Anda di halaman 1dari 15

SYEKH SITI JENAR: SHALAT

FAHRUDDIN FAIZ
SUARA HATI DAN KESETARAAN
MANUSIA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak.
Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di
bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati
saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak
ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama
mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain?
Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama
tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah
itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap
sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama
bangkai.”
KELEMAHAN PANCAINDERA DAN AKAL
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta
oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur
bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur,
dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula
menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya
jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.
Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.” .
KRITIK ULAMA & SANTRI

• Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik habis-habisan


para ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti, mereka hanya
berkutat pada amalan syariat (sembah raga). Padahal masih banyak tugas
manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai tataran
kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta bujuk
rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia. Maka
manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas beratnya.
Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.
KEPALSUAN PARA PELAKU SYARI’AT

Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu sudah palsu semua (wus palson kabeh).
Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang
dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada
pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,
pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama.
Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda
satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja,
yaitu Gusti Zat Maulana.
(Serat Seh Siti Jenar)
SURGA-NERAKA BUKAN TUJUAN SHALAT
• Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan neraka adalah dalam hidup ini.
• Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir balik, mengharap-
harap surga. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali,
pagi, siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak. Orang seperti itu
sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat itu dilakukan karena
merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak
menyadari keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius
oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung
pahalanya tiap hari.
• Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya merasa
selalu terancam oleh para pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah
neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk
makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman
rumah sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya, tenang
jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana neraka.
SYAHADAT FONDASI SHALAT

▪ Syahadat “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul


Allah”, bukan sekedar ikrar, namun “kesaksian”.
▪ Kesaksian itu hadir seiring atau setelah mengalami (laku). kesaksian tersebut
diperoleh berdasarkan lelaku.
▪ Lelaku dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta
serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup.
▪ Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan
hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus
diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh.
Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap
ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
 Bukti ketundukan kepada Allah
 Dilakukan berdasarkan gerak ragawi
SHALAT SYARI’AT  Syarat: kesucian ragawi dengan sarana air
(SEMBAH RAGA)
 Manifestasi: Penghambaan, Ketundukan,
kepatuhan, kebersamaan, harmoni diri dan
sesama
MODE SYARI’AT: KERAGAMAN
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah
kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar
atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala
keberanian yang dimiliki.”
 Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu
hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang
sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total
kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan
aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak (sesuai pemahaman)
masing-masing pribadi.
 Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima
waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama.
 Cara bersucinya memerangi hawa nafsu
 Manifestasinya: penghayatan makna shalat
yang dikerjakan, bukan keabsolutan tata-
cara pelaksanaannya. Diawali dari shalat
syari’at, dipahami artinya, dihayati
SHALAT
maknanya lalu diwujudkan dalam kehidupan
TAREK/TAREKAT
wahari-hari. Misalnya: sudahkah kandungan
(SEMBAH CIPTA)
Al-Fatihah kita jalankan dalam kehidupan
kita? Sudahkah hidup, shalat dan ibadah kita
hanya demi Allah semata? Dan lain
sebagainya.
 Hasilnya: Tahna ‘an al-Fakhsya’ wal Munkar
 Cara bersucinya dengan zuhud, melepaskan diri dari
keinginan raga dan jiwa.
 Manifestasinya: kekhusyukan yang sejati dan terus
menerus (da’im).
 Khussyuk dalam Bahasa Jawa: lerem, yaitu steril dari
SHALAT berbagai keinginan dan aktivitas duniawi serta
kesibukan pikiran akan keduniaan.
HAKEKAT/DA’IM
(SEMBAH RASA)  Daim: Orang yang memasuki Shalat ini tidak pernah
putus kesadarannya akan Allah serta terus-menerus
menjauhkan diri dari semua perbuatan yang
menjauhkan dari Allah.
 Hasilnya: ketenangan, keteguhan dan lenyapnya
segala rasa was-was atau khawatir dalam
kehidupan.
MENYEMBAH KEKOSONGAN

• Ki Lonthang berkata : Bersujud-sujud tiap hari Jum’at di masjid, menyembah


kesunyian, kesenyapan dan kekosongan, itulah yang kalian lakukan. Kalau menurut
wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya dilakukan.
Hai Bonang, keluarnya nafasku menjadi puji. Masuknya nafasku menjadi salat (doa).
Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-
angan, jadi kalau kamu salat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam
kematian ini, maka sesungguhnya kamu ini orang kafir
• Ki Lonthang: Shalat tanpa memahami hakikatnya seperti menyembah bumbung, hati
kayu, batang kangkung, kosong melompong, hampa dampa, kolong angin
SHALAT YANG ‘MENCURI’

• “Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir,
budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang,
kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain
dengan Zat Allah yang bersama diriku.” (Serat Syaikh Siti Jenar).
• Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan
shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi
shalat yaitu keheningan dan kejernihan budi, yang melahirkan
akhlaq al-karimah.
KOMPARASI DENGAN AYAT

• Dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki


sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut
mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia
melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7).
• Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang
mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan
shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut :
(1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga
tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2)
menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari
tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5)
menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah
yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
• Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk
melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi
mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan
kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya.
• Namun jika puasa hanya memenuhi ketentuan syariat, maka “iku wis palson kabeh”.
• Puasa yang sebenarnya adalah puasa hakiki, yaitu puasa menahan hati dari
menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini
dilakukan dengan cara menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir
maupun yang batin. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-watak
kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri.
• Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasa merupakan
hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telah mencapai
ma’rifat, Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi, yang
ada adalah menikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.

Anda mungkin juga menyukai