Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh:
ROBINSON BALLA/1874201003

JURUSAN HUKUM
UNIVERSITAS PERSATUAN GURU 1945 NTT
2021
SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai
sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun sebagian besar peraturan-peraturan
tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen pada saat itu antara lain:
1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545,jo. S. 1913 No. 214.
2. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S.1927-449, jo. S.
1940-14 dan 450.
3. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat). S. 1931 No.28.
4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509.
5. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143.
6. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 No. 161.
7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih),S. 1936-671.
8. Sterkwerkarnde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi ObatKeras), S.
1937-641.
9. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan), S.
1938-86.

Pada sisi lain, dalam beberapa kitab undang-undang juga terdapat


beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk melindungi konsumen, yaitu:
1. KUH Perdata: Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur tentang kewajiban penjual
dalam perjanjian jual beli.
2. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan
penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan mengenai
perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan,dan sebagainya.
3. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merekpersaingan
curang, dan sebagainya.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia hingga tahun 1999, undang-
undang Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen. Namun
peraturan perundang-undangan di Indonesia berusaha untuk memenuhi unsur-
unsur perlindungan konsumen. Kendatipun demikian, beberapa peraturan
perundang-undangan tersebut belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum
tentang hak-hak kon sumen. Misalnya:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Metrologi Legal.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia).
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
12. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1987.
15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek
17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
20. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
21. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hiruk pikuk gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar
dan populer pada tahun 1970-an, yakni dengan berdirinya lembaga swadaya
masyarakat (non governmental organization)" Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Organisasi ini untuk pertama kalinya
dipimpin oleh Lasmidjah Hardi." Organisasi lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang perlindungan konsumen, tentu saja dalam aktivitasnya
bertindak selaku perwakilan konsumen consumer representation) yang bertujuan
untuk melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen."
Pada awalnya, YLKI berdiri berdasarkan rasa mawas diri terhadap promosi
hasil produksi barang-barang dalam negeri. Pada tahun 1972, Lasmidjah Hardi
memimpin kegiatan Pekan Swakarya, yang berupa aksi promosi terhadap
berbagai barang dalam negeri. Setelah Swakarya I muncul desakan masyarakat,
bahwa kegiatan promosi harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan,
agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas barang terjamin. Dari ajang Pekan
Swakarya ini lahir YLKI yang ide-idenya dituangkan dalam anggaran dasar YLKI di
hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan akta nomor 26, 11 Mei
1973."
Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen
(pelaku usaha), apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan oleh YLKI dengan
menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III. Kegiatan ini akhirnya
benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. Dalam suasana
kerjasama ini kemudian YLKI melahirkan lahir moto; "Melindungi konsumen,
Menjaga Martabat Produsen, dan Membantu Pemerintah".20
Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang berbasis
perlindungan konsumen. Pada Februari 1988, berdiri Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang dan bergabung sebagai anggota
Consumers International (CI) tahun 1990. Hingga pada saat ini cukup banyak
lembaga swadaya masyarakat. kat serupa yang berorientasi pada kepentingan
pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia
(YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLBKI di berbagai provinsi di Tanah Air."
Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak mau. pun
elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas
keluhan-keluhan konsumen, juga turut menggalakkan pergerakan perlindungan
konsumen di Indonesia. Hasil-hasil pene. litian YLBKI yang dipublikasikan di
media massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen
terhadap publikasi demikian juga terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan, baik
berupa koreksi maupun bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan
memasuki dasawarsa ketiga. YLKI mampu berperan besar, khusus nya dalam
gerakan menyadarkan konsumen terhadap hak-haknya.
Demikian juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pembahasan
peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai mitra yang representatif.
Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran
atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau
pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga
mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.
Selanjutnya, pergerakan pemberdayaan konsumen semakin gencar, baik
melalui ceramah, seminar, tulisan, dan media massa. Gerakan konsumen di
Indonesia, termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah
naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada
tanggal 20 April 1999.12
Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak terlepas
dari dinamika politik di Indonesia. Iklim politik yang lebih demokratis ditandai
dengan gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan
pergantian Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B.J. Habibie.
Kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan, bersamaan dengan itu
pula tuntutan untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
semakin menguat.
Hal ini ditandai dengan keberanian DPR menggunakan hak inisiatifnya
untuk mengajukan rancangan undang-undang, yang selama kepemimpinan
Soeharto tidak pernah digunakan. Rancangan usul inisiatif pertama yang diajukan
DPR adalah Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain untuk mendapatkan
pengakuan dari pemerintah dan masyarakat, keberanian DPR dalam mengajukan
rancangan usul inisiatif ini menjadi penting bagi konsumen, karena orientasi
pemikiran legislatif sudah berorientasi kepada kepentingan konsumen.
Selain itu, faktor yang memengaruhi pembentukan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah munculnya beberapa kasus yang
merugikan konsumen dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak memuaskan
konsumen. Kasus Republik Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimun
Tannoyang dikenal dengan kasus biskuit beracun, gugatan konsumen hanya
dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban atau konsumen
tidak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata.
Dalam kasus Janizal dkk v. PT Kentamik Super International yang dikenal dengan
kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan bahkan
pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena dinilai telah melakukan
pencemaran nama baik.
Di lain pihak, faktor yang juga turut mendorong pembentukan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah perkembangan sistem
perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization
(WTO), maupun program International Monetary Fund (IMF), dan Program Bank
Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian perdagangan dunia
diikuti dengan dorongan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan
harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.

Bahwa pelaksanaan perlindungan konsumen memerlukan pembinaan


sikap, baik dari pelaku usaha maupun konsumen. Pembinaan sikap tersebut
dilakukan melalui pendidikan sebagai salah satu media sosialisasi. Karena itu pula
pendidikan konsumen diperlukan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen.
Akhirnya, karena kepentingan perlindungan terhadap hak-hak konsumen
mendorong lahirnya organisasi no pemerintah non governmental organi di bidang
perlindungan konsumen seperti YLKI Yusuf Shofie, Perlindungan konsumen dan
instrumen-instrumen Huuma

Berbicara mengenai hukum perlindungan konsumen memang sangat


memprihatinkan, dan menjadi perhatian buat kita semua. Sebab di dalam hukum
perlindungn konsumen itulah terdapat atruran yang mengikat antara konsumen
dan produsen. Dalam berbgai literatur,ada 2 pengertian mengenai perlindungan
konsumen. Yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Menurut
A.Z Nasution ialah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. Sedangkan
hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung
sifat yang melindungi kepentingan konsumen39 . Namun berbicara hukum
perlindungan konsumen, selalu menjadi momok bagi produsen. sebab konsumen
lah yang selalu mendapatkan hak dari padanya, padahal disini timbul hukum
perlindungan konsumen ialah untuk mngatur keseimbangan hak antara konsumen
dan produsen. Disinilah kita membUtuhkan peran-peran pemerintah dalam
menrgontrol dan mengawasi, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling
berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan mensejahterahkan
masyarakat secara luas dapat tercapai. Ini semua tidak lari dari pada bagaimana
peran pemerintah dalam mengontrol dan mempubikasikan mana yang boleh dan
mana yang tidak. Padahal dapat dilihat dari tahun 1978, MPR seebuh lembaga
tinggi pemerintahan di Indonsia telah dengan tegas menjelaskan bahwa adanya
subjek hukum yaitu konsumen dalam ketetapan MPR Republik Indonesia (TAP-
MPR) tanggal 9 maret 1993 No. II/MPR/1993.
Perlindungan hukum konsumen merupakan bagian dari hukum publik dan
hukum privat. Mengapa dikatakan sedemikian, perlindungan konsumen dikatakan
hukum publik karena sebenarnya di sinilah peran pemerintah untuk melindungi
seluruh konsumen dari produk-produk yang tidak berkualitas atau dari pelaku
usaha yang berniat buruk. Dari pembicaraan mengenai TAP MPR di atas jelas
menegaskan bahwa pemrinth harus ikut andil dalam perlindungan
konsumen.Definisi perlindungan konsumen pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen negara kita adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”, diharapkan ini sebagai
acuan yang tidak semestinya meerugikan pelaku usaha, namun harus berimbang
kepada hak kosumen.
Meskipun disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen namun bukan
berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena
keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.
Bahkan dari negara negara luar sudah mengenal perlidungan konsumen, bahkan
dari organisasi PBB. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya resolusi perserikatan
bangsa-bangsa No.39/248 tahun 1985.
Perlindungan konsumen harus menjadi perhatian kita saaat ini, dengan
menilai negara kita hidup dengan investasi luar dan membuat negara kita
tergantung akan hal itu. Karena persaingan perdagangan internasional dapat
membawa pemikiran negatif bagi perlindungan konsumen.
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen masih mengalami
banyak tantangan, baik pada lingkup nasional maupun internasional. Berikut ini
diuraikan beberapa tantangan hukum perlindungan konsumen tersebut:

1) Lemahnya kedudukan konsumen terhadap pelaku usaha

Hubungan pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya adalah hubungan


yang saling ketergantungan. Pelaku usaha membutuhkan konsumen sebagai
pembeli barang dan atau jasa yang ia produksi, sehingga keberadaan konsumen
sangat menentukan terhadap kelangsungan bisnis dari pelaku usaha. Di satu
sisi konsumen juga membutuhkan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh
pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga konsumen
memiliki ketergantungan kepada pelaku usaha.

Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen idealnya sama-sama


memiliki posisi tawar yang seimbang. Namun yang terjadi dalam praktiknya
sering kedudukan posisi tawar pelaku usaha lebih kuat dari konsumen. Hal ini
disebabkan karena konsumen dihadapkan kepada kekuatan kapital/modal
maupun Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku usaha yang lebih unggul.
Pelaku usaha dengan kekuatan modalnya sering dalam memasarkan
produknya senantiasa membebankan hak dan kewajiban yang tidak seimbang
kepada konsumen. Salah satunya diwujudkan dengan penggunaan format
perjanjian baku (standart contract) dalam kegiatan usahanya. Pada dasarnya,
suatu perjanjian dibuat berdasarkan negosiasi oleh para pihak, tetapi dengan
penggunaan perjanjian baku ini, isi perjanjian telah ditentukan secara sepihak
oleh pelaku usaha. Konsumen tidak memiliki posisi tawar (bergaining position)
yang seimbang dengan pelaku usaha, di mana dalam hal ini konsumen hanya
dapat menerima atau menolak syarat-syarat perjanjian yang telah ditentukan
pelaku usaha (take it or leave it). Jika konsumen menolak perjanjian tersebut
dan mendatangi pelaku usaha lain, maka ia akan dihadapkan pada kondisi yang
sama. Sehingga dengan posisinya yang lemah baik secara ekonomi maupun
psikologis (membutuhkan barang dan/jasa), maka konsumen harus menerima
persyaratan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam
kegiatan perdagangan, penggunaan perjanjian baku pada dasarnya tidak
dilarang karena merupakan wujud asas kebebasan berkontrak, dengan catatan
bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.

Selain keunggulan dalam hal modal, pelaku usaha juga memiliki


keunggulan dalam hal SDM. Dalam menghadapi tuntutan konsumen terkait
adanya kerugian yang dialami oleh konsumen, pelaku usaha memiliki SDM yang
relatif unggul daripada konsumen. Pelaku usaha akan dengan mudah
menyangkal tuntutan dari konsumen dengan mendasarkan pada keahlian
maupun pengetahuannya terkait dengan barang dan/atau yang ia produksi atau
ditawarkan. Sehingga jika konsumen tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku
usaha, yang menyebabkan kerugian konsumen, maka pelaku usaha tidak dapat
dimintai ganti kerugian. Sebaliknya dari sisi konsumen, kondisi konsumen yang
kurang teredukasi menyebabkan kedudukan konsumen semakin lemah. Selain
itu, dari sisi pelaku usaha kesadaran untuk bertanggung jawab atas barang
dan/jasa yang ia produksi juga kurang. Hal ini sangat terpengaruh doktrin caveat
emptor yang menentukan bahwa konsumenlah yang harus berhati-hati sebelum
membeli suatu produk dan bukan pelaku usaha yang harus berhati-hati (caveat
venditor) dalam memproduksi barang dan/atau jasa.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh pelaku usaha pada dasarnya pelaku
usaha lebih terorganisir baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal sesama
pelaku usaha. Sedangkan konsumen cenderung bersifat individual dalam
menghadapi permasalahan terkait hubungan konsumen dengan pelaku usaha.
Sehingga hal ini menyebabkan konsumen segan untuk menuntut hak-haknya
kepada pelaku usaha.
2) Industrialisasi dan kemajuan teknologi

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk senantiasa membawa


dampak terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Awalnya kebutuhan manusia
dipenuhi dengan kegiatan produksi secara sederhana sesuai dengan kebutuhan
manusia. Namun dalam perkembangannya seiring meningkatnya kebutuhan
akan barang, kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dengan kegiatan produksi
secara sederhana atau dalam skala kecil.
Seiring dengan peningkatan jumlah kebutuhan barang-barang dan
perkembangan kemajuan teknologi di bidang mesin-mesin produksi, di mana
kegiatan produksi barang dilakukan menggunakan mesin-mesin pabrik canggih
yang dapat memproduksi barang dalam jumlah yang banyak (massal). Proses
kegiatan produksi semacam ini di sebut dengan industrialisasi.

Industrialisasi di satu sisi dapat memberikan keuntungan kepada konsumen,


karena konsumen memiliki banyak pilihan terhadap barang yang akan ia beli.
Namun di satu sisi juga dapat menyebabkan kerugian kepada konsumen.
Produksi barang yang dibuat secara massal cenderung lebih mengedepankan
kuantitas barang yang diproduksi daripada kualitas barang itu sendiri. Bagi
konsumen yang kurang teredukasi sangat rentan dirugikan akibat beredarnya
barang-barang yang memiliki kualitas rendah. Selanjutnya bagi konsumen kelas
bawah dihadapkan pada pilihan terhadap barang-barang kualitas rendah, yang
pada dasarnya merupakan barang cacat produksi yang dijual secara murah.

Kegiatan industrialisasi juga dapat menyebabkan persaingan usaha yang


tidak sehat di mana para pelaku usaha saling berlomba-lomba untuk menguasai
pasar. Untuk menarik konsumennya para pelaku usaha senantiasa memberikan
penawaran yang murah kepada konsumen, yang pada akhirnya menurunkan
kualitas barang agar dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Kondisi
demikian pada akhirnya akan merugikan konsumen, di mana konsumen akan
mendapatkan barang-barang yang berkualitas rendah.
3) Globalisasi dan perdagangan bebas

Globalisasi dan perdagangan bebas telah memperluas gerak distribusi


barang dan/atau jasa. Pada awalnya distribusi barang dan/atau jasa hanya
dapat dilaksanakan dalam suatu wilayah negara saja. Perkembangan saat ini
menunjukkan bahwa distribusi barang dan/atau jasa tidak bisa dibendung di
dalam pasar dalam negeri saja tetapi juga telah melewati batas-batas negara.
Hal ini ditunjang dengan berkembangnya teknologi dan transportasi yang
semakin mempermudah berbagai kegiatan ekonomi melewati batas-batas
negara (Yusuf Sofie, 2009: 3-4).

Perdagangan bebas juga membawa konsekuensi bahwa semua barang


dan/ atau jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke negara lain.
Masuknya barang-barang dari negara lain selain membawa keuntungan kepada
konsumen terkait barang-barang impor, tetapi juga dapat menimbulkan dampak
negatif bagi konsumen. Lemahnya pengawasan oleh pihak terkait acap kali
menyebabkan barang-barang yang tidak layak atau mengandung bahan
berbahaya masuk atau beredar ke negara tujuan. Beberapa kasus yang pernah
terjadi antara lain kasus sapi gila, kasus kosmetik berbahaya, kasus barang
pecah belah yang mengandung melamin, dll.

Anda mungkin juga menyukai