Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

NU DAN MUHAMMADIYAH BASIS PENGUATAN ISLAM MODERAT


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah

Islam Berbasis Budaya Lokal

Dosen pengampu:

Dr. Mas'ud, S.Ag., M.Pd.I.

Disusun oleh Kelompok 3 kelas PAI1A:


Aufaa Muhammad Irsyaad 233206030017

Ahmad Soleh Mustofa 233206030001

Dina Afiyan Maulana 233206030012

Moh. Khoirur Rosyid Ansori 233206030015

Binti Risalatus Salafiyah 233206030045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UIN KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHALUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4
A. Sejarah NU dan Muhammadiyah ................................................................. 4
B. Pendidikan NU dan Muhammadiyah berbasis Islam Moderat .................... 7
C. Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam Masyarakat ......................... 11
D. Peran Perempuan dalam Penguatan Islam Moderat ................................... 17
E. Tantangan yang dihadapi NU dan Muhammadiyah dalam mempertahankan
Islam moderat .................................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
Basis penguatan Islam moderat melalui Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah memiliki akar yang mendalam dalam sejarah dan nilai-nilai
keagamaan.
Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Jombang, Jawa Timur,
sebagai tanggapan terhadap perkembangan pendidikan agama Islam yang
terkendala oleh kebijakan kolonial Hindia Belanda.
Pendirian NU diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy'ari dengan tujuan
mempertahankan ajaran Islam tradisional dan menghadapi modernisasi yang
datang dari Barat. Menekankan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai
pandangan Islam yang moderat dan toleran.
Menganut konsep "Islam Nusantara" yang mengakui keberagaman
budaya dan tradisi lokal dalam bingkai ajaran Islam. Menekankan ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai pandangan Islam yang moderat dan toleran.
Menganut konsep "Islam Nusantara" yang mengakui keberagaman budaya dan
tradisi lokal dalam bingkai ajaran Islam.
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta oleh KH.
Ahmad Dahlan sebagai gerakan reformis untuk menjawab tantangan sosial dan
ekonomi yang dihadapi umat Islam.
Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk menggabungkan ajaran
agama dengan kemajuan sosial dan ilmu pengetahuan modern. Menekankan
tauhid dan risalah sebagai fondasi keyakinan.
Memandang bahwa Islam harus bersinergi dengan perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan, tanpa mengesampingkan nilai-nilai agama. Menekankan
tauhid dan risalah sebagai fondasi keyakinan. Memandang bahwa Islam harus
bersinergi dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, tanpa
mengesampingkan nilai-nilai agama.
Berikut adalah Kontribusi Bersama dari kedua organisasi tersebut.
Menolak Ekstremisme dan Radikalisme, kedua organisasi secara tegas

1
2

menolak ideologi ekstremisme dan radikalisme dalam pemahaman Islam.


Pendorong Dialog Antarumat Beragama, mendorong dialog dan kerjasama
antarumat beragama sebagai cara membangun toleransi dan pemahaman yang
lebih baik. Penguatan Identitas Keislaman Indonesia, keduanya berkontribusi
pada pembentukan identitas keislaman Indonesia yang moderat, memadukan
nilai-nilai lokal dengan ajaran agama.
Dengan sejarah dan prinsip-prinsip yang mengakar kuat ini, NU dan
Muhammadiyah menjadi basis penguatan Islam moderat di Indonesia,
memainkan peran kunci dalam membentuk masyarakat yang pluralis, toleran,
dan berkeadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah NU dan Muhammadiyah (Latar belakang Pendirian NU,
Latar belakang Pendirian Muhammadiyah)?
2. Bagaimana Pendidikan Islam Moderat (Peran pesantren dalam Nu, Program
pendidikan Muhammadiyah untuk memperkuat Islam moderat)?
3. Bagaimana Keterlibatan dalam Masyarakat (Aktivitas sosial Nu untuk
mempromosikan toleransi, Keterlibatan Muhammadiyah dalam
pembangunan masyarakat yang inklusif) & Pendekatan terhadap Pluralisme
(Sikap Nu terhadap perbedaan dalam Islam, Muhammadiyah dan
pendekatannya terhadap pluralisme)?
4. Bagaimana Peran Perempuan dalam Penguatan Islam Moderat (Peran
Muslimat Nu dalam memajukan Islam moderat, Inisiatif Muhammadiyah
dalam memberdayakan perempuan secara moderat)?
5. Bagaimana Tantangan yang dihadapi Nu dan Muhammadiyah dalam
mempertahankan Islam moderat, Relevansi Nu dan Muhammadiyah
sebagai basis penguatan Islam moderat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Sejarah NU dan Muhammadiyah (Latar
belakang Pendirian Nu, Latar belakang Pendirian Muhammadiyah)
3

2. Untuk Mengetahui dan Memahami Pendidikan Islam Moderat Moderat


(Peran pesantren dalam Nu, Program pendidikan Muhammadiyah untuk
memperkuat Islam moderat).
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Keterlibatan dalam Masyarakat (Aktivitas
sosial Nu untuk mempromosikan toleransi, Keterlibatan Muhammadiyah
dalam pembangunan masyarakat yang inklusif) & Pendekatan terhadap
Pluralisme (Sikap Nu terhadap perbedaan dalam Islam, Muhammadiyah dan
pendekatannya terhadap pluralisme).
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Peran Perempuan dalam Penguatan Islam
Moderat (Peran Muslimat Nu dalam memajukan Islam moderat, Inisiatif
Muhammadiyah dalam memberdayakan perempuan secara moderat).
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Tantangan yang dihadapi Nu dan
Muhammadiyah dalam mempertahankan Islam moderat, Relevansi Nu dan
Muhammadiyah sebagai basis penguatan Islam moderat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah NU dan Muhammadiyah


Kelompok Islamis modernis dan tradisionalis terlibat dalam diskusi
sengit. Mereka membicarakan topik-topik seperti taktik organisasi, reformasi
pendidikan, dan adat istiadat ibadah yang dijunjung tinggi oleh Islam
tradisionalis.
Mulai tahun 1910-an, kedua belah pihak mulai mengomunikasikan
perbedaan mereka satu sama lain dan mencapai kesepakatan mengenai isu-isu
seperti reformasi pendidikan dan penerapan pembatasan sebelum melakukan
ijtihad dalam kasus-kasus hukum Islam. Terkait kewenangan keagamaan kiai
dalam mengambil keputusan mengenai topik-topik yang berkaitan dengan
hukum agama, Islam Modernis kembali mempertanyakan keyakinan agama
Islam ortodoks di awal tahun 1920-an.
Kaum modernis menggunakan pendekatan berlapis-lapis untuk
membangun organisasi, menggunakan madrasah sebagai pusat pengajaran dan
pembelajaran yang membentengi kelompok. Organisasi-organisasi tersebut
antara lain adalah Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun
1912, al-Irsyad di Jakarta pada tahun 1914, dan Persis (Persatuan Islam) yang
didirikan di Bandung pada tahun 1923. Namun, hanya ada tiga organisasi yang
terkait dengan Islam konservatif: Nahdlatul Wathan ( Kebangkitan Tanah Air),
didirikan pada tahun 1916; Tashwirul Afkar (Forum Diskusi Ulama), didirikan
pada tahun 1918; dan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang), yang didirikan
pada tahun 1918.
Nahdlatul Ulama atau biasa disingkat NU ini didirikan pada 31 Januari
1926 dan bergerak dalam bidang sosial keagamaan yang dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak dibalik
pembentukan NU.1 NU adalah organisasi Islam terbesar di Hindia-Belanda dan
berkembang pesat pada 1940-an. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dibagi dua

1
Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
(Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2008), 26.

4
5

badan yaitu: Syuriah (Badan Keulamaan) dan Tanfidziyah (Badan Eksekutif)


yang dipimpin oleh sebagian besar beranggotakan saudagar dan pengusaha kecil.
Pada masa awal, syuriah diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan diberi gelar Rais
Akbar (Ketua Tertinggi), Ahmad Dahlan (Ahyad) sebagai Wakil Ketua, Kyai
Abdul Wahab Hasbullah sebagai Sekretaris, dan para anggota yang sebagian
besar berasal dari Jawa Timur.
Niat di balik berdirinya Nahdlatul Ulama adalah mengikuti salah satu
dari empat mazhab. NU sangat tidak setuju dengan Islam Modernis, yang
menganut kebebasan memilih salah satu dari empat aliran pemikiran tersebut.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU berupaya mendukung pengembangan
madrasah, memberikan layanan berkualitas kepada fakir miskin dan anak yatim,
meningkatkan perekonomian lokal, dan memelihara buku-buku pelajaran yang
mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah dan bukan gagasan para ahli sesat.
Berdirinya persyarikatan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari
situasi dan kondisi yang berkembang pada zamannya. Kondisi umat Islam di
Indonesia yang masih terbelenggu dengan hal-hal yang berbau mistik, sehingga
agama Islam susah untuk dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya.
Muhammadiyah dulunya, dan mungkin sampai sekarang, adalah salah
satu kelompok sosial Islam paling signifikan di Indonesia sebelum Perang Dunia
II. Pada tanggal 18 November 1912, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
ini di Yogyakarta sebagai tanggapan atas rekomendasi murid-muridnya dan
sejumlah anggota Budi Utomo tentang pendirian fasilitas pendidikan
permanen..2
Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 25 Februari 1923 dan lahir
di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868. Ia terkenal karena ketakwaan dan
ilmu agamanya, serta berasal dari keluarga didaktik. K.H. Abu Bakar bin Kiyai
Sulaiman adalah ayahnya. Ibunya adalah seorang putri bangsawan bernama
Kiyai Haji Ibrahim.3 Sejak kecil Ahmad Dahlan diasuh dan dididik sebagai putra

2
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia,
1996), 84.
3
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching,
2005), 202.
6

kiyai. Menjelang dewasa, ia mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa


ulama besar. Pada tahun 1890, ia berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan
studinya dan bermukim di sana selama setahun.
Tahun 1903, ia kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun.
Ketika itu, Ahmad Dahlan mulai mengenal ide-ide pembaharuan melalui kitab-
kitab seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al- Jauziyah, Muhammad bin Abd.
Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-
lain.4 Ide pembaruan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik
hatinya, terutama bila ia melihat kondisi dinamika umat Islam di Indonesia yang
cukup stagnan. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan merasa perlu untuk
merealisasikan ide pembaruannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang
permanen.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahmad Dahlan adalah sosok
agamis dan pecinta ilmu. Hal ini sangat didukung oleh lingkungan keluarganya
yang agamis. Ia berangkat ke Mekkah untuk menambah dan memperdalam ilmu.
Setelah kembali ke Indonesia dia sangat kuat tekadnya untuk mengamalkan
ilmunya, menyebarkan kepada masyararakat agar bisa maju. Itulah sebabnya, ia
mendirikan organisasi Muhammadiyah dalam upaya mewujudkan cita-citanya.
Secara garis besar, faktor-faktor yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah dapat dilihat pada dua faktor yaitu teologis dan sosiologis;
1. Faktor teologis, yaitu hasil hasil pengkajian K. H. Ahmad Dahlan terhadap
Al-Qur’an. Ia melakukan tadabbur, memperhatikan dan mencermati terhadap
apa yang tersirat dalam ayat-ayat al-Quran, kemudian termotivasi ketika
melihat QS. Ali Imran ayat 104.
ْ
َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ
ُ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َْ َ َ ْ ُ ْ َ ٌ َُ ْ ُ ْ ْ ُ َْ َ
ۗ‫﴿ ولتكن ِّمنكم امة يدعون ِّالى الخي ِّر ويأمرون ِّبالمعرو ِّف وينهون ع ِّن المنك ِّر‬
َ ُ ْ ْ ُ َ ٰۤ ُ
﴾ ٤٠١ ‫َواول ِّىك ه ُم ال ُمف ِّلح ْون‬
Artinya:
104. Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.

4
Ramayulis dan Syamsul Nizar.
7

2. Faktor sosiologis. Faktor ini dapat dibagi kepada dua bagian yaitu internal
yaitu faktor yang muncul di tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia,
dan faktor eksternal, yaitu penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam
Indonesia.
a. Faktor internal Ketidakmurnian amalan Islam disebabkan adanya
pengaruh agama Hindu dan Budha sebelum Islam masuk ke Indonesia.
Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan
generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah di bumi.
b. Faktor eksternal
1) Semakin meningkatnya gerakan kristenisasi di tengah kehidupan
masyarakat Indonesia.
2) Penetrasi bangsa Eropa terutama Belanda ke Indonesia.
3) Pengaruh dari gerakan pembaruan dalam dunia Islam. K.H. Ahmad
Dahlan merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan
pembaharuan dalam Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya,
yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziah, Muhammad bin
Abd.Wahab, Jamaluddin al- Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha dan sebagainya. 5 Dengan demikian, K. H. Ahmad Dahlan
terinspirasi mendirikan gerakan Muhammadiyah setelah adanya
kontak dengan para pembaharu baik lewat pertemuan langsung
maupun dengan membaca karya-karya pembaharu
B. Pendidikan NU dan Muhammadiyah berbasis Islam Moderat
1. Lembaga Pendidikan NU berbasis Islam Moderat
NU merupakan organisasi didirikan sebagai Badan Hukum
Perkumpulan yang bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan dan sosial.
Dalam pembahasan pendidikan, untuk melaksanakan tugas-tugas
kependidikan ini NU membentuk Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU yang
bertugas melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan formal, dan
mendirikan Rabithah Ma‘ahid al-Islamiyah (RMI) yang bertugas

5
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam
(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2000), 56.
8

melaksanakan kebijakan di bidang pondok pesantren dan pendidikan


keagamaan serta membentuk Lajnah Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama
(LPTNU) yang bertugas mengembangkan pendidikan tinggi NU. Data tahun
2022 menyebutkan bahwa LP Ma‘arif PBNU memiliki kurang lebih 22.000
madrah dan sekolah, yang jumlah ini mayoritasnya tersebar di wilayah Jawa
Timur.
LP Ma‘arif NU merumuskan karekteristik dasar dari pendidikan NU
yang diterapkan untuk menjadi platform pendidikan Ma‘arif melalui nilai-
nilai Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tidak hanya diperjuangkan melalui
mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an, tetapi secara kultural yang ditanamkan
ke dalam seluruh aspek yang ada di lingkungan satuan pendidikan NU. Untuk
itu, selain mata pelajaran Aswaja dan ke-NU-an, yang menjadi karakter LP
Ma‘arif NU, nilai-nilai Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang merupakan
ideologi NU perlu juga disemaikan melalui kultur pendidikan yang
dibangunnya.
Oleh karena itu, NU bermaksud mengembangkan apa yang
dikonsepsikan sebagai “SNP-Plus”, yaitu memiliki standar nasional
pendidikan (SNP) ditambah (plus) standar kearifan lokal keNU-an, yaitu
mencakup mata pelajaran Ke-Aswaja-an dan nilai-nilai ke-NU-an, seperti
konsep tasâmuh (toleransi), tawassut (moderat), tawâzun (seimbang), dan
i‘tidâl (tegak). Inilah “SNP-Plus” yang menjadi kekhasan Lembaga
Pendidikan Ma‘arif NU, dan sekaligus menjadi Standar Mutu Maarif-nya.
Nilai-nilai kultural inilah yang diinstalkan ke dalam LP Ma‘arif NU, selain
mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an.
Untuk itu, model pendidikan moderat yang diusung LP Ma‘arif NU
adalah “SNP-Plus” yang merupakan integrasi antara mata pelajaran Aswaja
dan Ke-NU-an dengan nilai-nilai kultural ke-NU-an yang berbasis ideologi
Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, yaitu tasâmuh (toleransi), tawassut (moderat),
tawâzun (seimbang), dan i‘tidâl (tegak). Pendidikan moderat SNP-Plus inilah
kiranya yang menjadi instrumen NU untuk menyemaikan karakter Islam
moderat kepada ribuan lembaga pendidikannya, sehingga outcome dari
9

lembaga ini diharapkan memiliki paham Islam moderat yang menjadi


karakter dan ideologi NU.
2. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah berbasis Islam Moderat
Selain berdakwah, cita-cita utama Muhammadiyah adalah
mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan ajaran Islam,
baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat.
Dalam bidang pendidikan, hingga tahun 2010 Muhammadiyah memiliki
4.623 Taman Kanak-Kanak; 6.723 Pendidikan Anak Usia Dini; 15 Sekolah
Luar Biasa; 1.137 Sekolah Dasar; 1.079 Madrasah Ibtidaiyah; 347 Madrasah
Diniyah; 1.178 Sekolah Menengah Pertama; 507 Madrasah Tsanawiyah; 158
Madrasah Aliyah; 589 Sekolah Menengah Atas; 396 Sekolah Menengah
Kejuruan; 7 Muallimin/Muallimat; 101 Pondok Pesantren; serta 3 Sekolah
Menengah Farmasi. Dalam bidang pendidikan tinggi, sampai tahun 2010,
Muhammadiyah memiliki 40 Universitas, 93 Sekolah Tinggi, 32 Akademi,
serta 7 Politeknik.6
Dari data di atas, tampak bahwa Muhammadiyah dewasa ini memiliki
sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari jenjang PAUD, dasar dan
menengah, hingga jenjang pendidikan tinggi, mulai dari madrasah hingga
sekolah, mulai dari formal hingga nonformal. Dimana visi pendidikan
Muhammadiyah adalah “Terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa,
berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai
perwujudan tajdîd dakwah amar ma‘rûf nahy munkar”7 Untuk mewujudkan
visi itu, ada enam nilai dasar yang dibangun dalam pendidikan
Muhammadiyah. Pertama, pendidikan Muhammadiyah diselenggarakan
merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’ân dan Sunnah. Kedua,
rûh} al-ikhlâs} untuk mencari rida Allah menjadi dasar dan inspirasi dalam
ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan.
Ketiga, menerapakan prinsip kerjasama (mushârakah) dengan tetap

6
Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar Muhammadiyah Ke-45
(Yogyakarta: Pusat Pimpinan Muhammadiyah, 2010), 37
7
Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar Muhammadiyah Ke-45, 128.
10

memelihara sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon
(Jepang), Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Keempat, selalu
memelihara dan menghidup-hidupkan prinsip pembaruan (tajdîd), inovasi
dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Kelima, memiliki
kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan du‘afâ
dan mustad‘afîn) dengan melakukan proses-proses kreatif sesuai dengan
tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia.
Keenam, memerhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawassut
atau moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan
kesucian hati.8
Dari enam nilai dasar pendidikan Muhammadiyah di atas,khususnya
nilai dasar keenam, tampak bahwa pendidikan Muhammadiyah dilakukan
untuk meneguhkan Islam moderat yang menjadi salah satu ideologi bagi
gerakannya. Untuk itu, kurikulum pendidikan yang dikembangkan dalam
pendidikan Muhammadiyah juga mengakomodir watak Islam moderat ini.
Penguatan Islam moderat ini tampak dalam penajaman ciri pendidikan
Muhammadiyah yang termuat dalam kurikulum mata pelajaran al-Islam dan
KeMuhammadiyahan.
Menurut Mohamad Ali, mata pelajaran al-Islam dan
KeMuhammadiyahan merupakan ciri khas pendidikan Muhammadiyah, yang
berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Karena mata pelajaran ini
menjadi ciri khas, maka ia menjadi “identitas objektif” yang diterima publik
di luar Muhammadiyah. Dalam konteks ini, ada lima identitas objektif
sebagai elaborasi dari al-Islam dan KeMuhammadiyahan ke dalam sistem
pendidikan Muhammadiyah, yakni;
a. menumbuhkan cara berfikir tajdîd/inovatif
b. memiliki kemampuan antisipatif
c. mengembangkan sikap pluralistic
d. memupuk watak mandiri

8
Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar Muhammadiyah Ke-45, 130-
131.
11

e. mengambil langkah moderat.9


Apabila peserta didik hasil didikan pendidikan Muhammadiyah
memiliki lima identitas objektif di atas, maka menurut Mohamad Ali, nuansa
perbedaan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan
pemerintah atau perguruan Islam lainnya akan kentara. Dalam keadaan
demikian, pendidikan Muhammadiyah akan berdiri tegak tatkala
berdampingan dengan lembaga pendidikan lain.
Berdasarkan identitas objektif pendidikan Muhammadiyah di atas,
memiliki sikap pluralistik dan mengambil langkah moderat merupakan bukti
bahwa pendidikan Muhammadiyah menjadi penyemai Islam moderat bagi
Muhammadiyah. Artinya, melalui konsep “identitas objektif pendidikan
Muhammadiyah” inilah pendidikan Muhammadiyah mengandung gagasan
pendidikan Islam moderat, yang disemaikan kepada peserta didiknya,
sehingga mereka memiliki karakter Islam moderat, sebagaimana ideologi
perjuangan Muhammdiyah itu sendiri.
C. Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam Masyarakat
1. AKTIFITAS SOSIAL MSYARAKAT NU DALAM TOLERANSI
Tasamuh berarti toleransi dan tenggang rasa. Kamus Umum Bahasa
Indonesia menjelaskan toleransi sebagai kelapangan dada dalam arti suka
kepada siapapun membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak
mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain. Dalam bahasa
Inggris bisa disebut tolerance, tolerantion (kesabaran), indulgence (sesuai
kata hati), forbearance (mampu menahan diri), leniency (kemurahan hati,
bersifat pengampun), mercy (belas kasihan) dan kindness (kebaikan).
Menurut KH. Salahuddin Wahid, toleransi ialah konsep untuk
menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, budaya,
politik maupun agama. Karena itu toleransi merupakan konsep mulia yang

9
Mohamad Ali, Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Al-Wasat Publishing
House, 2010), 34-35.
12

sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk


Islam.10
Saat ini masih banyak yang tidak bisa menghargai keanekaragaman
baik individu maupun kelompok. Pertentangan yang sering terjadi yaitu
berkaitan dengan agama, karena agama merupakan hal yang sensitif bagi para
penganutnya. Agama dijadikan identitas dan kekuatan untuk bersosialisasi,
rasa fanatik terhadap agama yang menjadikan para pemeluknya merasa paling
benar, paling suci dan mengangggap agama lain salah, bahkan sampai
bertindak anerkisme untuk mendapatkan pengakuan bahwa agamanya yang
paling benar. Fanatisme terhadap agama telah menghilangkan rasa
kemanusiaan dan rasa peduli terhadap orang lain, memanusiakan manusia
sudah tidak lagi menjadi hal yang utama. Hal ini terjadi dalam lingkup agama
maupun organisasi-organisasi dibawah naungan agama, salah satu organisasi
terbesar diidonesia adalah nahdhatul ulama. Bahwa ajaran Nu sangat
menghargai dan menghormati perbedaan, baik secara bahasa, ras, suku,
budaya dan agama.
Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya menjadi bagian dari dinamika
pembangunan negara, tetapi juga merepresentasikan keluhuran jiwa selalu
menanamkan semangat keragaman dan pluralisme di Indonesia. Eksistensi
NU menjadi titik terang dalam tumbuhnya perbedaan minoritas, suku,
primitivisme, dan semangat yang berlebihan, seringkali memunculkan
peristiwa horizontal antar umat beragama. NU juga pembawa damai dengan
NU di tengah, bukan sekedar patwana benar dan salah atau organisasi yang
hanya mengeluarkan stempel hitam putih akan tetapi NU justru hadir sebagai
juru damai yang berada di garis tengah.
Dalam kehidupan berbangsa, NU akan selalu membela satu-satunya
bangsa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu adalah
konsensus dari semua bagian konstituen negara. Kami akan selalu menaati
pemerintah sesuai dengan segala aturan yang telah ditetapkan, selama tidak

10
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: TheWahid Institute, 2006)
13

bertentangan dengan ajaran agama. Jangan memberontak atau melakukan


kudeta terhadap pemerintah yang sah. Dan jika pemerintah bias, itu cara yang
baik untuk mengingatkannya.
Di bidang sosial dan ekonomi, NU mendorong transformasi ekonomi
dan sosial masyarakat, yang diwujudkan dalam aksi sosial untuk melindungi
kelompok minoritas dan terpinggirkan. Di bidang teologi, NU menunjukkan
sikap yang baik terhadap Islam. Ramah terhadap budaya lokal, adat istiadat
setempat dan agama yang dianut. Dan dalam ranah politik, NU menempuh
kebijakan nasional dengan penekanan pada moralitas politik (ahlakul
karimah), baik dalam bentuk etika sosial maupun dalam bentuk norma
politik.11
Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU
selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan
ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan
cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam mengislamkan
pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan
XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan
sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah
ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama
berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah
memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya
tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.
2. Masyarakat Muhammadiyah Dalam Pluralisme
Sikap moderasi Muhammadiyah sebenarnya sejak awal telah
dibangun oleh pendiri organisasi ini, yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Dikatakan,
salah satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Ahmad Dahlan
adalah komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama.
Selama kepemimpinannya dapat terlihat adanya kerja sama kreatif dan
harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat. Bahkan, dengan

11
Ahmad Zuhri dkk, “Peran Nahdlatul Ulama Dalam Penguatan Nila-Nilai Moderasi Beragama”, .
Vol. 6 No 2 (desember 2023), 88.
14

rekan Kristennya, beliau mampu mengilhami rasa hormat dan kekaguman.


Contoh yang paling menarik dari kemampuan K.H. Ahmad Dahlan adalah
mengikat persahabatan erat dengan banyak pemuka agama Kristen.
Kenyataan bahwa beliau dikenal sebagai orang yang toleran terhadap kaum
misionaris Kristen akan tetapi tidak berarti lantas beliau mengkompromikan
prinsip- prinsipnya. Dia adalah seorang praktisi dialog antaragama yang
sejati, dalam pengertian dia mendengar apa yang dikatakan dan
memerhatikan apa yang tersirat di balik kata yang diucapkan.12
Pandangan Muhammadiyah tentang pluralisme dan toleransi dapat
dikaji dari tiga perspektif. Pertama, pandangan Muhammadiyah tentang
kehidupan bermasyarakat. Kedua, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keagamaan
dalam Muhammadiyah. Ketiga, usaha-usaha Muhammadiyah dalam
membangun persatuan dan relasi dengan umat non-Muslim. Perspektif
pertama dan kedua lebih bersifat ideologis. Sedangkan yang ketiga mengkaji
secara historis dengan melihat kiprah organisasi dan para tokoh.
Muhammadiyah berpendapat bahwa hidup bermasyarakat adalah sunnatullah
dan bagian dari ibadah, Sesuai dengan fitrahnya, manusia adalah makhluk
sosial. Hidup bermasyarakat adalah takdir, perwujudan qudrat-iradat Allah..
Betapa pun sangat sempurna, manusia yang individualistis tidak mampu
meraih makna dan nilai kehidupan. Hidup bermasyarakat memiliki makna
transendental sebagai bagian dari ibadah, pengabdian kepada Allah Tuhan
Yang Maha Esa. Karena itu Muhammadiyah mendorong anggotanya untuk
aktif terlibat dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan Pedoman Hidup
Islami (PHI) warga Muhammadiyah agar senantiasa menjalin persaudaraan
dan tidak diskriminatif dengan sesama anggota masyarakat. Berdasarkan
akhlak Islam, dalam kehidupan bertetangga warga Muhammadiyah
hendaknya memelihara hak, menjunjung tinggi kehormatan dan membina
hubungan yang harmonis baik kepada sesama Muslim maupun non-Muslim.

12
Amru Almu’tasim, Berkaca Nu Dan Muhammadiyah Dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi
Islam Di Indonesia,
15

Muhammadiyah menginginkan tatanan masyarakat yang integratif,


tidak tersekat-sekat oleh perbedaan suku, bangsa dan agama dengan
mengembangkan sikap saling menghormati dan hidup rukun dengan sesama.
Muhammadiyah menghendaki terwujudnya masyarakat madani yang
pluralistik. Setiap warga Muhammadiyah hendaknya bisa menjadi pribadi
teladan. “... pribadi manusia dan ketertiban hidup bersama adalah merupakan
unsur pokok dalam membentuk dan mewujudkan masyarakat yang baik,
bahagia dan sejahtera.
Muhammadiyah berusaha membangun masyarakat yang pluralistik
dengan mengembangkan sikap pluralis. Sikap pluralis di dalam
Muhammadiyah memiliki tiga landasan ideologis. Pertama, dalam bidang
keagamaan Muhammadiyah tidak terikat kepada salah satu mazhab. Kedua,
Muhammadiyah meyakini paham relativisme pemikiran dimana kebenaran
suatu pemikiran atau hasil ijtihad bersifat subyektif-relatif dan terbuka untuk
dikaji ulang. Ketiga, dalam bidang muamalah-duniawiyah (sosial-
kemasyarakatan) Muhammadiyah memiliki prinsip “open learning”:
keterbukaan untuk belajar dari berbagai sumber. 13
Muhammadiyah menyatakan dirinya tidak terikat kepada salah satu
mazhab. Menurut Muhammadiyah, hasil ijtihad para ulama yang
terkodifikasi menjadi mazhab merupakan “paham agama” yang tidak
mengikat, bukan doktrin agama yang harus diikuti. Pernyataan ini tidak
berarti Muhammadiyah menolak pendapat para imam Mazhab. Dalam bidang
fikih, K.H. Ahmad Dahlan terpengaruh oleh Mazhab Syafi’i. Mayoritas guru-
gurunya ketika menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama lebih
dari setahun adalah para syeikh Mazhab Syafi’i seperti Kyai Nawawi
Muhtaram Banyumas, Kyai Nawawi al-Bantani dan Sayyid Bakri Shatta.
K.H. Ahmad Dahlan juga belajar kepada para ulama Nusantara yang
bermukim di Mekah seperti Kyai Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib
Minangkabau.

13
Abdul Mu’ti, “Akar Pluralisme dalam Pendidikan Muhammadiyah,” Afkaruna, Vol. 12 No. 1 Juni
2016. 28
16

Pengaruh Mazhab Syafi’i dalam fiqh K.H. Ahmad Dahlan dan


Muhammadiyah masa awal dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dalam
bidang ibadah K.H. Ahmad Dahlan membaca doa qunut dalam setiap salat
shubuh. Bilangan Salat Tarawih dua puluh rakaat. Kedua, dalam tradisi
keagamaan rapat-rapat resmi dan pengajian di Muhammadiyah selalu dibuka
dan diakhiri dengan bacaan Surat al-Fatihah. Ketiga, bidang ijtihad
Muhammadiyah mempergunakan qiyas sebagai metode instinbat hukum
yang utama. Tetapi dalam hal menyangkut batalnya wudlu, misalnya
menyentuh perempuan, Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat
Imam Hanafi yang berpendapat sentuhan perempuan tidak membatalkan
wudlu. Dengan tidak bermazhab, Muhammadiyah dapat bersikap “netral”
dan bergerak bebas tanpa terbelenggu oleh suatu pendapat. Muhammadiyah
berusaha melakukan revitalisasi al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber
hukum yang universal. Dalil-dalil al-Qur’an harus lebih diutamakan daripada
pendapat para imam mazhab. Tanpa mengurangi penghargaan kepada para
ulama dan pendapatnya, Muhammadiyah menilai ijtihad para ulama klasik
memiliki keterbatasan. Pertama, keterbatasan intelektual yang bermuara pada
otentisitas dan validitas referensi dalil-dalil rujukannya. Kedua, keterbatasan
relevansi dengan kehidupan kontemporer karena perbedaan konteks, ruang
dan waktu. Tidak bermazhab bukan berarti talfiq–mencampuraduk pendapat
Mazhab–atau mencari yang mudah-mudah saja dalam beragama tetapi
mengikuti pendapat yang paling kuat di antara pendapat para ulama sebagai
hujjah dalam beribadah. Secara khusus Muhammadiyah melembagakan
tradisi ijtihad melalui Majelis Tarjih yang bertugas melakukan pengkajian
sehingga seluruh amal ibadah Muhammadiyah sesuai dengan dalil al-Qur’an
dan Hadits yang rajih (kuat).
17

D. Peran Perempuan dalam Penguatan Islam Moderat


Perempuan merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan
moderasi beragama. Konsep moderasi beragama di Indonesia ini penting
dibumikan berdasarkan fakta bahwa Indonesia merupakan bangsa yang
multikultiral, mulai dari suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia juga
merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama
tertentu.14
Perempuan memiliki potensi yang besar dalam mewujudkan moderasi
beragama. Secara psikologis, perempuan dalam perannya sebagai ibu,
berhubungan secara intens dengan anaknya, dan selalu bekerja sama serta
mampu memupuk sifatnya untuk tidak mementingkan dirinya. Menurut Yohana
E. Prawitasari, Perempuan mempunyai potensi kehidupan sosial atau
kemampuan-kemampuan sosial sebagai berikut: (1) perempuan mampu
menerima dirinya sebagaimana adanya. (2) perempuan mampu terbuka terhadap
pengalaman. (3) Perempuan mampu bersifat asertif. (4) perempuan tahu apa
yang ia kehendaki. (5) perempuan berani mempertahankan haknya. (6)
perempuan mulai menggunakan keperempuanannya sebagai aset. (7) perempuan
berani menunjukkan kemampuannya. (8) perempuan selalu berusaha untuk
meningkat kepercayaan dirinya melalui latihan-latihan.15 Janet Zullennger Grele
juga mengemukakan bahwa perempuan cenderung lebih suka bekerja sama
daripada menominasi dan lebih suka menciptakan perdamaian dari pada
membuat konflik.16
Kiprah perempuan dalam proses pembangunan negara tidak dapat
ditinggalkan. Eksistensi kaumnya semakin besar dalam ranah publik, salah
satunya yakni dengan mereka bergabung dalam organisasi massa perempuan.
Jumlah organisasi peremuan Islam di Indonesia yang jelas menurut Badan
Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), sebuah organisasi

14
https://www.nu.or.id/post/read/125316/moderasi-beragama-dan-urgensinya. Diakses Pada
tanggal 10/2/2021.
15
Prawitasari, Yohana E. 1993. Dalam Maimanah. 2013. Wanita dan Toleransi Beragama (Analisis
Psikologis). Mu’Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No. 1, Januari–Juni 2013.
16
Grele, Janet Zullenger. 1979. Woman and Future. New York : MacMillan Publishing Free Press
18

paying bagi organisasi perempuan Islam tingkat nasional yang berdiri pada 2 Juli
1967 yang menyebutkan bahwa tercatat sebanyak 62 organisasi perempuan
Islam. Ke 2 organisasi tersebut adalah Aisyiah dan Fatayat NU.
1. Peran Muslimat NU dalam memajukan islam moderat
Kata moderasi dalam Bahasa Latin yaitu moderâtio, yang berarti tidak
lebih dan juga tidak kurang. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), moderasi memiliki dua makna, yang pertama adalah pengurangan
kekerasan dan yang kedua yaitu penghindaran keekstreman. Kemudian dalam
Bahasa Inggris, moderasi dikenal dengan moderation, yang berarti rata-rata,
inti, baku, ataupun tidak berpihak.17 Dari ketiga pengertian tersebut, maka
moderasi menurut hemat peneliti adalah sesuatu yang diambil dari nilai rata-
rata untuk menghindari sikap yang ekstrem.
Dalam buku Indeks Kerukunan Umat Beragama, adapun indikator
utama kerukunan umat beragama adalah toleransi, kesetaraan, dan kerja
sama.
a. Toleransi
Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang, yaitu menghargai
serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan,
dan lain-lainnya, yang berbeda dengan pendirian sendiri.18
b. Kesetaraan
Konsep tentang kesetaraan dimaknai antara lain sebagai pandangan
dan sikap hidup menganggap semua orang adalah sama dalam hak dan
kewajiban. Hak atas melaksanakan agama beribadah dan kewajiban
terhadap kehidupan bernegara dan bersosialisasi dengan penganut agama
lain sebagai sesuatu yang alamiah.19 Ukuran kesetaraan dari berbagai
sumber diperoleh tingatan yang sama (tidak ada diskriminasi; relasi timbal
balik), kesempatan yang sama (kebebasan beraktifitas keagamaan;

17
Kementerian Agama, Moderasi Beragama, 1st ed. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2019), 15.
18
Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta, hlm. 13
19
John Locke (1632 – 1704) , Two Tretises of Goverment (2013), page 8.
19

menjaga hak orang lain), dan perlindungan (perlindungan terhadap


perbedan penghinaan agama).
c. Kerjasama
Kerja sama adalah tindakan bahu-membahu (to take and give) dan
sama-sama mengambil manfaat dari eksistensi bersama kerja sama.
Tindakan ini menggambarkan keterlibatan aktif individu bergabung
dengan pihak lain dan memberikan empati dan simpati pada berbagai
dimensi kehidupan, seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan
keagamaan. Pengertian lainnya adalah realitas hubungan sosial dalam
bentuk tindakan nyata.20
2. Inisiatif Muhammadiah dalam memperdayakan Perempuan secara moderat
Pemberdayaan perempuan merupakan upaya perempuan-perempuan
untuk memperoleh akses dan control terhadap sumberdaya, ekonom, politik,
sosial, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa
percaya diri untuk mampu membangun kemampuan dan kopetensi diri.
Allah menjelaskan dalam al~Qur’an Surat At-Taubah ayat 71-76;
bahwa kedudukan antara laki-laki dan Wanita di hadapan Allah itu sama.
Sama-sama memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Penjelasan
senada juga banyak terdapat dalam hadits Nabi. Kaum Wanita juga memikul
tanggung jawab beragama. Turut serta mengokohkan aqidah dan ibadah.
Pemberdayaan perempuan terjadi kerena terjadi ketidak adilan gender
akibat budaya patriartik. Bahkan dulu perempuan sangat susah untuk
mendapatkan pendidikan dikarenakan pemikiran masyarakat yang rendah
pada masa itu.
KH Ahmad Dahlan dikenal sebagai Kyai yang moderat dan cenderung
melawan arus pada zamannya. Beliau banyak mengkritik pemahaman
masyarakat tentang islam pada masa itu. Islam sering dituduh telah memberi
legitimasi terhadap penyempitan peran perempuan hingga kekeresan terhadap
perempuan. Muhammadiah merupakan organisasi Islam yang cukup mapan

20
Tangkilisan, Manajemen Publik, 2005, 86.
20

menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. KH Ahmad Dahlan sangat


peduli terhadap pemberdayaan perempuan agar berperan dalam aktifitas
sosial kemasyarakatan.
KH Ahmad Dahlan dibantu Nyai Walidah menggerakkan perempuan
untuk memperoleh ilmu, melakukan aksi sosial di luar rumah yang bisa
disebut radikal dan revolusioner saat itu. Kaum perempuan didorong
meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan informal dan nonformal seperti
pengajian dan kursus-kursus. Mereka berdua sudah melakukan pembinaan
pada perempuan di kampung kauman Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan dan
Nyai Walidah mendidik mereka untuk terjun dan ikut ambil bagian dalam
memurnikan persoalan sosial kemasyarakatan.
Tahun 1917 hadir pada situasi dan kondisi masyarakat dalam
keterbelakangan, Kemiskinan, tidak terdidik, awam dalam pemahaman
keagamaan, dan berada dalam zaman penjajahan belanda. Melalui organisasi
Aisyi’yah yang didirikan oleh Muhammadiyah, Aisyi’yah terus melakukan
pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat
perempuan melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan keterampilan
berlandaskan agama.
Upaya yang dilakukan untuk pemberdayaan perempuan diantaranya
yaitu peningkatan kesadaran gender melalui sosialisasi dan pengajaran,
kesadaran bahwa perempuan memiliki hak di ranah public dan kompetensi
yang sama dengan laki-laki. Pemberian keterampilan, untuk peningkatan
kesejahteraan melalui pelatihan-pelatihan.
Perempuan Muhammadiyah (Aisyi’yah) haruslah terintegrasi dan
komprehensif. Mengembangkan orientasi gerakannya bukan sekedar
menciptakan kader-kader perempuan yang shalihah secara ritual (fiqhiyyah),
namun tidak bisa menganalisa ketertinggalan perempuan ataupun hegemoni
tradisi dan tafsir agama yang tekstual sehingga membelenggu cara berpikir
dan bertindak sebagian besar perempuan islam Dengan tugas dan peran
(fungsi) sederhana ini Aisyi’yah telah banyak emiliki amal usaha diberbagai
21

bidang diantaranya adalah pendidikan, kewanitaan, PKK, kesehatan dan


organisasi perempuan.
E. Tantangan yang dihadapi NU dan Muhammadiyah dalam
mempertahankan Islam moderat
NU dan Muhammadiyah memiliki peran penting dalam mempertahankan
wajah Islam moderat di tengah masyarakat Indonesia. Kedua organisasi ini
menjadi benteng pertahanan dari arus radikalisasi agama yang ingin merubah
Islam Indonesia yang ramah dan toleran.
Beberapa peran kunci NU dan Muhammadiyah antara lain:
1. Aktif melakukan gerakan deradikalisasi melalui pendirian lembaga dan
pendekatan kultural.21
NU dan Muhammadiyah aktif melakukan upaya sistematis untuk
menangkal paham radikalisme agama di Indonesia. Salah satu bentuknya
adalah dengan mendirikan lembaga khusus yang bertugas untuk melakukan
gerakan deradikalisasi di tingkat akar rumput.
Lembaga seperti Ma’had Aly NU dan Lembaga Pengembangan Tafsir
dan Hadist (LPTH) Muhammadiyah memiliki program rutin untuk
melakukan penyadaran dan edukasi bahaya radikalisme kepada masyarakat
dan kader organisasi. Program ini dilakukan dengan menggandeng tokoh
agama dan akademisi moderat agar pendekatan yang digunakan sesuai
dengan basis kultural Indonesia.
Selain itu, kedua organisasi besar Islam ini juga menerbitkan buku-
buku, jurnal, dan artikel yang secara khusus mengupas persoalan
fundamentalisme dan menawarkan interpretasi moderat terhadap ajaran-
ajaran agama. Hal ini menjadi bentuk lain pendekatan kultural dalam
menangkal paham-paham radikal.
Dengan basis kultural yang kuat dan pendekatan yang relevan dengan
konteks lokal, upaya deradikalisasi yang digagas NU dan Muhammadiyah
memiliki peluang sukses yang besar. Inilah bukti komitmen nyata kedua

21
Ma'arif, A.S. (2018). Deradikalisasi Paham Radikal. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
22

organisasi tersebut dalam menjaga keberlangsungan moderasi Islam di


Indonesia.
2. Memberikan pendidikan Islam moderat kepada kader dan anggota
organisasi.22
a. Aktif Melakukan Gerakan Deradikalisasi
Mendirikan lembaga khusus deradikalisasi seperti Ma'had Aly NU
dan LPTH Muhammadiyah yang rutin mengadakan penyuluhan bahaya
radikalisme ke masyarakat.
Menggandeng tokoh agama dan akademisi moderat dalam program
deradikalisasi agar pendekatan yang digunakan kontekstual dengan basis
kultural Indonesia.
Menerbitkan buku, jurnal, dan artikel yang mengupas masalah
fundamentalisme agama serta menawarkan interpretasi moderat terhadap
ajaran agama.
b. Memberikan Pendidikan Islam Moderat
Menyelenggarakan pengajian rutin dan pelatihan untuk
menanamkan pemahaman keagamaan moderat kepada kader dan anggota.
Materi pengajian dan pelatihan menekankan prinsip dasar Islam moderat
seperti inklusifitas, anti kekerasan, kesetaraan gender, dll. Pendidikan
Islam moderat bagi kader dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan
sehingga tertanam dalam pola berpikir.
c. Peran Aktif dalam Politik
Menjadi corong aspirasi politik umat Islam Indonesia yang
mengedepankan kebhinnekaan dan kemanusiaan universal.
Mencegah praktik politik ala ISIS dan Taliban yang radikal,
intoleran dan ekstrimis dengan memberikan pilihan politik Islam yang
lebih moderat dan inklusif.
Ikut menyukseskan pesta demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada
sebagai implementasi politik ala NU-Muhammadiyah.

22
Azra, A. (2019). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Jakarta: Kencana.
23

Itulah beberapa peran penting dan strategis NU dan


Muhammadiyah dalam mempertahankan Islam wasathiyah di tengah
gelombang radikalisasi agama yang sedang melanda dunia saat ini.
3. Secara tegas menolak dan mengutuk aksi kekerasan dan radikalisme atas
nama agama.23
NU dan Muhammadiyah secara konsisten dan tegas menolak segala
bentuk tindak kekerasan dan radikalisme yang dilakukan atas nama agama.
Kedua organisasi besar Islam ini selalu memberikan statemen penolakan dan
pengutukan terhadap aksi terorisme dan radikalisme agama setiap kali terjadi
kasus.
Pernyataan sikap ini disampaikan baik oleh pimpinan pusat NU dan
Muhammadiyah maupun oleh pimpinan cabang setempat. Tujuannya adalah
untuk menegaskan bahwa tindakan kekerasan bertentangan dengan Islam
moderat yang mereka anut dan ajarkan pada kader serta umat Islam Indonesia
secara luas.
Selain mengeluarkan statemen tertulis, NU dan Muhammadiyah juga
sering tampil dalam konferensi pers dan diskusi publik untuk mengutuk aksi
terorisme yang mengatasnamakan Islam. Mereka menegaskan bahwa agama
apapun sejatinya mengajarkan perdamaian dan kebaikan, bukan kebencian
dan kekerasan.
Dengan sikap tegas ini, NU dan Muhammadiyah berupaya memutus
mata rantai radikalisme agama dan mencegah penafsiran keliru terhadap
ajaran Islam yang dapat memicu tindak intoleransi dan kekerasan.
4. Menjalin kerja sama lintas agama untuk menuju kehidupan keberagamaan
yang harmonis.24
Dalam rangka mewujudkan kerukunan dan harmoni antar umat
beragama di Indonesia, NU dan Muhammadiyah secara aktif menjalin kerja
sama dengan pemuka agama lainnya seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu. Bentuk kerja samanya beragam, mulai dari dialog antar imam

23
Hilmy, M. (2021). Embracing an Inclusive Indonesian Islam. Malang: UB Press.
24
Burhani, A.N. (2022). Akar Konflik Sepanjang Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.
24

agama, deklarasi bersama, hingga turut membentuk Forum Kerukunan Umat


Beragama (FKUB).
Melalui FKUB ini, tokoh agama lintas iman duduk bersama,
berdialog, dan merumuskan langkah konkret untuk menghadapi berbagai
persoalan sensitif terkait SARA. Beberapa langkah strategis yang pernah
dirumuskan antara lain sosialisasi bahaya radikalisme ke sekolah dan tempat
ibadah, pembentukan satgas kerukunan di tingkat RT/RW, hingga
mengeluarkan fatwa bersama tentang larangan penodaan agama.
Di sisi lain, NU dan Muhammadiyah juga rutin menggelar acara Halal
Bihalal yang melibatkan seluruh pemuka agama di Indonesia. Acara akrab
antar umat beragama ini bertujuan untuk memperkuat persaudaraan dan
saling pengertian satu sama lain. Dengan begitu, benih-benih konflik dan
radikalisasi agama dapat dicegah sedini mungkin.
Demikianlah penjabaran secara gamblang bagaimana NU dan
Muhammadiyah aktif menjalin kerja sama lintas iman demi mewujudkan
kehidupan umat beragama yang rukun, toleran dan harmonis di bumi
Indonesia tercinta ini.
Melalui peran-peran tersebut, NU dan Muhammadiyah secara
konsisten mempertahankan citra Islam sebagai agama yang cinta damai,
pluralis, dan anti radikalisme di Indonesia. Hal ini sangat penting untuk
menjaga kerukunan umat beragama dan stabilitas sosial bangsa Indonesia.
Adapun beberapa tantangan yang dihadapi oleh kedua organisasi
dakwah terbesar di Indonesia ini antara lain ialah:
1. Tantangan Internal
a. Perbedaan pandangan di tubuh organisasi terkait beberapa isu
kontemporer.25
NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi besar dan heterogen
kerap menghadapi perbedaan pandangan internal terkait isu-isu aktual
dan kontemporer seperti LGBT, aborsi, hukuman mati, dan lainnya.

25
Azra, A. (2022). Purifikasi dan Moderasi Islam. Jakarta: Kencana.
25

Perbedaan ini wajar terjadi mengingat kedua organisasi ini memiliki


banyak kader dan pengurus di berbagai daerah.
Namun demikian, perbedaan pandangan ini tetap menjadi
tantangan tersendiri bagi NU dan Muhammadiyah. Jika tidak
diakomodasi dengan baik, hal ini bisa melemahkan sikap moderat dan
merusak citra organisasi di mata publik.
b. Kesulitan menjaga konsistensi visi moderasi pada semua tingkatan
organisasi.26
Problem lain adalah sulitnya memastikan konsistensi ideologi
dan visi moderasi Islam pada semua jenjang kepengurusan, mulai pusat
hingga ranting. Seringkali terjadi ketidakselarasan sikap antara
pimpinan pusat dan daerah dalam merespons isu-isu sensitif agama dan
politik.
Ini menjadi pekerjaan rumah berat bagi NU dan
Muhammadiyah untuk bisa menjaga koherensi sikap moderat di tubuh
organisasi sekaligus meyakinkan publik terhadap komitmen moderasi
yang diusungnya. Pelatihan kader secara berkesinambungan diperlukan
untuk mengatasi problem ini.
2. Tantangan Eksternal
a. Semakin masifnya propaganda kelompok Islam garis keras di media
sosial.27
Media sosial kini menjadi wadah bagi kelompok-kelompok
Islam radikal untuk melancarkan propaganda dan menyebarkan paham
ekstrem mereka. Konten-konten radikal dengan mudah beredar dan
menjangkau khalayak luas, terutama generasi muda yang rentan
terpapar paham tersebut.
Propaganda online ini menjadi tantangan tersendiri bagi NU dan
Muhammadiyah. Mereka dituntut agar lebih aktif dan kreatif dalam

26
Hilmy, M. (2020). Islamisme dan Demokrasi. Jakarta: Al-Wasath.
27
Ma'arif, A.S. (2021). Gejala Radikalisme di Media Sosial. Yogyakarta: LP3M UMY.
26

memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kontra-narasi yang


mempromosikan Islam inklusif, toleran dan cinta damai.
b. Sulitnya melawan stigma bahwa Islam identik dengan radikalisme dan
terorisme.28
Citra Islam global saat ini dinodai oleh aksi terorisme yang
kerap dilakukan oleh kelompok radikal seperti ISIS dan Al Qaeda.
Akibatnya, stigma Islam identik dengan radikalisme dan terorisme kian
melekat kuat. Hal ini tentu sangat kontraproduktif dengan upaya NU
dan Muhammadiyah memperkenalkan Islam wasathiyah kepada dunia
internasional.
Maka dari itu, kedua organisasi ini ditantang untuk terus aktif
meluruskan pandangan dunia terhadap Islam dan tegas memisahkan
antara ajaran agama yang damai dengan tindakan teroris yang
menyimpang. Caranya bisa melalui diplomasi, dialog internasional,
maupun publikasi karya ilmiah ke ranah global.
3. Tantangan Isu-Isu Kontemporer
a. Tuntutan yang berlebihan saat merespons kasus dugaan penodaan
agama.29
Kasus-kasus dugaan penodaan agama kerap memicu tuntutan
yang berlebihan dari sebagian umat Islam agar pelakunya dihukum
seberat-beratnya. Di sisi lain, NU dan Muhammadiyah dituntut untuk
bersikap proporsional. Inilah dilema yang kerap muncul.
Di satu sisi NU dan Muhammadiyah ingin tegas melindungi
kesucian agama, namun disisi lain mereka tidak ingin terjebak pada
sikap radikal dan main hakim sendiri yang bertentangan dengan
konstitusi. Mencari titik keseimbangan inilah tantangannya.
b. Munculnya dilema dalam menyikapi isu-isu baru seperti LGBT, aborsi,
eutanasia.30

28
Burhani, A.N. (2019). Dari Sicili ke Nusantara. Depok: UI Press.
29
As'ad, A. (2023). Radikalisme atas Nama Agama. Jakarta: Erlangga.
30
Khisbiyah, Y. (2023). NU dan Isu-Isu Kontemporer. Bandung: Mizan.
27

Beberapa isu baru seputar hak asasi manusia seperti LGBT,


aborsi dan eutanasia kerap membuat banyak kalangan kebingungan,
termasuk NU dan Muhammadiyah. Di satu sisi, mereka ingin
menghargai hak individu. Tapi disisi lain, praktik ini bertentangan
dengan nilai agama dan sosial yang dianut masyarakat Indonesia
mayoritas.
Inilah dilema yang pelik bagi NU dan Muhammadiyah dalam
merumuskan sikap seputar isu-isu kontemporer ini. Mereka berupaya
mencari solusi yang adil bagi semua pihak tanpa harus mengorbankan
ethos moderasi yang selama ini diperjuangkan.
Dengan berpegang teguh pada visi moderasinya, NU dan
Muhammadiyah terus berupaya mengatasi tantangan-tantangan
tersebut demi Islam Indonesia yang damai dan moderat.
BAB III
KESIMPULAN

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi Islam


terbesar di Indonesia, memiliki latar belakang pendirian yang kaya dan bervariasi.
Kedua organisasi lahir sebagai respons terhadap perubahan zaman dan
tantangan sosial yang dihadapi umat Islam di Indonesia pada masanya.
Pemeliharaan Ajaran Tradisional, NU didirikan untuk mempertahankan ajaran
Islam tradisional dan pesantren sebagai pusat keberlanjutan pendidikan agama.
Muhammadiyah muncul sebagai gerakan reformis yang ingin menyegarkan
pemahaman agama dan menjawab tantangan modernisasi.
Keberagaman Budaya dan Lokal, NU dengan konsep "Islam Nusantara"
menekankan pengakuan terhadap keberagaman budaya dan tradisi lokal dalam
bingkai ajaran Islam. Muhammadiyah, sementara itu, menunjukkan komitmen pada
tauhid dan risalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan
perkembangan zaman.
Pendidikan sebagai Basis Utama, Keduanya menempatkan pendidikan
sebagai basis utama untuk menyebarkan pemahaman Islam moderat. NU melalui
pesantren, sedangkan Muhammadiyah dengan jaringan lembaga pendidikan
modernnya.
Penekanan pada Toleransi dan Moderasi, NU dan Muhammadiyah
sama-sama menekankan toleransi, dialog antarumat beragama, dan penolakan
terhadap ekstremisme serta radikalisme.
Penggabungan Nilai-Nilai Lokal dengan Islam, NU menggabungkan
ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal dan budaya Indonesia, menciptakan
pemahaman Islam yang kontekstual. Muhammadiyah memadukan nilai-nilai
agama dengan ilmu pengetahuan modern, mengedepankan pemikiran kritis dan
progresif.
Melalui perjalanan sejarah dan prinsip-prinsip yang mereka junjung, NU
dan Muhammadiyah bukan hanya menjadi pelindung dan pengembang Islam
moderat di Indonesia, tetapi juga agen perubahan sosial yang berperan dalam
membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan progresif.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad. 2010. Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Al-Wasat

Publishing House.

As'ad, A. 2023. Radikalisme atas Nama Agama. Jakarta: Erlangga.

Azra, A. 2019. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Jakarta:

Kencana.

Azra, A. 2022. Purifikasi dan Moderasi Islam. Jakarta: Kencana.

Burhani, A.N. 2019. Dari Sicili ke Nusantara. Depok: UI Press.

Burhani, A.N. 2022. Akar Konflik Sepanjang Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.

Hilmy, M. 2020. Islamisme dan Demokrasi. Jakarta: Al-Wasath.

Hilmy, M. 2021. Embracing an Inclusive Indonesian Islam. Malang: UB Press.

Khisbiyah, Y. 2023. NU dan Isu-Isu Kontemporer. Bandung: Mizan.

Ma'arif, A.S. 2018. Deradikalisasi Paham Radikal. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Ma'arif, A.S. 2021. Gejala Radikalisme di Media Sosial. Yogyakarta: LP3M UMY.

Mu’ti, Abdul. “Akar Pluralisme dalam Pendidikan Muhammadiyah.” Afkaruna,

Vol. 12 No. 1 (Juni 2016). 28.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:

Pustaka LP3S Indonesia,.

Pasha, Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2000. Muhammadiyah sebagai

Gerakan Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam.

29
Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:

Quantum Teaching.

Ridwan, Nur Khalik. 2008. NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan

Menjelang Satu Abad. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.

Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar

Muhammadiyah Ke-45. Yogyakarta: Pusat Pimpinan Muhammadiyah,

2010.

Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: TheWahid

Institute.

Zuhri, Ahmad. “Peran Nahdlatul Ulama Dalam Penguatan Nila-Nilai Moderasi

Beragama”. Vol. 6 No 2 (desember 2023), 88.

30

Anda mungkin juga menyukai