buku Bright Learning Center

(2017: 104) depersonifikasi ialah majas yang meletakan sifat-sifat

suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan. Biasanya

9
memanfaatkan kata-kata kalau, sekiranya, jikalau, misalkan, bila,

seandainya, seumpama.

Contoh: kalu dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.

(e) Gaya Bahasa Alegori

Menurut Tarigan (2013: 24) alegori berasal dari bahasa Yunani

allegorein yang berarti berbicara secara kias; di turunkan dari allos

yang lain + agoreuein yakni berbicara. Alegori adalah cerita yang

dikiaskan dalam lambang-lambang merupakan metafora yang

diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek

atau gagasan-gagasan yang dioperlambangkan. Alegori biasanya

mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Yakni

merupakan cerita-cerita yang panjang dan rumit dengan maksud

dan tujuan terselubung namun bagi pembaca yang jeli justru jelas

dan nyata. Alegori dapat dibagi menjadi dua macam, yakni:

(1) Fabel, adalah sejenis alegori, yang di dalamnya binatang-

binatang berbicara dan bertingkahlaku seperti manusia.

Misalnya, cerita Kancil dengan Buaya.

(2) Parabel, yakni cerita yang berkaitan dengan Kitab Suci yang

mengandung pengajaran mengenai moral dan kebenaran.

Sedangkan di dalam buku Bright Learning Center (2017: 100)

alegori ialah majas yang menjelaskan maksud tanpa secara harfiah.

Seperti kiasan atau penggambaran.

10
(1) Fabel, adalah majas yang menyatakan perilaku binatang

sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.

(2) Parabel, adalah ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan

atau disamarkan dalam bentuk cerita. Hampir sam seperti fabel,

namun majas ini menggunakan manusia sebagai bentuk

penggambarannya.

2) Gaya Bahasa Pertentangan

(a) Gaya Bahasa Hiperbola

Menurut Tarigan (2013: 55) hiperbola adalah gaya bahasa yang

mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya,

ukurannya atau sifatnya dengan maksdu memberi penekanan pada

suatu penyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan

kesan dan pengaruhnya. Menurut Dale (dalam Tarigan, 2013: 55)

kata hiperbola berasal dari bahasa Yunani yang berarti pemborosan,

berlebih-lebihan, dan di turunkan dari hyper ‘melebihi’ + ballein

‘melempar’. Hiperbola merupakan suatu cara yang berlebih-lebihan

mencapai efek, suatu gaya bahasa yang di dalamnya berisi

kebenaran yang direntangpanjangkan.

Contoh: ia bekerja membanting tulang.

(b) Gaya Bahasa Litotes

Menurut Tarigan (2013: 58) litotes kebalikan dari hiperbola, adalah

gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi dari

11
kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri.

Menurut Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 58) litotes adalah majas

yang di dalamnya pengungkapannya menyatakan sesuatu yang

positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan.

Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang

sebenarnya.

Contoh: mampirlah ke gubuk kami.

(c) Gaya Bahasa Ironi

Menurut Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 61) ironi ialah majas

yang menyatakan makna yang bertentangan, dengan masud

mengolok-olok. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan

makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya,

ketidaksesuaian antara suara yang di ketengahkan dan kenyataan

yang mendasarinya, dan ketidaksesuaian antara harapan dan

kenyataan. Sedangkan menurut Tarigan (2013: 61) ironi adalah

gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda,

bahkan seringkali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan

itu. Ironi ringan merupakan suatu bentuk humor, tetapi ironi berat

atau ironi keras biasanya merupakan suatu bentuk sarkasme atau

satire, walaupun pembatasan yang tegas antara hal-hal itu sangat

sulit dibuat dan jarang sekali memuaskan orang.

Contoh: rajin sekali kamu, tidak pernah masuk sekolah.

12
(d) Gaya Bahasa Paradoks

Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2013: 77). paradaoks adalah gaya

bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-

fakta yang ada. Paradoksdapat juga berarti semua hal yang menarik

perhatian karena keberaniannya.

Contoh: aku kesepian ditengah keramaian.

(e) Gaya Bahasa Klimaks

Menurut Shadily (dalam Tarigan, 2013: 79). kata klimaks berasal

dari bahasa Yunani yang berarti tangga. Klimaks adalah gaya

bahasa berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin

mengandung penekanan, kebalikannya adalah antiklimaks.

Contoh: dengan penuh penderitaan aku menuntut ilmu, yang akan

kupersembahkan kepada nusa dan bangsa untuk meningkatkan taraf

pendidikan di Indonesia.

(f) Gaya Bahasa Antiklimaks

Menurut Tarigan (2013: 81-82) antiklimaks adalah kebalikan gaya

bahasa klimaks. Antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi

acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diturutkan dari yang

terpentring berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya

bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum

yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum,

katabasis, dan batos. Dekerementum adalah semacam antiklimaks

yang berwujud menambahkan gagasan yang kurang penting pada

13
suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah gaya bahasa

antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin

kurang penting. Batos adalah gaya bahasa antiklimaks yang

mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat

penting ke suatu gagasan yang sma sekali tidak penting.

Contoh: selamat datang Bapak Gubernur, Bapak Bupati, Bapak

Camat, dan Bapak Lurah.

3) Gaya Bahasa Pertautan

(a) Gaya Bahasa Metonimia

Menurut Dale (dalam Tarigan, 2013: 121) metonimia berasal dari

bahasa Yunani meta berarti bertukar + onym berarti name, adalah

gaya bahasa yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu

yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia suatu barang

disebutkan tetapi yang dimaksud barang yang lain.

Contoh: terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.

(b) Gaya Bahasa Sinekdoke

Menurut Moeliono (Tarigan, 2013: 123) sinekdoke ialah majas

yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama

keseluruhannya, atau kebalikannya. Sedangkan menurut Tarigan

(2013: 123) kata sinekdoke berasal dari bahasa Yunani

synekdechesthai (syn ‘dengan’ + ex ‘’keluar’ + dechesthai

‘mengambil, menerima) yang secara kaliah berarti menyediakan

14
atau memberikan sesuatu kepada apa yang disebutkan. Dengan kata

lain, sinekdoke adalah gaya bahasa yang mengatakan sebagian

untuk pengganti keseluruhan.

Contoh: dari kejauhan terlihat berpuluh-puluh layar.

(c) Gaya Bahasa Alusi

Menurut Moeliono (Tarigan, 2013 : 124) alusi atau kilatan adalah

gaya bahasa yang menunjuk secar tidak ke suatu peristiwa atau

tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang

dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan

para pembaca untuk menangkap pengacuan itu.

Contoh: sudah dua hari dia tidak terlihat batang hidungnya.

(d) Gaya Bahasa Antonomasia

Menurut Tarigan (2013: 129) antonomasia adalah gaya bahasa yang

merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa pemakain

sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi, atau

jabatan untuk menggantikan nama diri, dengan kata lain,

antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar

resmi atau jabatan sebagai pangganti nama diri.

Contoh: Rakyat mengharapkan agar Yang Mulia dapat menghadiri

upacara itu

15
4) Gaya Bahasa Perulangan

(a) Gaya Bahasa Aliterasi

Menurut Tarigan (2013: 175) aliterasi adalah gaya bahasa yang

memanfaatkan purwakanti atau pemakaian kata-kata yang

permulaannya sama bunyinya. Sedangkan menurut Keraf (dalam

Tarigan, 2013: 175) aliterasi adlah gaya bahasa yang berwujud

perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi,

kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.

Contoh: inilah indahnya impian

(b) Gaya Bahasa Asonansi

Menurut Tarigan (2013: 176) asonansi adalah gaya bahasa repetisi

yang berwujud perulangan vokal yang sama. Biasanya dipakai

dalam karya puisi ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek

penekanan atau menyelamatkan keindahan.

Contoh: Kura-kura dalam perahu.

(c) Gaya Bahasa Atanaklasik

Menurut Ducrot dkk (dalam Tarigan, 2013: 179) antaklasik

adalahgaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama

dengan makna yang berbeda.

Contoh: karena buah penanya itu dia menjadi buah bibir

masyarakat.

16
(d) Gaya Bahasa Kiasmus

Menurut Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 2013 : 180) kiasmus

adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula

merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.

Contoh: yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin

justru meras dirinya kaya.

(e) Gaya Bahasa Epizeukis

Menurut Tarigan (2013: 182) adalah gaya bahasa perulangan yang

bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang

dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.

Contoh: sebagai mahasiswa kita semua harus rajin belajar, rajin

belajar ya rajin belajar, agar lulus tepat waktu.

(f) Gaya Bahasa Tautotes

Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2013: 183) tautotes adalah gaya

bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang

dalam sebuah konstruksi.

Contoh: kakanda mencintai adinda, adinda mencintai kakanda,

kakanda dan adinda saling mencintai, adinda dan kakanda menjadi

satu.

(g) Gaya Bahasa Anafora

Menurut Tarigan (2013: 184) anafora adalah gaya bahasa repetisi

yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap

kalimat.

17
Contoh: lupakah engkau bahwa merekalah yang membesarkan dan

mengasuhmu?

(h) Gaya Bahasa Epistrofa

Menurut Tarigan (2013: 186) epistrofa adalah gaya bahasa repetisi

berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat

berurutan.

Contoh: pendeknya hidup kita adalah sandiwara.

(i) Gaya Bahasa Simploke

Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2013: 187) simploke adalah gaya

bahasa repetisi yang berupa pengulangan pada awal dan akhir

beberapa baris atau kalimat berturut-turut.

Contoh: Ibu bilang saya pemalas, saya bilang biar saja.

(j) Gaya Bahasa Mesodilopsis

Menurut Tarigan (2013: 188) mesodilopsis adalah gaya bahasa

repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah-tengah

baris atau beberapa kalimat berurutan.

Contoh: para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa.

(k) Gaya Bahasa Epanalepsis

Menurut Tarigan (2013: 190) epanalepsis adalah gaya bahasa yang

repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa,

atau kalimat menjadi terakhir.

Contoh: saya akan tetap menggapai cita-cita saya.

18
(l) Gaya Bahasa Anadiplosis

Menurut Tarigan (2013: 191) anadiplosis adalah gaya bahasa

repetisis di mana kata atau frase akhir dari suatu klausa atau kalimat

menjadi kata atau frase pertama dari kalusa atau kalimat berikutnya.

Contoh: dalam raga ada darah, dalam darah ada tenaga, dalam

tenaga ada daya, dalam daya ada segala.

3. Konjungsi

a. Pengertian Konjungsi
Menurut Abdul Chaer (2011: 140) konjungsi sering disebut juga dengan
kata hubung yaitu kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata
dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat. Menurut
Iyo Mulyono (2013: 62) Ikhwal konjungsi ada tiga pokok kajian, yakni
fungsi, klasifikasi dan makna konjungsi.

b. Fungsi Konjungsi
Konjungsi merupakan kata tugas yang berfungsi membentuk hubungan
antar kata, antar frase, dan antar klausa. Menurut Abdul Chaer (2011: 140)
fungsi konjungsi dapat dibedakan menjadi dua macam kata penghubung,
yaitu:

1) Kata penghubung yang menghubungkan kata, klausa, atau kalimat yang

kedudukannya sederajat atau setara. Kata penghubung setara ini dapat

dibedakan lagi menjadi kata penghubung yang :

a) Menggabungkan biasa, yaitu kata penghubung dan, dengan, serta.

b) Menggabungkan memilih, yaitu atau.

19
c) Menggabungkan mempertentangkan, yaitu tetapi, namun, sedangkan,

sebaliknya.

d) Menggabungkan memebetulkan, yaitu kata penghubung melainkan,

hanya.

e) Menggabungkan menegaskan, yaitu kata penghubung bahkan, malah

(malahan), lagipula, apalagi, jangankan.

f) Menggabungkan membeatasi, yaitu kata penghubung kecuali, hanya.

g) Menggabungkan mengurutkan, yaitu kata penghubung lalu,

kemudian, selanjutnya.

h) Menggabungkan menyamakan, yaitu kata penghubung yaitu, yakni,

bahwa, adalah, ialah.

i) Menggabungkan menyimpulkan, yaitu kata penghubung jadi, karena

itu, oleh sebab itu.

2) Kata penghubung yang menghubungkan klausa dengan klausa yang

kedudukannya tidak sederajat, melaikan bertingkat. Kata penghubung

bertingkat ini dapat dibedakan lagi menjadi kata penghubung yang

menggabungkan:

a) Menyatakan sebab, yaitu kata penghubung sebab, karena.

b) Menyatakan syarat, yaitu kata penghubung kalau, jikalau, jika, bila,

apabila, asal.

c) Menyatakan tujuan, yaitu kata penghubung agar, supaya.

d) Menyatakan waktu, yaitu kata penghubungketika, sewaktu, sebelum,

sesudah, tatkala.

20
e) Menyatakan akibat, yaitu kata penghubung sampai, hingga,

sehingga.

f) Menyatakan sasaran, yaitu kata penghubung untuk, guna.

g) Menyatakan perbandingan, yaitu kata penghubung seperti, sebagai,

laksana.

h) Menyatakan tempat, yaitu kata penghubung tempat.

c. Klasifikasi Konjungsi
Berdasarkan sifat hubungan antar komponan yang dihubungkannya, ada

dua jenis konjungsi, yakni konjungsi koordinatif dan konjungsi

subordinatif.

1) Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif ialah konjungsi yang menghubungkan dengan

dua komponen yang setara atau sederajat. Dengan pernyataan lain,

konjungsi koordinatif adalah konjungsi hubungan setara, yang

tergolong jenis konjungsi ini adalah dan, atau, tetapi, namun, lalu,

lantas kemudian.

2) Konjungsi Subordinatif

Konjungsi Subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua

komponen tidak setara atau yang bertingkat. Karena itu, konjungsi

jenis ini sering disebut konjungsi hubungan bertingkat, yang tergolong

21
konjungsi jenis ini di antaranya adalah bahawa, karena, jika,

walaupun, padahal, ketika, untuk, yang dan sebelum.

1) Penggunaan kata hubung koordinatif adalah sebagai berikut:

(a) Kata Penghubung Dan

Menurut Abdul Chaer (2011: 141) kata penghubung ‘dan’ yakni

untuk menyatukan ‘gabungan biasa’ digunakan untuk:

(1) diantara dua buah kata benda. Misalnya, Ibu dan Ayah
pergi ke Bogor. (2) diantara dua buah kata kerja. Misalnya,
mereka makan dan minum di kelas. (3) diantara dua buah
kata sifat yang tidak bertentangan. Misalnya, Anak itu rajin
dan pandai. (4) diantara duabuah klausa (bagian kalimat)
dalam sebuah kalimat majemuk/luas. Misalnya, Ali belajar
bahasa Inggris dan kakaknya belajar bahasa Arab.

Berdasrkan penjelasan diatas ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yakni, jika kedua kata sifat yang digabungkan

dengan kata penghubung ‘dan’ itu sifatnya bertentangan, maka

tidak mungkin menduduki fungsi predikat. Misalnya, Anak itu

rajin dan malas. Tetapi dapat menduduki fungsi subjek.

Umpamanya, kaya dan miskin dihadapan Tuhan sama saja.

Sedangkan jika klausa-klausa yang digabungkan itu lebih dari dua

buah, maka kata penghubung ‘dan’ hanya digunakan diantara dua

buah klausa yang terakhir. Contoh: Kami belajar di ruang dalam,

ayah membaca koran di serambi depan, dan adik-adik bermain di

halaman.

22
(b) Kata Penghubung Dengan

Menurut Abdul Chaer (2011: 142) kata penghubung ‘dengan’

berfungsi untuk menyatakan ‘gabungan biasa’ dapat digunakan

diantara dua buah kata benda.

Contoh: Ibu dengan Ayah pergi ke Bogor. Dalam hal ini tidak

dianjurkan untuk menggunakan kata ‘dengan’ untuk posisi ini

sebaiknya digunakan kata penghubung ‘dan’. Maka yang benar

ialah Adik menulis dengan spidol.

(c) Kata Penghubung Serta

Menurut Abdul Chaer (2011: 142-143) kata Penghubung ‘serta’

berfungsi untuk menyatakan ‘gabungan biasa’ digunakan diantara

dua buah kata benda.

Contoh: dia baru sadar akan keluarganya.

(d) Kata Penghubung Atau

Menurut Abdul Chaer (2011: 143) kata Penghubung ‘atau’ dengan

fungsi untuk menyatakan ‘memilih’ dapat digunakan diantara:

(1) dua buah kata benda atau frase. Misalnya, nama orang itu
Adi atau Andi? (2) dua buah kata kerja. Misalnya, jangan
menegur atau mengajak bicara anak-anak nakal itu. (3) dua
buah kata sifat yang berlawanan maknanya. Misalnya, mahal
atau murah akan kubeli rumah itu. (4) kata kerja atau kata
sifat dengan bentuk ingkarnya. Misalnya, jujur atau tidak
jujur orang-orang itu, saya tidak tahu. (5) dua buah klausa
dalam sebuah kalimat majemuk setara. Misalnya, sebaiknya
kita berangkat sekarang saja, atau kita tunggu dulu
kedatangan beliau.
Berdasarkan penjelasan di atas perlu memperhatikan hal-hal

berikut, jika yang harus dipilih terdiri dari lebih dari dua unsur,

23
maka kata penghubung ‘atau’ di tempatkan diantara kedua unsur

yang terakir. Contoh: nama anak itu Nita, Rita atau Rika?

(e) Kata Penghubung Tetapi

Menurut Abdul Chaer (2011: 144) kata penghubung ‘tetapi’

dengan fungsi untuk menyatakan ‘menggabungkan pertentangan’

digunukan diantara:

(1) dua buah kata sifat yang berkontras didalam sebuah


kalimat. Misalnya, anak itu malas tetapi malas. (2) dua buah
klausa yang subjeknya merujuk pada identitas yang sama
sedangkan predikatnya adalah dua buah kata sifat yang
berkontras. Misalnya, anak itu memang bodoh tetapi jujur.
(3) dua buah klausa yang subjeknya merujuk pada identitas
yang tidak sama. Sedangkan predikatnya adalah dua buah
kata sifat yang berlawanan. Misalnya, Ali sanagt pandai
sekali tetapi Sudin sanagt bodoh. (4) dua buah klausa yang
klausa pertama berisi pernyataan dan klausa berisi
pengingkaran dengan kata ‘tidak’. Misalnya, kami ingin
melanjutkan sekolah tetapi tidak ada biaya.

Berdasarkan penjelasan di atas harus diperhatikan hal berikut ini,

jika kata penghubung ‘tetapi’ jangan digunakan sebagai

penghubung antar kalimat.

(f) Kata Penghubung Namun

Menurut Abdul Chaer (2011: 145) kata penghubung ‘namun’

dengan fungsi ‘ menghubungkan mempertentangkan’ digunakan

dianatara dua buah kalimat. Kalimat pertama atau kalimat

sebelumnya, berisi pernyataan; dan kelimat kedua berisi

pernyataan yang kontras dengan kalimat pertama.

24
Contoh: sejak kecil daia kami asuh, kami didik, dan kami

sekolahkan. Namun, setelah dewasa dan jadi orang besar dia lupa

kepada kami.

Berdasarkan penjelasan diatas ada bebrapa hal yang perlu

diperhatikan diantaranya sebagai berikut: (1) kata penghubung

‘namun’ sesungguhnya sam fungsinya dengan kata penghubung

‘tetapi’. Namun, kata penghubung ‘tetapi’ hanya digunakan

sebagai penghubung atar klausa, sedangkan kata penghubung

‘namun’ digunakan sebagai penghubung antar kalimat. (2) kata

penghubung ‘namun’ untuk lebih menegaskan, dapat diikuti kata

‘begitu dan demikian’. Misalnya, dia memang bandel, keras

kepala, dan suka membantah. Namun demikian, hatinya baik dan

suka menolong.

(g) Kata Penghubung Sedangkan

Menurut Abdul Chaer (2011: 145) kata penghubung ‘sedangkan’

dengan fungsi untuk menggabungkan mempertentangkan atau

mengkontraskan digunakan diantara dua buah klausa.

Contoh: Ayahnya menjadi dokter di Puskesmas, sedangkan

Ibunya menjadi bidan.

(h) Kata Penghubung Sebaliknya

Menurut Abdul Chaer (2011: 146) kata penghubung ‘sebaliknya’

dengan fungsi untuk menyatakan menggabungkan

25
mempertentangkan dengan tegas dapat digunakan diantara dua

buah klausa atau diantara dua buah kalimat.

Contoh: di hadapan kita daia memang ramah. Sebaliknya, jauh

dari kita sombongnya bukan main.

(i) Kata Penghubung Malah atau Malahan

Menurut Abdul Chaer (2011: 146) kata penghubung ‘malah’ atau

‘malahan’ dengan fungsi untuk menguatkan mempertentangkan

digunakan diantara dua buah klausa yang amanat keduanya

bertentangan.

Contoh: dinasihati baik-baik bukannya menurut, malahan dia

melawan kita.

(j) Kata Penghubung Bahkan

Menurut Abdul Chaer (2011: 146) kata Penghubung ‘bahkan’

dengan fungsi menggabungkan menguatkan dapat digunakan

diantara dua buah kalimat.

Contoh: anak itu memang nakal. Bahkan Ibunya sendir pernah

ditipunya.

(k) Kata Penghubung Lagipula

Menurut Abdul Chaer (2011: 146-147) kata penghubung

‘lagipula’ dengan fungsi untuk menyatakan menggabungkan

menegaskan digunakan di dalam kalimat (kalusa) tambahan.

Contoh: Saya tidak hadir karena sakit. Lagipula Saya tidak

diundang.

26
(l) Kata Penghubung Apalagi

Menurut Abdul Chaer (2011: 147) kata penghubung ‘apalagi’

dengan fungsi untuk menyatakan menggabungkan menguatkan

digunakan pada awal keterangan tambahan atau kalimat tambahan.

Contoh: Kamu saja yang lulusan SMA tidak tahu, apalagi Saya

yang cuma tamatan SD.

Berdasarkan penjelasan di atas ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yakni: (1) secara opsional katapenghubung ‘apalagi’

dapat diikuti kata ‘kalau atau jika’ bila digunakan pada kalimat

yang tidak bersubjek. Misalnya, dia memang nakal, apalagi kalau

di sekolah. (2) kata penghubung ‘lebih-lebih pula’ atau ‘lebih-

lebih lagi’ dengan fungsi untuk menyatakan menguatkan dapat

digunakan pada awal keterangan tambahan atau kalimat tambahan,

sebagai varian dari kata penghubung ‘apalagi atau apalagi kalua’.

Misalnya, anak itu memang nakal; lebih-lebih lagi di sekolah.

(m) Kata Penghubung Itupun

Menurut Abdul Chaer (2011: 148) kata penghunung ‘itupun’

dengan fungsi menggabungkan-menguatkan dapat digunakan

dianatara daua buah kalimat yang amanatnya sejalan. Kalimat

pertama biasanya diawali dengan kata penghubung ‘hanya’.

Contoh: hanya lima orang yang hadir dalam rapat itu. itupun dua

27
orang diantara mereka sudah akan meninggalkan rapat sebelum

selesai.

(n) Kata Penghubung Jangankan

Menurut Abdul Chaer (2011: 148) kata penghubung ‘jangankan’

dengan fungsi menguatkan-mempertentangkan digunakan:

(1) di depan klausa pertama pada sebuah kalimat majemauk


setara, sedangkan pada klausa kedua biasanya disertai
partikel ‘pun’. Misalnya, jangankan berjalan, berdiri pun aku
tak sanggup. (2) di depan klausa pertama pada sebuah kalimat
majemuk setara, sedangkan klausa keduanya diawali dengan
kata ‘sedangkan’. Misalnya, jangankan untuk membeli buku,
sedangkan untuk memebeli makan unagku tak pernah cukup.
(3) di depan klausa pertama pada senuah kalimat majemuk
setara, sedangkan klausa keduanya diawali dengan kata
‘malah atau malahan’. Misalnya, jangankan membantu kita,
malahan kita yang harus membantunya.

(o) Kata Penghubung Melainkan

Menurut Abdul Chaer (2011: 149) kata penghubung ‘melainkan’

dengan fungsi untuk menyatakan ‘koreksi atau pembetulan’

digunakan di antara dua buah Klausa. Klausa pertama biasanya

disertai dengan kata ingkar bukan, yang diletakkan di muka unsur

kalimat yang akan dikoreksi.

Contoh: bukan dia yang datang melainkan ayahnya.

(p) Kata Penghubung Hanya

Menurut Abdul Chaer (2011: 149) kata penghubung ‘hanya’

digunakan dengan aturan:

(1) menyatakan menggabungkan-mengecualikan digunakan di

antara dua buah klausa. Contoh, Semua orang setuju hanya dia

28
yang tidak setuju. (2) untuk menyatakan menggabungkan

mengoreksi digunakan di antara dua buah klausa. Klausa pertama

berisi pernyataan positif dan prosedur berisi pernyataan yang

mengurangi kepositifan klausa pertama.

Contoh: rumahnya besar dan bagus hanya halamannya kurang

luas.

(q) Kata Penghubung Kecuali

Menurut Abdul Chaer (2011: 149-150) kata penghubung ‘kecuali’

dengan fungsi untuk membatasi digunakan:

(1) di depan kata benda atau frase benda. Contoh, semua sudah

hadir kecuali Anwar. (2) di antara dua buah klausa.

Contoh: Saya pasti datang kecuali kalau turun hujan lebat.

(r) Kata Penghubung Lalu

Menurut Abdul Chaer (2011: 150) kata penghubung ‘lalu’ dengan

fungsi menggabungkan-mengurutkan digunakan di antara dua

buah kelapa pada sebuah kalimat majemuk setara.

Contoh: dipetiknya bunga itu lalu diberikannya kepada ku.

(s) Kata Penghubung Kemudian

Menurut Abdul Chaer (2011: 150-151) kata penghubung

‘kemudian’ dengan fungsi menggabungkan-mengurutkan

digunakan di antara dua buah klausa pada sebuah kalimat

majemuk setara sebagai varian dari kata penghubung.

Contoh: diambilnya mangga itu kemudian dikupasnya hati-hati.

29
Berdasarkan Penjelasan diatas ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan yakni kata penghubung lain yang fungsinya sama

dengan kata penghubung kemudian atau lalu adalah kata

penghubung sesudah itu setelah itu dan selanjutnya. Kalimat kata

penghubung ini dapat digunakan secara bersamaan kalau-kalau

usaha-usaha yang akan digabungkan itu terdiri lebih dari dua buah

klausa.

Contoh: diambilnya selembar kertas dan sebuah pena lalu

ditulisnya sebuah surat, kemudian dipanggilnya anaknya,

selanjutnya disuruh anaknya itu mengantarkan surat itu.

(t) Kata Penghubung Mula-Mula

Menurut Abdul Chaer (2011: 151) kata penghubung ‘mula-mula’,

biasanya disertai dengan kata penghubung mengurutkan yang lain,

seperti lalu, kemudian, selanjutnya, sesudah itu, dan setelah itu,

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan mengatur’ digunakan

didepan klausa pertama pada sebuah kalimat majemuk setara yang

terdiri dari beberapa klausa misalnya mula-mula dipersilahkannya

anak itu duduk, lalu diberinya bahan bacaan, kemudian

ditinggalkannya kedalam, sesudah itu didatanginya lagi anak itu,

selanjutnya diajaknya anak itu berbicara, dan akhirnya

ditanyakannya apa maksud kedatangan anak itu.

30
(u) Kata Penghubung Yakni

Menurut Abdul Chaer (2011: 151) kata penghubung ‘yakni’

dengan fungsi untuk menyatakan menggabungkan menjelaskan

digunakan diantara unsur kalimat dengan bagian yang merupakan

penjelas unsur kalimat itu.

Contoh: tugas mereka yakni mencuci dan memasak telah mereka

kerjakan dengan baik.

(v) Kata Penghubung Yaitu

Menurut Abdul Chaer (2011: 151) kata penghubung ‘yaitu’

dengan fungsi untuk menyatakan menggabungkan menjelaskan

dapat digunakan sebagai varian kata penghubung yakni.

(w) Kata Penghubung Adalah

Menurut Abdul Chaer (2011: 151-152) kata penghubung ‘adalah’

dengan fungsi menyatakan menjelaskan digunakan:

(1) di antara dua buah unsur kalimat yang sama maknanya.

Misalnya, bis adalah kendaraan umum yang dapat mengangkut

banyak penumpang (2) di muka suatu perincian.

Contoh: yang kami butuhkan adalah kertas gunting perekat dan

cat.

(x) Kata penghubung Ialah

Menurut Abdul Chaer (2011: 152) kata penghubung ‘ialah’ secara

bebas dapat digunakan sebagai varian kata penghubung adalah.

31
(y) Kata Penghubung Bahwa

Menurut Abdul Chaer (2011: 152) kata penghubung ‘bahwa’

digunakan dengan aturan:

(1) untuk ‘menggabungkan-mengantarkan’ objek digunakan

pada klausa yang menjadi anak kalimat objek pada sebuah

kalimat. Misalnya, Ayah berkata bahwa hari ini dia akan pergi

ke Bogor. (2) untuk ‘menggabungkan-mengantarkan’ subjek

digunakan dalam kalimat pasif. Misalnya, Bahwa hari ini ada

pelajaran matematika saya sudah tahu.

2) Penggunaan kata hubung subordinatif adalah sebagai berikut:

(a) Kata Penghubung Jadi

Menurut Abdul Chaer (2011: 152-153) kata penghubung ‘jadi’

dengan fungsi untuk ‘menghubungkan menyimpulkan’ digunakan

dimuka kalimat akhir dari suatu tuturan atau bagian tuturan.

Contoh: Ibunya meninggal ketika ia berumur dua tahun. Ayahnya

meninggal sewaktu dia berusia empat tahun. Jadi, sejak kecil dia

sudah yatim piatu.

(b) Kata Penghubung Karena

Menurut Abdul Chaer (2011: 153) kata penghubung ‘karena’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan alasan’

digunakan di depan kata frasa atau klausa yang berfungsi sebagai

32
keterangan di dalam sebuah kalimat majemuk setara. Misalnya,

dia tidak masuk sekolah karena hujan.

Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yakni karena kata penghubung karena merupakan

bagian dari pada unsur keterangan dalam kalimat maka letaknya

dapat dibedakan menurut tempat letaknya unsur keterangan itu.

Jadi, kalimat: dia tidak masuk sekolah karena sakit perut. Dapat

diubah menjadi: karena sakit perut dia tidak masuk sekolah.

(c) Kata Penghubung Karena Itu

Menurut Abdul Chaer (2011: 153) kata penghubung ‘karena itu’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan akibat’

digunakan di antara dua buah kalimat yang menyatakan sebab dan

akibat. Contoh, kami tidak diundang karena itu kami tidak datang.

(d) Kata Penghubung Sebab

Menurut Abdul Chaer (2011: 154) kata penghubung ‘sebab’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan alasan’ secara

bebas dapat digunakan sebagai varian kata penghubung karena.

Namun perlu diperhatikan sebab yang berupa kata benda tidak

dapat diganti dengan karena. Contoh, dalam kalimat: tanpa sebab

yang jelas beliau marah kepada kami, tidak dapat menjadi: tanpa

karena yang jelas beliau marah kepada kami.

33
(e) Kata Penghubung Sebab Itu

Menurut Abdul Chaer (2011: 154) kata penghubung ‘sebab itu’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan akibat’ secara

bebas dapat digunakan sebagai varian kata penghubung karena itu.

(f) Kata Penghubung Kalau

Menurut Abdul Chaer (2011: 154) kata penghubung ‘kalau’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan syarat’

digunakan di depan klausa yang menjadi anak kalimat pada suatu

kalimat majemuk bertingkat. Contoh, Kalau kamu ikut saya pun

akan ikut.

Berdasarkan penjelasan diatas ada beberapa hal yang harus

diperhatikan karena letak klausa yang menjadi anak kalimat dan

klausa yang menjadi induk kalimat dapat dipertukarkan tempatnya

maka letak kata penghubung kalau mungkin pada awal kalimat

mungkin juga di tengah kalimat.

(g) Kata Penghubung Jika

Menurut Abdul Chaer (2011: 154) kata penghubung ‘jika’ dengan

fungsi untuk menggabungkan menyatakan syarat secara bebas

dapat digunakan sebagai varian dari kata penghubung kalau.

secara terbatas dapat juga dipergunakan kata penghubung jikalau,

bila, apabila, dan bilamana, sebagai bagian dari kata penghubung

kalau, dan jika.

34
(h) Kata Penghubung Asal

Menurut Abdul Chaer (2011: 154-155) kata penghubung ‘asal’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan syarat’ yang

harus dipenuhi dapat digunakan dimuka klausa yang menjadi anak

kalimat pada suatu kalimat majemuk bertingkat. Contoh, saya

dapat menyelesaikan pekerjaan itu asal kamu mau membantu

dengan baik.

(i) Kata Penghubung Andaikata

Menurut Abdul Chaer (2011: 155) kata penghubung ‘andaikata’

dengan fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan syarat’ yang

diandaikan digunakan di depan klausa yang menjadi anak kalimat

dari suatu kalimat majemuk bertingkat. Contoh, andaikata kamu

tidak datang, Saya akan menggantikan kamu memimpin rapat ini.

Berdasarkan penjelasan diatas, ada hal-hal yang perlu

diperhatikan, yaitu: (1) secara fungsional andaikata, sama dengan

kata penghubung kalau dan jika, tetapi secara semantik berbeda.

Kalau dan jika menyatakan syarat yang harus dipenuhi, sedangkan

andaikata menyatakan syarat yang diandaikan. (2) secara agak

bebas dapat digunakan kata penghubung andaikata dan seandainya

dengan fungsi dan arti yang sama dengan kata penghubung

andaikata.

35
(j) Kata Penghubung Meskipun

Menurut Abdul Chaer (2011: 155-156) kata penghubung

‘meskipun’ dengan fungsi untuk menggabungkan menyatakan

‘keterangan atau kesungguhan’ digunakan di depan klausa yang

menjadi anak kalimat pada suatu kalimat majemuk bertingkat.

Contoh, meskipun hujan lebat dia pergi juga ke sekolah.

Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yaitu: (1) secara bebas kata penghubung meskipun

dapat diganti dengan bentuk singkatnya, yaitu meski. (2) secara

bebas kata penghubung walaupun atau walau, biarpun atau biar,

sungguhpun, dan kendatipun, atau kendati dapat digunakan

sebagai varian kata penghubung meskipun.

(k) Kata Penghubung Supaya

Menurut Abdul Chaer (2011: 156) kata penghubung ‘supaya’

dengan fungsi untuk menggabungkan menyatakan tujuan

digunakan: (1) di depan kata atau frase yang menduduki fungsi

keterangan di dalam sebuah kalimat tunggal. Misalnya, beras itu

harus dicuci dulu supaya bersih (2) di depan klausa yang menjadi

anak kalimat pada sebuah kalimat majemuk bertingkat. Misalnya,

kami berangkat pagi-pagi supaya kami tidak terlambat tiba di

sekolah.

36
(l) Kata Penghubung Agar

Menurut Abdul Chaer (2011: 156) kata penghubung ‘agar’ dengan

fungsi untuk ‘menggabungkan menyatakan tujuan’ secara bebas

dapat digunakan sebagai varian kata penghubung supaya dengan

catatan di sini tidak dianjurkan untuk menggunakan kata

penghubung agar dan supaya secara bersamaan, seperti dalam

kalimat: kami melakukan tindakan keras itu agar supaya mereka

sadar dan mau memperbaiki kesalahan mereka.

(m) Kata Penghubung Ketika

Menurut Abdul Chaer (2011: 156) kata penghubung ‘ketika’

dengan fungsi untuk menggabungkan menyatakan ‘kesamaan

waktu’ digunakan di depan gak usah yang menjadi anak kalimat

pada kalimat majemuk bertingkat. Misalnya, dia datang ketika

kami sedang makan. Catatan kata penghubung ketika secara bebas

dapat diganti dengan kata penghubung tatkala ataupun sewaktu.

(n) Kata Penghubung Sesudah

Menurut Abdul Chaer (2011: 157) kata penghubung ‘sesudah’

dengan fungsi menggabungkan ‘menyatakan waktu lebih dahulu

digunakan di depan perahu sayang menjadi anak kalimat pada

kalimat majemuk bertingkat. Contoh, sesudah membangun

jembatan itu kami akan mendirikan sebuah sekolah dasar.

37
Berdasarkan paparan di atas, hal-hal yang perlu diperhatikan,

yaitu kata penghubung sesudah secara bebas dapat diganti dengan

kata penghubung setelah.

(o) Kata Penghubung Sebelum

Menurut Abdul Chaer (2011: 157) kata penghubung ‘sebelum’

dengan fungsi menggabungkan ‘menyatakan waktu kemudian,

digunakan di depan klausa yang menjadi anak kalimat pada

kalimat majemuk bertingkat. Contoh, Ayah membaca koran pagi

sebelum berangkat kerja.

(p) Kata Penghubung Sejak

Menurut Abdul Chaer (2011: 157-158) kata penghubung ‘sejak’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan awal waktu atau awal

tepat digunakan: (1) di depan kata benda atau frase benda yang

menyatakan waktu. Contoh, pertandingan itu dimulai sejak hari

minggu yang lalu. (2) di depan kata benda atau frase benda yang

menyatakan tempat. Contoh, sejak di desa dia sudah sering sakit.

(3) di depan klausa yang menjadi anak kalimat pada kalimat

majemuk bertingkat. Contoh, sejak dimarahin guru bulan yang lalu

kelakuannya sudah berubah.

Berdasarkan paparan di atas, hal-hal yang perlu diperhatikan,

yaitu apabila kata penghubung sejak secara tegas dapat diganti

dengan kata penghubung semenjak atau sedari.

38
(q) Kata Penghubung Untuk

Menurut Abdul Chaer (2011: 158) kata penghubung ‘untuk’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan sasaran digunakan di

depan klausa yang menjadi anak kalimat pada sebuah kalimat

majemuk bertingkat.

Contoh: untuk mengamankan pelaksanaan ujian dua orang polisi

ditempatkan di setiap sekolah.

Berdasarkan paparan di atas ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan yaitu: (1) kata penghubung untuk secara terbatas

dapat diganti dengan kata penghubung guna. (2) kata penghubung

untuk memiliki fungsi yang sama dengan kata penghubung supaya

atau agar. Bedanya kata penghubung untuk lazim diikuti kata

benda atau frasa benda Sedangkan kata penghubung supaya atau

agar lazim diikuti kata benda atau frase benda

Contoh: Jalan Raya itu diperlebar untuk melancarkan arus lalu

lintas.

(r) Kata Penghubung Yang

Menurut Abdul Chaer (2011: 159) kata penghubung ‘yang’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan ketentuan atau

penjelasan digunakan di antara kata benda atau frase benda

dengan: (1) kata sifat atau frase sifat. Contoh, anak yang baik

banyak mempunyai teman (2) kata kerja atau frasa kerja.

39
Contoh: rumah yang baru dibangun sudah hancur lagi.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni:

(1) bahwa kata penghubung yang itu berfungsi


menggabungkan menyatakan ‘ketentuan’ dapat dilihat dari
perbedaan makna antara bentuk rumah baru bermakna
‘umum’ sedangkan rumah yang baru bermakna ‘tertentu’. (2)
kata penghubung yang dapat digunakan secara luas untuk
lebih memberi ketentuan atau penjelasan pada sebuah kata
benda atau frase benda. Contoh, Orang yang pernah kita
jumpai di kebun raya Bogor yang meminjamkan kita payung
tatkala turun hujan, yang kebetulan membawa dua buah
payung, kemarin datang ke sini. (3) secara terbatas dalam
peraturan sekarang ada juga digunakan bentuk atau
konstruksi: kata benda + yang + kata benda, seperti: Suwirno
yang jenderal.

(s) Kata Penghubung Sampai

Menurut Abdul Chaer (2011: 159-160) kata penghubung ‘sampai’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan ‘akibat’ digunakan di

depan kawasan yang menjadi anak kalimat pada kalimat majemuk

bertingkat.

Contoh: pencuri itu dikeroyok orang sekampung sampai seluruh

mukanya babak belur.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni secara bebas kata

penghubung sampai dapat diganti fungsinya dengan kata

penghubung hingga atau sehingga.

40
(t) Kata Penghubung Sambil

Menurut Abdul Chaer (2011: 160) kata penghubung ‘sambil’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan keadaan digunakan di

depan unsur kalimat yang berfungsi keterangan.

Contoh: dibacanya surat itu sambil tersenyum itu dengan catatan

secara terbatas kata penghubung sambil dapat diganti kata seraya.

(u) Kata Penghubung Seperti

Menurut Abdul Chaer (2011: 160) kata penghubung ‘seperti’

dengan fungsi menggabungkan menyatakan perbandingan

digunakan di antara dua buah klausa dalam kalimat majemuk

setara. Contoh: dia berjalan tergesa-gesa seperti orang dikejar

hantu.

Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yakni kata penghubung seperti secara agak terbatas

dapat diganti dengan kata penghubung laksana, seumpama, bagai,

atau sebagai.

(v) Kata Penghubung Tempat

Menurut Abdul Chaer (2011: 161) kata penghubung ‘tempat’

digunakan untuk menghubungkan menyatakan tempat pada

kalimat majemuk sematan.

Contoh: rumah tempat mereka berjudi digerebek polisi.

41
d. Makna Konjungsi Koordinatif
Konjungsi setara bisa menyatakan empat macam makna hubungan, yakni

makna hubungan penambahan atau makna aditif, makna hubungan

pertentangan atau makna kontrastif, makna hubungan pemilihan atau

makna alternatif dan makna hubungan pengaturan atau makna regulatif.

1) Makna Perubahan atau Makna Aditif

Terkandung dalam penggunaan konjungsi dan, selain ... juga, lagi pula,

di samping ... juga ..., tetapi juga, tidak hanya ... namun juga ...,

melainkan juga ..., tetapi juga, tidak hanya ... namun juga ..., bukan

hanya ..., tetapi (namun) juga ...

2) Makna Pertentangan atau Makna Kontrasitif

Terkandung dalam penggunaan konjungsi tetapi, sedangkan, namun.

3) Makna Pemilihan atau Makna Alternatif

Terkandung dalam penggunaan konjungsi atau, dan ataupun.

4) Makna Pengatuaran atau Makna Regulatif

Terkandung dalam penggunaan konjungsi kemudian, lalu, lantas.

e. Makna Konjungsi Subordinatif


Makna hubungan subordinatif terdiri atas empat belas macam makna yakni

makna, waktu, tempat, tujuan, sebab, akibat, perbandingan, cara, isi

(maksud), syarat, tak bersyarat, penegasan, pengecualian, makna

penyangkalan, dan makna penjelas.

42
1) Makna waktu, terkandung dalam penggunaan konjungsi sebelum,

ketika, begitu, selagi, sesudah, sesuai, tatkala, pada saat, kapan, saat

mana, setiap kali,setiap waktu.

2) Makna tempat, terkandung dalam penggunaan konjungsi tempat, di

mana, dari mana, ke mana.

3) Makna tujuan, terkandung dalam penggunaan konjungsi supaya,agar,

untuk, guna.

4) Makna sebab, terkandung dalam penggunaan konjungsi sebab, karena,

oleh sebab, oleh karena, dengan alasan, dan kenapa.

5) Makna akibat, terkandung dalam penggunaan konjungsi sehingga,

sampai, sampai-sampai.

6) Makna perbandingan, terkandung dalam penggunaan konjungsi

seperti, laksana, bagaikan, sama halnya dengan.

7) Makna cara, terkandung dalam penggunaan konjungsi dengan, sambil,

seraya, sembari.

8) Makna isi atau makna maksud, terkandung dalam penggunaan

konjungsi bahwa, bahwasanya.

9) Makna syarat, terkandung dalam penggunaan konjungsi jika, kalau,

jikalau, bila, bilamana, apabila, seandainya, andaikan.

10) Makna tak bersyarat (konsensif), terkandung dalam penggunaan

konjungsi walaupun, biarpun, sekalipun, kendatipun, sungguhpun,

meskipun,

43
11) Makna penegasan, terkandung dalam penggunaan konjungsi bahkan,

malahan, malah, alih-alih, jangankan.

12) Makna pengecualian, terkandung dalam penggunaan konjungsi

kecuali, terkecuali, selain.

13) Makna penyangkalan, terkandung dalam penggunaan konjungsi

tidak ... melainkan, bukan ... melainkan.

14) Makna penjelas (atribut), terkandung dalam penggunaan konjungsi

yang.

4. Pengertian Hikayat

Menurut Hooykaas (dalam Rachmadie, dkk. 1985, 4-5) hikayat adalah nama

jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai wahananya. Bahasa

Melayu adalah bahasa yang mula-mula digunakan disuatu daerah di Sumatera

Timur, yang kemudian disebarkan oleh para imigran ke daerah sekitarnya,

seperti Jazilah Malaka, daerah Riau, Kepulauan Lingga, dan selanjutnya ke

daerah pantai pulau-pulau lainnya. Bahasa ini sudah dipakai pada zaman

kerajaan Sriwijaya sebagai bahasa resmi, tidak terbatas dalam bidang

administrasi, tetapi juga sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan.

Sebelum bangsa Melayu mengenal huruf yang berasal dari abjad bahasa Arab,

sastra Melayu disebarluaskan dalam bentuk lisan, yaitu diceritakan oleh nenek

dan ibu kepada anak cucunya pada saat-saat tertentu, oleh pencerita yang

menceritakan pada saat masyarakat melaksanakan acara-acara tertentu, sedang

mempunyai hajat, atau sedang bersantai melepas lelah. Cara penyebaran yang

44
demikian itu membutuhkan kepandaian dan keterampilan pencerita

membumbui ceritanya dengan ceritanya dengan berbagai cerita khayalan atau

menyelip-nyelipkannya jenis khayalan yang sesuai dengan selera para

pendengar.

Setelah bangsa Melayu mengenal huruf, mulailah ditulis cerita-cerita

itumenjadi naskah. Naskah-naskah itu mengalami berkali-kali dikutip.dalam

setiap pengutipan terjadilah kebebasan untuk mengubah, menambai, atau

mengurangi bahannya sesuai dengan selera masing-masing pengutip. Keadaan

demikianlah yang menyebabkan terjadinya berbagai varian dalam cerita-cerita

Melayu atau beberapa versi dalam satu cerita. Lain halnya dengan pendapat

Kosasih, (2008: 57-58) secara etimologis, istilah hikayat ialah:

Hikayat berasal dari bahasa Arab, yakni haka, yang berarti menceritakan atau
bercerita. Hikayat sebagai istilah sastra untuk pertama kalinya ditemukan
dalam sebuah karya yang ditulis oleh Abu Al-Mutakhir al-azdi, yang berjudul
Hikayat Abi al Qasim al-Bagdadi. Karya tersebut menggambarkan suasana
hidup keseharian di Bagdad dalam bentuk kisah yang sederhana. Konon
bermula dari sanalah istilah hikayat itu dipergunakan, sebagaimana tampak
pada judul-judul cerita yang diantaranya telah disebutkan di atas. Istilah
hikayat tidak digunakan dalam karya-karya sastra yang berupa syair, satra
kitab, sejarah, dan silsilah. Pelabain hikayat hanya dijumpai dalam karya-
karya yang berbentuk cerita.

Pendapat tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat dari Pellat (dalam

Abdullah, 1991: 16) istilah hikayat yang sekarang terpakai dalam sastra Aceh

dan Melayu yang berasal dari bahasa Arab yakni hikayat yang mulanya berarti

peniruan. Lama-kelamaan bergeser ke pengertian yang lebih spesifik, yakni

mimikri dan akhirnya dikenal dengan arti tale, narrative, story legend.

45
Telah dikemukakan di atas bahwa istilah hikayat itu merupakan serapan dari

bahasa Arab. Itu menegaskan bahwa di dalam sastra Melayu klasik, pemakain

istilah tersebut setelah Arab mempengaruhi budaya Melayu. Namun yang

menarik bahwa ternyata tidak hanya pada karya-karya keislaman saja istilah itu

digunakan. Dalam karya-karya yang notabene berasal dari Hindu dan Jawa

penamaan tersebut digunakan pula. Contoh, hikayat Sri Rama, hikayat Pandawa

Lima, dan hikayat Panji Semirang.

a) Fungsi Hikayat

Mengenai fungsi hikayat dapat diketahui lewat tuangan isi yang ada di

dalamnya, yang secara garis besar fungsi-fungsi tersebut dirumuskan oleh

Sutrisno (dalam Kosasih, 2008: 63-64) ialah sebagai berikut: (1) untuk

menumbuhkan jiwa kepahlawanan. (2) untuk kepentingan didaktis. (3)

sebagai hiburan. (4) untuk mengebadikan kejadian yang dialami oleh para

raja. Berbeda dengan pendapat dari Braginsky (dalam Abdullah, 1991: 44-

45) ada tiga lingkaran fungsi, yaitu:

(1) lingkarang fungsi keindahan, yaitu tidak hanya bertumpu pada cara
penyampaiannya saja, tetapi berkaitan struktur pembangunan cerita
dan sistem pemaparannya, atau secara keseluruhan dapatlah dikatakan
sistem sastra yang membangun jenis karya tersebut. (2) lingkaran
fungsi kemanfaatan, dibagi menjadi dua kelompok lagi, yaitu sastra
cermin, seperti hikayat Bayan Budiman, dan sastra kesejahteraan,
seperti jenis kronika dinasti yakni HMA, hikayat kayat Pocut
Muhammad, hikayat Prang Guedong. (3) lingkaran fungsi
kesempurnaan jiwa, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
cerita tentang orang-orang suci, termasuk cerita tentang para nabi,
sahabat-sahabat nabi, dan musuh-musuh nabi, serta kelompok sastra
kitab, seprti semua karya tambeh dan charah.

46
b) Jenis-Jenis Hikayat

Perkembangan hkayat secara kronologis dengan kepastian sejarah

penciptaan tiap karya hikayat sudah pasti tidak mungkin dilakukan.

Gambaran perkembangan yang mungin dilakukan di sini semata-mata

bertolak pada asumsi bahwa certia rakyat pastilah lebih dahulu hisup dalam

sastra Aceh. Selnjutnya berkenalan dengan cerita-cerita jenis romansa asal

India yang mungkin sekali diterima melalui Melayu.seterusnya berlanjut

dengan cerita-cerita dari budaya Arab-Persia (budaya Islam). Menurut

Propp, (dalam Abdullah, 1991: 38-39) ada dua jenis plot yang umum

terlihat, yaitu:

1) Pola plot pada jenis-jenis cerita humor ataupun cerita binatang

biasanya dimulai dengan suatu peristiwa apakah itu berupa pertemuan

dua tokoh yang saling bertentangan (pelanduk bertemu dengan

harimau) atau seorang janda datang ketempat penyembelihan kuda,

dari sini cerit berkembang ke dalam konflik dan akhirnya selesai.

Dalam cerita berangkai, pola semacam ini berulang terus sampai

akhirnyasalah satu tokohnya kalah atau mati.

2) Pola kedua merupakan pola cerita yang selanjutnya mengalami

perkembangan. Pola semacam ini biasanya terlihat pada cerita asal-

usul, tetapi dalam cerita biasa juga terdapat. Dalam cerita asal-usul

seperti Srang Mayang, di Minangkabau dikenal dengan nama Malin

Kundang, pengembangan cerita bertolak dari beberapa motif, yaitu

alasan dan tujuan dalam cerita tersebut.

47
c) Ciri-Ciri Hikayat

Menurut Kosasih (2008: 59-61) ada beberapa ciri-ciri dalam hikayat yaitu

sebagai berikut:

1) Cerita Berbentuk Prosa

Jenis sastra yang menamakan diri sebagai hikayat adalah karya sastra

yang beralur naratif. Di dalamnya ada yang berupa:

a. Cerita rakyat, seperti hikayat Si Miskin dan hikayat Malin Dewa.

b. Epos dari India, seperti hikayat Sri Rama.

c. Dongeng-dongeng dari Jawa, seperti hikayat Pandawa Lima dan

hikayat Panji Semirang.

d. Cerita-cerita Islam, seperti hikayat nabi bercukur, dan hikayat

Raja Khaibar.

e. Sejarah dan biografi, seperti hikayat raja-raja Pasai dan hikayat

Abdullah.

f. Cerita berbingkai, seperti hikayat Abkhtiar dan hikayat Maharaja

Ali.

Jenis-jenis hikayat di atas tidak satu pun yang berbentuk syair

semuanya berbentuk prosa.

2) Cerita Rekaan

Menurut Kosasih (2008: 60-61) katakan merupakan ciri hikayat yang

sangat menonjol. Unsur dan komposisi yang di rata-rata dalam hikayat

sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya.

48
Dalam hikayat banyak cerita-cerita semacam mite, legenda, dan

dongeng, kepercayaan terhadap mahluk halus, mahluk raksasa, ajimat,

dan sejenisnya. Masuknya agama Hindu dan Islam, membawa

perubahan yang berarti bagi mereka and tema hikayat. Kedatangan

agama Hindu membuat cerita rakyat berkisah sekitar kehidupan para

dewa dan Bidadari. datangnya agama Islam menyebabkan tingginya

cerita rekaan yang bernafaskan, yakni dengan munculnya cerita para

nabi, cerita hari kiamat, dan sejenisnya.

3) Citra Karya Klasik

Menurut Kosasih (2008: 61) katakan ataupun khayalan itu merupakan

unsur utama hikayat. Tetapi, tidak berarti semua karya sastra yang

mengandung unsur rekaan itu bisa dikatakan sebagai hikayat. Karya-

karya prosa bergaya baru (modern), tidaklah layak bila disebut hikayat.

Istilah hikayat itu bisa dilepaskan dari citra kemasalaluan. Judul-judul

karya yang berlabelkan hikayat hanya layak dibubuhkan pada karya-

karya yang terlahir pada zaman Melayu klasik. Hikayat tidak bisa

dilepaskan dari keseluruhan unsur kebudayaan masyarakat klasik.

4) Sebagai Karya Tulis

Menurut Kosasih (2008: 61) pengertian bahwa hikayat itu adalah

cerita, memang masih tidak jelas. Tidak setiap karya klasik yang

berupa cerita (prosa) dikatakan sebagai hikayat. Sastra klasik yang

49
masih berupa sastra lisan, yang dalam hal ini umumnya berupa cerita-

cerita rakyat, tidaklah dikatakan sebagai hikayat. Pengertian hikayat

hanya terbatas pada sastra-sastra tulis, telah dibuktikan. Umumnya

cerita-cerita tulis tersebut adalah sastra yang tumbuh dan berkembang

di lingkungan lingkungan Keraton, dan temanya pun sebagian besar

berkisah tentang kehidupan istana.

Sama halnya dengan yang di paparkan oleh Baried (1985: 6-8), yaitu

sebagai berikut:

1) Cerita Berbentuk Prosa

Memurut Fang (dalam Baried, 1985: 6) Cerita yang berjudul hikayat

meliputi berbagai ragam cerita, mulai dari jenis cerita rakyat, epos dari

India, dongeng-dongeng dari Jawa, Persi, Arab, atau cerita-cerita

bersejarah dan kisah perorangan. Semuanya berbentuk prosa, tidak ada

satu pun berbentuk syair.

2) Cerita Rekaan

Sifat rekaan hikayat merupakan unsur yang menonjol. Kadar rakaatnya

selalu sesuai dengan taraf kebudayaan masyarakat dan alam pikiran

mereka. Hikayat yang muncul pada awal sastra Melayu mengandung

cerita rekaan yang erat hubungannya dengan kepercayaan pribumi

pada waktu itu. Cerita ini masih dihubungkan dengan kehidupan

raksasa, makhluk halus Yang beraneka ragam macamnyaYang selalu

menghantui manusia, seperti yang banyak terdapat dalam cerita asal-

50
usul. Kedatangan kebudayaan Hindu membuat cerita rekaan itu berupa

sekitar kehidupan para dewa dan para bidadari. Datangnya agama

Islam menyebabkan timbulnya cerita rekaan yang bernafaskan Islam,

dengan memunculkan cerita para nabi, ara sahabat, cerita hari kiamat,

dan sebagainya. Dengan demikian, Sifat rekaan itu mengikuti

perkembangan kebudayaan bangsa Melayu yang semakin maju. Sikap

kebudayaan yang maju akan mendasarkan penalarannya dan alam

pikirannya kepada rasio. Dalam karya sastra, hal ini akan

menyebabkan kadar rekaan ituMenjadi semakin menipis, seperti yang

tampak dalam hikayat Abdullah. Kebudayaan Melayu pada waktu

Abdullah telah menyerap kebudayaan barat, yaitu suatu kebudayaan

yang ditopang oleh gaya penalaran rasional. Oleh karena itu, ciri

khayalan sebagai hikayat dalam Abdullah menjadi kurang bila

dibandingkan dengan hikayat-hikayat sebelum zaman Abdullah.

Tokoh-tokoh dalam hikayat Abdullah adalah tokoh-tokoh sejarah,

yang pada umumnya ditampilkan secara wajar. Hanya kadang-kadang

tokoh yang dikagumi oleh Abdullah, misalnya Raffles, ditonjolkan

juga sedikit kehebatannya. Hal yang demikian ini dapat dimaklumi

karena sebuah karya sastra, bagaimanapun dekatnya realitas di luar

dirinya, masih berisi imajinasi dan cita-cita penulisnya sendiri hingga

tidak pernah merupakan realitas yang utuh. Menurut Junus (dalam

Baried, 1985: 7-8).

51
3) Cerita Lama (Kuno)

Pengertian bahwa hikayat adalah cerita lama atau cerita kuno dapat

dibuktikan bahwa di dalam sastra Indonesia (modern) Tidak dipakai

lagi judul hikayat, meskipun karangan itu banyak mengandung

khayalan, seperti Langit Makin Mendung karangan Ki Pandji Kusmin,

atau MMM karangan Priono. Dalam sastra Malaysia (modern), judul

hikayat masih dipakai, seperti hikayat Farida Hanun, hikayat Khalik

dan Malik. Karangan ini banyak dipengaruhi unsur cerita pelipur lara.

(Manurur Ali dalam Baried, 1985: 8).

d) Contoh Hikayat

1. Soal mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi pada Hikayat Si

Miskin.

Hikayat Si Miskin

Alkisah maka tersebutlah perkataan Mara Karmah berjalan dua bersaudara itu, maka
tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu, maka Mara Karmah
pun menangis seraya berkata, “Diamlah adinda jangan menangis, karena kita orang
celaka, di manakah kita boleh mendapat susu, lagi kita sudah dibuangkan orang.”
Maka diberinyalah kepada adiknya ketupat itu sebelah, maka dimakannyalah. Maka
ía pun diamlah. Maka sampai tujuh hari tujuh malam Ia berjalan itu, maka ketupat
yang tujuh biji itu habislah dimakan oleh tuan Puteri Nila Kesuma itu, karena
diberikannya kepada adiknya pagi sebelah, dan petang sebelah. Setelah habis ketupat
itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak makan. Maka
diambil oleh Mara Karmah segala tarik kayu dan umbut-umbut dan buah-buahan
kayu yang di dalam hutan itu yang patut dimakannya, maka diberikannya kepada
saudaranya itu. Dan barang di mana ia bertemu dengan air, maka dimandikannyalah
akan saudaranya.

52
Syahdan beberapa lamanya, ía berjalan itu, maka beberapa bertemu dengan gunung
yang tinggi-tinggi dan padang-padang yang luas-luas, dan tasik yang berombak
seperti lain, tempat segala dewa—dewa, peri mambang indera candara jin. Maka raja-
raja jin di sanalah tempat bermain lancang, berlomba-lomba. Di sanalah ia banyak
beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu, diangkat saudara oleh mereka
itu sekalian akan dia dan beberapa ia bertemu dengan binatang yang buas-buas,
seperti ular naga buta raksasa. Sekaliannya mereka itu memberi kesaktian kepada
Mara Karmah.

Syahdan, beberapa ia melihat kekayaan Allah Subhanahu wa Ta’aIa berbagai-bagai


dan ajaib-ajaib. Maka bertemulah ia dengan bukit berjentera, tempat segala raja-raja,
dewa bertapa itu di sanalah tempatnya. Adapun Mara Karmah itu apabila ia bertemu
dengan segala raja-raja itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun
disembunyikannyalah. Dan jikalau ia bertemu dengan segala binatang yang buas-
buas, maka didukungnyalah akan saudaranya itu, tiada diberinya lepas dari tubuhnya.

Hatta, dengan demikian, maka ia pun sampailah kepada sepohon kayu beringin,
terlalu amat besar, dan adalah air turun dari atas gunung itu. Maka di sanalah ia
berhenti dan memandikan saudaranya. Maka tiba-tiba, melayanglah seekor burung
dari atas kepalanya, maka tuan Puteri Nila Kesuma pun menangis, minta
ditangkapkan burung yang terbang itu. Maka Mara Karmah pun melompat, lalu
disambarnya burung itu, dapat ditangkapnya, lalu diberikannya kepada saudaranya.
Maka sukalah hati saudaranya itu sambil katanya, “Bakarlah kakanda burung ini kita
makan!” Maka kata Mara Karmah, “Sabarlah dahulu tuan!” Maka kedengaranlah
bunyi ayam berkokok sayup-sayup, karena hutan itu dekat dengan dusun orang negeri
Palinggam Cahaya. Maka kata Mara Karmah kepada saudaranya itu, “Tinggallah tuan
di sini dahulu, biarlah kakanda pergi mencari api akan membakar burung adinda itu”
Maka sahut Puteri itu, “Baiklah kakanda pergi, jangan lama-lama kakanda pergi itu.”
Maka dipeluk dan diciumnya akan saudaranya itu seraya katanya, “Janganlah tuan
berjalan-jalan ke sana sini sepeninggal kakanda ini, kalau-kalau tuan sesat kelak tiada
bertemu dengan kakanda lagi” Maka sahutnya, “Tiada hamba pergi kakanda.” Mara
Karmah pun berjalan menuju bunyi ayam berkokok itu, tetapi hati Mara Karmah itu
tiada sedap berdebar—debar rasanya, setelah sampai ia kepada dusun orang itu. Maka
dilihatnya kebun orang dusun itu terlalu banyak jadi tanam-tanaman, seperti ubi
keladi, dan tebu, pisang, kacang, dan jagung. Maka ia pun berjalanlah berkeliling
pagarnya itu menanti orang yang empunya kebun itu. Ia hendak meminta api. Setelah
dilihat oleh orang yang empunya kebun itu, maka katanya, “Anak si pencuri,
demikianlah sehari-hari perbuatanmu mencuri segala tanam-tanamanku ini sehingga
habislah jagung pisangku tiada berketahuan. Engkaulah yang mencuri. Maka
sekarang hendak ke mana engkau melarikan nyawamu itu daripada tanganku
sekarang; sedanglah lamanya aku menantikan engkau tiada juga dapat; baharulah
sekarang aku bertemu dengan engkau.” Maka ia berkata-kata itu sambil berlari
menangkap tangan Mara Karmah itu. Maka kata Mara Karmah, “Tiada aku lari,
karena aku tiada berdosa kepadamu; bukan aku orang pencuri, aku ini orang sesat,
datangku ini dari negeri asing hendak meminta api kepadamu.” Maka

53
ditamparinyalah dan digocohnya akan Mara Kanmah itu seraya katanya, “Bohonglah
engkau ini!” Maka kemala yang digendong oleh Mara Karmah yang diberi oleh
bundanya itu pun jatuhlah dari punggungnya. Setelah dilihat oleh orang dusun itu,
maka diambilnyalah, seraya katanya, inilah kemalaku engkau curi.’ Maka kata Mara
Karmah itu, “Nyatalah engkau ini berbuat aniaya kepadaku” Maka ia pun
terkenanglah akan saudaranya yang ditinggal di dalam hutan seorang dirinya itu,
Maka katanya dalam hatinya, “Wahai adinda tuan, betapa gerangan hal tuan
sepeninggal kakanda ini kelak, karena dianiaya oleh orang, matilah kakanda tiada
bertemu dengan tuan lagi. ”Maka ia pun menangis terlalu sangat, lalu rebah pingsan
tiada khabarkan dirinya. Maka kata orang dusun itu, “Apa yang engkau tangiskan,
sebab salahmu; itulah balasnya engkau makan jagungku” Maka dilihatnya segala
tubuh Mara Karmah itu habis bengkak-bengkak dan berlumur dengan darah, dan
tiada ia bergerak lagi. Maka pada sangka orang dusun itu, sudahlah mati rupanya,
maka diikatnyalah dengan tali dari bahunya sampai kepada kakinya, seperti orang
mengikat lepat, demikianlah lakunya ia mengikat Mara Karmah itu. Setelah sudah
diikatnya, maka diseretnyalah, dibawanya ke tepi taut, lalu dibuangkannya ke dalam
laut itu. Maka ia pun kembalilah ke rumahnya.

Sumber Hikayat Si Miskin, Aliudin Wahyudin, 1981, Depdikbud, Proyek Penerbitan


Buku Sasta Indonesia dan Daerah, Jakarta

2. Jawaban mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi pada Hikayat Si

Miskin.

a. Gaya Bahasa Antonomasia

Setelah dilihat orang banyak itu akan Si Miskin itu datang dua

laki-istri dengan rupa kainnya seperti di mamah anjingrupanya,

maka orang banyak itu pun ramailah ia tertawa serta mengambil

kayu dan batu, habislah bengkak-bengkak, ada yang berdarah,

segala tubuhnya itu berlumurlah dengan darah, maka orang pun

gemparlah.

b. Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile

Di sanalah ia banyak beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak

raja-raja itu, diangkat saudara oleh mereka itu sekalian akan dia

54
dan beberapa ia bertemu dengan binatang yang buas-buas, seperti

ular naga buta raksasa. Sekaliannya mereka itu memberi kesaktian

kepada Mara Karmah.

c. Konjungsi

Apabila kita cermati dengan baik, konjungsi yang digunakan

dalam kutipan hikayat tersebut adalah kalakian, maka hatta, dan

sebermula. Dalam konteks yang sama, konjungsi kalakian, maka

hatta, dan sebermula berfungsi sebagai pengantar kalimat.

Kalakian bermakna ketika itu, lalu, kemudaian; maka bermakna

lalu, sudah itu lalu; hatta bermakna lalu, kemudian; sebermula

bermakna pada saat awalnya, mula-mula, pertama. Dari

konjungsi tersebut hanya maka yang bisa digunakan di awal

kalimat maupun tengah kalimat. Sementara itu, kata kalakian,

hatta, dan sebermula hanya digunakan di awal kalimat.

B. Kerangka Pikir

Hikayat adalah nama jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai

wahananya. Bahasa Melayu adalah bahasa yang mula-mula digunakan disuatu

daerah di Sumatera Timur, yang kemudian disebarkan oleh para imigran ke

daerah sekitarnya, seperti Jazilah Malaka, daerah Riau, Kepulauan Lingga, dan

selanjutnya ke daerah pantai pulau-pulau lainnya. Bahasa ini sudah dipakai pada

zaman kerajaan Sriwijaya sebagai bahasa resmi, tidak terbatas dalam bidang

administrasi, tetapi juga sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan.

55
Sebelum bangsa Melayu mengenal huruf yang berasal dari abjad bahasa Arab,

sastra Melayu disebarluaskan dalam bentuk lisan, yaitu diceritakan oleh nenek

dan ibu kepada anak cucunya pada saat-saat tertentu, oleh pencerita yang

menceritakan pada saat masyarakat melaksanakan acara-acara tertentu, sedang

mempunyai hajat, atau sedang bersantai melepas lelah. Cara penyebaran yang

demikian itu membutuhkan kepandaian dan keterampilan pencerita membumbui

ceritanya dengan ceritanya dengan berbagai cerita khayalan atau menyelip-

nyelipkannya jenis khayalan yang sesuai dengan selera para pendengar.

Untuk melakukan sebuah analisis tentang kemampuan mengidentifikasi gaya

bahasa dan konjungsi dalam hikayat pada siswa kelas X semester ganjil SMK

Muhammadiyah Ambarawa. Adapun indikator dalam penelitian ini di antaranya:

1) Gaya Bahasa, 2) Konjungsi. Untuk lebih jelasnya kerangka penelitian dalam

penelitian ini dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut:

56
Bagan I. Skema Kerangka Pikir I

KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI GAYA BAHASA DAN


KONJUNGSI DALAM HIKAYAT

Indikator:

1. Mengidentifikasi gaya bahasa dalam hikayat, dengan memperhatikan


sebagai berikut:
a. Gaya bahasa antonomasia
b. Gaya bahasa simile
c. Gaya bahasa metafora
2. Mengidentifikasi konjungsi dalam hikayat, dengan memperhatikan
sebagai berikut:
a. Konjungsi pengantar kalimat atau antar kalimat
b. Konjungsi intra kalimat

57
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Muhammadiyah Ambarawa, yang berlokasi di Jl. HM. Ghardi

No. 29. Kecamatan Ambarawa, kabupaten Pringsewu. Adapun kelas yang akan

diteliti, yaitu kelas X SMK Muhammadiyah Ambarawa.

B. Informan Penelitian

Informan penelitian yaitu orang yang dimanfaatkan untuk memberikan suatu

informasi yang dibutuhkan oleh peneliti baik mengenai situasi maupun kondisi.

Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang

akan diteliti. Pada kesempatan ini peneliti memperoleh informasi dari guru

bidang studi bahasa Indonesia yaitu Bapak Ferdi Rado, S.Pd. tentang jumlah

siswa yang terdapat di SMK Muhammadiyah Ambarawa pada kelas X yang

terbagi atas empat kelas dan dua jurusan. Pada kelas X Akuntansi berjumlah 71

siswa sedangkan kelas X TKJ berjumlah 65 siswa sehingga total keseluruhan

siswa SMK Muhammadiyah Ambarawa kelas X berjumlah 136 siswa.

58
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2011: 80). Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri

atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam

yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/sunjek

yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh

subjek atau objek itu.

Populasi adalah semua anggota dari suatu kelompok orang, kejadian, atau

objek-objek yang ditentukan dalam suatu penelitian. (Maolani dan Cahyana,

2016: 39). Karena dalam penelitian ini akan meneliti tentang Kemampuan

Mengidentifikasi dan Konjungsi dalam Hikayat Siswa Kelas X SMK

Muhammadiyah Ambarawa Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2018-2019

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X Akuntansi 1

semester ganjil SMK Muhammadiyah Ambarawa tahun pelajaran 2018-2019

sebanyak 36 siswa.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi

Arikunto, 2010: 174). Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Maolani

59
dan Cahyana (2016: 39) yang menyatakan bahwa sampel merupakan suatu

bagian dari suatu populasi.

3. Teknik Sampling

Tehnik sampling merupakan tehnik pengambilan sampel. Untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat

berbagai teknik sampling yang digunakan. Sampling Purposive adalah

tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Misalnya akan

melakukan penelitian tentang kualitas makanan, maka sampel sumber

datanya adalah orang yang ahli makanan, atau penelitian tentang kondisi

politik disuatu daerah, maka sapel sumber datanya adalah oranng yang

ahli politik. (Sugiyono, 2011: 81).

Sama halnya menurut pendapat (Maolani dan Cahyana, 2016: 62).

Sampling purposive adalah pemetaan sampel dengan pertimbangan/tujuan

tertentu, bukan didasarkan atas strata, kelompok , atau random. Misalnya

akan dilakukan penelitian tentang kualitas makan/minuman yang baru

dihasilkan dari suatu percobaan maka sampel diambil dari mereka yang

ahli boga.

60
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan di SMK Muhamamdiyah Ambarawa tahun pelajaran

2018-2019 pada siswa kelas X semester ganjil. Teknik dan alat pengumpulan

data pengumpulan yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Observasi

Menurut Maolani dan Cahyana (2016: 148) observasi atau pengamatan

merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data dengan jalan

mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.

Senada dengan pendapatnya Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2011: 203)

observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang

tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang

terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Untuk melakukan pengumpulan data peneliti menggunakan teknik observasi

dimana peneliti melakukan pengamatan langsung di sekolah yang akan

dijadikan sebagai subjek penelitian.

2. Wawancara

Menurut Maolani dan Cahyana (2016: 153) dalam melakukan wawancara,

selain instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul

data/peneliti dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorde, atau alat

bantu lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar.

Wawancara dapat dilakukan melalaui tatap muka (face to face) maupun

melalui pesawat telepon.

61
Sama halnya dengan pendapatnya Sugiyono (2011: 138) yang mengatakan

bahwa wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak

terstruktuk melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan

telepon.

3. Tes

Menurut Arikunto (2010: 193) Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan

serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan

intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau

kelompok. Penelitian ini peneliti menggunakan teknik tes urain yaitu siswa

membaca teks yang diberikan lalu mengidentifikasi gaya bahasa dan

konjungsi dalam hikayat tersebut.

Tabel 3
Indikator Penelitian Kemampuan Mengidentifikasi
Gaya Bahasa dan Konjungsi

NO Aspek yang dianalisis Skor Bobot

1 Mengidentifikasi gaya

bahasa:

a. Gaya bahasa antonomasia 1–4 20

b. Gaya bahasa simile 1–4 20

c. Gaya bahasa metafora 1–4 20

2 Mengidentifikasi

konjungsi:

a. Konjungsi antar

62
kalimat 1–4 20

b. Konjungsi intra kalimat 1–4 20

Jumlah 1 – 20 100

Oleh: Peneliti

Deskripsi indikator:

1. Mengidentifikasi Gaya Bahasa

a. Gaya bahasa antonomasia

- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa antonomasia dan mampu

menjelaskan fungsi/maknanya dengan tepat skor 4.

- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa antonomasia dan tidak

mampu menjelaskan sebagian fungsi/maknanya atau hanya

menemukan 2 gaya bahasa antonomasia dan mampu menjelaskan

fungsi/maknanya dengan tepat skor 3.

- Siswa mampu menemukan 2 gaya bahasa antonomasia tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya atau hanya menemukan 1 gaya bahasa

antonomasia dan dapat menjelaskan fungsi/maknanya skor 2.

- Siswa mampu menemukan 1 gaya bahasa antonomasia tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya skor 1.

b. Gaya Bahasa Simile

- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa simile dan mampu

menjelaskan fungsi/maknanya dengan tepat skor 4.

63
- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa simile dan tidak mampu

menjelaskan sebagian fungsi/maknanya atau hanya menemukan 2

gaya bahasa simile dan mampu menjelaskan fungsi/maknanya

dengan tepat skor 3.

- Siswa mampu menemukan 2 gaya bahasa simile tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya atau hanya menemukan 1 gaya bahasa

simile dan dapat menjelaskan fungsi/maknanya skor 2.

- Siswa mampu menemukan 1 gaya bahasa simile tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya skor 1.

c. Gaya Bahasa Metafora

- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa metafora dan mampu

menjelaskan fungsi/maknanya dengan tepat skor 4.

- Siswa mampu menemukan 3 gaya bahasa metafora dan tidak mampu

menjelaskan sebagian fungsi/maknanya atau hanya menemukan 2

gaya bahasa metafora dan mampu menjelaskan fungsi/maknanya

dengan tepat skor 3.

- Siswa mampu menemukan 2 gaya bahasa metafora tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya atau hanya menemukan 1 gaya bahasa

metafora dan dapat menjelaskan fungsi/maknanya skor 2.

- Siswa mampu menemukan 1 gaya bahasa metafora tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya skor 1.

64
2. Mengidentifikasi Konjungsi

a. Konjungsi Antar Kalimat

- Siswa mampu menemukan 3 konjungsi antar kalimat dan mampu

menjelaskan fungsi/maknanya dengan tepat skor 4.

- Siswa mampu menemukan 3 konjungsi antar kalimat dan tidak

mampu menjelaskan sebagian fungsi/maknanya atau hanya

menemukan 2 konjungsi antar kalimat dan mampu menjelaskan

fungsi/maknanya dengan tepat skor 3.

- Siswa mampu menemukan 2 konjungsi antar kalimat tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya atau hanya menemukan 1 konjungsi

antar kalimat dan dapat menjelaskan fungsi/maknanya skor 2.

- Siswa mampu menemukan 1 konjungsi antar kalimat tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya skor 1.

b. Konjungsi Intra Kalimat

- Siswa mampu menemukan 3 konjungsi intra kalimat dan mampu

menjelaskan fungsi/maknanya dengan tepat skor 4.

- Siswa mampu menemukan 3 konjungsi intra kalimat dan tidak

mampu menjelaskan sebagian fungsi/maknanya atau hanya

menemukan 2 konjungsi intra kalimat dan mampu menjelaskan

fungsi/maknanya dengan tepat skor 3.

65
- Siswa mampu menemukan 2 konjungsi intra kalimat tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya atau hanya menemukan 1 konjungsi

intra kalimat dan dapat menjelaskan fungsi/maknanya skor 2.

- Siswa mampu menemukan 1 konjungsi intra kalimat tetapi tidak

menjelaskan fungsi/maknanya skor 1.

Besarnya kemampuan dalam mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi

dalam hikayat dengan menghitung persentase yang dapat dicapai, tolak ukur

yang penulis gunakan untuk menentukan persentase kemampuan siswa pada

tabel berikut:

Tabel 2
Tolak Ukur Menentukan Nilai Kemampuan Siswa

Nilai ubah skala lima


No Nilai Keterangan
0–4 E-A
1 85 – 100 4 A Sangat baik
2 75 – 84 3 B Baik
3 60 – 74 2 C Cukup
4 40 – 59 1 D Kurang
5 0 – 39 0 E Gagal
(Burhan Nurgiantoro, 2010: 392)

E. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2011: 245) analisis data kualitatif adalah bersifat induktif,

yaitu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola

hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang

66
dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara

berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut

diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data

yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi,

ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tesebut berkembang menjadi teori.

Secara umum definisi penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda

dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajib terhadap

setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam

setting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada

fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. (Galang

Surya Gumilang, 2016: 145).

(Sulistyo dan Basuki, dalam Prabowo, Heriyanto, 2013: 4). Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat,

kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya tidak dapat di ukur dengan

angka. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan dalam penelitian tidak

dipaksakan untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut

pandangan manusia yang telah diteliti

Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan mengumpulkan data-data yang

diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, kemudian menganalisis seluruh

data sesuai yang diperoleh, setelah itu mengidentifikasikan data sesuai dengan

Kemampuan Mengidentifikasi Gaya Bahasa dan Konjungsi dalam Hikayat Siswa

Kelas X Semester Ganjil SMK Muhammadiyah Ambarawa Tahun Pelajaran

67
2018-2019. Langkah-langkah penelitian dalam menganalisis data sebagai

berikut:

1. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian, berupa

Identifikasi Gaya Bahasa dan Konjungsi dalam Hikayat Siswa Kelas X

Semester Ganjil SMK Muhammadiya Ambarawa Tahun Pelajaran 2018-

2019.

2. Peneliti melakukan penilaian terhadap hasil dari kemampuan siswa dalam

mengidentifikasi gaya bahasa dan konjungsi dalam hikayat

3. Mengoreksi lembar jawaban siswa dan memberi skor sesuai dengan hasil

yang diperoleh siswa.

4. Menghitung jumlah jawaban yang benar yang diperoleh pada setiap butir

yang menjadi bahan penelitian dengan rumusan sebagai berikut :

X
xbobot
= Y
N

Keterangan: N= Nilai siswa

X= Skor yang diperoleh siswa

Y= Skor maksimal

5. Memasukan nilai siswa ke dalam tabel.

6. Mencari persentase skor yang diperoleh siswa menggunakan rumus:

n
P¿ x 100 %
N

Keterangan: P= Persentase kemampuan

68
n= skor yang diperoleh siswa

N= Skor maksimal

(Burhan Nurgiyantoro, 2010: 266).

7. Apabila siswa telah mencapai nilai di atas 71 maka siswa dapat dinyatakan
telah mencapai ketuntasan.

Tabel 3
Tolak Ukur Kemampuan Siswa

Interval Persentase Nilai Ubah Skala Lima


Tingkat Keterangan
0-4 E-A
Penguasaan
85 – 100 4 A Baik sekali
75 – 84 3 B Baik
60 – 74 2 C Cukup
40 – 59 1 D Kurang
0 – 39 0 E Gagal
(Burhan Nurgiantoro, 2010: 392)

69

Anda mungkin juga menyukai