Dosen Pengampu:
Tim Penyusun:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah Mata Kuliah
Telaah Sastra dan Pengajaran Bahasa.
Dalam penyusunan Kompilasi makalah ini kami menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan, namun keterbatasan tersebut kami jadikan sebagai tantangan
untuk lebih bersemangat dalam memperbaiki mutu penulisan dan pendidikan yang ada
di Indonesia.
Kami selaku insan biasa menyadari akan kekurangan makalah ini, maka kritik
dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan sebagai bahan pertimbangan,
perbaikan dan kemajuan kita bersama. Kami juga menyadari bahwa makalah ini tidak
akan tersusun tanpa bantuan, dorongan serta kerjasama dari berbagai pihak, maka
dengan segala kerendahan dan ketulusan hati menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua teman-teman yang telah membantu atas
terselesaikannya makalah ini terutama kepada Bapak Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Ibu
Dr. Ninuk Lustyantie, M.Pd, selaku dosen pengampu.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan semoga
Kompilasi makalah ini dapat diterima sehingga dapat berdiri dan memberikan
sumbangsih dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.
Tim Penulis,
ii
DAFTAR ISI
iii
11. Telaah dan Pengajaran Sastra Puisi
(Dhinar Ajeng Fitriany, Goziyah, dan Paldy) ..................................................... 290
12. Telaah dan Pengajaran Cerpen dan Novel
(Etik, Niknik M. Kuntarto, Rosdiana, dan Yusi Asnidar) .................................... 322
13. Pendekatan Berorinetasi pada Pengarang
(Agus Supriyadi, Dian Kardijan, Marlon Irwan Ranti) ........................................ 349
14. Telaah Dan Pengajaran Intertekstual / Sastra Bandingan
(Agus sulaeman, Bejo Sutrisno dan Momon Adriwinata) .................................. 373
iv
PENDAHULUAN: HAKIKAT, FUNGSI, TUJUAN, DAN
RUANG LINGKUP TELAAH SASTRA
Oleh:
Audi Yundayani, Frimadhona Syafri, Lidwina Sri Ardiasih,dan Arini Noor Izzati
==============================================================
Abstrak
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan sebuah pengungkapan kehidupan yang bersumber dari
lingkungan, kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar bahkan dibaca oleh pengarang,
kemudian disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dengan menggunakan bahasa
sebagai media untuk menghubungkan keduanya. Pada dasarnya sastra terbagi menjadi
dua konsep besar, yaitu 1) sastra itu sendiri yang dilihat sebagai sebuah karya yang dapat
diapresiasi dan 2) sastra sebagai studi atau sebagai sebuah kajian, artinya sastra dapat
dilihat dari tiga aspek, teori satra, kritik sastra dan sejarah sastra. Makalah ini akan
membahas tentang sastra sebagai sebuah studi atau kajian berikut ruang lingkupnya.
B. Pembahasan
1. Hakikat Telaah Sastra
Ditinjau dari etimologinya, kata sastra dalam bahasa Indonesia dan literature dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa latin “litteratura”1 yang berarti bagian terkecil dari
alfabet. Sastra kemudian didefinisikan sebagai “suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni”.
2
Klarer menggambarkan sastra sebagai “the entirety of written expression, with the
restriction that not every written document can be categorized as literature in the more
1
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies,( London&New York: Routledge, 2004), h. 1
2
Rene Wellek, Austin Warrn, h.3
1
exact sense of the word”.3 Definisi tersebut mengacu pada sastra sebagai ungkapan
tertulis dimana tidak semua bentuk tulisan atau teks termasuk pada kategori tulisan ini.
Klarer menambahkan bahwa kata ‘aesthetic’ (keindahan) dan ‘artistic’ (bersifat seni)
merupakan kata yang menggambarkan karakteristik dari sastra dibandingkan dengan jenis
teks atau tulisan lainnya seperti buku, koran, dokumen resmi, atau karya tulis yang bersifat
akademik. Namun demikian sastra tidak terbatas pada karya tulis saja, Klarer menjelaskan
bahwa sastra juga melibatkan “the acoustic element, the spoken word, is an integral part of
4
literature, for the alphabet translates spoken words into signs” yang kita kenal beberapa
bentuknya seperti drama, pembacaan puisi dan prosa secara lisan di mana menurut Klarer
“visual and acoustic elements are being reintroduced into literature, on the other hand,
media, genres, text types, and discourses are being mixed. Artinya, seiring perkembangan
teknologi, karya sastra dalam bentuk visual maupun audio atau gabungan kedua unsur
tersebut juga mulai berkembang untuk lebih memudahkan penyampaian pesan kepada
pembaca atau pendengarnya.
Sebagai bandingannya, dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa
Sansekerta. Akar katanya adalah sas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra menunjukkan alat atau sarana. Oleh karena itu sastra
diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi petunjuk, buku instruksi atau pengajaran
di mana dalam prosesnya sangat erat kaitannya dengan berbagai macam teori sastra.
Sebagai contohnya Silpasastra yang berarti buku arsitektur atau Kamasastra yang
merupakan buku petunjuk mengenai cinta. Selanjutnya, di samping teori sastra itu sendiri
terdapat juga istilah “studi sastra” yang kemudian dikenal dengan istilah “telaah sastra”
atau “kajian sastra”. Studi sastra ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan.
Perbedaan kedua kategori tersebut adalah bahwa teori sastra meliputi studi prinsip,
kategori, dan kriteria, sedangkan studi sastra berhubungan dengan penjelasan, pengajian
atau analisis karya-karya konkrit yang dikenal dengan istilah kritik sastra dan sejarah
sastra.
5
Rene Wellek menyatakan bahwa muncul pendapat yang berusaha memisahkan
6
sejarah sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Batteson merupakan salah satu tokoh
3
Mario Klarer, Op.Cit., h. 1
4
Mario Klarer, Op.Cit., h. 2
5
Rene Wellek, h. 39
2
yang mengatakan bahwa sejarah sastra menunjukkan A berasal dari B, sedangkan kritik
sastra menunjukkan A lebih baik dari B. Hubungan yang pertama dapat dibuktikan,
sedangkan yang kedua tergantung pada pendapat dan keyakinan. Tidak ada satu data
dalam sejarah sastra yang sepenuhnya netral.
Penilaian tiap periode memiliki perbedaan konsepsi penilaian dan konvensi sastra yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa periodesastra menjadi salah
satu acuan dalam melaksanakan suatu kajian sastra yang akan dijabarkan pada
penjelasan berikut ini.
Oleh karena itu, pada hakikatnya telaah sastra adalah menelaah, mengaji, atau meneliti
karya sastra ditinjau dari berbagai macam aspek atau sudut pandang dalam rangka
menjelaskan dan menerangkan serta menjembatani atau membimbing pemahaman yang
ditawarkan pengarang dengan pemahaman yang ditangkap oleh si pembaca dalam karya
sastra.
2. Periodisasi Sastra
Telaah atau studi sastra tidak bisa terlepas dari perkembangan sastra itu sendiri karena
masing-masing masa perkembangan sastra memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Bagian ini membahas sejarah perkembangan sastra yang muncul di Inggris, Amerika, dan
Indonesia. Perkembangan sastra berbahasa Inggris menimbulkan berbagai perbedaan
pendapat, beberapa istilah dan kriteria klasifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan
standar dalam kritik sastra Anglo-Amerika. Pengelompokkan periodisasi sastra tidak harus
berdasarkan kriteria yang umum seperti berdasarkan struktur, isi atau tanggal publikasi.
Kriteria pengelompokkan didapat berdasarkan sejarah bahasa (Bahasa Inggris lama dan
Bahasa Inggris pertengahan), sejarah nasional (masa kolonial), politik dan agama (masa
pemerintahan Ratu Elizabeth I dan masa Puritan/masa Gereja Protestan di abad 16 dan
17) dan seni (Renaissance dan pandangan modern).
Secara umum, masa perkembangan sastra yang terjadi di Inggris dan di Amerika
digambarkan sebagai berikut7,
6
Ibid.
7
Mario Klarer, Op.Cit., h. 67-73
3
No Periode Abad Penjelasan/Contoh
1. Masa Inggris Kuno/ Old ke-5 – ke-11 Merupakan periode awal dari sastra
English/ Anglo Saxon Inggris
Sastra Latin merupakan satu budaya
klasik yang dikembangkan menjadi
sastra nasional
Ecclesiastical History of the English
People (AD 731) karya Beda Venerabilis
(673-735)
Teks pertama ditulis
Tidak banyak teks yang dihasilkan
(mantra tidak bernama, teka-teki)
Puisi: “The Seafarer” (abad ke-9) atau
“The Wanderer” (abad ke-10),
Syair seperti mitologi/dongeng Beowulf
(abad ke-8) dibuat berdasarkan fakta
sejarah
3. Masa Renaissance ke-16 – ke- Masa Inggris baru yang berfokus pada
17 sejarah bahasa dan masa pemerintahan
Ratu Elizabeth I
Bangkitnya genre klasik, contoh:
dongeng Faerie Quenes (1590-1596)
karya Edmund Spencer dan drama
modern Willian Shakespeare
Genre prosa bebas, contoh John Lyly
4
dengan Roman Euphues
Drama Court Masque yang melibatkan
rancangan arsitektur
Diakhiri dengan perkumpulan pengikut
Oliver Cromwell
B. Amerika
Gaya sastra romantis dan
transcendentalism sebagai sastra yang
bebas
Pemahaman filosofi terhadap alam
Cerita pendek Moby Dick (1851) karya
5
Herman Melville dan puisi Walt Whitman
dalam Leaves of Grass (1855-92)
1) Masa Inggris kuno (old English) - Abad ke-5 sampai abad ke-11
Inggris kuno dikenal sebagai masa Anglo-Saxon yang merupakan periode awal
dari sastra Inggris. Dimulai dengan serangan ke negara Kerajaan Inggris Raya yang
dilakukan oleh bangsa Jerman (Anglo-Saxon) pada abad ke 5 AD dan berakhir
sampai serangan Perancis tahun 1066. Pada awalnya satra Inggris ditemukan di
periode pertengahan Latin (Latin Middle Age), ketika biara dijadikan garda terdepan
untuk mempertahankan budaya klasik. Teks sastra Latin yang terpenting adalah
Ecclesiastical History of the English People (AD 731) karya Beda Venerabilis (673-
735). Seperti di bagian lain Eropa, sastra nasional dikembangkan sama dengan
sastra latin.
Teks pertama ditulis antara abad ke-8 dan abad ke-11 yang disebut Inggris Kuno
(Old English) atau “Anglo-Saxon”. Jumlah teks yang diturunkan dari periode ini
sangat sedikit, terdiri dari mantra yang tidak bernama, teka-teki dan puisi seperti “The
Seafarer” (abad ke-9) atau “The Wanderer” (abad ke-9 – ke-10), syair seperti
mitologi/dongeng Beowulf (abad ke-8) atau The Boule of Maldon (AD 1000) yang
dibuat berdasarkan fakta sejarah.
2) Masa Inggris pertengahan (Middle English) – Abad ke-12 sampai abad ke-15
Ketika penduduk asli Normandia yang berbahasa Perancis menaklukan Inggris di
abad ke-11, perpecahan budaya dan sastra terjadi. Dari setengah akhir masa Inggris
pertengahan, sejumlah teks dari berbagai genre sastra sudah dilindungi, termasuk
lirik puisi dan syair puisi panjang dengan isi religi , seperti Piers Plowman (1367-70)
yang dianggap berasal dari William Langland. Kisah percintaan, aliran baru dari jenis
sekuler, berkembang di masa ini, termasuk Sir Gawain and the Green Knight (abad
7
ke-14) dan Le Morte d’Arthur (1470) karya Thomas Malory’s (1408-71) . Bentuk ini
secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan novel di abad ke-18. Sastra
Inggris pertengahan juga membuat sastra Naratif, seperti Canterbury Tales (1387)
karya Geoffrey Chaucer, serupa dengan I Decamerone (1349-51) karya Giovanni
Boccaccio di Italy yang merupakan model penting untuk cerita pendek di abad ke-19
dan dapat dijadikan pembanding. Diantara berbagai inovasi sastra yang terjadi di
masa Inggris pertengahan, yang mengejutkan adalah munculnya seni pertunjukan
dengan nilai religi dan secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan drama
modern di zaman Renaissance.
8
Kinayat Djojosuroto. 2007. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
13
pengarang tidak disebutkan disebutkan, baik nama
asli atau samaran
14
Perbandingan Angkatan Angkatan Angkatan Angkatan Angkatan
20 30 45 66 70-80-an
6. Genre sastra
Kata “Genre” merupakan istilah Perancis yang berasal dari bahasa Latin genus,
generis, yang berarti" jenis, " "seperti itu," atau "baik." Ini menunjuk pada bentuk atau jenis
sastra menjadi karya yang diklasifikasikan menurut apa yang mereka miliki bersama, baik
dalam formal mereka struktur atau dalam perlakukan mereka terhadap materi pelajaran
atau keduannya.
Jenis sastra bukan sekadar nama, karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu
karya membentuk ciri karya tersebut. Jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah
kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Jenis sastra adalah suatu “lembaga”
seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra hidup tidak seperti binatang
atau bangunan, kapel, perpustakaan atau istana negara, tetapi seperti sebuah institusi.
Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan
tidak berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra
11
tertentu.
12
Menurut Sumarjo dan Saini (1986:80) ,sastra dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu sastra imajinatif dan sastra non-imajinatif. Sastra imajinatif terdiri dari dua
10
Rene Wellek&Austin Warren.TeoriKesustraan.(Terjemahan). Jakarta: PT.Gramedia. 1995. h.38
11
Rene Wellek &Austin Warren. Teori Kesustraan.(Terjemahan). Jakarta: PT.Gramedia. 1995. h. 107
12
Yakob Sumarjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia1986. h. 80
18
genre yaitu prosa dan puisi. Prosa terdiri dari fiksi dan drama. Fiksi meliputi novel, cerita
pendek, dan novelet. Drama meliputi drama prosa dan drama puisi. Tampilan drama
tersebut meliputi komedi, tragedy, melodrama, dan tragic komedi. Puisi meliputi puisi epic,
lirik,dramatik. Sedangkan sastra non-imajinatif terdiri dari esai, kritik, biografi, otobiografi,
sejarah, memoir, catatan harian, dan surat-surat.
Perbedaan antaran sastra imajinatif dengan sastra non-imajinatif dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Memenuhi estetika seni (unity, balance, Memenuhi estetika seni (unity, balance,
harmony, dan right emphasis) harmony, dan right emphasis)
C. Penutup
Diperlukan suatu pengajian terhadap karya sastra itu sendiri dalam usaha
menjelaskan dan membimbing pemahaman yang ditawarkan pengarang agar mudah
ditangkap oleh si pembaca dalam karya sastra. Istilah telaah yang dipergunakan dalam
‘telaah sastra’ sepadan dengan kata pengkajian, penyelidikan, dan penelitian. Di samping
itu, pada pelaksanaan prosesnya, telaah sastra akan melibatkan berbagai macam
pendekatan serta ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda. Selain itu, telaah sastra
sangat erat kaitannya dengan periode perkembangan karya sastra karena masing-masing
periode memiliki karakternya masing-masing.
Daftar Pustaka
Emzir, dan Saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada)
19
Bartens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basics. (New York: Routledge).
Sumarjo, Yakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. (Jakarta: PT Gramedia).
20
GENRE SASTRA: KAJIAN TEORETIK
Oleh:
Noermanzah, Syarifuddin Tundreng, dan Agus Rofi’i
==================================================================
Abstrak
Dalam makalah ini akan diberikan pemahaman tentang genre sastra. Genre sastra, yaitu
prosa (fiction), puisi (poetry), drama, dan film. Prosa merupakan cerita rekaan atau
khayalan yang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan yang
bersifat naratif seperti novel. Puisi berkatan dengan istilah "lirik," dan memiliki karakter
dengan pilihan kata (diksi) yang menggunakan metafor (mengumpamakan). Drama
merupakan pertunjukan seni yang menggabungkan lisan dengan sejumlah non-verbal atau
cara optikalvisual, termasuk panggung, pemandangan, pergeseran layar, wajah ekspresi,
gerak tubuh, make-up, alat peraga, dan pencahayaan. Sedangkan film yaitu presentasi
mode unik yang terdiri dari unsur seperti sudut kamera, mengedit, montase, lambat, dan
cepat gerak-sering paralel fitur teks-teks sastra atau dapat dijelaskan dalam kerangka
tekstual.
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan kegiatan kreatif manusia yang dituangkan dalam bentuk
lisan dan tulisan.13 Peristiwa yang digambarkan dalam karya sastra bisa terjadi dalam
kehidupan nyata maupun di luar alam nyata. Sastra merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang disampaikan melalui bahasa. Dalam hal ini, sastra selain menyajikan
nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa, juga mampu mengajak pembaca untuk
berkontemplasi menemukan nilai-nilai dan menghayati kekompleksitasan kehidupan
secara mendalam.
Sehubungan dengan hal ini, karya sastra merupakan khasanah intelektual dengan
caranya sendiri merekam dan menyuarakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu, karya sastra berbeda dengan teori-teori, tidak hanya berbicara kepada intelek
pembacanya melainkan secara keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, karya sastra
13
Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (USA, Penguin University Books, 1976),
hh. 20-21.
21
dapat dikatakan sebagai bagian integral yang penting dari proses sosial dan kebudayaan.
Dalam perkembangannya, sastra mengalami inovasi dengan lahirnya genre sastra. Genre
sastra ini berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga manusia sebagai pelaku sastra mampu mengemas sastra melalui bahasanya
dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan genre atau jenis-jenis karya
sastra dengan sudut pandang yang berbeda yang diawali dengan hakikat karya sastra.
Dengan hadirnya makalah ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman secara
komprehensif tentang ilmu sastra dan perkembangan sastra. Dan sebagai bahan bacaan
yang dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai kajian karya sastra dan
perkembangan karya sastra.
B. Pembahasan
Klarer (2004:1) mengemukakan bahwa karya sastra sebagai berikut:
In most cases, literature is referred to as the entirety of written expression, with the restriction
that not every written document can be categorized as literature in the more exact sense of
the word. The definitions, therefore, usually include additional adjectives such as “aesthetic”
or “artistic” to distinguish literary works from texts of everyday use such as telephone books,
14
newspapers, legal documents, and scholarly writings.
14
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies (Second Edition), (London dan New York: Routledge,
2004), h. 1.
15
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hh. 4-
8.
22
buah imajinasi pemikiran manusia terhadap pengalaman yang dimilikinya dengan
dituangkan ke dalam bahasa tulis dan lisan sebagai cerminan sosial masyarakat.
Kemudian, menurut Semi karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan
seni kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa
sebagai mediumnya. Sebagai hasil pekerjaan seni kreatif, sastra mengungkapkan
kehidupan manusia yang tertangkap oleh pengarang dalam realitas objektif, yang
disampaikan kepada pembaca setelah melalui pengolahan dan perenungan. 16 Lebih lanjut
Semi menjelaskan bahwa sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan, karya sastra
juga akan mencerminkan unsur kebudayaan, yaitu mencerminkan sistem yang ada dalam
masyarakat, sistem ide dan nilai, serta mencerminkan bagaimana mutu peralatan budaya
yang ada dalam masyarakat pada bentuk peralatan tulis-menulis yang digunakan dalam
mengembangkan sastra. 17
Esten juga memberikan pendapatnya tentang karya sastra sebagai pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif yang berasal dari manifestasi kehidupan manusia dan
masyarakat melalui bahasa sebagai mediumnya dan punya efek yang positif terhadap
kehidupan kemanusiaan. Cipta sastra bukanlah semata tiruan tentang alam (imitation of
nature) atau tiruan tentang hidup (imitation of life), tetapi ia merupakan penafsiran-
penafsiran tentang alam dan kehidupan ini (interpretation of life). 18
Somardjo menjelaskan bahwa sastra merupakan ungkapan pribadi manusia berupa
pengalaman, pemikiran, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk konkret yang
membangkitkan pesona dengan menggunakan alat bahasa. Pribadi manusia yang
diungkapkan adalah pribadi kesehariannya yang berwujud pengalaman kemanusiaan. 19
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan
hasil cipta manusia berupa pengalaman, pemikiran, ide, semangat, keyakinan, atau hasil
budaya lainnya yang dituangkan dalam bahasa tulis dan lisan yang bersifat rekaan (fiktif)
dan estetis (indah) sebagai cerminan budaya masyarakat pengarang.
Karya sastra dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
16
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 8.
17
M. Atar Semi, Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 1989), h. 55.
18
Mursal Esten, Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah (Bandung : Angkasa, 2013), h. 9.
19
Jakob Sumardjo, Segi Sosiologis Novel Indonesi, (Bandung: Pustaka Prima, 1991), h. 13.
23
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. 20
Kedua unsur ini, tidak dapat dipisahkan dalam sebuah karya sastra baik, itu karya sastra
dalam bentuk prosa, puisi, drama, ataupun film.
Karya sastra dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, sehingga berdampak
juga pada genre sastra yang dihasilkan. Kirszner dan Mandell (1997) menjelaskan bahwa
genre merujuk pada bentuk narrative yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu oral
dan written. 21 Pada oral, mereka membaginya lagi pada pre-historic oral tradition yang
masuk di dalamnya adalah epic seperti Illiad dan Odyssey karya Homer, Epic of
Gilgamesh sebuah epic kuno dari Babylonia, Bhagavad Gita maupun Beowulf. Folktales
dan fairy tales berada pada tahap oral tradition yang tidak memiliki keterangan waktu
atau tempat karena selalu diawali dengan “Once upon a time” (1997: 38-39) misalnya
fable dan parable.
Pada abad pertengahan epic digantikan oleh romance yang ditulis dalam bentuk
prosa (1997:39) yang memunculkan bentuk naratif lain seperti cerita prosa pendek (short
prose tales) seperti The Decameron karya Giovanni Boccaccio di Itali pada abad ke-14,
dan picaresque seperti Don Quixote karya Miguel de Cervantes di Spanyol pada abad ke-
17. Ketika memasuki masa Renaissance di Inggris, prosa yang berkembang adalah
pastoral romance yang memaparkan dunia rural yang ideal.
Novel, menurut Kirszner dan Mandell, merupakan hasil dari penggabungan berbagai
bentuk prosa tersebut dan menyebutkan bahwa Daniel Defoe merupakan seorang penulis
novel pertama dengan karyanya Robinson Crusoe pada tahun 1719 (1997: 39). Short
story menjadi salah satu bentuk narasi yang berkembang namun berbeda dengan novel
karena memiliki panjang dan lingkup bahasan yang terbatas dengan lebih kurang dua
belas halaman. Short story berkembang di US pada abad ke-19 dengan adanya Nathaniel
Hawthorne dan Edgar Allan Poe (1997: 40). Kirszner dan Mandell mengenalkan bahwa
terdapat juga bentuk narasi short short story yang terdiri dari lebih kurang lima halaman
seperti karya Luisa Valenzuela yang berjudul “All About Suicide”. Sementara itu yang
20
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010),
h. 23.
21
Laurie G Kirszner dan Stephen R. Mandell. Literature: Reading, Reacting, Writing (Florida: Harcourt Brace
College Publishers, 1997).
24
memiliki narasi lebih banyak dari dua belas halaman disebutnya sebagai novella misalnya
“The Metamorphosis” karya Frantz Kafka (1997: 40).
Berbeda dengan Klarer dan Kriszner-Mandell, Chamberlain (1998:2-4) merujuk genre
pada makna yang terdapat di waktu yang berbeda. Dia menyebutkan genre pada konsep
awalnya dibuat oleh bangsa Yunani yaitu kesusastraan yang berbentuk dramatic, epic dan
lyrical, disebabkan cara penyampaiannya dalam bentuk tuturan (spoken form). Jika
mengacu pada makna genre di abad 19, genre style or category of painting, novel, film,
etc., characterized by a particular form or purpose. Menurutnya pembagian atas genre
kesusastraan sangat sulit dilakukan karena dapat dibagi berdasarkan bentuk (form) yang
meliputi drama, poetry, proverbs dan letters; berdasarkan suasana (mood) meliputi
comedy dan tragedy; serta berdasarkan isinya (content) meliputi history, memoirs dan
autobiography. Pembagian tersebut saling bersinggungan sehingga tidak dapat
ditentukan mana saja yang menjadi major, minor maupun subgenre. Dia pun menyebutkan
bahwa dalam bentuk autobiografis meliputi diaries, spiritual journals of confession or
conscience, travel journals, or letters. Bentuk-bentuk autobiografis tersebut banyak
ditemukan pada hasil tulisan perempuan. 22
Chamberlain mengutip pernyataan Frye (1998:2). yang mengidentifikasi prosa
sebagai berikut:
Thanks to the Greeks, we can distinguish tragedy from comedy in drama…[But] when we
come to deal with such forms as the masque, opera, movie, ballet, puppet-play, mystery-play,
morality, commedia dell’arte, and zauberspiel, we find ourselves in the position of the
Renaissance doctors who refused to treat syphilis because Galen said nothing about it. The
Greeks hardly needed to develop a classification of prose forms. We do, but have never done
so…. The circulating-library distinction between fiction and non-fiction, between books which
are about things admitted not to be true and books which are about everything else, is
apparently exhaustive enough for critic. 23
Menurut Klarer, genre merujuk pada salah satu bentuk dari tiga kesusastraan klasik
seperti epic, drama atau poetry. Kemudian, untuk menggantikan epic karena
kemiripannya dengan poetry maka prose diperkenalkan untuk karya-karya seperti novel
dan short story. 24 Namun, berikutnya Klarer membuat suatu pengklasifikasian terhadap
genre yang disebutya major genres yaitu fiction, poetry, drama, dan film. Klarer
menambahkan Bildungsroman (novel of education), epistolary novel, historical novel,
22
Mary Chamberlain, Narrative and Genre, (London: Routledge, 1998), hh. 2-4.
23
Ibid., h. 2.
24
Mario Klarer, op.cit., h. 3-9.
25
satirical novel, utopian novel, gothic novel dan detective novel pada jenis novel yang
sebelumnya telah disebut Kirszner-Mandell.
Pada genre poetry, Klarer membaginya menjadi narrative poetry, lyric poetry–
elegy, ode, sonnet.25 Sementara jika dikelompokkan berdasar character of poetic
language, poetry terbagi menjadi lexical thematic dimension (ballad), visual dimention dan
rhythmic-acoustic dimension. Drama sebagai salah satu bentuk genre klasik berjenis
comedy namun Aristotle (384-322 BC) mengangkat tragedy. Pada masa Renaissance,
history play dimunculkan oleh Shakespeare dalam karyanya Richard II dan Henry IV.
Namun, pada masa Restoration di akhir abad 17 muncul comedy of manner
(Restoration comedy) dan pada masa Romantic di awal abad 19 Inggris memunculkan
closet drama.
Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan genre karya sastra berdasarkan
perkembangannya yaitu: prosa (fiction), puisi (poetry), drama, dan film.
1. Fiction (Prosa)
Pengertian fiksi (fiction) dalam kesusastraan, dapat juga mengarah kepengertian
prosa. Fiksi, juga menyaran pada padanan teks naratif (narrative text) atau wacana naratif
(narrative discourse). Fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan atau cerita khayalan.
Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran faktual, sesuatu yang benar-benar terjadi. 26 Dengan demikian, fiksi menunjuk
pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu
yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya
pada dunia nyata.
Fiction menurut Nurgiyantoro merupakan cerita rekaan atau khayalan yang
27
menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan. Kemudian, fiksi
menurut Klarer merupakan istilah dari prosa fiksi yang kemudian berkembang dan lebih
dikenal sebagai novel. Seperti yang dikemukakan Klarer sebagai berikut.
25
Ibid., h. 28-30
26
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms (Fort Worth : Harcourt Brace Press, 1999), h. 94.
27
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 2.
28
Mario Klarer, op.cit., h. 10.
26
Dari pendapat Klarer tersebut dapat diperoleh informasi bahwa dengan penghapusan
dari Weltanschauung terpadu pada abad modern awal, posisi prosa fiksi melemah dan
akhirnya diganti dengan novel, corong relativisme yang muncul dalam semua aspek
wacana budaya.
Novel yang baru dibentuk sering ditandai oleh ketentuan "Realisme" dan
"individualisme," demikian meringkas beberapa dasar inovasi media baru ini. Sementara
prosa tradisional dipamerkan dimensi kosmik dan alegoris, novel modern yang
membedakan sendiri dengan mendasarkan plot dalam sejarah dan geografis yang
berbeda kenyataan. Metamorfosis pahlawan alegoris dan ditandai prosa ke protagonis
novel ini, dengan karakter individu dan realistis. Fitur-fitur dari novel yang dalam perhatian
mereka untuk individualisme dan realisme, mencerminkan kecenderungan sosiohistorikal
dasar abad kedelapan belas, segera membuat sebuah novel sastra yang dominan genre.
Novel dengan demikian mencerminkan ketidakpedulian modern untuk kolektif
semangat abad pertengahan yang sangat mengandalkan alegori dan simbolisme.
Munculnya kelas menengah terdidik, penyebaran mesin cetak, dan secara ekonomi
dimodifikasi yang memungkinkan penulis untuk mengejar menulis sebagai profesi yang
mandiri mendasari pergeseran besar dalam abad kedelapan belas sastra produksi.
Sampai hari ini, novel masih mempertahankan posisi terdepan sebagai genre yang
menghasilkan paling inovasi dalam sastra.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mengangkat realitas
kehidupan manusia yang muncul pada abad ke-18 M, sebagai akibat dari beberapa sebab
di antaranya: sosial, filosofis, dan literer (Azies dan Hasim, 2010:12). 29 Ditinjau dari segi
etimologi novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella dan dalam bahasa Jerman novella
yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ yang kemudian diartikan sebagai ‘cerita
pendek dalam bentuk prosa’. Kemudian, dalam bahasa Inggris novelette, yang selanjutnya
masuk ke Indonesia menjadi novel yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang tidak terlalu
panjang dan tidak terlalu pendek. Selanjutnya dari segi terminology, novel adalah
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan
orang di sekelilingnya dengan menojolkan watak dan sifat setiap pelaku.
29
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h. 12.
27
Clara Reeve dalam Wellek dan Warren menjelaskan bahwa ‘The novel is a picture
of real life and manners, and of the time in which it is written’. 30 Dalam hal ini novel berarti
gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.
Pendapat ini menekankan bahwa novel yang baik mampu mengangkat kenyataan yang
terdapat dalam masyarakat sehingga rangkaian cerita yang ditulis oleh pengarang tersebut
dapat mencerminkan kehidupan masyarakat pada zaman novel itu ditulis.
Novel, menurut Kosasih merupakan karya imajinatif yang menceritakan suatu hal
yang utuh dari permasalahan kehidupan seseorang atau beberapa orang. Lebih lanjut
Kosasih menjelaskan bahwa dalam novel memiliki beberapa ciri, yaitu (a) aspek alur lebih
rumit dan lebih panjang yang ditandai oleh perubahan nasib pada tokoh; (b) tokoh
dihadirkan lebih banyak dalam berbagai karakter; (c) latar terdiri atas wilayah geografis
yang luas dan dalam waktu yang lebih lama; serta (d) tema yang bersifat kompleks yang
ditandai dengan adanya tema-tema bawahan. 31
Novel yang baik mampu menggunakan bahan dasarnya berupa cerita menjadi alat
penyampai berbagai informasi kepada pembaca. Menurut Gie, cerita atau penceritaan
merupakan wujud komunikasi berupa peristiwa atau pengalaman dalam kerangka urutan
waktu yang disampaikan kepada pembaca dengan tujuan untuk memberikan pesan atau
kesan tentang perubahan dari awal sampai titik akhir.32 Tanpa adanya cerita, maka
seorang pengarang novel akan sia-sia berkomunikasi dengan pembaca. Dengan
demikian, tidak mungkin menulis novel dengan mengabaikan unsur-unsur cerita karena
cerita merupakan hakikat novel.
Hakikat novel berikutnya dikemukakan oleh Zaidan, dkk. memberikan pengertian
yang bersumber pada unsur-unsur pembangun novel. Zaidan, dkk. menjelaskan novel
sebagai salah satu jenis prosa fiksi yang mengandung unsur-unsur, seperti tokoh, plot,
latar rekaan yang meceritakan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang
yang mengandung nilai kehidupan yang diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang
menjadi dasar konvensi penulisan.33 Masalah yang diangkat dalam sebuah novel tidak
sekompleks roman, bahasa yang digunakan juga berupa bahasa sehari-hari, dan
30
Clara Reeve dalam Rene Wellek dan Austin Warren, op.cit., h. 282.
31
E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra (Bandung: CV Yrama Widya, 2012), h. 60.
32
The Liang Gie, Terampil Mengarang (Yogyakarta: Andi, 2002), h. 4.
33
Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 2004),
h. 136.
28
penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya
bahasa, nilai, tokoh, dan penokohan, tetapi ada aspek tertentu yang ditekankan dari unsur
intrinsik tersebut . 34
Kemudian, menurut … novel atau fiksi juga memilki unsur ekstrinsik. Unsur
ekstrinsik menurut Nurgiyantoro adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme karya sastra.
35
Atau, dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian,
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005:24) mengatakan bahwa unsur ekstrinsik
terdiri dari sejumlah unsur antara lain:
34
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 141.
35
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 23.
36
Wellek dan Warren dan Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 24.
29
Jenis novel menurut para ahli memiliki kesamaan dan perbedaan, bergantung dari
sudut pandang dalam menafsirkannya. Menurut Klarer berdasarkan tema yang disajikan
terdapat beberapa jenis novel sebagai berikut: 37
a). Novel Picaresque
Novel picaresque merupakan novel yang berkaitan tentang pengalaman seorang
gelandangan nakal (dari Spanyol "picaro") bertentangan dengan norma-norma
masyarakat. Terstruktur sebagai sebuah narasi episodik, novel picaresque mencoba untuk
meletakkan ketidakadilan sosial yang telanjang dengan cara satir, seperti misalnya Hans
Yakub Christoph von Grimmelshausen, Jerman Simplizissimus, Daniel Defoe Moll
Flanders, atau Henry Fielding Tom Jones, yang semuanya menampilkan ciri-ciri spesifik
dari bentuk prosa fiksi.
37
Mario Klarer, op.cit., hh. 11-12.
30
Novel gothic merupakan novel yang menceritakan kehidupan tokoh dengan
memadukan tema horor dan romantik. Beberapa contoh novel ini yaitu, The Castle of
Otranto karya Horace Walpole dan Darcula karya Bram Stoker.
g). Novel Detektif (Detective)
Novel detektif seperti novel karya Agatha Christie Munder on the Orient Express.
Kemudian, berdasarkan tinjauan historis dan teknis, jenis novel menurut Aziez dan
Hasim (2010:22-31) terbagi dalam 14 jenis, sebagai berikut: 38
a). Novel Picaresque
Novel picaresque berasal dari kata picaro, yang dalam bahasa Spanyol bermakna
‘bandit’. Novel ini terbentuk dari tradisi cerita-cerita spanyol abad keenam belas pada saat
runtuhnya feodal, yang secara tipikal melukiskan bagaimana seorang picaro dengan
segala kecerdikannya hidup dari satu perjalanan ke perjalanan lain dan biasanya berlatar
kehidupan rendah dan kumal. Contoh novel picaresque, yaitu novel Moll Flanders karya
Daniel Defoe yang menceritakan perkembangan perwatakan tokoh utamanya Moll. Ia
menyesali nasibnya ketika sedang menunggu eksekusi hukuman mati.
b). Novel Epistolari
Novel epistolari merupakan novel yang memanfaatkan surat (epistles) yang dikirim
di antara para tokoh yang ada di dalamnya sebagai media penyampaian cerita. Novel ini
lahir dan berkembang sekitar abad kedelapan belas, seperti novel Pamela karya Samuel
Richardson, Clarissa, Humphrey Clinker karya Tobias Smollet, dan Evelina karya Fanny
Burney.
c). Novel Sejarah
Novel sejarah ialah novel yang berbentuk petualangan dengan latar belakang
sejarah, termasuk tokoh-tokoh sejarah dimasukkan dalam rangkaian cerita tokoh-tokoh
fiktif dengan tujuan menyampaikan kesan historis yang dapat dipercaya dan benar-benar
terjadi. Pengarang novel ini yang terkenal yaitu Sir Walter Scott berkebangsaan Inggris.
d). Novel Regional
Novel regional yaitu novel yang memainkan unsur latar berupa warna daerahnya
yang terpencil atau daerah pegunungan sebagai pusat kejadian bukan daerah perkotaan.
Contoh novel ini, yaitu Wessex karya Thomas Hardy.
38
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, op.cit., h. 22-31.
31
e). Novel Satir
Novel satir merupakan novel yang berusaha menyerang sesuatu yang dituding
sebagai kejahatan atau kebodohan, baik bersifat perorangan, kelompok, maupun anggota
masyarakat secara keseluruhan dan alatnya berupa lelucon dan cemoohan. Karya novel
satir, misalnya novel The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain.
f). Novel Bildungsroman
Novel bildungsroman adalah novel yang menceritakan perkembangan tokoh, mulai
masa kanak-kanak atau muda sampai masa dewasa dengan menghubungkan pengaruh-
pengaruh di awal hidup seseorang dengan menganggap bahwa anak adalah ayah bagi
orang dewasa. Berkembangnya novel ini sekitar abad kedelapan belas dan kesembilan
belas, seperti novel David Copperfield karya Charles Dickens.
g). Novel Tesis
Novel tesis merupakan novel yang mengangkat dan mendorong dilakukannya
reformasi sosial atau koreksi terhadap perilaku-perilaku keliru tertentu dengan
berpedoman pada pernyataan atau kesimpulan teoretis yang diajukan serta ditunjang oleh
argumentasi dan referensi-referensi yang diakui secara ilmiah. Contoh novel tesis,
misalnya Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe, yang ceritanya dijalin seputar
kutukan terhadap pelembagaan perbudakan di Amerika Serikat.
h). Novel Gotik (Roman Noir)
Novel gotik merupakan novel yang biasanya diterapkan oleh gaya arsitektur dengan
menampilkan aspek-aspek romantisisme. misterius, liar, dan menakutkan. Novel gotik
berusaha menghadirkan tokoh-tokoh, latar, dan situasi khas yang sampai sekarang masih
muncul dalam film-film horor modern. Novel ini lahir pada abad pertengahan, dengan ciri
latar yang gelap meremang, puri-puri kuno dengan kamar-kamar dan lorong-lorong
rahasia, yang dikuasai oleh bangsawan berwatak sinis akibat siksaan dosa tertentu, serta
elemen supernatural yang begitu kuat menguasai suasana. Contoh novel gotik, yaitu
Edwin Drood karya Charles Dickens dan The Haund.
i). Roman Fleuve
Roman fleuve yaitu novel yang ceritanya berantai dan dapat dibaca dan diapresiasi
satu per satu, tetapi berkenaan dengan tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa yang sama
dan selalu muncul dari satu novel ke novel berikutnya. Novel fleuve disebut juga dengan
32
istilah novel saga yang menceritakan keluarga besar yang masing-masing novel
mengutamakan ceritanya pada satu cabang keluarga tertentu.
j). Roman Feuilleton
Roman feuilleton merupakan novel yang terbitnya secara berangsur-angsur dan
tanpa mengalami pemotongan dalam suatu surat kabar. Model penerbitan seperti ini,
popular pada abad ke sembilan belas.
k). Fiksi Ilmiah
Novel fiksi ilmiah adalah novel yang menceritakan ilmu pengetahuan modern,
terutama perjalanan antarplanet dan dunia luar angkasa. Fiksi ilmiah dipopulerkan oleh
Jules Verne dan H.G. Wells berkebangsaan Amerika.
l). Novel Baru (Nouveau Roman)
Novel baru merupakan novel yang berasal dari karya novelis Amerika yang
berbentuk ekstrem dan mutakhir dari modernism sehingga dapat membingungkan
pembaca karena ada efek tertentu yang berbeda daru novel lain.
m). Metafiska
Metafiska yaitu novel yang dengan sengaja menghadirkan ilusi fiktif dan
mengomentari secara langsung hakikat fiktifnya sendiri atau proses penulisannya. Hal ini
sesuai dengan makna istilah metafiska, yaitu fiksi tentang fiksi. Ahli yang mempopulerkan
metafiska yaitu Lawrence Sterne berkebangsaan Inggris. Dalam novelnya yang berjudul
Tristam Shandy, Stern sebagai narrator berusaha menggoda pembaca dengan berbagai
cara, misalnya menyuruh pembacanya membuka kembali beberapa halaman yang sudah
berlalu agar bisa membaca halaman berikutnya.
n). Faksi
Faksi merupakan novel yang diperkenalkan oleh pengarang Truman Capote
berkebangsaan Amerika sebagai portmanteau yang berasal dari kata fact dan fiction yang
bearti fakta dan fiksi sehingga ceritanya mencoba memunculkan kembali peristiwa-
peristiwa sejarah bagi pembacanya serta berkaitan dengan peristiwa atau tokoh nyata,
tetapi dengan menggunakan rincian rekaan untuk meningkatkan tingkat kepercayaan dan
keterbacaannya.
33
Kemudian, menurut Klarer dalam prosa fiksi ada yang menarik yaitu cerita pendek
(short story).39 Cerita pendek merupakan bentuk singkat dari fiksi prosa, telah menerima
kurang perhatian dari para sarjana sastra dari novel. Seperti novel, akar dari kebohongan
cerita pendek di zaman kuno dan abad pertengahan. Story atau sejarah, mitos, dongeng,
dan berhubungan dengan jenis tertua dari tekstual manifestasi, "teks" yang terutama
secara lisan. Kemudian, istilah "dongeng" (dari "memberitahu"), seperti Jerman "Sage"
(dari "Sagen" - "berbicara"), mencerminkan dimensi lisan yang melekat dalam fiksi singkat.
Bahkan Alkitab memuat cerita seperti "Ayub" (c. kelima keempat abad SM) atau
"Anak Hilang" (c. abad pertama masehi), yang struktur dan pola narasi mirip cerita pendek
modern. Pelopor lain dari subgenre fiksi adalah satir kuno dan tersebut asmara. Prekursor
langsung dari cerita pendek abad pertengahan dan awal yang modern narasi siklus. Para
Arab Seribu Satu Malam, disusun pada abad keempat belas dan selanjutnya, Giovanni
Boccaccio (1313-1375) Italia Decamerone (1349-1351), dan Geoffrey (C. 1343-1400)
Chaucer Canterbury Tales (c. 1387) mengantisipasi fitur penting dari fiksi pendek modern.
Siklus ini adalah kisah ditandai dengan bingkai narasi seperti ziarah ke makam Santo
Thomas Becket di Canterbury Tales yang menyatukan sebuah sejumlah cerita lain
heterogen. Dalam perjalanan ke Canterbury, para peziarah mengatakan berbeda, bukan
mandiri cerita yang hanya terhubung melalui penggunaan Chaucer dari sebuah cerita
bingkai.
Cerita pendek muncul sebagai jenis teks yang kurang lebih independen di akhir abad
kedelapan belas, sejajar dengan perkembangan novel dan koran. Secara teratur
mengeluarkan majalah dari abad kesembilan belas memberikan pengaruh besar pada
pembentukan cerita pendek dengan menyediakan media yang ideal untuk publikasi genre
prosa volume terbatas. Pelopor dari jurnal-jurnal ini adalah yang Tatler (1709-1711) dan
Penonton (1711-1712; 1714), diterbitkan dalam Inggris oleh Joseph Addison dan Richard
Steele, yang berusaha untuk mengatasi kelas berpendidikan menengah dalam teks-teks
sastra pendek dan komentar dari umum bunga (esai). Bahkan saat ini, majalah seperti
New Yorker (sejak 1925) masih berfungsi sebagai organ istimewa untuk publikasi pertama
cerita singkat. Banyak novel, pada awalnya muncul sebagai cerita serial di majalah ini
39
Mario Klarer, op.cit., h. 12.
34
sebelum diterbitkan sebagai buku independen, untuk Misalnya, Charles Dickens (1812-
1870) The Pickwick Papers (1836-1837).
Sementara novel ini selalu menarik minat sastra teori, cerita pendek telah pernah
benar-benar mencapai status yang dimiliki dengan terciptanya cerpen setebal buku fiksi.
Cerita pendek, bagaimanapun permukaan dalam perbandingan definisi genre prosa
lainnya seperti novel atau yang lebih pendek varian, novel dan roman.
Unsur-unsur utama dari novel juga menunjukkan unsur-unsur yang terdapat dapat
cerita pendek, upaya untuk menjelaskan sifat dari genre mengandalkan pada pendekatan
metodologis yang berbeda, di antaranya penerimaan teori yang berkaitan dengan
membaca tanpa gangguan, gagasan formalis untuk analisis struktur plot, dan pendekatan
kontekstual untuk menggambarkan batas-batas mereka dengan genre sejenis lainnya.
Istilah plot, waktu, karakter, setting, perspektif narasi, dan gaya muncul tidak hanya dalam
definisi dan karakteristik dari genre novel, tetapi juga berfungsi sebagai daerah yang paling
penting dalam penyelidikan dalam film dan drama. Karena aspek-aspek ini dapat diisolasi
paling mudah dalam prosa fiksi, untuk itu secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut.
a). Plot
Plot menurut Klarer dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut: “Plot is the logical
interaction of the various thematic elements of a text which lead to a change of the original
40
situation as presented at the outset of the narrative.” Dari pendapat tersebut dapat
dijelaskan bahwa plot merupakan rangkaian cerita yang berinteraksi secara logis dari
berbagai elemen tematik dari teks yang menyebabkan perubahan dari situasi asli seperti
yang disajikan pada awal cerita. Alur merupakan eksposisi atau presentasi dari situasi
awal terganggu oleh komplikasi atau konflik yang menghasilkan ketegangan dan akhirnya
mengarah pada klimaks, krisis, atau titik balik. Puncaknya adalah diikuti dengan resolusi
komplikasi dengan teks yang biasanya berakhir. Paling tradisional prosa fiksi, drama, dan
film ini menggunakan struktur alur cerita dasar, yang disebut juga linier karena elemen
yang berbeda mengikuti urutan kronologis. Dalam banyak kasus, bahkan dalam kilas balik
plot linier dan bayangan memperkenalkan informasi mengenai masa lalu atau masa depan
ke dalam narasi.
40
Mario Klarer, op.cit., h. 15.
35
Menurut Stanton, plot adalah serangkaian peristiwa-peristiwa yang membentuk
sebuah cerita dan biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara
kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi
dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh
pada keseluruhan karya. 41 Peristiwa kausal juga tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter,
kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi
variabel pengubah dalam dirinya.
Lebih lanjut Stanton menjelaskan bahwa plot sebagai tulang punggung cerita yang
mempunyai perbedaan dengan elemen-elemen lain sehingga dapat membuktikan dirinya
sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan peristiwa yang tidak akan pernah dimengerti secara
komprehensif tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
42
mempertautkan plot, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya.
Bukan saja peristiwa yang sangat dasar dalam mengembangkan plot, tetapi juga
unsur konflik dan klimaks. Menurut Luxemburg (di dalam Nurgiyantoro), peristiwa atau
disebut action/event merupakan peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain sehingga
dapat membedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang
43
tidak. Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan
yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.
Aminuddin menjelaskan bahwa peristiwa dalam novel memiliki beberapa tahap,
yaitu: pengenalan/penyituasian (situation), konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan
penyelesaian (denouement). 44 Pengenalan merupakan tahap peristiwa dalam suatu cerita
yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita, seperti: nama, asal, ciri fisik, dan
sifatnya.
Konflik atau tikaian merupakan pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan
di dalam cerita. Konflik ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara
tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta tokoh dan Tuhan.
Ada konflik lahir dan konflik batin. Kemudian, komplikasi atau rumitan merupakan bagian
41
Robert Stanton, Teori Fiksi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26.
42
Ibid., h. 28.
43
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 117.
44
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), hh.159-160.
36
tengah plot cerita yang mengembangkan konflik. Dalam tahap ini konflik terjadi semakin
tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.
Tahap peristiwa yang berikutnya yaitu, klimaks. Klimaks merupakan bagian plot
cerita yang melukiskan puncak ketegangan, terutama ditinjau dari segi tanggapan
emosional pembaca. Klimaks adalah puncak konflik yang diikuti oleh krisis atau titik balik.
Krisis dalam hal ini bagian plot yang mengawali penyelesaian. Saat dalam plot yang
ditandai oleh perubahan plot cerita atau seperti perubahan sosial dan norma tokoh menuju
selesainya cerita. Tahap berikutnya peleraian merupakan bagian struktur plot sesudah
tercapainya klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan
perkembangan lakuan ke arah penyelesaian.
Tahap peristiwa yang terakhir yaitu, penyelesaian atau denouement. Dalam tahap
ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan, dan rahasia dibuka. Ada
dua macam penyelesaian, yaitu tertutup dan terbuka. Penyelesaian tertutup merupakan
bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Penyelesaian terbuka adalah
bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.
b). Karakter atau Perwatakan
Pada dasarnya karakter dapat ditunjukkan dalam penokohan. Penokohan menurut
Jones (di dalam Nurgiyantoro) merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dalam penokohan terdapat istilah tokoh,
dan karakter. Istilah tokoh mengarah pada orangnya atau pelaku cerita. Jenis tokoh, di
antaranya: tokoh rekaan, tokoh nyata, tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis,
tokoh antagonis, tokoh sederhana, tokoh bulat, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh
tipikal, tokoh netral, dan lainnya. 45
Karakter merupakan Gass di dalam Hoffman dan Muphy menjelaskan karakter
merupakan orang, simbol, dan ide.46 Orang tersebut diterjemahkan pembaca memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilukiskan dalam tindakan. Sebuah pendekatan psikologis juga mengevaluasi
karakter, namun juga memungkinkan untuk menganalisis presentasi karakter dalam
konteks struktur narratologikal. Secara umum, karakter dalam sebuah teks dapat diberikan
45
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hh. 165-190.
46
Michael J. Hoffman, dan Patric D. Muphy. Essentials of the Theory of Fiction. United States: Duke
University Press, 1993), h. 267.
37
baik sebagai jenis atau sebagai individu. Sebuah karakter ditandai dengan didominasi
salah satu sifat tertentu dan disebut sebagai karakter datar. Karakter bulat panjang
biasanya menunjukkan persona dengan fitur lebih kompleks dan dibedakan.
Menurut Stanton, karakter terbagi menjadi dua konteks, yaitu pertama konteks yang
memberikan pengertian bahwa karakter merujuk pada individu-individu yang muncul
dalam cerita seperti ketika orang bertanya, “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”.
Konteks kedua, berupa karakter yaitu pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dengan demikian, karakter
menurut Stanton lebih mengarah pada sifat yang dibawa oleh para tokoh dalam cerita,
misalnya karakter Faith yang sangat teguh hati dalam Young Goodman Brown karya
Hawthorne. 47
c). Sudut Pandang (Point of View)
Nurgiyantoro mengemukakan sudut pandang dilihat dari siapa yang menceritakan,
48
atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Kemudian, sudut
pandang menurut perspektif narasi, mencirikan cara di mana teks menyajikan orang,
peristiwa, dan pengaturan. Itu perbedaan dari perspektif narasi dikembangkan sejajar
dengan munculnya novel dan dapat dikurangi menjadi tiga posisi dasar: aksi teks adalah
baik dimediasi melalui sebuah eksterior, yang tidak ditentukan narator (sudut pandang
maha tahu), melalui orang yang terlibat dalam tindakan (orang pertama narasi), atau
disajikan tanpa tambahan komentar (situasi narasi figural). Hal ini sesuai yang dikemukan
oleh Klarer sebagai berikut.
The term point of view, or narrative perspective, characterizes the way in which a text
presents persons, events, and settings. The subtleties of narrative perspectives developed
parallel to the emergence of the novel and can be reduced to three basic positions: the action
of a text is either mediated through an exterior, unspecified narrator (omniscient point of
view), through a person involved in the action (first-person narration), or presented without
additional commentary (figural narrative situation). 49
Sudut pandang orang pertama-narasi membuat tindakan seperti yang terlihat melalui
berpartisipasi tokoh, yang mengacu kepadanya atau dirinya sebagai orang pertama.
Orang pertama-narasi dapat mengadopsi sudut pandang salah satu dari protagonis atau
47
Robert Stanton, op.cit., h. 33-34.
48
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 246.
49
Mario Klarer, op.cit., h. 21.
38
tokoh kecil. Sebagian besar novel dalam orang pertama narasi digunakan, tentu saja,
protagonis (karakter utama) sebagai narator, seperti misalnya, Laurence Sterne yang
Tristram Shandy (1759-67) atau Charles Dickens 'David Copperfield (1849-1850).
Pembukaan baris dari JD Salinger itu (1919) The Catcher in the Rye (1951) juga mengacu
ini tradisi orang pertama narasi oleh protagonis: "Jika Anda benar-benar ingin mendengar
tentang hal itu, hal pertama yang Anda mungkin ingin tahu adalah tempat saya lahir, dan
apa yang buruk masa kecil saya seperti, dan bagaimana orang tua saya diduduki dan
semua sebelum mereka telah saya, dan semua yang David Copperfield jenis omong
kosong, tetapi saya tidak merasa seperti pergi ke dalamnya". Hal ini menunjukkan orang
pertama narasi oleh protagonis bertujuan yang diduga representasi otentik dari
pengalaman subjektif dan perasaan narator.
Sudut pandang menurut Stanton, terdiri empat jenis dari: orang pertama-utama
(tokoh utama bercerita dengan kata-katanya sendiri), orang pertama-sampingan (cerita
dituturkan oleh satu tokoh bukan utama (sampingan), orang ketiga-terbatas (pengarang
mengacu pada semua tokoh dan memposisikannya sebagai orang ketiga, tetapi hanya
menggambarkan apa yang dilihat), orang ketiga tidak terbatas (pengarang membuat tokoh
seolah melihat, mendengar, atau berpikir saat tidak ada satu tokoh pun hadir. 50 Kemudian,
Hofman dan Muphy, mengemukakan sudut pandang terdiri dari narrator maha tahu,
narrator pengamat orang pertama, narrator peserta, narrator pengamat dan peserta, dan
narrator orang ketiga. 51
d). Setting atau Latar
Setting adalah aspek lain secara tradisional termasuk dalam analisis prosa fiksi, dan
relevan dengan diskusi genre lain juga. Istilah "pengaturan/setting" menunjukkan lokasi,
periode sejarah, dan sosial lingkungan di mana tindakan sebuah teks berkembang. Hal ini
dijelaskan oleh Klarer sebagai berikut.
50
Robert Stanton, op.cit., hh. 53-54
51
Michael J. Hoffman, dan Patric D. Muphy. op.cit., h. 254-262.
52
Mario Klarer, op.cit., h. 25.
39
Berkenaan dengan setting dapat dicontohkan dalam karyanya William Shakespeare
(1564-1616) Hamlet (c. 1601), semua kita tahu adalah bahwa tindakan mengambil tempat
di Denmark abad pertengahan. Penulis hampir tidak pernah memilih pengaturan untuk
kepentingan diri sendiri, melainkan menanamkan cerita dalam konteks waktu tertentu dan
tempat untuk mendukung aksi, karakter, dan narasi perspektif pada tingkat tambahan.
Dalam novel gothic dan bentuk-bentuk tertentu dari fiksi prosa, pengaturan adalah
salah satu elemen penting dari genre seperti itu. Dalam pembukaan bagian dari "The Fall
of the House of Usher" (1840), Edgar Allan Poe (1809-1849) memberikan penjelasan rinci
tentang bangunan di mana cerita pendek luar biasa akan berkembang. Menariknya,
pengaturan Poe, yang House of Usher, secara tidak langsung menyerupai Roderick
Usher, karakter utama naratif dan tuan rumah.
Setting juga dijelaskan Gamble dan Sally, sebagai berikut:
The setting is the time and place in which the action occurs. In some stories the setting is
incidental, simply providing a backdrop for the action. For example, in Rosie’s Basie, a
picture book by Penny Dale, Rosie comes to terms with the arrival of a new baby aided by
imaginative play with he toys and a supportive mother.53
Dari pernyataan Gamble dan Sally tersebut, dapat dijelaskan bahwa setting
merupakan waktu atau tempat di mana tindakan terjadi. Dalam beberapa cerita, setting
bersifat insideltal, hanya memberikan latar belakang untuk tindakan. Misalnya, dalam
Rosie’s Basie, sebuah buku bergambar karya Penny Dale, Rosie datang untuk melahirkan
bayi dibantu oleh daya imajinatif dengan mainannya dan ibu mendukung.
e). Bahasa Sastra
Bahasa sastra dicirikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan
bersifat konotatif sebagai kebalikannya bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang
rasional dan denotatif.54Dalam menyampaikan bahasa, pengarang menggunakan gaya.
Menurut Stanton, gaya merupakan suatu cara pengarang dalam menggunakan bahasa
dan ketika ada dua pengarang memakai plot, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan
atau gaya bahasa yang digunakan akan berbeda. Perbedaan gaya tersebut secara umum
terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme,
53
Nikki Gamble dan Sally Yates. Exploring Children’s Literature: Teaching the Language and Reading of
Fixtion (London: Paul Chapman Publishing, 2002), h. 67.
54
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 273.
40
panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji serta metafora.
Beberapa pengarang memiliki gaya bahasa yang unik dan efektif sehingga dapat mudah
55
dikenali bahkan pada saat pembacaan pertama. Gaya semacam ini juga dapat
memancing ketertarikan pembaca. Ernest Hemingway terkenal dengan gaya bahasanya
yang lugas, kering, konkret, simple, dan lansung. Berbeda dengan Henry James, ia lebih
menggunakan kalimat-kalimat yang panjang dan rumit dan dipenuhi detail disana-sini.
Berbeda juga dengan Josept Conrad, ia terkenal akan deskripsi-deskripsinya yang
terorganisasi rapi dan memanjakan indera.
Lebih lanjut Stanton menjelaskan bahwa satu unsur yang amat penting terkait
dengan gaya adalah tone. Tone merupakan sikap emosional pengarang yang ditampilkan
dalam cerita. Tone bisa terlihat dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Pada porsi tertentu, tone
dimunculkan oleh fakta-fakta, misalnya satu cerita yang mengisahkan seorang pembunuh
berkapak akan memunculkan tone ‘gila’.
Dengan gaya bahasa kita mampu menilai pribadi, watak, dan kemampuan
seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Keraf mengemukakan bahwa semakin baik
gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; sebaliknya semakin
buruk gaya bahasanya, semakin buruk pula penilaian diberikan kepadanya. Keraf pun
lebih lanjut mengatakan bahwa gaya bahasa yang memiliki kriteria baik harus
mengandung tiga aspek sebagai berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik. 56
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan
sarana utama untuk menyampaikan cerita dalam teks sehingga terciptanya unsur-unsur
karya sastra khususnya novel, misalnya plot, karakter, setting, sudut pandang, dan
lainnya.
2. Puisi (Poetry)
Puisi adalah salah satu genre tertua dalam sejarah sastra. Puisi yang paling awal
sebagai literatur Yunani kuno. Meskipun demikian panjang tradisi, lebih sulit untuk
menentukan dari genre lainnya. Puisi adalah erat berhubungan dengan istilah "lirik,"
55
Robert Stanton, op.cit., h. 61-62.
56
Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 113.
41
berasal dari yang etimologis Yunani alat musik "Lyra" ("kecapi" atau "kecapi") dan titik ke
asal di bidang musik. 57
Pada zaman klasik serta dalam abad pertengahan, pujangga membacakan puisi,
dengan iringan kecapi atau alat musik lainnya. Istilah "Puisi", berasal dari kata Yunani
"poieo" ("untuk membuat," "untuk menghasilkan"), menunjukkan bahwa penyair adalah
orang yang "membuat" ayat. Meskipun etimologi menyoroti pada beberapa aspek dari lirik
dan puitis, tidak dapat menawarkan memuaskan penjelasan tentang fenomena seperti itu.
Sebagian besar upaya tradisional untuk mendefinisikan puisi mendekatkan puisi
dengan prosa. Sebagian besar definisi terbatas pada karakteristik seperti ayat, sajak lagu,
dan yang secara tradisional dianggap sebagai unsur-unsur klasik yang membedakan puisi
dari prosa. Kriteria ini tidak dapat diterapkan untuk puisi, prosa modern atau eksperimen
puisi. Penjelasan dari genre yang menggabungkan puitis bahasa dengan unsur-unsur
linguistik selain sajak dan sair lagu melakukan keadilan lebih untuk non-tradisional bentuk
seperti sajak bebas atau puisi prosa. Pendekatan ini meneliti fenomena lirik sebagai
pilihan kata sebagai serta penggunaan struktur sintaksis dan tokoh retoris. Meskipun
elemen-elemen ini mendominasi dalam beberapa bentuk puisi, juga akan muncul dalam
drama atau fiksi. Terlepas dari kesulitan yang berhubungan dengan definisi puisi, yang
disebutkan di atas kriteria heterogen menguraikan kualitas utama yang konvensional
dikaitkan dengan puisi.
Genre puisi sering dibagi ke dalam dua besar kategori, yaitu narasi dan puisi liris.
Puisi narasi meliputi genre seperti puisi epik panjang, roman, dan balada, yang bercerita
dengan jelas dikembangkan, plot terstruktur. Puisi liris pendek berfokus pada sebuah
komentar, terutama peduli dengan satu hal, kesan, atau ide. Beberapa prekursor puisi
modern dapat ditemukan di Inggris yaitu teka-teki tua dan pesona. Hal ini bersifat ini puitis
dan teks sihir, misalnya pesona berikut "Melawan Wen", yang seharusnya membantu
menyingkirkan penghianat, aneh hari ini, tetapi yang umum dalam periode tersebut.
Menurut Klarer, istilah yang penting dan kontroversial dalam puisi adalah "image"
58
atau citra. Kata citra memiliki makna "imago" Latin ("Gambar") dan mengacu pada
komponen dominan visual dari sebuah naskah yang bisa juga mencakup tayangan
sensorik lainnya. Citra sering dianggap sebagai manifestasi paling umum dari karakter
57
Mario Klarer, op.cit., h. 27.
58
Mario Klarer, op.cit., h. 29.
42
puisi yang "nyata". Bahkan jika tema abstrak di pusat puisi dan penyair masih
menggunakan citra konkret untuk membuatnya lebih mudah diakses. Karakter konkret
puitis bahasa dapat dicapai pada leksikal tematik, visual, dan ritme akustik yang
mencerminkan unsur terpenting dalam puisi yang secara rinci dapat ditunjujukkan sebagi
berikut.
Dimensi Leksikal Tematik : Diksi, Figur Retorika, Tema
Dimensi Visual : Bait, Bentuk Puisi
Dimensi Ritme Akustik : Rima dan Irama, pembentukan kata yg
meniru suara
Persamaan satu hal dengan yang lain tanpa perbandingan yang sebenarnya disebut
metafora. Jika Burns mengatakan "cinta saya adalah merah, mawar merah", bukannya
"Oh, cinta saya seperti merah, mawar merah ", kiasan yang akan diubah menjadi
metafora. Dalam puisinya " pertanda dari Tidak bersalah " (c. 1803), William Blake (1757-
1827) menggunakan metafora berbeda dalam setiap bait :
Untuk melihat dunia dalam sebutir pasir
Dan surga di bunga liar,
Tak terbatas di telapak tangan Anda
44
dan keabadian dalam satu jam.
Sebutir pasir digunakan sebagai metafora bagi dunia, bunga untuk langit, dan
sebagainya. Dalam metafora dan kiasan, dua elemen disejajarkan: tenor (orang, objek
atau ide) yang mana kendaraan (atau gambar) disamakan atau dibandingkan. Dalam "Oh,
cintaku adalah seperti merah, mawar merah", "cintaku" berfungsi sebagai tenor dan "naik
merah" sebagai kendaraan. Tokoh retorika secara luas digunakan dalam puisi karena
mereka menghasilkan makna "non - literal" dan mengurangi abstrak atau tenor kompleks
untuk kendaraan konkret, yang lagi-lagi meningkatkan puisi karakter konkret yang harus
dicapai.
Kekonkretan atau bentuk tertutup puisi sering membangkitkan teori sastra dengan
menyebut puisi sebagai "ikon verbal" atau "gambar lisan". Contoh yang sering dikutip
adalah puisi "Ode di Guci Yunani" (1820), di mana penyair romantis John Keats (1795-
1821) menggambarkan vas Yunani dicat. Ini adalah contoh penggunaan citra untuk
mencapai efek bergambar. Dalam penjelasan rinci tentang berbagai adegan bergambar,
puisi disamakan dengan vas dan dengan demikian seharusnya menjadi bagian yang
tertutup, bentuk harmonis dari artefak.
Engkau masih pengantin ketenangan,
Engkau menumbuhkan anak keheningan dan kelambatan waktu,
Sejarah Silvania, mengekspresikan sebuah kisah bunga yang lebih manis daripada
sajak kami.
Baris " Engkau menumbuhkan anak keheningan dan kelambatan waktu "
menunjukkan bahwa pada vas - seperti dalam pekerjaan plastik seni - waktu berdiri masih.
Orang-orang demikian dapat mengatasi sendiri kefanaan – membangkitkan melalui guci
sebagai wadah untuk abu orang mati – melalui produksi artistik. Bahkan 2.000 tahun
setelah kematian artis, yang karya seni memiliki kekuatan yang sama pada saat
penciptaannya. Itu penggambaran bergambar pada vas yang disandingkan dan
dibandingkan dengan baris puisi itu, "Sejarah Silvania, mengekspresikan sebuah kisah
bunga yang lebih manis daripada sajak kami". Dalam bait terakhir Keats langsung
mengacu pada bentuk tertutup vas sebagai model untuk puisi.
45
"Bentuk diam" dari vas Attic adalah puisi dominan dari citra konkret, salah satu
yang tidak digunakan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk merujuk objek luar ke
bentuk puisi seperti itu. Dalam deskripsi gambar visual pada vas, seni bergambar
disandingkan dengan literatur ; struktur tertutup dan mandiri vas menjadi model untuk
puisi. Daya tahan pekerjaan seni dipuji dan kontras dengan keberadaan fana manusia.
Gambar vas karena melayani tiga fungsi: sebagai simbol untuk seni bergambar, sebagai
model untuk bentuk puisi, dan sebagai benda konkret yang mengacu pada tema abstrak
kefanaan dan ketenaran abadi.
Dalam dua dekade pertama abad kedua puluh, gerakan dari imagism melanjutkan
tradisi ekspresi bergambar dalam puisi. Program teoritis sastra ini "sekolah," yang terkait
erat dengan penyair Amerika Ezra Pound (1885-1972), difokuskan pada "kondensasi"
puisi menjadi kuat, gambar penting. Kata Jerman untuk puisi, "Dichtung," adalah dianggap
berarti sama dengan "condensare" Latin ("untuk menyingkat "), sehingga pas dengan
sangat baik keasyikan imagists 'dengan pengurangan puisi "gambar" atau "lukisan".
Menurut Pound, puisi harus mencapai kejelasan maksimal dari ekspresi tanpa
menggunakan perhiasan. Opini Pound di salah satu manifesto nya (1913): "Sebuah
'Gambar' adalah bahwa yang menyajikan kompleks intelektual dan emosional dalam
sekejap dari Waktu... Lebih baik untuk menyajikan salah satu gambar dalam seumur hidup
daripada menghasilkan makalah tebal. Berikut puisi dari tahun 1916 adalah contoh praktis
dari imagism:
DALAM STASIUN METRO
Penampakan wajah-wajah di keramaian ;
Kelopak pada basah dahan, hitam.
Puisi ini didahului oleh beberapa versi lama sampai Pound mengurangi tiga bait
dengan menggunakan ekspresionis untuk penggambaran keramaian di stasiun metro. Dia
mulai dengan orang-orang dalam kegelapan stasiun dan kemudian menyamakan mereka
dengan " Kelopak pada basah dahan, hitam " (lihat metafora). Dengan menggunakan
elemen bergambar yang pada saat yang sama dengan tema umum dalam lukisan alam
Cina, Pound menekankan karakter puisinya yang bergambar.
Pound menarik pada bentuk puisi Jepang haiku sebagai contoh "kondensasi"
bentuk puisi ini. Mereka juga mengandung tiga baris dan pada tingkat tematik mengacu
46
kali dari hari atau musim. Puisi pendek Jepang ini biasanya diberikan dalam karakter Cina,
yang jauh lebih cocok daripada menulis abjad untuk menyampaikan dimensi bergambar -
konkret yang memukau penyair imajis. Piktogram Cina, yang menggabungkan menulis
dan gambar, sangat mempengaruhi imagists, yang pekerjaan utamanya adalah untuk
menyajikan gambar lisan murni untuk pembaca mereka. Mereka dimaksudkan untuk
mengkompensasi kurangnya dimensi bergambar di abjad tertulis oleh kondensasi bahasa
sebanyak mungkin.
b). Dimensi Visual
Sementara citra dalam puisi tradisional berkisah tentang transformasi objek ke
dalam bahasa, puisi konkret mengambil langkah lebih lanjut terhadap seni visual,
berkonsentrasi pada bentuk puisi itu atau tampilan visual. Gerakan ini, yang dihidupkan
kembali di abad kedua puluh, memiliki tradisi panjang, dari zaman klasik hingga ke zaman
Latin Abad Pertengahan dan ke abad ketujuh belas Inggris. Di antara gambar - puisi paling
terkenal dari sastra Inggris adalah George Herbert (1593-1633) "Easter Sayap" (1633) dan
"The Altar" (1633).
Seperti yang ditunjukkan pada halaman berikutnya, puisi Herbert menyampaikan
visual serta gambar verbal mezbah, yang penyair telah bangun dari bagian yang telah
diberikan kepadanya oleh Tuhan. Bangunan blok dari altar adalah kata-kata, yang Herbert
merakitnya membentuk sebuah altar. Sehingga Herbert menempatkan dirinya dalam
tradisi Kristen, di mana keberadaan dimulai dengan kata: "Dalam mulai adalah kata, dan
kata itu dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah " (Yohanes 1.1). Herbert membangun
sebuah mezbah dari kata-kata dan, setelah itu, ia menawarkan puisi kepada Allah.
Puisi konkret oleh E.E.Cummings (1894-1962) adalah contoh modern dari
pengaturan visual yang -verbal abstrak, yang bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip
struktural yang mirip dengan yang terlihat dalam teks George Herbert. Teks puisi yang
dapat direkonstruksi sebagai berikut: "daun jatuh kesepian". E.E.Cummings menggunakan
daun tunggal jatuh dari pohon sebagai motif untuk kesepian, mengatur huruf secara
vertikal bukan horizontal untuk melacak gerakan daun visual. Dalam kegiatan membaca,
mata dapat mengikuti jalannya daun dari atas ke bawah dan juga dari kiri ke kanan dan
kembali. Dalam satu contoh, gerakan ini digarisbawahi oleh pengaturan dalam bentuk
salib. Istilah teknis untuk ini lintas seperti penempatan kata atau huruf adalah chiasmus,
47
yang berasal dari huruf Yunani " chi " (" X "). Di sini, chiasmus terbentuk oleh pengaturan
lintas seperti huruf dalam dua baris berturut-turut.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa puisi tradisional dan eksperimental sering
bekerja dengan aspek bahasa bergambar dan menulis atau bertujuan menggabungkan
aspek-aspek tersebut. Upaya untuk mengubah puisi menjadi quasimaterial sebuah objek
dapat dicapai tidak hanya pada tingkat tematik melalui penggunaan kata benda konkret
atau adegan, tetapi juga pada visual tingkat melalui tata letak tertentu huruf, kata atau bait.
c). Dimensi Ritme Akustik
Untuk mencapai kualitas konkret bahasa puitis, suara, dan nada maka diterapkan
sebagai elemen dengan tingkat makna mereka sendiri. Dengan memilih kata-kata tertentu
dalam garis atau bait, penyair bisa menghasilkan suara atau nada yang secara langsung
berkaitan dengan isi pernyataan. Unsur akustik, seperti puisi ini visual yang penampilan
dalam puisi konkret, dapat meningkatkan makna puisi.
Irama dan sajak adalah perangkat lebih lanjut dalam dimensi akustik puisi yang
memegang posisi dominan dalam analisis puisi, sebagian karena mereka relatif mudah
untuk mengobjektifkan dan mengukur. Unsur-unsur terkecil irama yakni suku kata, yang
dapat berupa tekanan atau tanpa tekanan. Menurut urutan suku kata, tekanan dan tanpa
tekanan, adalah mungkin untuk membedakan antara berbagai suku kata, yang jumlahnya
menunjukkan irama. Dalam analisis Irama, garis pertama dibagi menjadi suku kata.
Setelah pembagian ke dalam suku kata, menekankan suku kata (') dan tanpa
tekanan suku kata (˘) diidentifikasi. Istilah teknis untuk proses ini adalah irama. Bersamaan
dengan irama, sajak menambah dimensi suara dan ritme dalam sebuah puisi. Hal ini
dimungkinkan untuk membedakan internal akhir dan mata puisi. Sajak internal aliterasi
dan asonansi. Aliterasi adalah pengulangan konsonan yang sama pada awal kata dalam
satu baris. Aliterasi adalah pola berima yang paling umum dalam sastra Inggris kuno dan
pada beberapa jenis puisi Inggris abad pertengahan. Skema berima yang paling umum
dalam puisi modern adalah di akhir sajak, yang didasarkan pada suku kata yang identik
pada akhir baris tertentu. Untuk menggambarkan skema sajak, huruf-huruf abjad yang
digunakan untuk mewakili suku kata yang identik di ujung garis.
Sistem dentifikasi ini membantu untuk menyorot struktur sajak kompleks puisi
dengan mengurangi pola dasar mereka. sajak mata berdiri antara visual dan dimensi
akustik dari puisi, bermain dengan ejaan dan pengucapan kata. Banyaknya bait yang
48
berbeda dalam puisi bahasa Inggris dapat direduksi menjadi bentuk dasar. Kebanyakan
puisi terdiri dari bait (dua ayat), bentuk terset (tiga ayat) atau kuatrain (empat ayat). Soneta
adalah contoh dari kombinasi bait yang berbeda. Menurut skema berima dan jenis bait,
seseorang dapat membedakan antara soneta Shakespeare, Spenserian dan Italia (Atau
Petrarchan). Di zaman Renaissance, Siklus soneta - yang terdiri dari sejumlah puisi
tematis terkait – menjadi populer sebagai akibat dari pengaruh Italia. Siklus ini
memungkinkan penyair untuk menangani topik-topik tertentu secara lebih rinci saat
bekerja dalam bentuk soneta.
Idealnya, dalam puisi tradisional, dimensi leksikal - tematik, visual dan ritmis-
akustik digunakan di sini untuk menggambarkan elemen yang paling penting dari genre
yang harus terhubung satu sama lain. Persatuan ide itu, yang menurut beberapa tingkat
ekspresi terhubung, yang paling dominan dalam puisi tetapi, untuk tingkat yang lebih
rendah, juga mencirikan genre lain. Akan tetapi, harus hati-hati, karena bagaimanapun
tidak setiap puisi menganut konsep kesatuan sebagai yang utama. Tujuan struktural puisi
eksperimental, khususnya, meninggalkan ini. Tampaknya struktur yang kaku untuk
mengeksplorasi "bentuk terbuka" baru seperti puisi dalam bentuk prosa atau puisi bebas.
3. Drama
Drama atau pertunjukan seni yang menggabungkan lisan dengan sejumlah non-
verbal atau cara optikalvisual, termasuk panggung, pemandangan, pergeseran layar,
59
wajah ekspresi, gerak tubuh, make-up, alat peraga, dan pencahayaan. Penekanan ini
juga tercermin dalam kata drama itu sendiri, yang berasal dari Yunani "draein" ("harus
dilakukan," "untuk bertindak"), dengan demikian mengacu pada kinerja atau perwakilan
oleh aktor. Drama berakar pada pemujaan- praktek ritual, beberapa fitur yang masih hadir
dalam bentuk bergaya dalam drama Yunani klasik dari abad kelima SM. Tragedi komedi
dilakukan selama festival untuk menghormati Dionysos yaitu dewa anggur.
Dalam buku keenam dari The Poetics ciri drama komedi yang ditampilkan lewat
tragedi sebagai "representasi dari suatu tindakan yang heroik dan lengkap dan mewakili
laki-laki dalam tindakan dan tidak menggunakan narasi serta melalui rasa kasihan dan
ketakutan itu akibat bantuan efek. Dengan menonton peristiwa tragis di panggung,
penonton dimaksudkan untuk mengalami katarsis atau pembersihan rohani. Komedi, di
59
Ibid., h. 43.
49
sisi lain, memiliki tema lucu dimaksudkan untuk menghibur penonton. Hal ini sering
dianggap sebagai kelanjutan dari kultus regenerasi bergaya primitif, seperti pengusiran
simbolis musim dingin dengan musim semi. kesuburan ini simbolisme memuncak dalam
bentuk pernikahan, yang terdiri standar senang ujung di komedi tradisional.
Kemudian, karena terdapat unsur kinerja, drama umumnya melampaui dimensi
tekstual lainnya tulisan utama genre, fiksi dan puisi. Meskipun kata-kata tertulis berfungsi
sebagai dasar drama itu. Menurut Klarer, untuk melakukan keadilan dalam perubahan
media ini, kita harus mempertimbangkan teks (naskah), transformasi, dan kinerja sebagai
tiga tingkat saling bergantung dalam drama, yang akan dijelaskan satu per satu sebagai
berikut. 60
a). Naskah
Dalam dimensi tekstual drama, kata yang diucapkan berfungsi sebagai dasar
untuk dialog (komunikasi verbal antara dua atau lebih karakter) dan monolog (solilokui). Di
samping bentuk khusus komunikasi verbal pada tahap di mana aktor "diteruskan" ke
informasi penonton yang tetap tidak diketahui untuk sisa karakter dalam bermain.
Elemen dasar dari plot, termasuk eksposisi, komplikasi, klimaks, dan kesudahan
telah dijelaskan dalam konteks fiksi. Mereka memiliki deskripsi drama klasik dan kemudian
diadopsi untuk analisis genre lain. Sehubungan dengan plot, tiga kesatuan waktu, tempat,
dan akting yang penting. Kesatuan ini meresepkan bahwa rentang waktu aksi harus kira-
kira sama dengan durasi bermain (atau hari di sebagian besar) dan bahwa tempat di mana
akting terungkap harus selalu konstan. Selanjutnya, aksi harus konsisten dan memiliki plot
linear. Tiga kesatuan, yang seharusnya untuk mengkarakterisasi struktur bermain "baik".
Mereka lebih baik diidentifikasi untuk sebagian besar sebagai adaptasi dari Poetics di
abad XVI dan XVII. Aturan-aturan kaku untuk presentasi waktu, pengaturan, dan plot yang
dirancang untuk menghasilkan efek dramatis sebesar mungkin.
Drama Shakespeare, yang selalu memegang posisi yang sangat menonjol dalam
sastra Inggris, hanya sangat jarang serupa dengan aturan-aturan ini. Inilah sebabnya
mengapa tiga kesatuan tidak pernah dihormati di negara-negara berbahasa Inggris
sebanyak mereka lain-mana di Eropa. Tidak langsung berhubungan dengan tiga kesatuan
adalah pembagian bermain ke dalam akting dan adegan. Elizabethan Theater mengadopsi
60
Ibid., h. 44-53.
50
struktur ini dari zaman klasik, yang membagi drama menjadi lima akting. Dalam abad
kesembilan belas, jumlah akting dalam bermain dikurangi menjadi empat, dan pada abad
kedua puluh umumnya tiga. Dengan bantuan dari akting dan adegan perubahan,
pengaturan, waktu dan akting bermain diubah, sehingga memungkinkan kesatuan
tradisional tempat, waktu dan akting yang harus dipertahankan dalam adegan atau akting.
Teater Absurd, seperti rekan dalam fiksi, secara sadar tidak jauh dengan struktur
tradisional dan membawa penonton ke dalam situasi rumit yang sering tampak tidak
masuk akal atau tidak logis. Komplikasi yang sering tidak menimbulkan klimaks, resolusi
atau akhir yang logis. Dengan cara ini, teater, seperti dalam banyak novel postmodern
atau film, adalah upaya artistik untuk menggambarkan perasaan umum ketidakpastian
pascaperang. Samuel Beckett (1906-1989), yang bermain memberikan kontribusi terhadap
ketenaran dari Teater Absurd, adalah yang paling terkenal di dunia berbahasa Inggris.
Membandingkan Waiting Beckett untuk Godot dengan plot tradisional, mengandung
eksposisi, komplikasi, klimaks dan ending, yang mana ditemukan beberapa kesamaan.
Judul bermain Beckett memberikan situasi yang jauh dari dua karakter utama, Vladimir
dan Estragon; Godot tidak menerima karakterisasi lebih lanjut dalam perjalanan bermain.
Pintu masuk dari karakter lain secara singkat mengalihkan perhatian dari- tapi tidak benar-
benar mengubah-situasi awal. Dua karakter utama tidak melewati tahap utama plot klasik
dan tidak mengalami perkembangan setiap akhir drama. Persembahan pesan tidak logis
atau klimaks konvensional, Beckett sadar melanggar harapan penonton yang hanya akrab
dengan teater tradisional.
Pada abad kedua puluh, dengan inovasi dari teater eksperimental dan teater
absurd, aspek drama non – tekstual dibawa ke latar depan. Fitur non–verbal, yang secara
tradisional berfungsi untuk menghubungkan perangkat antara teks dan pertunjukan,
meninggalkan peran pendukung mereka dan mencapai status artistik yang sama dengan
naskah.
b). Transformasi
Transformasi merupakan bagian penting dari produksi dramatis dalam abad
kedua puluh, mengacu pada fase yang menghubungkan antara teks dan pertunjukan.
Transformasi terdiri dari semua langkah logistik dan konseptual yang mendahului
pertunjukan dan biasanya diringkas dengan kata penyutradaraan. Transformasi ini tidak
secara langsung diakses penonton. Namun demikian, hal itu mempengaruhi hampir
51
semua elemen dari pertunjukan. Tugas direktur kontemporer termasuk memilih naskah
atau teks, bekerja di luar konsep umum, casting, adaptasi panggung, memilih alat peraga,
kostum dan make- up dan membimbing para pelaku melalui latihan. Sutradara karena itu
bertanggung jawab untuk seluruh koordinasi artistik yang memandu teks dalam
pertunjukan.
Profesi sutradara mulai berkembang pada akhir abad kesembilan belas yang
merupakan fenomena yang relatif baru di pengembangan drama. Sebegitu sering, penulis
sendiri akan memimpin produksi, atau aktor yang lebih berpengalaman akan diberi tugas
menyutradarai. Hal tersebut, tidak sampai pada paruh kedua abad kesembilan belas itu,
dengan perkembangan realisme, yang mana persyaratan produksi tumbuh lebih menuntut
dan profesi sutradara didirikan sebagai mediator antara penulis dan aktor. Di antara direksi
awal Rusia Konstantin Stanislavski (1863-1938) mungkin adalah yang paling terkenal. Ide
dan metodenya diadopsi oleh sekolah akting bergengsi Lee Strasberg (1901-1982) di New
York dan sangat dipengaruhi tradisi teater Amerika. Direktur Austria Max Reinhardt (1873-
1943) yang juga menyebabkan kegemparan di dunia teater Amerika dengan beberapa
produksi spektakuler sebelum Perang dunia I.
Sejak hari-hari awal sebagai sebuah profesi, penyutradaraan telah erat terhubung
dengan semua gerakan dalam drama. Di awal drama, penyutradaraan berpusat terutama
pada produksi realistis atau sejarah otentik di mana sutradara tetap mencolok. Pada abad
kedua puluh, ketenaran artistik sutradara tumbuh sebagai hasil dari ide-ide inovatif yang
timbul dari Teater Ekspresionis, Teater Absurd, dan Theater eksperimental, yang
bersama-sama dengan permintaan publik untuk sentuhan individu, meningkatkan
tanggung jawab sutradara. Dengan fokus bergeser ke produksi dalam drama modern,
sutradara telah pindah dari sela-sela teater di abad kesembilan belas ke permukaan,
membentuk pertunjukan dengan gaya unik tersendiri.
Sebuah contoh yang baik tentang pentingnya sutradara ditunjukkan oleh Samuel
Beckett (1982), drama singkat dengan sejumlah pengarahan panggung yang relatif besar,
yang merupakan refleksi produksi drama. Dimana gaya drama berpusat di sekitar
sutradara, aktor dan pembantu yang terlibat dalam produksi pertunjukan. Dalam hal ini, ia
mengalami pekerjaan yang sangat postmodern; beberapa tingkatan bermain, termasuk
transformasi dari teks ke pertunjukan, yang sudah merupakan bagian integral dari teks
Beckett, dengan meletakkan prinsip drama itu sendiri.
52
Setiap langkah dalam transformasi teks-pilihan dari skrip, aksentuasi bermain,
casting, persyaratan alat peraga, desain panggung, dan latihan-memiliki audiens yang
spesifik di pikiran. Yang penting pada saat ini adalah ide konseptual direktur. Menyerupai
interpretasi skor dengan konduktor, yang menekankan aspek-aspek tertentu dari "naskah"
untuk menyampaikan kesan individu. Ini aksentuasi penafsiran produksi berkaitan erat
dengan tren waktu. Untuk keberhasilan produksi seperti Ellis Rabb ini (1930) interpretasi
homoerotic (1970) dari Shakespeare adalah The Merchant of Venice (c. 1596-1598) atau
banyak adaptasi feminis The Taming of the Shrew (c. 1592), hati nurani budaya dan
temporal spesifik penonton harus dipertimbangkan. Produksi tidak perlu harus selaras
dengan tren untuk menjadi sukses, bahkan sebaliknya sebagaimana dibuktikan oleh
produksi dari Amerika Robert Wilson (1941), yang meminjam teknik dari arsitektur dan
lukisan.
Apapun pendekatannya, sutradara perlu memutuskan apa jenis "alat" yang ia
akan gunakan dalam produksi untuk audiens yang spesifik. Semua langkah-langkah
transformasi -semua sarana verbal dan non-verbal ekspresi-yang, idealnya, termasuk
dalam gagasan konseptual yang berjalan seperti benang melalui seluruh produksi. Salah
satu aspek yang mendasari setiap produksi spasial dimensi. Dalam fiksi tradisional, ruang
terutama dinyatakan deskriptif, sedangkan drama yang menggunakan dialog, monolog,
bahasa tubuh, dan di atas semua desain panggung, pemandangan, alat peraga dan
pencahayaan untuk tujuan ini. Banyak elemen-elemen ruang yang dengan kondisi sejarah,
tetapi sutradara bebas beradaptasi dengan fitur lebih tua untuk produksi modern. Susunan
teater dalam lingkaran, misalnya, adalah sebuah konsep lama kembali ke kuno teater dan
sekarang sedang digunakan kembali dalam produksi modern untuk menciptakan interaksi
khusus antara penonton dan aktor.
Struktur terbuka dari amfiteater Yunani klasik termasuk ruang yang disebut
orkestra di pusat teater dan bangunan panggung, atau skene. Tempat duduk diatur dalam
semi-lingkaran sekitar orkestra. Para aktor bisa bergerak antara skene dan orkestra
sementara paduan suara diposisikan antara penonton dan aktor. Dalam drama Yunani
klasik, masker itu dikenakan oleh setiap karakter atau "orang" -sebuah istilah yang dapat
ditelusuri kembali ke kata "persona" yang berarti "topeng". Elizabethan Theater sangat
berbeda dari pelopor yang klasik. Sebuah teater Yunani bisa menampung hingga 15.000
penonton sementara teater Elizabethan seperti Globe hanya bisa menampung maksimum
53
2.000 orang. Globe Theatre di London adalah bangunan segi delapan yang memiliki
halaman terbuka kursi yang murah. Kursi lebih mahal yang terletak di lantai tiga, di balkon
tertutup yang mengelilingi halaman dalam. Panggung membentang keluar ke halaman
pada level terendah, tetapi juga termasuk tingkat atas yang berbatasan langsung dengan
balkon. Dengan cara ini, balkon adegan seperti yang di Romeo dan Juliet (1595) dapat
dipentaskan dengan menggunakan tingkat atas panggung yang lebih rendah karena
pemisahan spasial daerah panggung. Hal itu mungkin untuk menekankan aspek tematik
bermain pada tingkat spasial juga.
c). Perfoma (Pertunjukan)
Tahap terakhir kinerja dalam drama, berpusat pada aktor, yang menyampaikan
gabungan ide penulis dan sutradara. Selama seratus tahun terakhir metodologis pelatihan
aktor telah menempatkan dirinya sebagai fenomena teater penyutradaraan bersama.
Sampai akhir abad kesembilan belas, transformasi naskah itu hampir seluruhnya di tangan
aktor. Sebagai kualitas akting di drama sangat berbeda antara satu kinerja dan
pertunjukan berikutnya, metode harus ditemukan yang menjamin hasil yang konstan.
Latihan bernafas, postur, tubuh gerakan dan mekanisme psikologis difasilitasi berulang
reproduksi suasana hati dan sikap tertentu di atas panggung.
Ada dua pendekatan teoritis dasar akting yang modern: metode eksternal atau
teknis dan internal atau metode realistis. Dalam metode eksternal, aktor seharusnya
mampu meniru suasana hati yang diperlukan dalam perannya dengan menggunakan
teknik tertentu, tetapi tanpa benar-benar merasa suasana hati ini. Namun metode internal,
dibangun di atas identifikasi individu aktor dengan bagian pengalaman pribadinya dari
perasaan dan internalisasi emosi dan situasi yang diperlukan di bagian yang mendasari
metode internal. Metode eksternal bergantung pada peniruan dan simulasi. Kegiatan
peniruan, bukan internal yang diidentifikasi dengan peran, yang menjadi tujuan utama dari
sekolah akting di Amerika Serikat di bawah sutradara Rusia Konstantin Stanislavski (1863-
1938), yang disebutkan di atas, dan muridnya Lee Strasberg (1901-1982). Teknik ini,
dikenal sebagai Metode menekankan "menunjukkan" daripada "yang." Hal ini telah
menghasilkan jumlah aktor terkenal seperti Marlon Brando (1924), James Dean (1931-
1955), Paul Newman (1925) dan Julie Harris (1925).
Dari dua pendekatan, metode akting, dengan penekanan pada menunjukkan,
adalah salah satu yang paling banyak diterapkan di bioskop Eropa. Sebagian besar
54
sekolah akting saat ini, bagaimanapun, meminjam dari kedua tradisi, sesuai dengan
persyaratan dari bermain khusus untuk dilakukan. Banyak aspek yang berkaitan dengan
tokoh dalam drama ini sudah dibahas berkaitan dengan fiksi. Namun, lebih dari genre lain,
drama bergantung pada karakter akting (dramatis personae) dan dengan demikian
menimbulkan aspek yang hanya berlaku untuk genre ini. Misalnya, salah satu tidak dapat
mengambil untuk diberikan interaksi beberapa karakter dalam bermain. Awalnya, paduan
suara adalah inti dari klasik drama dan hanya kemudian lebih sebagai pelengkap yang
berfungsi menciptakan kondisi untuk dialog antara tokoh dan paduan suara. Paduan suara
memiliki status khusus dalam teater Elizabethan, juga mengisi kesenjangan waktu dan
menginformasikan penonton tentang situasi baru, seperti dalam Shakespeare (1564-1616)
Henry V (c. 1600). Istilah "datar" dan "round" untuk karakter adalah berlaku untuk drama
sebagaimanana juga untuk fiksi. Beberapa jenis drama, seperti komedi, memiliki tipe
karakter berulang, disebut stok karakter, seperti tentara sombong, orang tua rewel atau
hamba licik.
Seperti halnya masalah gender, penting untuk menyadari bahwa dalam teater
klasik Yunani serta pada teater wanita Elizabethan yang dilarang tampil di panggung,
sehingga semua peran perempuan dilakoni oleh pria muda. Pada kali ini menyebabkan
situasi rumit di komedi, seperti dalam Shakespeare As You Like It (c. 1599), di mana
karakter wanita dimainkan oleh laki-laki tiba-tiba berpakaian seperti laki-laki
(crossdressing). Perempuan pada karakter Rosalind, yang, menurut konvensi teater
Elizabethan, dimainkan oleh seorang pemuda, berpakaian sebagai seorang pria muda
dalam pertunjukkan. Pada akhir karakter mengungkapkan identitas perempuan sejati dan
menikahi Orlando. Tradisi pertunjukan dimana laki-laki berperan sebagai perempuan
berlanjut sampai abad ketujuh belas dan hanya dihapuskan di drama restorasi.
Teks (naskah), transformasi, dan pertunjukan merupakan aspek sentral tidak
hanya produksi teater; dengan analogi, mereka juga dapat diterapkan untuk media film,
mengingat karakteristik spesifik pikiran film. Script Film berbeda dari drama dimana film
memperhitungkan kemungkinan visual, akustik dan spasial medium. Transformasi dalam
film sangat berbeda dari transformasi dalam drama, yang mengarah ke pertunjukan yang
berkesinambungan tunggal. Dalam film, hanya urutan pendek pada suatu waktu siap untuk
di-shoot, sehingga mengharuskan para aktor film bekerja dengan cara yang berbeda
secara drastis dari aktor panggung. Dalam teater, aktor harus membuat diri mereka
55
dimengerti ke baris terakhir melalui ekspresi tinggi, ekspresi wajah berlebihan, gerak
tubuh, make-up dan suara proyeksi. Dalam film, efek ini dapat dibuat melalui kamera dan
teknik suara, memberikan media dengan kualitas tertentu dan pemberian status genre
independen, meskipun koneksi yang kuat dengan seni pertunjukan tradisional dan
hubungannya dengan fitur tekstual fiksi ini.
4. Film
Film merupakan presentasi mode aneh yang terdiri dari unsur seperti sudut kamera,
mengedit, montase, lambat, dan cepat gerak-sering paralel fitur teks-teks sastra atau
61
dapat dijelaskan dalam kerangka tekstual. Meskipun film memiliki karakteristik sendiri
yang spesifik dan terminologi. Hal itu mungkin untuk menganalisis film dengan gambaran
pada metode kritik sastra, sebagai kritik film terkait erat dengan pendekatan tradisional
tekstual studi. Hal yang paling penting dari metodologi ini bertepatan dengan yang yang
akan dibahas pada bab berikutnya pada teori pendekatan sastra. Misalnya, pendekatan
dengan teks yang berorientasi pada kritik sastra yang berhubungan dengan aspek materi
dari film, seperti saham film, montase, editing, dan suara. Metodologi yang diinformasikan
oleh fokus pada estetika resepsi efek pada penonton, dan pendekatan seperti teori
psikoanalisis atau teori film feminis menganggap film dalam kerangka kontekstual yang
lebih besar. Perkembangan utama teori sastra karena itu juga telah dipinjam atau
diadaptasi oleh studi film.
Studi tentang film telah ada selama beberapa waktu sekarang sebagai disiplin
independen, terutama di dunia Anglo-Amerika. Sejak penemuan seratus tahun yang lalu,
film juga telah menghasilkan beragam sinematik genre dan bentuk-bentuk yang tidak lagi
memungkinkan klasifikasi film sebagai hanya produk sampingan dari drama. Hal ini karena
daya visual yang elemen visualnya hanya memainkan peran sekunder dalam fiksi film
adalah diklasifikasikan sebagai genre dramatis. Jika film dibahas dari sebuah sudut
pandang formalist structuralist, namun afinitas untuk novel sering membayangi
hubungannya dengan bermain. Khas elemen dari novel bervariasi teknik narasi, penataan
percobaan plot, bayangan dan kilas balik, perubahan struktur pengaturan dan waktu
61
Ibid., h. 56.
56
biasanya digunakan dalam film. Panggung hanya menawarkan ruang terbatas untuk
realisasi dari banyak teknik ini.
Perbedaan paling jelas antara film dan drama adalah kenyataan bahwa sebuah film
dicatat dan dipelihara bukan secara individual dipentaskan dengan cara yang unik dan
diulang dari kinerja teater. film, dan khususnya kaset video, seperti novel, yang secara
teori dapat berulang kali membaca, atau dilihat. Dalam pengertian ini, bermain adalah
sebuah karya kuno seni, menempatkan ideal keunikan pada sebuah alas. Setiap kinerja
teater yang melibatkan direktur tertentu, aktor tertentu, dan pemandangan adalah peristiwa
unik yang berada di luar jangkauan pengulangan yang tepat. Sebuah film, di sisi lain,
dapat ditampilkan di berbagai kota pada saat yang sama, dan tidak mungkin untuk menilai
satu skrining sebagai lebih baik atau lebih buruk dari salah satu lainnya sejak film selalu
tetap sama dalam ribuan salinan identik. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa meskipun
kinerja adalah di jantung baik drama dan film, dibutuhkan pada yang sama sekali berbeda
karakter dalam film, karena keistimewaan mekanis sewaktu direproduksi.
Sejarah film di abad kesembilan belas sangat berhubungan dengan fotografi. Sebuah
tembakan atau jepretan berurutan dari individu menghasilkan untuk mata manusia kesan
gambar bergerak. Untuk membuat ilusi ini, dua puluh empat gambar per detik harus
terhubung. Dalam setiap detik film, gerakan proyektor terganggu dua puluh empat kali.
Setiap gambar muncul di layar hanya untuk sepersekian detik. Proyeksi cepat gambar
terlalu cepat untuk mata manusia, yang tidak mengambil individu gambar, tetapi lebih
melihat gerakan kontinyu.
Pada awal akhir abad kesembilan belas, fenomena fisiologis yang dimanfaatkan
untuk melaksanakan percobaan pertama sinematik sukses. Di Amerika, adaptasi
sinematik tulisan narasi dilakukan di pergantian abad. Di antara film-film naratif pertama
adalah cerita anak-anak seperti (1861-1938) Georges Méliès 'Cinderella (1899) atau novel
seperti Perjalanan Gulliver (Méliès, 1901) dan cerita pendek seperti The Legend dari Rip
Van Winkle (Méliès, 1905). Sementara film-film awal hanya diadopsi perspektif kaku dari
tahap proscenium, genre jelas berangkat dari drama segera sebelum dan selama Perang
Dunia I. Teknik-teknik baru seperti gerakan kamera dan editing diciptakan. Contoh awal
Negara Amerika di mana teknik-teknik baru yang diterapkan adalah D.W. Griffith (1875-
1948), Kelahiran a Nation (1915), sebuah epik narasi film tentang kenaikan AS ke
kekuasaan. Banyak genre utama, kisah-kisah seperti, komedi Slapstick Barat, dan cinta
57
sudah ada di film bisu awal Amerika. Sejak Perang Dunia I, Hollywood menjadi pusat film
industri, dengan luas jaringan bioskop di seluruh Amerika.
Dalam film, seperti dalam genre lain, berbagai tingkatan kontribusi pada keseluruhan
kesan artistik. Media ini, yang sangat bergantung pada teknis aspek, memiliki beberapa
aspek penting, fitur unik sinematik dengan mereka sendiri secara terminologi. Elemen
yang paling penting dari film dapat dimasukkan di bawah dimensi ruang, waktu, dan suara.
Elemen film yang dimaksud yaitu: (1) dimensi spasial, yang terdiri dari saham/arsip
film (film stock), penerangan (lighting), gerakan sudut kamera (camera angle), pergerakan
kamera (camera movement), sudut pandang (point of view), mengedit (editing), dan
montase (montage). (2) Dimensi temporal, yaitu gerak lambat dan cepat (slow and fast
motion), alur waktu (plot time), durasi/panjang film (length of film), mengulang kembali
adegan (flashback), dan bayangan (foreshadowing). Kemudian, (3) dimensi akustik,
seperti dialog, musik, dan efek suara. 62
62
Ibid., h. 58.
58
unik yang terdiri dari unsur seperti sudut kamera, mengedit, montase, lambat, dan
cepat gerak-sering paralel fitur teks-teks sastra atau dapat dijelaskan dalam
kerangka tekstual.
2. Saran
Makalah ini masih bersumber dari referensi yang sederhana, untuk itu perlu
dilakukan kajian lebih komprehensif mengenai teori karya sastra, dan genre sastra.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Fort Worth : Harcourt Brace Press, 1999.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Chamberlain, Mary. Narrative and Genre. London: Routledge, 1998.
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015.
Esten, Mursal. Kesusasteraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa, 2013.
Gamble, Nikki dan Sally Yates. Exploring Children’s Literature: Teaching the Language
and Reading of Fixtion. London: Paul Chapman Publishing, 2002.
Gie, The Liang. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Andi, 2002.
Hoffman, Michael J. dan Patric D. Muphy. Essentials of the Theory of Fiction. United
States: Duke University Press, 1993.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Kirszner, Laurie G dan Stephen R. Mandell. Literature: Reading, Reacting, Writing. Florida:
Harcourt Brace College Publishers, 1997.
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies (Second Edition). London dan New York:
Routledge, 2004.
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV Yrama Widya, 2012.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2010.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988.
------------------. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 1989.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sumardjo, Jakob. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima, 1991.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Theory of Literature. USA, Penguin University Books,
1976.
Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai
Pustaka, 2004.
60
PERIODISASI SASTRA
Oleh:
Ira Yuniati, Unpris Yastanti, Tri Rositasari, dan Chairunisa
==================================================================
Abstrak
Makalah ini akan mengulas tentang periodisasi sastra. Sastra merupakan bagian dari
kehidupan yang berasal dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Sastra merupakan salah satu cara yang dilakukan pengarang dalam
mengungkapkan kehidupan lewat media bahasa sebagai penghubung antara
pengarang dan pembacanya. Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap
perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak
waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Dalam
periodisasi sastra Indonesia di bagi menjadi dua bagian besar, yaitu lisan dan
tulisan. Secara urutan waktu terbagi atas angkatan Pujangga Lama, angkatan Balai
Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an,
angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990-an, angkatan Reformasi, angkatan
2000-an.
A. Pendahuluan
Pada dasarnya sastra merupakan merupakan hasil karya cipta manusia. Di satu
pihak, karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh imajinasi, sehingga
berhasil untuk mengevokasi kenyataan-kenyataan, yang khususnya mengalami stagnasi
sehingga tampil kembali ke permukaan sebagai aktualitas. Di pihak lain, kebudayaanlah
yang memberikan isi, sehingga kenyataan yang dimaksudkan dapat dipahami secara
komprehensif. Di samping itu, teori kontemporer menunjukkan adanya keraguan terhadap
identitas fakta. Keraguan tersebut akan terjawab justru melalui hakikat fiksi.
Fiksi dan fakta, rekaan dan kenyataan menurut pemahaman masyarakat biasa,
merupakan isu-isu penting dalam teori-teori postruktularisme, studi kultural khususnya.
Fiksi dan fakta, sebagai hakikat sastra dan sejarah, seolah-olah dapat dipertukarkan.
Menurut paradigma postrukturalisme, kenyataan dalam sejarah bukan kenyataan yang
sesungguhnya. Kenyataan dalam sejarah adalah kenyataan yang dibangun, kenyataan
yang memperoleh kekuatan melalui wacana. Pada dasarnya sastra dan sejarah berbagi
wilayah yang sama, yaitu cerita.
61
Secara umum, istilah dalaam karya seni di Indonesia diambil dari bahasa Latin,
Inggris, Sansekerta, dan Arab. Topik ini diambil agar lebih mampu untuk mengetahui dan
memahami mengenai sejarah sastra Indonesia, yakni pembagian periodesasinya, sampai
pada perkembangannya dimasa kini.
Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra
yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri
tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Dalam periodisasi sastra Indonesia di
bagi menjadi dua bagian besar, yaitu lisan dan tulisan. Secara urutan waktu terbagi atas
angkatan Pujangga Lama, angakatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan
1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990-an,
angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu
sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya
sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa dan sejarah sastra Inggris. Dalam jangka
waktu yang relatif panjang tercatat munculnya secara besar jumlah persoalan sastra yang
erat kaitannya dengan perubahan zaman dan gejolak sosial politik yang secara teoritis
dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna kehidupan sastra. Masalah itu biasanya
terkait dengan teori periodisasi atau pembabakan waktu sejarah sastra.
B. Pembahasan
1. Sastra Bagian dari Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Dalam karya sastra tidak sedikit tersaji fenomena dan sosial di dalamnya.
Mengingat bahwa dunia dalam karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atau peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka sering kali
dinyatakan bahwa karya sastra merupakan “dokumen sosial”. Sebagai dokumen sosial,
karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang mencatat realitas keadaan sosial
budaya pada masa karya itu diciptakan.
Sebagai dokumen sosial, karya sastra juga kerap kali digunakan sebagai
kacamata untuk melihat sejarah. Dalam perspektif ini karya sastra dilihat sebagai
manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial-budaya. Hal ini ditegaskan oleh
62
Elizabeth dan Toms Burn bahwa karya sastra sering kali tampak terikat dengan momen
khusus dalam sejarah masyarakat.63
Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat mau tidak mau
menjadi saksi zaman. Jadi, sastra mendokumentasikan zaman. Masyarakat cenderung
dinamis dan karya sastra juga akan mencerminkan hal yang sama. Oleh karena itu, dalam
kesusastraan Indonesia misalnya terdapat periodesasi pembabakan sastra. Nugroho
Notosusanto membagi periodik sastra Indonesia atas: 1) Kesusastraan Melayu Lama dan
2) Kesusastraan Indonesia Modern. Kesusastraan Indonesia Modern dibagi atas Masa
Kebangkitan (periode 1920-1945) dan Masa Perkembangan (periode 1945 dan periode
1950-sekarang).
Sejalan dengan situasi sosial yang terjadi pada Masa Kebangkitan, misalnya karya
sastra pada masa itu banyak diwarnai oleh karya-karya sastra yang merefleksikan
keadaan pada masa Indonesia dalam belenggu penjajahan. Rentetan peristiwa-peristiwa
sejarah pada masa perjuangan rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan
terekam dalam karya-karya sastra pada masa itu. Dari banyak peristiwa yang terjadi,
peristiwa pengasingan para pejuang kemerdekaan di era revolusi pun terbeber dalam
karya sastra pada masa itu. Jadi, karya sastra yang lain pada masa atau periode tertentu,
tentunya menggambarkan fenomena yang terjadi pada saat itu.
2. Periodisasi Sastra
Karya sastra dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Telaah atau studi
sastra tidak bisa terlepas dari perkembangan sastra itu sendiri karena masing-masing
masa perkembangan sastra memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Bagian ini
membahas sejarah perkembangan sastra yang muncul di Indonesia, Inggris, dan Amerika.
Untuk perkembangan sastra di Indonesia digambarkan sebagai berikut64:
Tabel 2: Perbedaan Masyarakat Lama & Masyarakat Baru
Jenis Perbedaan Lama Baru
63
Emzir dan Saiful Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) h. 114.
64
Kinayat Djojosuroto. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa.( Jakarta: Universitas Negeri Jakarta,2007.)
63
sangat cepat
64
Tabel 4: Perbandingan Karangan Sastra Indonesia Berdasarkan Angkatan
Perbandingan Angkatan 20 Angkatan Angkatan Angkatan Angkatan
30 45 66 70-80-an
Bentuk Bahasa Bentuk Sama-sama Isi lebih Isi lebih Isi lebih
dan Isi bahasa lebih penting penting, penting, penting,
penting bahasa bahasa bahasa
daripada isi bebas bebas bebas
Secara urutan waktu sastra di Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu
Angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai Pustaka,
angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-
an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.65
a. Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikaian karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan sebelum abad ke-20. Karya sastra pada kesusastraan lama masih berkisar
pada cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa
dongeng, mantra, dan hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries (mengisahkan
kehidupan raja-raja). Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam
dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat
meliputi sebagian besar negara Pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera
bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya
keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama
angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-
karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai
dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri. Karya sastra pujangga lama antara
lain:Hikayat Hang Tuah, Hikayat Aceh, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken
Tambunan, Syair Raja Mambang Jauhari.
65
Mustofa Sadikin, Kumpulan Sastra Indonesia: Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara, (Jakarta: Gudang Ilmu,
2010) h. 44.
66
karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan
masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura
Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan
tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu
yang kearab-araban.Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942,
yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli,
Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat
dan terjemahan novel barat. Karya sastra Melayu lama: Kapten Flambeger (terjemahan),
Rocamble(terjemahan), Kisah perjalanan Nahkoda Bonteko, Bunga Rampai, Nyai Dasima,
dsb.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti
Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan
masalah yang nyata saja, tetapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada
roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan
poligami, membangga- banggakaan bangsawan, adat yang tidak sesuai dengan
zamannya, persamaan hak wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan
bahwa asal ada uang segala maksud tertentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang
ada dalam masyarakat. Karya – karya Balai Pustaka:
1) Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
2) Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
3) Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh (Abdul Muis)
68
4) Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Nur Sultan Iskandar)
5) Muda Taruna, Buah di Kedai Kopi (Muhamad Kasim)
6) Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia (Suman HS)
7) Darah Muda, Asrama Jaya (Adinegoro)
8) Sengsara Membawa Nikmat, Tak di Sangka, (Tulis Sultan Tati)
9) Dagang Melarat, Pertemuan (Abas Sutan Pamunjak Nan sati)
Dari segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang
rindu pada keagungan yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak lagi
empat baris, seperti syair dan pantun dan persajakannya (rima) tidak sama.
Puisi berikut merupakan karya Rustam Effendi :
Dilihat bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya,
seperti syair, ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut
pantun modern, yang lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak
dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan
aliterasi.
d. Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh
Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Angkatan pujangga baru
69
menginginkan nasionalisme lebih dikobarkan agar bisa menjadi penyemangat rakyat
dalam perjuangan kemerdekaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual dan
nasionalistik. Cirinya adalah:
1) Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern,
2) Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang
kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
3) Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai
digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14
baris,
4) Aliran yang dianut adalah romantik idealisme,
5) Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya adalah STA Syhabana (Novel Layar Terkembang, Roman Dian Tak
Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi
Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin
(drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng
(kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck).
e. Angkatan 1945
Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya
bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol
adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang
menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya. Pengalaman hidup dan gejolak sosial-
politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini
lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-
karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki
konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan
bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan
hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria “Jalan
lain menuju Roma” dan “Atheis” dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai
Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus
70
(novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya
Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera).
f. Angkatan 1950-1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.
Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan
kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan
majalah sastra lainnya, Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan,
yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra
realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara
kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya
perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965
dengan pecahnya G30S di Indonesia. Karya Sastra Angkatan 1950-1960-an : Toto
Sudarto Bachtiar: (Etsa sajak-sajak (1956) dan Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958),
Ajib Rosidi (Di Tengah Keluarga dan Tahun-tahun Kematian), W.S. Rendra (Balada
Orang-orang Tertjinta, Empat Kumpulan Sajak, dan Ia Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita
pendek lainnya).
g. Angkatan 1966-1970-an
Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik,
menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.Ciri-ciri sastra pada masa
Angkatan ’66 adalah:
1) Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
2) Bercorak membela keadilan
3) Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
4) Berontak
5) Pembelaan terhadap Pancasila
6) Protes sosial dan politik
Karya sastra angkatan ’66, seperti: Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak),
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni, Arloji, Perahu Kertas yang merupakan
kumpulan puisi), Putu Wijaya (Telegram, Stasium, Pabrik).
71
h. Angkatan 1980-1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan
banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa
tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas
diberbagai majalah dan penerbitan umum. Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan
wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya
antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati
Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah
kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik
dengan pemikiran timur.Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang
menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada era 80-an ini
juga sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap
sebagai salah satu alat komunikasi, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori
oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini
tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih
“berat”.
Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak
belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa
abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan
idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya. Karya sastra angkatan 1980-1990-an: ahmadun yosi herfanda : Ladang
Hijau(1980),sajak penari(1990).sebelum tertawa dilarang(1997), dll. Karya sastra angkatan
ini, antara lain: Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Arjuna Mencari Cinta.
i. Angkatan Reformasi.
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ
Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul
wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai
dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-
politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
72
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang
terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi
politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya
sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh
dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda,
Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat juga ikut meramaikan suasana dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
j. Angkatan 2000-an.
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun
tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada
tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku
tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada
tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan
Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-
an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang
muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Karya
Sastra Angkatan 2000-an :
Ayu utami: saman (1998), larung(2001).
Dewi lestari :
Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
Supernova 2.1: Akar (2002)
Supernova 2.2: Petir (2004)
Seno Gumira Ajidarma
Atas Nama Malam
Sepotong Senja untuk Pacarku
Biola Tak Berdawai
Habiburrahman El Shirazy
Ayat-Ayat Cinta (2004)
Diatas Sajadah Cinta (2004)
73
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
Cinta Suzi Zahrana (2012)
Andrea Hirata
Laskar Pelangi (2005)
Sang Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah Karpov (2008)
Padang Bulan
Cinta Dalam Gelas (2010)
11. Masa Inggris Kuno/ Old ke-5 – ke-11 Merupakan periode awal dari sastra
66
Mario Klarer. An Introduction to Literary Studies (Second Edition). London dan New York: Routledge,
2004.)hal.67-73
74
English/ Anglo Saxon Inggris
Sastra Latin merupakan satu budaya
klasik yang dikembangkan menjadi
sastra nasional
Ecclesiastical History of the English
People (AD 731) karya Beda Venerabilis
(673-735)
Teks pertama ditulis
Tidak banyak teks yang dihasilkan
(mantra tidak bernama, teka-teki)
Puisi: “The Seafarer” (abad ke-9) atau
“The Wanderer” (abad ke-10),
Syair seperti mitologi/dongeng Beowulf
(abad ke-8) dibuat berdasarkan fakta
sejarah.
12. Masa Inggris ke-12 – ke- Perpecahan budaya dan sastra terjadi
Pertengahan/Middle 15 Sejumlah teks dari berbagai genre sastra
English sudah dilindungi
Puisi religi Piers Plowman (1367-70)
dari William Langland,
Kisah Percintaan/sastra naratif aliran
baru jenis sekuler misalnya Gawain and
the Green Knight (abad ke-14) dan Le
Morte d’Arthur (1470) karya Thomas
Malory’s (1408-71)
Munculnya seni pertunjukkan dengan
nilai religi mempengaruhi zaman
Renaissance.
13. Masa Renaissance ke-16 – ke- Masa Inggris baru yang berfokus pada
17 sejarah bahasa dan masa pemerintahan
Ratu Elizabeth I
Bangkitnya genre klasik, contoh:
dongeng Faerie Quenes (1590-1596)
karya Edmund Spencer dan drama
modern Willian Shakespeare
Genre prosa bebas, contoh John Lyly
dengan Roman Euphues
Drama Court Masque yang melibatkan
rancangan arsitektur
Diakhiri dengan perkumpulan pengikut
Oliver Cromwell
D. Amerika
Gaya sastra romantis dan
transcendentalism sebagai sastra yang
bebas
Pemahaman filosofi terhadap alam
Cerita pendek Moby Dick (1851) karya
Herman Melville dan puisi Walt Whitman
dalam Leaves of Grass (1855-92)
19. Masa Postmodern Tahun 1960 Tema naratif yang inovatif dan di
-1970 adaptasi di bidang akademik
Pengaruh Nazi dan serangan nuklir PD II
Alur dan percobaan dalam teks
cetak/tipografi.
Contoh: John Barth yang berjudul Lost in
the funhouse (1968), The Crying of Lot
49 (1966) karya Thomas Phynchon
(1937).
10) Masa Inggris kuno (Old English) - Abad ke-5 sampai abad ke-11
Inggris kuno dikenal sebagai masa Anglo-Saxon yang merupakan periode awal
dari sastra Inggris. Dimulai dengan serangan ke negara Kerajaan Inggris Raya yang
dilakukan oleh bangsa Jerman (Anglo-Saxon) pada abad ke 5 AD dan berakhir sampai
serangan Perancis tahun 1066. Pada awalnya satra Inggris ditemukan di periode
pertengahan Latin (Latin Middle Age), ketika biara dijadikan garda terdepan untuk
mempertahankan budaya klasik. Teks sastra Latin yang terpenting adalah Ecclesiastical
77
History of the English People (AD 731) karya Beda Venerabilis (673-735). Seperti di
bagian lain Eropa, sastra nasional dikembangkan sama dengan sastra latin.
Teks pertama ditulis antara abad ke-8 dan abad ke-11 yang disebut Inggris Kuno
(Old English) atau “Anglo-Saxon”. Jumlah teks yang diturunkan dari periode ini sangat
sedikit, terdiri dari mantra yang tidak bernama, teka-teki dan puisi seperti “The Seafarer”
(abad ke-9) atau “The Wanderer” (abad ke-9 – ke-10), syair seperti mitologi/dongeng
Beowulf (abad ke-8) atau The Boule of Maldon (AD 1000) yang dibuat berdasarkan fakta
sejarah.
11) Masa Inggris pertengahan (Middle English) – Abad ke-12 sampai abad ke-15
Ketika penduduk asli Normandia yang berbahasa Perancis menaklukan Inggris di
abad ke-11, perpecahan budaya dan sastra terjadi. Dari setengah akhir masa Inggris
pertengahan, sejumlah teks dari berbagai genre sastra sudah dilindungi, termasuk lirik
puisi dan syair puisi panjang dengan isi religi , seperti Piers Plowman (1367-70) yang
dianggap berasal dari William Langland. Kisah percintaan, aliran baru dari jenis sekuler,
berkembang di masa ini, termasuk Sir Gawain and the Green Knight (abad ke-14) dan Le
Morte d’Arthur (1470) karya Thomas Malory’s (1408-71) . Bentuk ini secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan novel di abad ke-18. Sastra Inggris pertengahan juga
membuat sastra Naratif, seperti Canterbury Tales (1387) karya Geoffrey Chaucer, serupa
dengan I Decamerone (1349-51) karya Giovanni Boccaccio di Italy yang merupakan model
penting untuk cerita pendek di abad ke-19 dan dapat dijadikan pembanding. Diantara
berbagai inovasi sastra yang terjadi di masa Inggris pertengahan, yang mengejutkan
adalah munculnya seni pertunjukan dengan nilai religi dan secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan drama modern di zaman Renaissance.
79
15) Masa Kesusasteraan Romantis – Pertengahan pertama abad ke-19
Di akhir abad ke-18, gaya kesusasteraan yang bersifat romantis mengawali masa
awal sejarah satra Inggris tradisional. Edisi pertama dari Lyrical Ballads (1798) karya
William Wordsworth (1770-1850) dan Samuel Taylor Coleridge dianggap sebagai
munculnya masa ini dengan karya sastra yang bersifat alami dan individu serta
berdasarkan pengalaman hidup memegang peran penting. Gaya kesusasteraan yang
bersifat romantis dilihat sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap perubahan politik yang
terjadi di seluruh benua Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-18. Selain Wiliam Blake
dan John Keats, sastrawan terpenting yang mewakili masa romantisme Inggris adalah
William Blake, JohnKeats, Percy Bysshe dan Mary Shelley (1797-1851). Sementara di
Amerika, gaya kesusasteraan yang bersifat romantis dan transcendentalism (luar biasa)
kurang lebih sama.
Dipengaruhi oleh antusiasme gaya romantisme terhadap alam dan idealime
Jerman, transcendentalism Amerika di bangun sebagai gerakan merdeka di pertengahan
awal abad ke-19. Tulisan filsafat karya Ralph Waldo Emerson (1803-82), termasuk the
essay nature (1836), dibuat sebagai landasan untuk sejumlah karya yang masih dianggap
sebagai acuan perkembangan tradisi sastra Amerika yang bebas. Dalam
transcendentalism, alam menyediakan kunci untuk pemahaman secara filosofi. Dari
perspektif ini, manusia tidak harus menerima begitu sajaterhadap fenomena yang alami
tetapi lebih kepada menambahkan visi yang menyeluruh secara filosofi. Di tengah-tengah
gerakan yang berpusat pada teks, selain tulisan filsafat Ralph Waldo Emerson, terdapat
juga cerita pendek Nathaniel Hawthorne (1804-64), novel Henry David Thoreau (1817-62),
berjudul Walden (1854), Herman Melville (1819-91) berjudul Moby Dick (1851) dan
puisiWalt Whitman dalam Leaves of Grass (1855-92).
C. Penutup
Seperti yang kita ketahui bersama, karya sastra dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan, dan telaah atau studi sastra tidak bisa terlepas dari perkembangan sastra
itu sendiri karena masing-masing masa perkembangan sastra memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Bagian ini membahas sejarah perkembangan sastra yang muncul di
Inggris, Amerika, dan Indonesia. Perkembangan sastra berbahasa Inggris menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat, beberapa istilah dan kriteria klasifikasi yang telah
ditetapkan berdasarkan standar dalam kritik sastra Anglo-Amerika. Pengelompokkan
periodisasi sastra tidak harus berdasarkan kriteria yang umum seperti berdasarkan
struktur, isi atau tanggal publikasi. Kriteria pengelompokkan di dapat berdasarkan sejarah
bahasa (Bahasa Inggris lama dan Bahasa Inggris pertengahan), sejarah nasional (masa
kolonial), politik dan agama (masa pemerintahan Ratu Elizabeth I dan masa Puritan/masa
Gereja Protestan di abad 16 dan 17) dan seni (Renaissance dan pandangan modern).
Pembagian periodesasi sastra di Indonesia terdiri atas beberapa angkatan, secara
urutannya yaitu Angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai
Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan
1966-1970-an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.
83
DAFTAR PUSTAKA
Emzir dan Saiful Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2015.
Esten, Mursal. Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa, 2013.
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies (Second Edition). London dan New York:
Routledge, 2004.
Sadikin, Mustofa. Kumpulan Sastra Indonesia: Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata
Mutiara. Jakarta: Gudang Ilmu, 2010.
Sumardjo, Jakob. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima, 1991.
84
PENDEKATAN TEORI SASTRA
Oleh :
Dhinar Ajeng Fitriany, Goziyah, dan Paldy
===================================================================
ABSTRAK
Setiap karya sastra memberi gambaran nilai-nilai dan amanat yang berbeda, bahkan dapat
menimbulkan persepsi yang berbeda dari pembacanya. Berkaitan dengan berbagai
permasalahan gambaran kehidupan manusia yang tercermin di dalam karya sastra,
diperlukan pendekatan-pendekatan sastra. Adapun pendekatan-pendekatan sastra
tersebut memiliki peran yang penting di dalam penelahaan sebuah karya sastra. Klarer
membagi empat orientasi utama berkaitan dengan pendekatan sastra yang dapat
diintisarikan, yakni 1) pendekatan sastra berorientasi pada teks, 2) pendekatan sastra
berorientasi pada pengarang, 3) pendekatan sastra berorientasi pada pembaca, dan 4)
pendekatan sastra berorientasi pada konteks. Wellek dan Warren juga mengemukakan
perihal pembagian studi sastra menjadi dua bagian, antara lain 1) studi sastra dengan
pendekatan ekstrinsik, dan 2) studi sastra dengan pendekatan intrinsik. Sementara itu,
Nyoman Kutha Ratna membagi pendekatan sastra menjadi sepuluh pendekatan sastra,
yakni 1) Pendekatan Biografis, 2) Pendekatan Sosiologis, 3) Pendekatan Psikologis, 4)
Pendekatan Antropologis, 5) Pendekatan Historis, 6) Pendekatan Mitopoik, 7) Pendekatan
Ekspresif, 8) Pendekatan Mimesis, 9) Pendekatan Pragmatis, dan 10) Pendekatan
Objektif. Pendekatan-pendekatan sastra tersebut digunakan oleh seorang peneliti sastra
dengan menyesuaikan topik kajian yang akan dipilihnya dan acuan teori tokoh yang
dipilihnya.
I. Pendahuluan
Di dalam kehidupan manusia, karya sastra berperan untuk menyampaikan gagasan
dan gambaran kehidupan manusia dengan berbagai permasalahannya. Melalui karya
sastra, manusia dapat menambah wawasan tentang hidup dan kehidupan, serta manusia
dapat pula memperoleh hiburan dari sebuah karya sastra. Selain itu, seorang pangarang
juga dapat menyampaikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembacanya melalui karya
sastra yang dihasilkannya. Sebuah karya sastra tidak hanya menyampaikan apa yang
didengar, dilihat, maupun dirasakan oleh pengarang terhadap kehidupan nyata manusia.
Adapun hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra dapat mencerminkan gambaran
85
tentang kehidupan manusia yang bersifat penafsiran pengarang terhadap kehidupan
nyata.
Berkaitan dengan berbagai permasalahan gambaran kehidupan manusia yang
tercermin di dalam karya sastra, diperlukan pendekatan-pendekatan sastra. Adapun
pendekatan-pendekatan sastra tersebut memiliki peran yang penting di dalam penelahaan
sebuah karya sastra. Klarer membagi empat orientasi utama berkaitan dengan
pendekatan sastra yang dapat diintisarikan, yakni 1) pendekatan sastra berorientasi pada
teks, 2) pendekatan sastra berorientasi pada pengarang, 3) pendekatan sastra
berorientasi pada pembaca, dan 4) pendekatan sastra berorientasi pada konteks. 67
Berdasarkan pembagian empat orientasi utama pendekatan sastra menurut Klarer
tersebut, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai pendekatan sastra yang
berorientasi pada teks, pengarang, pembaca, dan konteks dengan mengacu pada
pemikiran dari Mario Klarer serta dilengkapi pula pemikiran-pemikiran tokoh lainnya untuk
memperkaya wawasan dan pengetahuan mengenai perihal tersebut.
II. Pembahasan
A. Pendekatan Teori Sastra Menurut Mario Klarer
Di dalam pengkajian sebuah karya sastra, adanya pendekatan-pendekatan teks
sastra dapat pula mempengaruhi perkembangan metodologi pengkajian sastra yang
berbeda. Berkaitan dengan hal tersebut, intepretasi sastra selalu mencerminkan latar
belakang kelembagaan atau institusi, budaya, dan sejarah tertentu. Klarer memaparkan,
“On the one hand, the various scholarly approaches to literary texts partly overlap, on the
the other, they differ in their theoretical foundations.”68 Melalui pemaparan dari Klarer
tersebut, dapat diketahui bahwa dilihat dari satu sisi, sebagian pendekatan ilmiah untuk
teks sastra saling tumpang-tindih. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi yang lain, pendekatan
teks sastra tersebut berbeda pada perihal dasar teoretis.
Berdasarkan segi historis, analisis teks sastra secara sistematis dikembangkan
dalam dunia ‘magic’, agama, dan hukum. Adapun saat ini, sejarah budaya, ‘magic’, dan
agama tercakup dalam sebuah teks dalam arti yang lebih luas. Kegiatan
67
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies Second Edition (London & New York: Routledge, 2004), h.
88.
68
Klarer, Op.Cit., h. 88.
86
menginterpretasikan ramalan dan mimpi merupakan langkah awal di dalam analisis teks
tekstual dan dijadikan struktur dasar dalam kajian teks dalam semua agama. Adanya teori
sastra di dalam bidang studi sastra telah berkembang sebagai disiplin yang berbeda dan
mendapat pengaruh dari filsafat. Adapun Klarer juga membedakan fokus pengkajian teori
sastra dengan kritik sastra, yakni “Within the field of literary studies, literary theory has
developed as a distinct discipline influenced by philosophy. Literary theory analyzes the
philosophical and methodological premises of literary criticism. While literary criticism is
mostly interested in the analysis, interpretation, and evaluation of primary sources, literary
theory tries to shed light on the very methods used in these readings of primary texts.”69
Melalui penjelasan Klarer tersebut, dapat diketahui bahwa teori sastra memfokuskan
pengkajian sastra secara filosofis dan metodologis kritik sastra. Selain itu, teori sastra juga
berupaya menelaah metode yang digunakan dalam pembacaan teks utama. Sementara,
kritik sastra memfokuskan pengkajian sastra pada analisis, interpretasi, dan evaluasi
sumber-sumber primer. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teori sastra berfungsi
sebagai hasil kesadaran teoretis dan filosofis studi tekstual yang merefleksikan
pengembangan dan metodenya.
Banyaknya metode interpretasi yang berkembang di dalam pengkajian karya sastra,
memotivasi Klarer untuk mengategorikan pendekatan karya sastra yang berorientasi pada
empat hal utama, yang dapat diintisarikan sebagai berikut:
1. Pendekatan sastra berorientasi pada teks, mencakup:
a. Philology
b. Rhetoric
c. Formalism and structuralism
d. New criticism
e. Semiotics and Deconstruction
69
Klarer, Op.Cit., h. 90.
87
3. Pendekatan sastra berorientasi pada pembaca, mencakup :
a. Reception theory
b. Reception history
c. Reader-response criticism
70
Klarer, Op.Cit., h. 90.
88
excluded from the analysis.”71 Melalui penjelasan tersebut, dapat diintisarikan bahwa
pendekatan sastra berorientasi pada teks memfokuskan pada aspek tekstual internal
sebuah karya, dan aspek eksternal tekstual karya sastra dikeluarkan dari analisis. Adapun
aspek eksternal tekstual karya sastra tentang penulis mencakup biografi dan karya-karya;
tentang pembaca mencakup ras, kelas, jenis kelamin, usia, dan pendidikan; dan tentang
konteks mencakup sosial atau kondisi politik sejarah.
Pendekatan sastra berorientasi pada teks berfungsi sebagai titik fokus dari setiap
metode interpretatif. Namun, terdapat beberapa aliran yang cenderung mengistimewakan
aspek lainnya, seperti biografi penulis, masalah penerimaan karya sastra oleh pembaca,
dan perihal lainnya yang secara tidak langsung berkaitan dengan aspek internal karya
sastra. Adapun contohnya, filologi tradisional yang menyoroti kajian pada unsur-unsur
bahasa, retorika dan gaya bahasa yang mengaji struktur pada cakupan makna yang lebih
luas dan terkait dengan ekspresi. Contoh lainnya, yakni alian formalis-strukturalis, seperti
aliran formalisme Rusia, aliran Praha strukturalisme, kritik baru, semiotika, dan
dekonstruksi.
a. Filologi
Mengenai istilah filologi, Klarer menjelaskan bahwa “In literary criticism, the term
philology generally denotes approaches which focus on editorial problems and the
reconstruction of texts.”72 Berdasarkan penjelasan Klarer tersebut, dapat diketahui bahwa
filologi merupakan pendekatan sastra yang berfokus pada masalah penyuntingan dan
rekonstruksi teks. Di masa Renaissance, filologi mengalami masa kejayaannya dalam
perkembangan dunia karya sastra dengan menelaah kembali tentang penulis kuno dan
penemu mesin cetak, serta upaya filologi untuk memperbaiki teks. Pada masa abad ke-19,
filologi tetap menjadi salah satu aliran utama saat itu.
Adanya pendekatan filologi mencoba untuk mengombinasikan metodologi empiris
dengan studi sastra. Berkaitan dengan metodologi dan studi empiris, studi-studi empiris
tidak hanya mendaftarkan semua kata yang digunakan oleh Shakespeare dalam drama
dan puisi-puisinya, tetapi juga memberikan gambaran referensi yang tepat terkait dengan
hal tersebut. Sebagai hasil perkembangan yang paling menonjol dari pendekatan filologi,
konkordansi (daftar alfabetis kata), mengalami peningkatan yang sangat pesat seiring
71
Klarer, Op.Cit., hh. 91-92.
72
Klarer, Op.Cit., h. 92.
89
perkembangan teknologi komputer yang ada saat ini. Adapun berkaitan dengan hal
tersebut, Klarer memperkuat dengan penjelasan, yakni “Concordances, as the most
extreme developments of these positivist approaches in philology, have been experiencing
a revival due to current computer technologies.”73 Kegiatan mentransfer data tekstual,
seperti karya-karya penulis atau seluruh teks sastra dari seluruh periode sastra ke dalam
media elektronik, seperti Thesaurus Linguae Graecae (media elektronik yang menyimpan
semua dokumen yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno di satu CD-ROM), telah
melahirkan analisis sastra dengan bantuan komputer.
73
Ibid., h. 92.
74
Klarer, Op.Cit., h. 93.
90
prescriptive. It offered guidelines for every phase of textual composition including invention
(selection of themes), dispositio (organization of material), elocution (verbalization with the
help of rhetorical figures), memoria (thetechnique of remembering the speech), and actio
(delivery of the speech).”75 Retorika menjadi sebuah panduan utama untuk setiap fase
komposisi tekstual, termasuk penemuan (pemilihan tema), disposition (organisasi
material), seni deklamasi (verbalisasi dengan bantuan tokoh-tokoh retorika), memoria
(teknik mengingat pidatio), dan action (pengiriman pidato). Adapun meski retorika
cenderung berfokus pada preskriptif dan praktis, namun retorika juga mengaji unsur-unsur
deksriptif dan analitis dalam studi tekstual.
Pada abad ke-19, dalam perkembangannya, retorika mengalami penurunan dan
beralih pada munculnya gaya bahasa. Adapun masa itu, untuk menggambarkan
keistimewaan gaya penulis dari seluruh bangsa dan seluruh periode sastra, gaya baha
memfokuskan kajiannya pada struktur gramatikal (leksis dan sintaks), unsur-unsur akustik
(melodi, sajak, dan ritme), dan over-arching forms (figure retoris) dalam analisis teks.
Meskipun gaya bahasa mengalami sedikit masa kejayaan pada beberap dekade yang lalu,
namun kontribusi utama teori sastra baru-baru ini diawali oleh aliran formalis-strukturalis
dari abad ke-20.
75
Ibid., h. 93.
91
strukturalisme memandang bahwa sesuatu di dunia itu ada karena materi yang tidak
berbentuk itu terstruktur melalui bentuk-bentuk yang berlapis. Contohnya, pada abad ke-4,
Aristoteles dalam tulisannya Poetics mengadopsi gagasan fungsi untuk menentukan
bentuk bagi fenomena sastra yang ada dengan menggunakan skema formal dalam
menjelaskan fitur generic drama. Melalui pendekatan struktural ini, Aristoteles meletakkan
dasar bagi gerakan formalis abad ke-20 dalam studi sastra dan bahasa.
Menurut Victor Shklovski dalam Klarer, unsur-unsur struktural dalam teks sastra
dapat menimbulkan efek yang disebut defamiliarization, yakni “According to Victor
Shklovski (1893–1984) and a number of other formalists, these structural elements in a
literary text cause the effect, called defamiliarization. ”76 Adapun defamiliarizaton
merupakan sebuah efek dalam bahasa dan sastra yang cenderung melawan keakraban
pembaca dengan bahasa sehari-hari, sehingga menimbulkan adanya perbedaan antara
wacana stasra dan nonsastra. Di dalam sebuah karya sastra, terutama berkaitan dengan
kritik sastra modern, reflexiveness sering disebut sebagai metafiction (fiksi tentang fiksi).
Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada karya sastra yang merefleksikan unsur-
unsur naratif mereka sendiri, seperti bahasa, struktur naratif, dan pengembangan plot.
Adapun sifat-sifat metafiction sangat dominan terdapat di dalam teks-teks postmodern di
abad ke-20.
Prinsip yang dikembangkan oleh aliran formalisme dan strukturalisme didasarkan
pada kritik mitos yang secara analogi mencoba untuk membatas fenomena tematik
dengan struktur formal sebuah karya sastra. Adapun contoh kritik mitos yang terkenal dan
berpengaruh di dalam pendekatan ini, adalah karya produktif dari J.G. Frazer (1854-1941),
The Golden Bough (1890-1915), yang mencoba untuk mengungkapkan struktur umum
mitos dalam periode sejarah dan geografis yang berbeda. Selain itu, terdapat pula karya
Northrop Frye (1912-1991) yang sangat berkontribusi dan paling berpengaruh di dalam
pendekatan kritik mitologi kritik. Menurut Frye dalam Klarer dapat diintisarikan bahwa
bentuk komedi, roman, tragedi, dan ironi (sindiran), menyerupai pola musim (musim semi,
panas, gugur, dan dingin) dalam dasar mitos.77
Dalam perkembangan aliran formalisme dan strukturalisme, adanya kritik arketipe
yang dipelopori oleh Carl Gustav Jung (1875-1961) terkait bidang psikologi juga menandai
76
Klarer, Op.Cit., h. 95.
77
Klarer, Op.Cit., h. 97.
92
bahwa pendekatan ini juga dapat diterapkan dalam mencari teks terkait kejiwaan manusia.
Adapun Jung dalam Klarer juga menjelaskan bahwa “These archetypes represent
primordial images of the human unconscious which have retained their structures in
various cultures and epochs.”78 Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa
arketipe merupakan gambaran dasar mengenai alam bawah sadar manusia yang telah
mempertahankan strukturnya dalam berbagai budaya dan zaman. Di dalam mitos dan
sastra, arketipe seperti bayangan, api ular, taman, surge, neraka, ibu, sering muncul
sebagai pola dasar gambaran psikis untuk penjelasan aliran model struktural.
Berkaitan dengan pendekatan formalisme dan strukturalisme, seorang pembaca
dapat menafsirkan cerita pendek Edgar Allan Poe yang berjudul The Cask of Amontillado
(1846) dengan mengacu pada arketipe kolektif. Sebagai contoh, di dalam cerpen tersebut,
Poe bercerita tentang seorang pria yang yang tertarik pergi ke bawah tanah ‘wine cellar’
bersama seorang teman dengan dalih ingin mencicipi anggur, namun sebaliknya,
temannya mengubur dirinya di sana hidup-hidup. Melalui contoh tersebut, dapat dijelaskan
bahwa ketika menganalisis gambar-gambar tersebut, diperoleh konsep Poe yang berakar
dalam mitos dan agama, kematian sebagai ruang bawah tanah seperti tanah, dan anggur
yang menimbulkan rasa takut mendekati kematian.
d. New Criticism
Aliran New Criticism mendominasi kritik sastra di bidang akademik selama tahun
1930-an dan 1940-an. Adapun tokoh-tokoh yang mewakili aliran New Criticism, antara lain
seperti William K. Wimsatt (1907-1975), Allen Tate (1899-1979), dan J.C. Ransom (1888-
1974) mempopulerkan aliran ini sebagai metode ortodoks selama lebih dari tiga dekade.
Aliran ini tidak menyetujui apa disebut dengan kekeliruan afektif dan kekeliruan yang
disengaja dalam analisis tradisional teks. Oleh karena itu, aliran new criticism tidak
berupaya untuk mencocokkan aspek-aspek tertentu dari karya sastra dengan biodata atau
kondisi psikologi penulis. Namun, sebaliknya, tujuan dari aliran ini adalah menganalisis
karya sastra berbasis teks dan hanya berfokus pada unsur intrinsik teks tersebut.
78
Ibid.
93
Semiotika dan dekonstruksi merupakan aliran dalam pendekatan sastra yang
berorientasi pada teks, yang berkembang pesat pada tahun 1970-an dan 1980-an. Adapun
aliran-aliran tersebut memandang bahwa teks merupakan sistem tanda. Adapun aliran ini
berpedoman pada teori linguistik dari Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengenai
sistem tanda, yakni perihal petanda dan penanda. Berkaitan dengan aliran semiotika dan
dekonstruksi, Klarer menjelaskan perihal aliran tersebut yang dapat diintisarikan bahwa
semiotika dan dekonstruksi menggunakan tanda lisan atau penanda sebagai titik awal
dalam analisis, dengan alasan bahwa tidak ada yang nyata di luar teks, yang dikarenakan
persepsi manusia tentang dunia bersifat tekstual.79
Metode analisis semiotik yang berasal dari kritik sastra telah diterapkan dalam
bidang antropologi, studi budaya popular (misalnya, iklan), geografi, arsitektur, film dan
sejarah seni. Adapun metode analisis semiotik ini menekankan pada perihal karakter
sistemik dari objek yang akan dianalisis. Contohnya, bangunan, mitos, atau gambar yang
dianggap sebagai sistem tanda-tanda di mana unsur-unsur berinteraksi dengan cara
analog melalui huruf, kata, dan kalimat.
Di dalam Klarer, dijelaskan sebuah contoh praktis dari analisis sistem tanda
nonlinguistik dari Roland Barthes, dalam bidang semiotika fashion. Adapun fashion
sebagai perwujudan dari hubungan sosial, mampu memberikan contoh yang baik kepada
khalayak dalam sistem nonlinguistik. Tanda-tanda akan tetap sama seperti itu, tetap sama
selama bertahun-tahun, tetapi maknanya berbeda ketika hubungan antara tanda-tanda
tersebut berubah. Misalnya, celana lebar, rok pendek, atau ikatan (ikat pinggang) sempt
akan menyampaikan pesan yang berbeda dari yang mereka sampaikan beberapa tahun
sebelumnya jika tanda-tanda di antara mereka berubah.
Seperti semiotika, aliran dekonstruksi juga menyoroti karakter teks yang unsur-
unsurnya terdiri dari tanda-tanda. Metode analisis pascastrukturalis ini dimulai dengan
asumsi bahwa teks dapat dianalisis dan dibangun kembali. Adapun karya-karya filsuf
Prancis Jacques Derrida (1930-an) dan teori sastra Paul de Man (1919-1983) merupakan
contoh karya-karya filsuf yang membahas mengenai metode dekonstruksi ini. Contoh
penting dari konsep Derrida tentang difference. Sementara, Saussure melihat bahwa di
79
Klarer, Op.Cit., h. 101.
94
balik setiap penanda terdapat konsep mental untuk menjelaskan suatu makna. Menurut
aliran dekonstruksi, penjelasan makna dihasilkan melalui referensi dan perbedaan.
80
Klarer, Op.Cit., h. 103.
95
dekade terakhir. Selain itu, berkaitan dengan pendekatan sastra yang berorientasi pada
penulis, sebagai contohnya dapat diperoleh dari penjabaran kehidupan Mary Shelley yang
menggunakan pendekatan biografi. Adapun banyak terdapat pendekatan biografi yang
juga cenderung menggunakan penjelasan psikologis. Hal tersebut kemudian melahirkan
adanya kritik sastra psikoanalitik yang kadang-kadang berkaitan dengan psikologi
penulisnya. Di bawah pengaruh utama Sigmund Freud (185601939), kritik sastra
psikoanalitik memperluas studi psikologis luar penulis untuk menutupi berbagai aspek
tekstual intrinsik. Misalnya, karakter dalam teks sastra daoat dianalisis secara psikologis
seolah-olah karakter tersebut adalah orang-orang yang nyata.
81
Klarer, Op.Cit., h. 105.
96
pembaca sangat berperan penting. Contohnya, dalam genre sastra, seperti fiksi detektif,
sangat tergantung pada interaksi antara teks dan penerima. Adapun dapat diperoleh
intisari bahwa teori resepsi menggeser fokus dari teks ke interaksi antara pembaca dan
teks. Berkaitan dengan teori resepsi, maka interpretasi teks tidak dapat dan tidak boleh
terlepas dari individu yang membaca karya sastra tersebut.
Adapun selain interaksi pembaca, aspek lainnya yang berhubungan erat dengan
pendekatan sastra yang berorientasi pada pembaca, yakni mengenai periode sastra atau
terkait dengan sejarah sastra. Analisis dalam pendekatan sastra yang berorientasi pada
pembaca ini memandang penerimaan teks dalam satu periode tertentu (analisis sinkronis)
atau menyelidiki perubahan dan perkembangan dalam penerimaan teks ke dalam sejarah
sastra (analisis diakronis). Pendekatan yang berorientasi pada pembaca, yakni teori
resepsi dan sejarah resepsi, sangat berpengaruh pada tahun 1970-an sebagai bentuk
reaksi terhadap aliran new criticism yang didorong dengan latar belakang semiotika dan
dekonstruksi yang berorientasi pada teks di tahun 1980-an.
82
Klarer, Op.Cit., h. 107.
97
(1818-1883), Georg Lukacs (1885-1971), dan Antonio Gramsei (1891-1937), teks yang
dianalisis merupakan ekspresi dari ekonomi, sosiologi, dan faktor politik.
a. Historisisme Baru
Terdapat sebuah aliran terbaru di bidang pendekatan kontekstual, yakni
historisisme baru. Aliran ini muncul pertama kali di Amerika pada tahun 1980-an. Adapun
aliran historisisme baru ini didasarkan pada pascastrukturalisme dan dekonstruksi yang
berfokus pada teks dan wacana, namun menambahkan dimensi historis dalam
pembahasa teks-teks sastra.
Aliran ini memandang sejarah bukan sebagai suatu hal yang terisolasi dari teks
sastra, namun sebagai sebuah fenomena tekstual. Sebagai contoh, beberapa tokoh
terkemuka dalam historisisme baru, yaitu Stephen Greenblatt (1943); Thomas Harriot,
yang menganalisis teks sastra awal kolonial Amerika.
Adapun di bawah ini akan diintisarikan penjelasan Wellek dan Warren mengenai
lima kajian yang menjadi fokus kajian dari studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik,
yakni sebagai berikut.
a. Sastra dan Biografi
Sebuah karya sastra lahir karena penciptanya sendiri, yakni pengarang karya
sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik,
perihal kepribadian dan kehidupan pengarang merupakan metode yang paling tepat
digunakan dalam studi sastra. Biografi tidak hanya memberi masukan tentang penciptaan
karya sastra, tetapi biografi juga dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang
yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya, serta hal lain
terkait hidup pengarang yang tentu menarik. Selain itu, biografi dapat juga dianggap
sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif.
Di dalam penulisan biografi, Wellek dan Warren menjelaskan bahwa seorang
penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan,
83
Rene Wellek dan Austin Warren diterjemahkan oleh Melani Budianta, Teori Kesusastraan (Jakarta:
Gramedia, 2014), h. 72.
84
Wellek dan Warren, Op.Cit., hh. 71-153.
99
dan pernyataan autobiografis.85 Melalui penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa
seorang penulis biografi harus mampu memutuskan mana bahan yang asli dan saksi
mana yang dapat dipercaya. Selain itu, seorang penulis biografi juga harus mampu
menyajikan masalah kronologis, masalah seleksi, dan memilah penilaian untuk jujur atau
menutupi sejumlah rahasia. Adapun berkaitan dengan sastra dan biografi, terdapat bukti
biografis penyair, seperti Milton, Pope, Goethe, Wordsworth, dan Byron, yang dengan
sengaja meninggalkan pernyataan-pernyataan autobiografis dan banyak menarik
perhatian publik zamannya.
85
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 75.
86
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 81.
100
dapat diintisarikan bahwa penyair asal mulanya adalah seseorang yang lari dari kenyataan
ketika dirinya tidak dapat memenuhi tuntutan untuk pemuasan instingnya. 87 Hal itulah yang
menyebabkan penyair memuaskan tuntutannya ke dalam kehidupan fantasi sesuai
imajinasinya dan akhirnya menemukan jalan keluar untuk kembali ke kenyataan.
87
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 83.
88
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 98.
101
d. Sastra dan Pemikiran
Sastra seringkali dipandang sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran
yang terangkum dalam bentuk khusus. Wellek dan Warren menjelaskan bahwa sastra
dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat pengarangnya.89 Berkaitan
dengan penjelasan Wellek dan Warren tersebut, dapat diketahui bahwa karya sastra dapat
dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran karena karya sastra dianggap
sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat.
Dalam kesusastraan Inggris, sastra Inggris sering digunakan untuk menjelaskan
sejarah filsafat. Contohnya, Platonisme Renaisans sangat memengaruhi puisi zaman
Elizabeth; Edmund Spencer menulis empat himne yang menggambarkan proses Neo
Platonik tentang peningkatan jasad bendawi untuk mencapai keindahan Ilahi; dalam buku
Faerie Queene, Spenser mencari pemecahan konflik antara hakikat alam dan
kecenderungannya untuk berubah.
89
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 121.
90
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 140.
102
Penelitian sastra sewajarnya berawal dari interpretasi dan analisis karya sastra itu
sendiri. Hal tersebut memiliki keterkaitan antara studi sastra dengan pendekatan intrinsik.
Seorang peneliti, menelaah pengarang, lingkungan sosial, dan proses sastra karena
adanya karya sastra itu sendiri. Berkaitan dengan studi sastra dengan pendekatan
intrinsik, Wellek dan Warren membagi fokus kajian di dalamnya meliputi pendekatan
intrinsik pada karya-karya sastra berikut yang diintisarikan seperti berikut.
a. Novel
Pendekatan intrinsik pada novel meliputi pembahasan dunia atau kosmos seorang novelis
yang meliputi tema, plot, alur, tokoh, latar, sudut pandang, pandangan hidup, alur, dan
perwatakan.
b. Drama
Pendekatan intrinsik pada drama meliputi tema, plot, alur, tokoh, latar, sudut pandang,
pandangan hidup, alur, perwatakan, dan babak.
c. Puisi dan Epik
Pendekatan instrinsik pada puisi dan epik meliputi suasana, nada, tema, pandangan
hidup, citra, stilistika, irama, matra.91
91
Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 254.
103
5. Pendekatan Historis
6. Pendekatan Mitopoik
7. Pendekatan Ekspresif
8. Pendekatan Mimesis
9. Pendekatan Pragmatis
10. Pendekatan Objektif92
Adapun di bawah ini akan diintisarikan penjelasan Abrams dalam Ratna mengenai
sepuluh pendekatan sastra, sebagai berikut.
1. Pendekatan Biografis
Di dalam perkembangan pendekatan karya sastra, pendekatan biografis dianggap
sebagai pendekatan yang tertua. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis
mengenai proses kreativitas. Penelitian yang mengacu pada pendekatan ini harus
mencatumkan biografi, surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan
wawancara langsung dengan pengarang. Oleh karena itu, pendekatan biografis
sebenarnya merupakan bagian penulisan sejarah, sebagai historiografi. Berkaitan dega
pendekatan biografis, pembicaraan mengenai pengarang karya sastra telah muncul sejak
abad pertama, melalui tulisan Longinus, yang menjelaskan peranan perasaan dalam
proses mencipta.
2. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses
pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofis pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-
hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang,
b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c) pengarang memanfaatkan
kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali
oleh masyarakat. Adanya pendekatan sosiologis di masyarakat melahirkan teori-teori
sosial modern yang ditemukan oleh kelompok Marxis, seperti Lukas, Goldmann, Eagleton,
Bakhtin, Althusser, Medvedev, dan Jameson.
92
Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme
hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hh. 55-72.
104
3. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu
pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan
psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Sampai saat
ini, teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme
psikologi Sigmund Freud.
4. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi
kebudayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi kultural. Dalam kaitannya dngan
sastra, antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan
objek verbal dan nonverbal. Adapun antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan
objek verbal.
5. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang
dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga
sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah.
Adapun pendekatan historis paling tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah dan
novel sejarah.
6. Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis kata mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian
tradisional memiliki kesejajaran dengan fable dan legenda. Akan tetapi, dalam pengertian
modern, khususnya menurut antropologi Frazerian dan psikologi Jungian, mitos memiliki
hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe.
Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis karena
memasukkan hampir semua unsur kebudayaan, seperti sejarah, antropologi, psikologi,
agama, filsafat, dan kesenian.
105
7. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis
dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator.
Pendekatan biografis pada umumnya menggunakan data primer mengenai kehidupan
pengarang. Oleh karena itu, pendekatan ekspresif disebut sebagai data historigrafi.
Sementara, pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang
sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta. Pendekatan
ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu
diciptakan, tetapi juga memerhatikan bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra
yang dihasilkan.
8. Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams dalam Ratna, pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis
yang paling primitif.93 Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato, dasar pertimbangan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra
itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai
peniruan.
Selama abad Pertengahan, karya seni meniru alam dikaitkan dengan adanya
dominasi agama Kristen, di mana kemampuan manusia hanya berhasil untuk meneladani
ciptaan tuhan. Teori estetis ini tidak hanya ada di Barat, tetapi juga di dunia Arab dan
Indonesia. Dalam kesusastraan Indonesia, yakni dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi
untuk meniru keindahan alam.
9. Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca.
Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya,
93
Ratna, Op.Cit., h. 70.
106
yaitu teori resepsi, pendekatan pragmatis dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif.
Secara historis, menurut Abrams dalam Ratna, pendekatan pragmatik telah ada sejak
tahun 14 SM, yang terkandung dalam Ars poetica (Horatius).94
III. Penutup
Adanya karya sastra di dalam kehidupan manusia memiliki peran dalam
menyampaikan gagasan dan gambaran kehidupan manusia beserta permasalahannya.
Manusia dapat memperoleh wawasan tentang banyak hal, termasuk perihal kehidupan
dan sosial, bahkan religi, dari sebuah karya sastra. Selain itu, kehadiran karya sastra bagi
masyarakat juga merupakan hiburan karena sifat karya sastra yang imajinatif.
Di dalam sebuah karya sastra, seorang pengarang dapat menyampaikan nilai-nilai
yang bermanfaat bagi pembacanya. Setiap karya sastra memberi gambaran nilai-nilai dan
amanat yang berbeda, bahkan dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari
pembacanya. Berkaitan dengan berbagai permasalahan gambaran kehidupan manusia
yang tercermin di dalam karya sastra, diperlukan pendekatan-pendekatan sastra.
Adapun pendekatan-pendekatan sastra tersebut memiliki peran yang penting di
dalam penelahaan sebuah karya sastra. Klarer membagi empat orientasi utama berkaitan
dengan pendekatan sastra yang dapat diintisarikan, yakni 1) pendekatan sastra
berorientasi pada teks, 2) pendekatan sastra berorientasi pada pengarang, 3) pendekatan
sastra berorientasi pada pembaca, dan 4) pendekatan sastra berorientasi pada konteks.
Adapun Klarer membagi pendekatan sastra berdasarkan empat orientasi utama,
dikarenakan Klarer melihat adanya ketumpangtindihan dari pendekatan-pendekatan sastra
yang ada. Wellek dan Warren juga mengemukakan perihal pembagian studi sastra
94
Ibid., h. 71.
107
menjadi dua bagian, antara lain 1) studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik, dan 2) studi
sastra dengan pendekatan intrinsik. Berkaitan dengan bagian instrinsik dan ekstrinsik
dalam sebuah karya sastra, Klarer menyebut keduanya dalam cakupan “struktur”,
sedangkan Wellek dan Warren menyebut keduanya dalam cakupan “unsur”. Sementara
itu, Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna membagi pendekatan sastra menjadi sepuluh
pendekatan sastra, yakni 1) Pendekatan Biografis, 2) Pendekatan Sosiologis, 3)
Pendekatan Psikologis, 4) Pendekatan Antropologis, 5) Pendekatan Historis, 6)
Pendekatan Mitopoik, 7) Pendekatan Ekspresif, 8) Pendekatan Mimesis, 9) Pendekatan
Pragmatis, dan 10) Pendekatan Objektif. Pendekatan-pendekatan sastra tersebut
digunakan oleh seorang peneliti sastra dengan menyesuaikan topik kajian yang akan
dipilihnya dan acuan teori tokoh yang dipilihnya.
108
DAFTAR PUSTAKA
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies Second Edition. London & New York:
Routledge. 2004.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme
hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
Wellek, Rene, dan Austin Warren diterjemahkan oleh Melani Budianta. Teori
Kesusastraan Jakarta: Gramedia. 2014.
109
PENDEKATAN BERORIENTASI TEKS
Oleh:
================================================================
Abstract
This paper explains how text – oriented approach is primarly concerned with questions
of the “materially” of texts, including editions of manuscipts, analyses of langauge and
style and the formal structure of literary works. This paper explains the formalism and
structuralism also the semiotic in literary works under the theory of Mario Klarer as
main reference.
A. Pendahaluan
Istilah tentang teori sastra pada peradapan abad ke-19 yang mencakupi berbagai
bidang tulisan sastra baik sastra lama dan sastra modern, teori sastra yang merupakan
gagasan ide pokok pikoran seorang. Teori berasal dari kata theoria (bahasa latin).
Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas, sedangkan
sastra dalam artian kamus besar bahasa Indonesia yakni bahasa atau kata-kata, gaya
bahasa yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Ada beberapa teori dalam pengajian sastra yaitu formalis, markis, strukturalisme,
semiotik, fsikonalisis, feminis, foskolonialisme. Dalam bukunya Klarer95 dijelaskan,
“Many of the modern schools and methodologies in literary criticism adhere to text –
oriented approaches and thereby indirectly continue to apply mechanism rooted in the
above – mentioned primordial textual sciences of religion, legal practice, and divination.”
Sastra merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik
sastra seperti simbolisme merupakan konvensi dan norma masyarakat. Sastra
menyajkan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan
sosial, Karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Menurut Okke K.S.
95
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies (New York. Routledge), hlm. 78
110
Zaimar, karya sastra memancarkan pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam
suatu masyarakat96
Hubungan antara sastra dan masyarakat memang bukan sesuatu yang
97
dicari-cari. Bahasa yang merupakan medium karya sastra adalah ciptaan sosial.
Demikian pula gambaran kehidupan yang dtampilkan dalam karya sastra merupakan
suatu kegiatan sosial. Klarer98 menyatakan, “Extra – textual factors concerning the
author (his or her biography, other works), audience (race, class, gender, age,
education) or larger contexts (historical, social, or political conditions) are deliberately
excluded from the analysis.”
Telaah atau kajian sastra dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui dan
memahami apa yang ada di dalam karya sastra dan mengapa begitu. Ketika membaca
suatu karya sastra diharapkan pembaca tidak hanya sampai pada sekadar tahu
ceritanya, tetapi harus sampai pula pada “nilai-nilai” apa yang dapat diperoleh dari karya
sastra tersebut dan dapat menerima “keindahan” dan “daya tarik” setiap karya sastra
yang dibacanya itu. Klarer99 menyatakan, “All these traditions place the main emphasis
on the internal textual aspects of literary work.”
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan membahas formalisme dan
strukturalisme serta semiotik dalam konteks pendeketan teks.
B. Pembahasan
1. Formalisme dan Strukturalisme
Istilah formalis (kalau bahasa latin, forma berarti bentuk atau wujud) ini
merupakan pendekatan dalam ilmu kritik sastra yang mengkesampingkan data
biografis, psikologis, idiologis, dan sosiologis karena ia sepenuhnya mengarahkan
perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Salah tujuan Formalis yaitu adanya
studi ilmiah mengenai sastra. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa studi sastra
sangat mungkin dan pantas dilakukan. Kaum Formalis yakin bahwa dengan adanya
96
Okke K.S. Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang (Jakarta. Inermasa,1991), him. 1
97
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1987), hlm. 1
98
Mario Klarer, op.cit, hlm. 79
99
Ibid.
111
studi ilmiah terhadap sastra akan membuat peningkatan minat baca pembaca pada
teks-teks sastra dengan cara yang tepat, yakni dengan memerhatikan sifat-sifat teks
sastra yang “arstistik” dan “sastrawi”100. Telaah ini berangkat dari dasar pendapat
bahwa karya sastra itu merupakan sebuah sistem. Setiap unsur pembangun karya
sastra itu berkait dengan unsur lain. Setiap unsur hanya bermakna dalam
keterkaitannya dengan unsur lain.
Dengan dasar itu, arah telaah ini ditujukan untuk melihat bagaimana keterkaitan
atau jalinan antarunsur pembangun karya sastra yang ditelaah tersebut. Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Klarer101, “The term formalism and structuralism
encompass a number of schools in the first half of twentieth century whose main
goal lies in the explication of the formal and structural patterns of literacy texts.”
Kaum formalis memperlakukan kesusastraan sebagai suatu pemakaian
bahasa yang khas, yang mencapai perwujutan lewat deviasi dan distorasi dari
bahasa praktis untuk proses komunikasi, kemudian bahasa sastra tidak mempunyai
fungsi praktis sama sekali dan benar-benar melihatnya secara berbeda. Victor
Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky adalah
beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang
kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis
sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adalah aliran kritik sastra yang lebih
mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya
sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil
penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam
sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan
ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah
kebudayaan.
Gerakan formalis, memang tidak dapat disangkal, secara tidak langsung
telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang sebenarnya juga
termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga
100
Fokkema D.W. & Elfrud Kunne Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998),
hlm.15.
101
Mario Klarer, op.cit., hlm. 81.
112
pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi
atas bahasa sehari-hari. Hal demikian dapat dipahami karena sejak timbulnya
pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa
menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk membuat
massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis,
bahasa demikian jelas menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus
terbuka.
Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang
tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para
poststrukturalis seperti Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai
sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa
momen, melainkan juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa
bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk
dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.
Klarer102 juga berpendapat, “The consecutive schools of Russian formalism,
the Prague schools of structuralism, new criticism, and post – structuralism find a
common denominator – despite their respective idiosyncrasies – in their general
attempts to explain levels of content in relation to formal and structural dimensions
of texts.” Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana
sastra dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi
persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang
digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme,
bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak
merusak teks juga tidak mereduksi, tetapi merekonstruksi dengan cara
memaksimalkan konsep fungsi sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan
yang teorganisirkan.
Klarer103 menyatakan, “In traditional philosophical and aesthetic discourse,
form denotes the relationship between different elements within specific systems.”
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra
dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan
102
Ibid.
103
Ibid.
113
pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang digunakan,
baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan
sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks
juga tidak mereduksi, tetapi merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep
fungsi sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisasikan.
Klarer104 dalam bukunya mengemukakan, “During and after World War I,
Russian formalism sought an objective discourse a literary criticism by
foregrounding structural analyses.” Teori strukturalisme dalam ilmu sastra lahir dan
berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui
tradisi-tradisi formalisme sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalisme.
Di satu pihak para pelopor formalisme sebagian besar ikut andil dalam
mendirikan strukturalisme, di lain pihak atas dasar pengalaman formalismelah
mereka mendirikan strukturalisme dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan
yang terdapat dalam formalisme diperbaiki kembali oleh strukturalisme oleh karena
itulah Mukarosvky seorang tokoh formalis Rusia berpendapat bahwa strukturalisme
yang mulai diperkenalkan pada 1934 tidak menggunakan nama metode ataupun
teori (Chalima, 1994) sebab teori merupakan bidang ilmu pengetahuan tertentu,
sedangkan metode merupakan prosedur imiah yang relatif baku. Pada masa
tersebut strukturalisme terpaku dan terbatas sebagai sudut pandang epestimologi
saja, sebagai sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungan. Dibahas dalam
Klarer105 “In its search for the typical features of literariness, Russian formalism,
rejects explanations which base their arguments on the spirit, intuition, imagination,
or genius of the poet.”
Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuaan. Jadi, bisa dikatakan bahwa strukturalisme mulai dengan lahirannya
ketidakpuasan dan berbagai kritik terhadap formalisme. Klarer106 berpendapat, “In
contrast to traditional, extrinsic methodologies, Russian formalism privileges
phonetic structures, rhyme, meter, and sound as independent meaningful elements
of literacy discourse.”
104
Ibid. hlm 82
105
Ibid.
106
Ibid.
114
Dalam Klarer dijelaskan bahwa, “According to Victor Shklovski (1983-1984)
and a number of other formalists, these structural elements in a literacy text cause
the effect called defamiliarization.”107 Gerakan formalisme ini juga dikembangkan
dalam metode penelitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis
menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus.
Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra
formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan
dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Adapun tokoh formalis Rusia yang paling berpengaruh adalah Victor
Skholovsky (1983-1984) adalah suatu formalis yang brilian di Russia. Ia
memformalisasikan eksposisi yang penting dalam perkembangan pendekatan
formalis. Dia juga menunjukkan pandangan dan ide yang mendasar dalam kritik
sastra. Namun, dia membiarkan dirinya terhanyut dalam formulasi provokatif dan
mengundang polemik dalam masyarakat.108 Dalam Klarer dijelaskan bahwa, “In
modern literary criticism, this self- reflexiveness is often labeled metafiction (fiction
about fiction).”109
Dalam Klarer dijelaskan bahwa, “Russian formalism’s central concept of
defamiliarization in many respects anticipates the Brechtian notion of the alienation
effect, which – leaving its idiosyncrasies aside – also attempts to foreground self-
reflexive elements of a text or work of art.” 110 Teori strukturalisme dalam ilmu sastra
lahir dan berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai
melalui tradisi-tradisi formalisme sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalisme.
Bagaimanapun strukturalisme itu bermula, seperti yang telah dipaparkan di
awal. Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup
panjang dan berkembang secara dinamis. Di tahun 1950an dan 1960an, faham ini
berakar pada pemikiran linguist Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Saussure adalah tokoh kunci dalam perkembangan pendekatan modern terhadap
studi bahasa. Pada abad ke-19, minat para cendikiawan linguistik utamanya adalah
aspek historis bahasa (misalnya memperhitungkan perkembangan historis bahasa-
107
Ibid.
108
Emzir dan Syaifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra ( Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 12.
109
Klarer, op.cit., hlm. 83.
110
Ibid.
115
bahasa dan hubungannya satu sama lain, dan berspekulasi tentang asal-usul
bahasa itu sendiri). Sebaliknya, dalam hal ini Saussure berkonsentrasi pada pola
dan fungsi bahasa yang saat itu digunakan, menitikberatkan pada cara makna
dijaga dan ditetapkan serta pada fungsi struktur tata bahasa111
Strukturalisme menentang teori mimetik (yang berpandangan bahwa karya
sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-
tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang), dan menentang teori-
teori yang dianggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan
pembacanya.
111
Peter Barry, Beginning Theory (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm.47
112
Ibid. hlm.59
116
terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya.
Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu
tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun
waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme
mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan
bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari
sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan
analisis.
Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra
yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong.
Ia menulis dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai
persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah memengaruhi alam pikiran
pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori
strukturalisme.
Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuaan. Jadi, bisa dikatakan bahwa strukturalisme mulai dengan kelahiran
ketidakpuasan dan berbagai kritik terhadap formalisme. Paham strukturalis,
menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Paham ini mencakup bentuk dan makna atau isi sebagai analisisnya. Atau seperti
yang dikemukakan Luxemburg (1989) tentang signifiant-signifie dan paradigma-
syntagma. Unsur inilah yang selalu berhubungan dengan makna secara
keseluruhan. Maka kedua unsur itu penting dalam penafsiran sastra. Teori struktur
juga merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realita yang
berstruktur, dan membentuk jaringan relasi dan keharusan. Jaringan ini bersifat
otonom sehingga membentuk sistem baku.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa formalisme karya sastra
meliputi unsur instrinsik yang membangunnya. Hal ini kemudian dianalisis dengan
menggunakan literature devices untuk mengetahui plot atau alurnya. Yakni
menganalis komponen-komponen linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik,
fonem, sintaksis, maupun semantik, begitupun halnya dengan ritme, rima, mantra,
akustik/bunyi, aliterasi dan asonansi). Selama hal tersebut terdapat dalam karya
117
sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan artistic yang merupakan sebuah cita
rasa sebuah karya sastra. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan
sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam
sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah ruang yang didalamnya penuh
dengan berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah
memengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu
diabaikan oleh teori strukturalisme.
2. Semiotik
Semiotik, atau dikenal juga dengan nama semiologi adalah ilmu yang
mempelajari sistem tanda yang berupa bahasa, kode, sistem sinyal, dan lain-lain.
113
Aart van Zoest mengatakan bahwa semiotik(a) adalah studi tentang tanda dan
gejala yang berhubungannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda
lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotik dan semiologi merupakan dua konsep yang dapat dipertukarkan,
yakni ilmu yang membahas tanda. Hal ini ditegaskan oleh Emzir dan Rohman 114
bahwa semiotika biasanya disamakan dengan semiologi. Semiotik atau semiologi
adalah ilmu tentang tanda yang berasal dari kata semion yang bermakna tanda dan
logos yang berari ilmu. Lebih luas lagi Ratna (dalam Lustyantie)115 cakupan
semiotik adalah tanda visual, verbal, nonverbal, tactile dan olfactory. Dalam Klarer
dijelaskan bahwa semiotik merupakan aliran dalam pendekatan sastra yang
berorientasi pada teks, yang berkembang pesat pada tahun 1970-an dan 1980-an
Sebelumnya di Yunani, istilah Semiologi dan Semiotik juga dikenal di bidang
kedokteran, yakni bidang yang mengamati gejala orang sakit. Istilah ini juga
mengacu pada kode irama tambur dan klarion. Selanjutnya, istilah ini masuk ke
dalam bahasa Prancis dan mengacu pada pemikiran Ferdinand de Saussure
(1857-1913), yakni ilmu tentang tanda.
Le mot vient du grec et signifie signe. Les Grecs l’emploient pour signe mais
aussi pour indice ou symptôme. Dès le XVIe siècle, on trouve sémiologie,
113
Aart Van Zoest, Semiotika (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993), hlm.1
114
Emzir dan Syaifur Rohman, op.cit., hlm 49
115
Lustyantie, Ninuk, Simbol-simbol Dongeng Prancis (Jakarta: Banana, 2016), hlm.52.
118
sémiotique pour désigner la partie de la médecine qui traite des signes des
malades. Le mot indique également, chez les théoriciens militaires, la partie du
règlement qui concerne le code des roulements de tambour et des sonneries de
clairons. Mais le mot « sémiologie » est sorti en français de ses usages
techniques pour désigner, grâce aux grandes efforts du linguiste Ferdinand de
Saussure, la science des signes ».116
Orang yunani memakai kata tersebut untuk tanda, tapi juga untuk indikator
atau gejala. Pada abad ke-16, istilah semiotik/semiologi mengacu pada cabang ilmu
kedokteran yang mengamati tanda-tanda orang sakit. Bagi teorisi militer istilah ini
merupakan kode irama tambur dan clarion. Istilah semiologi, dalam bahasa Prancis,
merupakan istilah teknis yang diupayakan Ferdinand de Saussure yang mengacu
pada Ilmu tentang tanda).
Sassure mengembangkan konsep signifié, petanda, yakni konsep
pralinguistik, atau citra mental) dan signifiant (penanda) manifestasi verbal dari citra
verbal yang diilustrasikan sebagai berikut117
Signifié
Tree
Signifiant
Gambar 1: signifié
116
Grand dictionnaire des lettres, Paris, Larousse, 1989, p. 5456 (semion berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda.
117
Klarer, op.cit,. hm. 87
119
Selanjutnya dalam pengertian bahasa sebagai alat komunikasi, Saussure
juga menjelaskan dikotomi langue-parole. Langue adalah tataran konseptual yang
meliputi aturan-aturan abstrak dan metode kombinasi yang direalisasikan oleh parole
dalam ujaran individu baik secara lisan maupun tulisan.
Tanda verbal atau signifiier adalah titik awal analisis semiotik. Aliran ini
menegaskan bahwa tidak ada yang nyata di luar teks karena persepsi manusia
tentang dunia bersifat tekstual. Menurut paham ini, bahasa atau teks berfungsi dalam
cara yang dianalogikan seperti permainan catur. Sejumlah tanda yang terbatas,
seperti bidak-bidak catur pada papan catur hanya bermakna ketika mereka berada
pada sistem tertentu. Bahasa dan teks dianggap sebagai bagian dari sebuah sistem
yang maknanya tercipta oleh interaksi dari berbagai tanda yang memiliki karakteristik
dan fitur yang berbeda. Penjelasan ini berpijak pada konsep oposisi biner, yang
menunjukkan bahwa perbedaaan tanda linguistik akan menimbulkan perbedaan
makna. Berbagai konsep dan pemikiran Saussure inilah yang dikembangkan lebih
lanjut oleh para ahli semiotik.
Metode analisis semiotik yang berasal dari kritik sastra telah diterapkan
dalam bidang antropologi, kajian budaya popular (misalnya, iklan), geografi,
arsitektur, film, dan sejarah. Metode analisis semiotik ini menekankan pada perihal
karakter sistemik dari objek yang akan dianalisis. Contohnya, bangunan, mitos, atau
gambar yang dianggap sebagai sistem tanda-tanda yang unsur-unsurnya saling
berinteraksi yang dapat dianalogikan seperti huruf, kata, dan kalimat.
Di dalam Klarer, dijelaskan contoh penerapan dari analisis sistem tanda
nonlinguistik dari Roland Barthes, dalam bidang semiotika busana. Pakaian atau
garmen adalah sistem tanda yang unsurnya dapat dibaca layaknya seperti tanda
sastra dalam teks. Barthes menjelaskan (dalam Klarer) bahwa bentuk, ukuran,
panjang sebuah dasi mengandung informasi yang kompleks. Mislanya sebuah dasi
panjang yang tidak terlalu lebar menyampaikan pesan yang berbeda dengan dasi
yang lebar, pendek atau dasi kupu-kupu. Tanda-tanda tekstil tersebut, seperti kata-
kata dari sebuah bahasa, hanya dapat menyampaikan makna ketika terlihat dalam
konteks tertentu atau sistem tanda. Dapat disimpulkan bahwa tanda dapat
menghasilkan makna ketika berinteraksi dengan tanda lain. Busana sebagai
perwujudan dari hubungan sosial, mampu memberikan contoh yang baik kepada
120
khalayak dalam sistem nonlinguistik. Tanda-tanda akan tetap sama seperti itu, tetap
sama selama bertahun-tahun, tetapi maknanya berbeda ketika hubungan antara
tanda-tanda tersebut berubah. Misalnya, celana lebar, rok pendek akan
menyampaikan pesan yang berbeda dari yang “mereka” sampaikan beberapa tahun
sebelumnya.
Berthens118 menjelaskan konsep yang digagas oleh Roland Barthes bahwa
budaya adalah bahasa, yang diterbitkan dalam bukunya Mythologies. Dalam
bukunya Barthes menjelaskan analisis struktural mengenai berbagai perbedaan
olahraga tinju dan gulat, minum anggur versus minum susu, dan berbagai contoh
“tindak” budaya lainnya. Gerakan petinju, pegulat, penari striptease adalah tanda
yang maknanya didapat karena struktur yang melingkup aktivitas mereka. Dengan
demikian dalam gagasan tersebut, makna tanda tidak inheren pada tanda tersebut,
tetapi dihasilkan dari perbedaan. Perbedaan struktur tersebut menghasilkan
pemaknaan. Melalui pendekatan semiologis atau semiotik ini Berthens menegaskan
bahwa hal-hal/tindakan adalah tanda yang tidak memiliki makna inheren, tetapi
menjadi bermakna ketika mempunyai fungsi atau peran dalam sebuah struktur, dan
interaksi dengan tanda-tanda lainnya.
Emzir dan Rohman119 menjelaskan dua tingkatan pertandaan yang
dikemukakan Barthes; yakni tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda para realistis,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Bertentangan dengan denotasi,
konotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda yang di dalamnya beroperasi makna tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak
pasti.
Berdasarkan ilustrasi dan konsep yang dpaparkan, Barthes (dikutip Emzir
dan Rohman)120 ingin menegaskan bahwa interaksi antara teks dan pengalaman
personal dan kultural penggunaaannya, interaksi antarkonvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan demikian
118
Hans Bertens, Literary Theory (New York, Routledge, 2002), hlm. 64
119
Emzir & Rohman, op.cit., hlm. 50
120
Hans Bertens, op.cit., hlm. 50
121
denotasi adalah makna sebenarnya, dan konotasi adalah makna yang ditimbulkan
dari pengalaman kultural dan personal.
Lustyantie121 menjelaskan bahwa semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-
tingkatan sistem bahasa dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa pada tingkat pertama
adalah bahasa sebagai objek, dan bahasa tingkat kedua adalah metabahasa.
Bahasa merupakan kombinasi petanda dan penanda. Selanjutnya sistem tanda
kedua dihasilkan dengan menjadikan penanda dan pertama pada tingkat kedua
sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu
sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pada tingkat pertama
disebut denotasi atau sistem terminologis, sedangkan sistem tanda pada tingkat
selanjutnya disebut sebagai konotasi atau sistem retoris, atau metodologi. Konsep
penting lain yang dikemukakan berkaitan dengan analisis semiotik Barthes adalah
kode hermeunetik, kode semik, kode simbolik, dan kode proaretik, dan kode gnomik.
121
Ninuk Lusyantie, op.cit., hlm. 55
122
5. Bagaimana kemungkinan pertimbangan cerpen-cerpen Lupus sebagai
alternatif bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMU ditinjau
dari aspek psikologis?
6. Bagaimana kemungkinan pertimbangan cerpen-cerpen Lupus sebagai
alternatif bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMU ditinjau
dari aspek latar belakang budaya pembelajar?
7. Bagaimana alternatif pelaksanaan cerpen-cerpen Lupus dijadikan sebagai
bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMU?
BAB IV
ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN
123
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen-cerpen Lupus turut berperan dalam
menampilkan tema cerita, baik tokoh-tokoh utama maupun tokoh tambahan. Tokoh-
tokoh yang dihadirkan dalam cerpen-cerpen Lupus sebagian besar adalah tokoh-
tokoh remaja usia sekolah dan lingkungannya seperti guru, kepala sekolah dan lain-
lain. Selain itu, ditampilkan juga tokoh-tokoh seperti tokoh gelandangan, pengemis,
dan anak-anak berandal sebagai simbol masyarakat kelas bawah.
Dengan demikian, terlihat di sini bahwa ada kaitan yang erat antara sosok
tokoh-tokoh dan tema-tema yang mendasari cerpen-cerpen Lupus. Selain itu, sikap
dan perilaku tokoh-tokoh pun memunyai hubungan erat dengan alur. Alur
menampilkan sosok para tokoh beserta sifat dan perilakunya.
Penokohan dalam cerpen-cerpen Lupus berkaitan dengan sudut pandang
cerita yang digunakan oleh pengarang dalam memaparkan ceritanya. Cerpen-
cerpen Lupus secara umum menggunakan sudut pandang dengan teknik orang
ketiga yang serba tahu. Teknik ini memungkinkan pengarang untuk melukiskan
jalan pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Lupus secara leluasa.
Dengan demikian, semakin jelas pengungkapan tema-tema yang ingin disampaikan
pengarang melalui sikap dan perilaku para tokoh. Hal tersebut di atas
menggambarkan hubungan keterkaitan antara penokohan, sudut pandang, dan
tema.
Latar yang digunakan dalam cerpen-cerpen Lupus adalah latar tempat, latar
sosial, dan latar waktu. Latar tempat dan latar sosial memunyai peranan yang
sangat penting dalam mendukung cerita, sedangkan latar waktu kurang menonjol.
Latar tempat dan latar sosial dalam cerpen-cerpen Lupus ini memunyai
kaitan yang sangat erat dengan penokohan atau karakter tokoh-¬tokoh cerita. Latar
tempat pada cerpen-cerpen Lupus secara keseluruhan adalah merangkum
lingkungan remaja, baik di sekolah maupun lingkungan di sekitarnya. Oleh karena
itu, tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah orang-orang yang berhubungan dengan
tempat tersebut, misalnya anak sekolah, guru, kepala sekolah, dan lain-lain. Tokoh
anak-anak sekolah digambarkan pengarang dengan berbagai macam karakter
seperti siswa yang pintar dan cerdas, siswa yang kreatif dan memiliki ide-ide yang
cemerlang, siswa yang malas tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, siswa
yang senang bila gurunya sakit dan lain-lain.
124
Latar sosial yang terdapat dalam cerpen-cerpen Lupus juga membawa
pengaruh terhadap karakter tokoh-tokohnya. Latar sosial yang ada dalam cerpen-
cerpen Lupus meliputi latar sosial menengah ke bawah seperti gambaran keluarga
Lupus yang berkecukupan dengan cara hidup sederhana, lingkungan kumuh seperti
tokoh Gusur dan Wempy, gambaran kaum gelandangan seperti tokoh anak kecil
yang nakal, gambaran kaum kriminal yang hidupnya tidak menentu seperti tokoh-
tokoh anak berandal dan ada pula gambaran kesengsaraan seperti tokoh
pengemis. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa penggambaran latar tempat
dan latar sosial berkaitan dengan tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerpen-
cerpen Lupus. Selain itu, tokoh-tokoh berperan dalam menjelmakan tema-tema
cerita. Dengan demikian, latar cerita juga berkaitan dengan tema cerita.
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen Lupus erat kaitannya
dengan pemakaian bahasa seorang pengarang dalam karya-karyanya yang akan
membedakan karyanya itu dengan pengarang lain. Pengarang Lupus
menggunakan gaya bahasa dalam dialog-dialognya sehari-hari yang mudah
dimengerti oleh pembacanya. Bahasa yang komunikatif, sederhana, dan lancar
membuat keakraban di antara pengarang dan pembacanya. Selain hal tersebut di
atas, gaya humor juga terdapat dalam cerpen-cerpen Lupus sehingga apa yang
ingin disampaikan pengarang mudah diterima pembaca dengan perasaan senang
dan tenang tanpa ketegangan. Penggunaan gaya bahasa pengarang ini erat
kaitannya dengan unsur-unsur cerita. Dengan bahasa pengarang memaparkan alur
cerita, menggambarkan karakter tokoh-tokohnya, dengan bahasa pengarang
melukiskan latar cerita, dengan bahasa pengarang menyampaikan tema pada
pembaca dan sebagainya.
Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa antarunsur struktur yang satu
dengan unsur struktur yang lain mempunyai hubungan yang erat. Tiap-tiap unsur
berperan dalam membangun cerpen-cerpen secara menyeluruh. Dengan demikian,
cerpen-cerpen Lupus memunyai unsur struktur cerita yang bulat dan utuh yang
menampilkan makna cerita secara keseluruhan.
Dan biasanya tiap selesai sholat Jumat di sekolah anak-anak tidak langsung
pulang. Melainkan makan di kantin, mengobrol, sambil menunggu berangkat
ke kolam renang." (ke-5, him. 88)
"Kita semua kecewa. Tapi kita tak boleh larut dalam kesedihan. Perjalanan kita
masih jauh. Tragedi ini menyadarkan kita, bahwa kodrat kita bukanlah bintang film.
126
Setiap orang sudah ada tempatnya sendiri-sendiri. Sudah dikotak-kotak oleh Tuhan.
(ke-11, him. 113)
Kutipan pertama adalah ungkapan hati Lupus pada Anto yang ingin memiliki
sifat seperti Lupus bisa bebuat sesuatu dari apa-apa yang terjadi. Kutipan kedua
adalah ungkapan perasaan Lupus yang kecewa tetapi tetap tegar kepada teman-
temannya yang harapannya tak terwujudkan.
Dengan adanya nilai-nilai pendidikan seperti di atas, diharapkan siswa akan
dapat memiliki kemantapan beragama. Siswa dapat meningkatkan kedekatan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meningkatkan ketaqwaan kepadanya.
"ltulah, makanya kalau bercanda jangan keterlaluan. Dan harusnya kamu berjiwa
besar. Mengakui kesalahanmu." (ke-5, him. 98)
"Saya lagi sedih. Saya sendiri juga heran. Soal sakit Mr. Punk itu lho. Biar kejam
dan jelek, diakan guru kita juga. Kita harus ikut prihatin,.." (ke-9, him. 118)
Meta....,ah, betapa Bahagianya jadi seorang Meta. Yang punya sikap yang tak
mudah tergiur mimpi-mimpi Indah. Yang memiliki hidup di alam nyata. (ke-11, him.
Ill)
"Bahan tulisan? Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di
majalah kamu ?"
"Kok heran ? Ini kan baik untuk tulisan yang bersifat humon interest. Penulisan yang
menonjolkan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak demensi dalam
hidupnya. Kan menarik ? Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka yang
dulunya tak pernah peduli dengan mereka." (ke-2, him. 68)
"Apa kamu nggak pernah diajar ibu kamu untuk menghormati orang yang sedang
berpuasa ?"
129
"Saya hanya ingin mereka juga bisa ngerasain, gimana pedihnya jadi orang
kelaparan itu, sementara di depan mata kita orang lain seenaknya lagi makan roti.
Saya dendam sama mereka. Dan di bulan puasa saya bisa memuaskan dendam
saya...." (ke-13, him. 64)
"Saya lapar sekali, Dik," suara yang bergetar dari orang tua itu membuat Lupus jadi
kasihan. Orang ini benar-benar hanya pengemis. Lupus menghela nafas lega, lalu
memberikan beberapa potong roti yang di bawanya dari sekolah. (ke-14, him. 76)
2. Aspek Bahasa
Cerpen-cerpen Lupus dapat dijadikan alternatif bahan pengajaran sastra di
SMU ditinjau dari aspek bahasa. Hal ini karena bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang biasa digunakan sehari-hari sehingga mudah dipahami oleh pembaca
(pembelajar). Jika bahasa yang digunakan mudah dipahami pembelajar, apa yang
ingin disampaikan melalui karya sastra akan mudah diterima.
Selain hal di atas, cerpen-cerpen Lupus juga banyak menggunakan bahasa
yang sedang populer digunakan oleh kalangan remaja. Bahasa populer yang
digunakan adalah campuran bahasa dialek dan prokem Betawi dengan unsur-unsur
130
jargon golongan modern dari ragam populer di kalangan remaja di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya. Penggunaan bahasa tersebut memiliki ciri khusus yakni
penggunaan kosa kata khusus seperti gokil 'gila', madol 'minggat', ngocol 'ngobrol'
bokap 'Bapak', Nyokap 'Ibu/nyonya', ngompas 'menodong', cewek 'perempuan',
cowok 'laki-laki', dan sebagainya.
Melalui cerpen-cerpen Lupus diharapkan pembelajar akan memiliki wawasan
kosa kata yang lebih luas karena penggunaan diksi dalam cerpen-cerpen Lupus
tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia, tetapi juga menggunakan bahasa lain
yakni bahasa dialek Betawi seperti doang, ledek, nyupi, bujubune, empet, dan
ngujubileh. Dialek Sunda seperti mah, acan, ngabuburit, rada, dan Jawa seperti
kelar, kecut, semaput. Selain itu, diharapkan pembelajar juga memiliki dan
mengetahui kosa kata baru bahasa asing karena cerpen-cerpen Lupus banyak
dijumpai kosa kata bahasa Inggris seperti god, break, freelance, midnight, mood,
shopping, familiar, stuntman, complicated, someth¬ing wrong, escape, full colour,
dan class meeting. Penggunaan kosa kata bahasa Inggris ini membuktikan bahwa
pembaca cerpen-cerpen Lupus adalah kaum terpelajar.
Jika cerpen-cerpen Lupus akan dijadikan bahan pengajaran Apresiasi Sastra
Indonesia, seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang baik harus
menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen Lupus adalah
ragam bahasa nonformal, yakni ragam santai, bukan ragam baku. Seorang guru
perlu menjelaskan juga tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
yang harus digunakan dalam suasana formal atau resmi. Bahasa Indonesia itu
sangat beragam dan hanya satu ragam saja yang diangkat menjadi bahasa baku,
yaitu bahasa formal seperti yang tercantum dalam UUD 1945 BAB XV pasal 36.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan pemakaian
suatu ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan didukung oleh penerapan
kaidah bahasa yang berlaku secara tepat. Pemakaian bahasa dikatakan serasi
dengan sasarannya apabila ragam itu berpadanan dengan jenis bidang
permasalahan yang menjadi pokok pembicaraan, dan situasi yang mendukung,
hubungan antara penutur dan pendengar. Keserasian juga ditentukan oleh pemakai
dan pemakaian bahasa.
131
3. Aspek Psikologis
Cerpen-cerpen Lupus dapat digunakan sebagai alternatif bahan penga¬jaran
sastra di SMU ditinjau dari aspek psikologis. Hal ini karena cerita-cerita dalam
cerpen-cerpen Lupus banyak terdapat sifat-sifat kejiwaan remaja atau usia sekolah.
Usia pembelajar SMU atau remaja termasuk dalam tahap generalisasi. Pada
tahap ini anak mulai berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan
menganalisis suatu fenomena. Mereka berusaha menemukan dan merumuskan
penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafat
untuk menentukan keputusan keputusan moral.Sifat kejiwaan di atas dapat dilihat
dalam tema-tema sosial cerpen-cerpen Lupus seperti cerpen ke- 2, 11, 12, 13, dan
21.
Selain sifat kejiwaan yang telah disebut di atas, remaja usia sekolah juga
memiliki sifat merindu puja, ingin bersahabat, labil dan menginginkan kebebasan.
Hal ini dapat dilihat dalam cerpen-cerpen ke- 1, 4, 7, 9, 17, dan 18. Berikut akan
diuraikan sifat-sifat tersebut di atas yang terdapat dalam cerpen-cerpen Lupus.
Fenomena-fenomena yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen Lupus berhubungan
dengan masalah sosial dan pendidikan. Masalah-masalah yang dihadapi oleh para
tokoh dipecahkan dan dicari penyebab utama masalah itu dan dapat ditemukan
jalan keluarnya yang melahirkan pikiran-pikiran filsafati dan akhirnya ditemukan
keputusan-keputusan moral. Hal ini berhubungan dengan tema-tema yang terdapat
dalam cerpen-cerpen Lupus.
Masalah-masalah yang dihadapi beraneka ragam. Cerpen ke- 2
menampilkan masalah anak-anak berandal. Setelah mencari penyebab utama
mengapa mereka menjadi anak-anak berandal, ditemukanlah jawabannya. Mereka
kurang kasih sayang orang tua dan walaupun mereka anak-anak berandal, tetapi
mereka mempunyai perasaan yang baik. Dari masalah ini lahirlah tema "sejahat-
jahatnya orang pasti masih memiliki perasaan yang baik"
Cerpen ke- 11 mengketengahkan masalah orang yang memberikan suatu harapan
menjadi bintang film kepada teman-temannya, tetapi harapan itu tak pernah
terwujudkan. Dari masalah ini lahirlah tema "Seorang pemberi harap memunyai
tugas yang berat lalu ia tidak bisa mewujudkan itu kepada orang yang diberi harap".
132
Cerpen ke- 12 menceritakan suatu fenomena anak-anak sekolah yang
sedang kecewa karena tarif angkutan bis naik. Padahal, uang saku mereka tidak
ikut naik.Setelah ditemukan jalan keluarnya, lahirlah tema "Setiap masalah pasti
ada jalan keluarnya jika kita mau berusaha".
Cerpen ke-13 menampilkan masalah anak gelandangan yang nakal
memakan menawarkan roti dan es kepada orang-orang yang sedang berpuasa.
Setelah dicari penyebabnya, ternyata dia melakukan hai itu karena dendam kepada
orang-orang kaya yang makan dan minum tanpa menghiraukan orang miskin. Di
bulan puasa, saat orang-orang merasakan kelaparan, dia melakukan balas
dendam. Dari cerpen ini lahirlah tema "Kadang kita lebih sering peduli terhadap diri
sendiri dari peduli orang lain."
Cerpen ke- 21 menampilkan masalah orang miskin yang terhadap
kemiskinan sebagai nasib jelek sehingga dia melakukan kejahatan. masalah ini
melahirkan tema "Kita harus belajar dari kemiskinan dan jangan menganggap
kemiskinan sebagai nasib jelek."
Cerpen-cerpen Lupus yang menampilkan sifat-sifat kejiwaan remaja yang
labil, mudah terbawa arus dan suka mengejar sesuatu yang sebetulnya tidak
mereka inginkan, terdapat dalam cerpen ke- 1 yang menceritakan tentang remaja
yang terbawa arus budaya asing menonton musik jazz karena gengsi. Padahal,
mereka tidak mengerti tentang musik jazz. Cerpen ke- 7 menceritakan tentang
remaja yang mengejar-mengejar gadis pujaannya hanya ingin menampilkan
keberadaan dirinya sebagai laki-laki yang menginjak usia remaja dan cerpen ke- 18
yang menceritakan tentang emosi remaja yang labil, mudah tersinggung yang
akhirnya menimbulkan perkelahian.
Cerpen-cerpen yang menampilkan sifat-sifat remaja yang suka merindu puja
dan masalah terdapat dalam cerpen ke- 4 dan 7. Cerpen ke- 4 menceritakan
seorang gadis yang menolak cinta seorang pemuda karena gadis itu merasa dirinya
masih kecil masih sekolah dan belum memikirkan masalah pacaran. Cerpen ke- 7
menampilkan seorang pemuda yang mengejar-ngejar gadis pujaannya tetapi
setelah dia mendapatkan gadis pujaannya malah dia merasa bosan.
133
Cerpen-cerpen ke- 9 dan 17 menampilkan sifat remaja yang selalu ingin
berkumpul dan bersahabat dengan teman-teman sesuainya cerpen ke- 9 dan 17 ini
menceritakan tentang sebuah persahabatan yang erat dan kompak.
Sifat-sifat kejiwaan yang terdapat dalam cerpen-cerpen Lupus ada yang bersifat
positif dan ada yang bersifat negatif. Sifat-sifat kejiwaan remaja yang positif dapat
dijadikan contoh yang baik oleh remaja SMU dan sifat-sifat kejiwaan yang negatif
dapat dijadikan contoh yang kurang baik.
134
pengalaman bekelahi (cerpen ke- 18), dan pengalaman-pengalaman lainnya yang
biasanya pernah dialami oleh pembelajar.
Selain persamaan latar belakang kebudayaan tokoh, terdapat juga
persamaan latar tempat dan latar sosial. Latar tempat yang digunakan sebagian
besar berhubungan dengan sekolah, misalnya Latar SMA Merah Putih yang
melibatkan ruang kelas, kantin sekolah, aula sekolah, lapangan basket, dan pintu
gedung sekolah , tampak dalam cerepn-cerpen ke- 5, 6, 8, 11, 12, 14, 15 dan 18.
Selain itu, latar tempat bermain anak sekolah atau remaja digunakan juga dalam
cerpen-cerpen Lupus seperti kolam renang, bis kota, gelanggang remaja, dan
pusat-pusat pertokoan seperti Blok M di Jakarta. Latar tempat ini tampak dalam
cerpen ke- 5, 6, 10, 20 dan 21.
Latar sosial yang digunakan dalam cerpen-cerpen Lupus memiliki
persamaan juga dengan latar belakang budaya siswa, yakni latar sosial dunia
remaja dan dunia anak sekolah.
Persamaan latar belakang budaya bahasa juga terdapat dalam cerpen-
cerpen Lupus. Bahasa yang digunakan adalah bahasa anak muda.
Dengan persamaan-persamaan tersebut, diharapkan pembelajar tertarik, dan
termotivasi untuk membaca cerpen-cerpen Lupus dan mengapresiasikannya.
Diharapkan siswa dapat menikmati, menghayati, memahami dan memanfaatkan
karya sastra sebagai pengembangan kepribadian serta peningkatan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa.
C. Alternatif Pelaksanaan Cerpen-cerpen Lupus sebagai Bahan Pengajaran
Apresiasi Sastra Indonesia di SMU
Keberhasilan suatu pengajaran ditentukan oleh sejumlah faktor, dari tujuan
hingga evaluasi. Pola pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia yang apresitif pada
dasarnya berorientasi pada tujuan. Tujuan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia
adalah terbinanya apresiasi sastra di kalangan pembelajar.
Untuk tujuan tersebut di atas, kurikulum SMU cukup menjanjikan harapan, baik dari
segi materi maupun dari segi apresiasi yang dianjurkan. Dalam kaitannya dengan
salah satu tujuan umumnya adalah siswa mampu menikmati, mengahayati,
memahami, dan memanfaatkan karya sastra dalam mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan dan
135
kemampuan berbahasa. Sementara itu, dalam rambu no. 11 disebutkan
perbandingan bobot pembelajaran bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan
disajikan secara terpadu, misalnya bacaan sastra dapat sekaligus sebagai bahan
mempelajari bahasa, sedangkan rambu no. 24 menyatakan bahwa sumber belajar
siswa dapat berupa (1) buku-buku pelajaran yang diwajibkan, buku-buku pelajaran
yang pernah dipakai dan masih sesuai, buku pelengkap, buku bacaan, buku
rampai, kamus, ensiklopedi; (2) media cetak: surat kabar, majalah; (3) media
elektronika: radio, kaset, televisi, video; (4) lingkungan: alam sosial budaya; (5) nara
sumber; (6) pengalaman dan minat anak, serta; (7) hasil karya siswa.
Dengan melihat sepintas tujuan dan isi kurikulum tersebut, kiranya akan
mengobati keluhan masyarakat selama ini yang mengatakan bahwa pengajaran
sastra selama ini belum memuaskan.
Salah satu jalan untuk mencapai hal tersebut adalah penentuan bahan
pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia yang harus dipersiapkan seorang guru.
Guru sastra yang baik haruslah menjadi seorang guru yang kreatif dan inovatif. Ia
harus mempersiapkan bahan pengajaran yang cocok dan relevan dengan
kurikulum. Seorang guru sastra harus mengembangkan bahan pengajaran yang
akan diberikan kepada pembelajar.
Lupus sebagai serial lepas yang berisi cerpen-cerpen dapat dijadikan
sumber bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia berdasarkan rambu no. 11
dan 24. Lupus dapat dijadikan bahan pengajaran sastra sekaligus pengajaran
bahasa, karena dalam cerpen-cerpen Lupus terdapat aspek-aspek bahasa yang
dapat dipelajari pembelajar seperti kosa kata baru dari bahasa dialek Betawi,
Sunda, Jawa, peristilahan dari bahasa Inggris, kata seru dan tata pembentukan
kalimat yang terdapat dalam bahasa sehari-hari.
Berdasarkan rambu no. 24 dalam penentuan sumber belajar siswa,
dijelaskan bahwa sumber belajar siswa adalah buku bacaan dan televisi. Lupus
dapat dijadikan alternatif bahan bacaan siswa. Perlu dijelaskan di sini bahwa Lupus
adalah sebagai sastra populer yang banyak digemari oleh remaja usia sekolah.
Remaja pada umumnya akan mengenal tokoh Lupus. Seorang guru sastra yang
baik, hendaknya menjelaskan dan meyakinkan para pembelajar bahwa karya sastra
populer adalah satu cabang kesenian yang perlu dibaca dan dihayati sebagai
136
sesuatu yang bermakna dan tidak hanya sekadar hiburan. Karya sastra populer
juga banyak mengandung nilai-nilai rohaniah yang akan meningkatkan kualitas
hidup atau di sinilah sastra berbicara tentang dulce et utile.
Lupus sebagai serial lepas yang berisi cerpen-cerpen dapat dijadikan
alternatif pemilihan bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia ditinjau
dari aspek pendidikan, bahasa, psikoiogi dan latar belakang budaya. Cerpen-
cerpen Lupus banyak mengandung nilai pendidikan agama, sosial dan moral yang
berguna sebagai pedoman pengembangan pribadi pembelajar. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa yang biasa dipakai oleh remaja usia sekolah. Dalam
Lupus juga banyak terdapat sifat, sikap dan perilaku kejiwaan remaja usia sekolah.
Selain itu, terdapat pula kesamaan-kesamaan latar belakang budaya pembelajar
dengan peristiwa, tokoh, latar, bahasa yang ditampilkan dalam Lupus.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, dapatlah kiranya
cerpen-cerpen Lupus dijadikan alternatif bahan pengajaran Apresiasi Sastra
Indonesia di Sekolah Menengah Umum (SMU). Berhubung dalam susunan bahan
pengajaran sastra yang terdapat dalam GBPP tidak tercantum cerpen-cerpen
Lupus sebagai bahan bacaan yang diwajibkan, alternatif pelaksanaannya adalah
sebagai tugas ekstrakurikuler atau sebagai bahan tambahan/selingan.
Tugas ekstrakurikuler ini diberikan kepada pembelajar di luar jam pelajaran
di kelas. Pembelajar secara berkelompok diberi tugas membaca satu atau dua buah
cerpen Lupus untuk diapresiasikan dengan cara menganalisis unsur-unsur intrinsik
yang terdapat dalam cerpen Lupus. Pada pertemuan berikutnya diadakan diskusi
masalah cerpen-cerpen tersebut. Pelaksanaan cerpen-cerpen Lupus sebagai
bahan tambahan/selingan dapat dilaksanakan di dalam kelas. Sebelum guru
mengajar, guru telah mempersiapkan cerpen-cerpen Lupus sebagai bahan bacaan
sastra.
Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, dapatlah cerpen-cerpen Lupus
dijadikan alternatif bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah
Menengah Umum (SMU).
b. Analisis Semiotik
PISAU DI JALAN
137
Ada pisau tertinggal dijalan
dan mentari menggigir di atasnya.
Ada pisau tertinggal dijalan
dan di matanya darah tua.
C. Simpulan
Pada umumnya penekanan perhatian teori sastra pada studi teks dapat
digolongkan ke dalam konsep strukturalisme, sekalipun konsep ini sangat beragam
jangkauan, kedalaman, dan model analisisnya. Strukturalisme, bagaimanapun,
merupakan bidang teori sastra yang sudah menjadi urutan utama kebudayaan
intelektual ilmu sastra.
Bahwa teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan
terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur
teks. Perbedaan pendapat dalam teori strukturalisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga
jenis yaitu strukturalisme formalis, strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik yang
pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis Paris yang
dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk dan
makna ( sign and meaning).
143
Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa memiliki ciri bentuk (form) dan
isi (content) atau makna (significante) yang otonom. Artinya, pemahaman karya sastra
dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman harus mampu
mengaitkan kebertautan antarunsur pembangun karya sastra. Kebertautan unsur itu
akan membentuk sebuah makna utuh. Berarti prinsip menyeluruh sangat dipegang oleh
kaum strukturalisme.
Daftar Pustaka
Aart van Zoest. 1993. Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita
Lakukan dengannya, Terjemahan. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Damono, Sapardi Djoko. 1987. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas Jakarta:
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Emzir dan Syaifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Press
Fokkema, D.W. & Elfrud Kunne Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Klarer, Mario.2004. An Introduction to Literacy Studies. Newyork: Routledge
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:
Inermasa.
144
PENDEKATAN BERORIETASI PADA PENGARANG
Oleh:
Agus Supriyadi, Dian Kardijan, Marlon Irwan Ranti
===============================================================
Abstraks
1. Pendahuluan
145
rangka untuk mendapatkan wawasan membaca latar belakang penulis atau surat dan
buku harian yang dapat dikonsultasikan untuk merefleksikan pribadinya.122
Otobiografi jelas cocok untuk pendekatan semacam ini, yang membandingkan
penggambaran fiksi dengan fakta dan angka dari kehidupan penulis. Dalam banyak
kasus, bahan otobiografi memasuki teks fiksi dalam kode. Dramawan Amerika Eugene
O'Neill, Misalnya, menggunakan secara terselubung elemen otobiografi dalam bermain
dalam Perjalanan malam yang panjang (c 1941;. diterbitkan 1956). Meskipun
karakter dan peristiwa dalam drama yang diduga fiktif, itu didasarkan pada orang yang
nyata dan mendramatisir peristiwa dari kehidupan keluarganya. Pendekatan penulis
berpusat dan fokus juga pada aspek yang mungkin telah memasuki teks pada tingkat
bawah sadar atau tak sadar. Faktanya bahwa Mary Shelley mengalami keguguran
selama periode di mana ia menulis novelnya Frankenstein (1818) dapat berhubungan
langsung dengan plot. Menurut pendekatan penulis berpusat, tema sentral dari novel,
penciptaan seorang manusia buatan, dapat ditelusuri kembali pendudukan psikologis
intens Mary Shelley dengan isu lahir pada saat itu. Banyak penulis yang ingin menjaga
teks-teks fiksinya dan lingkungan pribadi mereka secara utuh dan karenanya menentang
pendekatan ini. Misalnya, penulis J.D.Salinger Amerika, yang menjadi terkenal dengan
penerbitan novelnya The Catcher in the Rye, memiliki ketat menolak untuk memberi
informasi tentang kehidupan pribadinya selama dekade terakhir.123
Penulis Canonical khususnya-mereka yang sangat dihormati dalam kritik sastra,
seperti Shakespeare, Milton, atau Joyce-sering yang cenderung mythologized. Hal ini
menyebabkan upaya untuk merekonstruksi semangat penulis melalui karyanya.
Pendekatan fenomenologis menganggap bahwa penulis hadir dalam teks berbentuk kode
dan bahwa rohnya bisa dihidupkan kembali dengan membaca secara intensif dan
menyeluruh. Sebagai contoh dari kehidupan menunjukkan Mary Shelley, banyak
pendekatan biografis juga cenderung untuk mempekerjakan penjelasan psikologis. Hal ini
telah menyebabkan kritik sastra psikoanalitik, sebuah gerakan yang kadang-kadang
berhubungan dengan penulis, tetapi terutama upaya untuk menerangi aspek psikologis
umum dalam teks yang tidak selalu berhubungan dengan penulis secara eksklusif. Di
bawah pengaruh Sigmund Freud (1856-1939), kritik sastra psikoanalitik memperluas studi
122
Mario Klarer, An Introduction To Literary Studies (New York: Routledge, 2004), hal. 91.
123
Ibid..hal. 91
146
fitur psikologis luar penulis untuk menutupi berbagai intrinsik aspek tekstual. Misalnya,
karakter dalam teks dapat dianalisis secara psikologis, seolah-olah mereka adalah orang-
orang yang nyata. Contoh yang sering dikutip dalam konteks ini adalah keadaan mental
Hamlet dalam drama Shakespeare; kritikus psikoanalitik bertanya apakah Hamlet gila
dan, jika demikian, dari mana penyakit psikologis ia menderita.124
Lebih lanjut Sigmund Freud juga menjelaskan teks-teks sastra khususnya tentang
fenomena psikologis tertentu dalam beberapa studi, di antaranya analisis (1772-1822)
cerita E.T.A.Hoffmann "The Sandman " ( 1817), peringkat di antara interpretasi klasik dari
teks-teks sastra. Di tahun kedua abad kedua puluh, momentum kritik sastra psikoanalitik
kembali dikaji di bawah pengaruh analis Perancis Jacques Lacan ( 1901-1981 ), terutama
dalam dunia Anglo - Amerika. Kepentingan dalam fenomena psikologis secara tidak
langsung bersekongkol dalam penyebarannya yang disebut pendekatan pembaca
berpusat. Fokus mereka pada penerimaan teks dengan pembaca atau proses membaca,
karena itu, dilihat sebagai investigasi dari fenomena psikologis dalam arti atau istilah yang
luas.125
Kemudian Welek dan Warren menyebutkan bahwa penyebab utama lahirnya kasya
sastra adalah penciptanya sendiri: Sang Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang
kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam
studi sastra.126 Biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang penciptaan
karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari hidup pengarang
yang genius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya yang tentu
menarik. Biografi juga dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang
psikologi pengarang dan proses yang kreatif.127
Terdapat tiga sudut pandang yang perlu dibedakan dalam melihat biografi dan studi
sastra. Pertama, yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan
proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Kedua, mengalihkan pusat perhatian
dari karya ke pribadi pengarang. Ketiga, memperlakukan biografi sebagai bahan untuk
ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. Biografi adalah genre kuno. Sebab
124
Ibid..hal. 92
125
Ibid..hal. 92
126
Rene Eellek dan Austin Warren, Theory of Literature (London: Harcourt Brace Jovannovich, Publisher, 1977), hal. 74.
127
Ibid..hal. 74
147
biografi secara kronologis maupun logis adalah bagian dari historiografi karena tidak
membedakan negarawan, jenderal, arsitek, dan lain sebagainya.128
Dalam pandangan penulis biografi, pengarang adalah orang biasa yang
perkembangan moral, intelektual, karir, dan emosinya bisa direkonstruksi dan dinilai
berdasarkan standar tertentu, biasanya menggunakan system nilai etika dan norma-
norma perilaku tertentu.
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik
sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi
perkembangan dan pembinaan sastra. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam.
Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Teori pertama,
orientasi kepada semesta yang melahirkan pendekatan mimesis. Kedua, teori kritik yang
berorientasi kepada pembaca yang disebut pendekatan pragmatik. Penekanannya bisa
pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya
sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.
Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai
pendekatan ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada
karya yang dikenal dengan pendekatan obyektif.
Dalam makalah ini, difokuskan pada pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang
dalam mengaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta
karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan,
sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai
produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau
perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra,
dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan.
2. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap
bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi
dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri
pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini dapat
128
Ibid..hal. 74
148
dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme,
feminisme, dalam karya baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam
kerangka periodisasi.
Pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan,
dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang
melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang
dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran
kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut
pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus
dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah
membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa
pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi
pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi,
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang.
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan
biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek
creator. Pendekatan ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana
karya sastra itu diciptakan, seperti study kreatif proses kreatif dalam studi biografis,
tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkannya. 129
Secara metode, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah: (1)
memerikan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang hadir secara
langsung atau tidak di dalam karyanya, (2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan
perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori
faktual teks berupa watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data
yang diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak,
pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data sekunder
berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan,
pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun sosial dengan
129
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004),
h. 68
149
mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil ciptaannya dengan
data biografisnya.
Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengaitkan sebuah karya
sastra dengan pengarangnya. Maka, ada beberapa langkah dalam menerapkan
pendekatan ekspresif.
Langkah pertama : seorang kritikus harus mengenal biografi pengarang karya
sastra yang akan dikaji.
Langkah kedua : melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang
terdapat dalam karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/
diksi, citraan, dan sebagainya. Dalam menafsirkan unsur-
unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil
juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran
diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan
penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang
membangun sebuah karya sastra.
Langkah ketiga : mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan
psikologis kejiwaan pengarang. Asumsi dasar penelitian
psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan
bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan
dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi
setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan
ke dalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan
karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang
mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar
itu ke dalam sebuah cipta sastra.
3. Sosiologi Sastra
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi
dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa
150
karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu
Sosiologi sastra merupakan jenis pendekatan yang memiliki paradigma yang
menghasilkan sebuah pandangan bahwa karya sastra adalah bagian dari masyarakat
sehingga memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Sosiologi
sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang.
Semi mengatakan :
130
Atar Semi. Kritik Sastra. (Bandung : Angkasa, 1984), h. 52
131
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), h. 114.
132
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), h. 4.
151
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang
pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada
di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan
sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat
mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan
sekaligus membentuknya.
Dalam konteks ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang
sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, karya sastra dapat dianggap sebagai
usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, yaitu hubungan manusia dengan
keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi
urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang
bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi,
pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.
Hubungan sastra dan masyarakat menjadi: sosiologi pengarang yang
memasalahan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain menyangkut pengarang
sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang membahas dan
memersalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalakan
pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Untuk itu, Sasaran Penelitian Sosiologi
Sastra terbagi ke dalam telaah sastra menjadi:
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut:
1) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi.
2) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara
sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa
152
ragam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra
mereka.
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan
gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan dan
disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama yang harus mendapatkan perhatian
adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis,
sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah
tidak berlaku lagi pada waktu ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan
dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-
cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin
masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra
akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
“Seberapa jauh nilai sastra terkait dengan nilai sosial?” dan “Sampai berapa jauh
nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” Ada tiga hal yang harus diperhatikan,
diantaranya:
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa bahwa sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang bahwa Sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan
dengan cara menghibur.
153
Berhubungan dengan hal tersebut, bahwa sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian
ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan
orang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang
sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain
atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa, sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk
mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra,
dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini
menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya
adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut
beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur
sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu, tugas
sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi
ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya.
154
pembaca. Bertolak dari pernyataan Wellek dan Warren di atas, tampaknya pengkajian
terhadap karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial.133
Strukturalisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldman, sosiolog Perancis, atas
dasar ilmu sastra seorang Marxis yang lain, yakni George Lucacs. Goldmann bermaksud
menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) yang ekstrim
dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik) yang ekstrim (Satoto, 1986).134 Masih menurut
Golmann, secara definisi, strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan
bahawa karya sastra tidak lahir semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan
lahir dengan sendirinya. Karya sastra dilahirkan oleh struktur kategoris pikiran subjek
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjekitu
dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Pemahaman struktur karya sastra harus
mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, karena faktor-faktor sosial
itulah yang memberikan kepaduan struktur karya sastra (Faruk dalam Sariban.135
Strukturalisme genetik, sebagai teori, menurut Damono memiliki empat ciri yang
mendasar. Pertama, perhatian utama strukturalisme genetik adalah terhadap keseluruhan.
Kedua, strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaan, tetapai struktur
dibalik kenyataan empiris. Ketiga, analisis strukturalisme genetik bukan studi singkronik,
melainkan diakronik. Keempat, strukturalisme mempercayai hukum perubahan bentuk dan
bukan kausalitas.136
Berkait dengan pernyataan bahwa karya sastra harus mempertimbangkan faktor-
faktor sosial, Teeuw menyatakan bahwa pemahaman terhadap karya sastra harus
mempertimbangkan struktur teks dan pengarang. Pengarang sebagai pribadi memiliki
kepribadian, cita-cita, dan norma-norma yang harus dianut dalam kultur sosial tertentu.
Dengan demikian, pemahaman terhadap karya sastra tidak boleh lepas dari konteks di
luar karya sastra, yakni pengarang dan masyarakat.137 Sementara menurut Juhl (Iswanto),
penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna
akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut kan mengorbankan ciri khas,
133
Wellek & Warren, Lok Cit. hal. 111-112.
134
Satoto, Sudiro. 1986. Metodologi Penelitian Sastra. (Semarang: UNS Press, 1986). Hal. 180.
135
Sariban. .Novel Asmaraloka karya Danarto: Kajian Strukturalisme Genetik. (Surabaya: PPs Unesa, 2004). Hal. 22
136
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1984). Hal. 37.
137
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998). Hal. 173
155
kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dipegangteguh oleh pengarang tersebut
dalam kultur sosial tertentu.138
138
Iswanto. “Penelitian sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra.
(Yogyakarta: Hanindita, 2001). 60.
139
Faruk, Op Cit. Hal. 17.
140
Ibid, hal. 13.
141
Sariban. 2004. “Novel Asmaraloka karya Danarto: Kajian Strukturalisme Genetik”.( Surabaya: PPs Unesa, 2004). Hal. 35.
142
Ibid. Hal. 40.
156
yang menyeluruh. Pemahaman karya sastra yang menyeluruh akan mengarahkan pada
hubungan sastra dengan sosiobudaya sehingga karya sastra memiliki arti.143
Strukturalisme genetik sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa
terdapat hubungan antara teks sastra dengan hal-hal diluar teks. Hal diluar teks itu adalah
pengarang dan masyarakat. Dengan berbagai problema social yang dirasakan dan
dilihatnya pengarang menuliskannya kembali dalam bentuk imajinasi artistic dalam bentuk
karya sastra. Artinya karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebaqgai hasil
imajinasi pengarang yang merupakan refleksi gejala social yang ada.144
5. Gino Kritik
a. Feminisme
Dalam mengawali pembhasan tentang Gino Kritik, sebaiknya kita ketahui lebih
dahulu mengenai kritik sastra feminis. Menurut Emzir, bahwa kritik sastra feminis
merupakan kajian tentang wanita dan merupakan perkembangan dari feminism yang
masih bertujuan untuk mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-laki dan
pengakuan atas hasil karyanya yang juga berbicara tentang perempuan dan
persoalannya.145 Kritik sastra feminis menjadi alat bagi karya sastra yang beraliran feminis
dan membutuhkan kesadaran pembaca bahwa terdapat jenis kelamin lain yang memiliki
pandangannya sendiri dalam menilai karya sastra sehingga tidak ada metode atau model
konseptual tunggal dalam menerapkannya pada analisis sebuah karya sastra. Kritik ini
sekaligus juga membantu tujuan para feminis untuk membongkar segala persoalan yang
berkaitan dengan perempuan dalam hal menyamakan kedudukannya agar sejajar dengan
laki-laki.146
Menurut Novita, dkk bahwa Karya sastra sebagai protret kehidupan bermasyarakat
merupakan suatu karya yang dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh masyarakat. Satu di
antara bentuk karya sastra yang lahir dari kehidupan bermasyarakat adalah novel. Untuk
menulis sebuah karya sastra yang berbentuk novel, tidak dibatasi oleh siapa penulisnya
dan bagaimana latar kehidupan penulisnya. Penulis laki-laki dan perempuan memiliki hak
143
Ibid. Hal. 44.
144
Virry Grinitha. Nilai-Nilai Moral Dalam Novel Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Struktural Genetik. Jurnal Bahtera
PPs UNJ Thn-ke 14 (Jakarta: UNJ, 2015). Hal. 205.
145
Emzir, Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 20015). Hal. 160
146
Idib., Hal. 160.
157
yang sama untuk menuangkan ide dan gagasan mereka ke dalam sebuah karya sastra.
Kajian yang berkaitan dengan perempuan dalam dunia sastra adalah kajian feminisme.
Feminisme merupakan kesadaran terhadap ketidakadilan gender yang menimpa kaum
perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.147
Namun dari kedua penulis tersebut, akan terlihat jelas perbedaan dari cara
pengungkapan ide dan gagasan mereka tersebut. Satu di antara perbedaan yang jelas
terlihat dari kedua jenis tulisan yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan adalah ketika
mereka menulis cerita dengan mengangkat kisah hidup seorang perempuan sebagai tokoh
utama dalam sebuah novel.
Karya sastra yang ditulis oleh penulis laki-laki jika menggunakan penggambaran
budaya tradisional terhadap perempuan, maka akan terlihat jelas berbeda dengan
pemikiran pembaca, terlebih lagi jika pembaca tersebut adalah seorang perempuan.
Mereka akan merasa ada yang aneh dan asing tentang cerita tersebut, karena mereka
akan menganggap bahwa penggambaran kisah yang menceritakan tentang perempuan
yang ditulis melalui pandangan laki-laki tidak selalu sesuai dengan keadaan perempuan
yang sebenarnya.
Lain halnya dengan penulis perempuan, ketika mereka mengangkat kisah
kehidupan seorang perempuan yang dijadikan sebagai tokoh utama, mereka akan jauh
lebih mengerti tentang bentuk-bentuk dari pengalaman dan sifat asli seorang perempuan.
Hal itu dapat terjadi karena penulis itu sendiri adalah seorang perempuan. Gambaran
mengenai kisah kehidupan, sifat, dan watak perempuan akan lebih jauh direpresentasikan
dengan jelas oleh penulis perempuan. Perempuan yang berkedudukan sebagai penulis
atau pencipta suatu karya sastra yang berbentuk novel, akan lebih jelas mengangkat kisah
kehidupan tokoh seorang perempuan melalui penggambaran yang lebih terbuka. Oleh
karena itu, pada penelitian ini penulis lebih mengutamakan seorang perempuan yang
berkedudukan sebagai penulis atau pencipta sebuah karya sastra yang bentuk novel.
Kajian yang berkaitan dengan perempuan dalam dunia sastra adalah kajian
feminisme. Menurut Goefe (dalam Suharto) “Feminime ialah teori tentang persamaan
antara laki-laki dan perempuan dibidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan”. Selajan
147
Novita, Totok Priyadi, Agus Wartiningsih, Analisis Ginokritik Pada Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami. (Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Untan, Pontianak ). Hal. 1.
158
dengan pendapat tersebut, feminisme merupakan kesadaran terhadap ketidakadilan
gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Feminisme sebagai jembatan untuk menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Tujuan dari kajian feminisme adalah untuk meningkatkan derajat dan
menyetarakan kedudukan perempuan agar dapat dianggap setara dengan laki-laki.148
Melalui feminisme pula, kaum perempuan menuntut agar kesadaran kultural yang
selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terwujud
adalah keseimbangan yang dinamis. Feminisme menganggap dominasi patriarki
merupakan penyebab utama ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. Oleh
karena itu, melalui feminisme diharapkan dapat mengubah pandangan yang telah melekat
dalam kehidupan bermasyarakat tentang perempuan yang selalu dianggap sebagai kaum
nomor dua setelah laki-laki.149
b. Gino Kritik
Satu di antara kajian feminisme yang menganalisis tulisan atau karya sastra yang
dihasilkan oleh perempuan adalah kajian ginokritik. Ginokritik merupakan sebuah kajian
yang pembahasannya menganalisis karya-karya yang mengangkat kisah kehidupan
perempuan yang dihasilkan atau ditulis sendiri oleh penulis perempuan. Penulis
perempuan berperan sebagai penulis dan menentukan sendiri permasalahan, tema,
genre, dan struktur dari karya sastra tersebut. Ginokritik di bagi menjadi empat bagian
yaitu penulisan perempuan dan biologi perempuan, penulisan perempuan dan bahasa
perempuan, penulisan perempuan dan psikologi perempuan, dan penulis perempuan dan
budaya perempuan. Penelitian ini lebih difokuskan pada penulis perempuan dan bahasa
perempuan yang dibagi menjadi empat sub masalah yaitu, bentuk tulisan tersurat, bentuk
tulisan tersirat, ekspresi tubuh, unsur multifokal, dan bentuk implementasi pembelajaran
sastra ditingkat perguruan tinggi.
Sebuah istilah sastra yang diperkenalkan oleh seorang kritikus feminis Amerika
Elaine Showalter untuk mengklasifikasikan pekerjaan penting dalam memfokuskan secara
eksklusif pada literatur yang ditulis oleh penulis perempuan. Tujuan ganda adalah untuk
memulihkan ' hilang ' atau penulis perempuan yang ' diabaikan ' dan memahami dalam
konstruksi makna tekstual khususnya pengarang wanita. Istilah ini tidak banyak digunakan
148
Suharto, Sugihastuti.. Kritik Sastra Feminis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hal. 18.
149
Ibid. hal.18
159
saat ini, tetapi dua contoh kunci dari gynocriticism, yaitu Sandra Gilbert dan Susan Gubar,
perempuan gila di Attic dan Elaine Showalter A Sastranya sendiri, masih terbaca hari ini,
sehingga praktek dari gynocriticism, jika tidak kata , sangat hidup.150
Lebih lanjut, Elaine Showalter menjelaskan bahwa gynocriticism, atau gynocritics,
mengacu pada studi sastra perempuan sebagai penulis. Ini adalah kajian kritis dalam
menjelajahi dan merekam kreativitas perempuan. Gynocriticism mencoba untuk
memahami tulisan perempuan sebagai bagian fundamental dari realitas perempuan.
Beberapa kritikus sekarang menggunakan " gynocriticism " untuk merujuk pada praktek
dan " gynocritics " sebagai praktisi. Elaine Showalter menciptakan istilah gynocritics pada
tahun 1979 dalam esainya yang berjudul "Menuju Feminis Poetics." Tidak seperti kritik
sastra feminis, yang mungkin menganalisis karya penulis laki-laki dari perspektif feminis,
gynocriticism ingin membangun tradisi sastra perempuan tanpa menggabungkan penulis
laki-laki. Elaine Showalter merasa bahwa kritik feminis masih bekerja dalam asumsi laki-
laki, sementara gynocriticism akan memulai fase baru penemuan diri perempuan.151
Elaine Showalter mengembangan sub-kultur dalam literatur, dengan pengertian
bahwa penulis perempuan terdiri atas sub-kultur. Seperti yang dijelaskan oleh Susan
Spaull, Showalter menunjukkan tahap pertama untuk sub-kultur penulis perempuan adalah
Feminin, di mana penulis perempuan meniru bentuk laki-laki dalam menulis. Tahap kedua
adalah feminis, di mana penulis perempuan memberontak terhadap pemerintahan standar
laki-laki dan nilai-nilai sementara untuk menghindari stereotip negatif yang berkaitan
dengan perempuan dan fungsi perempuan, bakat, keterampilan, dan kemampuan; itu
adalah fase dengan munculnya kritik. Tahap ketiga adalah Female, di mana penulis wanita
menjalani penemuan dirinya dan mencoba untuk literaturnya sendiri dan berhenti menjadi
pengekor; itu adalah fase saat ini dan telah menyaksikan munculnya gynocriticism .152
Menurut penjelasan Spaull untuk Showalter, salah satu pertanyaan yang diajukan
dalam gynocriticism adalah apakah ada yang berasal dari estetika perempuan yang
terpisah dan didefinisikan dari perbedaan biologis dalam kognisi yang mengakibatkan
perbedaan antara bagaimana pria dan wanita membuat seni sastra. Lainnya adalah
apakah ada penggunaan bahasa perempuan yang terkemuka untuk "kalimat wanita";
150
Elaine Showalter. Quick reference. http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803095913896. hal. 1
151
Ibid. http://womenshistory.about.com/od/feminism/a/gynocriticism.htm. Hal. 1
152
Elaine Showalter, http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
160
apakah ada tipe perempuan yang spesifik berkaitan dengan plot dan karakter; apakah
sastra perempuan sebenarnya (atau tidak) cocok dengan ukuran yang obyektif untuk
sastra yang baik - dan apakah ukuran untuk sastra perempuan seharusnya menjadi
berbeda dengan sastra untuk pria. Masih dalam pertanyaan lain yaitu wanita menekankan
tema-tema universal yang berbeda dibandingkan laki-laki; wanita melakukan penggunakan
metafora dan citra yang berbeda dari laki-laki; bagaimana wanita memerankan karakter
dalam kaitannya dengan bagaimana pria melakukannya; dan yang wanita pilih adalah
materi pelajaran yang berbeda dari yang dipilih oleh laki-laki.
Singkatnya, menurut Xu Yue dari Zhejang University, Hangzhou, China,
kekhawatiran gynocriticism sendiri adalah dengan mengembangkan kritik khusus
perempuan yang mengkritik karya yang ditulis oleh perempuan, dengan tujuan
mengidentifikasi keunikan antara penulis perempuan dan penulis pria untuk menempa
jalan menuju generasi berikutnya dari penulis perempuan yang tidak perlu mengandalkan
template laki-laki dan model tertentu karena penulis perempuan bebas untuk mengetahui
dan mengembangkan kebesaran sastra perempuan mereka sendiri. Kekhawatiran utama
gynocriticism adalah untuk mengidentifikasi apa yang diambil untuk menjadi mata
pelajaran khas feminin dalam literatur yang ditulis oleh perempuan; untuk mengungkap
dalam sejarah sastra tradisi perempuan, dan untuk menunjukkan bahwa ada modus khas
pengalaman feminin, atau "subjektivitas," dalam berpikir, menilai, dan memahami diri
sendiri dan dunia luar.153
Metode ini menyelidiki dan mengambil subjek tulisan wanita yang telah
menghasilkan karya seperti Elaine C. Showalter, yang menciptakan istilah "gynocriticism,"
panggilan "sastra mereka sendiri. "tradisi sastra perempuan diperiksa untuk menemukan
bagaimana penulis perempuan secara historis dianggap sebagai budayanya sendiri dan
budaya mereka. Tujuan lain dari gynocriticism adalah untuk melestarikan kronik sejarah
tulisan perempuan dan untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang atau diabaikan
oleh penulis perempuan. Showalter menjelaskan penulis feminin sebagai bentuk dari
pengalaman umum budaya minoritas, budaya yang juga "Lainnya" dan yang anggotanya
berjuang untuk menemukan tempat yang biasanya disediakan untuk laki-laki berkulit putih.
Hal ini menyebabkan beberapa masalah marjinalisasi, karena beberapa pria dan wanita
153
Spaull. http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
161
mungkin juga lainnya dalam hal etnis orientasi pada seksual. Secara khusus, tempat
dalam warna feminisme wanita adalah isu kontroversial, sebagai penulis hitam seperti
Phillis Wheatley, Toni Morrison, Gwendolyn Brooks, dan Nikki Giovanni tantangan dan
masukkan canon. Praktisi lain dari gynocriticism termasuk Patricia Meyer Spacks dan
Susan Gubar.
Sementara Rahman menyatakan bahwa ginokritik merupakan teori yang dirancang
khusus untuk menganalisis karya tentang perempuan dan dihasilkan oleh penulis
perempuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa ginokritik
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah
penulis-penulis perempuan merupakan kelompok khusus dan apa perbedaan antara
penulis perempuan dan penulis laki-laki. Menurut Showalter (dalam Rahman)154
menyebutkan ginokritik memberikan tumpuan kepada penulis perempuan untuk memiliki
identitas sendiri serta menekankan tentang hak dan seluruh pengalaman perempuan. 155
Satu di antara bagian dari kajian ginokritik adalah penulis perempuan dan bahasa
perempuan. Menurut Cixous dalam Rahman menyebutkan bahasa perempuan memiliki
bahasa yang berbeda, perbedaan tersebut adalah dengan menggunakan rentak dan irama
yang khas serta bahasa sebagai suatu sistem yang dinamis dan sangat dekat dengan
kehidupan dan karakter seorang perempuan. Menurut Rahman penulisan perempuan dan
bahasa perempuan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tulisan tersirat dan tersurat dalam
bahasa perempuan, ekspresi tubuh dalam bahasa perempuan, dan unsur multifokal
perempuan.156
6. Psikoanalisis
Psikologi adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang objek
pembahasannya adalah keadaan jiwa manusia. Ilmu ini berusaha memahami perilaku
manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu dan juga memahami
bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan. Karya sastra merupakan hasil
ungkapan jiwa seorang pengarang yang di dalamnya melukiskan suasana kejiwaan
pengarang. Di dalam karya sastra terdapat hasil kreatifitas dari pengarang tersebut.
154
Rahman, Norhayati AB. 2012. Puitika Sastra Wanita Indonesia dan Malaysia. (Pulau Pinang: University Sains Malaya, 2012). Hal. 17.
155
Ibid.. Hal. 18.
156
Ibid. Hal. 130-131.
162
Mungkin dari pengalaman pribadi pengarang atau bukan pengalaman pribadi yang
tentunya pernah disaksikan oleh pengarang.
Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Fraud. Menurut Endrawara
(2008), psikoanalisis merupakan istilah khusus dalam penelitian psikologi sastra.
Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap penelitian sastra yang
menggunakan pendekatan psikologis. Umumnya, dalam setiap pelaksanaan
pendekatan psikologis terhadap penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis
ini hanyalah bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja terutama yang berkaitan
dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan
perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relative luas karena manusia
senantiasa menunjukkan keadaan jiwa yang berbeda-beda.157
157
Endrawara. Media Pembelajaran sastra Indonesia: Agepe (Online). http://goesprih.blogspot.co.id/
163
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian
lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis.
Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku
manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya.
Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap
terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia.
Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah
laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada
manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia
yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot
jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya
sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-
kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan
rasional. keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego
memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id
dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak
mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial).
Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral
mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai
kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas
masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja
dengan prinsip idealitas.
b. Pendekatan Psikologi Sastra
Pendekatan psikologi sastra adalah suatu cara analisis berdasarkan sudut
pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja
membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam
menghayati dan menyikapi kehidupan. Jadi, pendekatan psikologi ini adalah analisis
atau kritik terhadap suatu karya sastra yang menitik beratkan pada keadaan jiwa
manusia, baik terhadap pengarang, karya sastra, maupun pembaca. Menurut Rene
164
Wellek dan Austin Werren yang dikutip oleh Ratna menunjukkan empat model
pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya
sastra, dan pembaca. Pendekatan ini pada dasarnya berhubungan dengan tiga
gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan
bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan
karya sastra.158
Pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis
berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra
selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan
pancaran dalam menghayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi psikologi itu
sendiri adalah melakukan penjelajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap
tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh
tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya.
Emzir menegaskan bahwa objek psikologi bukan jiwa manusia secara langsung,
tetapi menifestasi dari keberadaan jiwa yang berupa perilaku dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan perilaku.159 Selanjutnya Eagleton mengatakan
Psychoanalytical literary criticism can be broadly divided into four kinds, depending
on what it takes as its object of attention. It can attend to the author of the work; to
the work's contents; to its formal construction; or to the reader.160 Artinya Kritik
sastra psikoanalisis secara luas dapat dibagi menjadi empat macam, bergantung
dari objek perhatiannya. Hal itu dapat memerhatikan; 1) pengarang karya, 2) isi
karya, 3) konstruksi formalnya; dan 4) pembaca.
Melakukan psikoanalisis pada pengarang merupakan urusan yang penuh
spekulasi, dan menemui masalah-masalah yang sama dengan yang kita teliti saat
kita mendiskusikan relevansi ‘maksud’ pengarang dalam karya kesusastraan.
Psikoanalisis pada ‘isi’ mengomentari motivasi tak sadar dari tokoh, atau signifikansi
dari psikoanalisis objek atau peristiwa dalam teks, memiliki nilai terbatas.
158
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004),
h. 61
159
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), h. 163.
160
Terry Eagleton. Literary Theory an Introduction. (Australia : Blackwell Publishing, 1996), h.155
165
166
REFERENSI
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Emzir dan Saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
_____Gynocriticism.http://womenshistory.about.com/od/feminism/gynocriticism .html.
_____http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
Faruk, H.T. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strulturalisme-genetik sampai Post-
modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Novita, Totok Priyadi, Agus Wartiningsih, Analisis Ginokritik Pada Novel Pengakuan Eks
Parasit Lajang Karya Ayu Utami. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP
Untan, Pontianak.
Rene Eellek dan Austin Warren, 2004. Theory of Literature. London: Harcourt Brace
Jovannovich, Publisher.
Rahman, Norhayati AB. 2012. Puitika Sastra Wanita Indonesia dan Malaysia. Pulau
Pinang: University Sains Malaya.
Spaull. http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
168
ContoH Hasil Penelitian
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk penulisan perempuan dan bahasa
perempuan pada novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif dan bentuk penelitian kualitatif. Hasil analisis data
terhadap analisis ginokritik pada novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami diperoleh
hasil yang berupa penulisan perempuan dan bahasa perempuan yang tercermin dalam bentuk
tulisan tersirat dalam bahasa perempuan, bentuk tulisan tersurat dalam bahasa perempuan.
Ekspresi tubuh dalam bahasa perempuan yang terbagi menjadi tiga jenis yaitu secara langsung
berterus terang dengan menggunakan media bahasa yang terbuka, terpecah-pecah, dan mengalir.
Unsur multifokal dalam bahasa perempuan. Hasil yang terakhir yaitu implementasi pembelajaran
sastra di tingkat perguruan tinggi.
Oleh:
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang nilai-nilai moral dalam novel karya Habiburahman El Shirazy ditinjau
dari structural genetic. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
analisis isi. Pengumpulan data menggunakan teknik analisis dokumentasi, pustaka, dan
catat. Analisis interpretasi data menunjukkan (1) adanya nilai-nilai moral dalam structur
novel Ayat-Ayat Cinta yang meliputi dimensi manusia dengan Tuhan yaitu religious,
dimensi manusia dengan dirinya, dimensi manusia dengan manusia, yaitu sadar akan hak
dan kewajiban diri sendiri dan orang lain dan dimensi manusia dengan lingkungan yaitu
adanya keperdulian dan kekaguman terhadap keindahan alam yang diciptakan oleh sang
pencipta, (2) nilai-nilai moral yang ditinjau dari sudut latar social pengarang yang
mengkondisikan lahirnya novel Ayat Ayat Cinta; (3) nilai-nilai moral ditinjau dari sudut
pandangan dunia pengarang dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang meliputi dimensi manusia
dengan manusia, dimensi manusia dengan dirinya sendiri, dimensi manusia dengan
169
lingkungannya. Penemuan-penemuan membawa ke arah rekomendasi terhadap siswa
agar membekali diri dengan berbagai bacaan penunjang lainnya untuk menemukan nilai-
nilai moral yang terkandung dalam karya sastra.
Kata kunci: Nilai-nilai moral, novel, structural genetik.
170
PENDEKATAN BERORIENTASI PADA PEMBACA (RESEPSI SASTRA)
oleh:
Agus sulaeman, Bejo Sutrisno dan Momon Adriwinata
================================================================
Abstrak
Dalam makalah ini akan diberikan pemahaman tentang sudut pandang
atau pendekatan dalam menganalisis penelitian sastra salah satunya
adalah pendekatan berorientasi pada pembaca (resepsi sastra). Di
dalamnya meliputi teori, latar belakang, perkembangan, tokoh, metode
dan pendekatan resepsi sastra.
A. PENDAHULUAN
161
Umar Junus. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia, hal. 1
171
cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu satra terdapat
disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut
merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga
bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman
sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori
sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi
sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.
Dalam kritik sastra terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan
ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan objektif dan pendekatan
pragmatik. Khususnya pendekatan pragmatik, dimana pendekatan pragmatik yang
memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dan pendekatan pragmatiklah
yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang
sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Seperti halnya Teeuw 162 beliau menegaskan
bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran
sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi
sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya
dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Karya sastra sangat
berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan
pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan
makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada
pembaca yang memberikan nilai. Dan tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut
hanya akan menjadi artefak.
Selain itu dalam penelitian sastra terdapat perbedaan sudut pandang dalam
menganalisinya. Perbedaan sudut pandang inilah yang kemudiaan memunculkan
adanya pelbagai jenis sudut pandang yang dipakai dalam penelitian sastra. Klarer 163
merinci bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kritik sastra dapat
berorientasi pada teks (filologi, retorik stilistik, formalisme, dan strukturalisme, kritik baru,
semiotik, dan dekonstruksi); pendekatan yang berorientasi pada pengarang (kritik biografis
dan psikoanalisis); pendekatan yang berorientasi pada pembaca; teori resepsi (teori
162
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Satra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, h.1992
163
Klarer, Mario. 1999. An introduction to literary studies. Rout ledge, hh.78-79
172
respons pembaca dan estetika resepsi); dan pendekatan yang berorientasi pada konteks
(teori sastra Maris, historisisime baru dan teori sastra feminisme dan teori gender).
Pertemuan antara pembaca dan teks sastra menyebabkan terjadinya proses
penafsiran atas teks oleh pembaca sebagai objekif, yang hasilnya adalah pengakuan
makna teks. Pembaca selaku pemberi makna akan senantiasa ditentukan oleh ruang,
waktu, golongan sosial, budaya dan pengalamannya .
Penilaian terhadap karya sastra tidak lepas dari peranan pembaca sebagai
penikmat sastra. Dalam kurun waktu terakhir ini para ahli sastra menyadari pentingnya
pembaca sebagai penerima informasi dan pemberi makna terhadap sebuah karya sastra.
Dalam kaitannya pembaca sebagai penerima informasi dan pemberi makna, maka
diperlukan pembahasan mengenai resepsi pembaca terhadap karya sastra tersebut.
Pembaca memiliki kebebasan untuk memberikan makna atau arti sebuah karya
sastra. Setiap pembaca dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra
yang dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya itu dikaitkan dengan pengalaman
batin pembaca, pengalaman hidup pembaca dan dari situlah makna dibangun.
Sebenarnya pemberiaan tanggapan pembaca terhadap karya sastra sudah
berlangsung lama dalam kehidupan sastra. Pengamat sastrapun menyadari akan fungsi
komunikasi sastra. Mukarovsky, misalnya sejak tahun 80-an telah membicarakan hal ini
dalam sistem semiotikanya. Dikatakannya, karya sastra sebagai sistem tanda dibedakan
dalam dua asfek, ialah penanda (significant) dan petanda (signifie). Penanda merupakan
artefak, struktur mati, pertandalah yang menghubungkan artefak itu kedalam kedaran
penyambut menjadi objek estetik (Fokkema, 1998; 81). Dengan kata lain, karya sastra
tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosial, dalam perkembangan
pemikirannya Mukarovsky akhirnya sampai pada defenisi bahwa karya sastra merupakan
ragam realisasi diri seorang subjek terhadap dunia luar. Jadi lewat fungsi kesenian
pembaca melaksanakan diri, dialah yang menjadi pusat peristiwa semiotik (Teeuw, 1984 :
188). Di satu pihak Mukarovsky melihat karya sastra merupakan arus kesinambungan
sepanjang masa, sebagai struktur yang dinamik, tetapi di pihak lain pembaca pun
merupakan variabel dalam ruang dan waktu. Seperti yang dikatakannya bahwa karya
sastra menyatakan dirinya sebagai tanda dalam struktur intristik dalam hubungannya
dengan masyarakat, pencipta dan penanggapnya.
173
Gagasan Mukarovsky ini dikembangkan oleh Feli Vodicka dengan
menggabungkannya dengan pandangan fenomenologi Roman Inggarden. Dalam
pandangan Roman Inggarden karya sastra mempunyai empat strata: (1) strata formasi
bunyi linguistik, (2) strata kesatuan arti, (3) strata objek yang dilukiskan, dan (4) strata
aspek skematik yang menghadirkan objek yang dilukiskan. Vodicka mendasarkan konsep
konkretisasinya pada pertentangan artefak dan objek estetis. Baginya kebebasan
pembaca jauh lebih besar. Masyarakat pembacalah yang menikmati, menafsir,
mengevaluasi secara estetik karya tersebut sehingga mencapai realisasinya sebagai objek
estetik.
Sebuah karya sastra selalu berubah di bawah perubahan kondisi waktu, tempat,
masyarakat dan bahkan individu. Menurut Vodicka masalah resepsi sastra yang terpenting
adalah studi konkretisasinya. Pandangan ini nanti akan memperlihatkan kedekatannya
dengan pandangan Jauss yang melihat resepsi sastra sepanjang sejarahnya. Bagi
Vodicka makna sebuah karya sastra tidak diberikan secara objektif, melainkan sebuah
proses konkretisasi yang diadakan terus-menerus oleh pembaca yang susul menyusul
dalam waktu atau berbeda-beda menurut situasinya164.
Pandangan kedua tokoh strukturalis aliran Praha ini baru dikenal luas pada tahun
70-an, setelah karya-karya penting mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Karena itu sodokan yang diberikan Hans Robert Jauss dalam tahun 1967 lewat tulisannya
yang berjudul Literaturqeschichte als provokation (Sejarah sastra sebagai tantangan)
mempunyai daya gugah yang lebih besar dalam dunia keilmuan sastra165. Ia mampu
mengalihkan orientasi terhadap karya sastra kepada pemberian peranan yang lebih besar
kepada pembaca, sedangkan sebelumnya lebih dititikberatkan perhatian pada karya
sastra, pengarang ataupun hubungan antara karya sastra dengan alam.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Teori Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks
sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan
terhadap teks itu. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang,
164
A. Teeuw .1984. Sastra dan Ilmu Satra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, hal. 191-192
165
Ibid, hal. 193
174
waktu, dan golongan sosial budaya. Hal ini berarti bahwa karya sastra tidak sama
pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh
golongan masyarakat tertentu. Hal ini adalah fakta yang diketahui oleh setiap orang
yang sadar akankeragaman interpretasi yang diberikan kepada karya sastra. Teori
resepsi satra dengan Jauss sebagai orang pertama yang telah mensistematiskan
pandangan tersebar ke dalam satu landasan teoritis yang baru untuk
mempertanggungjawabkan variasi dalam interpretasi sebagai sesuatu yang wajar.
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere dan Inggris yaitu reception
yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca.166 Dalam arti luas
resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap
karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan
tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai
proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan
yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra.167
Teeuw168 menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya
sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan
kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca
juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra
mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Pradopo mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian
resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini
menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian
diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang
.169
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode
166
Nyoman Kutha Ratna. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hal. 165
167
Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal. 218
168
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, h.207
169
Ibid, ha. 210-211
175
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam
bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu
karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan
sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir
memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan
moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan
permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu,
dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin),
reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca.
Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang
dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan
pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Di dalam teori resepsi sastra mementingkan tanggapan pembaca yang muncul
setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra. Resepsi sastra adalah
bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibaca
sehingga memberikan tanggapan terhadapnya (Junus, 1985: 1). Tanggapan ada dua
macam yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Pasif
maksudnya bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya-karya sastra atau
dapat melihat hakekat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif
maksudnya bagaimana pembaca “merealisasikan” karya sastra tersebut.
Sementara Emzir mengemukakan resepsi sastra merupakan penelitian yang
memfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan
makna terhadap karya sastra sehingga memberikan reaksi atas teks sastra tersebut.170
170
Emzir dan saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Grafindo, hal.195
176
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian
banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi
seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar
saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan
dengan strukturalis, postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu
ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang
dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan
tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks,
pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan
ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer
menjadi lebih tampak.
171
Umar Junus. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, hal. 29
177
berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca
bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya.
Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah
sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi
tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang
keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
172
Emzir dan saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Grafindo,hh.199-200
179
a. Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama
seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskrpsi
yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya
sastra sesuai dengan pemahaman pembacaan masing-masing. Koherensi
karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh wawasan
ekspektasi, pengalaman kesusastraan dan wawasan ekspektasi pembaca;
kritikus dan pengarang.
b. Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis
karya sastra, yang meliputi prapemahaman mengenai genre, bentuk dan tema
dalam karya yang sudah diakrabi sebelumnya, dan dari pemahaman mengenai
oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari.
c. Wawasan ekspektasi memungkinkan pembaca mengenali ciri artistik dari
sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara wawasan
ekspektasi dengan wujud sesbuah karya sastra yang baru, maka proses
penerimaan dapat mengubah ekspektasi itu baik melalui penyangkalan
terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran
bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.
d. Rekontruksi wawasan ekspektasi terhadap karya sastra sejak diciptakan
diterima pada masa lampau akan menghasilkan pelbagai varian resepsi dengan
semangat zaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan Platonis
mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal dan abadi untuk semua
penafsir perlu ditolak.
e. Teori penerimaan estetik tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk
karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar
memasukan karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal
posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
f. Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi
historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka
seseorang dapat menggunakan presfektif sinkronis untuk menggambarkan
persamaan, perbedaan, pertentangan ataupun hubungan antara sistem seni
sezaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan
lebih mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem
180
sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen strukturalis yang
tak dapat dipisahkan.
g. Selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkrinis dan diakronis,
tugas sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah umum. Fungsi
sosial dari karya sastra dapat berwujud dengan pengalaman sastra pembaca
masuk ke dalam horizon ekspektasi mengenai kehidupan yang praktis,
membuat pembaca semakin memahami duniannya dan akhirnya memberi
pengaruh pada tingkah laku sosialnya.
2) Wolfgang Iser
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu
bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan
dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30)
memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam
hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca
yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit,
instansi pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi
di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan
pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri,
yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Isser (dalam
Emzir, 2015: 202) menyebut aspek sastra itu ” indeterminacy”,yang berarti teks
yang menarik bagi pembaca. Berikut ini beberapa kemungkinan indeterminacy
tersebut:173
a. Dengan cara menghilangkan elemen-elemen yang merupakan self-evident,
tulisan naratif menciptakan gap yang harus diisi oleh pembaca.
b. Teks memrovokasi pembaca untuk berfikir mengenai kemungkinankelanjutan
teks ini(jelas terlihat dalam novel yang diterbitkan secara bersambung)
c. Karya sastra modern sering memiliki akhir yang “terbuka” yang tidak
memecahkan semua misteri yang ada dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan
pembaca tak terjawab.
173
Ibid, h.202
181
Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser
menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau
karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk
menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri
sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan
merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut.
Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung),
pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra,
sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser (Ibid.:
182-203) juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh
penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang
kosong mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya
menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif
dapat berpartisipasi.
3) Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks
kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus
mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu
penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang
berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu
harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi
mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi
dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang
dimaksudkan oleh penulisnya.
174
Pradopo, opcit, h.207
183
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra
yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang
digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi
dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca
sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh
karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian
eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar
dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah
(dalam Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat
mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian
eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden,
pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah
dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes,
yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya
yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan
metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas
cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu
zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi
masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang
dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang
diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi
responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang
berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati
termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra
maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor
yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.
185
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang
pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat
Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan
serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan
tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah
penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul
Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini,
Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra
yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang
digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu
antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam
penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok
tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu
tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin
ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra
secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam
artikel yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary
dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani
menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses
penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh
pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan
antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini,
Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame
Bovary di Indonesia.
Selain itu, sajak Chairil juga berjiwa revolusioner, seperti dalam sajak “Cerita
buat Dien Tamaela”.
Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
187
Begitulah beberapa resepsi H.B.Jassin terhadap sajak-sajak Chairil Anwar yang
terdapat kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia di dalamnya. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa H.B.Jassin memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak
Chairil Anwar. Ia memergunakan kriteria estetik dalam penilaiannya (dalam Junus,
2003:223—224).
Berbeda halnya dengan direktur Panji Pustaka. Ia beranggapan negatif terhadap
sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menilai sajak-sajak Chairil bersifat individualis, kebarat-
baratan, tidak sesuai adat ketimuran, dan tidak menggunakan kiasan-kiasan seperti
kebiasaan sastra Indonesia lama.
Jauh dari zaman itu, pada masa Pra-G30S, timbul penilaian baru terhadap
Chairil Anwar dan sajak-sajaknya. Penilaian tersebut berasal dari Sitor Situmorang,
tokoh LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dalam artikelnya yang berjudul Chairil
Anwar dalam Alam Manipol. Dalam artikelnya tersebut, Situmorang menolak sajak-
sajak Chairil karena tidak sesuai perkembangan Manipol. Isi dan bentuk yang
dibawakan Chairil Anwar telah memenuhi syarat artistik, bahkan dapat dianggap tinggi.
Namun isinya bertentangan dengan revolusi. Dikemukakan bahwa dalam dewasa itu,
dalam menghargai Chairil harus disertai pembatasan dalam ruang dan waktu, dalam
falsafah sastra maupun sejarah sastra. Ia juga menuliskan bahwa Chairil tidak turut
berevolusi, karena memilih tetap tinggal di Jakarta di waktu pendudukan Belanda,
sedangkan seniman-seniman lain pergi ke Yogya turut berjuang. Selain itu, dewasa ini
Chairil terbatas sebagai “bahan” sejarah di bidang “teori”, itu pun sektor kolonial
sejarah Indonesia. Berdasarkan artikel tersebut, Situmorang menganggap Chairil
Anwar sebagai individualis tak bertanah air dan kosmopolitan versi Indonesia (dalam
Junus, 2003:229).
Satu lagi resepsi Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1977 yang merupakan wakil
dari resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi saja-sajak Chairil Anwar secara ekstentik
maupun ekstra estentik. Dalam esainya yang berjudul Penilaian Chairil Anwar Kembali,
STA menilai Chairil memebawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan
kelincahan yang beru terhadap sastra Indonesia (dalam Junus, 2003:230).
Sesuai penilaian di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar
sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan dan resensi. Ada peresepsi yang
188
menghargai positif, ada juga yang negatif. Akan tetapi, pada umumnya para peresepsi
menilai sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, walaupun didasarkan horizon harapan
masing-masing peresepsi.
C. SIMPULAN
Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya
sastra, dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang
bisa didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara – cara pemberian makna terhadap karya,
sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori
yang memfokuskan pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan
memaknai sebuah karya sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda
dengan orang lainnya, dan bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda
dalam memaknai karya sastra. Sehingga perbedaan itulah yang memunculkan akan
adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan ini dari estetika resepsi yakni bahwa
karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para
pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah
karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan – tanggapan yang lebih
lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan
ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974:14).
Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai
landasannya, maka bisa dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu: (1)
penelitian resepsi sastra secara eksprimental; (2) penelitian resepsi sastra lewat kritik
sastra, (3 penelitian resepsi interstektualitas.
189
DAFTAR PUSTAKA
Emzir dan saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Grafindo
Fokkema. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst &
Company
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Satra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
190
PENDEKATAN BERORIENTASI KONTEKS
(Post-Kolonialisme, Post-Modernisme, Gender dan Feminisme)
Oleh:
Arini Noor Izzati, Audi Yundayani, Frimadhona Syafri, dan Lidwina Sri Ardiasih
=============================================================
Abstrak
D. Pendahuluan
Perkembangan karya sastra baik dalam cakupan internasional maupun nasional
banyak yang dipengaruhi oleh perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di
tempat/daerah dan masa/periode karya sastra tersebut dipublikasikan. Beberapa penulis
teks sastra mengangkat perspektif kajian budaya yang merupakan pandangan yang
membawa karya sastra tersebut pada penekanan fenomena-fenomena nyata atau fakta
yang terjadi. Misalnya, penulis menggunakan penokohan yang didukung dengan latar
belakang waktu dan tempat (setting) berdasarkan fakta yang terjadi sebenarnya.
Dalam mengapresiasi atau mengaji suatu karya sastra berbagai sudut pandang
seperti pengarang, pembaca, dan konteks dapat digunakan sebagai pendekatannya.
Terkait dengan pendekatan konteks, terdapat tiga orientasi pendekatan konteks yang
dapat digunakan yaitu, berorientasi pada konteks post-kolonialisme, post-modernisme,
serta gender dan feminisme.
191
Sastra dengan pendekatan berorientasi post-kolonial “menginvestigasi apa yang
akan terjadi ketika dua budaya bertemu dan bertentangan dan ketika salah satunya
dianggap berkuasa dan satunya dianggap lebih superior ketimbang negara lain”,
175
sedangkanPost-modernisme berarti, ‘setelah modernisme’. Gerakan ini merupakan
reaksi terhadap modernisme yang dipengaruhi oleh kekecewaan yang ditimbulkan oleh
Perang Dunia II.Post-modernisme merupakan “kritikan terhadap kecenderungan pemikiran
176
era modern yang berkarakter universalistik, final, dan objektivisme” atau dengan kata
lain periode ini mengacu pada keadaan yang tidak memiliki hirarki pusat, bersifat ambigu,
dan beragam.Perkembangan dalam masyarakat, ekonomi, dan budaya pada tahun 1960-
an sangat dipengaruhi oleh post-modernisme.Selanjutnya, Emzir juga mendeskripsikan
bagaimana sastra dengan pendekatan konteks berorientasi pada gender dan feminisme
berkembang di era post-modern dengan menjelaskan bahwa “kritik sastra feminis berasal
dari hasrat para feminis untuk mengaji karya penulis wanita di masa silam untuk
mewujudkan citra wanita dalam karya penulis pria yang menampilkan wanita sebagai
makhluk dengan pelbagai cara ditekan.” 177
Makalah ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan karakteristik umumPost-
kolonialisme, Post-modernisme, dan gender/feminisme, 2)mendeskripsikan perkembangan
sastra sesuai dengan konteks Post-kolonialisme, Post-modernisme, dan
gender/feminisme, 3) menganalisis karya sastra dengan pendekatan berorientasi Post-
kolonialisme, Post-modernisme, dan gender/feminisme.
E. Pembahasan
I. Pendekatan Berorientasi Konteks Post-kolonialisme
a. Definisi Post-kolonialisme
178
Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba berasal
dari kata Latin/Romawi ‘colonia’ yang berarti ‘tanah pertanian’ atau ‘pemukiman’, dan
mengacu kepada orang-orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih
175
Emzir, Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 90
176
Ibid., h. 88
177
Ibid., h. 158
178
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj). Yogyakarta: BentangBudaya, 2003
192
mempertahankan kewarganegaraan mereka. Berarti, kolonialisme yang secara etimologis
tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam wilayah atau
perkampungan, mempunyai konotasi negatif sesudah terjadinya interaksi yang tidak
seimbang antara pendatang baru dengan penduduk lama.Loomba179menjelaskan bahwa
dalam pembentukan pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik
dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru yang terkadang ditandai
dengan usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah
ada di sana dengan praktik tidak menyenangkan.
180
Selanjutnya,Ashcroft menjabarkan penggunaan istilahposkolonial adalah untuk
mencakup seluruh kebudayaan yang pernahmengalami kekuasaan imperial dari sejarah
awal kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Hal ini disebabkan oleh adanya kontinuitas
‘penjajahan’ yang terus berlangsung sejak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa
hingga sekarang ini.Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa poskolonial
tidak hanya dibatasi pada fenomena yang terjadi pada masa pascakolonial saja, tetapi
juga meliputi masa kolonial.
Konsep dasar post-kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari pemahaman ulang
tentang orientalisme yang dibedah oleh Edward Said dalam karyanya Orientalisme yang
pertama kali terbit pada tahun 1978. Said181mengungkapkan orientalisme adalah suatu
gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat
antara ‘Timur’ (the orient) dan (hampir selalu) ‘Barat’ (the Occodent). Orientalisme
dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, berhubungan
dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan
pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya,
menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahnya. Pendeknya, orientalisme
sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.182
179
Ibid., h. 2
180
Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Hellen Tiffin, Menelanjangi Kuasa Bahasa:Teori dan Praktik Sastra Poskolonial.
(Yogyakarta: Qalam, 2003), h. xxii
181
Edward W. Said,Covering Islam: Bias Liputan Barat atas Dunia Islam.(Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h. 3.
182
Edward W. Said, Orientalisme,(Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 4
193
Hal itu sejalan dengan yang dikemukan Emzir 183Post-kolonialisme mulai hangat
dibicarakan ketika Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism pada tahun
1978. Said membedakan tiga penggunaan istilah “orientalisme” yaitu, pertama,
menunjukkan periode hubungan budaya dan politik antara Eropa (Barat) dan Asia (Timur);
kedua, istilah penggunan yang menunjukkan studi akademik yang berkaitan dengan
bahasa dan budaya Asia yang perjanjiannya dilaksanakan pada awal abad le-19; ketiga,
berkaitan dengan pandangan stereotipe terhadap Asia timur yang dikembangkan oleh
para ahli (penulis Barat).
184
Menurut Ratna tesis utama Said dalam Orientalisme adalah hubungan antara
pengetahuan dengan kekuasaan sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui The
Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Dalam hal ini Ratna menganggap
bahwa timur diproduksi sebagai pengetahuan yang tidak semata-mata ilmu melainkan
kolonialisme itu sendiri, di dalamnya terdapat misi politis, landasan ideologi dan
kepentingan-kepentingankolonial.
185
Dipertegas oleh Said dalam Emzir , bahwa orang-orang Eropa pada abad ke-19
mencoba menjustifikasi penakhlukan teritorial mereka dengan menyebarkan keyakinan
yang palsu, yang disebut “orientalisme, yaitu bentukan stereotipe untuk orang-orang non-
Eropa seperti malas, tidak berdaya, amoral secara seksual, tidak bertanggung jawab dan
liar dan sebagainya.
Teori dari Makaryk186 mendefinisikan postkolonial sebagai kumpulan strategi
teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan seperti sastra, politik, dan
sejarah dari negara-negara bekas koloni-koloni Eropa dan hubungan negara-negara itu
dengan belah dunia sisanya. Hal itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
post-kolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala
kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang
terjadi di negara-negara bekas koloni Eropamodern.
183
Emzir, Saifur Rohman, Op. Cit., h. 85
184
Ratna, 2008, h. 84 diunduh 27 April 2016 pada http://eprints.uny.ac.id/9833/3/BAB2%20-%2005210141027.pdf
185
Emzir, Saifur Rohman, Op. Cit., h. 87-88
186
Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam SastraIndonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 14
194
Post-kolonialisme kerap digunakan sebagai sebuah pendekatan dalam analisis
sastra. Tulisan-tulisan yang dikaji umumnya merupakantulisan-tulisan dari budaya
bangsa-bangsa yang pernah dijajah seperti Australia, Selandia Baru, Afrika, Amerika
Selatan dan bangsa-bangsa bekas jajahan lain atau masyarakat yang dulu didominasi.
Kacamata atau pendekatan yang digunakan di luar pendekatan yang berdasarkan
tradisi “orang kulit putih”(bekas bangsa penjajah) yang memiliki latar belakang budaya,
politik, filsafat dan budaya Eropa. Oleh para kritikus Marxis, kajian sastra semacam ini
sering disebut sebagai sastra dunia ketiga,namun istilah ini dianggap merendahkan187
Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi
kajian sastra.Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan
kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori
sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan
sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling
mengisi.
Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain)
yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik
maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik
kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan,
kekuasaan kolonial.Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk
hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.
Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam
dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient).
Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas
kebiadaban Timur.Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi
Barat untuk memberadabkan bangsa Timur.Kajian Said ini memangberangkat dari teori
hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian.
Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama,
secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan
hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk,
kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang
187
Emzir, Saifur Rohman, Log. Cit., h. 86
195
mengaskan bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk
berkuasa.Argumen utama dosen kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa
kekuasaan imperial Barat selalu menemui perlawanan terhadap imperium.
Apa yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktik-
praktik poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga berawal
dari konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual Prancis yang tampil
plontos ini, diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi wacana) adalah cara
menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas
yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial
tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini.
Dengan cakupan pengertian seperti ini, Foucault menulis salah satu judul bukunya
dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan pengetahuan seperti dua sisi mata
uang.Kekuasaan (dan sekaligus pengetahuan) bukanlah sebuah entitas atau kapasitas
yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan sebuah jaringan yang
tersebardi mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser.
Selanjutnya untuk dapat memahami pendekatan berorientasi konteks
poskolonialisme ini, berikut uaraian ada beberapa konsep mendasar dalam istilah
poskolonial:
1. subaltern
Pertama-tama digunakan oleh Gayatri C. Spivak. Subaltern adalah kelas sosial yang
rendah, terdholimi. Semua orang yang tidak diklasifikasikan sebagai elit. Elit adalah
semua orang-orang dominan, asing maupun pribumi.188
2. the other (liyan)
sama dengan subaltern, yakni orang-orang atau komunitas diluar mainstream. Mereka
yang bukan dari golongan kita (we) dominan.
3. hibriditas
Hasil persinggungan kultur yang membuahkan bentuk baru. Manusia-manusia
inlander/pribumi/kulit hitam, namun memitoskan barat. Macaulay memberikan contoh
kongkrit sebuah kelas orang-orang, yang darah dan warnanya India, tetapi selera, opini,
188
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj). Yogyakarta: BentangBudaya, 2003, h. 224
196
189
moral, dan inteleknya Inggris. Premis dasarnya tentusaja adalah bahwa orang-orang
india meniru tetapi tidak berhasil sepenuhnya memproduksi nilai-nilai Inggris.
4. creol
Munculnya satu bentuk bahasa tertentu yang dihasilkan dari percampuran dua bahasa.
Kreolisasi menekankan bahasa sebagai sebuah praktik kultural dan penciptaan bentuk-
bentuk ekspresi baru yang penting bagi bahasa itu sendiri. 190
189
Ania Loomba, Op.Cit., h. 224
190
Gandhi, L.,Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj).Yogyakarta: Qalam, 2001, h. viii
197
Post-modernisme memiliki salah satu ciri yang paling mendasar berupa keraguan
atau ketidakpercayaan terhadap totalisasi yang di dalam ilmu pengetahuan menyatakan
diri dalam bentuk yang oleh Lyotard disebut sebagai grand narrative. Jean Francois
Lyotard merupakan filsuf aliran poststrukturalisme, tetapi beliau dikenal sebagai salah satu
tokoh aliran filsafat postmodernisme yang terkenal dengan gagasannya tentang penolakan
Grand Narrative yang merupakan suatu narasi besar atau suatu cerita besar yang bersifat
menyatukan, universal, dan total. Lyotard mengasosiasikannya seperti program partai atau
politik, sementara narasi kecil diasosiasikan sebagai kreativitas lokal. Penolakan narasi
besar, menurut Lyotard dapat diartikan sebagai penolakan terhadap penyatuan,
universalitas dan totalitas. Lyotard berpandangan bahwa Grand Narrativemerupakan salah
satu ciri pembeda yang paling menonjol antara filsafat post-modernisme dengan filsafat
modernisme. Dalam pemikiran filosofisnya, Lyotard banyak dipengaruhi Karl Marx yang
tidak menyukai kesadaran universal, Nietzsche yang mempengaruhi pemikiran Lyotard
dalam hal bahwa tidak ada perspektif dominan dalam ilmu pengetahuan, sementara
pengaruh Immanuel Kant adalah terkait dengan konsep yang membedakan antara domain
teoritis (ilmiah), praktis (etis) dan estetis, masing-masing memiliki aturan dan ketentuan
masing-masing. Sigmund Freud juga mempengaruhinya terkait pemahaman tentang politik
hasrat.
Sekitar tahun 1960-an, istilah post-modernisme muncul pertama kali di kalangan
seniman dan kritikus yang ada di kota New York, dan pada tahun 1970-an diambil alih oleh
para teoretikus Eropa, dan salah satunya adalah Jean-François Lyotard, yang melalui
bukunya yang berjudul, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge, tidak
sependapat dengan beberapa hal yang terkait dengan; 1) mitos yang melegitimasi jaman
modern (“narasi besar”), 2) pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan 3) gagasan
bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan
pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia. 191
Keraguan dan ketidakpercayaan atas totalisasi itu bermuara pada keterbukaan
terhadap atau kesediaan menerima inkonsistensi, ketidaksejajaran antar unsur
pembangun dunia, dan keanekaragaman.192Teori dialogis Bakhtim sekitar tahun 1920
191
M. Chairul Basrun Umanailo, Post-Modernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard. https://www.academia.edu. Diunduh pada
26 April 2016
192
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003), h. 142
198
sudah memperlihatkan kecenderungan ke arah post-modernisme yang baru muncul
sekitar tahun 1950-an dan baru dikenal dan diakui pada tahun 1970-an setelah munculnya
tulisan-tulisan Lyotard.193 Banyak orang yang melihat bahwa post-modernisme merupakan
kemampuan untuk memaknai perubahan kondisi sosial dan budaya, sementara sebagian
orang berpendapat bahwa post-modernisme merupakan reaksi sementara terhadap
perubahan sosial.
Pada dasarnya post-modernisme merupakan koreksi terhadap berbagai
kegundahan yang tidak terjawab di masa modern. Pauline Rosenau (1992) seorang tokoh
post-modernisme dengan gamblang mendefinisikan post-modern sebagai 1) kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Post-modern cenderung
mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yang berakumulasi
pada pengalaman peradaban Barat, seperti industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi,
negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas
modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,
peraturan impersonal dan rasionalitas, 2) teoritisi post-modern cenderung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia.
Post-modernisme bersifat relative, dengan kebenaran yang relatif dengan kenyataan
(realitas) adalah relative yang keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu
sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan
mengkonstruk identitas diri.
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari
postmedernisme.Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas
tradisional dan objektivitas.Nietzsche menyatakan bahwa ada banyak macam mata,
termasuk Sphinx juga memiliki mata, oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak,
karena ada banyak kebenaran dan tidak ada kebenaran. Menurut Romo Tom Jacob, kata
‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap
modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-
modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan
terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak
jarang menjurus ke arah sekularisme.
193
Faruk. Ibid. h. 142
199
Menurut Thomas Oden, Pemikir evangelical, periode modern dimulai dari
runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya
komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme dilihat sebagai
suatu masa yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran
dengan hanya menggunakan penalaran manusia, sehingga secara simbol, penalaran
menggantikan posisi Tuhan dan naturalisme menggantikan posisi
supernatural.Modernisme dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia,
kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana
rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Di sisi lain,
post-modernisme merupakan sebuah reaksi melawan modernism, salam postmodernisme,
pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas
digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran
disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.Identitas diri muncul dari
kelompok.Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi
lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap
semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan.
Dalam buku Teori dan Pengajaran Sastra, disebutkan delapan karakter sosiologis
post-modernisme yang menonjol, yaitu;
a. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi) dan diterimanya
pandangan pluralisme relativisme kebenaran
b. Meledaknya industri media massa, sehingga menjadikan dunia terasa kecil dan
menjelma bagaikan “agama” atau “Tuhan”
c. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan sebagai reaksi ketika orang semakin
meragukan kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang gagal memenuhi janji
membebaskan manusia
d. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu
e. Semakin menguatnya wilayah urban sebagai pusat kebudayaan, menguatnya dominasi
negara maju atas negara berkembang
f. Semakin terbuka peluang untuk menyampaikan pendapat, mendorong proses
demokrasi
200
g. Munculnya kecenderungan pencampuradukan serpihan realitas sehingga sulit
ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif
h. Bahasa yang digunakan sering mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsisten,
mengandung paradoks.194
194
Emzir dan Saifur Rohman, Op. Cit., hh. 93-94
195
Yasraf Amir Piliang. Hiperrealitas Kebudayaan., (Jurnal Kebudayaan Kalam. Edisi 2, 1994)
201
makan masakan lokal untuk makan malam, menggunakan parfum Paris di
Tokyo, dan pakaian retro di Hongkong
d) Parodi yaitu suatu bentuk dialog, satu teks bertemu dan berdialog dengan teks
lainnya. Parodi ditujukan untuk mengekspresikan perasaan puas, tidak senang,
tidak nyaman terkait dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk
e) Pastiche merupakan mimpi atau angan-angan, imitasi murni tanpa pretensi
apa-apa. Teks Pastiche mengimitasi teks-teks masa lalu untuk mengangkat
dan mengekspresikannya
f) Ironi merupakan kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang
diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir
g) Semangat bermain-main yang berarti teks atau kata-kata sengaja
dipermainkan agar tercipta suasana yang dramatik
h) Kitsch merupakan seni rendahan yang berselera rendah dengan mereproduksi
gaya, bentuk atau ikon pergeseran penekanan dari isi ke bentuk atau gaya
i) Campadalah pengelabuhan identitas dan penopengan. Satu model estetisme
merupakan suatu cara untuk melihat dunia sebagai suatu fenomena estetik.
Contohnya adalah penggunaan art decopada bangunan sekarang
j) Transformasi realitas menjadi citra
k) Fragmentasi waktu menjadi rangkaian masa kini.196
Dalam buku yang sama, Sarup mengutip Lyotard, juga menyampaikan ciri-ciri dari post-
modern, diantaranya,
a) Menginginkan penghargaan besar terhadap alam
b) Menekankan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia
c) Mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitalisme dan teknologi
d) Menerima tantangan agaman lain terhadap agama yang dominan
e) Menerima dan peka terhadap agama baru (agama lain)
f) Menggeser dominasi kulit putih di dunia barat
g) Mendorong kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, kelas sosial
yang tersisihkan
196
Madam Sarup. Post-Strukturalisme & Post-Modernisme, ( Yogyakarta: Jendela. 2007), h. 226
202
h) Menimbulkan kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari
semua pihak dengan cara yang dapat dipikirkan.197
Dalam bidang drama, penulis Perancis, Antonin Artaud memprotes pemujaan
kepada karya seni klasik yang berfokus pada naskah. Artaud mengusulkan agar berpusat
pada simbol-simbol teater, termasuk pencahayaan, susunan warna, pergerakan, gaya
tubuh dan lokasi. Artaud tidak ingin memisahkan antara aktor dan penonton dengan tujuan
agar penonton bisa langsung merasakan dan memaknai pesan yang disampaikan. Naskah
dianggap sebagai pembatas kebebasan, termasuk keberadaan sutradara. Bagi mereka
penampilan harus unik dan spontan, cukup sekali dan akan hilang. Teater post-
modernisme menggunakan estetika ketiadaan yang menolak adanya konsep kebenaran
yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan.
197
Ibid, h. 222
198
Ivan Illich. Matinya Gender,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998) hh. 43-58.
199
Siti ZuhainiDzuhayatin, Ideologi Pembebasan Perempuan: Perspektf Feminisme dalam Islam. dalam
Bainar (Ed.) Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan(Jakarta: Penerbit CIDES_UII),h.
11.
203
emosional, serta keibuan. Sementara laki-laki dengan ciri fisik yang dimiliki dipandang kuat
dan rasional, jantan dan perkasa, Sifat yang dikonstruksi secara sosial dan kultural ini
sesungguhnya dapat dan mungkin untuk dipertukarkan.Penukaran sifat atau ciri tersebut
tergantung zaman, latar budaya, dan kelas sosial tertentu maupun stratifikasi sosial yang
melingkupinya.Pada latar budaya dan kelas sosial tertentu, perempuan diatur dan diberi
doktrin untuk mengurus anak dan suami di rumah, sedang laki-laki mencari nafkah di luar
rumah. Sebaliknya dalam latar budaya dan kelas sosial yang lain, perempuanlah yang
mencari nafkah di luar rumah, sedang laki-laki mengasuh anaknya di rumah. Semua hal
yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perkembangan
waktu dan budaya tersebut yang disebut dengan konsep gender.Jadi bukan ciri biologis
yang melekat secara alamiah dan kodrati.
Kemudian, Lips mengemukakan bahwa gender sebagai berikut: “Sex stereotypes
are socially shared beliefs about what qualities can be assigned to individualis based on
their membership in the female or male half of the human race”.200 Pendapat Lips ini lebih
pada keyakinan terkait dengan kualitas individu sebagai bagian dalam kelompok laki-laki
atau perempuan. Dalam hal ini gender yang dimaksud lebih kepada stereotip peran dan
fungsi laki-laki tergantung pada kualitas individu masing-masing. Lebih lanjut Lips
mengatakan bahwa stereotip sebagai berikut “Stereotyping individuals can proceed on the
basis of race, age, religion, height, social class, or any other distinction that can be lised to
divide people into groups”.201Hal ini berarti bahwa stereotip individu didasarkan pada ras,
usia, agama, tinggi badan, kelas/kelompok sosial maupun pembeda lainnya yang
digunakan untuk mengklasifkasikan perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, bila
dihubungkan dengan konteks sosial maka gender lebih pada kualitas dari hasil observasi
individu masing-masing.
Banyak kaum perempuan yang menerima ketidakadilan gender tersebut dengan
wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dan sikap yang menerima keadaan
ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh
laki-laki, tetapi juga oleh perempuan.Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan
yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi.
200
Hilary Lips, Sex & Gender: An Introduction (Sixth Edition), (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc,
2008), h. 2.
201
Ibid, h. 2.
204
Kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai
subordinat.Berdasarkan pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih
menguntungkan.Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai
loyalitas tinggi.Persamaan hak yang sekarang digaungkan itu lama-kelamaan akan
menimbulkan keadaan-keadan yang tidak cocok dengan kodratnya perempuan, lama
kelamaan mereka bukan hanya meminta haknya saja tetapi persamaan dalam setiap hak.
Misalnya dalam berpakaian dan bergaya. Inilah gambaran realita yang sekarang jangan
lupa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan tubuh laki-laki karena perbedaan itu
berhubungan dengan kodrat perempuan. Kodrat perempuan adalah sebagai ibu. Dalam
kedudukan itu perempuan adalah berdiri sejajar dan bersarnaan derajat dengan laki-laki
misalnya dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya. Berasal dari ketimpangan inilah
yang mengakibatkan gerakan feminism ingin mendobrak ketidakadilan tersebut.
Bahkan peran menjadi seorang ibu dalam ranah domestikpun digugat oleh kaum
feminis. Sebagaimana dikatakan oleh Mary Boulton dalam Arivia, yang melakukan studi
tentang kehidupan seorang ibu, menurut Boulton, terungkap bahwa walaupun sebagian
ibu suka akan pekerjaannya, yakni mengatur rumah dan menjaga anaknamun sebagian
besar lainnya merasa terbebani .202 Selain itu Aan Oakley dalam Arivia juga menyatakan
bahwa mengapa perempuan begitu tidak bahagia setelah memasuki kehidupan keluarga
adalah karena adanya perasaan kehilangan secara sosial dan psikologis. 203 Dengan kata
lain, perempuan menanggung beban psikologis yang berat akibat ketidaksetaraan gender
ini. Yang oleh kaum feminis, diakibatkan pola pikir masyarakat dibentuk oleh nilai,
kepercayaan, pendidikan, tingkah laku yang memakai kerangka kerja patriarki, yang
berujung pada hubungan dominasi dan subordinasi terhadap perempuan.
Feminisme adalah sebuah paham/aliran yang berusaha memahami ketertindasan
terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu.Oleh
karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap
perempuan dan berupaya mengatasinya.Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna
Hadi Saptiawan,feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang
berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan
202
Gadis Arivia. Feminisme SebuahKata Hati. (Jakarta: PT KOMPAS Media Nusantara: 2006) hal. 449
203
Ibid. 452
205
yang menyebabkan ketimpangan gender.204 Beberapa aliran yang terkenal dalam gerakan
feminisme antara lain:
1) Feminisme Liberal.
Menurut Mansour Fakih asumsi dasar feminisme liberal berakar pada
pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada
nasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.205Feminisme ini berusaha
memperjuangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara
sosial dan politik.Mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua
instansi publik untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu -
isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan.Perempuan tidak mendapatkan
kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan pria.Karena itu feminisme liberal
mengajukan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan.
Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju
pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di
dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan.206
2) Feminisme Radikal
Menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, feminisme
radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan
biologis atau psikologis antara laki -laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan
laki-laki atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki
atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada
perempuan.Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik dan
psikologis kepada laki - laki.Feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa
penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki.Tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu,
feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak -hak reproduksi,
seksualitas (termasuk lesbianisme), sekisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki,
dan dikotomi domestik - publik. Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa
ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis.
204
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis.(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007) hlm. 86.
205
Mansour Fakih. (Analisis Gender dan Trasformasi Sosial) .(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), hlm. 81
206
Loc. Cit.
206
Menurut Herman J. Waluyo feminisme radikal memandang bahwa perbedaan
biologis menjadi sumber subordinasi.207Karena itu pembebasan perempuan harus
diusahakan dengan revolusi biologis-teknologis.Wanita tidak menderita
berkepanjangan karena harus ber-KB, melahirkan, merawat anak.Menurut Ratna
Saptari dan Brigitte Holzner bahwa aliran ini melihat kategori sosial seks sebagai
dasar perbedaan.208Patriarki adalah sistem dominasi laki-laki universal dan harus
dilawan melalui solidaritas sesama perempuan “saudari perempuan” dicanangkan.Jadi
penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk
dasar penindasan terhadap perempuan.Akibatnya, informasi atau pandangan buruk
banyak ditujukan kepada feminis radikal.Bagi gerakan feminisme radikal. Revolusi
terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup,
pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki.
3) Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan
biologis sebagai dasar pembedaan gender kaum ini penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.209Persoalan perempuan
selalu diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme.Menurut Marx (dalam
Sugihastuti) hubungan antara suami dan isteri serupa dengan hubungan antara
proletar dan borjuis.210Bahkan kaum perempuan menurut pandangan kapitalis,
dianggap bermanfaat bagi sistemnya karena reproduksi buruh murah. Pendekatan
feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme.
Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengungguli kaum
buruh dan laki -laki mengungguli perempuan.
4) Feminisme Sosialis
Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan
terhadap perempuan.Termasuk di dalamnya adalah stereotipe-stereotipe yang
dilekatkan pada kaum perempuan.Menurut Mansour Fakih penindasan perempuan
terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta
207
Herman J. Waluyo dan Nugraheni Ekowardani.Pengembangan Buku Materi Ajar Pengkajian Prosa Fiksi dengan
Pendekatan Sosiologi Sastra. Jurnal Bahasa, sastra, dan Pengajarannya. Vol. 6, No. 1, April 2008.
208
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner.Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan.(Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti. 1997), hal. 424.
209
Mansour Fakih.Op.cit. hal.86
210
Sugihastuti.Op. cit. 86.
207
menaikkan posisi perempuan.211 Menurut Herman J. Waluyo, feminisme sosialis
memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi,
seksualitas, dan sosialisasi masa kanak kanaknya.212Kalau ingin memperoleh
kebebasan, maka status dan fungsi dalam struktur harus berubah.Sikap rendah diri
harus diubah menjadi percaya diri.
5) Feminisme Moderat
Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo memandang bahwa kodrat
perempuan dan pria memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak,
kesempatan, dan perlakuan.213Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang
sejajar antara perempuan dan laki-laki.Kemitrasejajaran ini merupakan pandangan
pokok dari gender.
211
Mansour Fakih. Op.cit. hlm. 90
212
J. Waluyo Feminisme dalam Pengkajian Sastra.Dwijawarta No. 1 tahun 1998.
213
Ibid.
214
Nani Tuloli. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah, hlm. 89.
215
http://www.Suara karya.online.com
208
Dalam kritik sastra feminis, Sugihastuti dan Suharto menyatakan juga bahwa
konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis
gender.
1) perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku,
penampilan, cara berpakaian, peranan.
2) kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara,
bersikap antara laki-laki dan perempuan.
3) genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelarnin pada
pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain
4) identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan
ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan.
5) gender role ialah peranan perempuan atau laki-laki yang diaplikasikan secara nyata.216
Studi gender memperjuangkan perempuan dalam hal peran dalam cerita, Emzir
menyatakan yaitu misalnya attic drama yang pada awalnya dikenal dengan tragedi dan
komedi pada abad ke-14 dan ke-15, dimana ketika itu perempuan tidak diberi kesempatan
dalam akting karena dianggap tabu sehingga karakter perempuan digantikan oleh laki-
laki.217 Timbulnya ketidakadilan gender dalam masyarakat melahirkan gerakan feminisme
yang menuntut keadilan terhadap keberadaan wanita dan segala eksistensinya. Gerakan
feminisme ini juga merambah ke ranah sastra sebagai media dalam memperjuangkan dan
menyuarakan kesetaraan perempuan. Berkaitan dengan hal tersebut lahirlah pendekatan
berorientasi konteks gender dan feminism.
Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), yang berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan
(jamak), sebagai kelas sosial.218 Selain itu Kutha Ratna juga menambahkan bahwa secara
sempit dalam sastra feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik
dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.219
Teori feminis sastra berhubungan dengan bagaimana kedudukan perempuan dalam
karya sastra, utamanya karya satra novel.Hal ini didukung oleh pendapat Sugihastuti dan
Suharto bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah
216
Sugihastuti dan Suharto.Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) hlm. 23
217
Emzir dan Saifur Rohman.Teori dan Pengajaran Sastra.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) hlm. 142
218
Kutha Nyoman Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ) hlm.184.
219
Loc.cit.
209
upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya
sastra.220Kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia
menunjukkan masih didominasi oleh laki-laki.Dengan demikian, upaya pemahamannya
merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti
terlihat dalam realitas.
Menurut Sugihastuti dan Suharto bahwa kritik sastra feminis menawarkan
pandangan bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi,
pengertian, dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila
dibandingkan dengan laki-laki.221 Humm dalam Wiyatmi, mengatakan bahwa feminisme
menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang
terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi
sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan.222Selanjutnya Humm
menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan
keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Ruthven
dalam Wiyatmi, menyatakan bahwa pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk
mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat.223 Dari
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas maka dapat disimpulkan
bahwa feminisme adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
disegala bidang yang di dalamnya terdapat gerakan yang terorganisasi untuk mencapai
hak asasi perempuan dan mengakhiri dominasi laki-laki.
Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu mempertanyakan
relasi gender yang timpang dan memproniosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih
seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan
adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu
bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan
dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial.
220
Sugihastuti dan Suharto Op.Cit. hl.15
221
Ibid. hlm.6
222
Wiyatmi. Psikologi Sastra. (Yogyakarta : Kanwa, 2006) hlm.10
223
Loc. Cit.
210
Perkembangan karya sastra baik dalam cakupan internasional maupun nasional
banyak yang dipengaruhi oleh perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di
tempat/daerah dan masa/periode karya sastra tersebut dipublikasikan.
Dalam mengapresiasi atau mengaji suatu karya sastra berbagai sudut pandang
seperti pengarang, pembaca, dan konteks dapat digunakan sebagai pendekatannya.
Terkait dengan pendekatan konteks, terdapat tiga orientasi pendekatan konteks yang
dapat digunakan yaitu, berorientasi pada konteks post-kolonialisme, post-modernisme,
serta gender dan feminisme.
Pemahaman terhadap berbagai pendekatan konteks akan memperkaya dalam
menganalisis suatu karya sastra.
G. Lampiran Analisis :
Pada bagian ini akan disajikan beberapa karya sastra berupa novel sebagai materi
utama dalam melakukan analisis menggunakan pendekatan berorientasi terbatas pada
konteks Post-Kolonialisme, Post-Modernisme, Gender dan Feminisme. Pada bagian ini
akan dideskripsikan profil novel berupa judul, penulis, tahun publikasi, hasil analisis kajian
sastra berdasarkan orientasi pendekatan konteksnya. Berikut adalah hasil analisisnya.
1) Novel 1
Judul : GADIS TANGSI
Penulis : Suparto Brata
Tahun : 2004
211
224
Stereotipe anak kolong memberikan garis demarkasi jelas, bahwa mereka tentunya
bukanlah anak-anak yang beradab, dan begitupula orang tua mereka. Berbeda sekali
dengan diluar tangsi, seperti di loji Kampung Landa, meski berdekatan, mereka tidak
pernah akrab .Rumah-rumah berderet rapi dan bersih. Dihuni oleh orang-orang Belanda
dan orang Jawa berpangkat tinggi.
Gambaran seperti itu, mengingatkan kembali pada pola subjektivikasi Foucault. Dengan
melakukan sterotipe pada subjek tertentu secara berkesinambungan, akan menghasilkan
pengidentitasan diri (self subjectivication) terhadap stereotipe yang telah dilabelkan
tersebut. Orang-orang pribumi yang terus menerus mendapatkan perlakuan pihak
dominan seperti itu, lama-lama akan muncul identitas subjektif dalam diri mereka, bahwa
memang demikianlah mereka, menjadi yang disuruh dan tidak pernah berharap menjadi
penyuruh, tidak perlu lagi belajar, tidak perlu menjadi yang berpendidikan karena itu
bukanlah hak mereka, dan mereka menyadari posisi itu.
224
https://www.bukalapak.com/p/buku/novel
225
Suparto Brata, Gadis Tangsi. (Jakarta: PT KOMPAS Media Nusantara, 2004), h.68
212
Sejak Teyi masuk toko, beberapa pengunjung yang bersimpangan dengannya
memperhatikan dengan penuh curiga.Para penjaga toko pun telah bersiap untuk
menangkapnya.Pemilik toko diberi tahu, yang kemudian menyuruh pembantunya
memanggil polisi. Polisi yang bertugas dijalan segera bertindak.Teyi ditangkap.
?aku orang baik! Aku mau beli! Jangan ditangkap!? teriaknya sia-sia.226
Teyi adalah gambaran dari the other, mereka yang diluar mainstream.Tidak bisa bahasa
Belanda atau Melayu, hanya berpakaian seadanya, selembar kain yang dililitkan dari atas
dada sampai betis. Sehingga tidak salah bila ia dikira ingin mencuri perhiasan dari toko.
Konsep we and them dalam pandangan eropa adalah sesuatu yang mutlak.Oposisi biner
tersebut berfungsi untuk menarik identitas superior mereka, terhadap inferioritas
masyarakat bawah (inlander). Inferioritas ini merupakan bentukan mental yang kuat,
karena berasal dari proses hegemoni yang cukup lama. Dari proses hegemoni tersebut
dominasi dan subordinasi terlahir, masyarakat penjajah adalah yang memimpin dan
dominan, sedangkan masyarakat terjajah/bekas jajahan merupakan masyarakat
subordinan yang lagi-lagi disertai dengan berbagai stereotype; masyarakat barbar, tidak
beradab, bodoh, aneh, mistis, dan tidak rasional.
Entah disengaja pengarang untuk lebih menguatkan unsur dominasi Eropa atau tidak,
akan tetapi yang penting adalah, bahwa ada banyak ketrampilan yang pada umumnya
tidak bisa dikuasai oleh masyarakat inlander, untuk menguatkan unsur kemelasan belajar
mereka.
226
Suparto Brata, Ibid., h.63
227
Suparto Brata, Ibid, h. 1
228
Suparto Brata, Ibid, h. 1
213
Sampai pada seorang anak kecil, pembentukan diri monoritas dan pengakuan terhadap
dominasi Eropa sudah tersadari.Teyi sebagai anak kecil, begitu memahami bahwa yang
dikatakan cantik adalah berambut pirang, serta berkulit putih kemerahan dan bermata
biru.Pemahaman-pemahaman ini merupakan bentukan-bentukan realitas masyarakat
kolonial yang selalu mengistimewakan penjajah.Mulai dari pangkat dan kedudukan,
sampai dengan pemahaman mengenai kegagahan dan kecantikan.
Hee Teyi! Kabarnya kamu mau dimunci oleh ndara Tuan Kapten Jawa, ya?
Teyi bosan mendengar omongan itu!
Tidak nik.Aku terlalu kecil untuk dimunci aku tidak mau. …
Goblok kamu! Goblok kalau tidak mau! Ndara Tuan Kapten itu pangkatnya sama
dengan Belanda. Derajatmu bisa naik tingkat jadi Ndara Nyonya … 229
Kegiatan pergundikan dalam adat istiadat Jawa masa kolonial memang sangat
kental.Sehingga posisi wanita bisa diibaratkan sebagai makanan yang siap dihidangkan
kepada lelaki-lelaki berpangkat, baik ningrat maupun Belanda. Hal seperti inilah yang terus
berlangsung hampir selama bentuk-bentuk feodal kerajaan dan proses kolonialisasi
berlangsung.
Efeknya jelas sampai sekarang, bahwa meskipun emasipasi dan kritik-kritik feminisme
telah bergaung dimana-mana, toh bagi mereka yang tetap mengadiluhungkan adat istiadat
dan dilestarikan Belanda tersebut, masih menganggapnya sebagai bagian dari budaya
yang baik.
229
Suparto Brata, Ibid, h. 136.
214
?Kusje! Onbeschaaft! Kurang ajar! Seru Putri Parasi sengit. ?Naar mijn wisj van
zien, Kusje, kamu perlu waspada. Keturunan leluhur Jayadiningrat ini mewarisi
kelemahan jasmani.? 230
Komunikasi yang terjadi di atas dilakukan oleh dua orang pembesar keraton, yakni Raden
Mas Kus Bandarkum dan Putri Parasi.Keduanya memakai beberapa kosa kata bahasa
Belanda sebagai bahasa pergaulan mereka, hal ini dilandasi dilatari oleh banyak hal;
pendidikan, prestize, yang pada dasarnya adalah menunjukkan kesan elit bagi mereka.
Hal ini tidak berbeda sampai sekarang, bahasa merupakan hal yang paling mencolok
dalam menunjukkan efek-efek poskolonial.Kalau para priyayi dulu suka menggunakan
bahasa Belanda sebagai bagian dari pergaulan mereka, dan berlangsung sampai dengan
era pemerintahan Sukarno. Pada saat ini kaum terpelajar juga masih berperilaku sama,
dengan menggunakan bahasa Inggris, padahal terkadang banyak kosakata yang dijumput
secara asal dan maknanya sebenarnya tidak mengena.
Selain bahasa, konsep hibriditas yang dapat diambil dari novel ini adalah gaya berpakaian
serta hobi para bangsawan dan kaum terpelajar. Para bangsawan muda suka sekali
dengan meniru gaya berpakaian Noni Belanda, tidak memakai kebaya, tapi memakai rok
yang berwarna warni. Hobi mereka juga sudah kebarat-baratan, seperti suka berdansa.
Sebagaimana teks berikut;
Yang akan kutekankan di sini ialah bahwa gadis-gadis anak priyayi Jawa di
Surakarta sudah banyak yang berpakaian cara Belanda. Pakai rok, pakai sepatu,
rambutnya dikepang dan diberi pita seperti yang kamu beli tadi.231
Proses europanisasi tengah berlangsung di seantreo koloni. Subjek siapa saja tidak
diperdulikan.Yang jelas hasilnya adalah sentralitas eropa sebagai budaya luhur. Mengikuti
Fanon dengan black skin/white mask-nya, adalah sebuah keambangan (liminalitas),
trauma kejiwaan yang muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan
pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau
melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.232
230
Suparto Brata, Ibid, h. 99
231
Suparto Brata, Ibid, h. 209.
232
A. Loomba, Op.cit., h. 228.
215
Pemberontakan dalam Novel Gadis Tangsi
Disisi lain novel ini juga menunjukkan semangat perjuangannya yang khas, selain
beberapa gambaran masa kolonial yang penuh dengan ketidak-adilan tersebut. Suparto
Brata tetap mengidealkan terjadinya perubahan-perubahan signifikan dalam kepribadian
dan keunggulan primordialisme Jawa.Diwakili tiga karakter kuat yang mempunyai posisi
masing-masing; Putri Parasi, Teyi, dan Raminem. Seakan menjadi lengkap pola gerak
perjuangan yang diusung dalam novel ini.
Putri Parasi dan Teyi yang meskipun terkadang menggunakan cara-cara Belanda, namun
tetap menjunjung tinggi nilai adat Jawa.Hal ini masih dalam kerangka kritik atas
kolonialisme yang terjadi.Raminem dengan perangai Jawa jelata yang berkeras hati dan
tidak mau tunduk dengan kebejatan masyarakat disekitarnya.
Mengapa harus malu? Itu atas permintaan pamanda ingkang sinuwun yang juga
hadir dalam pesta itu bersama aku. Busana Jawa tetap dipertahankan meskipun
dalam pesta budaya Belanda.Tidak kalah anggun kok. 233
Putri Parasi jugalah yang telah menanamkan perangai dan berbudaya tinggi kepada Teyi,
sehingga dimata Teyi yang jelata, semua kebesaran tanah negeri tidak akan pernah
dikalahkan oleh kolonial Belanda. Dan merupakan pendidikan yang sangat jarang sekali
diperoleh sebagai orang jelata. Karena sudah menjadi kebiasaan umum bahwa para
ningrat tidak kalah pongahnya dengan Belanda, merasa jijik dengan bangsa sendiri, dan
lebih condong kepada kompeni.
Frantz Fannon sendiri berbeda dengan Homi Bhaba, dalam menyikapi hibriditas, Fannon
lebih menganjurkan bentuk-bentuk hibriditas sebagai bentuk kritik terhadap kolonialisme,
bahkan memakainya untuk menegaskan alteritas kultural untuk kemudian menggunakan
dan memanfaatkannya sebagai langkah berjuang menuju kemenangan, sebagaimana
Mahatma Gandi di India yang memakai bentuk-bentuk nonkekerasan yang ditempa
234
dengan membaca Emerson, Thoreau, dan Tolstoy.
Tabel 1 :
233
Suparto Brata, Ibid., h.63
234
A. Loomba, Op. cit., h. 225.
216
No Masalah Indikator Deskripsi
218
No Masalah Indikator Deskripsi
Kesimpulan
Penggambaran pada tiap-tiap bagiannya, memang tidak bisa serta merta dianggap
sebagai sebuah sikap karya utuh.Namun bila dikontekskan satu persatu, novel ini
merupakan novel yang sangat kental dalam memperjuangkan budaya Jawa dari efek-efek
jelek yang dihasilkan oleh kolonialisme. Pengarang masih mampu memberikan corak yang
khas terhadap proses pembelaan dan perjuangannya.
Dengan memakai seorang gadis tangsi yang bermartabat rendah dan berada dalam
budaya masyarakat Jawa jelata dalam kungkungan kompeni, penulis seakan mampu
meraih kemenangan terhadap segala keresahan yang terjadi. Keterbelakangan
masyarakat, posisi marjinal perempuan, dominasi kolonial, dan inferioritas anak negeri,
semuanya dapat diatasi dengan memakai tokoh Teyi yang perempuan namun mempunyai
segala bentuk kecakapan hidup.
Setidaknya, novel ini bisa dijadikan sebagai sebuah figur dalam merepresentasikan
idealitas anak negeri, yang mampu membongkar segala kepicikan bentukan kolonialisme.
Karena kolonialisme sendiri tidak pernah berhenti, formalitas kolonisasi memang telah
tutup usia, namun hal itu dilanjukan dalam bentuk yang lain sebagai kelanjutan misi lama,
ekonomi, politik dunia, dan lain-lain.
2) Novel 2
Judul : MARYAMAH KARPOV
Penulis : Andrea Hirata
Tahun : 2008
219
235
”Kadang kala tombol tuning radio philips kecil itu diputar Ayah menuju Hilversum,
Holland, atau menuju London. BBC samar-samar, sayup-sayup sampai, naik
turun serupa gelombang sinus, menggambarkan berita dari tempat-tempat asing
yang tak kukenal”236
Pada kutipan tersebut menggambarkan aktifitas tokoh yang menggunakan radio dan
saluran transmisi luar negeri, namun dinikmati di negeri sendiri. Radio philips produksi
Cina merambah pasar Indonesia, konsumen Philips yang rata-rata orang Indonesia
menjadikan benda ini sebagai refleksi dari ekskletisisme. Pada kutipan “kadang kala
tombol tuning radio philips kecil itu diputar ayah menuju Hilversum, Hollan, atau menuju
London BBC” dapat diartikan sebuah perilaku tokoh seorang warga lokal dengan
penggunaan benda dari negara lain.
2) PARODI
235
https://id.wikipedia.org/wiki/Maryamah_Karpov
236
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
220
Peristiwa dalam novel “Maryamah Karpov” karya Andrea Hirata terdapat aspek post-
modernisme yaitu parodi. Parodi ini dapat di cermati melalui satu bentuk dialog, cerita
berupa teks atau verbal yang mengekspresikan perasaan puas, tidak senang, tidak
nyaman berkenaan dengan intensitas gaya seperti sindiran atau humor yang dibangun
berdasarkan perasaan.
Parodi juga terbentuk dari sifat mendramatisasi kejadian yang dibangun dari perasaan
manusia, sindiran-sindiran dalam parodi digunakan sebagian orang untuk menjelaskan
suatu hal yang tidak di hiraukan oleh orang kebanyakan. Hal itu terdapat dalam kutipan,
“Persoalan gigi bukan perkara sederhana. Ini perkara serius, Boi! Bagaimana
kalian bisa bersaing dengan daerah lain pada masa pembangunan ini kalau
gigi-gigi kalian tonggos begitu!” 237
Pada kutipan di atas diceritakan ketua Karmun yang menjabat sebagai kepala desa tidak
tahu lagi dengan cara apa membujuk warganya untuk memeriksakan gigi mereka di
klinik. Model sindiran dalam kutipan di atas digunakan untuk menyadarkan warganya
yang masih enggan memeriksakan giginya, sebagian besar warga Belitong lebih
mempercayakan penyakitnya pada dukun daripada dokter. Pada kutipan ”bagaimana
kalian bisa bersaing dengan daerah lain pada masa pembangunan ini kalau gigi-gigi
kalian tonggos” dapat pula diartikan sebagai bentuk sindiran dengan interpretasi lain.
Ketua Karmun sebagai Kepala Desa di daerah terpencil menginginkan warganya untuk
menunjukkan “gigi” dan mampu bersaing dengan daerah lain, gigi dalam artian
kemampuan yang harus dimiliki setiap orang agar memiliki daya saing yang semakin
kompetitif. Peristiwa dalam novel ”Maryamah Karpov” erat kaitannya dengan dunia seni
yang mereproduksi gaya atau benda yang berupa ikon atau lambang.
3) PASTICHE
Tokoh Ayah dalam novel ”Maryamah Karpov” digambarkan sebagai tokoh yang
memetaforakan rasa patuh pada orang tuanya dalam setiap kata-katanya. Gambaran
tentang perilaku yang dimiliki oleh tokoh kepatuhan dan ketaatan yang ditujukan kepada
kedua orang tuanya sebagai petuah yang harus dijunjung tinggi. Hal itu terlihat dalam
kutipan berikut:
237
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
221
”Katanya, ia selalu menempatkan setiap kata ayah bundanya di atas nampan
pualam, membungkus dengan tilam” 238
Pada kutipan di atas mencerminkan adanya imitasi murni. Teks pastiche
mengimitasikan benda menjadi gambaran kata-kata. Pada kutipan di atas tokoh ayah
mengatakan akan selalu menempatkan setiap kata orang tuanya di atas nampan
pualam, membungkus dengan tilam. Tokoh ayah selalu mematuhi perintah orang
tuanya, dan menganggap setiap kata yang diberikan orang tuanya sebagai petuah yang
harus dijunjung tinggi. Arti kata menaruh di atas nampan pualam yaitu menjunjung
tinggi. Nampan pualam biasanya dalam adat Melayu sebagai tempat makanan yang
terbaik dan diletakkan ditempat tertinggi. Membungkus dengan tilam berarti menyimpan
erat-erat dalam hati, tilam yang dalam adat melayu adalah sebuah daun pepohonan di
dalam hutan di sekitar Belitong yang digunakan untuk membungkus nampan pualam.
Konon, makanan yang diletakkan dalam nampan pualam dan dibungkus dengan daun
tilam akan awet selama satu bulan. Imitasi juga terdapat dalam arsitektur, hal itu
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan yang telah dipikirkan sebelumnya.
4) IRONI
Peristiwa dalam novel ”Maryamah Karpov” terdapat unsur ironi atau kejadian yang
bertentangan dengan harapannya akan tetapi sudah menjadi takdirnya. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut:
”Oleh karena itu, seumpama di koran- koran tersiar berita tentang seorang pria
yang sedang bersepeda santai pada minggu pagi yang cerah ceria, tra la la, tri li
li, sekonyong-konyong, tak tahu kenapa, sepedanya oleng dan ia tertungging ke
dalam sumur angker gelap gulita, tak dapat dipakai lagi, dalamnya dua belas
meter, perigi sarang jin, bekas tentara Jepang mencemplungkan pribumi. Lelaki
periang itu pun berteriak-teriak panik minta tolong. Tak ada yang mendengar
jeritannya, selama empat puluh hari empat puluh malam”239
Kutipan tersebut menggambarkan sebuah peristiwa menghebohkan yang di alami
seseorang yang sedang dalam perjalanan. Pada kutipan di atas pria yang sedang
238
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
239
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html.
222
dalam sumur angker gelap gulita bekas tentara Jepang membunuh pribumi. Tidak ada
yang mendengar teriakannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Tidak ada
satu orang pun yang menginginkan peristiwa tersebut menimpa hidupnya, akan tetapi
takdir tidak bisa ditebak. Dapat di ibaratkan orang tersebut mengalami kejadian seperti
5) CAMP
”Ruang ujian sidang tesis itu sendiri terletak di ujung selasar dalam bangunan
yang terpisah semacam paviliun, tapi atapnya menjulang mancung mirip atap
gereja-gereja Anglikan”. 240
Pada kutipan di atas esensi camp sebagai wacana reaksi tampak pada gerakan
arsitektur dalam yang timbul karena kritik terhadap industri modern. Pengadopsian gaya
arsitektur tanpa mengubah desain merupakan sesuatu yang bersifat massal. Seni
arsitektur sebagai movement structure oleh seniman merupakan identitas camp yang
merekonstruksi makna alamiah pada desain arsitektur terdahulu. Tradisi peniruan dalam
arsitektur di pandang menyelamatkan esensi dan makna desain menjadi lebih berjiwa
serta eksklusif, karena subjektivitas kreator kembali di akomodir dalam desain yang
diciptakan. Arsitektur tersebut menggambarkan kemiripan atau penopengan dalam
bentuk bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur bangunan lain.
240
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
223
B. Analisis dilakukan berdasarkan aspek ciri-citi Post-modernisme
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia
Peristiwa dalam novel ”Maryamah Karpov” karya Andrea Hirata ini memiliki kelebihan
yaitu menekankan pentingnya bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah alat
komunikasi yang penting dalam kehidupan manusia. Seandainya tidak ada bahasa,
manusia akan sangat sulit berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa
mutlak diperlukan agar interaksi yang diinginkan dapat terjalin dengan baik. Terbukti dari
penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu peran bahasa sangat signifikan
dalam proses penyampaian pesan. Tidak hanya dalam bentuk lisan, tapi juga dalam
bentuk tulisan. Hal itu terdapat dalam kutipan,
”Rasanya baru kemarin aku tiba di terminal bus Gallieni bersama sepupuku Arai,
terbata-bata membaca nama stasiun metro, kesana kemari membawa Pocket
Reference Dictionary, mencocok-cocokkan beberapa kata Inggris padanan Prancis
dengan penjual kebab imigran Turki. Belajar tersendat-sendat menyengaukan-
nyengaukan suara agar orang Prancis paham”241
Tokoh Ikal dalam kutipan di atas menyadari betapa pentingnya sebuah bahasa agar
komunikasi dapat terlaksana dengan baik dan tidak satu arah. Dengan mengetahui dan
memahami bahasa, manusia akan sangat terbantu untuk mencapai tujuannya. Sosialisasi
dengan orang lain sangat tergantung dengan bahasa yang digunakan. Tokoh Ikal
menyiasati kekurangannya dalam beberapa bahasa dengan membawa kamus yang
digunakan sebagai panduan dalam memahami bahasa orang lain. Ada orang-orang yang
tentu tidak dapat menggunakan bahasa verbal, karena itu dibuatlah kode-kode khusus
agar komunikasi tetap dapat berjalan dengan baik.
Tokoh dalam novel ”Maryamah Karpov” karya Andrea Hirata ini mencerminkan rasa
antipati pada kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan.
241
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
224
”Kasihan Bang Zaitun, ditinggalkan istri- istri, dikhianati teknologi musik” 242
Pada kutipan di atas Tokoh Zaitun menjadi korban dari teknologi musik yang semakin
berkembang pesat. Sebagai pimpinan orkes musik Melayu di kampung Belitong
dirugikan oleh perkembangan teknologi musik yang lebih modern. Peralatan musik
yang digunakan oleh kelompok orkes musik Melayu pimpinan Tokoh Zaitun masih
sederhana, yaitu gendang, gitar, tamborin serta alat musik tradisional. Seiring
modernisasi yang juga merambah dunia musik, akhirnya orkes Melayu seperti itu
kurang mendapat perhatian dan cenderung ditinggalkan oleh masyarakat, hal itu yang
menyebabkan orkes Tokoh Zaitun menjadi bangkrut karena tidak ada lagi yang
berminat dan menggunakan jasanya. Keuangan keluarga yang selama ini
mengandalkan dari bermusik otomatis terhenti, apalagi Ia harus menghidupi empat
orang istri. Akhirnya istri-istri yang selama ini setia mendampingi meninggalkannya
karena ia tidak memiliki pekerjaan. Modernisasi menjadi penyebab rusaknya tatanan
sosial yang selama ini terjalin, manusia menjadi individualistik dan cenderung kebarat-
baratan.
Peristiwa dalam novel ”Maryamah Karpov” karya Andrea Hirata ini memiliki kelebihan
dalam hal pluralisme dan keterbukaannya dalam menyikapi dan ber interaksi dengan
agama atau kepercayaan lain selain agama Islam sebagai agama mayoritas. Setiap
manusia bebas memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Tidak seharusnya ada
intervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir
dan ritual peribadatan. Budaya pluralis masyarakat Belitong menjadi kekuatan demi
terwujudnya kebersamaan karena pluralisme agama bukan tindakan kriminalisasi kecuali
di dalam peribadatannya terdapat unsur kekerasan yang merendahkan martabat manusia
Berbagai agama dan kepercayaan yang dianut dapat berjalan berdampingan tanpa ada
permasalahan yang ditimbulkan. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan berikut,
242
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
225
”Tapi bukankah sudah lewat? Maret kemarin suku sawang dengan agama
kepercayaan mereka, sudah buang sial ke laut lewat ritual muang jong yang magis
itu”.243
Peristiwa yang terdapat dalam novel ini menggambarkan kepedulian tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain. Tokoh Tokoh Ikal sangat peka terhadap lingkungan sekitarnya,
mudah tersentuh perasaannya saat melihat penderitaan orang lain dan itu dilakukan
dengan memberikan kepedulian yang menimpa ayahnya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Kutipan di atas menggambarkan tokoh Ikal yang sangat miris melihat kehidupan
ayahnya yang tidak pernah naik pangkat selama tiga puluh satu tahun pengabdiannya
mendulang timah. Tokoh Ikal pun mendorong ayahnya untuk mengemban amanah yang
diberikan mandornya karena itu merupakan hak setiap pekerja. Mendorong golongan
tertindas serta termajinalkan memang kental terdapat dalam novel ”Maryamah Karpov”.
243
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
244
http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/koleksi-novel-andrea-hirata.html
226
Kebersamaan orang-orang yang terpinggirkan lebih terjaga karena tidak memiliki
kepentingan politis, dan solidaritas serta soliditasnya tanpa pamrih.
Dari hasil analisis di atas yang dominan dari novel ”Maryamah Karpov” karya Andrea
Hirata yaitu aspek-aspek postmodernisme yang terdiri dari ekletisisme, parodi, pastiche,
ironi, dan camp sebanyak 23 kutipan. Sedangkan ciri- ciri postmodernisme yang terdiri
dari, menekankan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, mengurangi
kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitalisme, dan teknologi, menerima dan peka
terhadap agama baru (agama lain), mendorong kebangkitan golongan tertindas, seperti
golongan ras, kaum termarjinalkan, dan kelas sosial yang tersisihkan ditemukan
sebanyak 28 kutipan.
Tabel 2 :
227
No Masalah Indikator Deskripsi
228
No Masalah Indikator Deskripsi
meninggal
- Seseorang yang sedang asyik menonton TV
akhirnya mendapat musibah yang tidak
disangka-sangka
229
No Masalah Indikator Deskripsi
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut,
3) Novel 3
Judul : GADIS PANTAI
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Tahun : 1987
230
245
“ Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota –dunia kepunyaan laki-laki.
Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang
dipunyai laki-laki, Mas Nganten.”246
245
https://sastrazone.wordpress.com/2010/08/17
246
Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai. (Jakarta:Lentera Dipantara, 1987), h.87
231
Gadis Pantai dalam masyarakat bukan hanya bahwa dia seorang perempuan, tapi juga
bahwa dia berasal dari kampung nelayan dan bahwa dia pribumi.
Tokoh perempuan sebagai korban kekerasan atau bencana cukup umum ditemukan
dalam karya sastra. Secara stereotipikal tokoh perempuan semacam itu sering digunakan
untuk membangkitkan simpati pembaca, berangkat dari anggapan bahwa posisi
perempuan yang lemah dan tidak berdaya lebih potensial mengundang empati atau rasa
kasihan. Tapi stereotip tersebut justru tidak dapat menjelaskan apa fungsi tokoh
perempuan dalam Gadis Pantai Perempuan menjadi korban ketidakadilan dalam novel itu,
tapi bukan korban pasif dan lemah yang tidak punya daya untuk melawan.
Dunia patriarki yang kental meliputi semua aspek kehidupannya. Gadis pantai yang begitu
belia diambil paksa menikah dengan laki-laki yang belum ia kenal, ditempatkan di kota di
sebuah rumah mewah namun bagaikan penjara dengan pelayan yang siap melayaninya.
Ia tak bahagia dengan kenyataan sperti itu. Semua telah dipertukarkan dengan harga
dirinya sebagai seorang wanita. Sebaik apa pun yang dia lakukan sebagai sebagai
seorang istri yang berbakti, ia tidak mampu mengalahkan segala yang didominasi kaum
patrialkal, apalagi pada saat dia tidak dapat melahirkan anak laki-laki, Gadis Pantai
dianggap tidak berguna dan berharga lagi di mata suaminya Tuan Bendoro.
Di akhir cerita betapa pengarang menuliskan kisah hidup si Gadis Pantai sangatlah berat,
banyak belenggu yang menghantui Gadis Pantai selama berada di istana, menikah
dengan Bendoro, betapa tidak, setelah si Gadis Pantai melahirkan seorang anak, yaitu
seorang anak perempuan, si Gadis Pantai diusir dari istana. Anaknya tidak boleh dibawa
bersamanya. Anaknya tetap tinggal di istana bersama Bendoro. Bendoro memberinya
pesangon dan tak lupa memberinya sebuah pesan. Berikut kutipannya :
Dari situlah si Gadis Pantai mengerti apa yang dulu pernah dikatakan oleh mboknya
yaitu pelayannya dulu. Kaum ningrat hanya bisa menikah dengan wanita yang sederajat
dengannya. Jika mereka menikah dengan kaum jelata, itu hanyalah menikah percobaan,
yang sebenarnya hanya untuk memuaskan kebutuhan seks laki-laki. Hal tersebutlah yang
benar-benar ditentang oleh kaum feminis yaitu kekuasan kaum partriakal yang meninjak-
injak harkat dan martabat wanita sebagai kaum yang tak berdaya pada masa itu. Apalagi
derajat kaum wanita tersebut berada pada kelas bawah yaitu rakyat jelata.
Tabel 3 :
No. Masalah Indikator Deskripsi
248
Pramoedya Ananta Toer, Ibid., h.264
233
No. Masalah Indikator Deskripsi
234
No. Masalah Indikator Deskripsi
Kesimpulan :
Demikian uraian tentang Perempuan dan Kelas Sosial dalam Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer. Dari narasi Gadis Pantai ini, tampak bahwa Pramoedya Ananta
Toer dengan gaya realisme sosialisnya ingin mengungkapkan perbedaan kelas sosial
yang mewujud antara kaum priyayi dan orang kebanyakan. Antara Priyayi dan bukan
Priyayi. Antara orang kota dan orang kampung yang dianggap rendah dan tidak tahu apa-
apa. Novel Gadis Pantai menggambarkan kebobrokan para priyayi itu melalui karakter
Bendoro Bupati yang memosisikan perempuan kampung sebagai pemuas hasrat
seksualnya. Hal tersebutlah yang menunjukkan betapa prinsip patrialkal begitu
mengkungkung kehidupan para perempuan pada masa itu. Apalagi perempuan dari kelas
sosial rendah yaitu rakyat jelata.
Kelas sosial ternyata bukanlah sebuah status yang abadi, terjadi perubahan kelas
yang dialami Gadis Pantai ketika sebelum menikah dan setelah menikah. Status sosial
Gadis Pantai menjadi berubah derajatnya lebih tinggi setelah menikah dengan Bendoro
Bupati. Kemudian berubah pada status semula ketika Gadis Pantai diceraikan secara
sepihak oleh Bendoro tersebut. Dalam pernikahan perempuan kampung sebagai kaum
marginal. Perempuan yang tertindas oleh kekuasaan kelas yang lebih tinggi. Meskipun
pada bagian-bagian tertentu, Gadis Pantai dapat menikmati kemewahan dan
keberuntungannya sebagai perempuan kampung yang terpilih menjadi istri Bendoro
Bupati, namun status dirinya sebagai seorang istri bukanlah istri sebenarnya yang mutlak.
Pernikahannya dengan Bendoro Bupati memang syah, tapi Gadis Pantai hanyalah istri
percobaan, istri latihan sebelum Bendoro Bupati memutuskan untuk menikah dengan
perempuan sekelasnya.
Kebahagiaan Gadis Pantai ternyata hanya sementara, pada akhirnya tak hanya
hidup sebagai janda muda berusia enam belas tahun. Ia pun tak memiliki hak asuh atas
anak kandungnya. Menurut Feminisme Marxis-Sosialis, Gadis Pantai mengalami alienasi
235
(pengasingan), tidak diperbolehkan memiliki dan mengasuh anaknya sendiri. Gadis Pantai
diusir dari rumah Bendoro Bupati setelah tiga bulan melahirkan anak perempuan.
Begitulah kehidupan berlangsung dalam rel kesenjangan kelas sosial. Seperti yang telah
dibahas dalam feminisme Marxis, bahwa perbedaan kelas membuat perempuan dirugikan.
Golongan kelas atas bertindak semena-mena terhadap golongan kelas bawah. Dan
feminisme telah membuka ruang bagi perempuan untuk mengkritisi ketimpangan ini.
Seperti halnya Pram yang telah berusaha mengungkapkan realitas feodalisme Jawa ke
dalam novel Gadis Pantai yang tragis dan menyentuh nilai kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Ahmed, Akbar S. 1994. Postmodernisme (Bahaya dan Harapan Bagi Islam). Bandung:
Mizan.
Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: CV. Sinar
Baru
Anderson, B. 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan
Penyebaran Nasionalisme (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist.
Ashcroft, B., Griffiths G., dan Tiffin, H. 1995. The Post-Colonial StudiesReader. London
dan New York: Routledge.
Ashcroft, B., Griffiths G., dan Tiffin, H. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa:Teori dan
Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: Qalam
236
Dzuhayatin. 1998. “Ideologi Pembebasan Perempuan: Perspektif Feminisme dalam
Islam”” Dalam Bainar (Ed.), Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan
Kemodernan. Jakarta: Penerbit CIDES-UII.
Emzir dan Rohman, S. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
J. Waluyo. Herman. . Feminisme dalam Pengkajian Sastra. Dwijawarta No. 1 tahun 1998.
Ratna, K.N. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Said, E.W. 1998. Peran Intelektual (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Said, E.W. 2002. Covering Islam: Bias Liputan Barat atas Dunia Islam.
Yogyakarta: Ikon Teralitera.
238
PENDEKATAN SASTRA BEORIENTASI PADA KONTEKS:
Teori Sastra Marxist, New Historicism: Poststrukturalisme & Dekonstruksi,
Pendekatan Intertekstualitas, serta Kritik Sastra Gay dan Lesbian
Oleh:
Noermanzah, Syarifuddin Tundreng, dan Agus Rofi’i
===================================================================
Abstrak
Dalam pembahasan ini akan diberikan pemahaman tentang pendekatan dalam penelitian
atau kritik sastra yang berorientasi pada konteks. Pendekatan berorientasi pada konteks
mengacu pada aliran kelompok heterogen dan metodologi yang tidak menganggap teks
sastra sebagai karya seni yang independen mandiri, tetapi mencoba menempatkan teks
sastra dalam konteks yang lebih besar. Terdapat beberapa jenis pendekatan yang
berorientasi pada konteks, yaitu: Teori Sastra Marxist, New Historicism: Poststrukturalisme
& Dekonstruksi, Teori Sastra Feminis, Teori Gender, Pendekatan Intertekstualitas,
Pendekatan Postkolonialisme, Postmodernisasi, serta Kritik Sastra Gay dan Lesbian.
A. Pendahuluan
Dalam memahami karya sastra dibutuhkan suatu pendekatan dalam
menganalisisnya. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pendekatan yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang makna sebuah sastra yang dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Beberapa pendekatan dalam menganalisis karya sastra
dimulai dengan pendekatan yang berorientasi pada teks, pendekatan yang berorientasi
pada pengarang, pendekatan berorientasi pada pembaca, dan pendekatan berorientasi
pada konteks. Dari keempat jenis pendekatan sastra tersebut, memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang berkembang dikarenakan ketidakpuasan terhadap hasil
dalam memaknai sebuah karya sastra.
Walaupun demikian, ketika kita menganalisis karya sastra dengan menggunakan
pendekatan yang berorientasi pada teks, pengarang, pembaca, ataupun konteks, kita akan
tetap menggunakan teks sebagai dasar dalam mengalisis karya sastra sebagai data
autentik. Khususnya pendekatan yang berorientasi pada konteks yang menentang
pendekatan yang berorientasi pada teks atau paham strukturalisme, tetapi dalam
menganalisis karya sastra juga tetap diawali dengan kajian teks berupa unsur intrinsik
239
karya sastra yang kemudian dikaitkan dengan konteks terjadinya setiap peristiwa yang
terjadi dalam teks sehingga diperoleh pemahaman yang benar terhadap makna atau
pesan dalam karya sastra yang dianalisis.
Pendekatan yang berorientasi pada konteks, memiliki beberapa keutamaan yaitu
mampu mengungkap makna yang sebenarnya terkait peristiwa atau tanda bahasa yang
ditulis oleh pengarang berdasarkan konteks terjadinya teks tersebut. Akan tetapi, kita
membutuhkan kerja keras dalam memahami terjadinya teks yang disebabkan oleh
konteks. Secara umum konteks ini, berkaitan dengan seluruh komponen yang mendukung
dan mengakibatkan terbentuknya sebuah teks. Untuk itu, perlu dipahami secara lebih
mendalam tentang konsep dan contoh analisis karya sastra dengan menggunakan
pendekatan yang berorientasi pada konteks.
B. Pembahasan
Klarer mengemukakan pendekatan sastra yang berorientasi pada konteks
mengandung pengertian sebagai berikut:
The term context-oriented approaches refers here to a heterogeneous group of schools
and methodologies which do not regard literary texts as self-contained, independent works
of art but try to place them within a larger context. Depending on the movement, this
context can be history, social and political background, literary genre, nationality or
gender.249
249
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies (Second Edition), (London dan New York: Routledge,
2004), h. 91.
240
sejarah. Dari gerakan inilah akhirnya memunculkan beberapa pendekatan yang
berorientasi pada konteks, di antaranya: Teori Sastra Marxist, New Historicism:
Poststrukturalisme & Dekonstruksi, Teori Sastra Feminis, Teori Gender, Pendekatan
Intertekstualitas, Pendekatan Postkolonialisme, Postmodernisasi, serta Kritik Sastra Gay
dan Lesbian. Dalam pembahasan ini hanya akan dipaparkan tentang Teori Sastra Marxist,
New Historicism: Poststrukturalisme & Dekonstruksi, Pendekatan Intertekstualitas, serta
Kritik Sastra Gay dan Lesbian.
1. Teori Sastra Marxis
Teori Sastra Marxist sebagai bagian dari kritik sastra berawal dari tiga teks besar
dan terkenal. Dua di antaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels dan ketiga
terdapat dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin.250 Ajaran Marxis sendiri berawal dari
pemikiran Karl Marx dan Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman
yang revolusioner ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan
yang besar sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran
mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl
Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang
akhirnya diselesaikan oleh Engels.
Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang mula-mula adalah
pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam hubungannya dengan konsep
ideologi ini dijelaskan bahwa semua pikiran yang berbeda-beda, baik yang bersifat
falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan
dengan posisi kelas pengarang. Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja
memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh
perkembangan perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser
dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini menghasilkan
sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara tersirat sastra dan seni. Di
bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra semakin lama semakin dianggap sebagai
barang industri.
Kemudian Eagleton menjelaskan bahwa Marx sesungguhnya terpengaruh oleh
dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni.251 Namun menurut Eagleton, kemurnian
250
Steiner George, Marxism And The Literary Critic (New York: Atheneum. 1967).
251
Terry.Eagleton, Marxism and Literary Criticism (London: Methuen and Co Limited, 1977), h. 3.
241
pikiran Marx tidak terdapat dalam pendekatan sastra, melainkan terletak pada
pemahaman yang revolusioner terhadap sejarah itu sendiri. Teori sastra Marxis
menempatkan karya sastra dalam konteks mekanisme sosial-politik yang lebih besar.252
Kemudian menurut Carter, teori sastra Marxis memandang sastra sebagai kreativitas
manusia yang bersifat ideologis dan produk dari eksistensi sosial dan ekonomi.253 Lebih
lanjut Carter menjelaskan bahwa pada dasarnya sastra sebagai cerminan sosial yang
menjadi alat dalam mencegah kesadaran manusia dan kepentingan materi dari kelas
sosial yang dominan sehingga menentukan bagaimana semua kelas merasakan
keberadaan mereka. Teori sastra Marxis lahir didasarkan oleh tulisan-tulisan Karl Marx
(1818-1883) dan sastra teori di belakangnya, termasuk Georg Lukacs (1885-1971) dan
Antonio Gramsci (1891-1937), yang mana teks dianalisis sebagai ekspresi dari faktor
ekonomi, sosiologis, dan politis. Kondisi produksi pada periode sastra tertentu dan dari
berapa faktor tersebut memiliki pengaruh pada teks-teks sastra dari waktu pemeriksaan
atau analisis.
Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah Maxim Gorky yang sangat
berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang dianggap
sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai kritikus Marxis yang
besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria. Karya-karya Lukacs terutama menyoroti
masalah-masalah realisme, walaupun pandangannya kemudian banyak bersinggungan
dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs merampungkan
naskah bukunya yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni tentang
perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai Komunis
Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sezaman. Tulisan-
tulisannya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah filsafat, seperti alienasi,
fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting bagi teori Marxis tentang kesadaran,
ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs yang penting dari kurun ini adalah History and
Class Consciousness yang terbit 1923. Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul
di Eropa Barat. Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia
sebagai makhluk putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari
kenyataan seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril.
252
Mario Klarer, op.cit., h. 92.
253
David Carter, Literary Theory (www.pocketessentials.com: Pocket Essentials, 2006), hh. 55-56.
242
Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk (form) yang
dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis menurutnya menciptakan
pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan pemujaan terhadap komoditas
yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan
Historical Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis realis seperti
Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs sangat terpengaruh oleh
pikiran Thomas Mann.
Pengunggulan realisme dalam karya-karyanya sempat merangsang perdebatan
panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme mendamaikan kontradiksi di dalam
totalitas yang merupakan sikap reaksioner. Sebaliknya Lukacs berpendapat bahwa
kontradiksi semacam itu justru perlu diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan
merangsang manusia untuk membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata.
Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri khusus keseluruhan
karyanya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel baru Eropa waktu itu, ia kembali
ke pandangan realis lama bahwa novel mencerminkan realitas. Pencerminan itu bukan
melalui pelukisan wajah yang tampak dari permukaan saja, melainkan memberikan pada
kita sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup.
Menurut Lukacs, pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret. Sebuah novel
mungkin akan membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih konkret kepada realitas.
Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing,
tetapi proses hidup yang penuh. Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu bukan
realitas sendiri melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Oleh
sebab itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar memerlukan lebih dari
sekedar perwujudan luar.
Selain Lukacs, kritikus Marxis yang lain adalah Lucien Goldmann yang terkenal
dengan rumusan model strukturalisme genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks
adalah ciptaan jenius individual melainkan bahwa teks-teks sastra merupakan struktur-
struktur mental trans-individual; milik kelompok-kelompok tertentu yang kemudian
menghasilkan suatu pandangan dunia. Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang
homolog (persamaan bentuk) struktural di antara bermacam-macam bagian tata
masyarakat, membuat teori kemasyarakatannya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya
merupakan kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marxisme Hegel.
243
Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Benjamin dari aliran Frankfurt. Pertemuan
singkatnya dengan Adorno, memberi alasan untuk menyebutnya sebagai Marxsis meski
pun cap itu sangat pribadi sifatnya. Eseinya yang terkenal adalah Karya Seni dalam Abad
Reproduksi Mekanis yang memperlihatkan sebuah pandangan kebudayaan modern yang
bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik modern telah
mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu hanya dapat dinikmati
oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut sebagai perendahan nilai seni oleh
komersialisasi.
Teori Marxis terhadap interpretasi sastra, misalnya, mungkin melihat perkembangan
novel pada abad kedelapan belas sebagai konsekuensi baru kedua kondisi ekonomi bagi
penulis dan pembaca dan mode baru di bahan produksi buku cetak. Frankfurt School,
sebagai teori Marxis meliputi Theodor Adorno (1900-1969) dan Jürgen Habermas (1929)
telah memberikan pengaruh besar pada kritik sastra Inggris dan Amerika. Independen
jatuhnya blok Timur, bagaimanapun, Teori Sastra Marxis telah kehilangan banyak dampak
selama dua dekade terakhir.
2. New Historicism
Pendekatan New Historicism mencoba menganalisis teks sastra bukan saja berfokus
pada teks dan wacana, tetapi menambahkan dimensi sejarah untuk pembahasan teks-teks
254
sastra. New Historicism sebenarnya didasarkan pada Poststrukturalisme dan
Dekonstruksi. New Historicism mengambil pendekatan yang sama dengan yang ada
pada aliran Poststrukturalis, termasuk fenomena non-sastra pada definisi "text" dan
dengan demikian memperlakukan fenomena sejarah dan budaya. Gerakan ini relatif baru
dan, seperti dekonstruksi, menentang metode kaku terkait dengan aliran tertentu.
New Historicism juga mencoba menggabungkan Poststrukturalisme dengan
kekuatan teori budayanya dan Dekonstruksi dengan kekuatan identitas budaya dari
konteks yang menghasilkan teks sastra. Poststrukturalisme melangkah lebih jauh
dibandingkan strukturalisme yang membagi signifier dari signified yang melihat tanda pada
konteks penggunaannya.255 Poststrukturalime menentang konsep Saussure tentang
'parole' (bahasa sebagai ucapan) dan 'langue' (kompetensi bahasa), terutama ‘langue’
254
Mario Klarer, op.cit., 92.
255
Terry Eagleton, Literary Theory An Introduction (USA: Blackwell Publishing, 2005), h. 111.
244
yang menurut Poststrukturalisme bahasa tidak memiliki struktur impersonal yang
mendasari ucapan. Hal tersebut selalu dan hanya suatu sistem yang diartikulasikan, yang
berinteraksi dengan sistem lain dari makna dan dengan hubungan sosial manusia berupa
wacana yang berpotesi dari sesuatu yang dapat kita katakan melalui pengalaman dan
pengetahuan. Tokoh pencetus Poststrukturalisme yaitu Roland Barthes (1915-1980) yang
menganggap bahwa semua bentuk komunikasi dan representasi yang konvensional. Dia
membenci penulis yang menipu dirinya/dirinya dan pembacanya untuk berpikir melalui
bahasa yang dapat menjadi media transparan, dan dimungkinkan untuk mengirimkan ide-
ide ambigu yang jelas atau gambar realitas. Seorang penulis harus jujur tentang kepalsuan
dari apa yang dia lakukan. 256 Dalam karyanya yang pertama, kritik terhadap novel Honoré
de Balzac (Sarrasine), Barthes menjelaskan bahwa sastra dapat dianalisis menurut lima
kode:
1) Hermeneutik (berkaitan dengan teka-teki atau misteri dalam cerita).
2) Semic (berkaitan dengan asosiasi yang menimbulkan).
3) Simbolik (berkaitan dengan polaritas dan antitesis dalam cerita).
4) Proairetik (yang berkaitan dengan tindakan dasar dan perilaku).
5) Budaya (berkaitan dengan pengetahuan budaya umum bersama antara teks dan
pembaca). 257
Sedangkan Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca
sebuah teks yang menumbangkan anggapan (secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur,
keutuhan, dan makna yang tak menentu. Emzir menjelaskan dekonstruksi sebagai
pendekatan yang mengadung konsep suatu model berpikir yang kritis terhadap
strukturalisme yang berusaha menemukan “ketidaknyambungan” di dalam proses tafsir
sebuah karya sastra.258 Sementara itu, Tyson dalam Nurgiantoro memaparkan bahwa
paham dekonstruksi mendekonstruksi bahasa, ideologi, dan teks kesastraan.259 Tokoh
dekonstruksi yang pertama adalah Jacques Derrida (1930–2005) yang mengkaji urutan
ranking berbicara dan menulis dan 'mendekonstruksi' seluruh cara berpikir: baik lisan dan
256
David Carter, op.cit., hh. 102-103.
257
Ibid., h. 104.
258
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hh. 72-73.
259
Tyson dalam Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013), h. 89.
245
tulisan 'writerly' fitur, dan keduanya menandakan proses yang tidak memiliki arti
sebenarnya dari kehadiran (dari pembicara atau penulis). Dia membuat pernyataan yang
luar biasa bahwa semua ucapan selalu sudah ditulis. Pada dasarnya, tidak ada yang
pernah baru. Dia juga mengembangkan gagasan tentang 'hierarki kekerasan'. Dengan
menciptakan hirarki pidato atas tulisan melakukan kekerasan kita terhadap kebenaran:
ketika kita mengatakan bahwa 'a' adalah sebelum 'b', sebenarnya 'b' sudah tersirat dalam
'a'. Jadi kata 'baik' menyiratkan kata 'jahat', 'hukum' menyiratkan 'Durhaka' dll.
Dalam pendekatan Derrida, analisis sastra ada asumsi bahwa semua teks, apakah
sastra atau tidak, bisa didekonstruksi. Hal ini melibatkan, pada dasarnya pada
pembongkaran teks, atau bagian dari mereka, untuk mengungkapkan inkonsistensi dalam:
mana teks yang mungkin muncul untuk menyiratkan satu hal itu. Kemudian pada
kenyataannya, akan ditampilkan menyiratkan kebalikannya. Teks dibuat hanya untuk
kemiripan makna stabil. Di mana teks dapat muncul untuk menawarkan pilihan pembaca
(baik/atau), pada kenyataannya, tidak menawarkan pilihan seperti (baik/dan), dan tetap
pada akhirnya tidak mengikat, meninggalkan pembaca dengan tidak ada rasa penutupan.
260
Kemudian, dekonstruksi dikembangkan oleh Paul de Man (1919–1983) yang
menggapap bahasa pada dasarnya retoris yang mendekonstruksi sendiri dan J Hillis Miller
(1982) yang menganggap bahwa bahasa tidak pernah bisa merujuk ke dunia nyata yang
bersifat metafora dan metomini.261
Klerer memaparkan konsepnya tentang pandangan pascastrutural (dekosntruksi)
bahwa analisis metode pascastrukturalis ini dimulai dengan asumsi bahwa naskah dapat
dianalisis (hancur) dan disatukan (Dibangun). Menurut Dekonstruksi, naskah tidak tetap
sama setelah rekonstruksi, karena analisis tanda-tanda dan re-organisasi mereka dalam
proses interpretatif seperti kelanjutan dari naskah itu sendiri. Divisi tradisional menjadi
primary dan karena literatur sekunder larut ketika salah satu interpretasi sebagai
kelanjutan atau bagian yang tidak terpisahkan dari naskah. Sementara itu, Campbell
berusaha memaparkan pandangan Jacques Derrida terhadap persoalan dualisme.
Jacques Derrida telah memiliki pendekatan dalam menganalisa dualisme ini melalui
dekonstruksi, yakni pembalikan makna orisinal menjadi pasangan binernya untuk
mendemonstrasikan bahwa arti kedua memiliki makna yang sama pentingnya seperti
260
David Carter, op.cit., hh. 110-111.
261
Ibid., 112-114.
246
makna semula. Metode dekonstruksi yang dilakukan oleh Derrida lebih dikenal dengan
istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari
fungsi ekspresif bahasa, tetapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan.
Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat
mempengaruhi pemahaman atas berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks yang
disusun oleh penulis, di mana teks bersifat metaforis.
Bagi Derrida, dekonstruksi menjadi paham yang amat penting dan berpengaruh
besar terutama sekali karena ia menghadapkan dirinya dengan satu paham yang sangat
berakar dalam dan lama dalam tradisi filsafat dan pemikiran pada umumnya. Konsep
tersebut yang oleh Derrida dipahami sebagai logosentrisme dan fonosentrisme.
Dekonstruksi melihat bahwa makna bahasa sebagai rangkaian penanda-penanda, karena
petanda adalah penanda juga sebenarnya. Sebuah petanda tidak memiliki arti dalam
pengertian yang sempurna, karena adanya siklus tidak terputus dalam pemaknaan
petanda. Oleh karena itu, hubungan antara petanda-penanda dalam dekonstruksi bersifat
terbuka, lebih tepat jika disebut sebagai hubungan antarpenanda yang tidak terbatas.
Hubungan ini dibangun atas dasar konsep trace (jejak).
Jejak dalam teks hadir dalam sebuah teks dengan ‘tidak sadar’, tetapi
keberadaannya dapat memiliki pengaruh dalam aktivitas pembacaan dekonstruksi. Karena
kehadiran jejak dalam dekonstruksi dapat digunakan sebagai penentu makna teks itu
sendiri. Penentuan makna teks dalam teks dengan menghadirkan jejak dilakukan karena
tanda-tanda yang hadir dalam teks saling berkait. Tanda-tanda dalam teks bersifat bolak-
balik, hadir dan tidak hadir, dan ke segala arah. Pemberian makna terhadap tanda-tanda
tidak dapat dilakukan secara definitif, melainkan dengan menghadirkan oposisi, di mana
oposisi yang hadir juga berdasarkan tanda. Tugas pemberian tanda atau kritik teks ialah
dengan mengadakan dekonstruksi, membongkar teks dengan mengembalikannya pada
teks-teks lain. Metode dekonstruksi antara lain dilakukan oleh Jacques Derrida.
Dekonstruksi adalah suatu metode pembacaan teks secara teliti, yaitu dengan
menginterogasi teks, merusaknya melalui pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang
tertulis di dalam teks. Keberadaan oposisi biner menunjuk pada suatu pasangan kata-kata
yang saling beroposisi antara satu dengan lainnya yang bersifat hirarkis, di mana
kehirarkisannya bersifat kondisional. Pernyataan tersebut karena adanya pandangan
bahwa bahasa dianggap sebagai sesuatu yang labil, dapat berubah-ubah, menurut kondisi
247
yang mempengaruhinya, sehingga oposisi biner dalam dekonstruksi bersifat tidak tetap
dan berubah-ubah. Oposisi hirarki terjadi karena keberadaan dekonstruksi sebagai reaksi
atas kecenderungan yang muncul sebelumnya, yaitu mengenai fonosentrisme dan
logosentrisme, suatu paham pemikiran yang berpusat pada suara (phono) dan kata (logo).
Adanya pandangan yang didominasi oleh fonosentrisme dan logisentrisme adalah dengan
melakukan dekonstruksi.
Dekonstruksi yang menekankan pemaknaan pada hubungan antarpenanda yang
bersifat terbuka bahwa sebagian makna tanda ada pada tanda lainnya, sehingga tidak
adanya perbedaan antara petanda-penanda yang satu dengan petanda-penanda yang
lainnya. Meski dianggap sebagai strategi pembalikan, dekonstruksi bukanlah strategi
pembalikan yang sederhana tentang kategori-kategori yang sudah jelas dan tidak dibuat-
buat. Pembacaan dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan teks dengan cara baru
secara radikal. Dalam praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan pemindahan.
Dalam melakukan pembalikan, oposisi-oposisi hirarkis ditiadakan. Kemudian pembalikan
ini dipindahkan, ditempatkan ‘di bawah penghapusan’ (sous rapture), sehingga dapat
memunculkan teks yang berada di pinggiran. Teks yang dibaca secara dekonstruktif akan
terlihat acuannya melampaui dirinya sendiri, referensi pada akhirnya dapat menjadi teks
lain. Seperti halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda lain, teks juga hanya
dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu perpotongan dan jaringan yang dapat
dikembangkan untuk waktu yang tidak terbatas, suatu intertektualitas.
Menurut Derrida, (Culler dalam Jabrohim) penerapan dekonstruksi pada studi
sastra, maka harus disertai oleh beberapa catatan, yaitu:
a) Dekonstruksi bukanlah teori, tidak menawarkan teori yang lebih baik mengenai
kebenaran; melainkan bekerja dalam dan sekitar kerangka diskursuf yang sudah
ada, tidak menawarkan dasar baru;
b) Dekonstruksinisme merupakan paham filsafat yang menyeluruh mengenai aktivitas
interpretasi, bukan faham yang khusus mengenai sastra; meskipun di dalamnya
teori sastra memainkan peranan penting, karena: a) teori sastra bersifat
komprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa, b) teori
sastra melakukan eksplorasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang
dan memprovokasikan diskusi-diskusi teoretik tentang pertanyaan-pertanyaan yang
paling general mengenai rasionalitas, refleksi diri, dan signifikasi, c) para teoretisi
248
sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoretik yang baru dalam
lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang
khusus di bidang-bidang tersebut.262
Berikut contoh kajian Dekonstruksi pada Novel “Sitti Nurbaya”. Cara pembacaan yang
sama dapat juga diakukan terhadap novel-novel yang lain, misalnya terhadap Sitti Nurbaya.
Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh
protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, di pihak lain, merupakan
tokoh antagonis yang serba jahat atau tokoh hitam. Melalui pembacaan dekonstruksi,
keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahn bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda
cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit Hanya karena kegagalan cintanya
terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus
asa dan berusaha bunuh diri (bahkan untuk bunuh diri pun dia tidak berhasil!). Hai itu
menunjukkan bahwa secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat . Setelah
ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk menjadi serdadu
Kompeni. Belakangan, di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya,
terjadi pemberontakan karena masalah Blasting, ia ditugaskan untuk menumpaskan
pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur sekaligus
untuk membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjdi biang keladi kegagalan
cintanya dan sekaligus tokoh pemberontak. Apapun alasannya, hal itu berarti bahwa ia
memerangi bangsanya sendiri dan justru berpihak membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari dekonstruksi Jauss, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis
yang berwujud "sejarah" dari masa ke masa tentang perbuatan Samsul Bahri tersebut
dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapi sebagai
perbuatan pengkhianat bangsa. Secara formal dia memang membela pemerintah, tetapi
siapa pemerintah itu? Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya,
semata-mata didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan,
bahkan untuk pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau ia diakui hanya sebagai tokoh jahat, bandot
tua yang doyan perempuan justru dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik.
262
Jabrohim (ed), Teori Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
249
Bahkan, urusannya dengan mengawini perempuan itu, kini pun mungkin ada yang
menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta. Dialah yang
menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah
Belanda itu walau hal itu dilakukan terutama karena motivasi pribadi: dia yang paling
banyak terkena pajak. Apapun motivasinya, dia menjadi tokoh pemberontak. Namun,
harus ditegaskan, siapa yang dia berontaki! Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa,
yang, seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Dengan demikian, justru dialah yang berhak sebagai pahlawan dan bukannya Samsul
Bahri. Ahmad Maulana dan Alimah dalam novel Sitti Nurbaya, hanyalah merupakan
tokoh pinggiran yang umumnya dianggap perannya kurang penting. Namun, jika
dipahami betul pesan-pesan penting yang disampaikan lewat novel itu, akan terlihat
bahwa kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Peran itu, dapat dilihat dari
perbincangannya dengan tokoh Sitti Nurbaya dan dengan tokoh Ahmad Maulana yang
mengungkapkan beberapa kejelekan pernikahan poligami yang sebenarnya lebih banyak
menyengsarakan perempuan dan anak-anaknya.
3. Pendekatan Intertekstualitas
Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan
teks lain. Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu,
suatu kerangka yang menentukan dan membentuk bentuk, tetapi juga karena teks
tersebut berhubungan dengan teks lain. Suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi oleh teks
baru, baik perbedaannya maupun persamaannya.263 Konsep tersebut sejalan dengan
pandangan istilah intertekstualitas yang dicetuskan oleh Julia Kristeva dikembangkan dari
konsep dialogisme yang dikemukakan oleh Filsuf Rusia, Mikhaïl Bakhtine. Pendekatan
intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan
sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan. Semua ungkapan baik tertulis maupun lisan, dari semua teks
seperti laporan ilmiah, novel, dan berita dibedakan di antaranya oleh perubahan dari
pembicara (atau penulis), dan ditujukan dengan pembicara atau penulis sebelumnya.
Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai dari komunikasi. Semua
263
Partini dalam Jabrohim. op.cit., h. 172.
250
pernyataan/ungkapan didasarkan oleh ungkapan yang lain, baik eksplisit maupun implisit.
Semua pernyataan, dalam hal ini teks, didasarkan dan mendasari teks lain. Sekali lagi hal
ini ditegaskan Bakhtine (1929) dalam pernyataannya; Berbicara adalah berkomunikasi,
dan berkomunikasi adalah berinteraksi.
Masih berkaitan dengan dialogisme, Jabrohim menyatakan bahwa pusat semua
pengujaran dan ekspresi bukan di dalam, tetapi di luar, yakni lingkungan yang melingkupi
individu.264 Hal ini menunjukkan bahwa ujaran seseorang bukanlah sebuah tindak pribadi,
melainkan sebuah aktivitas sosial yang ditentukan oleh semua komponen hubungan
dialogis. Dialog dalam makna sempit hanyalah merupakan salah satu bentuk interaksi
verbal. Dialog dalam arti luas bukan hanya sebatas pertukaran komunikasi dengan suara
yang besar dan melibatkan individu-individu yang saling berhadapan, tetapi meliputi
semua pengujaran yang bermakna dan lengkap, yang tidak hanya terdiri dari satu bagiaan
komunikasi verbal yang terputus.265
Selanjutnya pemikiran tersebut dikembangkan oleh Julia Kristeva (1977), yang ia
namakan sebagai Intertekstualitas. Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks merupakan
sebuah jalinan kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari
teks-teks lain. Istilah intertekstualitas secara umum dapat dipahami sebagai hubungan
suatu teks dengan teks lain yang terjalin dari kutipan-kutipan, penyerapan dan
transformasi teks terdahulu. Dengan mengambil komponen-komponen teks yang sebagai
bahan dasar untuk penciptaan karyanya, maka si pengarang kemudian dapat memberikan
warna sebagai penyesuian dan penambahan-penambahan sehingga menjadi sebuah
karya baru yang utuh.266
Selanjutnya, pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas tersebut, dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a) kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain;
b) selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan
teks-teks pendahulu;
c) adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks
pemengaruh sehingga nampak jejak; dan
264
Ibid
265
Mikhaïl Bakhtine, Esthétique et Théorie du Roman (Paris : Gallimard, 1978), h 136.
266
Culler Kristeva dalam Djoko Pradopo. Beberapa Teori Ssastra, Metode Kritik, dan Penerapannya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 155.
251
d) pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan
teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia
membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam prinsip intertekstualitas ini, Ratna
(2011:216), menyatakan, tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya.
Artinya, sesuatu karya seni diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain.
Teori interteks dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukkannya ke dalam peta
pemahaman sehingga menghasilkan karya yang baru. Karya baru yang dihasilkan sebagai
mosaik kutipan.267 Selain itu, Bakhtin, Todorov dalam Faruk memaparkan bahwa tidak ada
tuturan tanpa hubungan dengan tuturan-tuturan lain. Dua karya verbal, dua tuturan, masuk
ke dalam suatu jenis hubungan semantik tertentu yang disebut hubungan dialogis. 268
Salah satu cara untuk dapat memahami makna karya sastra secara total adalah
dengan jalan melihat hubungan intertekstual antara karya sastra yang memiliki hubungan
kesejajaran, baik dengan karya yang mendahului maupun karya sastra yang sezaman.
Intertekstual adalah masuknya teks lain ke dalam suatu teks, saling menyilang dan
menetralisasi satu dengan lainnya.
Setiap teks merupakan penyerap atau transformasi teks-teks lain. Sebuah karya
sastra merupakan penyerapan dan transformasi hipogramnya. Masuknya suatu teks ke
dalam teks lain adalah hal wajar terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu
teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat
sebagai suatu mosaik.
Teori interteks, dengan menganggap bahwa segala sesuatu adalah teks, sebagai
teks informal, maka teori interteks menembus sekat pemisah antardisiplin, sehingga
berbagai ilmu merupakan objek bagi ilmu yang bersangkutan. Teori interteks
menganggap, tidak ada makna yang asli, makna tidak melekat dalam objek, pada
gilirannya semua objek menjadi bermakna sebab makna diperoleh melalui perluasan,
penggantian dan pembaruan dalam arti seluas-luasnya.
267
Nyoman Kutha Ratna, Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses
Kreatif (Yogyakarta: Pustka Pelajar, 2011).
268
Bakhtin, Todorov dalam Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturak Genetik sampai Post-
Moderisme (Yogyakarta: Pustaka Peelajar, 2015), h. 225.
252
Makna sebuah karya sastra tidak lepas dari konteks sejarah dan konteks sosial-
budayanya. Sebab, sastra tidak lahir dari kekosongan kebudayaan. 269 Sebuah karya
sastra, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau
yang kemudian. Riffaterre dalam Pradopo memaparkan hubungan sejarah ini baik berupa
persamaan ataupun pertentangan. Bahwa teks sastra yang menjadi latar penciptaan karya
sastra sesudahnya itu disebut hipogram.270 Setiap teks sastra itu merupakan mosaic
kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dunia ini adalah teks. Teks
tidak hanya tulisan, bahasa atau cerita lisan, tetapi juga termasuk; masyarakat, adat dan
aturan-aturan
Atas dasar pandangan itu, intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca
dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, penciptaan dan pembacaan tidak dapat
dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa
teks baru hanya mengambil teks-teks sebelumnya sebagai acuan, tetapi juga bisa
menyimpangi dan mentransformasikannya dalam teks-teks yang dicipta kemudian.
Contoh intertekstual pada puisi Air Hamzah dan Chairil Anwar berikut:
Di mana engkau
Rupa tiada Aku mengembara di negeri asing
Suara sayup
269
Teeuw dalam Djoko Pradopo, op.cit., h. 167.
270
Ibid
253
Hanya kata merangkai hati Tuhanku
Di pintu-Mu mengetuk
Engkau cemburu Aku tidak bisa berpaling
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dalam lepas
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-buka giliranku
Mati hari-bukan kawanku
254
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak tersebut, namun pelaksanaannya, yaitu
pengekspresiannya, berbeda, menyebabkan hasilnyapun berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan tanggapan terhadap Tuhan (wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih. Tuhan dianthromorfofismekan,
diwujudkan sebagai manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat per-
sonifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu l / Kaulah kandil kemerlap
/ Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu //....../ Engkau pelik menarik ingin / serupa dara di
balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti yang terbentuk wadag: Satu
kekasihku / Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa /A diinginkan Amir Hamzah pertemuan dengan
Tuhan seperti halnya Nabi Musa: Hanya satu kutunggu hasrat / >Musa dipuncak Tursina ("Hanya
Satu", 1959: 7). Tuhan dieambarkan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas (di sni juea
digambarkan sebagai binatang buas: harimau atau garuda): Engkau cemburu/Engkau
ganas/Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas.
Hal tersebut di atas lain dari gambaran wujud Tuhan menurut konsepsi Chairil Anwar.
Antara aku dan Engkau itu ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, ada hamba dan Tuhan. Maka
Chairil Anwar tak memberi-Nya bentuk manusia (anthropomorfisme), melainkan hanya kekuasaan-
Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya yang panas meskipun juga untuk menerangi hati
manusia: cahaya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi//. Dalam sajaknya "Di mesjid"
Kuseru saja Dia sehingga datang juga // Kami pun bermuka-muka// Seterusnya la bernyala-nyala
dalam dada // Segala daya memadamkannya // Bersimbah penun diri yang tak bisa diperkuda.
Jadi betapa mahakuasanya Tuhan, seperti api yang berkobar menyala-nyala yang
membuat sia-sia si aku memadamkannya karena tidak mungkin. Manusia tak dapat berbuat lain
kecuali banva berserah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia tumpuan keluh dan tangis
1
manusia: Tuhanku / aku hilang bentuk remuk //Tuhanku / aku mengembara di negeri asing.
Dalam hal gaya ekspresi, Chairil Anwar mempergunakan gaya semacam imagisme, yaitu gaya
yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji- Tuhanku /
aku hilang bentuk / remuk /... aku mengembara di negeri asing//. Dengan demikian, kata-kata dan
kalimatnya ambigu atau bertafsir ganda. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra, tetapi tidak
untuk mengemukakan pengertian, melainkan men gkonkretkan tanggapan. Kaulah
kandil kemerlap// Pelita jendela di malam gelap / Melambai pulang perlahan/sabar, setia selalu/..../
Engkau cemburu / Engkau ganas aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas //. Di sini
kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan.
255
4. Kritik Sastra Gay dan Lesbian
Sekarang ini karya Gay Lesbian Bisexual dan Transgender (GLBT) menjadi salah
satu genre sastra yang ditujukan khusus kepada audience yang notabenenya adalah
heterosexual sebagaimana yang dijelaskan oleh Luca Prone dalam bukunya Enciclopedia
of Gay and Lesbian Popular Culture.
”As Alexander doty and Ben Gove (1997) have pointed out, addressing the topic of lesbian,
gay, and queer representation and presence in popular culture now implies challenging the
identification of so-called mass and popular phenomena as only created and consumed by
heterosexuals. They argue that since the 1970s, lesbians, gays, and queers have become
active subjects in popular culture addressing increasingly larger audiences”. 271
Dari penyataan tersebut kemudian menuntun kita untuk kembali memikirkan alasan-
alasan dibalik kenapa masyarakat heterosexual kemudian menggemari jenis karya GLBT
terutama M&M romance. Dalam kaitannya dengan karya Alex Beecroft yang berjudul
False Color pada beberapa respons lansung dan review teradap karya tersebut
menjelaskan beberapa alasan wanita menggemari M&M romance. Penulis dan beberapa
kelompok pembaca yang memberikan respons menjelaskan beberapa alasan apa yang
mendasari para wanita membaca dan menulis jenis karya GLBT khususnya oleh Mrs.
Norrison pada postingannya pada 26 april 2009 sebagai perespons lansung diskusi M&M
romance menyatakan bahwa alasan kenapa wanita menyukai M&M romance adalah
kenyataan bahwa dua orang pria saling mencintai dan melawan arus sosial masyarakat
yang menyebabkan menarik bagi mereka, dimana kedua karakter tersebut kemudian
melanggar aturan sosial mereka dan menanggung resiko atas hubungan yang mereka
jalani.
Peranan karya sastra False Colour yang ditulis oleh Alex Beecroft berada pada dua
kelompok, karya sastra tersbut merupakan satu bentuk hiburan populer sekaligus sebagai
alat penyampai pembelajaran dan pandangan mengenai homosexual. Karya ini menjadi
hiburan populer, terkait dengan pernyataan yang disebutkan oleh Alex diatas mengenai
alasan seseorang membaca dan menulis sastra GLBT. Di mana Alex menuliskan
”Because women are fed up of dealing with the stresses and strains of being a woman and
would like to try being a man for a while, without having to give up the love of a good
man“.272 Hal tersebut dibenarkan oleh pembaca seperti yang ditulis oleh Karla Bushway
271
Luca Prono, Encyclopedia gay and Lesbian Popular Culture (London; Greenwood Press. 2008).
272
Alex Beecroft, False Color (US: Pan-American and International Copyright Concentions, 2009).
256
“My first gay historical romance! Are they always this good? Probably not, darn it. While
this is indeed a romance in part, there’s also lots of adventure and a fine cast of characters
that surround the story’s couple. There are gritty period details aplenty, along with a
gloomy and deadly pall that hangs over men who dared to love the wrong gender”. Dari
kedua kutipan di atas kita dapat melihat bagaimana seorang pembaca dan juga penulisnya
merasa terhibur dengan adanya karya GLBT. Alasan-alasan yang melatar belakangi
mereka untuk membaca karya GLBT bisa saja beragam, beberapa dari review pembaca
memilih karya False Color karena adanya latar belakang sejarah yang jelas; namun seperti
yang dikatakan Alex Beecroft pada Livejuournalnya disebutkan bahwa setidak-tidaknya
terdapat 13 alasan yang melatarbelakangi kenapa pembaca heterosexual memilih untuk
membaca karya M&M romance. Alasan-alasan tersebut akah secara lebih detail akan di
bahas pada bagian subtopik harapan dan pengaruh terhadap pembaca.
Karya sastra GLBT digunakan sebagai media pembelajaran bagi kaum
heterosexual untuk melihat bagaimana dan apa yang terjadi pada kehidupan kaum
homosexual. Pada bagian di atas kita telah melihat beberapa alasan yang
melatarbelakangi seseorang menulis dan membaca karya sastra GLBT, hal itu tidak hanya
didasari oleh fakta dukungan terhadap kaum minoritas yang dalam karya ini merupakan
kelompok-kelompok yang memiliki disorientasi sexual. Dalam karyanya Alex Beecroft
selain berbicara mengenai romansa kaum homosexual, dia juga berbicara mengenai
kemungkinan-kemungkinan bahaya penyakit yang bisa saja diidap oleh kelompok
homosexual tersebut. permasalahan mengenai kesehatan merupakan salah satu point
penting dalam penulisan GLBT. Karna dalam pemberitaan media dijelaskan bahwa para
kelompok GLBT ini memiliki kecendrungan yang lebih besar untuk kemudian terinveksi
penyakit seperti penyakit menular sexual dan sebagainya.
Dalam kritik sastra gay dan lesbian mencoba menganalisis khususnya pada
konteks karya sastra yang menyuguhkan kehidupan trans jender, baik itu gay (hubungan
intim antara laki-laki dengan laki-laki) maupun lesbian (hubungan intim antara perempuan
dengan perempuan). Kritik sastra ini harus sebisa mungkin mengungkap setiap tindakan
atau perilaku yang dilakukan oleh para gay atau lesbian.
257
C. Kesimpulan
Dari pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan berorientasi pada
konteks mengacu pada aliran kelompok heterogen dan metodologi yang tidak
menganggap teks sastra sebagai karya seni yang independen mandiri, tetapi mencoba
menempatkan teks sastra dalam konteks yang lebih besar. Konteks dalam hal ini dapat
berupa konteks sejarah, latar belakang sosial dan politik, genre sastra, dan kebangsaan
atau gender. Terdapat beberapa jenis pendekatan yang berorientasi pada konteks, yaitu:
Teori Sastra Marxist, New Historicism: Poststrukturalisme & Dekonstruksi, Teori Sastra
Feminis, Teori Gender, Pendekatan Intertekstualitas, Postkolonialisme, Postmodernisasi,
serta Kritik Sastra Gay dan Lesbian.
Teori Sastra Marxist menempatkan karya sastra dalam konteks mekanisme sosial-
politik yang lebih besar atau teks dianalisis sebagai ekspresi dari faktor ekonomi,
sosiologis, dan politis. New Historicism mencoba menganalisis teks sastra bukan saja
berfokus pada teks dan wacana, tetapi menambahkan dimensi sejarah untuk pembahasan
teks-teks sastra. New Historicism sebenarnya didasarkan pada Poststrukturalisme dan
Dekonstruksi. New Historicism juga mencoba menggabungkan Poststrukturalisme dengan
kekuatan teori budayanya dan Dekonstruksi dengan kekuatan identitas budaya dari
konteks yang menghasilkan teks sastra. Poststrukturalisme melangkah lebih jauh
dibandingkan strukturalisme yang membagi signifier dari signified yang melihat tanda pada
konteks penggunaannya dan bahasa tidak memiliki struktur impersonal yang mendasari
ucapan. Sedangkan Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca
sebuah teks yang menumbangkan anggapan (secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur,
keutuhan, dan makna yang tak menentu.
Pendekatan intertekstualitas dipahami bahwa suatu teks itu penuh makna bukan
hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan dan
membentuk bentuk, tetapi juga karena teks tersebut berhubungan dengan teks lain.
Kemudian, Kritik Sastra Gay dan Lesbian mencoba menganalisis khususnya pada konteks
karya sastra yang menyuguhkan kehidupan trans jender, baik itu gay (hubungan intim
antara laki-laki dengan laki-laki) maupun lesbian (hubungan intim antara perempuan
dengan perempuan).
258
DAFTAR PUSTAKA
Beecroft, Alex. False Color. US: Pan-American and International Copyright Concentions,
2009.
-------------------. Marxism and Literary Criticism. London: Methuen and Co Limited, 1977.
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
George, Steiner. Marxism And The Literary Critic. New York: Atheneum. 1967.
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies (Second Edition). (London dan New York:
Routledge, 2004.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013.
Pradopo. Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Prono, Luca. Encyclopedia gay and Lesbian Popular Culture. London; Greenwood Press.
2008.
259
TELAAH DAN PENGAJARAN SASTRA LAMA/SASTRA LISAN
oleh:
=================================================================
Abstrak
Makalah ini akan mengulas tentang telaah dan pengajaran sastra lama/sastra
lisan.Sastra merupakan bagian dari kehidupan yang berasal dari suatu kebudayaan yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sastra merupakan salah satu cara yang dilakukan
pengarang dalam mengungkapkan kehidupan lewat media bahasa sebagai penghubung
antara pengarang dan pembacanya. Sastra lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau
sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke indonesia
bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Sastra lama/sastra lisan bisa
dilihat dari dua bentuk, yaitu sastra lama lisan dan sastra lama tulis. Sastra lisan lebih awal
muncul daripada sastra tulis. Sastra tulis muncul setelah dikenal sistem aksara di beberapa
daerah di wilayah Indonesia. Karena itulah bila membahas tentang sastra lama pikiran kita
langsung tertuju pada sastra lisan.
Kata kunci: Telaah Sastra Lama/Sastra Lisandan Pengajaran Sastra Lama/Sastra Lisan
A. Pendahuluan
Pengajaran sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan sering dianggap
kurang penting oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan dan apresiasi
sastranya rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang idealnya menarik dan besar
sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan
kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Sastra dianggap kurang
penting dan kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena
masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-
konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih
260
penting dan mendesak untuk digapai.Bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan,
rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai
bagian dari budaya warisan leluhur. Makalah ini diharapkan dapat menggugah kembali
kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak
dan sejajar dengan mata ajar lainnya. Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra
Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan
menanamkan rasa cinta, baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Adapun tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan
penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan, tujuan khusus pembelajaran sastra di sekolah yaitu dapat menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan sosial. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. Serta menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra
adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra
merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra hadir
untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan
kehidupan.Namun sering kali kita tidak mengerti apa yang di maksud dengan sastra,
kebanyakan orang menyamakan antara sastra dan bahasa. Dalam sastra Indonesia
sendiri, benyak sekali bagian-bagianya. Secara garis besar sastra indonesia terbagi
menjadi dua yaitu sastra lama dan sastra baru/modern. Dari sekian banyak sastra
contohnya seperti puisi, cerpen, novel,pantun,gurindam, prosa dan sebagainya dan
diantara jenis-jenis karya sastra tersebut memiliki ciri masing-masing dan tidak bisa
dikatakan sama. Sehingga, pada makalah ini akan dibahas bagaimana menelaah sastra
lama/sastra lisan serta pengajaran sastra lama/sastra lisan.
261
B. Pembahasan
1. Hakikat Sastra lama/Sastra Lisan
Mengapa sastra lama dikatakan sebagai sastra lisan/tradisi lisan atau sering juga
disebut sastra melayu? Kalau membahas tentang kesusastraan lama baik yang berbentuk
prosa maupun puisi, sebenarnya mencakup seluruh karya sastra yang ada di Indonesia.
Ini berarti meliputi semua karya sastra yang ada di seluruh wilayah nusantara, seperti:
sastra Jawa, sastra Melayu, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Makassar, sastra Aceh, dan
lain-lain. Itupun hanya meliputi karya sastra yang belum mendapat pengaruh kebudayaan
atau sastra Barat.273 Dengan demikian, yang dimaksud dengan karya sastra lama adalah
karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari kebudayaan atau sastra Barat.
Sastra Indonesia adalah sastra yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
mediumnya. Bahasa Indonesia itu sendiri tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu.
Akan tetapi tidak tepat apabila dikatakan bahwa sastra Melayu sama dengan sastra
Indonesia lama, karena memang kenyataannya bahasa Melayu tidak sama dengan
bahasa Indonesia.
Karya sastra lama mula-mula timbul, disampaikan secara lisan. Hal ini disebabkan
oleh belum dikenalnya bentuk tulisan seperti yang kita kenal saat ini. Setelah agama,
pendidikan, dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal
tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itulah babak-babak sastra
pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.
Nurgiyantoro menyatakan sastra lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau
sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke
indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Peninggalan
sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye Tujuh,
Aceh.274
Menurut Emzir pada hakikatnya, sastra lama/sastra lisan bisa dilihat dari dua
bentuk, yaitu sastra lama lisan dan sastra lama tulis. Sastra lisan lebih awal muncul
daripada sastra tulis. Sastra tulis muncul setelah dikenal sistem aksara di beberapa
273
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1990) h. 5.
274
Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra(Yogyakarta: BPFE., 2009) h. 23.
262
daerah di wilayah Indonesia. Karena itulah bila membahas tentang sastra lama pikiran kita
langsung tertuju pada sastra lisan.275
Menurut Hutomo dalam Emzir menjelaskan sastra lisan mengandung kekayaan
nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kreativitas sastra. Sastra lisan merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris yaitu oral literatureyang berarti kesusastraan yang
mencakup ekspresi kesastraan warga yang penyampaian dan penyebarannya disebarkan
dan diinstrumenkan secara lisan.276
Sedangkan Djojosuroto mengatakan bahwa sastra lama sama dengan sastra
rakyat. Dimana sastra rakyat adalah sastra yang masih hidup di kalangan rakyat. Semua
lapisan masyarakat mengenal cerita itu karena cerita tersebut milik masyarakat bukan
milik seseorang. Dalam bahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk cerita rakyat adalah
folk literature. Orang sering menggunakan istilah ini dengan singkatan folklore atau
folktale.Folklore adalah kebudayaan yang disampaikan secara turun-temurun. Sastra
rakyat atau folk literature adalah salah satu bagian dari folklore. Istilah folklore dalam
bahasa Indonesia sukar dicari padanannya. Ada yang menamakannya tradisi lisan dan ini
kurang tepat. Sehingga, istilah folklore diserap bahasa Indonesia dengan penyesuaian
ejaannya menjadi folkor.277Folktale (dongeng) adalah bagian dari folk narrative (prosa
tradisional). Sementara folk narrative merupakan bagian dari folk literarture.
Sementara menurut Danandjaja dalam Emzir menjelaskan folk adalah sekelompok
orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan khusus, sehingga dapat
ditingkatkan dari kelompok lain. Dengan demikian, folk merupakan kolektif yang memiliki
tradisi dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Lore adalah sebagian tradisi
yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan melalui contoh yang disertai gerak
rakyat atau alat bantu. Jadi dengan demikian folklore adalah adalah bagian dari
kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Kegiatan tutur dan pewarisan yang disampaikan secara lisan, maka orang sering
menyebutkan folklore sebagai budaya lisan atau tradisi lisan. Karena sastra
rakyat/tradisional/lama biasanya disampaikan secara lisan (didendangkan, dinyanyikan)
275
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Rajawali Press, 2015) h. 227.
276
Ibid, h. 227.
277
Kinayati Djojosuroto dan Noldy Palenkahu, Teori Apresiasi dan Pembelajaran Prosa
(Yogyakarta:Pustaka Book Publisher, 2009), h.143.
263
oleh tukang cerita. Itulah sebabnya sastra rakyat disebut sastra lisan (old literature). Dalam
sastra lama terkandung kepercayaan pandangan hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai
budaya bangsa. Dengan demikian, dari sastra lama itu dapat diketahui bagaimana
kepercayaan masyarakat pada waktu itu, misalnya kepercayaan adanya benda-benda
sakti, kekuatan gaib, kepercayaan adanya makhluk halus, dan sebagainya.
Folklor dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian
lisan, dan (3) folklor material. Pada folklor lisan hampir seluruh materinya adalah lisan dan
biasanya mempunyai tradisi penuturan lisan. Tradisi penuturan tersebut ada yang masih
aktif dan ada yang pasif. Hal yang sama juga berlaku pada folklor sebagian lisan, tetapi
materialnya tidak seluruhnya lisan misalnya perangkat seremonial dan upacaranya itu
sendiri/baik folklor lisan, sebagian lisan maupun folklor material, sehingga folklor ini
menjadi tradisi yang turun-menurun melalui lisan dari masing-masing masyarakat
setempat. Maka dengan demikian terjadi siklus tradisi lisan.
Perkembangan folklor tidak hanya terbatas pada golongan petani desa, tetapi juga
nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara, guru sekolah, mahasiswa, tukang becak,
dan sebagainya. Demikian juga penelitian folklor bukan hanya terhadap orang Jawa, tetapi
juga orang Sunda, orang Bugis, orang Menado, orang Ambon dan sebagainya. Bukan
hanya untuk penduduk yang beragama Islam, melainkan juga orang Katolik, Protestan,
Hindu Dharma, Buddha, bahkan juga Kaharingan (Dayak), Melohe Adu (Nias), dan semua
kepercayaan yang ada. Folklor juga berkembang baik di desa maupun di kota, di keraton
maupun di kampung, baik pada pribumi maupun keturunan asing, asal mereka memiliki
kesadaran atas identitas kelompoknya.
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus
diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur
kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk
standar.
c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya
secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk
dasarnya tetap bertahan.
d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
264
e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut
sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya
dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna
sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan
terpendam.
g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar
atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi
(cerminan) emosi manusia yang jujur.
Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya tujuh unsur
kebudayaan universal yang meliputi sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem
peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian,
sistem pengetahuan, dan sistem religi. Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan
universal tersebut mempunyai tiga wujud, yaitu:
278
James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta: Grafiti Press,
2002), h.21.
266
Masyarakat Jawa misalnya mempunyai ungkapan, “sapa goroh growah, sapa jujur bakal
mujur” (Barangsiapa berbohong akan tertimpa kemalangan, siapa yang jujur akan
bernasib baik).279
279
Emzir, Op.Cit., h. 230.
267
5. Kondisi Pembelajaran Sastra Lama di Indonesia
Pembelajaran sastra lisan pada lembaga pendidikan mampu menjadi harapan
bagi guiding light yang berfungsi untuk menuntun manusia berbudi pengerti luhur.280
Sebagai contoh menghormati keanekaragaman, menghargai, dan mempraktikkan nilai-
nilai demokrasi yang terdapat dalam sastra lisan. Oleh karena itu, wawasan pluralisme dan
multikulturalisme perlu dikembangkan sebagai wujud Bhinneka Tunggal Ika di kalangan
peserta didik.
Berdasarkan Kemendiknas No. 232/2000, pembelajaran di lembaga pendidikan
adalah berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya tersebut bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran akan identitas dan jati diri budaya pada siswa secara simultan
meningkatkan toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan budaya lokal yang terdapat
di lingkungan masyarakatnya melalui proses pembelajaran yang memuat konteks budaya.
Pembelajaran berbasis budaya juga bertujuan untuk menumbuhkan minat dan
penghargaan siswa atas kesenian dalam konteks luas dan khususnya lisan yang
bercirikan tradisi lokal, di samping mengembangkan kemungkinan pelaksanaan
pembelajaran yang berwawasan multikultural melalui dukungan dan partisipasi
masyarakat.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi pembelajaran yang saat ini
sedang berkembang di berbagai negara. Pembelajaran berbasis budaya ini membawa
budaya lokal ke dalam proses pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah secara
terpadu. Oleh karena itu, pembelajaran sastra lisan dan ranah pembelajaran bahasa dan
sastra di lembaga pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, merupakan
upaya pelestarian dan mempertahankan kekayaan budaya lokal di Indonesia, khususnya
dalam penerapan materi pembelajaran sastra lisan.
280
Ibid, h. 231.
268
pembelajaran sastra dengan memasukkan materi sastra lisan sebagai bahan ajar, maka
semakin tidak menarik pembelajaran sastra ini dan kemungkinan gagalnya pembelajaran
sastra sebagai proyek enkulturasi semakin besar. keadaan ini merupakan sebuah
tantangan bagi pengajaran sastra. Karena itu, pemikiran inovatif dalam pembelajarana
sastra lisan sangat dibutuhkan. Pembelajaran sastra tidak akan mencapai tujuan bila guru
tidak memiliki inovasi dan peserta didik hanya ditugasi untuk menghafal periodisasi sastra,
tokoh, karya, istilah-istilah dan teori.
Ada beberapa tawaran pemikiran dalam pembelajaran sastra, khususnya sastra
lisan. Pertama, meninggalkan tradisi memberi tugas yang sifatnya menghujani peserta
didik dengan menghafal materi berkaitan dengan periodisasi, tokoh-tokoh, pengarang,
istilah, dan teori. Kedua, lembaga pendidikan harus menyediakan koleksi sastra sehingga
akses peserta didik terhadap karya lebih mudah.
Ketiga, pendidikan harus melengkapi ensiklopedi pengetahuannya dengan karya
sastra. Artinya, para pendidik harus telah atau bersama ikut melahap karya sastra
sehingga peserta didik tidak berada dalam keadaan kosong apresiasi. Keempat,
pembelajaran sastra harus berorientasi pada peserta didik, yakni apresiasi peserta didik
terhadap karya sastra menjadi sentral. Dalam hal ini peserta didik disuguhi karya sastra
dan dipersilahkan untuk mengonsumsinya.
Kelima, peserta didik diberikan kesempatan untuk mengemukakan pikiran dan
pendapatnya tentang karya sastra yang telah dibacanya tanpa mengacu pada norma atau
batasan-batasan tertentu. Pola yang menjadi pikiran peserta didik pun diakomodasi dan
dijadikan sebagai bahan diskusi. Keenam, materi pembelajaran dibebaskan dari aspek-
aspek teoretis karena pembelajaran sastra bertujuan melakukan apresiasi.
269
kendala tersendiri seperti kesiapan infrastruktur lembaga terhadap pembelajaran materi
sastra lisan.
Kita bersyukur peninggalan tertulis yang karya itu masih ada sekarang dan dapat
kita nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat rawatan yang baik oleh
lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada naskah, baik itu yang dalam maupun
berkedudukan di luar negeri. Namun demikian, sejauh manakah kita memberi
pengetahuan dan memperkenalkan naskah-naskah itu kepada siswa kita?
Tampaknya ada beberapa kendala dalam memperkenalkan cerita-cerita lama
kepada peserta didik di tingkat SMU, apalagi SMP. Pertama, cerita dalam naskah-naskah
itu ditulis dalam aksara Jawi atau aksara daerah lainnya. Dalam kenyatannya, sangat
sedikit siswa yang memahami aksara-aksara tersebut meskipun yang bersangkutan
berasal dari daerah tempat aksara itu dikembangkan. Kedua, bahasa dalam cerita-cerita
lama adalah ‘bahasa lama’ sehingga tidak menarik pembaca. Ketiga, langkanya buku-
buku terbitan yang mereproduksi naskah-naskah tadi untuk dijadikan bahan bacaan.
Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siwi karena
biasanya buku-buku itu berasal dari telaah ilmiah seperti tesis dan disertasi. Memang kita
tidak dapat menutup mata terhadap usaha Pusat Bahasa untuk menerbitkan transliterasi
cerita-cerita lama dalam proyek penerbitan buku lembaga ini, namun hal itu dirasakan
belum cukup karena faktor distribusi yang tidak merata serta kemasannya yang sangat
tidak menarik. Apabila kedua hal ini diatasi, terbuka kemungkinan guru atau sekolah untuk
mendapatkan buku-buku tersebut secara lebih mudah untuk disajikan kepada siswa baik
di dalam kelas maupun sebagai bahan bacaan penunjang. Keempat, kurikulum tidak
memberikan peluang yang memadai bagi diajarkannya sastra lama kepada siswa.
Kalaupun ada, hal itu harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Barangkali
ada sebagian siswa kita yang tertarik secara khusus pada bidang bahasa dan sastra,
namun jumlah mereka sedikit sehingga banyak sekolah yang tidak tidak membuka jurusan
ini. Kelima, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah kita agaknya semakin
mengarah pada usaha untuk menunjang kemampuan siswa untuk dapat lolos SPMB.
Dengan demikian, fungsi sastra sebagai alat untuk memperhalus akal budi manusia
menjadi terpinggirkan.
Terlepas dari beberapa masalah di atas, beberapa cara dapat ditempuh oleh kita
untuk mengajak siswa-siswi kita berkenalan dengan sastra lama. Pertama, kita dapat
270
memperkenalkan mereka pada cerita-cerita lama yang sudah amat dikenal, seperti
Mahabharata, baikmelalui versi cerita popolernya semisal Arjuna Mencari Cinta atau
dalam versi yang lain. Melalui itu, tercipta kemungkinan untuk menjelaskan sejarah
keberadaan cerita itu dan aktifitas masyarakat zaman dulu dalam melestarikan dalam
bentuk naskah. Kedua, kearifan yang terkandung di dalam cerita-cerita lama harus pula
dicangkokkan dalam pengajaran sastra modern. Hal ini dilakukan karena dalam kurikulum
tidak ada ruang khusus untuk sastra lama sehingga harus diintegrasikan dengan
pengajaran sastra modern. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan sastra
modern merupakan kesinambungan dari sastra lama. Ketiga, kurikulum yang membuka
peluang masuknya muatan lokal memungkinkan para guru untuk mengajak siswa
berkenalan dengan cerita-cerita lama setempat. Dalam kasus Minangkabau, misalnya,
para guru di Sumatera Barat dapat mengajak siswa mereka untuk membaca Tambo
Minangkabau dan mendiskusikan isinya. Demkian pula dengan para guru di daerah-
daerah lain. Keempat, guru dapat menugaskan siswa untuk ‘berkenalan’ dengan fisik
sastra lama dengan berkunjung ke perpustakaan nasional, perpustakaan daerah,
museum, atau lembaga-lembaga lain yang memiliki koleksi naskah lama baik dalam
bentuk kegiatan wisata maupun ekstrakurikuler lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
bantuan petugas lembaga-lembaga tersebut serta bimbingan para guru untuk memberi
informasi mengenai pentingnya pelestarian naskah lama dan apa yang terjadi apabila
benda peninggalan nenek moyang itu rusak dan musnah.
Menghadirkan sastra lisan ke dalam ruang pembelajaran dapat pula dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Berbagai macam rekaman suara sastra lisan
yang dilakukan oleh studio rekaman beredar di tengah masyarakat, diperjual-belikan untuk
hiburan masyarakat, baik dalam bentuk kaset maupun CD. Kaset dan CD itu dapat
dijadikan sebagai bahan pembelajaran dengan cara diputar atau ditayangkan dalam ruang
pembelajaran melalui tape atau video player. Hal itu sangat memudahkan peserta didik
untuk mengapresiasi sastra lisan itu meskipun terdapat kelemahan ketika peserta didik
tidak dapat mengapresiasi konteks sastra lisan itu. Di samping itu, dapat pula
dimanfaatkan laporan-laporan hasil penelitian dan dokumentasi yang telah dilakukan oleh
kedua lembaga tersebut yang selama ini mengendap di lemari arsip masing-masing.
Laporan penelitian dan dokumentasi itu dapat diperbanyak untuk keperluan pembelajaran.
Selain itu, pembelajaran sastra lisan dapat memanfaatkan lingkungan sosial dengan cara
271
membawa peserta didik di tengah masyarakat guna melakukan apresiasi terhadap sastra
lisan. dengan begitu, model pembelajaran tidak selalu dalam ruang; sekali waktu peserta
didik dalam proses pembelajaran dibawa dan diajak bersentuhan dengan realita yang ada.
273
5) Jenaka atau Pandir mengisahkan orang-orang bodoh yang bernasib sial yang
sifatnya untuk melucu atau humor, contohnya seperti Dongeng Abunawas, Dongeng
Si Pandir, dan lain-lain.
b. Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra karya prosa lama yang isinya berupa
cerita, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan
seseorang, lengkap dengan keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh
utama. Asal hikayat ini cerita dalam bahasa Sangsekerta, yang bernama
Mahaummagajataka. Cerita itu disalin misalnya ke bahasa Singgala (Sailan) dan Tibet.
Dalam bahasa Aceh terkenal dengan nama Medehaka.
Macam-macam Hikayat:
Macam-macam Hikayat berdasarkan isinya, diklasifikasikan menjadi 6:
1. Cerita Rakyat
2. Epos India
3. Cerita dari Jawa
4. Cerita-cerita Islam
5. Sejarah dan Biografi
6. Cerita berbingkat
Macam-macam Hikayat berdasarkan asalnya, diklasifikasikan menjadi 4:
1. Melayu Asli, contohnya:
Hikayat Hang Tuah (bercampur unsur islam)
Hikayat Si Miskin (bercampur unsur isl;am)
Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat Malim Deman
2. Pengaruh Jawa, contohnya:
Hikayat Panji Semirang
Hikayat Cekel Weneng Pati
Hikayat Indera Jaya (dari cerita Anglingdarma)
3. Pengaruh Hindu (India), contohnya:
Hikayat Sri Rama (dari cerita Ramayana)
Hikayat Perang Pandhawa (dari cerita Mahabarata)
274
Hikayat Sang Boma (dari cerita Mahabarata)
Hikayat Bayan Budiman
4. Pengaruh Arab-Persia, contohnya:
Hikayat Amir Hamzah (Pahlawan Islam)
Hikayat Bachtiar
Hikayat Seribu Satu Malam
Ciri-ciri Hikayat:
1. Anonim: Pengarangnya tidak dikenal
2. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai-nilai islam
3. Nama-nama tokoh dipengaruhi oleh nama-nama Arab
4. Banyak menggunakan kosakata yang kini tidak lazim digunakan dalam komunikasi
sehari-hari (sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon)
5. Sulit memahami jalan ceritanya
6. Istana Sentris: Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan istana/
kerajaan
7. Bersifat Statis: Tetap, tidak banyak perubahan
8. Bersifat Komunal: Menjadi milik masyarakat
9. Menggunakan bahasa klise: Menggunakan bahasa yang diulang-ulang
10. Bersifat Tradisional: Meneruskan budaya/ tradisi/ kebiasaan yang dianggap baik
11. Bersifat Didaktis: Didaktis moral maupun didaktis religius (Mendidik)
12. Menceritakan Kisah Universal Manusia: Peperangan antara yang baik dengan yang
buruk, dan dimenangkan oleh yang baik
13. Magis: Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang serba indah
275
Unsur-Unsur Intrinsik dalam Hikayat:
a. Alur: tahapan cerita yang bersambungan.
b. Tema: gagasan/ide/dasar cerita. (Alur maju, alur mundur, alur gabungan atau alur
sorot balik)
c. Penokohan: pemain/orang yang berperan di dalam cerita.
Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat:
a. Nilai moral
b. Nilai agama
Manfaat Hikayat
Pada zaman dahulu, hikayat dibaca untuk melipur lara, membangkitkan semangat
juang, atau sekadar meramaikan pesta.
Contoh Hikayat
276
Hikayat Amir
Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah
Alam mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari dia
membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah
memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak
uang yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh
miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkata”Amir, Ayah
tidak bisa memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti
Ayah dulu. Jangan kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari
rumah.Usahakan engkau terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya meninggal.
Sejak itu Amir bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat
matahari, tetapi terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin, seorang menteri yang pandai. Nasarudin
sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia
berbuat demikian.
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi pijaman uang kepada Amir. Amir
disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia berjualan siang dan malam.Pada siang
hari, Amir menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia
277
berjualan martabak, sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak
it, Amir menjadi saudagar kaya.
Pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka dinantinya 1) kalau-
kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah
di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya.
Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada
sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang
sungai ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan
hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang;
sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua
bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah,
dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia
berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba
seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba hendak
bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
278
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah
perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah
barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh
perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu
diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4)
oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi
itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka
tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu,
agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah
katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah
maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat
oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya.
Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata
dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati."
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu
aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang
demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh
Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka
kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
279
Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah
besar dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun
berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan
siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk.
Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan.
Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau
ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu
sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
280
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini,
siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia
duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki
Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai
orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan
kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka
Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka
disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung
yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut
kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping
dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada
taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat
nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang.
281
Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung
cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini
bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki
oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu
mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa
tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung
cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung
cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung
cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya
makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang
sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang mati
dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan
tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk
menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu
pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan
panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil
sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China.
Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘.
Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada
bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu
diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua
sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung ini hanya turun seekor
saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu
tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari
10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang mewarisi
burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai
pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai
khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang
282
memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk
pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun
sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya
sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar.
Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung
cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah.
c. Tambo
Tambo adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal-usul
keturunan raja. Dalam bahasa Minangkabau, berarti cerita-cerita historis tentang asal-usul
dan silsilah nenek moyang orang Minangkabau. Kebanyakan tambo berupa penuturan
atau sastra lisan dalam pepatah-petitih dan syair-syair yang panjang. Selain asal-usul,
tambo juga menceritakan adat, sistem pemerintahan, dan aturan kehidupan sehari-hari
bagi orang Minangkabau. Tambo sering disampaikan oleh tukang kaba (penutur cerita) di
tempat-tempat perhelatan.
Salah satu contoh tambo mengenai asal-usul Sumatra Barat. Dahulu, tatkala anak
Sultan Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Diraja berlayar ke selatan. Gunung
Merapi hanya sebesar telur. Di “telur” itu ia berhenti dan kemudian air laut menyurut
sehingga Merapi menjadi daratan luas. Di lereng gunung itu ia membangun sebuah nagari
bernama Pariaman. Makin lama keadaan makin ramai, sehingga dibangunlah nagari
kedua yang disebut Padang Panjang. Selanjutnya, setelah kedua nagari itu ramai,
dibukalah tiga daerah baru, yakni Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh
Koto. Inilah yang kemudian berkembang menjadi ranah Minang sekarang.
Sanskerta: ) atau disebut pula epos adalah sejenis karya sastra tradisional yang
menceritakan kisah kepahlawanan (wira berarti pahlawan dan carita adalah cerita/kisah).
Epos ini seringkali dinyatakan dalam bentuk syair. Beberapa contoh epos terkenal adalah
283
Ramayana, Mahabharata, Illiad, Odysseus, La Chanson de Roland, La Galigo, dan
Hikayat Hang Tuah.
2. Puisi Lama
a. Pengertian Puisi da Puisi Lama
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang
berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam
tradisi Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-
hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa.
Watt Dunton menyatakan “bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang
bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama”.Seorang
satrawan inggris menyatakan “puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata
sesedikit mungkin” Rapl Waldon (1980:8). Samuel Taylor Coleridge menyatakan bahwa
puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.Puisi merupakan
ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya
condong pada makna konotatif.
Seorang penyair romantik Inggris menyajikan defenisi puisi, adapun pusi tu
menurutnya adalah seperti berikut: Puisi itu adalah kata-kata yang terindah berdasarkan
pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi
yang merdu seperti musik dalam puisinya. Kata-kata disusun begitu rupa hingga yang
menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan
mempergunakan orkestra bunyi. Unsur-unsur puisi itu dapat berupa emosi, imajinasi,
pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan,
dan perasaan yang bercampur-baur.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan suatu ekspresi
kongkret jiwa manusia dengan kata kata yang disun dengan indah serta bermakna serta
butuh pemikiran yang bersifat musikal. Dalam puisi terdapat beberapa unsur seperti emosi
jiwa, imajinasi pikiran, berirama, memiliki kepadatankata, serta memilika makna. Sehingga
apabila unsur-unsur itu telah terpadu maka akan terbentuklah puisi sesuai keinginan.
Contoh Mantra:
2) Bidal
Bidal adalah pepatah atau pribahasa dalam sastra Melayu lama yang kebanyakan berisi
sindiran, peringatan, nasihat, dan sejenisnya.
285
Bidal adalah satu diantara puisi Melayu atau bentuk puisi lama yang merupakan warisan
budaya dari para sastrawan jaman dahulu. Puisi lama dalam bentuk bidal ini memiliki arti pada
setiap baitnya, yaitu dapat berupa nasihat, sindiran, peringatan, dan sebagainya yang dikemas
dalam bentuk pepatah pendek atau peribahasa.
Dalam artiannya sebagai pepatah, bidal dapat digunakan sebagai sanggahan atau untuk
mematahkan pembicaraan dengan lawan. Dalam hal ini kalimat yang diucapkan tidak berupa
kalimat sanggahan atau sindiran secara langsung, namun dikemas dalam bentuk puisi. Misalnya
"tua-tua keladi".
Ada banyak bentuk puisi lama atau bidal ini, yang mana biasanya berupa satu atau lebih
kalimat pendek berupa perumpamaan, kalimat ibarat, dan atau sanggahan.
Contoh perumpamaan:
Contoh Tamsil:
Contoh Ibarat:
3) Pantun
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri
dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian
pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
286
Ciri Pantun:
a) Setiap bait terdiri 4 baris.
b) Baris 1 dan 2 sebagai sampiran.
c) Baris 3 dan 4 merupakan isi.
d) Bersajak a – b – a – b.
e) Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata.
f) Berasal dari Melayu (Indonesia).
Contoh Pantun
4) Gurindam
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Ciri-ciri Gurindam:
a) Terdiri atas dua baris.
b) Berima akhir a a.
c) Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat dari apa yang disebut pada baris
pertama.
d) Kebanyakan isinya mengenai nasihat dan sindiran.
Contoh Gurindam:
287
5) Syair
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-
a, berisi nasihat atau cerita.
Ciri-ciri Syair:
ContohSyair:
C. Penutup
288
Perkembangan Statis, lisan Dinamis, tulis
Sastra lama adalah karya-karya yang dihasilkan oleh sastrawan yang berada pada
zaman kerajaan atau masa dimana belum adanya pergerakan nasional. Sastra lama terdiri dari:
pantun, syair, hikayat, legenda, mite, sage, parabel, dan fabel.
Contoh :
Bila terang telah berganti
Sang petang pastilah datang
Bila engkau tak ada dihati
Tak mungkin aku akan meminang
Pada contoh diatas kita lihat sudah bersajak a b a b, dan baris 1 dan 2 adalah merupakan
sampiran, sedangkan baris 3 dan 4 adalah isi.
Pantun teka-teki
Pantun jenaka
Pantun suka cita
Pantun duka cita
2. Pantun muda-mudi
Pantun perkenalan
Pantun percintaan
Pantun perceraian
Pantun dagang
3. Pantun tua
Pantun nasihat
Pantun adat
Pantun agama
289
2. Dongeng
Dongeng adalah bentuk sastra lama yang berupa cerita khayalan(fiksi) yang merupakan
bentuk prosa lama.
a) Legenda ialah sebuah dongeng rakyat pada jaman dahulu yang ada hubungannya dengan
peristiwa sejarah. Contohnya : Asal-usul Bayuwangi
b) Fabel ialah sebuah dongeng yang menggambarkan watak dan sifat manusia yang
pelakunya diperankan oleh binatang. Contohnya : Si Kancil yang Cerdik
c) Mite atau mitos adalah dongeng yang berhubungan dengan dewa, roh halus, atau
kepercayaan animisme dan dinamisme. Contohnya : Sangkuriang
d) Sage ialah dongeng yang isinya berkaitan dengan sejarah. Contohnya : Jaka Tingkir, Jaka
Umbaran
e) Cerita jenaka atau pelipur lara ialah cerita tentang orang-orang jenaka atau menceritakan
humor bangsa Indonesia. Contohnya : Pak Pandir
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press,
2002.
Djojosuroto, Kinayati dan Noldy Palenkahu. Teori Apresiasi dan Pembelajaran Prosa. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009.
Emzir dan Saiful Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015.
Esten, Mursal. Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa, 2013.
290
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies (Second Edition). London dan New York:
Routledge, 2004.
Nurgiyantoro, Burhan. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE., 2009.
Sadikin, Mustofa. Kumpulan Sastra Indonesia: Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara.
Jakarta: Gudang Ilmu, 2010.
Sumardjo, Jakob. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima, 1991.
Suroto. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1990.
291
Telaah dan Pengajaran Sastra Puisi
Oleh :
Dhinar Ajeng Fitriany, Goziyah, dan Paldy
=====================================================
ABSTRAK
Puisi sebagai salah satu genre sastra mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan yang ingin
disampaikan oleh penyair kepada pembacanya. Adapun puisi merupakan bentuk sastra
yang kompleks, sehingga dalam memahami dan memaknai puisi, seorang pembaca harus
melakukan telaah puisi. Hal ini dikarenakan puisi tersusun atas bahasa figuratif (bahasa
yang indah), yang harus dimaknai berdasarkan konvensi puisi. Berkaitan dengan telaah
puisi, terdapat banyak pendekatan penelitian yang dapat digunakan oleh peneliti sastra,
terutama peneliti puisi, dalam menelaah puisi sesuai dengan topik
penelitiannya.Pengajaran sastra di sekolah juga mencakup pengajaran puisi. Seorang
pengajar puisi harus mampu meningkatkan motivasi dan minat peserta didiknya dalam
belajar puisi, baik secara teoretis maupun praktis melalui metode dan teknik pengajaran
puisi yang menarik, yang dapat diterapkan seorang pengajar bahasa dan sastra dalam
pengajaran puisi di kelas, misalnya seperti deklamasi puisi dan bengkel sastra. Tujuan
pengajaran puisi di sekolah dapat tercapai dengan maksimal apabila pengajar bahasa dan
sastra serta peserta didik saling bekerja sama. Selain itu, suasana belajar yang nyaman
dan pilihan puisi yang tepat seyogianya dapat membantu pengajar dan peserta didik
dalam mencapai tujuan pengajaran dan pembelajaran puisi secara maksimal.
I. Pendahuluan
Di dalam sejarah kesusasteraan, puisi merupakan salah satu genre sastra tertua.
Adapun sebagai salah satu genre sastra tertua, puisi sangat erat dengan kesusasteraan
Yunani kuno. Terlepas dari sejarah kesusasteraan yang ada, ternyata mendefinisikan puisi
merupakan hal yang paling sulit dibandingkan dengan genre sastra lainnya. Berkaitan
dengan perihal tersebut, Klarer menjelaskan bahwa “poetry is closely related to the term
“lyric,” which derives etymologically from the Greek musical instrument “lyra” (“lyre” or
“harp”) and points to anorigin in the sphere of music.”281 Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat diketahui bahwa puisi berhubungan erat dengan istilah ‘lirik’, yang secara etimologi
281
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies Second Edition (London & New York: Routledge, 2004),
h. 27.
292
berasal dari istilah instrumen musik bangsa Yunani kuno, “lyra” (“kecapi” atau “harpa”).
Berkaitan dengan hal tersebut, dahulu di zaman klasik dan Abad Pertengahan, seorang
penyair membacakan puisi dengan diiringi instrument kecapi atau alat musik lainnya.
Istilah puisi dengan juga erat dengan kata dari bahasa Yunani, “poieo” yang berarti
“membuat”; “menghasilkan”. Adapun dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa seorang
penyair merupakan orang yang membuat atau menghasilkan lirik. Akan tetapi, meskipun
secara etimologi puisi menyoroti aspek lirik dan puitis, namun penjelasan tersebut belum
dapat menawarkan pemahaman yang memuaskan mengenai definisi puisi berdasarkan
pada fenomena tersebut.
Sebagai salah satu genre karya sastra, puisi mengandung suatu ide tertentu yang
ingin disampaikan penyair kepada pembacanya. Hal inilah yang menjadikan puisi berbeda
dengan prosa. Adapun Emzir dan Rohman menguatkan bahwa ide yang ingin
disampaikan oleh penyair tercakup secara keseluruhan di dalam puisi dengan didukung
oleh tema dan struktur yang membangun sebuah puisi.282 Berkaitan dengan unsur
pembangun puisi, untuk mendalami unsur-unsur yang membangun puisi, seseorang dapat
melakukan telaah puisi. Emzir dan Rohman memaparkan bahwa telaah puisi adalah
analisis yang mengacu pada kegiatan menelaah unsur-unsur yang membangun karya
puisi sehingga menimbulkan kesan yang mendalam mengenai ide-ide yang ingin
disampikan oleh penyairnya.283 Melalui telaah puisi diharapkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam sebuah puisi akan terungkap dan bermanfaat bagi pembacanya.
Puisi sebagai salah satu genre sastra dapat dinikmati oleh siapa, termasuk para
peserta didik di dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun berkaitan
dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, adanya pengajaran puisi bertujuan
agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra, terutama puisi,
untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan pengetahuan dan kehidupan,
dan sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Selain itu, adanya
pengajaran sastra diharapkan dapat memotivasi peserta didik untuk menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia, terutama puisi, sebagai kekayaan budaya bangsa dan
intelektual manusia Indonesia.
282
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h.
241.
283
Emzir dan Saifur Rohman, Op.Cit., h. 241.
293
II. Pembahasan
A. Puisi
Berkaitan dengan puisi, jika kita kembali pada kesusasteraan Yunani kuno, secara
tradisional definisi puisi hanya terbatas pada karakteristik, seperti ayat dan sajak. Adapun
karakteristik itulah yang membedakan puisi dengan prosa. Akan tetapi, karakteristik
tersebut tidak dapat diterapkan ke dalam berbagai jenis puisi, misalnya puisi modern yang
mengutamakan kebebasan dalam mengungkapkan ide.
Di zaman klasik dan Abad Pertengahan, seorang penyair membacakan puisi
dengan diiringi instrument kecapi atau alat musik lainnya. Istilah puisi dengan juga erat
dengan kata dari bahasa Yunani, “poieo” yang berarti “membuat”; “menghasilkan”. Hal
tersebut berdasarkan pada penjelasan Klarer mengenai istilah puisi, yakni “The term
“poetry,” however, goes back to the Greek word “poieo” (“to make,” “to produce”),
indicating that the poet is the person who “makes” verse.” 284 Melalui penjelasan dari Klarer
tersebut, dapat dipahami bahwa puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk, atau
pembuat. Hal ini dimaknai karena pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka
seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru,
secara lahir maupun batin kepada para pembacanya.
Berkaitan dengan puisi, terdapat pula beberapa pendapat dari para tokoh yang
terangkum dalam Tjahjono mengenai definisi dari puisi, antara lain:
1) HB Jassin : Puisi adalah pengucapan dengan perasaan, sedangkan prosa adalah
pengucapan dengan pikiran.
2) Matthew Arnold : Puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual
manusia.
3) William Henry Hudson : Sastra (juga puisi) merupakan ekspresi dari kehidupan yang
memakai bahasa sebagai mediumnya.
4) Bradley : Puisi adalah semangat. Puisi bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita.
5) Ralph Waldo Emerson : Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata
sedikit mungkin.
6) John Dryden : Puisi adalah musik yang tersusun rapi.
284
Klarer, Op.Cit., hh. 27-28.
294
7) Isaac Newton : Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan.
8) William Wordsworth : Puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh daya,
memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dengan
kedamaian.
9) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah
adanya gempa bumi.
10) Watts-Dunton : Puisi adalah ekspresi konkret dan artistik dari pikiran manusia dalam
bahasa emosional dan berirama.
11) S. Effendi : Karya sastra yang terdiri atas beberapa baris, dan baris-baris itu
menunjukkan pertalian makna serta membentuk sebuah bait atau lebih, biasanya
disebut puisi.
12) Samuel Johnson : Puisi adalah seni pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan
menggunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran.285
Adapun selain itu, Shahnon Ahmad dalam Pradopo juga menjelaskan mengenai
perbedaan antara puisi dengan prosa berdasarkan simpulan mengenai definisi-definisi
puisi dari para penyair romantik Inggris, yaitu Samuel Taylor Coleridge (puisi adalah kata-
kata yang indah dalam susunan yang indah), Carlyle (puisi merupakan pemikiran yang
bersifat musikal), Wordsworth (puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif), Auden
(puisi merupakan pernyataan perasaan yang bercampur baur), Dunton (puisi adalah
pemikiran manusia secara konkret dan artistic dalam bahasa yang emosional dan
berirama), dan Shelley (puisi adalah rekaman detika-detik yang paling indah dalam hidup
kita), yang dapat diintisarikan bahwa puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang
mengandung unsur-unsur berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan
pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-
baur.286 Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa puisi merupakan salah
satu bentuk karya sastra yang mengandung tiga unsur pokok, yakni ide, bentuk, dan
kesan yang ketiganya terungkap dalam media bahasa.
285
Liberates Tengsoe Tjahjono, Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi (Nusa Tenggara Timur:
Nusa Indah, 1988), h. 50.
286
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi: Analisis Sastra Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 6.
295
Berkaitan dengan perbedaan antara puisi dengan prosa, Pradopo juga
memaparkan bahwa sesungguhnya perbedaan antara puisi dengan prosa itu sifatnya
hanya berderajat (gradual) berdasar pada kadar kepadatannya.287 Melalui hal itu, dapat
diuraikan bahwa bila padat karya itu disebut puisi, bila tidak padat karya itu disebut prosa.
Berdasarkan kadar kepadatannya itu, sering kali kali terdapat prosa yang dikatakan puitis,
yaitu mempunyai sifat puisi : padat. Sebaliknya, puisi yang tidak padat disebut prosais
(puisi yang mempunyai sifat prosa) : tidak padat.
Adapun penamaan puisi sesuai dengan kepadatannya atau konsentrasinya, dalam
bahasa Belanda disebut gedicht, dalam bahasa Jerman Dichtung, yang berarti pemadatan
atau konsentrasi.288 Berdasarkan perihal tersebut, dapat dijelaskan bahwa perbedaan
antara puisi dengan prosa berada pada titik pemadatan atau konsentrasi berupa aktivitas
kejiwaan. Melalui penjelasan Pradopo mengenai perihal aktivitas kejiwaan, dapat
diintisarikan bahwa puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), sedangkan prosa adalah
ekspresi konstruktif.289 Puisi merupakan hasil aktivitas memadatkan. Adapun kata kreatif
pada puisi itu bukan merupakan lawan kata konstruktif, tetapi ada perbedaan nyata antara
aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan, kemudian dipusatkan dan aktivitas jiwa yang
menyebarkan kesan-kesan tersebut. Jadi, ada aktivitas jiwa yang memadatkan
(kondensasi) dan aktivitas yang menyebarkan (dispersi).
Di dalam puisi, kata-kata itu lahir dan dibentuk pada waktu pengucapannya sendiri.
Tidak terdapat perbedaan kata dengan pikiran di dalam puisi. Artinya, kata dan pikiran
itulah puisi. Sementara, di dalam prosa, kata-kata itu sudah ada, dan penulis hanya
menyusunnya saja. Sifat kreatif prosa hanya terlihat pada rencana dan pelaksanaannya.
Prosa umumnya bersifat bercerita. Dalam bercerita, orang menguraikan sesuatu dengan
kata-kata yang telah tersedia di dalam ingatan, sedangkan dalam membuat puisi aktivitas
bersifat pencurahan jiwa yang padat (ekspresif). Berkaitan dengan kepadatan aktivitas jiwa
tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa puisi bersifat sugestif, sedangkan prosa
bersifat informatif.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, genre puisi terbagi menjadi dua jenis, yakni
narrative poetry dan lyric poetry. Berkaitan dengan pembagian jenis puisi tersebut, Klarer
287
Pradopo, Op.Cit., h. 11.
288
Ibid.
289
Pradopo, Op.Cit., h. 12.
296
menjelaskan bahwa “Narrative poetry includes genres such as the epic long poem, the
romance, and the ballad, whichtell stories with clearly developed, structured plots. The
shorter lyric poetry, the focus of the following comments, is mainly concerned with one
event, impression, or idea.290 Melalui penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa puisi
naratif mencakup puisi epic panjang, puisi cinta, dan balada yang mengembangkan cerita
dengan jelas dan memiliki plot terstruktur. Sementara itu, puisi lirik merupakan bentuk puisi
yang lebih pendek daripada puisi naratif yang berfokus pada komentar-komentar berkaitan
dengan sebuah acara, kesan, atau ide yang ingin disampaikan penyairnya.
Sepanjang sejarah kesusasteraan, puisi sebagai salah satu genre sastra selalu
berubah dikarenakan perkembangan selera dan konsep estetik yang berubah-ubah.
Berhubungan dengan hal tersebut, Riffaterre dalam Pradopo menegaskan bahwa ada satu
hal yang tetap tinggal di dalam puisi, yakni ketidaklangsungan pengungkapan mengenai
sesuatu secara tidak langsung oleh puisi yang disebabkan karena tiga hal: a) displacing
(penggantian arti), b) distorting (penyimpangan arti), dan c) creating of meaning
)penciptaan arti).291 Penggantian arti terjadi pada metafora dan metonimi; penyimpangan
arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti terjadi pada
pengorganisasian ruang teks, seperti persejajaran tempat (homologues), enjambement,
dan tipografi.
290
Klarer, Op.Cit., h. 28.
291
Pradopo, Op.Cit., h. 12.
292
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 242.
297
Berkaitan dengan struktur luar dan struktur dalam pada puisi, Emzir dan Rohman
mengemukakan secara jelas mengenai kedua hal tersebut, yang dapat diintisarikan
sebagai berikut.293
1. Struktur Luar (Surface Structure)
Adapun struktur luar dalam puisi mencakup : a) pilihan kata (diksi), b) unsur bunyi,
yang terdiri atas rima dan irama.
b. Unsur Bunyi
Di dalam sebuah puisi, unsur bunyi merupakan hasil penataan kata dalam struktur
kalimat. Penataan bunyi di dalam puisi-puisi lama, seperti pantun dan syair, merupakan
bagian yang bersifat mutlak. Hal tersebut dikarenakan unsur bunyi merupakan bagian
penanda bentuk pada puisi-puisi lama. Adapun contohnya, pada pantun, struktur bunyi
selalu bersajak a-b-a-b, sedangkan pada syair selalu bersajak a-a-a-a. Akan tetapi, pada
puisi baru atau puisi kontemporer, struktur penyusunan bunyi bukan merupakan bagian
293
Ibid, hh. 242-245.
298
yang mutlak terkandung di dalamnya. Namun, perihal unsur bunyi masih tetap menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam menghadirkan ekspresi estetika pada puisi baru
atau puisi kontemporer. Adanya ketidakmutlakan unsur bunyi dalam puisi baru atau puisi
kontemporer menyebabkan variasi bunyi yang dimunculkan penyair menjadi beragam.
Adapun ragam tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Rima
Rima adalah bunyi-bunyi yang sama dan diulang baik dalam satuan kalimat
maupun pada kalimat-kalimat berikutnya. Adapun di dalam puisi, pengulangan bukanlah
pengulangan dalam arti sampiran seperti yang terdapat di dalam pantun, melainkan
pengulangan yang dimaksudkan untuk memberikan efek tertentu. Rima tersebut dapat
berupa:
a) Asonansi atau keruntutan vokal yang ditandai oleh persamaan bunyi vokal pada satu
kalimat, seperti rindu, sendu, mengharu kalbu. Pengulangan vokal u pada kalimat
tersebut secara tidak langsung telah memunculkan satu keselarasan bunyi.
b) Aliterasi atau purwakanthi, yaitu persamaan bunyi konsonan pada kalimat atau
antarkalimat dalam puisi. Contohnya, semua sepi sunyi sekali desir hari lari berenang.
c) Rima dalam, yaitu persamaan bunyi (baik vokal mamupun konsonan) yang berlaku
antara kata dalam satu baris. Contohnya, senja samar sepoi.
d) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi akhir baris. Contohnya:
…
Kemanakah jalan
Mencari hubungan
Ketika rubuh kuyub
Dan pintu tertutup
…
2) Irama
Di dalam sebuah puisi, irama adalah paduan bunyi yang menimbulkan aspek
musikalitas atau ritme tertentu. Ritme tersebut bisa muncul karena adanya penataan rima
di dalam puisi. Selain itu, ritme juga muncul karena adanya pemberian aksentuasi,
intonasi, dan tempo ketika puisi tersebut dibacakan. Adapun irama dapat terlihat jelas
pada puisi karya Sutardji Calzoum Bachri:
299
…
Batu mawar
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Dan seterusnya
…
Susunan kata yang terdapat dalam puisi tersebut jelas menunjukkan bahwa pilihan
kata dan penyusunannya dalam struktur kalimat ditekankan pada aspek bunyi dan irama.
Pengulangan kata-kata dan persajakan yang disejajarkan merupakan hal yang
mendapatkan perhatian utama penyair dalam menghadirkan aspek musikalitas dalam
puisinya.
294
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 245.
300
Kajian struktural, seperti yang dikemukakan oleh Teeuw dalam Emzir dan Rohman,
merupakan hal utama yang harus dilakukan sebelum menelaah puisi, karena kajian
struktural yang akan mengungkap keutuhan unsur intrinsik yang terkandung di dalam
sebuah karya sastra, termasuk puisi.295 Berkaitan dengan kajian struktural, pada contoh
puisi Sutardji dalam penjelasan sebelumnya, seorang penelaah dapat mengklasifikasikan
kalimat-kalimat mana yang mengungkap makna yang sama atau hampir sama. Apakah
pengulangan kata yang ada merupakan penekanan terhadap tema-tema tertentu atau
mempnyai perbedaan. Hal itu terjadi karena bisa saja pada kata yang sama, seperti kata
‘batu’ tidak hanya merujuk pada benda batu melainkan pada sesuatu yang berkaitan
dengan keteguhan, ketegaran, atau ketidakberdayaan. Kesemua hal itu bergantung pada
konteks struktur linguistiknya.
295
Ibid.
296
Pradopo, Op. Cit., h. 278.
301
kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya sajak
(rima, persamaan bunyi), enjambement (perloncatan baris), baris sajak, homolog
(persejajaran tempat), dan tipografi, bahkan juga makna atau nilai seninya.
Berkaitan dengan pemaknaan sastra, Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan
mengenai empat perihal yang harus diperhatikan dalam pemaknaan puisi atau
konkretisasi puisi berdasarkan strukturalisme-semiotik, antara lain: 1) ketidaklangsungan
ekspresi, 2) pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik, 3) matrix atau kata kunci
(key word), dan 4) hipogram (hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstual).297
1) Ketidaklangsungan Ekspresi
Riffaterre dalam Pradopo mengemukakan bahasa puisi merupakan ekspresi tidak
langsung dari penciptanya. Ketidaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh hal,
antara lain : a) penggantian arti (displacing of meaning), b) penyimpangan arti (distorting of
meaning), dan c) penciptaan arti (creating of meaning).
a) Penggantian Arti
Adanya penggantian arti dalam puisi disebabkan oleh penggunaan metafora dan
metonimi. Adapun Becker dalam Pradopo menjelaskan bahwa metafora adalah kiasan
yang melihat sesuatu dengan perantaraan benda lain, sedangkan metonimi adalah kiasan
pengganti nama.298 Contoh metonimi dalam sebuah puisi dapat terlihat pada satu sajak
dari Toto Sudarto Bachtiar, yakni “Sungai Ciliwung” diganti namanya dengan “Sungai
Kesayangan”.
Berkaitan dengan metafora dalam puisi, metafora memiliki dua bagian. Adapun
bagian pertama disebut term pokok (principle term), dan bagian kedua disebut term kedua
(secondary term). Contoh metafora dapat terlihat pada puisi Amir Hamzah berikut ini.
297
Pradopo, Op.Cit., hh. 281-303.
298
Pradopo, Op.Cit., h. 282.
302
Melalui puisi di atas, dapat ditelaah mengenai metafora di dalamnya. “Aku” dan
“engkau” disamakan dengan “boneka”. “Aku” dan “engkau” adalah term pokok atau tenor,
“boneka” adalah term kedua atau vehicle. Metafora yang kedua bagiannya disebutkan
adalah metafora penuh atau metafora eksplisit. Akan tetapi, jika yang disebutkan hanya
salah satu bagian, disebut metafora implisit.
b) Penyimpangan Arti
Adanya penyimpangan arti dalam puisi dikarenakan tiga hal, antara lain: (1)
keambiguitasan, (2) kontradiksi, dan (3) nonsense.
(1) Keambiguitasan
Bahasa puisi bersifat polyinterpretable (banyak tafsir). Hal ini terjadi karena
penggunaan metafora dan ambiguitas. Metafora pun sering brsifat ambigu dna taksa.
Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, dan kalimat yang taksa atau memiliki
makna yang lebih dari satu. Untuk menjelaskan ambigutas, hal tersebut dapat terlihat
dalam puisi Chairil Anwar, berjudul Doa, sebagai berikut.
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
303
Dalam baris pertama, diterangkan bahwa “aku” masih termangu-mangu atau
setengah sadar akan adanya Tuhan, tetapi “aku” masih menyebut-nyebut nama Tuhan.
Dalam bait kedua, diterangkan bahwa meskipun “aku” merasa sangat susah untuk
menyebut-nyebut nama Tuhan, tetapi ia masih menyebut nama-Nya karena ia mengingat
bahwa Kau itu “penuh seluruh”. “Kau penuh seluruh” itu ambigu, dapat dimaknakan :
Engkau memang mutlak ada, Engkau maha sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak
dapat diingkari. Makna yang banyak itu saling melengkapi.
Bait selanjutnya, cahaya Tuhan itu panas suci: Tuhan memberi penerangan kepada
manusia dengan cahaya yang panas dan suci, sempurna dan mengesankan tidak tercela,
penuh keikhlasan. Akan tetapi, dalam keraguan “aku”, penerangan Tuhan itu tinggal
sedikit seperti lilin dalam kegelapan dan kesunyian hati “aku” yang merasa sunyi.
Kiasan itu menunjukkan bahwa “aku” sangat menderita, tak terceritakan lagi wujud
penderitaannya: “aku” hilang bentuknya dan remuk: hancur seluruh harapannya.
Orang yang mengembara di negeri asing itu terpencil, terasing, tidak dikenal orang,
tidak tahu jalan, sendiri, sepi, dan sebagainya. Itulah makna pada kalimat tersebut. Oleh
karena itu, satu-satunya penerangan dan penolong hanyalah Tuhan, maka setelah “aku”
mengetuk pintu kerahmanan Tuhan, “aku” tidak bisa berpaling lagi: tidak dapat pergi lagi,
dalam arti jiwanya hanya tertujua pada Tuhan. Itulah ketaksaan kata-kata, frase, dan
kalimat dalam sajak “Doa” tersebut.
(2) Kontradiksi
Puisi seringkali menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal ini bertujuan untuk
membuat pembacanya berpikir secara terpusat pada apa yang dikatakan di dalam puisi.
Untuk menyatakan makna secara kebalikan itu digunakan gaya ucap paradoks dan ironi.
Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau
bertentangan dalam wujud bentuknya. Akan tetapi, bila dipikirkan, sebenarnya itu adalah
304
hal yang wajar, tidak bertentangan. Adapun kontradiksi dapat terlihat pada puisi dari Toto
Sudarto Bachtiar, sebagai berikut.
“Hidup” tetapi “mati” ini merupakan kontradiksi. Pada kenyataannya, bila dipikirkan,
hal itu tidak bertentangan. “Hidup yang terbaring mati” itu berarti hidup tanpa perubahan,
statis, tidak ada kemajuan. Jadi, pada hakikatnya hidup itu mati. “Memandang musim yang
mengandung luka” disebut paradox. Biasanya, musim itu mengandung hal-hal yang
menyenangkan, maka bila dikatakan musim mengandung luka, hal itu bertentangan.
Musim yang mengandung luka : hal-hal yang menyebabkan hidup menderita karena di
suatu negara terjadi korupsi, manipulasi, kejahatan, dan sebagainya. Semua itu adalah
“luka”.
(3) Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Kata-kata
di dalam puisi itu adalah ciptaan penyair, tidak ada di kamus bahasa. Meskipun tidak
memiliki arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna (significance) dalam puisi karena
konvensi puisi. Contohnya, kata-kata dalam mantra seringkali berupa nonsense.
Nonsense itu dalam mantra memiliki makna magis, makna gaib, dapat mempengaruhi
dunia gaib. Dalam puisi bergaya mantra banyak digunakan kata-kata nonsense untuk
menimbulkan daya magis dan konsentrasi. Dalam sastra modern, puisi bergaya mantra,
seperti puisi “Amuk” karya Sutardji Calzoum Bachri, dapat terlihat jelas adanya kata-kata
nonsense di dalamnya.
Dalam puisi “Amuk”, kucing adalah kiasan semangat manusia dari dulu hingga
sekarang yang “ganas” mencari Tuhan yang tidak pernah tercapai, tetapi ia tersu mencari.
Untuk memanggil “Tuhan” itu digunakan kata-kata mantra yang berupa nonsense untuk
mempengaruhi alam gaib hingga Kau datang pada :”Aku”.
c) Penciptaan Arti
Saat ini, puisi ditulis dalam sebuah ruang teks, bukan puisi lisan. Oleh karean itu,
ruang teks itu diorganisasikan untuk menciotakan arti baru yang secara linguistik tidak ada
artinya. Akan tetapi, pengorganisasian ruang teks itu menimbulkan makna. Di antara
sarana-sarana pencipta arti itu adalah sajak (rima), enjambement, homologue, dan
tipografi.
Adapun berkaitan dengan tipografi dalam puisi, tipografi atau tata huruf digunakan
untuk menciptakan makna. Biasanya, makna ikonik atau idenksis, seperti pada puisi
Sutardji Calzoum Bachri, yang berjudul Tragedi Winka & Sihka. Ketidaklangsungan
ekspresi dalam puisi tersebut berupa kombinasi makna nonsense dan tipografi. Kata
“kawin” dan “kasih” yang dibalik menjadi “winka” dan “sihka” adalah nonsense. Tipografi
yang berbentuk zigzag (huruf Z) itu merupakan tanda ikonik, yang menggambarkan liku-
liku penuh bahaya. Kata “kawin”, “kasih”, “winka”, “sihka”, ka – win, dan ka – sih, adalah
tanda-tanda bermakna. Adapun logika tanda tersebut sebagai berikut.
Bila kata itu utuh, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata itu dibalik,
makna maknanya pun terbaik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Contohnya, kata
“Tuhan” kalau dibalik menjadi “hantu”, yang memiliki arti berlawanan. Dalam kata “kawin”
terkandung konotasi makna kebahagiaan, sedangkan kata “winka” mengandung arti
“kesengsaraan”. Sementara itu, kata “kasih” berarti cinta, sedangkan “sihka” itu berarti
kebencian. Sehingga, dapat ditafsirkan bahwa puisi “Tragedi Winka & Sihka” memiliki
makna sebagai berikut.
Perkawinan yang penuh cinta kasih itu dalam lima periode (kata kawin berderet lima
kali), tetapi memiliki makna yang utuh, penuh kebahagiaan. Akan tetapi, pada periode
berikutnya, kebahagiaan itu menjadi terpotong-potong, kebahagiaannya tidak utuh lagi.
306
Lalu, pada periode lanjutnya, kebahagiaan itu terbalik menjadi kesengsaraan karena
konflik. Pada akhirnya hanya menjadi bunti tanpa arti sih-sih-sih-ka-Ku. Pada akhirnya
terjadi perceraian, yang merupakan “tragedi”. Tipografi dalam puisi tersebut
menggambarkan jalan pengalaman perkawinan yang penuh liku-liku berbahaya.
2) Pembacaan Semiotik
Untuk pemaknaan puisi dapat diupayakan dengan pembacaan heuristik dan
retroaktif atau hermeneutik.Pada mulanya puisi dibaca secara heuristic, kemudian dibaca
ulang (retroaktif) secara hermeneutic. Contohnya, seperti pada puisi karya ChairiL Anwar
berikut ini.
Sebuah Kamar
Pada kenyataannya, pemaknaan puisi itu berjalan secara serentak. Artinya, baik
pembacaan heuristic, retroaktif atau hermenutik, maupun mencari matrix atau kata kunci
itu berjalan secara serentak. Akan tetapi, secara teoretis, sesuai dengan metode ilmiah,
untuk mempermudah pemahaman proses pemaknaan itu dapat dianalisis secara
bertahap. Pertama kali dilakukan pembacaan heuristic, kedua pembacaan retroaktif atau
hermeneutic, dan ketiga pencarian matriks atau kata kunci untuk dapat mengungkapkan
pokok masalah dalam suatu puisi.
307
a) Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristic ini, puisi dibaca berdasarkan konvensi bahasa sesuai
dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca linier
menurut struktur normati bahasa. Bahasa puisi merupakan deotomatisasi atau
defamiliarisasi : ketidakotomatisan atau ketidakbiasaan. Hal tersebut merupakan sifat
kepuitisan yang dapat dialami secara empiris. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini
semua yang tidak biasa dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa
normatif. Contohnya, dalam kutipan puisi Chairil Anwar, “Sebuah jendela menyerahkan
kamar ini pada dunia”. Ini bukan logika bahasa biasa. Hal ini merupakan deotomatisasi
atau defamiliarisasi. Oleh karena itu, dapat dinaturalisasikan menjadi: “Melalui jendela,
dunia (orang) luar dapat melihat kamar ini”.
PENERIMAAN
KUSANGKA
299
Pradopo, Op.Cit., h. 300.
309
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri…
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak
Melati yang ada
Pandai bergelak
310
dalam “Kusangka” secara romantic menolak ketidakmurniannya, sedangkan si aku dalam
“Penerimaan” secara realistis mau menerima ketidakmurniannya meskipun secara
individualistis si aku secara mutlak menghendaki hanya untuknnya sendiri, sampai
bercermin pun tidak boleh.
Berdasarkan penjelasan itulah makna hakiki puisi “Penerimaan” yang berupa
penolakan konsep moral dan konsep estetik puisi “Kusangka”. Jadi, dengan dikontraskan
dengan hipogramnya, puisi “Penerimaan” dapat diberi makna atau dikonkretisasikan
dengan lebih sempurna.
300
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 171.
311
peserta didik memperoleh kesadaran yang lebih terhadap diri sendri, orang lain, dan
lingkungan sekitar dan memperoleh kesenangan dan pengetahuan dasar tentang puisi. 301
Berkaitan dengan pengajaran puisi di sekolah, hal yang perlu diperhatikan oleh pengajar
bahasa dan sastra adalah pemilihan bahan pengajaran dan bagaimana penyajian bahan
ajar tersebut agar dapat dipahami oleh semua peserta didik di kelas.
Di dalam pemilihan bahan pengajaran puisi di sekolah, pengajar perlu
mempertimbangkan beberapa hal, seperti aspek bahasa, perkembangan jiwa peserta
didik, dan latar belakang budaya peserta didik. Selain itu, pengajar juga harus
memperhatikan puisi yang dijadikan bahan ajar di sekolah. Seorang pengajar harus
mampu memilih puisi yang dapat memotivasi peserta didik agar merasa senang saat
belajar puisi. Hal ini dikarenakan, apabila pemilihan puisi tidak tepat, maka dapat
dimungkinkan peserta didik menjadi tidak senang saat mempelajari puisi.
Endraswara dalam Emzir dan Rohman menjelaskan bahwa dalam mengajarkan
puisi, seorang pengajar harus mampu memilih jenis puisi dengan memperhatikan
beberapa aspek, di antaranya:
1) Pengajar seyogianya menghidarkan diri dari cara pemberian penjelasan yang
berlebihan.
2) Suatu unit puisi hendaknya dibelajarkan secara terpadu kepada peserta didik.
3) Pengajar puisi dapat meminta peserta didik untuk memberikan pendapatnya mengenai
puisi yang dibacanya. Dalam hal ini, pengajar harus mengarahkan agar mereka secara
sadar merespons puisi.
4) Pengajar hendaknya membantu peserta didik dalam mengaarahkan bahwa subjek
puisi ditulis untuk segala hal.302
301
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 248.
302
Emzir dan Rohman, Op.Cit., hh. 248-249.
312
4) Penyajian
5) Diskusi
6) Pengukuhan (tes)303
Di dalam pengajaran puisi di sekolah, seorang pengajar bahasa dan sastra memiliki
peran sebagai pembimbing dan fasilitator. Dalam membimbing, seorang pengajar memiliki
tugas untuk mengarahkan dan membantu peserta didik dalam memahami puisi. Berkaitan
dengan pengajaran puisi, Emzir dan Rohman juga menguatkan kembali beberapa tahapan
yang harus dilakukan pengajar dalam mengajarkan puisi, antara lain:
1) Tahap pemahaman struktur global puisi.
2) Tahap pemahaman penyair dan kenyataan sejarah.
3) Tahap telaah unsur-unsur puisi, mencakup struktur fisik dan struktur batin puisi.
4) Tahap sintesis dan interpretasi.304
303
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 249.
304
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 249.
305
Emzir dan Rohman, Op.Cit., hh. 249-250.
313
Selain itu, juga terdapat empat pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams untuk
memahami karya sastra, antara lain : 1) pendekatan mimetik, 2) pendekatan ekspresif, 3)
pendekatan pragmatic, dan 4) pendekatan objektif.
306
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta:
MedPress, 2008), h. 194.
314
4) Dari para pemenang kelompok kecil itu, para pemenang itu ditandingkan ke tingkat
kelas. Selanjutnya, kelas diminta pendapatnya puisi mana yang paling unggul dan
pembaca siapa yang patut dijagokan.
5) Pertemuan minggu berikutnya telah meningkat pada pengenalan figure “magang”.
Pengajar dapat mengundang seorang penyair (meski buka keharusan), tetapi hal ini
merupakan cara yang penting dalam menarik minat peserta didik untuk menyenangi
puisi. Dalam hal ini, peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, wawasan, dan
pengalaman berkaitan dengan pengajaran puisi langsung dari penyair puisi.
6) Pertemuan “puncak” apresiasi puisi minggu berikutnya, peserta didik dapat diajak ke
tempat rekreasi apa saja atau alam terbuka. Apresiasi puisi dilakukan dalam suasana
yang alamiah sehingga memotivasi minat peserta didik dalam menghayati puisi.
Bengkel sastra memang masih menjadi hal baru di dalam pengajaran sastra,
terutama pengajaran puisi. Oleh karena itu, masih sangat diperlukan peningkatan baik dari
pengajar maupun peserta didik dalam penerapan bengkel sastra di dalam pengajaran dan
pembelajaran puisi. Melalui bengkel sastra, untuk mencapai tingkatan proses kreativitas
yang tinggi, peserta didik yang berolah sastra memerlukan pengajar sastra yang
professional. Professionalitas pengajar sastra dalam menangani bengkel sastra akan
membuat pengajaran puisi menjadi lebih hidup dan dinamis.
G. Deklamasi Puisi
Di dalam pengajaran puisi, sebuah deklamasi puisi baru terasa indah jika dibaca
dengan irama yang baik. Irama ini akan jelas menonjol saat puisi tersebut dideklamasikan.
Situmorang dalam Emzir dan Rohman menjelaskan bahwa kata “Deklamasi” berasal dari
bahasa Latin, yaitu “declamare” atau “declaim” yang berarti membaca suatu hasil sastra
yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. 307 Gerak yang
dimaksud adalah gerak alat bantu yang puitis yang seirama dengan isi bacaan.
Berkaitan dengan deklamasi puisi, Emzir dan Rohman mengemukakan bahwa
deklamasi adalah mengucapkan sebuah puisi dengan cara sebaik-baiknya dengan
memerhatikan syarat-syarat, antara lain:
307
Emzir dan Rohman, Op.Cit., h. 252.
315
1) Pemahaman
Sebelum mendeklamasikan puisi, seorang pendeklamasi harus memahami terlebih
dahulu isi atau maksud sebuah puisi agar dapat mendeklamasikan puisi dengan baik.
2) Peresapan
Sebuah puisi yang akan dideklamasikan haruslah diresapkan benar-benar di dalam
hati sehingga seakan-akan puisi itu menjadi milik pendeklamasi sendiri.
3) Ekspresi
Pendeklamasi harus memantulkan puisi itu pada pendengarnya. Berhasil tidaknya
usaha yang dilakukan pendeklamasi untuk menikmatkan puisi itu terkait dengan
ekspresi.
III. Penutup
Sebagai salah satu genre sastra, puisi mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan dari
penyairnya yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Dalam memahami dan
memaknai puisi, seorang pembaca harus mendalami isi dan pesan puisi melalui telaah
puisi. Adapun dalam menelaah puisi harus berdasarkan pada konvensi puisi. Hal ini
dikarenakan, puisi merupakan karya seni bermedium bahasa yang harus dipahami
sebagai sistem tanda (semiotik) yang mempunyai makna berdasarkan konvensi puisi.
Berkaitan dengan telaah puisi, terdapat banyak pendekatan penelitian yang dapat
digunakan oleh peneliti sastra, terutama peneliti puisi, dalam menelaah puisi sesuai
dengan topik penelitiannya.
Pengajaran sastra di sekolah juga mencakup pengajaran puisi. Seorang pengajar
bahasa dan sastra harus mampu meningkatkan motivasi dan minat peserta didiknya
dalam belajar sastra, baik secara teoretis maupun praktis. Terdapat banyak metode dan
teknik pengajaran puisi yang dapat diterapkan seorang pengajar bahasa dan sastra dalam
pengajaran puisi di kelas.
Puisi terbentuk dalam bahasa yang indah (figuratif), yang keindahannya akan lebih
terasa saat puisi tersebut dideklamasikan. Deklamasi puisi sebagai salah satu teknik
dalam pengajaran puisi diharapkan mampu memotivasi peserta didik untuk meningkatkan
minat dan bakatnya dalam pembelajaran puisi. Selain itu, seorang pengajar bahasa dan
sastra juga dapat menerapkan bengkel sastra sebagai salah satu model pengajaran puisi.
316
Melalui bengkel sastra, peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya dalam bidang
sastra, terutama dalam ranah puisi.
Adapun tujuan pengajaran puisi di sekolah dapat tercapai dengan maksimal apabila
pengajar bahasa dan sastra serta peserta didik saling bekerja sama. Pengajar bahasa dan
sastra yang memiliki peran sebagai pembimbing dan fasilitator diharapkan mampu
mengarahkan dan membantu peserta didik dalam memahami puisi, baik secara teoretis
maupun praktis. Selain itu, suasana belajar yang nyaman dan pilihan puisi yang tepat
seyogianya dapat membantu pengajar dan peserta didik dalam mencapai tujuan
pengajaran dan pembelajaran puisi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT RajaGrafindo.
2015.
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies Second Edition. London & New
York: Routledge. 2004.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi: Analisis Sastra Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.
Tjahjono, Liberate Tengsoe. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Nusa
Tenggara Timur: Nusa Indah. 1988.
317
LAMPIRAN
Telaah Puisi “Doa” Karya Chairil Anwar
Doa
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
A. Analisis Struktural
1. Struktur Fisik
1.1. Tipografi
Mempunyai tipografi semi konsisten. Bentuk wajah yang ditampilkan pada puisi
tersebut lumayan menarik. Walaupun penulisannya rata kiri dan bagian kanan terlihat tidak
teratur, namun terkesan singkat dan indah karena tiap baris puisi hanya disusun oleh
beberapa kata saja. Jadi, baris-baris dalam puisi itu tidak panjang-panjang, melainkan
pendek. Selain jumlah kata yang menyusun baris, wajah puisi juga dibentuk oleh
penyusunan puisi yang dibuat berbait-bait, tidak hanya utuh dalam satu bait saja. Puisi itu
juga dibuat dengan kombinasi huruf kecil dan huruf kapital. Ada beberapa baris yang
318
penulisannya menggunakan awalan huruf kapital, namun ada juga yang diawali dengan
huruf kecil. Hal itu mungkin berpengaruh pada pemenggalan pada puisi.
1.2. Diksi
Pada puisi “Doa,” penyair tampak penyair mengalami krisis iman sehingga diksi
yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada ragu, lemah, bimbang, dan
rapuh. Puisi yang berjudul doa karya Chairil Anwar di atas, merupakan jenis puisi
prismatic. Hal itu terlihat dari sesunan katanya yang tidak langsung memancarkan makna.
Jadi, untuk mendapatkan makna yang kita cari, maka pembaca harus mengira-ira maksud
dari tiap kata atau baris.
Pada puisi itu, pengarang menggunakan diksi yang sederhana, namun dari diksi
ynag sederhana itu timbul rangkaian bahasa kias. Mengenai diksi, pengarang
menggunakan kata yang berlainnan untuk menyebutkan makna yang sama. Misal, pada
puisi di atas dituliskan kata ‘penuh menyeluruh’ dua kata itu hampir sama maknanya,
namun oleh pengarang digunakan secara bersamaan. Kata itu sesungguhnya bukan
makna yang sebenarnya. Oleh pengarang, kata ‘penuh menyeluruh’ itu merupakan
gambaran tuhan yang benar-benar ada . Selain itu, pada puisi itu juga terdapat kata atau
diksi ‘hilang bentuk’ hal ini bermakna kehancuran. Jika pengarang langsung saja
menggunakan kata hancur, walaupun maknanya sama, namun keutuhan makna dalam
baris tidak akan terbentuk sempurna.
1.3. Imaji
Pencitraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan
pembayangan imajinatif, membentuk gamabaran mental, dan dapat membangkitkan
pengalaman tertentu bagi para pembacanya. Cuddon (dalam Ali Imron, 2009: 158)
menjelaskan bahwa citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan
objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan pengalaman indera yang
istimewa. Di tangan sastrawan yang pandai, demikian Coombes (dalam Ali Imron, 2009:
158), imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk
mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, sebuah imaji yang berhasil membentuk
pengalaman menulis terhadapa objek atau situasi yang dialaminya, memberi gambaran
yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan.
319
Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan dirinya sendiri yang mengalami
krisis iman, kemudian meyakini bahwa tidak ada jalan lain baginya kecuali kembali ke jalan
Tuhan. Terdapat imaji cita rasa yang membuat pembaca seakan ikut mengelus dada, dan
menyadari dosa-dosanya. Kemudian pembaca merasa yakin bahwa hanya dengan
mengikuti jalan Tuhanlah akan selamat.
Imaji penglihatan terdapat pada kata “tinggal kerdip lilin di kelam sunyi” dengan
pengkajian tersebut penyair mengajak pembaca melihat seberkas cahaya kecil walau
hanya sebuah perumpamaan. Pembaca diajak seolah-plah mendengar ucapan tokoh aku
dalam menyebut nama Tuhan “aku masih menyebut namaMu”. Penyair menyampaikan
kepada pembaca nikmatnya sinar suci Tuhan sehingga pembaca seolah merasakannya
“cahaya-mu panas suci.”
Dalam puisi “Doa” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji
pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Pada bait 1 penyair memanfaatkan
citraan visual dengan memanfaatkan bahasa kias berupa majas metafora untuk
melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhan, sehingga timbul keakraban,
kekhusukan ketika merenung menyebut nama Tuhannya.
Bait 2 penyair mengguanakan citraan visual dengan majas hiperbola untuk
melukiskan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola dimanfaatkan untuk menyangatkan arti
guna menciptakan efek makna khusus. Yaitu melukiskan kedekatana antara penyair
dengan Tuhannya. Yang dilikiskan pada baris ketiga, disini penyair melebih-lebihkan
kedekatanya, ketulusan, dan kepasrahannya kepada Tuhan /Tinggal kerlip lilin di kelam
sunyi/. Disini kedekatan antara penyair dan Tuhan, didalam sebuah kesunyian ketika
merenung berdoa, hanya cahaya lilin yang redup dalam kesunyian malam.
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Bait 3 menggunkan citraan vusual memanfaatkan majas hiperbola pada baris
kedua /Aku hilang bentuk remuk/ yaitu melukiskan sesuatu yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek makna khusus. Disini dalam keheningan malam, berdoa menyebut
nama Tuhannya dengan sepenuh hati hingga badannya bagaikan hilang dan remuk, rela
badanya remuk tak tersisa demi Tuhannya.
Tuhanku
320
Aku hilang bentuk
Remuk
Bait 4 juga menggunakan pencitraan visual dengan memanfaatkan majas metafora
yang melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhannya /Aku mengembara di negeri
asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan
perbandingan. Membandingkan keseriusannya dan kehusukannya dalam berdoa, dengan
pengembaraannya ke negeri asing. Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk
melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya
antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh
demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di
negeri asing/. Disisni keseriusan dalam berdoa dirbaratkan mengembara ke negeri asing.
Dimanapun berada tetap ingat dan patuh dengan menyebut nama Tuhannya, karena kita
hidup hanyalah sebagai sebuah pengembaraan.
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Pemanfaatan pencitraan dalam puisi tersebut mampu menghidupkan imaji
pembaca dalam merasakan apa yang diasakan oleh penyair, dengan menghayati
pengalaman religi penyair.
321
1.5. Gaya Bahasa
Majas yang digunakan dalam puisi Doa adalah majas metafora, hiperbola, dan
personifikasi.
2.3. Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ‘Doa’ gambaran
perasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari
diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, aku hilang bentuk,
remuk, aku tak bisa berpaling.
2.4. Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ‘Doa’ ini berisi amanat kepada
pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa
melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang
dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah
sebuah ‘pengembaraan di negeri asing’ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini
dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
323
TELAAH DAN PENGAJARAN CERPEN DAN NOVEL
oleh:
Etik, Niknik M. Kuntarto, Rosdiana, dan Yusi Asnidar
===================================================================
A. Pendahuluan
Mengajarkan sastra kepada siswa sangat baik, tetapi akan lebih bermakna
ketika guru mendekatkan sastra kepada siswa. Bagaimana cara mendekatkan sastra
kepada siswa? Apakah dengan meminta mereka membaca sinopsis cerpen atau
novel? Cukupkah hanya sinopsis? Menurut Suwardi Endraswara308, jika guru hanya
meminta siswa membaca sinopsis, berarti guru hanya memberi mimpi indah. Siswa
hanya membayangkan sebuah gunung yang indah, yang landai, yang halus, yang
tinggi, dan seterusnya. Siswa tak pernah bersentuhan dengan cerpen atau novel
sebenarnya. Tentu pembelajaran seperti itu sangat tidak disarankan dalam
penelaahan sastra. Oleh karena itu dibutuhkan pembelajaran sastra melalui telaah
sastra yang menggugah dan menggairahkan. Bagaimana pembelajaran sastra yang
menggugah dan menggairahkan itu?
Sesuai sifat utile dan dulce, bermanfaat dan nikmat sebagai tujuan dan fungsi
karya sastra yang pertama kali dipaparkan oleh Horatius bagi banyak pembaca sastra,
tetap merupakan tolok ukur sastra.309 Sesuatu yang memberi nikmat atau kenikmatan
berarti sesuatu itu dapat memberi hiburan, menyenangkan, menenteramkan, dan
menyejukan hati yang susah. Sesuatu yang berguna adalah sesuatu yang dapat
memberi manfaat, kegunaan, dan kehikmahan. Dengan demikian, telaah sastra
memiliki tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis telaah sastra bertujuan
untuk mengembangkan ilmu sastra yang khusus teraplikasikan dalam genre sastra
seperti puisi, prosa, dan drama secara ilmiah dengan analisis yang dipergunakan
seperti analisis struktur, semiotik, resepsi, dan hermeneutik. Secara praktis telaah
sastra bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memahami sastra
308
Suwandi Endraswara, Metode dan Teori Pengajaran Sastra (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005), hlm. 178.
309
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 7.
324
dan karya sastra, yaitu siswa sebagai ilmuan dan masayarakat umumnya yang
berminat terhadap pemahaman dan penghayatan karya sastra.
B. Pembahasan
1. Strategi Telaah dan Pengajaran Cerpen dan Novel
a. Kognitif
Menurut Richard & Renandya312 strategi kognitif meliputi identifikasi, daya ingat
mendapatkan kembali terhadap elemen-elemen dalam memahami informasi seperti,
310
Richard, Jack C. & Willy A. Renandya, Methodology in Language Teaching: An anthology of
current practice ( Cambridge: Cambridge University Pressm 2002), hlm. 121.
311
Ibid.
312
Ibid.
325
melatih kembali dan meringkas. Strategi kognitif merupakan alat yang berguna membantu
anak dengan masalah-masalah belajar. Istilah strategi-strategi kognitif dalam bentuk
yang sangat sederhana adalah penggunaan ingatan untuk mengatasi sebuah masalah
atau menyelesaikan tugas. Sebuah strategi kognitif melayani untuk mendukung siswa
sebagaimana yang dia kembangkan prosedur di dalam dirinya sendiri yang memampukan
menyelesaikan tugas-tugas yang sangat kompleks. Pemahaman bacaan adalah sebuah
tempat strategi adalah perlu. Sebuah strategi dapat membantu siswa memahami apa yang
mereka baca.
a) Formalisme
313
Emzir & Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 10-14.
326
durhaka dari satu daerah kedaerah lain polanya sama namun cara menyajikannya
berbeda. Cerita Malin Kundang dari Sumatra dan Si BonceldariJawa Barat. Atau
puisi dengan pola a-a-a-a namun isinya/ baitnya berbeda.
b) Strukturalisme
c) Semiotik
Ferdinand de Saussure315 adalah salah satu tokoh semiotik. Bahasa adalah sistem
tanda; dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu
sama lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda); signifiant adalah aspek formal
atau bunyi pada tanda itu, padahal signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual;
tetapi signifiant tidak identik dengan bunyi dan signifie bukankah denotatum, jadi hal
atau benda dalam kenyataan yang diacu oleh tanda itu; secara konkrit tanda burung
tidak sama dengan bunyi fisik dan tidak pula dengan binatang dalam kenyataan. Dapat
dikatakan bahwa asfek tandanya dilaksanakan lewat bentuk bunyi fisik, sedangkan
sebagai tanda kata burung dapat dipakai untuk mengacu pada sesuatu dalam
kenyataan; tanda memang terdiri dari aspek formal dan konsepktual yang merupakan
dwitunggal
314
Suwardi Endraswara, op.cit., hlm. 49
315
A. Teeuw, op.cit., hlm.43-47.
327
d) Dekonstruksi
e) Post-kolonialisme
f) Postmodernisme
316
Julia Kristeva, A Semiotic Approach to Literature and Art, (Oxford: Blackwell, 1980), hlm. 36-37
317
Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 120
318
Ibid, hlm. 149
328
misalnya terkandung dalam stiap aktivitas dalam hubungan ini aktivitas modernisme
di mana di dalamnya terkandung suatu pembaharuan. Postmodernisme manusia
dimungkinkan hidup secara lebih bebas sebagai destruktur. Pendekatan
Postmodernisme ini tak jarang digunakan untuk membongkar kepentingan-
kepentingan di balik sebuah teks: dominasi, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan
gender.
g) Sastra marxis
Teori sastra Marxis meliputi bidang yang luas dan berbasis pada pandangan
Marxisme. Teori ini bersumber pada pandangan Engels tentang ekonomi, sejarah,
masyarakat, dan revolusi. Jefferson & Robey menyatakan bahwa para ahli sastra
telah memanfaatkan Marxisme untuk pendekatan dan teori sastra, yang kemudian
terkenal disebut teori sastra Marxis.319 Teori sastra Marxis didasarkan pada
gagasan bahwa sastra adalah produk dari kekuatan sosial dan ideologi. Namun,
Terry Eagleton menegaskan bahwa "teks sastra bukan 'ekspresi' ideologi, juga
bukan ideologi 'ekspresi' kelas sosial. Teks ini lebih tepat dikatakan sebagai
produksi ideologi tertentu. Hubungan antara teks dan produksi adalah hubungan
kerja. Marxisme adalah suatu bentuk materialisme dialektis yang menyatakan
bahwa semua materi realitas sosial secara fundamental memiliki asal dalam bentuk
produksi. Sejarah masyarakat adalah sejarah transformasi dialektis dalam
hubungan antara tenaga kerja dan produksi. Menurut Marx, ada dua kelas sosial,
yaitu kapitalis dan proletariat. Semua teori sastra Marxis memiliki premis sederhana
yang sama bahwa sastra hanya dapat dipahami dalam kerangka yang lebih besar
dari realitas sosial.
319
Jefferson & Robey, Ann & David (ed), Modern Literary Theory (Second Edition), (London : B.T. Batsford
Ltd. 1987), hh. 166-167
329
tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara
individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial.320 Hal ini mengakibatkan
realitas yang terdapat dalam sastra tidak berbeda jauh dengan realitas yang
terdapat dalam masyarakat(memetik). Pada kondisi ini, nilai imajinasi sastra
memiliki peran yang minimum. Ini bukan berarti menihilkan nilai fiksional, sebab
dalam sastra merupakan bentukan fiksi dan realitas. Namun demikian, sastra pada
konteks ini akan melahirkan nilai historis yang tinggi. Sastra akan menjadi saksi
zaman dan sejarah.
i) Feminisme
Emzir dan Rohman mendefinisikan feminisme berasal dari kata latin, yaitu
femina yang berarti sifat keperempuanan.321 Feminisme diawali oleh persepsi
tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Lebih
lanjut Emzir dan Rohman menjelaskan bahwa pengertian feminism mengandung
tiga aspek penting yaitu: (1) keyakinan bahwa tidak ada perbedaan hak
berdasarkan seks. Persamaan menyangkut kuantitas dan kualitas, (2) adanya
pengakuan bahwa dalam masyarakat telah terjadi konstruksi social yang merugikan
perempuan, (3) adanya identitas dan peran gender.322
j) Psikologi sastra
320
Endraswara, op. cith. 88
321
Emzir dan Rohman, op. cit, hlm. 131.
322
Ibid. h. 132.
323
Endraswara, op. cit, hlm. 96
330
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang,
waktu, dan golongan sosial.324 Menurut Pradopo yang dimaksud resepsi adalah
ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap
karya sastra.325 Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena
karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya
sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya
sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang
memberikan nilai.
l. Analisis Isi
324
Sastriyani, Siti Hariti,Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia.
Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm. 252-259, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2001), hlm. 253
325
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. (Yogyakarta:
PustakaPelajar), h. 218
326
Krippendorf, Content Analysis: An Introduction to Its Methodology (London: Sage Publications, 2004), hlm. 18
327
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 66.
331
baik secara ekstensif maupun intensif. Oleh karena itu, beberapa prinsip berikut ini dapat
menjadi pedoman menggiatkan minat baca siswa.
328
Oxford, R. L., Language Learning Strategies: What every teacher should know ( New York: Newburry House, 1990),
hlm. 134.
329
Suwardi Endraswara, op.cit., hlm. 177.
330
Rahmanto, op. cit., hlm. 66
332
Seorang guru biasanya kesulitan menentukan karya fiksi yang akan menjadi bahan ajar
bagi siswanya karena terpatok pada kurikulum. Suwardi331 menyarankan hendaknya guru
luwes dalam memberikan kebebasan bagi siswa dalam menentukan jenis karya fiksi yang
akan dibaca dan ditelaahnya. Yang terpenting, guru tetap harus membatasi dengan
rambu-rambu sesuai dengan kebutuhan.
b. Metakognitif
331
Suwardi, op.cit., hlm. 178
332
Dikutip dari Suwardi, op.cit., 180
333
Anderson, J.R., Cognitive Psychology and its Implications. 2nd ed.(San Francisco. Freeman, 2002), hlm. 1.
334
Richard & Renandya, op.cit., hlm. 44.
333
dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan
yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional. Sebagai contoh guru
menentukan tugas menganalisis puisi dengan pendekatan analisis isi yang
berhubungan dengan peranan perempuan. Siswa harus mampu membandingkan
antara karya fiksi yang satu dengan yang lainnya untuk ditentukan persamaan dan
perbedaan pandangan pengarang tentang peranan perempuan dalam keluarga.
3) Keterampilan berpikir kritis (critical thinking). Keterampilan individu dalam
menggunakan proses berpikir yaitu menganalisis argumen dan memberikan
interpretasi berdasarkan persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias
dari argumen, dan interpretasi logis. Sebagai contoh siswa berlatih menelaah karya
fiksi dengan beberapa pendekatan yang sudah dipelajarinya. Mereka harus mampu
menentukan pendekatan yang paling sesuai digunakan dalam menelaah karya
sastra.
4) Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking) yaitu keterampilan individu dalam
menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif
berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi, dan
intuisi individu. Sebagai contoh, guru memberikan peluang siswa untuk berfantasi liar
dalam menyelami karya fiksi. Siswa mencoba jika ia berada pada posisi pengarang,
dapatkah ia mengubah akhir cerita dari sad ending menjadi happy ending?
c. Afektif
Afektif adalah hal yang berhubungan dengan emosi, perasaan, minat, dan sikap,
kegelisahan, toleransi yang bermakna ganda dan motivasi. Untuk sebagian orang, afektif
adalah juga berhungan dengan watak dan pilihan. Menurut Richard and Renandya 335
strategi afektif merupakan orang-orang yang menjalani untuk mengatur emosi, sikap, dan
motivasi. Misalnya, siswa boleh membaca buku-buku yang disederhanaka secara ilmu
linguistik untuk mengembangkan sikap yang positif terhadap materi bacaan. Kemudian,
Rebecca Oxford336 ( 1990: 140) mengatakn di sisi lain afektif dari pelajar merupakan
kemungkinan pada pengaruh-pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dalam
belajar.
335
Richard & Rinandya, op.cit., hlm.121.
336
Oxford, op.cit., hlm. 140.
334
Suwardi mengusulkan Model Gordon337 dalam strategi afektif. Model Gordon menekankan
pada keaktifan dan kretivitas siswa keterlibatan secara emosional. Gordon menyodorkan
teknik analogi personal, analogi langsung, dan konflik kempaan. Yang dimaksud analogi
personal adalah memosisikan siswa sebagai novelis, memosisikan siswa sebagai bagian
dari tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita, dan memosisikan siswa sebagai kritikus yang
boleh berpendapat apa saja berdasarkan pikiran dan perasaannya. Sebagai contoh tokoh
Saatirah itu tokoh wanita pintar atau bodoh?
d. Sosial
Menurut Richard and Renandya,338 stategi sosial mengaju pada tindakan siswa
berpartisipasi dengan pengguna bahasa (sastra). Berikut prosedur sistem kerja strategi
sosial: (1) menanyakan pertanyaan yang meliputi: (a) menanyakan klarifikasi dan
verifikasi, (b) menanyakan pembetulan, (2) bekerja sama dengan orang lain yang meliputi:
(a) bekerja sama dengan kawan sebaya, dan (b) bekerja sama dengan pemakai bahasa
(sastra) yang sudah cerdas atau mahir, (3) memiliki rasa empati kepada orang lain yang
meliputi: (a) mengembangkan pemahaman budaya, dan (b) hati-hati dengan lidah dan
perasaan orang lain.
Selain itu, menurut Emzir dan Saifur Rohman, pembelajaran sastra diharapkan
dapat terintegrasi ke dalam empat keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis.339 Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa dibutuhkan
strategi belajar berdasarkan kebutuhan siswa. Strategi pembelajaran sastra dibuat oleh
guru berdasarkan ketiga tahap berikut ini, yakni persiapan atau perencanaan, penyajian,
dan pengukuhan340. Persiapan berhubungan dengan pemilihan materi --dalam hal ini
cerpen dan novel--, pengenalan karya melalui apersepsi pengetahuan mengenai teori
sastra, dan memberi pengantar. Tahap penyajian dimulai dari pembacaan karya, baik
337
Suwandi Endraswara, op.cit., hlm. 181-183.
338
Richard & Renandya, op.cit., hlm. 121.
339
Emzir & Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 255
340
Ibid., hlm. 256.
335
cerpen maupun novel, di dalam hati untuk memahami isi karya melalui unsur-unsur
pembangunnya. Selanjutnya, guru dan siswa berdiskusi menelaah sastra yang
disesuaikan dengan pendekatan yang telah dipelajari. Siswa juga bisa diminta untuk
membaca secara ekspresif dan berdiskusi tentang kesan dan pesan terhadap karya
tersebut. Tahap pengukuhan dilakukan dengan penguatan akan pengetahuan siswa
setelah belajar melalui refleksi diri341.
341
Ibid., hlm 257.
336
Kegiatan -Siswa meminta -Cerpen
Inti/ 100 salah satu murid “Mata”
menit untuk karya RA
membacakan
cerpen secara
ekspresif dan
bergiliran.
-Siswa
menyimak
pembacaan
cerpen dan
menulis kesan
pertama setelah
mendengarkan
pembacaan
cerpen.
-Siswa - SGD
berdiskusi
secara
berkelompok
menentukan
unsur yang
paling menonjol
dan menarik dari
cerpen “Mata”
karya RA.
-
Collaborative
Learning
-Siswa dan guru
337
bertanya jawab (CbL)
tentang unsur
yang palin
menonjol dan
menarik untuk
dilakukan
penelaahan
sastra.
-Siswa
menyimak
penjelasan guru
tentang unsur - SGD
yang paling
menonjol dan
menarik dalam
cerpen tsb, yakni
bahasa.
-Siswa
menyimak
penjelasan guru
tentang
pendekatan
stilistika dalam
telaah sastra.
-PM
-Secara
berkelompok,
siswa berlatih
menganalisis
cerpen “Mata”
dengan
menggunakan
pendekatan
stilistika.
338
-Setiap
kelompok
memaparkan -PM
hasil diskusi
-Praktik
-Siswa
melakukan
refleksi diri -Refleksi Diri
tentang materi
yang baru
dipelajarinya.
-Siswa
melakukan
evaluasi secara
singkat.
-Siswa
menyimak
339
penjelasan guru
tentang tugas
menganalisis -PM
cerpen-cerpen
lain yang dapat
ditelaah dengan
pendekatan
stilistika.
340
unsur budaya
daerah ke dalam
karya-karyanya.
-Siswa bertanya
jawab tentang
sastrawan yang
kental dengan
unsur budaya di
dalam karyanya.
-Siswa menyimak
penjelasan guru
tentang capaian
pembelajaran hari
ini, yakni belajar
SGD
Telaah Sastra:
Analisis Isi
-Siswa
memperlihatkan
PR pada
pertemuan
sebelumnya:
membawa novel PM
yang sudah
dibacanya dan
yang judulnya
sudah ditentukan
oleh guru secara
berkelompok,
341
Kegiatan -Siswa CBL Novel
Inti/ 250 membentuk 5 Ronggeng
menit kelompok dan Dukuh
telah membaca Paruk
novel Ronggeng karya
Dukuh Paruk Ahmad
karya Ahmad Tohari, Ca
Tohari, Ca Bau Bau Kan
Kan karya Remy karya
Silado, Remy
Pengakuan Silado,
Pariyem karya Pengakuan
Linus Suryadi, Pariyem
Telegram karya karya Linus
Putu Wijaya, dan Suryadi,
Pulau karya Telegram
Aspar.. karya Putu
Wijaya, dan
Pulau
karya
342
-Setiap kelompok Aspar..
mencatat hal-hal
penting saat guru
memaaparkan
materi tentang
cara menganalisis
isi novel.
-Setiap kelompok
CBL
bekerja sama
dalam memahami
novel secara dan
bergantian
membacakan
bagian mana yang
mengandung
unsur budaya dan
menentukan cara
pengarang
mentrasformasika
n budaya daerah
melalui karyanya.
CBL
-Secara
berkelompok,
siswa berdiskusi
tentang penilaian
sastrawan
terhadap budaya
yang
ditransformasikan
ke dalam
karyanya, apakah
melakukan
penilaian atau
tidak, mendukung
atau menentang,
dll.
343
-Siswa
mempresentasika
n temuannya dan
siswa lain
mengomentari
atau -Praktik
mengkritisinya.
--
Presenta
si
344
Kegiatan -Siswa dengan Tanya
Akhir/ 20 bimbingan guru, jawab
menit menyimpulkan
materi yang telah
dipelajari hari ini.
-Siswa
mengadakan
refleksi diri. Refleksi
diri
-Siswa melakukan
evaluasi.
-Siswa menyimak
penjelasan guru
tentang materi
yang akan PM
dipelajari pada
pertemuan
berikutnya.
C. Penutup
Sebagai penutup, penulis kutipkan sepuluh perintah menurut Dornyei & Csizer 342: Jadilah
contoh yang baik bagi murid Anda! Ciptakan atmosfeer menyenangkan dan rileks di kelas
342
Ibid., hlm.199
345
Anda! Berikan tugas secara layak! Kembangkan hubungan baik dengan pembelajar!
Tingkatkan kepercayaan diri linguistik para pembelajar kelas bahasa yang menarik!
Tingkatkan otonomi pembelajar (SCL)! Personalkan proses pembelajaran! Tingkatkan
orientasi pembelajar dan biasakan pembelajar dengan budaya bahasa sasaran! Semoga
makalah ini menjadi model alternatif dan bermanfaat bagi peningkatan kualitas seorang
guru dalam pembelajaran sastra di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.R. 2002. Cognitive Psychology and its Implications. 2nd ed. San Francisco.
Freeman.
Emzir & Rohman. 2014. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Endraswara, Suwardi. 2011a. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Caps.
Jefferson & Robey, Ann & David (ed). 1987. Modern Literary Theory (Second Edition).
London: B.T. Batsford Ltd.
Krippendorf, Kalus. 2004. Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. London:
Sage Publications
Kristeva, Julia. 1980. A Semiotic Approach to Literature and Art, Oxford: Blackwell,
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti
Press.
Oxford, R. L. 1990 . Language Learning Strategies: What every teacher should know.
New York: Newburry House.
Richard, Jack C. & Willy A. Renandya. 2002. Methodology in Language Teaching:
An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:Gramedia.
---------------------------------------------. 2007. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah
Mada Universiti Press.
Rahmanto, B. 1992. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Sastra Seni dan Budaya dalam Pendidikan
Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. “Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan
Resepsinya di Indonesia”. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm.
252-259. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Teeuw, Andreas. 1980. Sastra Baru Indonesia. Jilid 1. Ende: Nusa Indah,
______________. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
346
LAMPIRAN
Mata
Karya RA
Gelap. Terang.
Gelap. Terang.
Kelopak mata menyentuh tubuhku yang bulat berkali-kali. Aku mulai basah oleh cairan
yang perlahan-lahan dikeluarkan oleh kelenjar mata. Cahaya dari tiap sekat jeruji penjara
menerobos, menyeruak masuk keruang penjara yang sempit dan menyedihkan. Air seni
gadis sumbing ini menggenang di mana-mana, memantulkan setiap cahaya yang masuk
lewat ventilasi berduri ataupun jeruji ke tubuhku, tepatnya ke bulatan hitam yang terletak
pada pusat tubuhku, pupil dan iris namanya.
Aku adalah mata, tepatnya bola mata kiri, jendela kehidupan bahkan kematian. Aku
bersama pancaindra lainnya, juga syaraf, paru-paru, bahkan kantung kemih sering
bertukar cerita, berbagi informasi, termasuk detik ini, ketika wajah Karin, gadis sumbing
berumur 16 tahun yang menjadi inangku, berkaca pada genangan air seninya sendiri.
Wajahnya tak semanis dulu, yang tampak sekarang hanya kehampaan, kekosongan,
kegetiran!
Pantulan wajah Karin pada genangan air seninya menjadi kabur karena campuran darah
dan urin yang tidak seimbang. Dari tetesan darah pertama yang jatuh ke air seni hingga
semakin kaburnya bayangan Karin, aku bisa melihat jelas bayangan pupil pada pantulan di
air seninya. Tepat saat aku melihat pantulan pupil pada genangan air seni, tepat di
sanalah kereta waktu menjemputku, berpergian melewati rel-rel masa lalu, kembali ke
satu minggu yang lalu, merasakan dinginnya malam saat itu, ketika Karin masih normal.
=**=
Gelap, terang.
Gelap, terang.
Kedap-kedip kelopak mata untuk meratakan cairan pada tubuhku yang bulat membuat
kontras warna gelap-terang dengan cepat. Baru saja temanku telinga menangkap
gelombang suara dengan frekuensi tinggi dari kamar di sebelah kamar Karin, teriakkan
yang sangat keras dan memilukan. Tanpa pikir panjang Karin berlari menuju sumber suara
yang ternyata kamar ayahnya, orang tua tunggal Karin. Ditemani kilat dan gelegar petir
yang ditangkap gendang telinga, ia membuka pintu perlahan-lahan.
Sungguh fatamorgana nyata yang memilukan! Kilauan celurit bersimbah darah mengoyak
perut sang ayah, menikam, merobek, mencongkel!
“Mati kau!” teriak lelaki kejam itu sambil mengalungkan celuritnya ke arah leher
ayah Karin.
“Kuhancurkan tubuhmu sampai lebur!” ancam lelaki bergairah.
Aku memfokuskan tubuhku pada sosok penguasa celurit kejam itu, dia yang sedang
bergairah menindih ayah Karin, menikmati pemeretelan tubuh tak bernyawa itu adalah
seorang laki-laki bertelanjang dada dengan wajah penuh kemenangan. Usus, jantung,
semua dikeluarkannya seperti mahasiswa kedokteran yang siap memainkan kadaver.
Kufokuskan lagi tubuhku, ada yang aneh pada kepalanya, bergidik, seperti orang yang
terkena penyakit stroke. Sunggingan bibirnya menyimbolkan kepuasan.
Jantung memompa darah lebih cepat, hormon adrenalin mengerahkan semua pasukannya,
panik mulai menyerang! Lenguhan ketakutan Karin pada bibirnya yang sumbing
menimbulkan suara yang tidak sengaja didengar oleh pembunuh itu. Dengan sekejap,
Karin lari ke seluruh penjuru ruangan. Gelombang suara derap langkah sepatu boot
348
pembunuh berkepribadian setan yang mengikutinya ditangkap indra pendengar,
diteruskan ke otak, dan membuat lari Karin semakin cepat.
Tidak! Terpojok Karin! Terbelalak lebar aku memandang celurit berjubahkan darah yang
hanya satu jengkal di depanku. Dengan cekatan, paha Karin menendang kemaluan laki-
laki jahanam itu. Ya, mengerang kesakitan ia! Dengan senang telinga memberi tahuku.
Saat-saat seperti ini dimanfaatkan Karin untuk mengambil alih celurit dan tanpa fikir
panjang menebas tepat ke arah pangkal kepala pembunuh itu. Menyembur darah ke luar.
Mengotori wajah pucat Karin. Erangan kesakitan tak sempat didengar karena celurit
terlanjur memisahkan leher dengan kepalanya. Makin menjadi deras hujan. Petir pun
menemani.
Semua terbujur kaku, bermandikan darah, mati, lenyap, kecuali gadis sumbing bernasib
buruk yang sedang berdiri kaku, takut, bingung, memegang celurit bersimbah darah.
=**=
Kereta waktu berjalan maju satu hari dari pemberhentian pertama, memberhentikan aku
keesokan harinya tempat police line terbentang di mana-mana, borgol tajam
membelenggu tangan gadis bisuku, dan sirine polisi menghingar-bingarkan suasana
dengan suara bisingnya. Karin tidak bisa memberi pembelaan, sumbing parah pada
bibirnya membuatnya tidak bisa bicara dari kecil, pendidikannya yang rendah membuatnya
tidak bisa baca tulis. Penjara dengan jeruji-jerujinya yang kesepian menunggu Karin
sebagai teman barunya.
Karin menatap pak polisi yang sedang memborgol tangannya. Aku memfokuskan tubuhku
pada laki-laki itu. Tiba-tiba kepalanya bergidik, tetap bergidik hingga perlahan lepas dari
lehernya dan menggelinding ke aspal. Setan pembunuh itu seperti muncul lagi!
Gelap, Karin memejamkanku karena takut. Lenguhan panik mulai terdengar. Dengan mata
tertutup, Karin berjalan sepertinya ke arah mobil karena suara mesinnya yang menderu
terdengar semakin keras. Ketika Karin perlahan-lahan mulai membuka matanya, yang ia
lihat adalah sopir mobil polisi yang akan membawanya ke kantor polisi. Sunggingan yang
khas, kepalanya bergidik, terus bergidik, lalu tangannya memegang leher, dan secara
perlahan melepas kepalanya. Pembunuh itu!
Dengusan napas Karin semakin cepat, Karin sangat ketakutan. Aku sebagai matanya
diarahkan pandangannya ka arah luar jendela. Saat mobil berjalan melewati pejalan kaki,
mereka yang dilihat oleh aku dan Karin semua memegang celurit lalu menebas kepala
mereka sendiri. Darah segar menyembur dari leher tanpa kepala menyelimuti tubuh
349
mereka. Tidak! Ini mulai aneh! Semua yang kulihat dengan tubuhku diproses di otak
sebagai manusia jahanam itu, pembunuh ayah Karin! Termasuk saat Karin menatap
cermin, dipecahkannya cermin itu karena yang dilihatnya adalah sang pembunuh, bukan
dirinya. Halusinasi, Bipolar disorder343, Manic Depression, jiwanya mulai sakit. Gila, dia
mulai gila!
Dengan kecepatan pesawat supersonik, kereta waktu kembali dari masa lalu ke masa
sekarang, saat Karin sedang berusaha menembuskan tangannya melawan syaraf dan otot
saudara kembarku. Ia berusaha mencopot matanya sendiri!
Suara hati sudah lama membisikan agar kami di lepas saja dari kesatuan koordinasi tubuh
Karin daripada harus terpaksa dipakai untuk melihat pembunuh itu di mana-mana,
meskipun otak tahu ini halusinasi. Desakan yang semakin kuat dari suara hati membuat
keinginan Karin terkabul.
Tanpa menunggu lama, Karin mencengkramkan kuku pada cekungan tempat kami tinggal,
menjepit bola mata, menarik aku dan saudara kembarku sekaligus melawan kodrat,
membuat semua syaraf optikus dan lakrimal putus. Darah terus mengalir, deras! Syarafku
yang masih menempel di tubuh Karin mengoneksikan aku dengan indra lainnya. Telinga
memberitahuku, lenguhan Karin semakin keras dan tidak beraturan, terus memuncak
hingga mencapai klimaksnya, saat ujung jarinya mengoyak otot mata yang menempel
pada tulang orbitta, tulang penyangga mata. Ia berhasil melepas aku dan mata kanan.
Mata.
343
Bipolar Disorder atau Manic Depression adalah kelainan psikologi yang ditandai dengan halusinasi berlebihan dan perubahan
emosi ekstrim. Kelainan ini menyebabkan penderitanya melakukan hal-hal di luar batas bahkan bunuh diri. Penyakit ini disebabkan
oleh cairan di otak yang tidak seimbang juga karena kesedihan yang mendalam.
.
350
PENDEKATAN BERORINETASI PADA PENGARANG
Oleh:
Agus Supriyadi, Dian Kardijan, Marlon Irwan Ranti
=========================================================
Abstraks
7. Pendahuluan
351
rangka untuk mendapatkan wawasan membaca latar belakang penulis atau surat dan
buku harian yang dapat dikonsultasikan untuk merefleksikan pribadinya.344
Otobiografi jelas cocok untuk pendekatan semacam ini, yang membandingkan
penggambaran fiksi dengan fakta dan angka dari kehidupan penulis. Dalam banyak
kasus, bahan otobiografi memasuki teks fiksi dalam kode. Dramawan Amerika Eugene
O'Neill, Misalnya, menggunakan secara terselubung elemen otobiografi dalam bermain
dalam Perjalanan malam yang panjang (c 1941;. diterbitkan 1956). Meskipun
karakter dan peristiwa dalam drama yang diduga fiktif, itu didasarkan pada orang yang
nyata dan mendramatisir peristiwa dari kehidupan keluarganya. Pendekatan penulis
berpusat dan fokus juga pada aspek yang mungkin telah memasuki teks pada tingkat
bawah sadar atau tak sadar. Faktanya bahwa Mary Shelley mengalami keguguran
selama periode di mana ia menulis novelnya Frankenstein (1818) dapat berhubungan
langsung dengan plot. Menurut pendekatan penulis berpusat, tema sentral dari novel,
penciptaan seorang manusia buatan, dapat ditelusuri kembali pendudukan psikologis
intens Mary Shelley dengan isu lahir pada saat itu. Banyak penulis yang ingin menjaga
teks-teks fiksinya dan lingkungan pribadi mereka secara utuh dan karenanya menentang
pendekatan ini. Misalnya, penulis J.D.Salinger Amerika, yang menjadi terkenal dengan
penerbitan novelnya The Catcher in the Rye, memiliki ketat menolak untuk memberi
informasi tentang kehidupan pribadinya selama dekade terakhir.345
Penulis Canonical khususnya-mereka yang sangat dihormati dalam kritik sastra,
seperti Shakespeare, Milton, atau Joyce-sering yang cenderung mythologized. Hal ini
menyebabkan upaya untuk merekonstruksi semangat penulis melalui karyanya.
Pendekatan fenomenologis menganggap bahwa penulis hadir dalam teks berbentuk kode
dan bahwa rohnya bisa dihidupkan kembali dengan membaca secara intensif dan
menyeluruh. Sebagai contoh dari kehidupan menunjukkan Mary Shelley, banyak
pendekatan biografis juga cenderung untuk mempekerjakan penjelasan psikologis. Hal ini
telah menyebabkan kritik sastra psikoanalitik, sebuah gerakan yang kadang-kadang
berhubungan dengan penulis, tetapi terutama upaya untuk menerangi aspek psikologis
umum dalam teks yang tidak selalu berhubungan dengan penulis secara eksklusif. Di
bawah pengaruh Sigmund Freud (1856-1939), kritik sastra psikoanalitik memperluas studi
344
Mario Klarer, An Introduction To Literary Studies (New York: Routledge, 2004), hal. 91.
345
Ibid..hal. 91
352
fitur psikologis luar penulis untuk menutupi berbagai intrinsik aspek tekstual. Misalnya,
karakter dalam teks dapat dianalisis secara psikologis, seolah-olah mereka adalah orang-
orang yang nyata. Contoh yang sering dikutip dalam konteks ini adalah keadaan mental
Hamlet dalam drama Shakespeare; kritikus psikoanalitik bertanya apakah Hamlet gila
dan, jika demikian, dari mana penyakit psikologis ia menderita.346
Lebih lanjut Sigmund Freud juga menjelaskan teks-teks sastra khususnya tentang
fenomena psikologis tertentu dalam beberapa studi, di antaranya analisis (1772-1822)
cerita E.T.A.Hoffmann "The Sandman " ( 1817), peringkat di antara interpretasi klasik dari
teks-teks sastra. Di tahun kedua abad kedua puluh, momentum kritik sastra psikoanalitik
kembali dikaji di bawah pengaruh analis Perancis Jacques Lacan ( 1901-1981 ), terutama
dalam dunia Anglo - Amerika. Kepentingan dalam fenomena psikologis secara tidak
langsung bersekongkol dalam penyebarannya yang disebut pendekatan pembaca
berpusat. Fokus mereka pada penerimaan teks dengan pembaca atau proses membaca,
karena itu, dilihat sebagai investigasi dari fenomena psikologis dalam arti atau istilah yang
luas.347
Kemudian Welek dan Warren menyebutkan bahwa penyebab utama lahirnya kasya
sastra adalah penciptanya sendiri: Sang Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang
kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam
studi sastra.348 Biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang penciptaan
karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari hidup pengarang
yang genius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya yang tentu
menarik. Biografi juga dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang
psikologi pengarang dan proses yang kreatif.349
Terdapat tiga sudut pandang yang perlu dibedakan dalam melihat biografi dan studi
sastra. Pertama, yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan
proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Kedua, mengalihkan pusat perhatian
dari karya ke pribadi pengarang. Ketiga, memperlakukan biografi sebagai bahan untuk
ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. Biografi adalah genre kuno. Sebab
346
Ibid..hal. 92
347
Ibid..hal. 92
348
Rene Eellek dan Austin Warren, Theory of Literature (London: Harcourt Brace Jovannovich, Publisher, 1977), hal. 74.
349
Ibid..hal. 74
353
biografi secara kronologis maupun logis adalah bagian dari historiografi karena tidak
membedakan negarawan, jenderal, arsitek, dan lain sebagainya .350
Dalam pandangan penulis biografi, pengarang adalah orang biasa yang
perkembangan moral, intelektual, karir, dan emosinya bisa direkonstruksi dan dinilai
berdasarkan standar tertentu, biasanya menggunakan system nilai etika dan norma-
norma perilaku tertentu.
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik
sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi
perkembangan dan pembinaan sastra. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam.
Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Teori pertama,
orientasi kepada semesta yang melahirkan pendekatan mimesis. Kedua, teori kritik yang
berorientasi kepada pembaca yang disebut pendekatan pragmatik. Penekanannya bisa
pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya
sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.
Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai
pendekatan ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada
karya yang dikenal dengan pendekatan obyektif.
Dalam makalah ini, difokuskan pada pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang
dalam mengaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta
karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan,
sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai
produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau
perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra,
dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan.
8. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap
bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi
dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri
pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini dapat
350
Ibid..hal. 74
354
dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme,
feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastra individual maupun karya
sastra dalam kerangka periodisasi.
Pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan,
dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang
melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang
dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran
kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut
pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta
tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar
atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa
pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi
pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi,
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang.
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan
biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek
creator. Pendekatan ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana
karya sastra itu diciptakan, seperti study kreatif proses kreatif dalam studi biografis,
tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkannya.351
Secara metode, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah: (1)
memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang hadir secara
langsung atau tidak di dalam karyanya, (2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan
perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori
faktual teks berupa watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data
yang diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak,
pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data sekunder
berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan,
pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun sosial dengan
351
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004),
h. 68
355
mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil ciptaannya dengan
data biografisnya.
Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengaitkan sebuah karya
sastra dengan pengarangnya. Maka, ada beberapa langkah dalam menerapkan
pendekatan ekspresif.
Langkah pertama : seorang kritikus harus mengenal biografi pengarang karya
sastra yang akan dikaji.
Langkah kedua : melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang
terdapat dalam karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/
diksi, citraan, dan sebagainya. Dalam menafsirkan unsur-
unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil
juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran
diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan
penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang
membangun sebuah karya sastra.
Langkah ketiga : mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan
psikologis kejiwaan pengarang. Asumsi dasar penelitian
psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan
bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan
dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi
setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan
ke dalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan
karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang
mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar
itu ke dalam sebuah cipta sastra.
9. Sosiologi Sastra
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi
dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa
356
karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu
Sosiologi sastra merupakan jenis pendekatan yang memiliki paradigma yang
menghasilkan sebuah pandangan bahwa karya sastra adalah bagian dari masyarakat
sehingga memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Sosiologi
sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang.
Semi mengatakan :
352
Atar Semi. Kritik Sastra. (Bandung : Angkasa, 1984), h. 52
353
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), h. 114.
354
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), h. 4.
357
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang
pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada
di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan
sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat
mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan
sekaligus membentuknya.
Dalam konteks ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang
sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, karya sastra dapat dianggap sebagai
usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, yaitu hubungan manusia dengan
keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi
urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang
bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi,
pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.
Hubungan sastra dan masyarakat menjadi: sosiologi pengarang yang
memasalahan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain menyangkut pengarang
sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang membahas dan
memersalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalakan
pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Untuk itu, Sasaran Penelitian Sosiologi
Sastra terbagi ke dalam telaah sastra menjadi:
d. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut:
3) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi.
4) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara
sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa
358
ragam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra
mereka.
e. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan
gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan dan
disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama yang harus mendapatkan perhatian
adalah.
5) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis,
sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah
tidak berlaku lagi pada waktu ditulis.
6) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan
dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
7) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
8) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-
cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin
masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra
akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
f. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
“Seberapa jauh nilai sastra terkait dengan nilai sosial?” dan “Sampai berapa jauh
nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” Ada tiga hal yang harus diperhatikan,
diantaranya:
4) Sudut pandang yang menganggap bahwa bahwa sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu dan perombak.
5) Sudut pandang bahwa Sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
6) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan
dengan cara menghibur.
359
Berhubungan dengan hal tersebut, bahwa sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian
ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan
orang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang
sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain
atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa, sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk
mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra,
dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini
menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya
adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut
beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur
sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu, tugas
sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan
situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal
usulnya.
355
Wellek & Warren, Lok Cit. hal. 111-112.
356
Satoto, Sudiro. 1986. Metodologi Penelitian Sastra. (Semarang: UNS Press, 1986). Hal. 180.
357
Sariban. .Novel Asmaraloka karya Danarto: Kajian Strukturalisme Genetik. (Surabaya: PPs Unesa, 2004). Hal. 22
358
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1984). Hal. 37.
359
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998). Hal. 173
361
kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dipegangteguh oleh pengarang tersebut
dalam kultur sosial tertentu.360
360
Iswanto. “Penelitian sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra.
(Yogyakarta: Hanindita, 2001). 60.
361
Satoto, Sudiro. Metodologi Penelitian Sastra. (Semarang: UNS Press, 1986). Hal. 180.
362
Faruk, H.T. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strulturalisme-genetik sampai Post-modernisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999). Hal. 22.
363
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1984). Hal. 37.
362
aktivitas atau perilaku manusia baik yang berupa verbal maupun yang fisik, yang berusaha
dipahami oleh ilmu pengetahuan.364
Masih menurut Faruk, secara hakikat, fakta bkemanusiaan dibagi menjadi dua,
yakni individual dan sosial; (3) subjek kolektif. Pada mulanya, subjek kolektif diartikan
sebagai kelompok sosial dalam Marxis.365 Namun, lama-kelamaan istilah tersebut
mengalami pergeseran. Dalam pandangan strukturalisme genetik, pengarang adalah
bagian dari masyarakat individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi,
pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, dilihat atas keberadaan
kolektivitas masyarakat. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus
366 367
kolektivitas; (4) pandangan dunia. Golmann dalam Sariban (2004) dalam teori
strukturalisme genetik mengembangkan konsep pandangan dunia (vision du monde
vision) yang mewujud dalam semua karya sastra dan filsafat besar. Pandangan dunia
diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia
yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhan. Masih
menurut Sariban, pandangan dunia dalam karya sastra merupakan pandangan pengarang
sebagai individu yang mewakili subjek kolektif. Pandangan pengarang ini tampak melalui
struktur karya sastra yang dihasilkannya; dan (5) “pemahaman-penjelasan” dan
“keseluruhan-bagian”. Konsep “pemahaman-penjelasan” dan “keseluruhan-bagian”
berkait dengan metode yang digunakan oleh teori strukturalisme genetik. Karya sastra
harus dipahami sebagai struktur yang menyeluruh. Pemahaman karya sastra yang
menyeluruh akan mengarahkan pada hubungan sastra dengan sosiobudaya sehingga
karya sastra memiliki arti.368
Strukturalisme genetic sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa
terdapat hubungan antara teks sastra dengan hal-hal diluar teks. Hal diluar teks itu adalah
pengarang dan masyarakat. Dengan berbagai problema social yang dirasakan dan
dilihatnya pengarang menuliskannya kembali dalam bentuk imajinasi artistic dalam bentuk
364
Faruk, Op Cit. Hal. 17.
365
Ibid, hal. 13.
366
Sariban. 2004. “Novel Asmaraloka karya Danarto: Kajian Strukturalisme Genetik”.( Surabaya: PPs Unesa, 2004). Hal. 35.
367
Ibid. Hal. 40.
368
Ibid. Hal. 44.
363
karya sastra. Artinya karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebaqgai hasil
imajinasi pengarang yang merupakan refleksi gejala social yang ada.369
373
Suharto, Sugihastuti.. Kritik Sastra Feminis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hal. 18.
365
Melalui feminisme pula, kaum perempuan menuntut agar kesadaran kultural yang
selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terwujud
adalah keseimbangan yang dinamis. Feminisme menganggap dominasi patriarki
merupakan penyebab utama ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. Oleh
karena itu, melalui feminisme diharapkan dapat mengubah pandangan yang telah melekat
dalam kehidupan bermasyarakat tentang perempuan yang selalu dianggap sebagai kaum
nomor dua setelah laki-laki.374
b. Gino Kritik
Satu di antara kajian feminisme yang menganalisis tulisan atau karya sastra yang
dihasilkan oleh perempuan adalah kajian ginokritik. Ginokritik merupakan sebuah kajian
yang pembahasannya menganalisis karya-karya yang mengangkat kisah kehidupan
perempuan yang dihasilkan atau ditulis sendiri oleh penulis perempuan. Penulis
perempuan berperan sebagai penulis dan menentukan sendiri permasalahan, tema,
genre, dan struktur dari karya sastra tersebut. Ginokritik di bagi menjadi empat bagian
yaitu penulisan perempuan dan biologi perempuan, penulisan perempuan dan bahasa
perempuan, penulisan perempuan dan psikologi perempuan, dan penulis perempuan dan
budaya perempuan. Penelitian ini lebih difokuskan pada penulis perempuan dan bahasa
perempuan yang dibagi menjadi empat sub masalah yaitu, bentuk tulisan tersurat, bentuk
tulisan tersirat, ekspresi tubuh, unsur multifokal, dan bentuk implementasi pembelajaran
sastra ditingkat perguruan tinggi.
Sebuah istilah sastra yang diperkenalkan oleh seorang kritikus feminis Amerika
Elaine Showalter untuk mengklasifikasikan pekerjaan penting dalam memfokuskan secara
eksklusif pada literatur yang ditulis oleh penulis perempuan. Tujuan ganda adalah untuk
memulihkan ' hilang ' atau penulis perempuan yang ' diabaikan ' dan memahami dalam
konstruksi makna tekstual khususnya pengarang wanita. Istilah ini tidak banyak digunakan
saat ini, tetapi dua contoh kunci dari gynocriticism, yaitu Sandra Gilbert dan Susan Gubar,
perempuan gila di Attic (1979 ) dan Elaine Showalter A Sastranya sendiri ( 1977), masih
terbaca hari ini, sehingga praktek dari gynocriticism, jika tidak kata , sangat hidup.375
Lebih lanjut, Elaine Showalter menjelaskan bahwa gynocriticism, atau gynocritics,
mengacu pada studi sastra perempuan sebagai penulis. Ini adalah kajian kritis dalam
374
Ibid. hal.18
375
Elaine Showalter. Quick reference. http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803095913896. hal. 1
366
menjelajahi dan merekam kreativitas perempuan. Gynocriticism mencoba untuk
memahami tulisan perempuan sebagai bagian fundamental dari realitas perempuan.
Beberapa kritikus sekarang menggunakan " gynocriticism " untuk merujuk pada praktek
dan " gynocritics " sebagai praktisi. Elaine Showalter menciptakan istilah gynocritics pada
tahun 1979 dalam esainya yang berjudul "Menuju Feminis Poetics." Tidak seperti kritik
sastra feminis, yang mungkin menganalisis karya penulis laki-laki dari perspektif feminis,
gynocriticism ingin membangun tradisi sastra perempuan tanpa menggabungkan penulis
laki-laki. Elaine Showalter merasa bahwa kritik feminis masih bekerja dalam asumsi laki-
laki, sementara gynocriticism akan memulai fase baru penemuan diri perempuan.376
Elaine Showalter mengembangan sub-kultur dalam literatur, dengan pengertian
bahwa penulis perempuan terdiri atas sub-kultur. Seperti yang dijelaskan oleh Susan
Spaull, Showalter menunjukkan tahap pertama untuk sub-kultur penulis perempuan adalah
Feminin, di mana penulis perempuan meniru bentuk laki-laki dalam menulis. Tahap kedua
adalah feminis, di mana penulis perempuan memberontak terhadap pemerintahan standar
laki-laki dan nilai-nilai sementara untuk menghindari stereotip negatif yang berkaitan
dengan perempuan dan fungsi perempuan, bakat, keterampilan, dan kemampuan; itu
adalah fase dengan munculnya kritik. Tahap ketiga adalah Female, di mana penulis wanita
menjalani penemuan dirinya dan mencoba untuk literaturnya sendiri dan berhenti menjadi
pengekor; itu adalah fase saat ini dan telah menyaksikan munculnya gynocriticism.377
Menurut penjelasan Spaull untuk Showalter, salah satu pertanyaan yang diajukan
dalam gynocriticism adalah apakah ada yang berasal dari estetika perempuan yang
terpisah dan didefinisikan dari perbedaan biologis dalam kognisi yang mengakibatkan
perbedaan antara bagaimana pria dan wanita membuat seni sastra. Lainnya adalah
apakah ada penggunaan bahasa perempuan yang terkemuka untuk "kalimat wanita";
apakah ada tipe perempuan yang spesifik berkaitan dengan plot dan karakter; apakah
sastra perempuan sebenarnya (atau tidak) cocok dengan ukuran yang obyektif untuk
sastra yang baik - dan apakah ukuran untuk sastra perempuan seharusnya menjadi
berbeda dengan sastra untuk pria. Masih dlam pertanyaan lain yaitu wanita menekankan
tema-tema universal yang berbeda dibandingkan laki-laki; wanita melakukan penggunakan
376
Ibid. http://womenshistory.about.com/od/feminism/a/gynocriticism.htm. Hal. 1
377
Elaine Showalter, http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
367
metafora dan citra yang berbeda dari laki-laki; bagaimana wanita memerankan karakter
dalam kaitannya dengan bagaimana pria melakukannya; dan yang wanita pilih adalah
materi pelajaran yang berbeda dari yang dipilih oleh laki-laki.
Singkatnya, menurut Xu Yue dari Zhejang University, Hangzhou, China,
kekhawatiran gynocriticism sendiri adalah dengan mengembangkan kritik khusus
perempuan yang mengkritik karya yang ditulis oleh perempuan, dengan tujuan
mengidentifikasi keunikan antara penulis perempuan dan penulis pria untuk menempa
jalan menuju generasi berikutnya dari penulis perempuan yang tidak perlu mengandalkan
template laki-laki dan model tertentu karena penulis perempuan bebas untuk mengetahui
dan mengembangkan kebesaran sastra perempuan mereka sendiri. Kekhawatiran utama
gynocriticism adalah untuk mengidentifikasi apa yang diambil untuk menjadi mata
pelajaran khas feminin dalam literatur yang ditulis oleh perempuan; untuk mengungkap
dalam sejarah sastra tradisi perempuan, dan untuk menunjukkan bahwa ada modus khas
pengalaman feminin, atau "subjektivitas," dalam berpikir, menilai, dan memahami diri
sendiri dan dunia luar.378
Metode ini menyelidiki dan mengambil subjek tulisan wanita yang telah
menghasilkan karya seperti Elaine C. Showalter, yang menciptakan istilah "gynocriticism,"
panggilan "sastra mereka sendiri. "tradisi sastra perempuan diperiksa untuk menemukan
bagaimana penulis perempuan secara historis dianggap sebagai budayanya sendiri dan
budaya mereka. Tujuan lain dari gynocriticism adalah untuk melestarikan kronik sejarah
tulisan perempuan dan untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang atau diabaikan
oleh penulis perempuan. Showalter menjelaskan penulis feminin sebagai bentuk dari
pengalaman umum budaya minoritas, budaya yang juga "Lainnya" dan yang anggotanya
berjuang untuk menemukan tempat yang biasanya disediakan untuk laki-laki berkulit putih.
Hal ini menyebabkan beberapa masalah marjinalisasi, karena beberapa pria dan wanita
mungkin juga lainnya dalam hal etnis orientasi pada seksual. Secara khusus, tempat
dalam warna feminisme wanita adalah isu kontroversial, sebagai penulis hitam seperti
Phillis Wheatley, Toni Morrison, Gwendolyn Brooks, dan Nikki Giovanni tantangan dan
masukkan canon. Praktisi lain dari gynocriticism termasuk Patricia Meyer Spacks dan
Susan Gubar.
378
Spaull. http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
368
Sementara Rahman (2012) menyatakan bahwa ginokritik merupakan teori yang
dirancang khusus untuk menganalisis karya tentang perempuan dan dihasilkan oleh
penulis perempuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa ginokritik
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah
penulis-penulis perempuan merupakan kelompok khusus dan apa perbedaan antara
penulis perempuan dan penulis laki-laki. Menurut Showalter (dalam Rahman)379
menyebutkan ginokritik memberikan tumpuan kepada penulis perempuan untuk memiliki
identitas sendiri serta menekankan tentang hak dan seluruh pengalaman perempuan. 380
Satu di antara bagian dari kajian ginokritik adalah penulis perempuan dan bahasa
perempuan. Menurut Cixous (dalam Rahman, 2012) menyebutkan bahasa perempuan
memiliki bahasa yang berbeda, perbedaan tersebut adalah dengan menggunakan rentak
dan irama yang khas serta bahasa sebagai suatu sistem yang dinamis dan sangat dekat
dengan kehidupan dan karakter seorang perempuan. Menurut Rahman (2012) penulisan
perempuan dan bahasa perempuan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tulisan tersirat dan
tersurat dalam bahasa perempuan, ekspresi tubuh dalam bahasa perempuan, dan unsur
multifokal perempuan.381
12. Psikoanalisis
Psikologi adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang objek
pembahasannya adalah keadaan jiwa manusia. Ilmu ini berusaha memahami perilaku
manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu dan juga memahami
bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan. Karya sastra merupakan hasil
ungkapan jiwa seorang pengarang yang di dalamnya melukiskan suasana kejiwaan
pengarang. Di dalam karya sastra terdapat hasil kreatifitas dari pengarang tersebut.
Mungkin dari pengalaman pribadi pengarang atau bukan pengalaman pribadi yang
tentunya pernah disaksikan oleh pengarang.
Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Fraud. Menurut Endrawara
(2008), psikoanalisis merupakan istilah khusus dalam penelitian psikologi sastra.
Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap penelitian sastra yang
379
Rahman, Norhayati AB. 2012. Puitika Sastra Wanita Indonesia dan Malaysia. (Pulau Pinang: University Sains Malaya, 2012). Hal.
17.
380
Ibid.. Hal. 18.
381
Ibid. Hal. 130-131.
369
menggunakan pendekatan psikologis. Umumnya, dalam setiap pelaksanaan
pendekatan psikologis terhadap penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis
ini hanyalah bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja terutama yang berkaitan
dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan
perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relative luas karena manusia
senantiasa menunjukkan keadaan jiwa yang berbeda-beda.382
382
Endrawara. Media Pembelajaran sastra Indonesia: Agepe (Online). http://goesprih.blogspot.co.id/
370
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia.
Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah
laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada
manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia
yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot
jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya
sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-
kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan
rasional. keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego
memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id
dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak
mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial).
Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral
mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai
kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas
masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja
dengan prinsip idealitas.
d. Pendekatan Psikologi Sastra
Pendekatan psikologi sastra adalah suatu cara analisis berdasarkan sudut
pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja
membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam
menghayati dan menyikapi kehidupan. Jadi, pendekatan psikologi ini adalah analisis
atau kritik terhadap suatu karya sastra yang menitik beratkan pada keadaan jiwa
manusia, baik terhadap pengarang, karya sastra, maupun pembaca. Menurut Rene
Wellek dan Austin Werren yang dikutip oleh Ratna menunjukkan empat model
pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya
sastra, dan pembaca. Pendekatan ini pada dasarnya berhubungan dengan tiga
gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan
371
bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan
karya sastra.383
Pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis
berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra
selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan
pancaran dalam menghayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi psikologi itu
sendiri adalah melakukan penjelajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap
tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh
tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya.
Emzir menegaskan bahwa objek psikologi bukan jiwa manusia secara langsung,
tetapi menifestasi dari keberadaan jiwa yang berupa perilaku dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan perilaku.384 Selanjutnya Eagleton mengatakan
Psychoanalytical literary criticism can be broadly divided into four kinds, depending
on what it takes as its object of attention. It can attend to the author of the work; to
the work's contents; to its formal construction; or to the reader.385 Artinya Kritik
sastra psikoanalisis secara luas dapat dibagi menjadi empat macam, bergantung
dari objek perhatiannya. Hal itu dapat memerhatikan; 1) pengarang karya, 2) isi
karya, 3) konstruksi formalnya; dan 4) pembaca.
Melakukan psikoanalisis pada pengarang merupakan urusan yang penuh
spekulasi, dan menemui masalah-masalah yang sama dengan yang kita teliti saat
kita mendiskusikan relevansi ‘maksud’ pengarang dalam karya kesusastraan.
Psikoanalisis pada ‘isi’ mengomentari motivasi tak sadar dari tokoh, atau signifikansi
dari psikoanalisis objek atau peristiwa dalam teks, memiliki nilai terbatas.
REFERENSI
383
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004),
h. 61
384
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), h. 163.
385
Terry Eagleton. Literary Theory an Introduction. (Australia : Blackwell Publishing, 1996), h.155
372
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Emzir dan Saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
_____Gynocriticism.http://womenshistory.about.com/od/feminism/gynocriticism .html.
_____http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
Faruk, H.T. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strulturalisme-genetik sampai Post-
modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Novita, Totok Priyadi, Agus Wartiningsih, Analisis Ginokritik Pada Novel Pengakuan Eks
Parasit Lajang Karya Ayu Utami. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP
Untan, Pontianak.
Rene Eellek dan Austin Warren, 2004. Theory of Literature. London: Harcourt Brace
Jovannovich, Publisher.
Rahman, Norhayati AB. 2012. Puitika Sastra Wanita Indonesia dan Malaysia. Pulau
Pinang: University Sains Malaya.
Spaull. http://www.enotes.com/homework-help/short-note-gynocriticism-249521
374
TELAAH DAN PENGAJARAN INTERTEKSTUAL / SASTRA BANDINGAN
oleh:
Agus sulaeman, Bejo Sutrisno dan Momon Adriwinata
================================================================
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Sastra telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak manusia hidup di muka
bumi. Sastra mewakili peradaban, budaya, serta adat yang diyakini oleh masyarakat sejak
dahulu. Pengalaman budaya yang kita anut sekarang merupakan cerminan dari
pemahaman budaya yang nenek luhur kita telah anut dalam waktu yang cukup lama.
Sama halnya dengan budaya sekarang yang merupakan cerminan masa lalu atau
perwakilan budaya masa lalu karya sastra yang lahir saat ini yang menganut berbagai
macam aliran juga tak lepas dari adanya pengaruh dari karya sastra sebelumya. Untuk
memperkaya makna serta pemahaman tentang karya sastra itu sendiri tentunya
mengaitkan hubungan dengan karya sastra terdahulu dengan yang sekarang ataupun
bahkan dengan bangsa lain merupakan hal yang penting dalam memahami pesan yang
terkandung dalam teks sastra yang bersnagkutan.
Teori sastra bandingan dan intertekstual merupakan analisis sastra yang mencoba
membantu dalam memahami makna antar teks lintas generasi, waktu, geografis, budaya,
dan berbagai paham masyarakat lainnya.
375
Dalam proses penciptaan suatu karya, seorang pengarang tidak terlepas dari
keterlibatannya dengan teks-teks lain yang telah ada sebelumnya dan yang
mengelilinginya. Hal itu menunjukkan adanya pengaruh teks-teks lain yang masuk ke
dalam teks sastra yang dihasilkannya. Dengan demikian, tida ada teks asli yang menjadi
milik seorang pengarang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Barthes bahwa semua
teks sastra terjalin dari teks sastra yang lainnya, bukan dalam makna biasa bahwa teks ini
memperlihatkan unsurunsur pengaruh, tetapi dalam maksud yang lebih radikal, yaitu
setiap perkataan, frasa atau bagian ialah penciptaan kembali karya-karya lain yang
mendahului atau mengelilinginya. 386
B. PEMBAHASAN
Menurut Barthes bahwa teks adalah permukaan fenomena karya sastra. Teks
adalah kata-kata yang membentuk karya dan yang disusun dengan cara sedemikian rupa
untuk membelokkan arti yang tetap dan seunik mungkin. Karena teks merupakan tenunan
yang dijalin, teks sebagai jaringan, yang secara konstitutif berhubungan dengan tulisan,
maka teks mempuyai fungsi menjaga tetapnya dan permanennya inskripsi yang ditulis
agar ingatan terbantu. Selain itu, teks mempunyai aspek legalitas karena memiliki sifat
yang tetap, tidak terhapus. Teks merupakan senjata melawan waktu, kelalaian, dan
penipuan ujaran. Teks secara historis berhubungan dengan institusi: hukum, agama
(gereja), kesusasteraan, dan pendidikan. Teks juga merupakan satu objek moral, yang
ditulis sejauh partisipasi dalam kontrak sosial. Teks menandai bahasa dengan satu atribut
yang tidak dapat ditaksir, yang tidak menunjukkan dalam esensinya: keamanan. Hal itu
dikarenakan bahwa pada dasarnya bahasa itu bergerak, demikian juga semantik.387
Teks bukan merupakan objek yang tetap, melainkan dinamis. Karena dinamis, teks
baru hidup di dalam interaksi dan berada di tengah-tengah interaksi tersebut. Pengarang
bukan lagi penentu makna dan kebenaran. Teks itu produk tulisan yang performatif dan
menghasilkan sesuatu, aktifitas pembaca memperbanyak dirinya sendiri tanpa batas. Teks
membuat celah pada tanda sehingga muncul berbagai-bagai arti. Oleh karena teks bukan
386
Barthes dalam Terry Eagleton. 1983. Literary Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell, h. 137
387
Barthes, Roland. 1981. “Theory of The Text” dalam Untying The Text: A Post-Structuralist Reader by Robert Young
(Ed). Boston, London and Henley: Routledge & Kegan Paul, h. 32
376
objek yang stabil, maka kata teks tidak menjadi suatu pokok yang padat dalam
metabahasa.
1. Pengertian Intertekstual
Intertekstual adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain
sering mendasari teks yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas yang
diilhami oleh ide-ide M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang
bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi,
pemecahan, dan sebagainya. Selanjutnya, dalam semiotik, istilah intertekstual
dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita
(kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks yang
berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain tersebut. Proses terjadinya sebuah
teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola
arti lain.388
Menurut Miller, sebagai suatu istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi
suatu kemajemukan konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan
dalam berbagai macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam
istilah teoretis dan disebarkan dalam strategi metodologi. Bagaimanapun, untuk tetap
memakai bentuk tunggal untuk menandainya, meskipun hal itu tidak menyatukan konsep,
merupakan variasi bentuk yang menyenangkan, apa yang disebut Wittgenstein dengan
‘pertalian keluarga’. Dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa salah satu gagasan tentang
interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa ciri-ciri umum, tetapi ditemukan
dalam seluruh gagasan kata. Secara singkat, tidak ada keistimewaan unsur pokok,
memuaskan bagi seluruhnya, yang mengijinkan kita untuk mendefinisikan istilah
tersebut.389
Interteks berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara,
dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks,
barasal dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan.
388
Hartoko, Dick dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius, h.67
389
Miller, Owen. 1985. “Intertextual Identity’ dalam Identity of The Literary Text. Ed. By Mario J. Valdes and Owen Miller.
London: University of Toronto Press, hh. 19-20
377
Dengan demikian, intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu
dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam
kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu
interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan
sebagainya.390
Rohman mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek
kajian yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan 391. Dasar asumsinya
bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh
dari karya-karya lainnya. Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-
karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan.
Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema ,bentuk, aliran, ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut:
1) Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya
yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil
olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu
dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra
tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi Djoko Damono dianggap mamperoleh
pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel berjuta - juta dari Deli (2006)
karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856)
Karya Multatuli.
2) Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memilikin pengaruh,
tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah
kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme
alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan
pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita itu sama-
sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua cerita
itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa saja
terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung392.
390
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h 211-212.
391
Saifur Rohman, Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h 84-85
392
Ibid.
378
Julia Kristeva yang dikutip Junus menyatakan munculnya interteks sebenarnya
dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini
mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik
saja. Jika kemungkinan unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang
berarti. Jika dalam suatu teks terdapat teks lain berarti teks sastra tersebut disebut
karnaval. Teks yang lahir kemudian hanya mosaik karya sebelumnya. Mosaik tersebut
ibarat bahan yang terpecah-pecah, terpencar-pencar, sehingga pengarang berikutnya
sering harus menata ulang ke dalam karyanya. Dari ini akan tercipta sebuah karya yang
merupakan transformasi karya lain.393
Teori intertekstual penting dalam memahami sastra. Pada saat sesorang
memahami karya sastra, menyusun parodi atau ironi, maka ia harus
menginterpretasikan sekaligus bergerak ke level lain, bahkan ke genre yang sama
sekali baru. Hubungan dengan interpretasi terjadi sebagai sebab akibat keharusan
kontekstual yaitu dengan hadirnya pola-pola kultural masa lampau yang tersimpan
selama proses pembacaan sebelumnya. Interteks dalam hubungan ini berfungsi untuk
membangkitkan memori. Bergerak ketataran lain dimungkinkan dengan adanya energy
kreatifitas, karya seni tidak pernah melukiskan suatu obyek yang sama dengan cara
yang persis sama. Perbedaan yang dimaksud dilakukan melalui bahasa (dalam karya
sastra), garis dan warna (dalam lukisan), susunan nada (dalam seni suara), gaya
(dalam seni bangunan), dan dan sebagainya394.
Masalah lain yang perlu ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran
bahwa tiruan tidak harus lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian.
Penolakan terhadap tiruan dan objek lain yang dikaegorikan sebagai ‘tidak asli’
sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh adanya oposisi biner, dengan konsekuensi
logis salah satu diantaranya dianggap sebagai inferior. Demikian pula halnya karya-
karya yang dianggap sebagai bersumber dari karya lain, termasuk terjamahan, salinan,
saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori dikategorikan sebagai
bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan memanfaatkan konsep
perbedaan (differance) Derridean, memandang kedua aspek sebagai memiliki dua
393
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002),
h.132
394
Ibid, hh.214-215
379
aspek yang sejajar, tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa aspek
tersebut dibicarakan395.
Dalam praktik analisis interteks perlu dibedakan pengertian antara naskah, teks,
dan wacana. Menurut Barthes naskah atau karya adalah bahan kasar seperti bentuk
buku, lontar, disket, dan bentuk-bentuk yang dapat ditaruh di rak buku. Naskah atau
karya merupakan objek studi filologi. Teks dan wacana pada umumnya merupakan
sinonim. Meskipun demikian, menurut Barthes, teks hanya eksis melalui wacana.
Secara praktis, teks digunakan dalam bidang sastra, wacana dalam bidang linguistik.
Masyarakat luas lebih mengenal istilah wacana (diskursus)396.
Teori intertekstual sangat penting dalam memahami sastra. Tidak ada karya
yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, tidak ada karya yang tidak
diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Dalam proses interteks,
konsep yang memegang peranan penting adalah hypogram. Menurut Rifaterre,
hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan
kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks.
Dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual adalah sebuah teori yang berusaha
untuk menemukan hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain,
karya sastra yang baru merupakan sebuah transformasi dari karya sastra yang telah
lahir sebelumnya. Seorang pengarang ketika menulis karyanya pasti sudah terpengaruh
oleh karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks yang sedang
ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain. Namun pengarang tidak semata-mata
hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan atau merombaknya menjadi
sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang berbeda. Pada intinya, kajian
intertekstual disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada
pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
2. Prinsip-prinsip Intertekstual
Prinsip intertekstualitas digunakan untuk memberi makna berbagai cara yang
terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara
terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasankiasan atau dengan asimilasi dari karya
395
ibid
396
Ibid, hh.212-213
380
tersebut, dari suatu teks yang lebih awal oleh teks yang lebih muda atau hanya dengan
partisipasi dalam sebuah perbendaharaan umum dari kode-kode kesusasteraan dan
konvensi397.
Interteks mengimplikasikan intersubjektifitas, pengetahuan terbagi yang
diaplikasikan dalam proses membaca. Menurut para strukturalis, Culler menyatakan
ada beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara
intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep-konsep yang dimaksud,
diantaranya:
1) Recuperation (prinsip penemuan kembali),
2) Naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi biasa),
3) Motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak tidak arbitrer atau tidak koheren),
4) Vriasemblation, (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang
lain)398.
Todorov menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan Ciri-
ciri vriasemblation, yaitu:
a. Sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di
masyarakat, yang disebut opini umum,
b. Hubungan teks dengan genre tertentu,
c. Kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkannya untuk
menghubungkannya dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri399.
Senada dengan Todorov, Culler menjalaskan bahwa vriasemblation merupakan
konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori interteks. Culler
kemudian memberikan lima tingkat vriasemlations, lima cara untuk menghubungkan
teks dengan teks lain sehingga dapat dimengerti, teks-teks yang dimaksudkan yaitu:
a. Teks yang diambil langsung dari dunia nyata,
b. Teks cultural general, teks dunia nyata itu sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk
terhadap pola-pola kebudayaan tertentu,,
c. Teks sebagai konvensi genre, sebagai teks artifisial literal sehingga terjadi perjanjian
antara penulis dan pembaca,
397
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston, h.200
398
Suwardi Endraswara, op.cit, h.213
399
ibid
381
d. Teks yang dikutip baik secara implisit maupun eksplisit dari genre-genre di atas,
dengaan menambah otoritas makna dan kulitas otoritasnya, dan
e. Interekstual secara khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik
pijak proses kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi400.
Vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam
interteks. Vriasemlation memberikan intensitas pada model-model kultural sebagai
sumber makna dan koherensi. Puisi-puisi kontemporer seperti karangan Sutardji, dapat
dibaca dan dimengerti dengan menemukan kembali, menaturalisasikan, menyesuaikan,
dan mengintegrasikan .
Teori interteks disatu pihak memiliki kaitan dengan pastiche, karya yang disusun
atas dasar adaptasi dan persamaan-persamaannya di masa lampau, bricolage,
tranformasi material melalui komposisi. Interteks juga memiliki kaitan dengan konsep
Baudrillard, simulasi, yang suatu proses menciptakan bentuk-bentuk yang baru tetapi
bentuk asli tetapi bentuk aslinya tidak pernah ada. Hasilnya disebut simulacrum.
Dipihak yang lain, interteks memiliki kaitan erat dengan prisip-prinsip dialogis yang
dikembangkan oleh Bakhtin. Dalam hubungan ini, Bakhtin mengembangkan teorinya
melalui orang lain pada umumnya menurut preposisi Meadean, bukan ego-id Freud.
3 Hubungan Intertekstual
Hubungan intertekstual berarti adanya hubungan antara satu teks dengan teks
lain. Penciptaan sebuah teks selalu membutuhkan teks lain sebagai teladan dan
kerangka, baik untuk penciptaan maupun pemahaman. Hubungan intertekstual dapat
diketahui apabila terdapat bentuk-bentuk hubungan tertentu atau ada persamaan antara
novel yang satu dengan yang lain.
Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaanya, termasuk dalam
situasi sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta berdasarkan konvensi sastra yang
ada, yaitu meneruskan konvensi sastra yang ada, disamping juga sebagai sifat hakiki
sastra, yaitu sifat kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta
menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada.401
400
ibid
401
Pradopo. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
h.167
382
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini
baik berupa persamaan ataupun pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya
membicarakan karya sastra itu dalam hubunganya dengan karya sezaman, sebelum,
atau sesudahnya.402
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip
intertekstualitas. Hal ini ditunjukan oleh Riffatere dalam bukunya Semiotics of Poetry
(1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubunganya dengan sajak lain.
Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dikemukakan Riffatere
bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sesudahnya itu disebut
hipogram. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya
sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya sastra setelahnya. Dalam
kesusastraan Indonesia modern pun dapat kita jumpai hubungan intertekstual antara
karya sastra, baik prosa maupun puisi.403
Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh struktur intrinsiknya saja.
Latar sosial, budaya, dan kesejarahan juga merupakan unsur penting dalam
menentukan hubungan intertekstual antara karya sastra yang satu dengan yang lainya.
Hal ini disebabkan oleh karya sastra ditulis oleh seorang pengarang yang tidak mungkin
terlepas dari latar sosial dan budaya pada waktu dia menulis. Karya sastra tidak ditulis
dalam situasi kekosongan budaya. Adanya hubungan intertekstual dalam karya satu
dengan karya lain mungkin disadari oleh pengarang, namun bisa jadi pengarang tidak
menyadari bahwa karyanya merupakan pengaruh dari karya orang lain. Pada dasarnya
seorang pengarang pasti tidak mau apabila karyanya disebut sebagai pengaruh dari
karya orang lain. Namun dalam hal ini ada dua kemungkinan, yang pertama saat proses
penulisan pengarang menjadikan teks lain sebagai kiblat atau acuan dalam menulis
karyanya dan mengembangkan dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Kedua,
ideologi atau pemikiran seorang pengarang tersebut sama dengan pengarang lain, jadi
ketika imajinasinya dituangkan melalui karya sastra teks-teks yang terkandung di
dalamnya hampir sama dengan karya sebelum atau sesudahnya.
402
Ibid.
403
Ibid.
383
Meskipun sebuah karya sastra menyerap unsur-unsur dari teks lain yang
kemudian diolah kembali dengan bentuk yang berbeda, karya yang dihasilkan itu tetap
mencerminkan karya yang mendahuluinya. Karena kehadiran suatu teks itu bukanlah
suatu yang polos, yang tidak melibatkan suatu proses dan pemaknaan. Sebuah teks
kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya
yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison
harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam
karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain yang mungkin berupa
konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali.404
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual dapat
membantu pembaca untuk mencari hubungan sejarah atau keterkaitan karya sastra
yang lahir kemudian dengan karya sastra yang telah ada sebelumnya. Adanya
hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya
pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu
dengan teks yang lain itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan
pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Maka sesungguhnya,
pemahaman makna hubungan intertekstual menghantarkan pembaca untuk lebih
intensif dalam memahami karya sastra.
4. Sastra Bandingan
Sastra bandingan dianggap pertama kali dikenalkan oleh Noel dan Laplace
meskipun keduanya pada saat itu masih ragu menggunkaan istilah sastra bandingan
sehingga pada akhirnya dilupakan oleh banyak orang.
Namun pada akhirnya istilah sastra bandingan diperenalkan kembali secara luas
oleh Abel Francois Villemain dan Ampere yang dikenal juga sebagai “bapak” sastra
bandingan dan mulai pesat perkembangannya pada tahun 1970-an.
Sastra bandingan merupakan kritik sastra yang mengkaji tentang hubungan
karya sastra dengan karya sastra yang lain baik dari segi penulisan, sejarah, maupun
karakternya.
404
Ibid, h.228
384
Sastra bandingan mengkaji pada umumnya mengkaji kepada dua hal yaitu
tempat dan waktu. Menurut Suwardi “sastra bandingan adalah studi teks across cultural.
studi ini merupakan upaya interdisipliner yaitu lebih banyak mengkaji sastar menurut
aspek waktu dan tempat”405
Sastra bandingan juga digunakan untuk mengebangkan karya sastra itu sendiri
dengan melihat kajian teksnya sehingga hubungan antara sastra yang dibandingkan
dapat dianalisa.
Menuut Benecto Crose dalam Suwardi “studi sastra bandingan adalah kajian
yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), alternation, (penggantian),
pengembangan (development), dan perbedaan timbal balik diantara dua arya atau
lebih”.406
Kajian satra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram.
Menurut Riffartere (Endraswara: 132) hipogram adalah modal utama dalam sastra yang
akan melahirkan karya berikutnya407. Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi
latar kelahiran karya berikutnya.
Hipogram dan transformasi ini akan jalan terus-menerus sejauh proses sastra itu
hidup. Hipogram merupakan ”induk” yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam
hal ini, peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya
baru. Namun, tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua
lebih hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa
jauh tingkat kreatifitas pengarang408.
Menurut Pradopo prinsip dasar intertekstualitas (Endraswara: 133) adalah karya
hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang
menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran
berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan
ini, sastrawan yang lahir berikutnya adalah reseptor dan transformator karya
sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam
405
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002),
h.128
406
ibid
407
Ibid, h.132
408[26]
ibid
385
mencipta selalu diolah dengan pandangan sendiri, dengan horison dan atau
harapannya sendiri409.
Dengan adanya sumber tertentu yang dimanfaatkan dalam proses interteks,
maka konsep yang dianggap penting adalah hipogram. Riffaterre mendefenisikan
hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata
tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Hipogram
memiliki hubungan dengan anagram dan paragram menurut pemahaman Saussure.
Perbedaannya, apabila paragram memiliki cirri-ciri leksikal dan grafemis, sebaliknya
hipogram adalah kata-kata yang terikat dalam kalimat yang secara organisatoris
merefleksikan prasyarat matriks kara-kata inti.
Pengarang, baik secara sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk matriks
atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model atau serial varian. Menurut
Riffaterre, matriks, model, dan teks adalah varian hipogram410. Dalam studi kultural teori
interteks jelas berfungasi untuk mengevokasi keberagaman kultural. Sebagai mosaik,
maka kutipan adalah pesan tertentu. Objek, yaitu kutipan itu sendiri yang mengarahkan
aktifitas subyek411.
409[27]
ibid, h.133
410[28]
Nyoman Kutha Ratna, op. cit, h 217
411[29]
ibid
412[30]
Suwardi Endraswara, loc. cit
386
bahwa karya sastra adalah barisan teks atau himpunan teks. Penampilan teks pada
teks lain tersebut dapat dirumuskansebagai berikut:
a. Kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya,
b. Kehadiran teks pada teks lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan tradisi,
sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya 413.
Kehadiran teks lain pada suatu teks, akan mewarnai teks baru tersebut. Dalam
kaitan ini, Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna
penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun
pertentangannya. Hal ini menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian,
sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Karya sastra yang lahir berikutnya merupakan
“pantulan” karya sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak
langsung. Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut memiliki hubungan interteks
yang sangat tajam. Senbaliknya, jika pengaruh tersebut tidak langsung akan
menimbulkan hubungan interteks yang halus. Hubungan interteks yang pertama, akan
mudah diketahui siapa saja yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks
yang kedua, tentu menbutuhkan kejelian membaca untuk mengetahuinya 414.
Prinsip dasar yang harus dianut dalam pengkajian sastra bandingan terkait
dengan dua hal, yaitu: (1) kondisi karya sastra yang tidak pernah steril dari pengaruh
sastra lain, (2) bandingan sebagai upaya penjernihan orisinalitas dan bobot estetika
sastra. Perlu dipahami, sastra dan sastra bandingan memang dua hal yang
membutuhkan pencermatan tingkat tinggi. Jika sastra sifatnya imajinatif, sastra
bandingan bersifat non imajinatif. Pengertian dunia sastra dan sastra bandingan tidak
selalu identik. Sastra bandingan dapat didefinisikan sebagai susunan sastra dunia, yang
meliputi sejumlah penampilan sastra, historis dan kritis, dari fenomena sastra yang
dipertimbangkan secara keseluruhan. Itulah sebabnya, sastra bandingan muaranya
memang untuk menuju sastra dunia. Biarpun pengertian sastra dunia itu sampai
sekarang masih tendensius, sastra bandingan tetap memiliki andil yang patut
diperhitungkan.415
413[31]
ibid
414
ibid
415
Suwardi, Sastra Bandingan, Metode, Teori, dan Aplikasi. FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, h. 15
387
Dalam perbandingan karya sastra tidak hanya terikat pada satu daerah dengan
daerah lainnya namun juga dengan satu negara dengan dengan negara lainnya.
Perbandingan sastra juga mengkaji karya sastra lintas waktu yaitu karya sastra
pada terbuat pada saat ini dengan karya sastra yang dibuat pada waktu yang terdahulu
atau sering diistilahkan dengan analisis sastra diakronik. Namun perbandingan sastra
dalam era waktu yang sama juga bisa dikaji atau yang sering disebut dengan kajian
sinkronik.
Dalam memandingkan karya sastra baik secara sinkronis dan diakronis terdapat
beberapa hal yang harus dipahami mengapa suatu karya bisa berbeda atau sama dan
bahkan saling memepengaruhi satu sama lain.
Dalam mengkaji karya sastra ada beberpa istilah yang penting yang harus
dipahami untuk membantu menganalisa karya sastra bandingan antara lain:
1) Transformasi, perubahan atau pemindahan karya sastra dari waktu ke waktu.
2) Terjemahan, yaitu suatu proses tradisi memindahkan atau mengalihkan bahasa
yang memungkinkan terjadinya perubahan bentuk teks baik tambahan ataupun
pengurangan.
3) Peniruan,yaitu proses kreatif pengarang berikutnya dengan cara meniru baik
sebagian ataupun keseluruhan terhadap karya sebelumnya
4) Kecenderungan, yaitu tradisi yang memuat kemiripan antara karya sebelumnya dan
sesudahnya.
416
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002),
h.133
388
atau diakui dunia. Karya sastra dunia banyak diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa
lain dibelahan dunia karena umunya karya ini bersifat masterpiece.
sastra bandingan pada umumnya mengkaji dua hal yaitu persamaan atau
paralelisme antara satu teks dengan yang lain dan pegaruh karya sastra terhadap karya
sastra yang lain.
Sastra bandingan dapat digolongkan kedalam empat bagian utama yaitu :
1) Kajian yang bersifat komparatif, kajian yang mengkaji antara satu teks dengan teks
yang lain. Nama pengarang, tahun penerbitan, lokasi, dan hal lainnya merupakan
kajian dalam bidang ini.
2) Kajian bandingan historis, yaitu ingin melihat nilai-nilai historis yang melatar
belakangi munculnya suatu karya sastra.
3) Kajian teoritik, yaitu membandingkan karya sastra berdasarkan genre, aliran dalam
sastra, tema, kritik sastra, dsb.
4) Kajian antar disiplin ilmu, yaitu bandingan karya sastra dengan bidang lain misalnya
politik, agama, budaya, seni, dan sebagainya.
Menurut Baribin dalam Suwardi terdapat tiga lingkup karya sastra yaitu:
1) Bandingan sastra lisan, yaitu untuk membandingkan cerita rakyat dan migrasinya,
serta bagaimana dan kapan cerita rakyat itu masuk ke dalam karya sastra yang
lebih artistik.
2) Bandingan sastra tulis, yaitu menyangkut misalnya sastra Indonesia mdern dan
klasik.
3) Bandingan dalam kerangka supranasiona, yaitu perbandingan kajian sastra teoritik
dan sejarah sastra.
Dari ruang lingkup yang telah dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa ruang
lingkup perbandingan karya sastra pada dasarnya mengkaji dua hal yaitu persamaan
ataupun perbedaan diantara sastra yang dikaji dan pengaruh antara karya sastra
tersebut.
390
Strategi yang dikembangkan oleh Erickson, Hubler, Bean, Smith & McKenzie
tahun 1987) berguna untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
mempersiapkan siswa untuk membaca dengan meminta mereka untuk bereaksi
terhadap serangkaian pernyataan yang berkaitan dengan isi materi bacaan. Dalam
bereaksi terhadap pernyataan, siswa mengantisipasi atau memperkirakan apa isi materi
yang akan dibaca (Wiesendanger, 2001).
Strategi ini terdiri dari sejumlah pernyataan deklaratif yang dapat digunakan pada
awal bagian teks. Guru memberi siswa sejumlah pernyataan dan meminta mereka
apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan setiap pernyataan itu. Hal ini dilakukan
agar siswa menyadari bahwa mereka benar-benar memproses informasi yang akan
membantu mereka untuk memahami materi bacaan dengan lebih baik. Strategi ini
memungkinkan siswa untuk menghubungkan apa yang mereka sudah ketahui dengan
informasi baru yang terdapat dalam teks. Strategi ini dapat meningkatkan pemahaman
siswa dengan meminta mereka bereaksi terhadap pernyataan tentang topik sebelum
mereka membaca teks. Hal ini mengaktifkan pengetahuan sebelumnya sebagai
perangkat motivasi untuk membuat siswa terlibat dalam pemahaman materi teks yang
akan dibaca. Stategi ini dapat digunakan dengan baik dalam membaca teks eksposisi
dan narasi, dan dapat diterapkan untuk setiap tingkat kelas.
Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.
(1) Membaca materi dan mengidentifikasi konsep utama.
(2) Mengantisipasi pengetahuan sebelumnya pada siswa terhadap topik yang disajikan.
(3) Mempertimbangkan konsep-konsep penting, menuliskannya sampai 10 pernyataan
luas. Pernyataan yang paling efektif adalah pernyataan yang berisi informasi
dengan latar belakang pengetahuan siswa yang cukup
(4) Menyajikan pernyataan kepada siswa dalam urutan kronologis yang sama seperti
yang akan ditemukan siswa dalam bahan bacaan.
(5) Menempatkan panduan pada papan tulis, OHP, atau handout sehingga mudah
dibaca oleh seluruh kelas. Membaca petunjuk itu dengan suara keras kepada
siswa.
(6) Dalam kelas, membahas setiap pernyataan secara singkat dan tanyakan kepada
siswa apakah setuju atau tidak setuju dengan setiap pernyataan yang diberikan.
391
Kemudian, mendorong siswa untuk mengevaluasi jawaban mereka dan
mendengarkan pendapat dari rekan-rekan mereka.
(7) Setelah membahas pernyataan, mintalah siswa membaca teks (Wiesendanger,
2001).
Setelah pembacaan selesai, mintalah siswa merespon sekali lagi terhadap
pernyataan-pernyataan itu. Kemudian, meminta respon siswa yang berbeda dengan
yang sebelumnya karena sekarang pemahaman mereka didasarkan pada teks yang
telah dibaca. Jika siswa tidak setuju dengan penulis, mintalah siswa untuk mendukung
kesimpulan mereka berdasarkan informasi dalam teks. Fokuskan kegiatan akhir
pembelajaran ini pada perbandingan pernyataan dalam panduan sebelumnya dan
setelah membaca materi (Wiesendanger, 2001).
392
gambar jika tersedia, ucapkan kata-kata dengan suara nyaring, dan mintalah
bantuan orang lain.
(3) Mengarahkan siswa untuk membaca dalam hati bagian dari cerita untuk memeriksa
prediksi mereka. Pastikan bahwa siswa membaca untuk mencari makna. Amati
kinerja membaca mereka dan bantu siswa yang membutuhkan bantuan dengan
kata-kata yang mungkin sulit dipahami.
(4) Setelah siswa telah membaca bagian pertama, minta mereka menutup buku
mereka. Apakah pertanyaan-pertanyaan berikut memandu siswa untuk
mengevaluasi temuan dan prediksi baru mereka: apakah Anda benar, apa yang
Anda pikirkan sekarang, dan menurut Anda apa yang akan terjadi? Kemudian,
doronglah siswa untuk menyaring ide-ide mereka dan untuk membuat prediksi
tentang peristiwa yang akan terjadi kemudian dalam bacaan.
(5) Mintalah siswa melanjutkan kegiatan membaca bagian lain. Pada setiap bagian
bacaan, lanjutkan siklus memprediksi-membaca-membuktikan (Wiesendanger,
2001).
393
terjadi. Misalnya saja beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual
dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya
persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang
berlawana.
Untuk lebih jelasnya analisis hubungan intertekstual Padamu Jua dengan Aku
dapat dilihat berikut ini.
(1) Amir Hamzah
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindi rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tanggakap dengan lepas
Kasihmu sunyi
394
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hati-bukan kawanku...
(Nyanyi Sunyi, 1959).
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu, 1959).
395
”Padamu Jua” si aku yang cinta dunianya habis kikis dengan pasti kembali kepada-
Mu, Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa dipermainkan oleh
Engkau. Namun, akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara di balik
tirai, menanti si aku seorang diri dengan setia.
”Doa”, si aku yang terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya
termangu, toh akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh
(Maha Rahman dan Maha Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadu keremukan
bentuknya (wujud hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahmanan
dan kerahimnya, si aku tak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kendil (lilin) kemerlap. Ini
ditrasformasikan Chairil dalam ”Doa”, sifat Tuhan sebagai kerdip lilin di kelam sunyi.
Si aku dalam sajak Amir Hamzah ragu-ragu karena tak dapat menangkap wujud
Engkau: Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa // Di mana Engkau / Rupa tiada / Suara
sayup / Hanya kata merangkai hati //. Bahkan si aku merasa diperhatikan: Engkau
cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan
lemas //. Hal ini ditransformasikan Chairil: Tuhanku / Dalam termangu aku masih
menyebut nama-Mu // Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh //.
Penderitaan si aku dalam sajak Amir Hamzah (bait ke-3, 4, 5) ditransformasikan Chairil
Anwar: Tuhanku / Aku hilang bentuk / remuk / ... / aku mengembara di negeri asing.
Meskipun demikian, si aku Amir Hamzah kembali juga kepada Engkau, kekasihnya:
Nanar aku, gila sasar / Sayang berulang padamu juga / Engkau pelik menarik ingin /
Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri /. Ini
ditrasformasikan Chairil dalam ”Doa”: Tuhanku / aku mengembara di negeri asing //
Tuhanku / di pintu-Mu aku mengetuk / aku tidak bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak tersebut, namun pelaksanaannya,
yaitu mengekspresikannya, berbeda, menyebabkan hasilnya pun berbeda. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan (wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih, Tuhan
dianthropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian,
kiasan-kiasannya bersifat personifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu /
Seperti dahulu / .../ Kaulah kandil kemerlap / ... / Melambai pulang perlahan / Sabar,
396
setia selalu // ... / Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi
/ Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti hal yang berbentuk wadag:
Satu kekasihku / Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa//. Yang diinginkan Amir
Hamzah pertemuan dengan Tuhan seperti halnya Nabi Musa: Hanya satu kutunggu
hasrat / serupa Musa di puncak Tursina (”Hanya Satu”). Tuhan digambarkan sebagai
gadis yang pencemburu dan ganas (di sini juga digambarkan sebagai binatang bas):
Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap
dengan lepas.
Hal tersebur lain dari yang digambarkan wujud Tuhan menurut konsep Chairl
Anwar. Antara aku dan engkau itu ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, ada hamba
dan Tuhan. Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk manusia, melaikan hanya
kekuasaan-Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya yang panas, meskipun juga
untuk menerangi hati manusia: caya-Mu panas suci / tinggal kerdip lilin di kelam sunyi //.
Manusia tak dapat berbuat laian kecualai hanya bersrah diri dan mengadukan nasibnya
sebab hanya Dia tumpuan keluh dan tangis manusia: Tuhanku / aku hilang bentuk /
remuk // Tuhanku / aku mengembara di negeri asing.
Dalam gaya ekspresi, Chairil Anwar mempergunakan haya semacam imagisme,
yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-cita, gambaran-gambaran,
atau imaji-imaji: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk /... / aku mengembara di negeri
asing //. Maka, kata-kata yang kalimatnya ambigu. Amir Hamzah mempergunakan citra-
citra juga, tetapi tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan untuk
mengkonkretkan tanggapan. Kaulah Kandil kemerlap / Pelita jendela di malam gelap /
Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu / ... / Engkau cemburu / Engkau ganas /
Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas.// Di sini kata-kata dan
kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan (diafan). 417
C. Simpulan
Munculnya teks-teks lain dalam suatu karya sastra memberikan warna dan corak
417
Siti Aida Aziz. Analisis Hubungan Intertekstual Puisi Padamu Jua dengan Doa
http://kajiansastra.blogspot.co.id/2014/10/analisis-hubungan-intertekstual-puisi.html
397
tersendiri bagi teks yang terdapat dalam karya tersebut. Teks yang muncul kemudian
merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan
sebagainya dari teks yang mendahuluinya. Oleh karena itu, pemahaman teks baru
memerlukan latar belakang pengetahuan teks-teks yang mendahuluinya, dan hal itu
merupakan prinsip intertekstualitas. Hal itu menunjukkan bahwa akan senantiasa
ada keterkaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
Munculnya interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah
sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan
yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra pinjam-meminjam
(gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan
munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh
penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena yang
senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut
akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain
398
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston
Barthes, Roland. 1981. “Theory of The Text” dalam Untying The Text: A Post-Structuralist
Reader by Robert Young (Ed). Boston, London and Henley: Routledge & Kegan
Paul
Miller, Owen. 1985. “Intertextual Identity’ dalam Identity of The Literary Text. Ed. By Mario
J. Valdes and Owen Miller. London: University of Toronto Press
Pradopo. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007.Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suwardi, Sastra Bandingan, Metode, Teori, dan Aplikasi. FBS Universitas Negeri
Yogyakarta, 2010
399
BIODATA TIM S-3 PENDIDIKAN BAHASA PENYUMBANG TULISAN
YUSI ASNIDAR,S.Pd.,MA.
Adalah Dosen Tetap pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Francis
Universitas Negeri Jakarta. Memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa Francis dari
UNJ pada tahun 2001, gelar Magister Humaniora dari Universitas Inonesia pada
tahun 2005. Saat ini sedang menyelesaikan program Doktor Pendidikan Bahasa di
Universitas Negeri Jakarta
MARLON IRWAN RANTI,SS.M.,Pd.
Adalah Dosen Tetap pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris
UTIRA/IBEK Tomang. Memperoleh gelar sarjana Pendidikan sastra Inggris dari STBA
LIA Jakarta pada tahun 2011, gelar Magister Pendidikan Bahasa dari UNJ pada tahun
2015. Saat ini sedang menyelesaikan program Doktor Pendidikan Bahasa di
Universitas Negeri Jakarta.
NASORI EFENDI,S.Pd.,M.Pd.
Adalah Dosen Tetap pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Wiralodra Indramayu . Memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa
Inggris dari STBA YAPARI-ABA Badung pada tahun 1997, gelar Magister Pendidikan
Bahasa Inggris dari UPI Bandung pada tahun 2001. Saat ini sedang menyelesaikan
program Doktor Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta.