Anda di halaman 1dari 6

Fenomenologi Simbolik al-Qur’an

Suatu ketakjuban yang terasa dikala pertama kali mengetahui keilmuan ini yang begitu
dahsyat, memberikan kontribusi baru dalam dunia penafsiran Qur’an, dengan
memberikan pembuktian yang lebih kompleks yang bukan sekedar mengartikan
konteks setiap ayat, namun mengbongkar setiap makna simbol yang tercantum di
Qur’an
Dari metodologi ini benar-benar membuka mata kita di mana Qur’an menunjukkan
dirinya sebagai Huda (petunjuk) Assyifa (penyembuh) dan gudang dari segala ilmu
yang ada di alam semesta ini, bahkan dari sini pula kita dapat mengenal jati diri,
mengenal karakter dasar manusia yang selama ini kebanyakan orang merujuk seperti
halnya pada zodiak, shio, atau keilmuan lainnya yang serupa. Dan yang terpenting di
sini adalah bukannya seberapa detail Qur’an itu dapat menguak karakter dasar
manusia namun seberapa besar keinginan kita untuk belajar, mengkaji, bereksperimen
dan terus menggali isi Qur’an yang tak akan pernah habis untuk digali.

Metodologi ini pertama kali ditemukan Ust Lukman Abdul Qohar Sumabrata
(almarhum). Melalui pergulatan intelektual dan spiritualnya selama 20 tahun, beliau
telah menemukan makna-makna baru yang konsisten dan unik dalam susunan Qur’an.
susunan Qur’an dalam hal ini berupa unsur simbolik seperti huruf, angka, juz, surat
maupun ayat yang selama ini belum pernah diperhatikan secara khusus dalam study
Qur’an konvensional.
Sebagaimana metodologi ilmu tafsir pada umumnya, metodologi “Fenomenologi
Simbolik al-Qur’an” ini juga telah dikembangkan melalui kelompok diskusi atau pusat
studi Qur’an terutama di kalangan anak-anak muda (mahasiswa) di beberapa tempat.
Penemuan ini telah menjadi milik kolektif umat Islam, sebagai alternatif terhadap
metodologi ilmu tafsir konvensionalyang telah berkembang cukup lama.
Segi yang unik dari metodologi ini terletak pada model pemaknaannya yang langsung
berkaitan dengan aspek konkrit kehidupan manusia. Misalnya, setiap simbol dalam
Qur’an merupakan gambaran real setiap manusia. Interpretasi yang dilakukan juga
tidak semata-mata bersifat teoritis-spekulatif, melainkan telah di-deduksikan dan diuji-
cobakan melalui eksperimen empirik.

Melalui metodologi ini, keseluruhan fenomena simbolik dalam Qur’an baik huruf (abjad),
angka, surat maupun juz, secara logis-empiris dapat dibuktikan memiliki realitas
obyektif, baik berupa fenomena budaya, manusia maupun alam semesta.
Proses kreatif yang dialami Ust Lukman Abdul Qohar Sumabrata tersebut,
sebagaimana telah terbukti dapat ditransfer oleh setiap orang, merupakan peristiwa
yang dapat dialami setiap orang. Proses tersebut dapat terjadi apabila seseorang
memformat diri dengan membaca teks Qur’an, yaitu membacanya tanpa pretensi untuk
menerjemahkan ayat itu ke dalam bahasa budaya. Pemaknaan terhadap Qur’an
merupakan “tanggung jawab” Qur’an itu sendiri yang secara eksistensial berada dalam
struktur tubuh setiap manusia. Dengan kata lain, oleh karena ke-114 surat dalam
Qur’an merupakan gambaran mikro dan makro-kosmik, maka ketika manusia membaca
seluruh kandungan Qur’an secara eksistensial berarti ia bercermin dan berdialog.
Membaca Qur’an merupakan salah satu sarana manusia melakukan dialog, baik
internal dengan diri sendiri maupun dialog eksternal dengan alam semesta termasuk
dialog simbolik dan energetik.

Apabila penjelalasan ini perlu dilegitimasi oleh ayat Qur’an, maka ada beberapa ayat
yang dapat dipakai untuk membenarkan metode ini, yaitu dalam surat ke-75 (Al-
Qiyamah) ayat 16-19:
16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya. 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila
Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. 19. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.
Inilah salah satu prinsip metodologis pemahaman Qur’an. pada instansi pertama, orang
perlu membaca Qur’an sebagai sarana untuk bercermin dan mengenal diri apa yang
dialami ust Lukman, setelah berkali-kali tamat dalam membaca Qur’an, seluruh anggota
tubuh berbicara secara simbolik melalui gerakan-gerakan tertentu dan menuntut diberi
pemaknaan. Kesadarannya masih terkontrol tetapi tak berdaya untuk menahan dan
menolak gerakan yang ia sendiri tidak menginginkannya, misalnya dia mengalami
kebutaan selama beberapa hari. Tetapi ironiknya kebutaan tersebut hanyalah
merupakan sandi yang harus dipecahkan oleh dirinya melalui suatu pemaknaan
keilmuan tertentu, sesuai dengan sandi-sandi yang ada dalam Qur’an
Setiap sandi yang ia terima dari tubuhnya haruslah diterjemahkan ke dalam suatu
konsepsi atau pengertian tertentu, berkaitan dengan sandi yang ada dalam Qur’an. jika
suatu sandi belum terpecahkan maka ia akan tetap dikerjakan oleh dirinya sendiri.
Sandi keilmuan itu muncul baik pada waktu salat, pada saat ia membaca Qur’an atau
pada saat ia memikirkan makna Qur’an. sandi keilmuan bedatangan bertubi-tubi melalui
berbagai bentuk misalnya: tiba-tiba kaki lumpuh, mulut bisu, berjalan mundur, tiba-tiba
dirinya disujudkan, tangan bergerak tak terkendali dan gerakan lain yang
mencerminkan bentuk huruf (abjad) tertentu
Dengan dasar inilah kemudian ditemukan makna sandi yang ada di dalam Qur’an.
sebenarnya proses spiritual semacam ini banyak disinyalir dalam Qur’an, misalnya
surat ke 36 (Yasiin) ayat 65 dan surat ke 41 (Fushilat) ayat 35
[36.65] Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan
mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka
usahakan.
[41.53] Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al
Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
Dengan ayat ini jelaslah bahwa struktur tubuh kita sesungguhnya mencerminkan suatu
bentuk susunan sandi (ayat) sebagaimana susunan Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu,
seseorang dapat mencapai tingkat “mukayafah” (kepekaan tinggi) dengan cara
membaca Qur’an. ketika seseorang telah mencapai tertentu, maka setiap anggota
tubuh dapat berbicara memberikan simbol dan sinyal keilmuan sebagaimana
dinyatakan ayat tersebut di atas dan itulah pengalaman spiritual.

Seekor laba-laba pun telah memberikan pelajaran pada kita, bagaimana ia tak pernah
berputus asa membangun rumahnya yang rapuh itu, meskipun rumahnya dirusak
beribu kali. Oleh karena itu, dalam surat ke 29 (al-ankabut) ayat 69 disebutkan:
[29.69] Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Dengan demikian dalam konteks sekarang ini kepentingan kita barangkali tidak lagi
terpaku pada bagaimana, kenapa, dan oleh siapa suatu “metodologi baru” Qur’an itu
ditemukan. Kepentingan yang lebih urgen untuk saat ini barangkali bagaimana menguji
“penemuan” itu secara ilmiah. Apakah suatu penemuan itu dapat membuktikan dirinya
sebagai sesuatu yang logis, konsisten dan bermanfaat bagi manusia
Beberapa Asumsi Dasar (Paradigma)

Metodologi Fenomenologi simbolik yang dikembangkan untuk melakukan interpretasi


terhadap aspek simbolik susunan Qur’an didasarkan atas asumsi sebagai berukut:
1.       Qur’an kitab yang di tulis dalam bahasa sandi atau simbol. Dengan demikian Qur’an
bukan hanya berupa susunan tanda bunyi yang mencerminkan bahasa lisan atau
bahasa bunyi (kata-kata verbalis)
2.       Qur’an satu kitab yang disusun dalam suatu format tertentu dan didalamnya
terkandung berbagai unsur simbolik yang tersusun secara holistik. Setiap unsur terkait
satu sama lain dan saling memberikan makna simbolik terhadap keseluruhannya
3.       Mustahil jika setiap unsur simbolik yang tertera dalam susunan Qur’an itu tidak
mengandung makna atau pesan keilmuan
4.       Setiap unsur simbolik dalam Qur’an memiliki karakter khusus sebagaimana setiap
unsur alam semesta , termasuk manusia memiliki karakter yang khas pula
5.       Nilai dan letak kewahyuan yang paling dalam dari Qur’an bukan pada susunan
bahasa verbalnya yang umum disebut ayat, tetapi pada susunan reaksi unsur-unsur
simboliknya
Melalui dasar asumsi inilah maka kita dapat memahani adanya berbagai sinyalemen
bahwa:
1.       Qur’an diturunkan per huruf/sandi
2.       Ayat Qur’an diterima dalam bentuk gemuruhnya angin/badai
3.       Ayat Qur’an diterima dalam bentuk dialog internal seorang Muhammad, gerak-gerik
alam semesta yang diantisipasinya dengan kata-kata “aku mengerti”
4.       Qur’an tidak dapat dialih-sandikan, apalagi dialih-bahasakan. Qur’an hanya hanya
dapat dibaca dengan mata agar si pembaca mengalami dialog internal, yakni
menghidupkan unsur sel (fisika, kimiawi dan biologis) yang ada dalam dirinya. Terbukti,
dengan membaca Qur’an secara tepat memperlancar proses metabolisme dalam tubuh

Dalam konteks studi fenomenologi Qur’an ini, beberapa teori yang dapat dirumuskan,
antara lain:
1.       (huruf Qur’an) huruf/abjad yang dipakai untuk menulis Qur’an di samping
merupakan tanda dari bunyi tertentu juga memiliki makna simbolik atau merupakan
simbol yang mewakili realitas obyektif tertentu
2.       (angka) angka dalam Qur’an memliki kebenaran tersendiri. angka dalam kaitan
nomor surat, ayat maupun juz merupakan petunjuk adanya keterkaitan antara berbagai
unsur simbolik
3.       (surat) nama-nama surat dalam Qur’an di samping merupakan simbol dari benda
alam semesta juga mencerminkan karakteristik unsur alam semesta termasuk juga
karakteristik manusia yang merupakan gambaran kompleksitas eksistensial manusia,
baik perjalanan hidup, karakteristik, maupun dimensi kebudayaannya
4.       (juz) juz dalam Qur’an gambaran perbedaan karakter setiap manusia. Setiap orang
memiliki juz dalam Qur’an. membaca juz sarana efektif untuk melakukan pengenalan
diri dan membaca juz dapat dijadikan sarana penyembuhan segala macam penyakit.
Psikologi Qur’an sangat bermanfaat bagi penjelasan mengenai berbagai variasi tingkah
laku dan sifat dasar setiap orang
5.       (‘ain) tanda ‘ain dalam susunan format Qur’an catatan kaki. Dapat dipakai untuk
mendeteksi kelemahan dan kelebihan fisik setiap orang dalam konteks juznya. Jumlah
tanda ‘ain dalam setiap juz mencerminkan struktur tententu yang menggambarkan
eksistensi manusia. Filsafat manusia dan kebudayaan dalam Qur’an antara lain terletak
pada susunan tanda ‘ain

Semangat bereksperimen dan pembuktian

Kepentingan kita selanjutnya menguji beberapa penjelasan teori di atas dalam


eksperimen. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menguji kebenaran teori di
atas. Pertama ajukanlah suatu pertanyaan sebagai berikut:
1.      Saya ini orang yang berjuz berapa?
2.      Kenapa saya memiliki kelemahan/keluhan
3.      Fisik yang laten?bagaimana penjelasannya? Kenapa saya memiliki kecenderungan
tertentu memandang masalah, melakukan sesuatu dan memecahkan masalah di mana
letak sandi tertulisnya dalam Qur’an?
Pertama, carilah jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut di atas dengan cara
bertadarus 30 juz dengan kaidah baca yang telah ditentukan
Kedua, lakukanlah pendataan susunan Qur’an, niscaya akan dapat ditemui berbagai
pola yang sistematik dan mengundang pertanyaan
Ketiga, lakukan percobaan melakukan self-terapi dengan cara membaca Qur’an secara
tepat, sebab Qur’an menjanjikan dirinya sebagai asyifa, atau obat segala obat. Dengan
demikian, studi ini menuntut kita semua untuk melakukan eksplorasi serius tentang isi
Qur’an sehingga kita terbiasa untuk tidak mudah percaya sebelum mengerti dan
memahami.

Mushaf Utsmani sebagai dasar penemuan

Jika kita ingin pertanyakan bagaimanakah Qur’an itu disusun? Atau, bagaimanakah
susunan Qur’an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Qur’an yang
disepakati umat Islam di seluruh dunia? Pernahkah kita berfikir tentang keaslian
Qur’an? apakah kita yakin, bahwa Qur’an yang kita warisi sekarang masih asli? Inilah
beberapa pertanyaan yang cukup menggelitik kita, paling tidak memancing kuriositi kita
untuk mengetahui bagaimanakah sejarah kodifikasi Qur’an itu sendiri.
Selama ini cetakan Qur’an yang beredar kita ketahui dinamai mushaf Utsmani, yang
terdapat beberapa ciri yang paling menyolok antara lain: disusun dalam 114 surat, 30
juz, 6236 ayat, urutan nama surat berawal dari surat al-fatihah sampai an-nas yang
demikian tidak didasarkan atas kronologi turunnya ayat,  namun dari segi
pencetakkannya diterbitkan dalam berbagai variasi perwajahan
Dengan adanya pengukuran-pengukuran terhadap setiap indikator mengakibatkan
adanya keteraturan format. Al Qur'an yang menjadi obyek study metoda ini sebagai
dasar penemuan formatnya sangat teratur dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Terdiri dari 30 Al Juz, dimana setiap Al Juz terdiri dari 16 halaman kecuali juz 1
sebanyak 15 halaman dan juz 30 sebanyak 21 halaman, dan awal Al Juz selalu dimulai
dari halaman sebelah kiri.
2.      Ayat pertama atau sebagian dari ayat pertama dalam Juz huruf-hurufnya ada yang
dicetak tebal.
3.      Tidak ada ayat yang terpotong oleh halaman kecuali halaman 484
4.      Terdiri atas 114 Surat, 6236 Ayat, 558 Tanda Ruku' [ Í ].
5.      Terdiri atas 485 Halaman dimana setiap halaman terdiri dari 18 Baris.
6.      Halaman dua (2) dan-halaman tiga (3) format barisnya berbeda dengan halaman-
halaman lainnya dan pada halaman satu (1 ) angka yang menunjukkan halamannya
tidak ditulis .

Inilah ciri-ciri format Qur’an mushaf Utsmani yang mendasari dari penemuan
fenomenologi simbolik Qur’an sehingga dikala kita ingin memasuki dalam sistem baca
sesuai format keilmuan ini maka menganjurkan kita untuk membaca Qur’an dengan
cetakan yang sesuai dengan ciri-ciri diatas.

Anda mungkin juga menyukai