Anda di halaman 1dari 15

PERWUJUDAN CITA CITA ISLAM DALAM

KEBANGSAAN

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Advance Training (LK III) Badan
Koordinasi (BADKO) SUMATERA BAGIAN SELATAN Tahun 2019.

Oleh:
SA’ADILLAH MUQSIT

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM


CABANG LUBUK LINGGAU
PERWUJUDAN CITA-CITA ISLAM DALAM
KEBANGSAAN
Oleh
Sa’adillah Muqsit

ABSTRAK

Pergantian abad ke-19 kepada abad ke-20 ditandai dengan faktor yang menimbulkan
gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Faktor yang pertama Perkembangan yang
terjadi di negara-negara Islam: Turki, negara-negara Timur Tengah dan India. Faktor
kedua, dihapusnya sistem Khilafah di Turki dan praktek kolonialisme Barat yang
mengakibatkan perlawanan negara-negara Islam. Indonesia terdiri dari beberapa agama
(Religion) namun mayoritas penduduknya mayoritas beragama islam. Dalam konteks
Perwujudan cita-cita islam dalam kebangsaan menjadikan negara indonesia negara
Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang subur, makmur, adil dan aman).
Tantangan masyarakat dan bangsa semakin komplek, terutama karena abad globalisasi
yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang sangat
pesat. Hal itu dapat mereduksi peran-peran lembaga agama secara sangat signifikan.
Kata kunci: Cita-Cita Islam, Kebangsaan, Penguatan Ideologi.

I. Pendahuluan

Dinamika gerakan Politik organisasi Islam di Indonesia sangat menarik untuk


dikaji. Dikatakan menarik, lantaran salah satu agenda yang mereka perjuangkan
menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam penyebaran gagasannya. Sehingga
dalaam penyebaran gagasannya menimbulkan pertentangan antara agama di satu sisi
dengan negara lain. Di indonesia muncul persoalan bagaimana menata hubungan antara
agama dan politik, terutama yang berkaitan dengan Ideologi Pancasila. Masalah ini
muncul karena sempat menguat anggapan sebagian anggota masyarakat bahwa,
kelompok Islam tetap menyimpan niat terselubung untuk mengganti Pancasila dengan
ideologi Islam (Al-Maududi, 1990).1

1
Abdul A’la Al-Maududi terj., Asep Hikmah, Sistem Politik Islam.( Bandung : Mizan, 2009), hlm. 11.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi
perdebatan dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Beberapa bulan menjelang
kemerdekaan terjadi perdebatan yang sangat serius dalam BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha kemedekaan Indonesia ) mengenai dasar dan falsafah negara. Di satu
pihak, kelompok nasionalis islam menginginkan Islam menjadi dasar negara, dengan
implikasi pemberlakuan syariat Islam. Sedangkan dipihak lain, kelompok nasionalis
sekuler mengusulkan agar negara berdasarkan paham kebangsaan tanpa dikaitkan
dengan Ideologi Keagamaan, dengan kata lain bukan negara Islam (Raziq, 2002).2
Pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan
dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi
dengan kepentingan lain. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam
perjuangan politiknya. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi islam
sebagai dasar negara dalam Mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan Pancasila
(Assyaukanie, 2011).3
Dalam perkembangan selanjutnya isu tentang negar Islam dan penerapan syariat
hampir tidak pernah muncul dalam konstelasi politik tanah air, kecuali sesaat diawal
pemerintahan Soeharto pada akhir tahun 1960-an. Melalui tampilnya pemerintahan
Orde Baru menggatikan Orde lama, sejumlah pemuka organisasi Islam menaruh
harapan besar untuk mengakomodasi, memfasilitasi aspirasi dan kepentingan Umat
Islam.(Ma’arif,1996).
Pada tahun itu juga muncul beberapa organisasi Islam di era 1960-an bermula dari
kelompok dakwah masjid dikampus-kampus sekuler muncul untuk merespon fenomena
“Islamic turn” yang ditandai dengan besarnya permintaan akaan dosen agama
dikampus-kampus sekuler. Muara dari kemunculan organisasi Islam ini kemudian
melahirkan Latihan Mujahid Dakwah (LMD) yang menekan pada materi dasar tentan g
ketauhidan dan ancaman perang pemikiran atau gashwul fikr (Latif, 2005).
Bangsa ini juga tengah dihadapkan pada berbagai persoalan dalam skala lokal
kedaerahan dan nasional, regional dan internasional. Persoalan tersebut tidak terlepas
dari perkembangan dinamika kehidupan global yang secara langsung maupun tidak
2
Ali Abdur Raziq, Islam Dasar-dasar Pemerintahan, terjm. M.Zaid Su’id, (Yogyakarta : Jendela, 2002),
hlm. 14.
3
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, Jakarta: Freedom Institute, 2011.
langsung mewarnai serta mengubah sikap dan prilaku kehidupan masyarakat. Persoalan
tersebut muncul dalam spektrum beragam dan saling kait-mengait. Tidak jarang
berbagai persoalan tersebut kemudian dikaitkan dengan kehidupan beragama, yang
memunculkan persoalan hubungan antarumat beragama yang sering jauh lebih rumit
dan kompleks. Salah satu contoh kasus penistaan agama yang dilakukan oleh saudara
Basuki tjahaja purnama ini harus menjadi perhatian kita semua masyarakat islam harus
membela agama islam dan menuntut saudara Basuki Tjahaja purnama di proses secara
hukum dan memastikan bahwa negara hadir dan serius dalam menghadapi kasus
penistaan agama ini. Aksi 411 Dan 212 perlu diapresiasi dan sangat bermartabat kita
harus bersatu dalam membela agama kita yang telah di nistakan oleh saudara Basuki
Tjahaja Purnama. Saya menghimbau kepada seluruh masyarakat islam di seluruh
indonesia mari kita pantau terus kasus ini. Yang jelas, apa pun yang saat ini terjadi dan
betapapun kompleksnya hubungan antar-agama dan antar-kelompok yang ada dalam
sistem demokrasi. Kita jangan sampai lupa pada pegangan. Dasar kita, yaitu pancasila
dan prinsip kemajemukan bangsa. “Bhineka Tunggal Ika”. Harus terus-menerus
dipertahankan sebagai pilar kehidupan kebangsaan ini (Lalu, 2016).
A. Islam dan Negara di Indonesia
Islam yang bersifat politik, dalam babak Islamisasi Nusantara telah
menempatkan sistem nilai dari ajaran Islam sebagai sistem nilai yang membentuk sikap
dan tingkah laku manusia Indonesia. sistem nilai demikian ada yang campur dengan
sistem nilai yang lain, dan ada pula yang hadir secara utuh lalu berkembang dan terus
berinteraksi dengan lingkungannya.
Babak Islamisasi ini dari sudut pandang gerakan politik menjadikan Islam
memiliki tiga fungsi :
1. Islam sebagai pandangan ideal, ini membentuk etos dan pandangan hidup.
2. Islam sebagai sistem nilai, ini sebagai dasar ikatan solidaritas komunitas
pemeluknya, dan
3. Islam sebagai agama universal, ini berarti Islam bersifat kosmopolit.
Ketiga fungsi Islam ini dapat digunakan untuk memposisikan Islam lebih dari
sekedar sistem ritual/teologis, ataukah Islam memberikan pedoman (etis) bagi setiap
aspek kehidupan (Abdullah, 1987).
Berdasarkan fakta sejarah, Islam di Indonesia dan Indonesia itu sendiri,
memiliki beberapa persamaan mendasar. Hal itu juga yang mengakibatkan mengapa
Islam pada awal masuknya di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat nusantara pada
waktu itu, hingga tumbuh dan berkembang sampai pada puncak kuantitasnya sekarang.
Ekspansi Islam di Indonesia pada awalnya memang dapat dikatakan sebagai tantangan
teologis, politis dan kebudayaan pada waktu itu, yang dibuktikan dengan beberapa
perlawanan yang juga sempat muncul pada waktu itu. Pertentangan antara Islam dan
masyarakat Indonesia pada waktu itu, sebenarnya lebih sebagai proses akulturasi dari
pada pertentangan yang bersifat penolakan (Esposito, 2001).
Dapat diterimanya Islam oleh masyarakat Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan
dari adanya kesesuaian antara kandungan ajaran Islam dengan prinsip-prinsip, tradisi
dan budaya serta filosofi kehidupan dalam wilayah substansinya. Sebagai contoh
misalnya, bagaimana masyarakat Indonesia memiliki prinsip gotong royong, tepo sliro,
mikul dhuwur mendem jero, keberagaman, serta masih banyak lagi beberapa nilai,
prinsip maupun tradisi-tradisi yang pada hakekatnya sama dengan kandungan ajaran
Islam. Mengenai gotong royong, Islam juga mengajarkan hal yang sama, mengenai tepo
sliro dan mikul dhuwur mendem jero, Islam pun memerintahkan kepada seluruh Muslim
untuk saling menghormati, menghargai, dan menyayangi sesamanya (Madjid, 1971).
Pada dasarnya, telah ditemukan sintesis yang paling memungkinkan dari proses
dialektika antara Islam dan Indonesia. Sejarah pun mencatat bahwa beberapa Negara
yang besar dan mampu bertahan bahkan menguasai dunia adalah Negara yang memiliki
basis nilai yang kuat, dan Islam menyediakan itu semua untuk bangsa Indonesia.
Memang Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai pedoman teknis tentang
Negara, tetapi Islam memiliki nilai-nilai yang dapat diadopsi kemudian
dikontekstualisasikan ke dalam dinamika kehidupan kebangsaan di Indonesia.
Kemerdekaan dan kemajuan yang selama ini telah dirasakan oleh bangsa
Indonesia pun, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peran para pendahulu yang
mayoritas dari mereka adalah Muslim, dan mereka menjadikan Islam sebagai kerangka
utama dari bangunan pemikiran serta aktifitas-aktifitas mereka dalam mewujudkan
Indonesia yang ideal. Mereka telah mencoba mendialektikakan antara Islam dengan
Indonesia. Meskipun belum sepenuhnya berhasil, namun mereka telah berhasil
menawarkan beberapa tawaran alternatif mengenai bentuk Negara yang paling ideal
untuk Indonesia. Apakah Indonesia hari ini telah mencapai bentuk negaranya yang final,
terlalu dini untuk mengatakan demikian. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang masih
selalu dalam fase eksperimentasi, tahap pencarian bentuk atau format Negara yang
paling tepat, minimal untuk sementara waktu. Oleh karena itu, menjadi peluang besar,
jika Islam coba untuk digali kembali khasanahnya, kemudian diobjektifikasikan untuk
menjawab berbagai kebutuhan bangsa. Tidak menutup kemungkinan, Indonesia ke
depan akan lebih baik dari yang ada saat ini (Kuntowijoyo, 2006).
B. Pandangan Islam tentang Negara - Bangsa
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara
langsung apalagi detil mengenai petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan
mengenai Negara. Yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah prinsip-prinsip berupa
nilai-nilai yang menjadi pondasi dasar, yang kemudian pada wilayah aplikasinya
bersifat kontekstual. Meskipun pada wilayah fakta sejarah, di dalam islam terdapat
peristiwa-peristiwa yang menggambarkan tentang Negara, baik berkenaan dengan
bentuk, sistem, maupun mekanisme pelaksanaannya. Namun, sekali lagi, jika itu semua
diadopsi utuh tanpa ada kontekstualisasi, maka akan menemui banyak kendala.
Pandangan Islam mengenai Negara bangsa telah banyak dikemukakan oleh para
pemikir muslim. Diantara mereka misalnya Ibnu Khaldun, Abu al-A’la Al-Maududi,
Ibnu Taimiyah, serta masih banyak lagi dari mereka. Dari beberapa pandangan mereka
tentang Negara, secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pandangan
sekuler dan fundamentalis. Pandangan pertama mengatakan bahwa Negara adalah
bagian integral dari Islam, maka Islam harus menjadi dasar Negara. Sedangkan
pandangan kedua mengatakan bahwa harus ada pemisahan total antara Islam dan
masalah-masalah kenegaraan (Wahid, 2007).
Di Indonesia sendiri, dikenal diantaranya M. Natsir, Abdurahman Wahid,
Nurcholis Madjid, dan H. Munawir Sadzali. Menurut Nurcholis Madjid, Negara bangsa
merupakan suatu gagasan tentang Negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Lebih
lanjut ia menyatakan bahwa pengertian bangsa atau “nation”, di dalam bahasa Arab
sering diungkapkan dengan istilah ummah atau umat. Sederhananya, menurut Nurcholis
Madjid, Negara bangsa adalah Negara untukseluruh umat, yang didirikan berdasarkan
kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional
terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Tujuan Negara
bangsa adalah untuk mewujudkan maslahah umum, yaitu suatu konsep tentang kebaikan
yang meliputi seluruh warga Negara tanpa kecuali (Madjid, 2004).
C. Sistem Nilai Islam tentang Negara-Bangsa: Pelaksanaan Pancasila sebagai
Bagian dari Aktualisasi Islam
Pancasila dengan kelima silanya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak bisa
dipisahkan unsur-unsurnya. Karena masing-masing sila menjadi perekat dari yang
lainnya dalam menjaga keutuhan nilai ideologisnya. Pelaksanaan terhadap pancasila
secara utuh dan benar, dapat dikatakan sebagai pengamalan terhadap beberapa nilai-
nilai Islam dalam konteks keindonesiaan. Sistem nilai islam tentang Negara-bangsa,
yang tertuang ke dalam bentuk prinsip-prinsip ideal mengenai Negara, atau lebih
tepatnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, secara sederhana dapat
dikatakan telah diwakili oleh Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila
pertama hingga sila kelima dari Pancasila tersebut, mengandung unsur-unsur pokok
tidak hanya Negara-bangsa, namun juga pesan moral pada wilayah aplikasinya
(Nasruddin, 2008).
Jika memang Pancasila merupakan sintesis antara Islam, yang dalam hal ini
pengadopsian atas sari-sari Islam yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, dengan
Indonesia itu sendiri, mengapa sampai sejauh ini bangsa Indonesia belum juga mampu
bangkit menjadi bangsa yang besar dan maju? Mengapa juga sampai hari ini bangsa
Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri? Bukan
formulanya yang keliru, tetapi wilayah implementasinya yang semestinya ditinjau
ulang. Sama halnya dengan Al-Qur’an maupun hadist serta pedoman-pedoman umat
Islam lainnya, formulanya sudah tepat, namun jika dalam pelaksanaannya tidak benar
dan konsisten, maka jarak antara kenyataan dengan nilai ideal justru akan semakin jauh.
Bagi bangsa Indonesia, bertindak dan berlaku sesuai dengan Pancasila, karena
Pancasila sebagai sintesis antara Islam dan Indonesia, adalah kewajiban dalam rangka
membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya. Kelahiran semangat atau kesadaran
nasionalisme dan patriotisme, yang di kemudian hari mampu membawa bangsa
Indonesia kepada kondisi yang diharapkan, merupakan proses internalisasi atau
ideologisasi dari apa yang selama ini dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu
Pancasila. Oleh karena itu, bangsa Indonesia saat ini, setelah memiliki formula yang
tepat, tinggal bagaimana melakukan internalisasi terhadap formula yang ada tersebut.
Atau lebih tepatnya melakukan objektifikasi (Wahid, 2009).
D. Perwujudan Cita-Cita Islam dalam Kebangsaan

Islam sebagai Panggilan Allah. Allah memanggil orang yang beriman dan
bertakwa kepada Islam dengan mengutus Rasul-Nya membawa Islam agar supaya
disampaikan dan diajarkan kepada manusia. Wujud dari cita-cita islam di negara
indonesia ini adalah menjadikan indonesia sebagai negeri yang subur, makmur, adil dan
aman. Kita harus saling menghargai dan menghormati antar umat beragama karena kita
dibungkus oleh bingkai negara kesatuan Republik indonesia.
Dewasa ini kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang publik figur
saudara Basuki Tjahaja Purnama merupakan salah satu contoh buruk dari seorang
pejabat negara. Seorang pejabat negara harus menjadi teladan bagi rakyatnya dan jangan
pernah menggunakan atribut-atribut keagamaan karena masalah ini sangat sensitif.
Seorang pejabat negara harus berbicara santun, tidak mengedepankan kekerasaan, siap
menerima kritik dan saran bukan menjadi seorang penguasa yang otoriter.
Dalam konteks perwujudan cita-cita islam dalam kebersamaan kebangsaan aksi
damai 411 dan 412 adalah contoh konkret bahwa wujud dari cita-cita islam dalam
kebersamaan rakyat indonesia mengedepankan aksi cinta tanah air, aksi damai tidak
melakukan tindakan anarkis yang tuntutannya adalah agar pemerintah tidak tebang pilih
dalam kasus penistaan agama yang dilakukan seorang pejabat negara serta meminta
kepada aparat hukum khusus kepolisian untuk memproses kasus ini secara transparan
tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Dalam Konteks perwujudan cita-cita islam dan kebersamaan kebangsaan tidak
lepas dari peran dan pengaruh tokoh-tokoh agama, yang secara aktif berjuang secara
fisik, moral dan spiritual mendukung perjuangan bangsa, melalui peran keteladanan,
panutan maupun kepemimpinan di dalam berbagai sektor kehidupan
masyarakat. Dalam perjalanan bangsa ini sejak meraih kemerdekaannya, perlu rasanya
kita berkilas balik, belajar pengalaman dan kejadian yang lalu, untuk kemudian menatap
masa depan bangsa dan berusaha mencapainya secara bersama-sama (Satriawangsa,
2007).
Terlaksananya tujuan hidup manusia merupakan perwujudan diberlakukannya
fungsi-fungsi Islam dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang beriman dan
bertakwa. Oleh karena itu untuk memahami fungsi-fungsi atau kedudukan Islam dalam
kehidupan, berikut ini penjelasannya :
a. Islam Sebagai Agama Allah Fungsi Islam sebagai agama Allah dinyatakan
dalam predikatnya yaitu dienul haq (agama yang benar), dimana kehadiran dan
kebenaran agama Islam nyata sepanjang zaman. Islam juga dinyatakan sebagai
dinul khalis yang berarti kesucian dan kemurnian serta keaslian Islam terjaga
sepanjang masa.
-Islam sebagai Panggilan Allah. Allah memanggil orang yang beriman dan
bertakwa kepada Islam dengan mengutus Rasul-Nya membawa Islam agar
supaya disampaikan dan diajarkan kepada manusia . Oleh karena itu para rasul
dan para pengikut nya yang setia hanya mengajak manusia kepada Islam.
b. Islam sebagai Rumah yang Dibangun oleh Allah.Allah menjadikan Islam
sebagai “rumah” yang disediakan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa
agar mereka hidup sebagai keluarga muslim. Dengan demikian Islam merupakan
wadah yang mempersatukan orang yang beriman dan bertakwa dalam
melaksanakan dan menegakkan agama Allah dalam kehidupan manusia dan
masyarakat.
c. Islam Sebagai Jalan yang Lurus Orang yang beriman dan bertakwa yang
memenuhi panggilan Allah kepada Islam, tetap dalam Islam melaksanakan
ajaran Islam, karena mereka tahu dan mengerti bahwa -Islam itu agama Allah.
Merekalah yang sedang berjalan pada jalan Allah yaitu sirathal Mustaqim (jalan
yang lurus).
Islam Sebagai Tali Allah Sebagai tali Allah, Islam merupakan pengikat yang
mempersatukan orang yang beriman dan bertakwa dalam melaksanakan dan
menegakkan agama Allah.
d. Islam Sebagai Sibgah Allah. Sibgah atau celupan yaitu zat pewarna yang
memberikan warna bagi sesuatu yang dicelupkan. Dengan Islam, Allah
bermaksud memberkan warna atau corak kepadapa manusia. Untuk
mendapatkan corak atau warna tersebut adalah dengan jihad, mengerahkan
segala kemampuan nya dalam melaksanakan agama Allah. Muslim yang
tersibghah adalah Allah tetapkan sebagai saksi atas manusia dan yang sadar akan
identitasnya serta tahu akan harga dirinya sebagai hamba Allah yang beriman
dan bertakwa.
e. Islam Sebagai Bendera Allah. Islam sebagai bendera Allah di bumi. Bendera
tersebut mesti dikibarkan setinggi tingginya, sehingga tampak berkibar
menjulang tinggi di angkasa. Untuk mengibarkan atau menampakkan Islam,
Allah mengutus Rasul-Nya dengan Alquran dan Islam, sehingga dengan
demikian kekafiran dan kemusrikan akan dapat diatasi (Kayyis, 2012).
Jikalau kita menyelidiki hidupnya Nabi Muhammad SAW malahan kita bisa
membuat garis yang terang antara dua periode yang tertentu. Periode tatkala Nabi
Muhammad SAW masih tinggal, berdiam di Mekah. Periode yang kemudian daripada
itu, yaitu Periode Madinah. Di dalam periode Mekah, tatkala Nabi terutama sekali
berhadapan dengan orang-orang yang tidak beragama Islam, yang belum mempunyai
pengertian tentang Tuhan yang satu, yang Esa, belum mempunyai iman sebagai yang
dimaksud oleh Qur'an dan Nabi. Didalam periode Mekah ini terutama sekali ikhtiar,
usaha Nabi Muhammad SAW ialah untuk mengisi khalayak ramai ini dengan hal-hal
yang mengenai kepercayaan, yang mengenai iman. “Percayalah pada Tuhan dan bahwa
Tuhan itu adalah satu. Percayalah bahwa engkau nanti akan dituntut didalam satu
Mahkamah Agung yang terakhir”. Soal kepercayaanlah yang terutama sekali
dititikberatkan (Burhanuddin, 2003).

Kesimpulan

Setelah melalui refleksi dan perenungan panjang terhadap kondisi bangsa


Indonesia, pada dasarnya Indonesia sejak dulu telah memiliki modal bagi kemajuan dan
perkembangannya. Persoalannya adalah bangsa Indonesia seolah terasa enggan untuk
menggali kemudian menerapkan sintesis yang telah ditemukan tersebut. Lemahnya
Negara salah satunya disebabkan oleh lemahnya masyarakatnya dalam beberapa aspek.
Lemahnya masyarakat disebabkan oleh salah satunya ideologi yang masih kabur, serta
semakin menurunnya kapasitas etika dan moral.
Oleh karena itu, Islam, jika secara sungguh-sungguh digali kembali kemudian
dikontekstualisasikan sehingga mampu dihasilkan sebuah rumusan atau formulasi yang
tepat untuk bangsa Indonesia, yang selanjutnyasintesis tersebut secara konsisten dan
penuh komitmen dilaksanakan, besar kemungkinan bangsa Indonesia sesegera mungkin
akan keluar dari berbagai persoalan yang kini dihadapi, yang salah satunya adalah
lemahnya Negara dan masyarakat.
Konsep mengenai Negara-Bangsa untuk Indonesia sangatlah relevan untuk
diupayakan. Islam pun memiliki seperangkat nilai yang tidak bertentangan dengan
kebutuhan bangsa Indonesia dalam mewujudkan konsep tersebut. Jika Pancasila benar-
benar terinternalisasi dan dilaksanakan secara benar, maka Negara-Bangsa bagi
Indonesia bukan lagi suatu hal yang mustahil. Dalam arti Indonesia sebagai Negara-
Bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri. Negara-Bangsa yang selalu lebih
mengedepankan kepentingan keadilan dan kemanusiaan warganya, yang sudah tidak
lagi bergantung kepada Negara lain sehingga sampai harus mengorbankan rakyatnya.
Perwujudan cita-cita islam dalam kebersamaan kebangsaan di era globalisasi akan
semakin banyak tantangan yang akan di hadapi mari kita bersatu karena kita dibungkus
dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga negara indonesia kedepan menjadi
negara Baldatun Thoyibatun Wa Rabbun Ghafur yang subur, makmur, adil dan
aman sesuai dengan cita-cita Islam.
E. Rekomendasi
1. Re-empowering ideologi
Dua syarat utama kesuksesan sebuah perjuangan adalah, pertama, keteguhan
iman atau keyakinan kepada dasar atau idealisme yang kuat, yang berarti juga
harus memahami dasar perjuangan tersebut. Kedua, ketepatan penelaahan
kepada medan perjuangan guna dapat menetapkan langkah-langkah yang harus
ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas.Syarat
yang pertama di atas dapat dimaknai sebagai ideologi yang harus ada bagi suatu
perjuangan. Sedangkan syarat yang kedua, bisa diartikan sebagai metode dalam
perjuangan (Nurcholis, 1971).
Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya, ideologi merupakan
hal yang sangat penting sebagai yang mampu menggerakkan sekaligus
memberikan pembenaran atas pelaksanaan dari agenda besar Negara dan
masyarakat Indonesia. Mengapa ideologi menjadi begitu penting dalam hal ini,
karena ideologi merupakan satu sistem idea (gagasan) yang saling berhubungan
(keyakinan, tradisi, asas-asas, dan mitos), yang dimiliki oleh satu kelompok atau
masyarakat, yang mencerminkan, merasionalisasikan, dan mempertahankan satu
kepentingan dan komitmen sosial, moral, keagamaan, politik, dan kelembagaan
ekonomi tertentu. Unsur-unsur ideologi cenderung diterima sebagai kebenaran
atau dogma dari pada sebagai satu rumusan filosofis atau teoritis sementara,
selain pada kenyataannya ideologi dimodifikasi menurut perubahan sosial-
budaya.
Ideologi memiliki fungsi selain sebagai pembenaran nalar (logis) dan filosofis
bagi pola kelakuan, sikap, tujuan kelompok, serta situasi kehidupan pada
umumnya, juga memberikan landasan bagi tindakan kolektif. Selain itu ideologi
juga memberi bentuk pada struktur ekonomi dan politik, begitu juga sebaliknya.
Mengapa kapitalisme, atau bahkan komunisme bisa begitu kuat dan besar hari
ini, tidak lain mereka memiliki ideologi tersebut, serta menjadikannya sebagai
landasan bagi tindakan kolektif mereka.
Selama ini bangsa Indonesia memahami Pancasila sebagai ideologi, terlepas
apakah Pancasila bisa dikategorikan sebagai ideologi ataukah tidak. Jika melihat
definisi serta fungsi dari ideologi di atas, maka Pancasila dapat dikatakan
sebagai ideologi. Jika sudah demikian, maka sejauh manakah Pancasila mampu
memberi pembenaran atas nalar dan filosofis, memberi landasan bagi tindakan
kolektif, serta memberi bentuk terhadap struktur dari seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia? Oleh karena itu, bangsa
Indonesia membutuhkan penguatan kembali baik pada wilayah pemahaman (re-
understanding) maupun pengaktualisasian kembali (re-aktualisasi) terhadap
Pancasila. Kedua sikap tersebut merupakan unsur-unsur dalam penguatan
ideologi (re-empowering ideology). Pancasila yang dipahami sebagai sintesis
antara keislaman dan keindonesiaan (MM Billah, 2002 ).
2. Membangun Kembali Kesadaran dan Etos Kebangsaan.
Jika masyarakat dan pemerintah bangsa Indonesia tidak memiliki kesadaran
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga tidak memiliki
etos kebangsaan yang kuat, maka jarak antara harapan besar bangsa indonesia
dengan kenyataan tidak akan bisa terakomodir. Sebagai contoh saja misalnya,
tentang kesadaran, sampai hari ini bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran
yang kritis terhadap apa yang sedang dialami. Bahwa penjajahan dalam
bentuknya yang baru sedang berlangsung. Penjajahan tersebut telah berhasil
merampas bahkan menciptakan kesadaran baru magi masyarakat Indonesia.
Yaitu kesadaran bahwa Barat lah yang pantas untuk menjadi ukuran segala
sesuatu. Dengan demikian, apapun produk atau tawaran dari Barat, meskipun hal
tersebut merupakan penjajahan dalam bentuk baru, bahkan sangat halus, maka
harus diterima. Prihatinnya lagi, justru masyarakat Indonesia senang dengan hal
itu, kesenangan dalam ketertindasan. Tentang etos kebangsaan, khususnya pada
wilayah etos kerja misalnya, bangsa Indonesia kalah dengan Cina, Jepang,
Belanda, dan Swedia. Pada beberapa Negara tersebut, setiap bus kota dilayani
hanya oleh satu orang awak, pengemudi yang merangkap sebagai kondektur
sekaligus kenek. Hal demikian berlaku untuk bus kota maupun bus antar kota.
Di Indonesia, bus kota saja dilayani oleh tiga orang awak, untuk bus antar kota
bahkan sampai empat orang awak. Jika dilihat dari segi pelayanannya, bus dari
Negara-negara lain tersebut pelayanannya lebih baik, lebih bersih, lebih nyaman,
dan terkadang mereka lebih sopan. Tidak lain hal tersebut disebabkan oleh etos
kerja masyarakat Indonesia yang kalah jauh jika dibandingkan dengan
masyarakat Negara lain. Selain manajemen yang juga kurang bagus.
Oleh karena itu, ke depan yang harus diperbaiki oleh bangsa Indonesia adalah
kesadaran dan etos kebangsaan, atau etos kerjanya. Islam pun pada dasarnya
menganjurkan kepada para pemeluknya, bahwa untuk mencapai kesejahteraan
maka kesejahteraan tersebut harus diupayakan, tidak menunggu. Hal ini sangat
jelas bahwa Islam sangat menganjurkan tentang adanya semangat atau etos kerja
yang besar dan kuat untuk dapat mewujudkan sebuah cita-cita yang diharapkan
oleh manusia. Kondisi ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial-kebudayaan
bangsa Indonesia hari ini membutuhkan adanya kesadaran yang kritis untuk bisa
keluar dari keadaan yang tidak diharapkan tersebut. Dan Islam, sekali lagi,
memiliki banyak tawaran untuk solusi tersebut. dengan demikian, Perlu
dilakukan Penulisan dan penelitan lebih lanjut Perwujudan cita-cita islam dalam
Kebersamaan kebangsaan dalam menghadapi tantangan Era Bonus Demografi
(Mochtar, 2005).
Implikasi

Tanpa adanya komitmen yang tinggi serta konsistensi dalam menjalankan


kesadaran terhadap setiap usaha untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara-Bangsa
yang unggul, kokoh dan mandiri, apapun bentuk perjuangan yang ada tidak bisa dijamin
akan bertahan lama. Seringkali hal itulah yang menjadikan setiap perjuangan bangsa
Indonesia, khususnya masyarakatnya, mengalami kegagalan di tengah jalan. Oleh
karena itu, komitmen dan konsistensi juga menjadi hal penting selain beberapa konsep
berikut pengamalan atas konsep tersebut.
Jika semuanya terakomodir, dan kuat, maka saling control dan melengkapi
antara elemen yang satu dengan yang lain pun akan tetap selalu terjaga. Dengan
demikian, suatu tatanan masyarakat madani dengan pemerintahannya yang bijaksana,
secara terus-menerus akan bergerak menuju kepada perwujudan cita-cita ideal yang
dimaksud, tidak lagi melenceng dari rel yang sudah ditentukan serta disepakati bersama.
Ini juga menjadi bukti bahwa islam ternyata dapat bersanding dengan demokrasi, islam
is compatible with democracy. Elemen-elemen keislamaan dalam masyarakat kita,
bersama elemen-elemen nya. telah menjadi penggerak dengan motor demokrasi serta
memperkaya kehidupan bersama dalam masyarakat kita. Semua hal tersebut tentu saja
tidak bisa dilepaskan dari peran Islam yang telah dikontekstualisasikan sehingga relevan
bagi pengakomodiran kebutuhan bangsa Indonesia. Sehingga bangsa Indonesia benar-
benar akan menjadi suatu Negara-Bangsa dengan Islam tetap sebagai pondasi dasar
bangunan kebangsaan.
DAFTAR PUSTAKA

AL-Maududi, Abul, A’la, terj,. Asep Hikmat, 1990. Sistem Politik Islam. Bandung :
Mizan.

Raziq, Ali Abdur, terj,. M.Zaid Su’id, 2002. Islam Dasar-dasar Pemerintahan.
Yogyakarta : Jendela.

Latif, Yudi, 2005, Intelegensia Muslim dan kuasa Geneologi Intelegensia Muslim
indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.

Assyaukanie, Luthfi , 2011, Ideologi Islam dan Utopia, Jakarta: Freedom Institute.

Lalu Mara Satriawangsa. 2016. Percik permenungan Ir. Aburizal Bakrie mengawal
kebhinekaan dan persatuan. Jakarta. PT. Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai