Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Imelda Indah
Nim. 710522014

A. Sejarah Perlindungan Konsumen di Dunia Barat


1. Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat
Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan
dalam masalah perlindungan konsumen. Perhatian terhadap perlindungan
konsumen di Amerika Serikat (1960-an 1970-an) mengalami perkembangan yang
signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum,
dengan munculnya bukubuku yang membahas perlindungan konsumen,
diundangkannya banyak peraturan serta diikuti dengan putusan hakim yang
memperkuat kedudukan konsumen.
Amerika Serikat adalah negara yang memiliki andil paling banyak terhadap
perlindungan konsumen (Consumer Protection). Sejarah perlindungan konsumen di
Amerika Serikat dimulai pada akhir abad XIX dengan munculnya gerakan-gerakan
konsumen (Consumer Movements). Pada tahun 1891 di New York dibentuk Liga
Konsumen yang pertama. Pada tahun 1898 dibentuklah The National Consumer’s
League sebagai perkumpulan konsumen tingkat nasional Amerika Serikat. 1
Pada tahun 1906, penulis terkenal Amerika, Upton Sinclair menulis buku The
Jungle yang mengungkapkan kondisi buruk industri pengemasan daging di
Amerika. Akibatnya, pada tahun itu juga mulai diberlakukan beberapa hukum
administratif yang bertujuan menjamin keberhasilan, kualitas, dan keamanan
makanan dan obat-obatan. Pada tahun yang sama lahir dua buah undang-undang
yang memberi perlindungan terhadap konsumen, yaitu The Food and Drugs Act dan
The Meat Inspection Act.
Pada tahun 1914 diberlakukan The Federal Trade Comission Act. Undang-undang
tersebut membuka kemungkinan terbentuknya komisi yang bergerak di bidang
perlindungan konsumen, yang disebut dengan Federal Trade Comission. Tragedi
Elixir Sulfanilamide tahun 1938 mendorong badan legislatif Amerika Serikat
melakukan amandemen terhadap The Food and Drugs Act 1906 yang menghasilkan
The Food, Drug, and Cosmetic Act, 1938. Elixir Sulfanilamide adalah sejenis obat
berbentuk sulfa yang telah menimbulkan kematian terhadap 93 orang konsumen di
Amerika pada tahun 1937. Selain itu diundangkannya juga the Wool Products Labeling
Act (1940), dan the Fur Products Labeling Act (1951), serta the Fiber Products
Indetification Act (1958).
Saat ini lembaga perlindungan konsumen pemerintah federal yang ada di
Amerika Serikat, diantaranya adalah:

1
David Oughton, dkk. Textbook on Consumer Law. (London: Blackstone Press, 1997).
a) Food and Drug Administration (FDA) yang mengawasi penggunaan zat-zat
berbahaya yang terdapat dalam makanan, obat dan kosmetik atau produk
yang mudah terbakar;
b) Securities and Exchange Commission yang melindungi konsumen penanaman
modal dalam surat saham dan obligasi;
c) Federal Trade Commission yang menegakkan hukum dalam hal terjadi iklan
yang menipu atau menyesatkan;
d) US Postal Services yang melakukan pencegahan dan penumpasan
kecurangan melalui penggunaan surat.
Gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat pada era 1960-an
mencatat kejadian penting yakni pada 15 Maret 1962 pada saat Presiden John F.
Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat.
Dalam Pidato yang berjudul A Special Message of Protection the.....
HKUM4312/MODUL 1 1.9 Consumen Interest, Kennedy mengemukakan empat hak
konsumen, yakni sebagai berikut: 2
a) The right to safety – to be protected against the marketing of good that are hazardoes
to health or life.
b) The right to be informed – to be protected against fraudulent, deceitful, or grossly,
misleading information, advertising, labeling, and other practices, and to be given
the facts needed to make informed choices.
c) The right to choose – to be assured, wherever possible, acces to a varietyof products
and services at competitive prices. And in those industries in which competition is
not workable and government regulation is subsituted, there should be assurance of
satisfactory quality and service at fair prices.
d) The right to be heard – to be assured that consumer interests will receive full and
sympathetic consideration in formulation of government policy and fair and
expeditatious treatment in its administrative tribunals.
Hak-hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy menginspirasi dan
dikembangkan lagi oleh penggantinya yakni presiden L.B. Johnson. Selain
mengingatkan kembali empat hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy, ia
juga memperkenalkan konsep hukum baru yang berkenaan dengan perlindungan
konsumen, yakni product warranty dan product liability. Selain itu, jasa presiden L.B.
Jhonson dalam perlindungan konsumen di Amerika Serikat yakni berhasil
mengajukan rancangan undangundang tentang “lending charges” dan “packaging
practices” yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1967 dan 1968.
Disetujuinya undang-undang di bidang perlindungan konsumen oleh Kongres
Amerika Serikat tidak terlepas dari sosialisasi dan gerakan perlindungan konsumen
yang terus menurus terjadi di Amerika Serikat. Salah satu publikasi hasil riset di
bidang perlindungan konsumen menggugah kesadaran pihak legislatif dan
yudikatif di Amerika Serikat yakni publikasi penelitian yang dilakukan oleh Ralp
2
Muhamad Qustulani. Modul Matakuliah Perlindungan Hukum & Konsumen. (Tangerang: PSP
Nusantara Press, 2018). Hal. 3
Nader dalam buku yang berjudul “Unsafe at Any Speed”. pada tahun 1966. Publikasi
ini menyimpulkan bahwa mayoritas kendaraan bermotor yang diproduksi di
Amerika Serikat mengabaikan keselamatan pengendaranya.

2. Perlindungan Konsumen di Eropa


Treaty of Rome 25 Maret 1957 menyebutkan bahwa anggota-anggota
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) harus membangun suatu pasar bersama dan
menjamin bahwa tidak ada penyimpangan dalam persaingan diantara mereka.
Pada tanggal 14 April 1975, MEE mengeluarkan Council Resolution on a
Preliminary Programme of The EEC for a Consumer and Information Policy. Resolusi
tersebut mengakui lima hak dasar konsumen, yaitu:
a) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan;
b) Hak atas perlindungan kepentingan ekonomi konsumen;
c) Hak untuk memperoleh ganti rugi;
d) Hak atas informasi dan pendidikan;
e) Hak untuk didengar.
Pada tahun 1976, The Council of Europe mengumumkan rancangan European
Convention on Products Liability in Regard to Personal Injury and Death yang dirancang
oleh European Committee for Legal Cooperation (CLC). Pada tahun yang sama The
Commission of the EEC menyerahkan rancangan pertama tentang Directive on Products
Liability kepada Committee of Ministers.
Sosialisasi dan gerakan-gerakan perlindungan konsumen kemudian juga
berkembang di berbagai negara baik di Eropa maupun di belahan bumi lainnya. Hal
ini ditandai dengan berdirinya organisasi atau lembaga pemerhati yang bergerak di
bidang perlindungan konsumen yang bersifat internasional, yakni International
Organization of Consumer Union (IOCU) pada tanggal 1 April 1960 yang berpusat di
Den Haag Belanda, dan berpindah ke London, Inggris pada tahun 1993. Dalam
Perkembangannya selanjutnya IOCU ini berubah nama menjadi Consumers
International (CI). Organisasi CI ini kemudian berkembang dan memiliki beberapa
kantor regional di beberapa negara.3

B. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia


Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak
Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat
dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang
menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat. Fokus gerakan
perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih pararel
dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20. Perkembangan ekonomi yang
pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang
dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang
3
Ibid. Hal. 5
lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi
perluasanruanggerakarustransaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara
variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar
negeri.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer
dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun
waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive terhadap
keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC)
No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah YLKI kemudian
muncul organisasiorganisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga
KonsumenIndonesia(YBLKI) di Bandung dan beberapa perwakilan di berbagai
propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan
kesadaran akan hak-hak konsumen karena lembaga ini tidak hanya sekedar
melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi
juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.
YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun
Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab
pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pada awal
tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah
dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti
penting adanya Undangundang Perlindungan Konsumen.
Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang
Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan
fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama
dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.Tetapi hasilnya sama saja, kedua
naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas
di DPR.
Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak
hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi
adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary
Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dapat dibentuk. Keberadaan Undang-undang Perlindunga
Konsumen merupakansimbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak
konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang
Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi
manusia, khususnya hak ekonomi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-
Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan
konsumen tetepi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan
tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang
diderita oleh konsumen merupakan akibatperilaku dari pelaku usaha, sehingga
perlu diatur agar tidak merugikan konsumen.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua
bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution
berpendapat bahwa ,”Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidahkaidah bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen”. Sedangkan
“Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu
sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.
Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan
Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha
dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telag dijalankan berbagai
pihak yang berkaitn dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen.
Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI,
bersama-sama dengan perguruanperguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk
mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan
tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan
naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-
Undang (Perlindungan Konsumen).
Kegiatan yang dibahas dalam acara pertemuan tersebut, yakni:
a) Pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh
Bakir Hasan dan dari sudut hukum oleh Az. Nasution) dalam Seminar
Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir Undang-
Undang ini pada tanggal 2 0April 1999.
b) Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian
tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c) BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-
undangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen
Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e) Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f) DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (tahun 1998).
C. Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Globalisasi dan perdagangan bebas telah memperluas gerak distribusi barang
dan/atau jasa. Pada awalnya distribusi barang dan/atau jasa hanya dapat
dilaksanakan dalam suatu wilayah negara saja. Perkembangan saat ini menunjukkan
bahwa distribusi barang dan/atau jasa tidak bisa dibendung di dalam pasar dalam
negeri saja tetapi juga telah melewati batas-batas negara. Hal ini ditunjang dengan
berkembangnya teknologi dan transportasi yang semakin mempermudah berbagai
kegiatan ekonomi melewati batas-batas Negara.
Perdagangan bebas juga membawa konsekuensi bahwa semua barang dan/
atau jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke negara lain. Masuknya
barangbarang dari negara lain selain membawa keuntungan kepada konsumen
terkait barang-barang impor, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi
konsumen. Lemahnya pengawasan oleh pihak terkait acap kali menyebabkan
barang-barang yang tidak layak atau mengandung bahan berbahaya masuk atau
beredar ke negara tujuan. Beberapa kasus yang pernah terjadi antara lain kasus sapi
gila, kasus kosmetik berbahaya, kasus barang pecah belah yang mengandung
melamin, dll.
1. Globalisasi Ekonomi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan
peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di
seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan
bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan
Internasionalisasi, dan istilah ini sering dipertukarkan. 4
Adapun Apridar mengemukakan bahwa kata globalisasi diambil dari kata
global, yang maknanya adalah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari
sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara di dunia makin terkait satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan
baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batasbatas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat.5
Globalisasi ekonomi merupakan suatu gerakan yang lambat laun membentuk
suatu otoritas baru dalam penguasaan aktivitas ekonomi seluruh negara. Sebagian
pengamat menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi adalah neoimperialisme,
sekalipun tidak keseluruhan globalisasi ekonomi itu negatif. 6 Gejala globalisasi
terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, dan perdagangan yang kemudian
memengaruhi tata hubungan ekonomi antarbangsa. Proses globalisasi itu telah

4
Apridar. Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam Aplikasinya. (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012). Hal. 261
5
Ibid.
6
Ali Yafie. Fiqih Perdagangan Bebas. (Jakarta: Teraju Mizan, 2003). Hal. 7
meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, bahkan
menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara
dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku
lagi.7
Globalisasi ekonomi menganut paham pasar bebas tanpa memperhatikan
varian situasi ekonomi berbagai negara yang belum tentu cocok melaksanakannya.
Sistem pasar bebas dipaksakan sepenuhnya sebagai hukum baru dalam mengatur
tata perekonomian Internasional (global). Hal tersebut jelas dapat menjadi ancaman
bagi negaranegara dunia ketiga. Sebab pasar bebas menuntut kesiapan dalam
banyak hal mulai kehandalan sumber daya manusia, ketersediaan infrastruktur
ekonomi, natural resources, maupun perantara hukum untuk menjamin kepastian
berusaha. Jika tidak, bangsa tersebut hanya akan menjadi bulanbulanan negara-
negara maju.
Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi adalah wujud
dari ekspansi modal negara-negara maju. Oleh karena itu, setiap upaya globalisasi
senantiasa berhimpitan dengan kepentingan bagaimana memperbesar modal
(kapital) yang mereka tanam. Pada mulanya modal asing akan berbicara untuk
kepentingan nasional negara yang bersangkutan, misalnya dengan dalih membuka
dan memperluas lapangan kerja, mempercepat kemakmuran rakyat, dan sejumlah
alasan yang sengaja dirancang untuk menyakinkan para penguasa negara yang
bersangkutan.8
Globalisasi ekonomi mengarah pada upaya liberalisasi ekonomi dan privatisasi
(swastanisasi). Ini merupakan konsekuensi dari ekspansi modal atau kapital yang
disebar negara-negara maju ke seluruh negara. Dengan demikian, globalisasi akan
melakukan perombakan struktur dan kebijakan nasional untuk dilaksanakan
dengan kepentingan global.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain
terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:9
a) Globalisasi produksi, dimana perusahaan berproduksi di berbagai negara,
dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan
baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah,
infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang
kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global;
b) Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga
kerja. Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi
tenaga kerja;

7
Hendra Halwani. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005). Hal.
194
8
Herlan Firmansyah dan Endang Hendra. (2015). Implikasi Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan
Bebas Terhadap Stabilitas Nilai Rupiah. Asy-Syari‘ah, Volume 17 Nomor 1: 45-54
9
Tanri Abeng dalam Apridar. Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori...Op.cit
c) Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk
memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk
portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia;
d) Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan
tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf
profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman
Internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara
berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin
mudah dan bebas;
e) Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan
cepat mendapatkan informasi dari negaranegara di dunia karena kemajuan
teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dana lain-lain. Dengan
jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar
ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama; dan
f) Globalisasi perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan
penyerahan tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan
demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat,
ketat, dan fair.

2. Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas merupakan suatu varian tersendiri dari perdagangan
Internasional. Perdagangan Internasional diartikan sebagai kegiatan transaksi
barang dan jasa yang dilakukan pelaku ekonomi antarnegara. Adapun perdagangan
bebas merupakan perdagangan Internasional tanpa adanya hambatan masuk seperti
tarif, kuota, bea impor, bea eksor, dumping, dan sebagainya.
Dalam perspektif makro ekonomi Islam, Naf’an10 mengemukakan bahwa
secara umum Islam memandang perdagangan Internasional sebagai berikut:
1) Aktivitas perdagangan merupakan hal yang mubah. Hanya saja, karena
perdagangan Internasional melibatkan negara dan juga warga negara asing,
maka negara Islam, dalam hal ini khalifah, bertanggung jawab untuk
mengontrol, mengendalikan dan mengaturnya sesuai dengan ketentuan
syariah. Membiarkannya tanpa adanya kontrol dan intervensi negara sama
dengan membatasi kewenangan negara untuk mengatur rakyatnya. Padahal
Rasulullah saw bersabda: “Imam itu adalah pemimpin dan ia bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya.”
2) Seluruh barang yang halal pada dasarnya dapat diperniagakan ke negara
lain. Meski demikian ekspor komoditas tertentu dapat dilarang oleh khalifah
jika menurut ijtihadnya bisa memberikan dlarar bagi negara Islam. Misalnya
ekspor senjata atau bahanbahan yang bisa memperkuat persenjataan negara
luar, seperti uranium, dana lain-lain. Sebab, komoditas semacam ini bisa
memperkuat negara luar untuk melakukan perlawanan kepada negara
10
Naf’an. Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014). Hal. 262-264
Islam. Khalifah juga boleh melarang ekpor komoditas tertentu yang
jumlahnya terbatas dan sangat dibutuhkan di dalam negeri, sehingga
kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. Dalam kaidah ushul dinyatakan:
“Setiap bagian dari perkara yang mubah jika ia membahayakan atau
mengantarkan pada bahaya, maka bagian tersebut menjadi haram
sementara bagian lain dari perkara tersebut tetap halal”.
3) Hukum perdagangan Internasional dalam Islam disandarkan pada
kewarganegaraan pedagang (pemilik barang), bukan pada asal barang. Jika
pemilik barang warga negara Islam, baik muslim maupun kafir dzimmi,
maka barang yang dia impor tidak boleh dikenakan cukai. Namun, jika
barang yang masuk ke wilayah negara Islam adalah milik warga negara
asing, maka warga negara tersebut dikenakan cukai sebesar nilai yang
dikenakan negara asing tersebut terhadap warga negara Islam atau sesuai
kesepakatan perjanjian antara negara Islam dengan negara asing tersebut.
4) Pedagang dari negara kafir mu‘âhid (negara kafir yang memiliki perjanjian
damai dengan negara Islam), ketika memasuki wilayah negara Islam akan
diperlakukan sesuai isi perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak.
Akan tetapi pedagang dari negeri kafir harbi, ketika memasuki wilayah
negara Islam harus memiliki izin (paspor) khusus.
5) Memperbolehkan perdagangan Internasional dengan alasan sejalan dengan
Islam, karena adanya larangan Islam terhadap penarikan cukai (al-maks)
atas barang impor milik warga negara Islam, tidak dapat dibenarkan.
Lebih lanjut Naf’an mengemukakan bahwa jauh sebelum teori perdagangan
Internasional ditemukan di Barat. Islam telah menerapkan konsep-konsep
perdagangan Internasional. Adalah ulama besar yang bernama Abû Ubayd bin
Salâm telah menyoroti praktik perdagangan Internasional ini, khususnya impor dan
ekspor. Lahir tahun 744 M dan wafat 838 M, Abû Ubayd merupakan orang pertama
yang memotret kegiatan perekonomian di zaman Rasulullah SAW, khulafâ’
alRâsyidîn, para sahabat dan tabiin-tabiin.
Pemikiran Abû Ubayd tentang ini dapat dilihat dalam kitabnya, al-Amwâl
yang ditulisnya hampir 100 tahun sebelum Adam Smith (1723-1790) melahirkan
teori keunggulan absolutnya. Pemikiran Abû Ubayd tentang ekspor impor ini dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan
Internasional, cukai bukan makanan pokok yang lebih murah, dan ada batas
tertentu untuk dikenakan cukai.11
Dalam mengkaji perdagangan bebas, seyogyanya perlu dipahami terlebih
dahulu tentang makna bebas dalam peradigma Islam. Menurut Ali Yafie bahwa
setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam memaknai perdagangan
bebas, yaitu:12

11
Ibid.Hal. 264
12
Ali Yafie. Fiqih Perdagangan....Op.cit. Hal. 230-231
a) Bertanggung jawab. Bebas tanpa pertanggungjawaban adalah sebuah
kesesatan, karena kebebasan yang sebesar-besarnya bagi manusia yang
memiliki potensi baik maupun buruk akan mendorong potensi buruk
diperkuat oleh bisikan dan dorongan setan. Bukankah pemerintahan yang
sangat besar maupun kekuatan polisi dunia, Amerika Serikat terbukti
menjadikan mereka menjadi budak-budak setan, baik dengan korupsi,
penindasan, arogansi maupun potensi jahat yang dengan mudah dikipasi
oleh syetan;
b) Etis. Bebas tanpa etika, juga hanya mendorong penindasan si kuat terhadap
si lemah, si kaya terhadap si miskin, orang kota terhadap orang desa, serta
negara maju terhadap negara berkembang atau terbelakang;
c) Benar. Bebas dalam melakukan yang salah adalah sesat. Bahkan nilai benar
yang dipegangpun harus nilai benar yang hakiki. Dalam pandangan
manusia dengan berbagai kepentingan, maka nilai benar menjadi sangat
relatif bahkan terkadang terjadi pertentangan antara ‘kebenaran’ di satu
pihak dengan ‘kebenaran’ di pihak yang lain. Oleh karenanya, nilai benar
yang hakiki tentu hanya nilai benar menurut Yang Maha Benar;
d) Adil. Bebas tanpa keadilan, bagaikan macan yang sangat lapar dihadapkan
dengan seekor kelinci yang tidak berdaya. Bagaikan AS yang bernafsu
menerkam Irak yang telah diboikot bertahun-tahun, lalu diinspeksi dan
dilucuti senjatanya, kemudian dibantu oleh orang Inggris, Australia, dan
Spanyol ditambah ‘penghianatan ukhuwah’ Arab Saudi dan Turki; dan
e) Seimbang. Bebas tanpa keseimbangan sama maknanya dengan ketimpangan
dan penindasan. Bagaimana mungkin Barat mendengungkan transparansi,
bila isu ISO, pembajakan, dan anti-dumping, bahkan lingkungan hidup dan
HAM yang tidak berkaitan langsung dengan ekonomi, mereka gunakan
sebagai alat proteksi barang dan jasa yang akan masuk kenegara mereka.
Sementara itu, dengan sampah paha ayam, buah-buahan dengan harga
irrasional, dan mark-up nilai dollar mereka lalukan untuk menekan ekonomi
negara berkembang dan terbelakang.
Hal yang perlu diwaspadai sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Yafie
bahwa perdagangan bebas dalam era global ternyata bukan sekadar masalah
perdagangan, tetapi dibalik itu ada pertarungan ideologi atau sekurang-kurangnya
merupakan perang ide yang melibatkan begitu banyak jariangan Internasional yang
berhasil menciptakan suasana seakan-akan secara alamiah negerinegeri berkembang
tidak punya alternatif, kecuali harus mengikuti ideologi tersebut. 13

Referensi

Ali Yafie. Fiqih Perdagangan Bebas. (Jakarta: Teraju Mizan, 2003).

13
Ibid. Hal. 75
Apridar. Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam
Aplikasinya. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012).

David Oughton, dkk. Textbook on Consumer Law. (London: Blackstone Press, 1997).

Hendra Halwani. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. (Bogor: Ghalia


Indonesia, 2005).

Herlan Firmansyah dan Endang Hendra. (2015). Implikasi Globalisasi Ekonomi dan
Perdagangan Bebas Terhadap Stabilitas Nilai Rupiah. Asy-Syari‘ah, Volume 17
Nomor 1: 45-54

Muhamad Qustulani. Modul Matakuliah Perlindungan Hukum & Konsumen.


(Tangerang: PSP Nusantara Press, 2018).

Naf’an. Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014).

Anda mungkin juga menyukai