Anda di halaman 1dari 9

DOKTRIN FIRST TO FILE DALAM KERANGKA HUKUM MEREK DI INDONESIA

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis yang selanjutnya disebut UU Merek dan Indikasi Grafis. Mendefinisikan:

“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama,
kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga)
dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”.

Merek merupakan obyek hak, sehingga dikenal istilah hak atas Merek. Dalam UU
Merek dan Indikasi Grafis, khususnya dalam Pasal 1 angka 5 mengatur bahwa;

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek
yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut
atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Oleh karena Merek merupakan obyek Hak sehingga perlu untuk diberikan perlindungan
hukum. Di sinilah fungsi hukum sebagai pelindung Hak sangat diperlukan. 1 Pada hakikatnya
landasan filosofis penerapan UU Merek dan Indikasi Grafis adalah melindungi kepentingan
pemilik merek yang sebenarnya, dan beritikad baik. Keseimbangan dan berkeadilan dalam
mengimplementasikan sistem merek dengan tetap memperhatikan kepastian hukum dalam
penegakan hukumnya dan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi Nasional. 2 Dalam rangka
untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Merek tersebut dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, menganut doktrin First
to File. Doktrin First to File memberikan hak superior kepada pemilik hak merek untuk

1
Winda Risna Yessiningrum, ‘Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan
Intelektual’, Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 3.7 (2015), 42–53. Hlm. 53.
2
Insan Budi Maulana, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Rancangan Undang-Undang Tentang
Merek (Jakarta, 2008). Hlm. 14.
diunggulkan sebagai pihak pertama yang melakukan pendaftaran. 3 Doktrin First to File
memberikan kepastian hukum dan dianut oleh banyak negara di dunia.4

PERUBAHAN HUKUM MEREK DAN DOKTRIN YANG DIANUT

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Doktrin First to File yang dianut dal UU Merek
dan Indikasi Grafis, perlu diketahui bersama bahwa Pengaturan Merek di Indonesia telah
mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 yang
menganut sistem deklaratif dengan doktrin First to Use dalam hal kepemilikannya. Doktrin
First to Use menyatakan bahwa siapa yang memakai pertama suatu merek dialah yang dianggap
berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan, pendaftaran merek bukan merupakan
suatu keharusan. Selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang
mengalami perubahan mendasar dalam hal kepemilikannya melalui sistem Konstitutif dengan
doktrin First to File dan direvisi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan yang terbaru
pengaturan dibidang merek didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis.5

DOKTRIN FIRST TO FILE DALAM UU NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK

Merek dengan sistem konstitutif, pendaftaran merupakan keharusan agar dapat


memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran, negara tidak akan memberikan hak atas merek
kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak aka diberikan
perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek
yang digunakan di indonesia sejak UU No. 19 Tahun 1992 adalah sistem konstitutif. Pada sistem
konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftaran pertama yang beritikad baik.6
Hal ini juga seperti yang tercantum dalam pasal 21 ayat 3 UU No. 20 tahun 2016 yang
menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan oleh pemohon yang tidak beritikad baik.

3
Paramitha Prananingtyas Ashari, Luthfan Ibnu, Budi Santoso, ‘Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas
Merek Terhadap Nama Domain Yang Sama Menurut Hukum Positif Di Indonesia’, Diponegoro Law Journal, 5.3
(2016), 1–18. Hlm. 14.
4
Insan Budi Maulana. Op Cit. Hlm. 42.
5
Sanusi Bintang Andre Asmara, Sri Walny Rahayu, ‘Studi Kasus Penerapan Doktrin Pendaftaran First To File Pada
Pembatalan Merek Cap Mawar (Putusan Mari Nomor: 512 K/Pdt.Sus-Hki/2016)’, Syiah Kuala Law Journal, 3.2
(2019), 184–201. Hlm. 186.
6
Rachmadi Usaman, ‘Hukum hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi hukumnya di Indonesia’,
(Bandung: PT Alumni,2003), hlm. 320.
Pasal 1 ayat 8 UU No. 20 tahun 2016 disebutkan bahwa permohonan merupkan
permintaan pendaftaran yang diajukan secara tertulis kepada Menteri. Sehingga dimungkinkan
permohonan pendaftaran merek dapat berlangsung dengan tertib, pemeriksaan merek tidak hanya
dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan
substansif. Pemeriksaan substantif atas permohonan pendaftaran merek ini dimaksudkan untuk
menentukan dapat atau tidaknya merek yang dimohonkan didaftarkan dalam Daftar Umum
Merek. Pemeriksaan substantif dilakukan dalam jangka waktu paling lama 150 (seratus lima
puluh) hari.

Sebelum melakukan pendaftaran, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan


pendaftaran merek dimana ada permohonan merek yang tidak dapat didaftarkan dan ada bebrapa
hal yang menyebabkan suatu permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat jendral Hak
Kekayaan Intelektual. Suatu merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut :

1. Didaftarkan oleh pemohon yang tidak beritikad baik


2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum
3. Tidak memiliki daya pembeda
4. Telah menjadi milik umum
5. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya.

Berdasarkan Pasal 21 Ayat 1-3 UU No. 20 tahun 2016 permohonan ditolak apabila:

1. Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya


atau keseluruhannya dengan:
a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak
lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis
yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.
2. Permohonan ditolak jika Merek tersebut:
a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal,
foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas
persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau lembaga nasional
maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang
berwenang; atau
c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang
digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang.
3. Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.

Apabila dari hasil pemeriksaan substantif ternyata permohonan tersebut tidak diterima
atau ditolak, maka atas persetujuan Direktorat Merek, hal tersebut diberitahukan secara tertulis
pada pemohon atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya.

Doktrin pendaftaran First to file dapat memberikan kepastian hukum, menjamin keadilan
dan kemanfaatan. Karena bagi pemilik yang mendaftarkan merek, diberikan hak eksklusif oleh
negara.7 Adanya kepastian hukum tersebut, dengan sendirinya kepada pemilik Merek terdafiar
akan memperoleh perlindungan hukum dari kemungkinan didaftarkan oleh pihak lain, atau
kemungkinan digunakan oleh pihak lain tanpa ijin8.

Dengan adanya model pengaturan pendaftaran Merek untuk memberikan kepastian


hukum yang adil, yaitu Sistem Konstitutif atau “First to File” yang dilaksanakan secara ketat dan
konsisten. Hak dan perlindungan Merek hanya diberikan kepada pemilik Merek terdaftar, dan
gugatan pembatalan hanya dapat dilakukan oleh pemilik Merek Terdaftar. Di samping itu,
penerapan Sistem Konstitutif tidak hanya menyangkut kewajiban yang beraspek hak keperdataan
bagi kepentingan pendaftar saja, tetapi juga menyangkut aspek kepentingan publik, dengan
memberikan sanksi bagi yang menggunakan Merek namun tidak mendaftarkan Mereknya.

7
Achmad Zen Umar Purba, ‘Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS’, (Bandung : PT
Alumni, 2005),hlm. 73.
8
Endang Purwaningsih, ‘Perkembangan Hukum Intellectual Properly Rights Kajian
Hukumm Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2005),hlm. 11.
Perlu dibangun sistem yang lebih mempermudah pendaftaran Merek, dengan sistem on
line atau elektronik, yang dapat dilakukan secara mudah, cepat dan efisien. Dengan memberikan
kemudahan kepada pendaftar Merek melalui sistem elektronik ini akan memberikan daya tarik
dan membangun kesadaran bagi pemilik Merek untuk mendaftarkan Mereknya, jumlah pendaftar
akan bertambah banyak, dengan sendirinya akan menciptakan ketertiban dibidang administrasi
pendaftaran Merek, sekaligus akan menambah pendapatan negara melalui biaya pendaftaran.

PERBANDINGAN MENGENAI PENGATURAN MEREK DENGAN NEGARA LAIN

Di dalam masing-masing negara, tentunya menerapkan berbagai macam peraturan yang


sistem nya berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali peraturan mengenai Merek ini. Maka
diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui perbandingan yang dimiliki oleh masing-masing
negara.

Hal ini dimulai karena pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antar
negara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum di bidang Merek. Pembentukan organisasi internasional yang
dikenal dengan World Trade Organization (WTO) adalah kerangka sebagai kesepakatan
internasional dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para pelaku bisnis dan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan penanaman modal asing disamping
hal-ha1 yang berkaitan dengan transakasi perdagangan internasional.9

Adanya suatu wadah internasional (WTO) yang didalamnya mengandung kesepakatan


mengenai hak Merek, mengharuskan negaranegara anggotanya untuk mematuhi dan memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada untuk diadopsi dan diberlakukan pada negara tersebut. Namun,
dikarenakan setiap negara tidak menganut faham yang sama ataupun ideologi yang sama,
menyebabkan pengaturan Merek sangat cocok untuk mendukung perkembangan
perekonomiannya. Berikut diberikan penjelasan pengaturan Merek dinegara lain:

1. Pengaturan Merek Amerika Serikat

9
H.S, GATI: WTO dan Hasil Unrgzcay Round, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1997), hlm. 267, bahwa
Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi WTO dengan DPR bulan Oktober 1994.
Pendaftaran Merek di Amerika Serikat mengenal dua sistem pendaftaran,
sebagaimana di atur dalam Lanham Act (UU Merek Amerika Serikat), sehingga
dalam menentukan hak Merek juga mengenal dua sistem hak, yaitu "sistem pemakai
pertama" dan "sistem pendaftaran".
Ketentuan Pasal 43 (a) atau g 1 125 (a), 15 USC Lanham Act mengisyaratkan
"seseorang dapat memiliki sendiri hakhak Merek berdasarkan hukum negara bagian
(stat law) dan hukum nasionall federal (f2deral law) tanpa pendaftaran Merek".10
Undang-undang Merek Amerika Serikat (Lanham Act) mengatur dua tipe
pendaftaran yang dilakukan oleh PTO, yaitu yang pertama adalah perlindungan
terhadap Merek-Merek yang mempunyai kemampuan yang nyata untuk
mengidentifikasi barang-barang Merek dagang atau Merek jasa, yakni Merek-Merek
yang mempunyai sifat pembeda atau disebut dengan Principal Registration
(Pendaftaran pokok), dan yang kedua mengatur Merek dalam bentuk descriptive
(yang tidak mempunyai sifat pembeda) akan tetapi mempunyai kemampuan untuk
memberikan arti lain1 tambahan (secondary meaning) untuk mengidentifikasi
barang-barang Merek dagang atau Merek jasa terhadap konsumen atau disebut
dengan supplemental registration (pendaftaran tarnbahan).
2. Pengaturan Merek Cina
Sedangkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Cina, penentuan hak
atas Merek juga didasarkan pada pendaftaran. Menurut UU Merek, hak eksklusif
untuk menggunakan Merek dagang hanya dapat diperoleh melalui pendaftaran
Merek tersebut.
Hukum Merek dagang di negara Cina diturunkan dari hukum Merek dagang
Republik Rakyat Cina yang dikeluarkan pada tahun 1982, aturan lengkap
implementasi hukum Merek dagang Republik Rakyat Cina, dan berbagai
amandemen utama terhadap hukum Merek dagang tahun 1993. Dalam upayanya
menyelaraskan hukum-hukum cina dengan standar internasional, Beijing
menandatangani Konvensi Berne pada Oktober 1992 dan memberi hak pada
konvensi itu untuk ikut campur ketika terjadi konflik.

10
Donald S Chisum dan Michael A Jacob, Understanding Intellectual Property Law, Mathew Bender & Co.Inc,
New York, 1995, ha1.5-11, yang dikutip HD Effendy hasibuan
Menurut hukum Merek di Cina, berdasarkan pendapat Pengadilan Zhejiang
bahwa menurut Prinsip teritorial Merek dagang meskipun Merek dagang terdaftar
luar negeri, Merek dagang tersebut tidak terdaftar di Cina, dan dengan demikian
tidak dilindungi oleh hukum China. Seperti dinyatakan bahwa :
“The court of Zhejiang holds the opinion that according to the territoriality
principle of trademarks, even though the trademark is registered abroad, such
trademark is not registered in China, and is thus not protected by the laws of
china.”11
3. Pengaturan Merek Jepang
Sistem hak Merek bedasarkan hukum Merek di Jepang, bahwa yang menjadi
dasar hak Merek adalah pendaftaran. Undang-undang Merek di Jepang diberlakukan
pada Tahun 1884 dan telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain tahun
1999 yang diberlakukan pada Tahun 2000, dan terakhir direvisi Tahun 2002.
Sejak awal berlakunya Undang-undang Merek di Jepang tersebut,
perlindungan Merek diberikan kepada pemilik Merek yang mendaftarkan Mereknya,
dengan diberikan hak ekslusif kepada pihak yang pertama mendaftar.12
A third party may, to gain profit, use a trademark identical with or similar to
a well established trademark without obtaining the consent jkom the owner of a
trademark right. This is an injkingement on a trademark right. Unlike cases of
trademark license, trademark injkingement is the usage of a brand identical with or
similar to a brand of the owner of a trademark right without the latter's consent.
The Trademark Law gives the owner of a trademark right the right to demand its
suspension and seek damages compensation. Apart jkom this, a trademark
infringement, because it disturbs the market order and impairs the interests of the
consumer, constitutes criminalp~nishme13
Seperti disebutkan dalam tujuan Undang-Undang Merek yang tercantum
dalam Pasal 1 adalah untuk menjaga nama baik bisnis pengguna Merek yang
11
Jung Mei Chu, Trademark Infringement of Original Equipment Manufacture (OEM) For Export in China, IPO
Law Journal, 26 Maret 2015, hlm. 5
12
Masaya Suzuki, The Trademark Registration System In Japan: A Firsthand Review And Exposition, dalarn
Marquette Intellectual Property Law Review Vol. 5 Issue 1, (2001), hlm. 139
13
6~akeshi Kikuchi, Attorney-at-Law, Patent Attorney, Shinbashi International Law Office, Law and Treaties,
Trademark Disputes and Their Handling, Japan Patent Office, Asia-Pacific Industrial Property Center, JIII O 1999,
hlrn 2
kemudian memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan bisnis
dan untuk melindungi kepentingan konsumen. Berikut fungsi merek dalam pasar,
antara lain:
1. Sebuah Merek mengindikasikan asal dan kepemilikan. Penjual dan
penyedia jasa menandai asal dari barang atau jasa Mereka dengan
penggunaan Merek. Ketika konsumen melihat Merek, Merelta akan
mengenali darimana barang atau jasa berasal dan dapat mengenali
kebaikan, keburukan, dan keunikan suatu barang atau jasa.
2. Fungsi Merek dagang adalah untuk menjamin kualitas. Penggunaan
Merek dagang membuat konsumen, mungkin secara tidak sadar,
mengenali kualitas . .. dari barang atau jasa tertentu berdasarkan Merek.
Di saai yang sarna pedagang ingin menjaga loyalitas terhadap barang dan
jasa dengan menggunakan Merek untuk mempromosikan reputasi Mereka
di pasar. Sehingga pentingnya Merek dagang adalah untuk memastikan
konsumen dapat menentukan pilihannya atas barang dan jasa berdasarkan
identifikasi kualitas yang dijaga oleh Merek dagang.
3. Sebagai sarana promosi. Konsumen mengingat sebuah Merek atau
setidaknya Mereka mempunyai bayangan dari Merek tersebut di pikiran,
yang kemudian muncul familiaritas akan barang atau jasa yang diberi
Merek. Lebih jauh lagi, Merek dagang memacu penjual untuk berusaha
sebaik mungkin karena Merek dagang memungkinkan penggunanya
untuk berkembang atau hancur.

Penanganan Pengoperasian sistem administrasi pendaftaran Merek dilakukan


oleh Japanese Patent Ofice (JPO), yang mereview aplikasi dan menentukan apakah
sebuah Merek memenuhi syarat-syarat kualitas untuk memperoleh hak untuk
mendaftarkan. Selama pendaftaran, informasi yang relevan diumumkan di Lembaran
Merek Dagang JPO dan pihak manapun dapat mengajukan keberatan terhadap
pendaftaran. Informasi yang diumumkan mencakup Merek dagang, barang atau jasa,
dan nama serta alamat pendaftar.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Zen Umar Purba, ‘Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS’, (Bandung : PT Alumni,
2005)

Andre Asmara, Sri Walny Rahayu, Sanusi Bintang, ‘Studi Kasus Penerapan Doktrin Pendaftaran
First To File Pada Pembatalan Merek Cap Mawar (Putusan Mari Nomor: 512 K/Pdt.Sus-
Hki/2016)’, Syiah Kuala Law Journal, 3.2 (2019), 184–201

Ashari, Luthfan Ibnu, Budi Santoso, Paramitha Prananingtyas, ‘Perlindungan Hukum Bagi
Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Nama Domain Yang Sama Menurut Hukum Positif
Di Indonesia’, Diponegoro Law Journal, 5.3 (2016), 1–18

Endang Purwaningsih, ‘Perkembangan Hukum Intellectual Properly Rights Kajian Hukum


Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2005)

Insan Budi Maulana, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Rancangan Undang-


Undang Tentang Merek (Jakarta, 2008)

Rachmadi Usaman, ‘Hukum hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi
hukumnya di Indonesia’, (Bandung: PT Alumni,2003),

Yessiningrum, Winda Risna, ‘Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Sebagai Bagian Dari Hak
Kekayaan Intelektual’, Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 3.7 (2015), 42–53

Anda mungkin juga menyukai