Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU USAHA

SERTA PENGGUNAAN ARUS LISTRIK DENGAN TELEPON SELULER

BERBASIS SISTEM JARINGAN GPRS/GSM SELULER

A. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen

1. Sejarah Perkembangan Perlindungan Konsumen

a. Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat

Amerika Serikat adalah negara yang memiliki andil paling banyak

terhadap perlindungan konsumen (Consumer Protection). Sejarah

perlindungan konsumen di Amerika Serikat dimulai pada akhir abad XIX

dengan munculnya gerakan-gerakan konsumen (Consumer Movements).

Pada tahun 1891 di New York dibentuk Liga Konsumen yang pertama.

Pada tahun 1898 dibentuklah The National Consumer’s League sebagai

perkumpulan konsumen tingkat nasional Amerika Serikat.7

Pada tahun 1906, penulis terkenal Amerika, Upton Sinclair menulis

buku The Jungle yang mengungkapkan kondisi buruk industri pengemasan

daging di Amerika. Akibatnya, pada tahun itu juga mulai diberlakukan

beberapa hukum administratif yang bertujuan menjamin keberhasilan,

kualitas, dan keamanan makanan dan obat-obatan. Pada tahun yang sama

lahir dua buah undang-undang yang memberi perlindungan terhadap

konsumen, yaitu The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act.
7
Oughton, David (et.al), Textbook on Consumer Law, Blackstone Press, London, 1997

22
23

Pada tahun 1914 diberlakukan The Federal Trade Comission Act.

Undang-undang tersebut membuka kemungkinan terbentuknya komisi yang

bergerak di bidang perlindungan konsumen, yang disebut dengan Federal

Trade Comission.

Tragedi Elixir Sulfanilamide tahun 1938 mendorong badan legislatif

Amerika Serikat melakukan amandemen terhadap The Food and Drugs Act

1906 yang menghasilkan The Food, Drug, and Cosmetic Act, 1938. Elixir

Sulfanilamide adalah sejenis obat berbentuk sulfa yang telah menimbulkan

kematian terhadap 93 orang konsumen di Amerika pada tahun 1937.

Saat ini lembaga perlindungan konsumen pemerintah federal yang ada

di Amerika Serikat, diantaranya adalah : 8

1) Food and Drug Administration (FDA) yang mengawasi

penggunaan zat-zat berbahaya yang terdapat dalam makanan, obat

dan kosmetik atau produk yang mudah terbakar;

2) Securities and Exchange Commission yang melindungi konsumen

penanaman modal dalam surat saham dan obligasi;

3) Federal Trade Commission yang menegakkan hukum dalam hal

terjadi iklan yang menipu atau menyesatkan;

4) US Postal Services yang melakukan pencegahan dan penumpasan

kecurangan melalui penggunaan surat.

b. Doktrin

1. Doktrin Caveat Emptor

8
http://consumerlawpage.com/article/lobby.shtml
24

Caveat emptor adalah istilah Latin untuk “let the buyer aware”9(konsumen

harus berhati-hati), berarti sebelum konsumen membeli sesuatu, maka ia

harus waspada terhadap kemungkinan adanya cacat pada barang.

Menurut doktrin caveat emptor, produsen atau penjual dibebaskan dari

kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen tentang segala hal yang

menyangkut barang yang hendak diperjualbelikan, 10 apabila konsumen

memutuskan untuk membeli suatu produk, maka ia harus menerima produk

itu apa adanya.

Awal abad XIX mulai disadari bahwa caveat emptor tidak dapat

dipertahankan lagi, apalagi untuk melindungi konsumen.

2. Doktrin Sanctity of Contract

Doktrin yang dibentuk oleh pengadilan adalah doktrin sanctitiy of contract;

doktrin yang memungkinkan produsen atau penjual ‘mengakali’ konsumen.

Menurut doktrin sanctity of contract, sekali pembeli dan penjual mencapai

kesepakatan, pengadilan akan memaksa mereka untuk melaksanakannya

tanpa memperdulikan apakah kesepakatan itu adil bagi para pihak.11

3. Doktrin Caveat Venditor

Pada awal abad XX berkembang pemikiran bahwa produsen tidak hanya

bertanggung jawab kepada konsumen atas dasar tanggung jawab

kontraktual, karena produknya ditawarkan kepada semua orang, maka


9
Supra Note 7, hal. 36
10
Id., hal. 36-37.
11
Id., hal. 37.
25

timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan

jika menggunakan produk yang bersangkutan.

Kepentingan masyarakat terhadap suatu produk dalam menawarkan

produknya pada masyarakat, harus memperhatikan:

a) keselamatan;

b) ketrampilan;

c) kejujuran.

d) dalam kegiatan transaksional yang dilakukannya. 12

Akibat pernyataan prinsip pelaku usaha, kemudian berkembang doktrin

caveat venditor (let the producer aware) yang berarti bahwa produsen harus

berhati-hati. Doktrin terhadap prinsip pelaku usaha menghendaki agar

produsen dalam memproduksi dan memasarkan produknya perlu berhati-

hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas.

Doktrin caveat venditor menuntut produsen untuk memberikan informasi

yang cukup kepada konsumen tentang produk yang bersangkutan, apabila

produsen tidak memberikan suatu informasi maka produsen wajib

bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.

Akibat hubungan hukum, khususnya yang bersifat timbal balik,

selalu terbuka peluang munculnya permasalahan-permasalahan, baik yang

terjadi sebelum adanya hubungan hukum, pada saat hubungan hukum

maupun saat sesudah terjadinya hubungan hukum. Perselisihan antara

12
Johannes Gunawan, Bahan Perkuliahan Pertanggungjawaban Produk, Program
Pascasarjana Magister Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1998
26

konsumen dan pelaku usaha sangat mungkin terjadi, kemungkinan besar

terjadi apabila hak-hak ataupun kepentingannya dilanggar oleh pihak

lainnya, sehingga baik salah satu pihak ataupun keduanya merasa kecewa

dan merasa tidak mendapat kenyamanan satu sama lain. Akibat dari

pelanggaran yang dilakukan oleh satu pihak dapat menimbulkan hak baru

bagi pihak yang telah dilanggar kepentingannya untuk dapat mengajukan

suatu tuntutan hak ataupun gugatan.

c. Perlindungan Konsumen di Eropa

Treaty of Rome 25 Maret 1957 menyebutkan bahwa anggota-anggota

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) harus membangun suatu pasar bersama

dan menjamin bahwa tidak ada penyimpangan dalam persaingan diantara

mereka.

Pada tanggal 14 April 1975, MEE mengeluarkan Council Resolution

on a Preliminary Programme of The EEC for a Consumer and Information

Policy. Resolusi tersebut mengakui lima hak dasar konsumen, yaitu:

1) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan;

2) Hak atas perlindungan kepentingan ekonomi konsumen;

3) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

4) Hak atas informasi dan pendidikan;

5) Hak untuk didengar.

Pada tahun 1976, The Council of Europe mengumumkan rancangan

European Convention on Products Liability in Regard to Personal Injury


27

and Death yang dirancang oleh European Committee for Legal

Cooperation (CLC). Pada tahun yang sama The Commission of the EEC

menyerahkan rancangan pertama tentang Directive on Products Liability

kepada Committee of Ministers.

d. Perlindungan Konsumen di Indonesia

1) Masa Sebelum 17 Agustus 1945

Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perlindungan konsumen pada masa pemerintahan kolonial Hindia

Belanda diantaranya adalah : 13

a) Reglement Industriele Eigendom, S. 1912:545;

b) Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926.226;

c) Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S.

1931:28;

d) Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931:509;

e) Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932:143;

f) Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935:161;

g) Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak

Sembelih), S. 1936:671;

h) Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat

Keras), S. 1937:641;

i) Ijkordonnantie (Ordonansi Tera), S. 1049:175;

13
Johannes Gunawan, Bahan Perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1997
28

j) Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan

Berbahaya), S. 1949:377, dan lain-lain.

2) Masa Setelah 17 Agustus 1945

Pada saat itu Indonesia belum memiliki undang-undang yang

secara khusus mengatur tentang perlindungan konsumen, yang ada hanya

peraturan perundang-undangan yang secara parsial berkaitan dengan

masalah perlindungan konsumen, misalnya:

a) Undang-undang RI No. 10 Tahun 1961 Tentang Barang

(Lembaran Negara RI tahun 1961 No. 215);

b) Undang-undang RI No. 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi

(Lembaran Negara RI tahun 1963 No. 81);

c) Undang-undang RI No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal

(Lembara Negara RI tahun 1981 No. 11);

d) Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

(Lembaran Negara RI tahun 1992 No. 100);

e) Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan

(Lembaran Negara RI tahun 1996No. 99);

f) Undang-undang RI No. 14 tahun 1997 Tentang Merek

(Lembaran Negara RI tahun 1997 No. 31);

Perlindungan konsumen hanya disinggung dalam Ketetapan MPR

Nomor II/ MPR/ 1993 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Istilah
29

‘melindungi kepentingan konsumen’ untuk pertama kalinya digunakan

dalam GBHN.

Gema perlindungan konsumen di Indonesia mulai didengungkan

tahun 1970, terutama setelah berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen

(YLK) tanggal 11 Mei 1973, dengan Nyonya Lasmidjah Hardi sebagai

pimpinannya yang pertama.

Yayasan Lembaga Konsumen didirikan di tengah gencarnya

promosi untuk memperlancar perdagangan barang-barang dalam negeri.

Gencarnya promosi itu perlu diimbangi dengan langkah-langkah

pengawasan agar kualitas dari barang yang bersangkutan tetap terjamin

dan tidak merugikan konsumen. Hal itulah yang mendorong

terbentuknya Yayasan Lembaga Konsumen, dengan motto:

a) Melindungi konsumen;

b) Menjaga martabat produsen;

c) Membantu pemerintah.

2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Sudah hampir enam tahun kehadiran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen, artinya sudah seharusnya perlindungan

konsumen sudah memiliki perangkat hukum yang resmi berlaku. Dalam berbagai

forum yang membahas mengenai perlindungan konsumen, seringkali muncul

pernyataan bahwa yang perlu dilindungi bukan hanya konsumen tetapi juga

pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagai hukum positif


30

berlaku efektif terhitung April 2000, oleh karena itu dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen ini

diharapkan dapat mengakomodir segala kebutuhan dan juga perlindungan yang

menyeluruh bagi konsumen dan juga para pelaku usaha. Sehingga antara

konsumen dan para pelaku usaha dapat terlindungi baik itu dari segi hak maupun

kewajibannya.

Indonesia sebenarnya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang

sudah berlaku dan berkaitan dengan perlindungan konsumen. Peraturan yang

digunakan menyatakan agar konsumen berhati-hati, artinya konsumen yang

mengalami kerugian adalah konsumen yang tidak berhati-hati dalam

mengkonsumsi produk barang dan / atau jasa.

Dalam berbagai kasus yang terjadi saat ini, konsumen mengalami

kerugian, seperti pemadaman listrik akibat kelalaian pelaku usaha dan banyak hal

lain. Namun, manfaat yang dirasakan konsumen dari penerapan Undang-undang

Perlindungan Konsumen secara yuridis dirasakan belum optimal, hal ini

disebabkan kondisi konsumen yang "lemah dari sudut pendidikan dan keuangan".

Perlindungan konsumen memang tidak bisa diharapkan jatuh dari langit.

Masih dibutuhkan upaya terus menerus dalam jangka panjang dan konsisten.

Bahkan bila kebiasaan konsumen yang enggan mengungkapkan permasalahan

yang mereka hadapi berkaitan dengan transaksi yang mereka alami dengan pelaku

usaha itu tidak berubah, akan menjadi faktor penghambat terhadap penegakan

hak-hak konsumen14.

14
P.K. Diah Kencana dalam Seminar tentang Penyuluhan dan Sosialisasi Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI Bali, Denpasar, Tahun 2004.
31

Perlindungan konsumen memang masih merupakan suatu hal yang “cukup

baru” dalam dunia perundang-undangan di Indonesia, meskipun Undang-undang

Perlindungan Konsumen telah terbit sejak 1999 dan mulai efektif berlaku sejak

April 2000.

Untuk dapat menilai efektif tidaknya suatu undang-undang di samping

dari materi hukum yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar patokan, tidak

kalah penting adalah masalah penegakan hukumnya. Undang-undang No. 8

Tahun 1999, membuka upaya penegakan hak konsumen melaui proses

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dilakukan oleh lembaga

penyelesaian alternatif. Lembaga tersebut dikenal dengan nama Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tugas utama lembaga ini adalah

menangani dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

B. Pengertian Konsumen

Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

menyatakan, bahwa :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan pengertian tersebut, konsumen adalah pemakai, pengguna

barang dan/atau pemanfaat jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

dan tidak untuk diperdagangkan kembali.


32

Menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman, istilah konsumen berasal

dari bahasa Belanda yaitu konsument, yang berarti pemakai terakhir dari benda

dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh penguasa15. Konsumen dan

penguasa/ pelaku usaha mempunyai hubungan timbal balik. Kewajiban konsumen

merupakan hak pengusaha dan kewajiban pengusaha adalah hak konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sedikitnya ada

4 unsur yang membentuk pengertian konsumen, yaitu : 16

1. Setiap orang.

Pengertian orang disini adalah orang perseorangan dan bukan termasuk

badan hukum atau pribadi hukum.

2. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.

Maksudnya adalah barang dan/atau jasa tersebut dapat diperoleh di

tempat-tempat umum, seperti pasar, supermarket, toko dan lain

sebagainya.

3. Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk

hidup lain.

Maksudnya adalah barang dan/atau jasa tersebut tidak harus hanya

digunakan, dipakai atau dimanfaatkan untuk kepentingan diri

konsumen saja, tetapi dapat pula untuk kepentingan keluarga konsumen


15
?
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Bandung, Citra Aditya Bakti,
1991, hlm. 57.
16
Budi Fitriadi Supriadi, Bahan Perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2008
33

(orang tua, saudara ataupun kerabat), orang lain (teman ataupun tamu

dari konsumen), dan mahluk hidup lain seperti misalnya binatang

peliharaan, tanaman hias dan lain sebagainya.

4. Tidak untuk diperdagangkan.

Unsur ini mengandung arti bahwa barang dan/atau jasa yang

digunakan/ dipakai/dimanfaatkan itu tidak untuk tujuan komersial.

5. Konsumen

Pasal 1 butir 2 UUPK menyebutkan, bahwa :

”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.”

Pasal 4 huruf I Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, berbunyi :

“Hak konsumen adalah hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.”

Hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan.


34

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakannya.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Menurut Aman Sinaga, khusus untuk konsumen di bidang tenaga listrik

selain memperoleh hak-hak yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, juga memperoleh hak-hak yang

telah diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan17.

Selain mengatur tentang hak-hak konsumen, Pasal 5 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban

konsumen, yaitu :

17
Aman Sinaga, Makalah dalam rangka Sosialisasi Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, PT.PLN(Persero) Kantor Pusat, Jakarta, 26 Februari 2003.
35

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan / atau

jasa.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

C. Pengertian Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 butir 3 UUPK, adalah :

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi “.

Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, terdapat empat unsur yang terkandung dalam pengertian

tentang pelaku usaha, yaitu :

1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha.

Badan usaha adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum ataupun

badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum. Badan usaha yang

berbentuk badan hukum antara lain adalah Perseroan Terbatas (PT),

Yayasan, Koperasi, dan lain sebagainya, sedangkan badan usaha yang

bukan badan hukum antara lain adalah Firma, CV dan lain sebagainya.

2. Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.


36

Berdasarkan unsur ini dapat dikelompokkan beberapa macam pelaku

usaha, yaitu :

a. Orang perseorangan

b. Badan usaha

c. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lainnya

d. Orang perseorangan dengan badan usaha.

e. Badan usaha dengan badan usaha lainnya.

3. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Unsur ini merupakan unsur yang esensial yang memberikan batasan

antara pelaku usaha dengan pelaku kegiatan lainnya, misalnya pejabat

negara, pegawai negeri, hakim, dan lain sebagainya.

4. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia.

Orang perseorangan atau badan usaha tersebut harus didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi di wilayah hukum Negara RI.

Penjelasan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha

yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,

BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain sebagainya.

Hak pelaku usaha menurut Pasal 6 UU No.8 Tahun 1999 adalah :


37

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Pasal 7 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;


38

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

D. Pengertian Arus Listrik dengan Telepon Seluler Berbasis Perangkat

GPRS/GSM Selular Berdasarkan Surat Keputusan Direksi PLN Nomor

0008.E/DIR/2005 tanggal 2 Mei 2005

1. Pengertian Arus Listrik

Arus listrik adalah banyaknya muatan listrik yang mengalir tiap satuan

waktu. Muatan listrik bisa mengalir melalui kabel atau penghantar listrik

lainnya. Muatan listrik dapat diukur secara langsung menggunakan

elektrometer sedangkan arus listrik dapat diukur secara langsung menggunakan

galvanometer. Pengertian elektrometer sama dengan fargo, yaitu alat pengukur

muatan listrik atau beda potensial listrik. Jenis elektrometer bervariasi, mulai

dari buatan tangan hingga perangkat elektronik dengan ketepatan dalam

penerimaan informasi secara digital akses. Elektrometer moderen yang

berdasarkan pada teknologi tabung hampa atau fasa padat (solid state) dapat
39

digunakan untuk mengukur arus listrik yang sangat kecil, sedangkan

galvanometer alat pengukur kuat arus yang sangat lemah.

2. Telepon Seluler

Telepon seluler merupakan alat komunikasi nirkabel yaitu komunikasi

bergerak tanpa kabel yang disebut dengan Mobile Device. Perkembangan

telepon seluler didominasi dengan adanya perangkat-perangkat jaringan yang

berbasiskan pada sistem informasi data satelit.

Perkembangan fasilitas telepon seluler di Indonesia saat ini memang lebih

terlambat dibanding dengan negara-negara berkembang yang lainnya, tetapi

daya beli telepon seluler di Indonesia sangat tinggi. Perkembangan fasilitas

telepon seluler dengan menggunakan sistem jaringan komunikasi data, adalah

sebagai berikut :

a. Generasi pertama

Telepon seluler bergerak dengan menggunakan teknologi analog seperti

AMPS (Advance Mobile Phone Service), Total Access Communications

System (TACS) dan Nordic Mobile Telephone (NMT) mulai diperkenalkan.

b. Generasi kedua

Perkembangan telepon seluler dari generasi pertama ke generasi kedua

yang membedakan adalah bahwa generasi kedua menggunakan sistem

jaringan GSM (Global System for Mobile Communications) dan CDMA

(Code Division Multiple Access), keduanya memberikan layanan


40

selangkah lebih maju dengan teknologi digital yang dimiliki dan

kemampuan mentransfer data. Kehadiran perangkat sistem jaringan

kemudian diikuti oleh teknologi GPRS (General Packet Radio Service)

dan EDGE (Enhance Data rates for GSM Evolution) yang memiliki

kecepatan pengiriman data lebih baik.

c. Generasi ketiga

Munculnya teknologi telepon seluler generasi ketiga yang mampu

mentransfer suara, data dan gambar dalam kecepatan tinggi, hingga 2

Mbps (megabyte per second). Kemudahan yang diberikan tidak juga 

kemampuan yang ada pada perramgkat sistem jaringan lain, akan tetapi

adanya manfaat ataupun fasilitas yang ada pada telepon seluler. Kanal

sistem jaringan bisa dimanfaatkan untuk pendistribusian file audio

maupun video serta komunikasi data yang bermuatan edukasi serta bisa

digunakan oleh para pendidik.

Kehadiran sistem jaringan tentunya diharapkan akan memberikan sebuah

solusi dalam permasalahan akses informasi. Berikut ini merupakan

fasilitas yang diberikan pada telepon seluler generasi ketiga ini dalam

sistem jaringan yaitu, terdapat video call serta video conference, SMS,

MMS, kamera handset, ring back tone maupun video ring tone, radio

streaming, dan mobile-TV.

Dampak baru yang masuk ke masyarakat membawa perubahan sosial

dalam kehidupan masyarakat. Dampak yang didapat para pengguna telepon

seluler terhadap perkembangan telepon seluler adapun sebagai berikut:


41

Dampak positifnya :

a) Kemudahan dalam berinteraksi serta mengakses sebuah informasi.

b) Memberikan sebuah efektifitas dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat.

 Dampak negatifnya

a) Bagi dunia akademisi, hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh para siswa

yang mempunyai kebiasaan yang buruk dengan fasilitas yang lengkap dan

mudah sehingga dapat memuluskan langkah mereka.

b) Gaya hidup konsumerisme mulai bermunculan

Generasi kedua pengertian perangkat sistem jaringan yang utama dalam bagian

perkembangan telepon seluler adalah :

a) GSM (Global System for Mobile Communications) adalah sebuah sistem

jaringan telekomunikasi terbuka, tidak ada pemilikan (non-proprietary)

yang berkembang secara pesat dan konstan. Keunggulan utamanya adalah

kemampuannya untuk internasional roaming yaitu memberikan sebuah

sistem standar tanpa batasan hubungan antar wilayah, dengan GSM satelit

roaming, pelayanan juga dapat mencapai daerah-daerah yang terpencil.

Sistem ini berbeda dengan generasi pertama dalamsistem jaringan, karena

GSM memakai teknologi digital dan metode transmisi time division

multiple access. Voice atau suara dibentuk secara digital melalui sebuah

encoder unik, yang mana mengemulasi karakteristik dari pembicaraan


42

manusia. Metode transmisi ini membuat rasio data/informasi sangat

efisien.

Pelayanan telah ada pada teknologi sekarang yaitu biasa disebut sistem

jaringan komunikasi dua arah. Klasifikasi besaran dalam arus gelombang

satelit dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :

a. GSM 900

b. GSM 1800

c. GSM 1900

Jalur pengembangan ke teknologi sistem jaringan komunikasi data sudah

sangat jelas yaitu membawa kemungkinan-kemungkinan penggunaan data

dan multimedia secara canggih. Standar GSM akan terus berkembang

dengan sistem wireless, satellite dan cordless yang menawarkan jasa

pelayanan yang lebih banyak, seperti kecepatan tinggi dalam transmisi,

jasa transmisi data multimedia dan integrasi akses dengan internet.

Anda mungkin juga menyukai