Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PERDATA

“Analisis Kritis terhadap Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen”

By
ASKAR
002202522020

Perdagangan elektronik atau E- Commerce adalah modal bisnis

yang memungkinkan perusahaan atau individu bisa membeli atau menjual

barang melalui internet (online). Saat ini hampir semua produk ataupun

jasa telah tersedia di internet dari mulai makanan, musik, pakaian, buku,

perabotan rumah tangga, tiket pesawat, investasi bisa dibeli lewat E-

Commerce.

Akses E- Commerce juga saat ini sangat dimudahkan dengan

kemajuan teknologi yang semakin canggih sehingga telah menghadirkan

banyak fasilitas sebagai sarana kelancaran roda perokonomian. Mulai dari

pengiklanan produk-produk terbaru yang bisa kita lihat melalui platfrom

seperti media sosial, youtube, TV, bahkan juga telah tersedia berbagai

macam aplikasi online khusus sebagai market untuk menjual beragam

macam produk-produk/barang atau jasa.

Kemudahan mendapatkan informasi atas suatu produk/barang

melalui online begitu gampangnya dewasa ini, bahkan dapat menembus

ke setiap lapisan masyarakat baik itu orang dewasa ataupun anak-anak,


juga tidak terbatas pada suatu ruang ataupun waktu. Transaksi pun tidak

lagi dilakukan secara konvensional yang mengharuskan pembeli

berinteraksi langsung dengan penjual atau adanya keharusan

menggunakan uang tunai (face to face).

Dampak dari kehadiran E- Commerce ini di satu sisi membawa

keuntungan dan manfaat secara ekonomi bagi banyak orang, namun juga

berpotensi melemahkan perlindungan konsumen karena praktik usaha

yang unfair, menyesatkan, dan bentuk lain yang merugikan kepentingan

konsumen. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tidak semua pelaku

usaha mempunyai concern pada isu perlindungan konsumen. Sebagai

contoh informasi yang diperoleh dari iklan di media online cenderung tidak

sesuai dengan barang yang di beli.

Pembeli selaku konsumen mempunyai hak atas informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan dan/atau jasa. Hal

mana telah diatur dalam Pasal 4 huruf c undang-undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Olehnya itu akses perlindungan

konsumen dengan kahadiran E- Commerce ini harusnya dapat dijangkau

oleh UU Perlindungan Konsumen terutama dalam hal pengawasan.

Pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan

terhadap konsumen, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, Namun pada kenyataanya terdapat

banyak kelemahan dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut dalam


menghadapi tantangan perkembangan zaman seperti kehadiran E-

Commerce.

Kelemahan undang-undang perlindungan Konsumen bisa kita lihat

misalnya dalam Pasal 30 mengenai pengawasan. bahwa pengawasan

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan

ketentuan peraturan perundang-undangannya di selenggarakan oleh

pemerintah, masyarakat , dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat . Pengawasan oleh pemerintah di laksanakan oleh menteri

dan atau menteri teknis terkait. Pengawasan oleh masyarakat dan

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan

terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar. Bentuk

pengawasan yang dilakukan di dalam memberikan perlindungan terhadap

konsumen ialah dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survey,

terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang resiko

penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang

diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan

kebiasaan dalam praktek dunia usaha.

Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, hak-hak konsumen

sebagaimana disebutkan dalam UU Perlindungan Konsumen terkesan

hanya terbatas pada aktivitas jual-beli yang sifatnya konvensional. Di

samping itu, perlindungan pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan

produk (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Sedangkan perlindungan

dari sisi produsen/pelaku usaha, seperti informasi tentang identitas dan


alamat/tempat bisnis pelaku usaha/produsen, baik kantor cabang

maupun kantor utamanya serta jaminan kerahasiaan data-data milik

konsumen diabaikan. Padahal hal-hal tersebut sangat penting diatur untuk

keamanan konsumen dalam bertransaksi. 1 Dari penjelasan ini bisa kita

lihat bahwa Pasal 30 UU Perlidungan Konsumen terkait pengawasan

terbatas pada pasar konvesional dan belum menjangkau pasar dalam

pengertian E- Commerce.

Di dalam jual beli melalui internet, sering kali terjadi kecurangan.

Kecurangan-kecurangan tersebut dapat terjadi yang menyangkut

keberadaan pelaku usaha, barang yang dibeli, harga barang, dan

pembayaran oleh konsumen. Kecurangan yang menyangkut pelaku

usaha, misalnya pelaku usaha (virtual store) yang bersangkutan

merupakan toko yang fiktif. Pertanyaan nya adalah apakah pengawasan

oleh pemerintah melalui menteri atau lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat (LPSKM) mampu mengakomodir problem diatas.

Secara garis besar, dapat ditemukan beberapa permasalahan yang

timbul yang berkenaan dengan hak-hak konsumen dalam transaksi E-

Commerce, antara lain :2

1. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau

menyentuh barang yang akan dipesan;

1
Rina Aringintri Moksi, 2006, "Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual
Beli Secara E-Commerce." Tesis, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, hlm. 78.
2
Abdurrahman Mazli, 2021, Urgensi Pembaruan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Indonesia di era E- Commerce, Yogyakarta: Lex Renaissan.
2. Ketidakjelasan informasi tentang produk yang ditawarkan dan/atau

tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh berbagai

informasi yang layak diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan

untuk mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;

3. Tidak jelasnya status subjek hukum dari pelaku usaha;

4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta

penjelasan terhadap risiko-risiko yang berkenaan dengan sistem

yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran secara

elektronik, baik dengan credit card maupun electronic cash;

5. Pembebanan risiko yang tidak berimbang karena umumnya

terhadap jual beli di internet pembayaran telah lunas dilakukan di

muka oleh konsumen, sedangkan barang belum tentu diterima atau

akan menyusul kemudian, karena jaminan yang ada adalah

jaminan pengiriman barang bukan penerimaan barang;

6. Transaksi yang bersifat lintas batas negara borderless,

menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana

yang sepatutnya diberlakukan.

Permasalahan diatas terlihat jelas bahwa hak-hak konsumen dalam

transaksi E- Commerce sangat riskan dilanggar dan menempatkan

konsumen berada dalam posisi tawar yang lemah. Sehingga peran

pemerintah dalam melakukan pengawasan dalam perdagangan melalui E-

Commerce perlu dirumuskan dengan baik dan jelas dengan demikian

konsumen dapat merasa aman dalam bertransaksi melalui E- Commerce.


Menurut penulis Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen memiliki

kelemahan dalam hal pemberian akses pengawasan dan perlindungan

terhadap Konsumen di lingkungan pasar E- Commerce sehingga perlu

adanya revisi yang merumuskan bagaimana peran pemerintah ataupun

lembaga khusus seperti LPSKM dalam melakukan pengawasan yang

bukan hanya terbatas pada barang dan atau jasa yang beredar di market

place melainkan juga keberadaan toko-toko fiktif yang dapat merugikan

konsumen.

Anda mungkin juga menyukai