Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

KEDUDUKAN MEREK TERDAFTAR PERTAMA DALAM


SENGKETA DAN PERTIMBANGAN HAKIM

A. Kedudukan Merek Pertama Pada Sengketa Merek Yang Sama Pada


Prinsipnya
Pengertian merek sebagai bagian dari hak milik intelektual
tidak terlepas dari pemahaman bahwa hak merek diawali dari
temuan-temuan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya,
misalnya hak cipta.1 Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya design
logo atau huruf. Ada hak cipta dalam bidang seni, namun dalam hak
merek bukan hak cipta dalam bidang seni yang dilindungi tetapi
mereknya itu sendiri dan hak merek itu terbatas hanya pada
penggunaan atau pemakaiannya pada produk-produk yang
dipasarkan dan mengandung nilai ekonomis.2
Hak atas merek adalah hak yang bersifat khusus (exclusive) yang
diberikan oleh negara kepada pemiliknya untuk menggunakan sendiri
merek tersebut atau memberikan izin pada orang lain untuk
menggunakannya. Pemberian hak khusus oleh negara tersebut, membawa
konsekuensi bahwa untuk mendapatkannya harus melalui mekanisme
pendaftaran, sehingga sifat pendaftaran adalah wajib (compulsory). Agar
hak merek tersebut mendapat perlindungan dan pengakuan dari negara,
maka pemilik merek harus mendaftarkannya pada negara.3
Sehubungan hal tersebut maka diundangkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang menerapkan sistem

1
Harsono Adisumarto, "Hak Milik Intelektual Khususnya Paten Dan Merek, Hak Milik
Perindustrian (Industri Property)", (Jakarta: Akademika Pressindo, 1990), h. 59.
2
Sulastri, Satino, Yuliana Yuli, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek (Tinjauan
Terhadap Merek Dagang Tupperware Versus Tulipware)”, Jurnal Yuridis, Vol. 5, No. 1, (2018),
hal 162.
3
Jisia Mamahit, “Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang Dan
Jasa”, Lex Privatum, Vol. 1 No. 3, (2013), h. 92.
pendaftaran konstitutif (first to file) sebagai pengganti undang-undang
merek sebelumnya yang menerapkan sistem pendaftaran deklaratif (first to
use). Kemudian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tersebut telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Kemudian
berkembang dan diganti dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001
tentang merek dan terakhir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Untuk memenuhi persayatan pendaftaran, merek harus memiliki
daya pembeda yang cukup, artinya memiliki kekuatan untuk membedakan
antara merek yang dimiliki dengan merek milik pihak lain yang kelas
barangnya sama atau sejenis. Agar memiliki daya pembeda, merek harus
dapat memberikan penentuan pada barang atau jasa yang bersangkutan.
Oleh karena itu, merek yang tidak memiliki daya pembeda tidak dapat
didaftarkan di Direktoral Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan secara
otomatis tidak akan mendapatkan perlindungan hukum.4
Telah diaturnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si pemohon
dalam mengajukan permohonan pendaftaran merek tidak menghilangkan
sama sekali terjadinya pelanggaran merek oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Penggunaan secara tanpa hak atas merek pada suatu
produk dengan maksud mengambil keuntungan atas merek yang
digunakannya masih banyak terjadi dalam berbagai bentuk, misalanya
pembajakan atau melalui pemanfaatan reputasi (terjadi persamaan pada
pokoknya pada merek yang mempunyai reputasi dimata konsumen).
Dengan demikian, perlindungan hukum yang diberikan oleh negara
juga tidak hanya terbatas pada pemilik merek, tetapi juga kepada
konsumen yang menginginkan aman, nyaman dan terjamin dalam
mendapatkan merek yang asli sehingga tidak terkecoh dalam membeli
barang dengan merek palsu. Perlindungan hukum yang diberikan kepada

4
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), h. 18.
pemilik merek adalah pemilik merek yang mempunyai iktikad baik,
artinya sekalipun telah mempunyai sertifikat sebagai bukti kepemilikan
suatu merek, namun dapat dimintakan penghapusan atau pembatalan atas
merek tersebut jika pemiliknya terbukti mempunyai iktikad buruk.5
Perlindungan hukum demikian hanya diberlakukan terhadap merek
yang telah didaftarkan. Pendaftaran merek akan memberikan pelindungan
yang lebih kuat, khususnya jika bertentangan dengan merek yang identik
atau yang mirip. Walaupun sebagian besar pelaku bisnis menyadari
pentingnya penggunaan merek untuk membedakan produk yang dimiliki
dengan produk para pesaingnya, namun tidak semua pihak menyadari
mengenai pentingnya pelindungan merek melalui pendaftaran.
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa merek terdaftar mendapat
perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
penerimaan dan jangka waktu pelindungan itu dapat diperpanjang dan
dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama.6
Negara berkewajiban dalam menegakkan hukum merek. Oleh
karena itu apabila ada pelanggaran yang dilakukan atas merek terdaftar,
pemilik merek dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
Dengan perlindungan tersebut maka akan terwujud keadilan yang menjadi
tujuan dari hukum. Salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
masyarakat. Dengan perlindungan hukum maka pemilik merek yang sah
terlindungi hak-haknya.
Dalam perspektif administratif, pendaftaran merek juga dapat
ditolak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 yaitu pendaftaran merek dapat ditolak apabila
mengandung persamaan pokok atau keseluruhan dengan merek pihak lain
5
Wilson Wijaya dan Christine S.T. Kansil, "Analisis Kekuatan Unsur Itikad Baik Pada
Pelaksanaan Pendaftaran Merek Di Indonesia (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
364K/Pdt.Sus-HKI/2014) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016", Jurnal Hukum
Adigama, Vol. 1 No. 1, (2018), h. 5.
6
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang sejenis, dengan merek yang
sudah terkenal milik pihak lain untuk barang sejenis, dan juga dengan
indikasi-geografis yang sudah dikenal.7
Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
mengenai persamaan pada pokok adalah merupakan kemiripan yang
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang
satu dengan yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan
mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara
unsur – unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam
merek tersebut.
Hal demikian didasarkan prinsip konstitutif yang dianut dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis. Prinsip Konstitutif atau disebut juga first to file principle. Pasal
3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis menyatakan: “Hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut
terdaftar”.8 Artinya, merek yang di daftar adalah yang memenuhi syarat
dan sebagai yang pertama.
Merek tidak didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh
pemohon dengan itikad tidak baik. Pasalnya, pemohon tidak baik dapat
memiliki niat tersembunyi seperti membonceng, meniru, atau menjiplak
ketenaran yang menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecoh atau
menyesatkan konsumen.
Ketentuan demikian termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 dijelaskan bahwa:9
“Merek tidak dapat didaftar jika:
a) Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang
undangan, moralitas, agama, kesusilaan,atau ketertiban umum;

7
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
8
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
b) sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang
dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
c) memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang
asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang
dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau
merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk
barang dan/atau jasa yang sejenis;
d) memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat,
atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e) tidak memiliki daya pembeda; dan/atau;
f) merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum”

Penolakan pendaftaran merek atas unsur kesamaan merek


didasarkan atas kehendak negara untuk menciptakan iklim usaha yang
sehat dengan melindungi kekayaan intelektual produsen dan
menghindarkan konsumen dari kekeliruan atas suatu produk yang
dikonsumsi.10 Kesamaan pada merek sendiri terdiri dari dua bentuk,
yakni:11

a) Kesamaan Keseluruhan

Persamaan keseluruhan atas suatu merek dapat


diartikan sebagai kesamaan dalam bentuk, penulisan,
penempatan, bunyi pengucapan, bentuk dan/atau
terpenuhinya unsur tersebut secara komulatif.

b) Kesamaan Pada Pokoknya

Persamaan pada pokoknya dapat diartikan sebagai


kemiripan pada unsur yang dominan pada suatu merek
10
Mukti Fajar N. D., dkk., "Iktikad Tidak Baik dalam Pendaftaran dan Model Penegakan
Hukum Merek di Indonesia", Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 2 No. 2, h. 220.
11
Pingkan F. D. Kalalo, "Gugatan Pemilik Merek Terdaftar Terhadap Pihak Lain Apabila
Tanpa Hak Menggunakan Merek Barang Yang Mempunyai Persamaan Pada Pokoknya Atau
Keseluruhannya", Lex Privatum, Vol. 9 No. 3, (2021), h. 122.
sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan.
Persamaan ini bisa karena adanya persamaan bentuk, cara
penulisan, cara penempatan, bunyi ucapan, atau kombinassi
dari unsur – unsur tersebut.

Kesamaan atas kekayaan intelektual suatu merek dapat


menimbulkan sengketa di antara para pihak berupa gugatan perdata seperti
dalam kasus Star dan logo bintang dengan merek green star, red star, dan
blue star yang termaktub dalam Putusan 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020.12

Dalam pertimbangan hakim Putusan Kasasi Nomor


606_K/Pdt.Sus-HKI/2018 sengketa merek dagang star dan logo bintang
dengan green star, red star, dan blue star ditemukan kesamaan pada
pokoknya karena pada kedua merek milik Penggugat dan Tergugat ada
persamaan pada unsur bunyi Star pada kata Star dengan Blue Star, Green
Star, Red Star, persamaan demikian menuai permasalahan karena jenis
barang kedua merek dagang sama-sama merupakan produk pipa dari
logam sehingga pendaftar merek Blue Star, Green Star, Red Star yang
terdapat persamaan pada pokoknya dengan merek Star & Logo Bintang
warna biru milik Penggugat yang telah terdaftar lebih dahulu, dimana
bahwa merek Star & Logo Bintang Biru sudah beredar di pasaran.

Sehingga dalam hal ini, kedudukan merek yang telah terdaftar


terlebih dahulu berdasarkan doktrin “prior i filling” bahwa yang berhak
atas suatu merek adalah pihak yang mendaftar mereknya dikenal dengan
asas presumption of ownership. Hal demikian dilakukan untuk menjamin
kepastian hukum karena pemilik atau pendaftar merek diberikan sebuah
sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti hak atas merek yang
telah didaftarkan tersebut sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama
dari merek yang bersangkutan.

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020

12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020.
Sengketa yang diakibatkan oleh pelanggaran merek dalam dunia
perdagangan tidak terlepas dari adanya itikad buruk dari pelaku usaha
untuk memenangkan persaingan dalam merebut pasar. Persaingan itu
dilakukan secara tidak jujur dan tidak adil. Akibatnya, pemilik merek
menderita kerugian. Beberapa diantara perbuatan yang mengarah pada
persaingan tidak sehat itu adalah menggunakan merek yang sama pada
pokoknya atau sama pada keseluruhannya, tindakan passing off,
penjiplakan mentah-mentah (slavish imitation/ slaavsenabosting) dan
sebagainya.13
Kasus sengketa merek yang akan penulis kaji untuk diteliti adalah
berdasarkan putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-
HKI/2020:
1. Kasus Posisi
Penggugat adalah salah satu Perusahaan di Indonesia
yang telah hampir 1 (satu) dekade bergerak di bidang
Perindustrian dan Perdagangan Peralatan Pipapipa berbahan
Stainless Steel, yang telah mensupport kebutuhan Pasar
Domestik maupun Internasional.
Atas usahanya tersebut, sebelumnya pada tahun 2004,
Penggugat telah mendaftarkan Nama Produk-Produknya
dengan menggunakan Merek Dagang “STAR & LOGO
BINTANG” di Direktorat Merek dibawah Daftar
No.IDM000120263 pada tanggal 10 Mei 2007 untuk
melindungi jenis barang Kelas 06, yakni antara lain: “Pipa
Stainless Steel terbuat dari besi stainless steel (anti karat)” yang
telah diperpanjang dibawah No.R008802/2014 tanggal 15 Juli
2014 dan juga Pendaftaran Merek Dagang BLUE STAR
Agenda No.D002014029330 tanggal 25 Juni 2014;14

13
Gunawan Suryomurcitro, “Perlindungan Merek Terkenal menurut UU No. 15 Tahun
2001 tentang Merek”, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008), h. 7.
14
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Oleh karena itu, sudah barang tentu menurut hukum,
Penggugat mempunyai hak khusus untuk melaksanakan sendiri
Hak Eksklusifnya dengan menggunakan Merek Dagang
“STAR & LOGO BINTANG” tersebut di Indonesia, agar dapat
membedakan hasil-hasilnya dari hasil-hasil pihak lain
sebagaimana diamanatkan dalam Ketentuan Pasal 1 ayat 5
Undang-Undang No.20 tahun 2016 Jo. Pasal 3 Undang-Undang
No.15 tahun 2001 tentang Merek; 4. Bahwa ternyata diketahui
oleh Penggugat, telah terdaftar pula Merek-Merek Dagang
yang mengandung kata STAR pada Direktorat Merek (i.c.
Tergugat II) untuk melindungi jenis barang yang termasuk
dalam Kelas 6 atas nama Tergugat I yang merupakan hasil
pengalihan Hak dari Adi Wijaya Komarjono, dimana secara
mutatis mutandis memiliki persamaan dengan Merek Dagang
STAR & LOGO BINTANG Terdaftar milik Penggugat, yakni
antara lain:15
a) Pendaftaran Merek Dagang “GREEN STAR” Daftar
No. IDM000513150 Kelas 6, Tanggal 18 Januari 2016;
b) Pendaftaran Merek Dagang “RED STAR” Daftar No.
IDM000513223 Kelas 6, Tanggal 18 Januari 2016;
c) Pendaftaran Merek Dagang “BLUE STAR” Daftar No.
IDM000540526 Kelas 6, Tanggal 16 Maret 2017.

Pendaftaran Merek Dagang GREEN STAR Daftar


No.IDM000513150, Merek Dagang RED STAR Daftar
No.IDM000513223 dan Merek Dagang BLUE STAR Daftar
No.IDM000540526 atas nama Tergugat I yang telah terdaftar
pada Direktorat Merekjelas bertentangan dengan Ketentuan
Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.20 tahun 2016
Jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.15 tahun 2001
tentang Merek, karena inconcreto Merek-Merek Dagang
15
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Tergugat I a quo mempunyai persamaan dengan Merek
Dagang STAR & LOGO BINTANG atas nama Penggugat
yang telah terdaftar lebih dahulu pada Direktorat Merek
Republik Indonesia.

Adanya persamaan pada Merek-Merek Dagang atas


nama Tergugat I dengan Merek Dagang STAR & LOGO
BINTANG Penggugat, didukung pula secara de facto,
Tergugat I sebelumnya memiliki hubungan hukum dengan
Penggugat, dimana Tergugat I secara continue dalam kurun
waktu periode tahun 2007 hingga awal tahun 2014 melakukan
pembelian atau pemesanan produkproduk Pipa Merek Dagang
“STAR & LOGO BINTANG” dari Penggugat.

Secara de facto dan de jure, Pendaftaran Merek Dagang


GREEN STAR Daftar No.IDM000513150, Merek Dagang
RED STAR Daftar No.IDM000513223 dan Merek Dagang
BLUE STAR Daftar No.IDM000540526 atas nama Tergugat I
yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan Merek
Dagang STAR & LOGO BINTANG milik Penggugat adalah
nyata-nyata bertujuan tidak jujur (dishonesty purpose) serta
menunjukkan adanya itikad tidak baik (bad faith) dari
Tergugat, untuk membonceng, meniru dan menjiplak Merek
Dagang STAR & LOGO BINTANG milik Penggugat, guna
meraih keuntungan dengan jalan pintas (passing off), yang
pada gilirannya akan menciptakan iklim persaingan curang
(unfair competition);

Pendaftaran Merek-Merek Dagang yang mengandung


kata “STAR” oleh Tergugat I patut diduga demi kepentingan
usahanya agar menarik konsumen yang telah mengetahui
Merek Dagang “STAR & LOGO BINTANG”atas nama
Penggugat, agar membeli produk-produk dari Tergugat I
dengan asumsi MerekMerek Dagang atas nama Tergugat I
merupakan bagian dari produk-produk hasil dari perusahaan
Penggugat, sehingga kondisi ini sangat merugikan Pihak
Penggugat;

Bahwa bukti-bukti adanya itikad tidak baik dari


Tergugat I untuk menyerupai atau sama pada pokoknya dengan
Pendaftaran Merek Dagang STAR & LOGO BINTANG
Penggugat, adalah :16

a) Tergugat I pernah menjadi distributor dari Penggugat


sejak tahun 2007 hingga tahun 2014;
b) Tergugat I telah mendaftarkan Merek-Merek Dagang
yang mengandung kata STAR, yakni Merek Dagang
GREEN STAR Daftar No.IDM000513150, Merek
Dagang RED STAR Daftar No.IDM000513223 dan
Merek Dagang BLUE STAR Daftar
No.IDM000540256 pada Kantor Tergugat II sejak
tahun 2013;
c) Tergugat I diketahui telah mengajukan permohonan
pendaftaran lainnya dengan menggunakan kata STAR
yang saat ini masih dalam proses pemeriksaan di
Kantor Tergugat II, yakni antara lain:
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Black
Star” Agenda No. D002013055664 Kelas 6
tertanggal 22 November 2013;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang
“Yellow Star” Agenda No. D002013055660
Kelas 6 tertanggal 22 November 2013;

16
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Star
Blue” Agenda No. D002014044480 Kelas 6
tertanggal 30 September 2014;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Blue
Star” Agenda No. D002014023313 Kelas 6
tertanggal 23 Mei 2014;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Blue
Star” Agenda No. D002014023313 Kelas 6
tertanggal 23 Mei 2014;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Blue
Star” Agenda No. D002016054884 Kelas 5
tertanggal 9 November 2016;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Blue
Star” Agenda No. DID2017005656 Kelas 7
tertanggal 3 Februari 2017;
 Permohonan Pendaftaran Merek Dagang “Blue
Star” Agenda No. DID2017005686 Kelas 8
tertanggal 3 Februari 2017.

Dengan demikian, maka Pendaftaran Merek Dagang Green


Star Daftar No.IDM000513150, Merek Dagang Red Star Daftar
No.IDM000513223 dan Merek Dagang Blue Star Daftar
No.IDM000540526 atas nama Tergugat I pada Direktorat Merek
(Tergugat II) jelas sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek, khususnya Pasal 21ayat (1)
huruf a Juncto Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang
Merek Pasal 6 ayat (1) huruf a, mengingat pendaftaran Merek
Dagang Green Star Daftar No.IDM000513150, Merek Dagang Red
Star Daftar No.IDM000513223 dan Merek Dagang Blue Star
Daftar No.IDM000540526atas nama Tergugat I tersebut terbukti
telah dilandasi itikad tidak baik (bad faith), karena memiliki
persamaan pada pokoknya dengan Merek Dagang Star & Logo
Bintang atas nama Penggugat;

Sedangkan maksud dan tujuan Undang-Undang Nomor 20


tahun 2016 Juncto Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang
Merek adalah untuk melindungi pemilik merek yang beritikad baik
dari upaya-upaya pihak tertentu yang berusaha
meniru/membonceng merek tersebut. Oleh karenanya in casu
Penggugat sangat berkepentingan untuk menuntut/menggugat
Pembatalan Merek Dagang Green Star Daftar No. IDM000513150,
Merek Dagang Red Star Daftar No. IDM000513223 dan Merek
Dagang Blue Star Daftar No.IDM000540526atas nama Tergugat I
dengan segala konsekuensi hukumnya untuk dibatalkan dari Daftar
Umum Merek berdasarkan Ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek Jo. Pasal 68 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek;17

2. Pertimbangan Hakim
Dalam pertimbangan hakim Putusan Nomor 5 PK/Pdt.Sus-
HKI/2020 alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali I (Tergugat II) tersebut dapat
dibenarkan, oleh karena di dalam putusan Judex Juris, terdapat
suatu kekhilafan hakim yaitu di dalam pertimbangan dan
putusannya Judex Juris menyebutkan merek Penggugat adalah
“STAR” dan logo bintang padahal penyebutan tersebut keliru,
karena merek Penggugat yang benar sesuai Sertifikat Merek
yang diterbitkan oleh Tergugat II adalah Star Stainless Steel;18
Dengan demikian tidak ada merek STAR dan logo bintang
yang terdaftar pada Tergugat II, atas nama Penggugat;

17
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
18
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Bila dibandingkan antara merek Penggugat Star Stainless
Steel dengan merek Tergugat I yaitu Green Star, merek Red
Star dan merek Blue Star, maka pertimbangan Judex Facti
sudah tepat dan benar yaitu tidak terdapat persamaan pada
pokoknya/keseluruhannya antara merek Penggugat dengan
merek Tergugat I karena kata STAR adalah kata umum; Bahwa
pertimbangan dan putusan Judex Facti sudah tepat dan benar
oleh karena itu diambil alih menjadi pertimbangan Mahkamah
Agung dalam perkara a quo;
Alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali II (Tergugat I) tidak dapat
dibenarkan, oleh karena setelah membaca dan meneliti alasan-
alasan permohonan peninjauan kembali tanggal 8 Mei 2019
dan jawaban permohonan peninjauan kembali tanggal 16
Oktober 2019, ternyata keberatan dari Pemohon Peninjauan
Kembali II berisi hal-hal yang telah dipertimbangkan yang
pada dasarnya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon
Peninjauan Kembali II dengan Judex Juris, perbedaan mana
bukan merupakan kekhilafan hakim ataupun suatu kekeliruan
nyata;
Setelah memeriksa bukti-bukti baru yang diajukan oleh
Pemohon Peninjauan Kembali II yaitu bukti baru bertanda PK-
1 s/d PK-4 ternyata bukti-bukti tersebut bukan termasuk bukti
surat yang bersifat menentukan karena bukti bertanda PK-1
berisi petikan merek lain bukan merek objek sengketa dalam
perkara ini, sedangkan bukti surat bertanda PK2 s/d PK-4 terbit
setelah perkara ini diputus oleh Judex Facti sehingga bukti-
bukti
Bukti tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali; Menimbang,
bahwa namun demikian Hakim Agung anggota: I Gusti Agung
Sumanatha, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting
opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai
berikut:19
Alasan-alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan
oleh karena bukti PK-1 s/d PK-4 tidak bersifat menentukan,
produk-produk dalam bukti PK-1 s/d PK-4 yang memakai
merek STAR dan Logo masih terdaftar (exist) karena belum
diuji dengan adanya gugatan oleh pemegang hak eksklusif atas
merek STAR dan Logo serta tidak ditemukan adanya
kekhilafan hakim dalam putusan Judex Juris;
Termohon Peninjauan Kembali merupakan pendaftar
pertama dalam merek dagang “STAR” dan Logo Bintang
dengan Nomor IDM000120263 kelas 6 dan mendapat
perlindungan sejak tanggal 15 Juli 2004;
Merek Termohon Peninjauan Kembali terdiri dari kata
“STAR” dengan Logo Bintang yang berwarna biru, sedangkan
Blue Star yang secara harfiah berarti Bintang Biru yang secara
visual dan atau bunyi/tulisan bisa menyesatkan konsumen yang
merugikan Termohon Peninjauan Kembali, lebih-lebih
Pemohon Peninjauan Kembali tidak beritikad baik, karena
Pemohon Peninjauan Kembali II (Tergugat I) pernah menjadi
distributor dari Termohon Peninjauan Kembali dari tahun 2007
hingga tahun 2014, sehingga mengerti keuntungan dan prospek
dari merek yang berbau STAR.
Sehingga Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha, S.H.,
M.H., berpendapat permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali I dan Pemohon Peninjauan
Kembali II seharusnya ditolak;
Oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis
Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-

19
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal
14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Majelis Hakim mengambil putusan
dengan suara terbanyak;
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung
berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali I: Kementerian Hukum dan HAM RI, Cq.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Cq. Direktorat
Merek, tersebut dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 606 K/Pdt.Sus-HKI/2018 tanggal 17 Juli 2018
selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara
ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah
ini;20
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah
Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali II:
PT. Wiharta Prametal tersebut tidak beralasan, sehingga harus
ditolak;
Karena permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali I dikabulkan, maka Termohon Peninjauan
Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan kembali;
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-

20
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan;

3. Analisis Peneliti
Berdasarkan uraian sengketa dalam Putusan Nomor
5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020, diketahui bahwa jenis produk dari
kedua merek yang memiliki sengketa sama-sama
merupakan produk pipa dari logam. Pada kedua merek
milik Termohon Peninjauan Kembali atau PT Wiharta
Prametal dan Pemohon Peninjauan Kembali dahulu atau PT
Supra Teratai Metal terdapat persamaan pada unsur bunyi
Star pada kata Star dengan Green Star, Red Star, dan Blue
Star. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis bahwa:21
“Permohonan ditolak jika merek tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan:
a) Merek terdaftar milik pihak lain atau
dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis;…”

Kesamaan-kesamaan seperti hal ini


mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pihak PT
Wiharta Prametal karena cenderung menjiplak atau meniru
merek Star & Logo Bintang yang telah terdaftar terlebih
dahulu, dimana Termohon Kasasi mengetahui merek Star &
Logo Bintang tersebut sudah beredar di pasaran.

Namun pada dasarnya, merek yang terdaftar dalam


Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum

21
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
dan HAM dengan Nomor Pendaftaran Merek Dagang
IDM000120263 bernama “Star Stainless Steel”. Hal
demikian seakan berkontradiksi dengan dalil PT Supra
Teratai Metal atas merek dagangnya.

Hal demikian juga termaktub dalam pertimbangan


majelis hakim peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 5
PK/Pdt.Sus/2020 yang menyatakan:22

“…dalam pertimbangan dan putusannya Judex


Juris menyebutkan merek Penggugat adalah “STAR” dan
logo bintang padahal penyebutan tersebut keliru, karena
merek Penggugat yang benar sesuai Sertifikat Merek yang
diterbitkan oleh Tergugat II adalah Star Stainless Steel.”

Dalam hal ini memang terdapat kesamaan kata


“Star” dalam merek dagang Star Stainless Steel dengan
Green Star, Red Star, dan Blue Star. Sehingga PT Supra
Teratai Metal mengajukan gugatan kesamaan pada
pokoknya atas merek dagang tersebut. Hal demikian
tercermin dalam gugatan PT Supra Teratai Metal yang
menyatakan:23

“Bahwa diketahui oleh Penggugat, telah terdaftar


pula Merek-Merek Dagang yang mengandung kata STAR
pada Direktorat Merek (i.c. Tergugat II) untuk melindungi
jenis barang yang termasuk dalam Kelas 6 atas nama
TergugatI yang merupakan hasil pengalihan Hak dari Adi
Wijaya Komarjono, dimana secara mutatis mutandis
memiliki persamaan dengan Merek Dagang STAR &
LOGO BINTANG Terdaftar milik Penggugat, yakni antara
lain:
22
Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus/2020.
23
Putusan Nomor 05/Pdt.Sus.HKI/MERK/2017/PN.Niaga.Sby
a) Pendaftaran Merek Dagang “GREEN STAR”
Daftar No. IDM000513150 Kelas 6, Tanggal 18
Januari 2016;
b) Pendaftaran Merek Dagang “RED STAR” Daftar
No. IDM000513223 Kelas 6, Tanggal 18 Januari
2016;
c) Pendaftaran Merek Dagang “BLUE STAR” Daftar
No. IDM000540526 Kelas 6, Tanggal 16 Maret
2017.”

Pasalnya, majelis hakim Peninjauan Kembali dalam


Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020
menyatakan bahwa “Star” merupakan kata umum dengan
pertimbangan sebagai berikut:24

“..bila dibandingkan antara merek Penggugat Star


Stainless Steel dengan merek Tergugat I yaitu Green Star,
merek Red Star dan merek Blue Star, maka pertimbangan
Judex Facti sudah tepat dan benar yaitu tidak terdapat
persamaan pada pokoknya/keseluruhannya antara merek
Penggugat dengan merek Tergugat I karena kata Star
adalah kata umum.”

Namun pertimbangan tersebut tidak sesuai dengan


definisi kata umum yang tidak hanya dalam arti telah
menjadi milik publik (public domain), namun berkaitan
juga dengan nama jenis (soortnaam, generic term). Nama
jenis dimaksud adalah kata-kata yang umum dan biasa
dipakai dalam kegiatan perindustrian dan perdagangan
untuk menamai jenis atau kelas dari barang-barang
tertentu.25

24
Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020.
25
Nama jenis ini pada umumnya tidak didaftarkan dan
dilindungi sebagai merek dagang untuk barang yang
bersangkutan. Pengecualian demikian dilakukan karena
kata-kata tersebut sudah demikian lazimnya digunakan oleh
semua orang untuk menyebut jenis barang yang
bersangkutan, sehingga sudah selayaknya apabila tidak
seorang pun boleh mengaku sebagai satu-satunya orang
yang berhak memakai kata tersebut atau sebagai satu-
satunya orang yang telah memakai kata tersebut sebagai
merek dagang jenis tersebut.26

Namun dalam hal ini, kata “Star” tidak mencerminkan


kata yang lazim digunakan dalam perindustrian pipa besi.
Kata Star bukan merupakan kata yang umum diterapkan
pada produk dan tidak bersifat menggambarkan produk.

Lebih lanjut, kata umum tidak dapat berfungsi sebagai


merek dari barang yang bersangkutan karena tidak
mempunyai daya pembeda untuk membedakan asal atau
sumber dari barang-barang sejenis yang berbeda asalnya.
Sementara kata Star dalam sengketa merek pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020 dapat
menjadi pembeda untuk membedakan asal atau sumber dari
produk pipa besi hasil produksi PT Supra Teratai Metal.27

Sehingga dalam hal ini seharusnya majelis hakim tidak


memutuskan bahwa terdapat kesamaan pada pokoknya
dalam sengketa merek Star Stainless Steel milik PT Supra
Teratai Metal dengan Red Star, Blue Star, dan Green Star
milik PT Wiharta Prametal karena merek Star Stainless
Steel terdiri dari kata “Star” dengan Logo Bintang yang
26
Suyud Margono, “Hak Milik Industri: Pengaturan dan Praktik di Indonesia”, (Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h. 71.
27
Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-HKI/2020.
berwarna biru, sedangkan Blue Star yang secara harfiah
berarti Bintang Biru yang secara visual dan atau
bunyi/tulisan bisa menyesatkan konsumen yang merugikan
Termohon Peninjauan Kembali, terlebih PT Wiharta
Prametal tidak beritikad baik, karena pernah menjadi
distributor dari Star Stainless Steel dari tahun 2007 hingga
tahun 2014, sehingga mengerti keuntungan dan prospek
dari merek yang menggunakan kata Star.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu berdasarkan
teori first to file yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 menghendaki yang berhak atas suatu merek adalah pihak
yang mendaftar mereknya dikenal dengan asas presumption of
ownership. Sehingga menjamin kepastian hukum karena pemilik atau
pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti
pendaftaran dan bukti hak atas merek yang telah didaftarkan tersebut
sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek yang
bersangkutan.
2. Pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 5
PK/Pdt.Sus/2020 menyatakan bahwa merek Star Stainless Steel
dengan merek dagang Red Star, Blue Star, dan Green Star tidak
memiliki persamaan pada pokoknya karena kata “Star” merupakan
kata umum. Namun sejatinya, kata Star tidak dapat dikategorikan
sebagai kata umum karena tidak menggambarkan jenis produk pipa
besi tersebut.

B. Rekomendasi
1. Bagi pembentuk undang-undang seharusnya memberikan penjelasan
terkait kata umum yang tidak dapat digunakan untuk pendaftaran
merek merupakan kata yang menggambarkan produk dan/atau jenis
usaha yang dijalankan dengan merek dagang tersebut.
2. Bagi masyarakat seharusnya melakukan penelusuran merek sebelum
mendaftarkan suatu merek dagang dan tidak mendaftarkan merek
dagang yang berpotensi untuk memiliki kesamaan keseluruhan atau
kesamaan pada pokoknya dengan merek dagang lain.
BibliographyDAFTAR PUSTAKA
Buku-buku

Diantha, I. M. (2017). Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.

Hadjon, P. M. (1999). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya:


Bina Ilmu.

Harahap, M. Y. (1996). Tinjauan Merek secara umum dan hukum Merek di


Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ibrahim, J. (2005). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya:


Bayumedia Publishing.

Jened, R. (2015). Hukum Merek dalam Era Perekonomian Global. Jakarta:


Prenada Media Grup.

Jumhana, M. (2003). Hak kekayaan intelektual, Sejarah dan praktiknya di


Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Koesowo, B. (2005). Penghantar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.


Semarang: Bimtek Mahkamah Agung.

Lindsey, T. (2003). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Penghantar. Bandung:


Alumni.

Lumbanradja, M. (2010). Globalisasi HAKI Perdagangan dan Persaingan Bebas.


Jakarta: Alumni.

Margono, S. (2002). Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek. Jakarta:


Novirindo Pustaka Mandiri.

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group.

Maulana, I. B. (2019). Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke


Masa. Jakarta: Gramedia.
Munandar, H. (2008). Mengenai Haki, Hak cipta, Hak Merek, Hak Paten dan
Seluk Beluknya. Jakarta: Erlangga.

Njatrijani, R. (2019). Perlindungan Hukum Bagi pemegang hak merek dagang


IKEA atas penghapusan merek dagang. Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 49.

Rafianti, L. (2013). Perkembangan Hukum Merek di Indonesia. Jurnal


Universitas Padjadjaran, 2.

Rahardjo, S. (2003). Penghantar Ilmu Hukum. Bandung: Citra Ditya Bakti.

Saidin, O. (2004). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT.Raja


Grafindo.

Sarjando, A. (2009). Membumikan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.


Bandung : Nuansa Aulia.

Soeroso, R. (2008). Penghantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Supramono, G. (2008). Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum


Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryomurcitro, G. (2008). Perlindungan Merek Terkenal menurut UU No. 15


Tahun 2001 tentang Merek. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.

Usman, R. (2003). Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni.

Satino, S. (2018). Perlindungan hukum terhadap merek (Tinjauan terhadap merek


dagang Tupperware versus Tulipware). Jurnal Yuridis, 160-162.

Wijaya, W., & Kansil, C. S. (2018). Analisis Kekuatan Unsur Itikad Baik Pada
Pelaksanaan Pendaftaran Merek Di Indonesia (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 364K/Pdt.Sus-HKI/2014) Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016. Jurnal Hukum Adigama, 5.
Zen, A. (2005). Hak Kekayaan Intelektual Pasca Trips. Bandung: Alumni.

Artikel Jurnal

D., M. F., & dkk. (2018). Iktikad Tidak Baik dalam Pendaftaran dan Model
Penegakan Hukum Merek di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
220.

Dhian, R. (2013). Akibat Hukum Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar


Berdasarkan Akta Hibah Wasiat. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
DiIponegoro, 131.

Handayati. (2017). Urgensi Perlindungan Merek melalui Protokol Madrid. Jurnal


Legalisasi Indonesia, 13-15.

Kalalo, P. F. (2021). Gugatan Pemilik Merek Terdaftar Terhadap Pihak Lain


Apabila Tanpa Hak Menggunakan Merek Barang Yang Mempunyai
Persamaan Pada Pokoknya Atau Keseluruhannya. Lex Privatum, 122.

potensi Intelektual, Industri, Peradaban Implementasi Trips. Jurnal FH Undip, 10-


15.

Mamahit, J. (2013). Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan


Barang Dan Jasa. Lex Privatum, 92.

Sarjando, A. (2009). Membumikan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.


Bandung : Nuansa Aulia.

Skripsi

Heriyanto, D. (2017). Perlindungan Hukum Atas Hak Merek (Studi Kasus Merek
Spesial Sambal dalam Passing Off). Surakarta: Skripsi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sari, M. I. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Merek Bereputasi Asing Yang
Belum Terdaftar Di Indonesia Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
No.364 K/Pdt.Sus-HKI/2014. Jakarta: Skripsi UIN Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Perjanjian Trips
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus/2020

D., M. F., & dkk. (2018). Iktikad Tidak Baik dalam Pendaftaran dan Model
Penegakan Hukum Merek di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 220.
Dhian, R. (2013). Akibat Hukum Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar
Berdasarkan Akta Hibah Wasiat. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
DIponegoro, 131.

Dhian, R. (2018). Akibat Hukum Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar


Berdasarkan Akta Hibah Wasiat. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
DIponegoro: 131.

Diantha, I. M. (2017). Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.

Hadjon, P. M. (1999). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya:


Bina Ilmu.

Handayati. (2017). Urgensi Perlindungan Merek melalui Protokol Madrid. Jurnal


Legalisasi Indonesia, 13-15.
Harahap, M. Y. (1996). Tinjauan Merek secara umum dan hukum Merek di
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Heriyanto, D. (2017). Perlindungan Hukum Atas Hak Merek (Studi Kasus Merek
Spesial Sambal dalam Passing Off). Surakarta: Skripsi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Ibrahim, J. (2005). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya:


Bayumedia Publishing.

Jened, R. (2015). Hukum Merek dalam Era Perekonomian Global. Jakarta:


Prenada Media Grup.

Jumhana, M. (2003). Hak kekayaan intelektual, Sejarah dan praktiknya di


Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kalalo, P. F. (2021). Gugatan Pemilik Merek Terdaftar Terhadap Pihak Lain


Apabila Tanpa Hak Menggunakan Merek Barang Yang Mempunyai
Persamaan Pada Pokoknya Atau Keseluruhannya. Lex Privatum, 122.

Koesowo, B. (2005). Penghantar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.


Semarang: Bimtek Mahkamah Agung.

Lindsey, T. (2003). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Penghantar. Bandung:


Alumni.

Lumbanradja, M. (2010). Globalisasi Haki Perdagangan dan persaingan bebas


potensi Intelektual, Industri, Peradaban Implementasi Trips. Jurnal FH
Undip, 10-15.

Mamahit, J. (2013). Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan


Barang Dan Jasa. Lex Privatum, 92.

Margono, S. (2002). Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek. Jakarta:


Novirindo Pustaka Mandiri.

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group.
Maulana, I. B. (2019). Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke
Masa. Jakarta: Gramedia.

Munandar, H. (2008). Mengenai Haki, Hak cipta, Hak Merek, Hak Paten dan
Seluk Beluknya. Jakarta: Erlangga.

Njatrijani, R. (2019). Perlindungan Hukum Bagi pemegang hak merek dagang


IKEA atas penghapusan merek dagang. Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 49.

Rafianti, L. (2013). Perkembangan Hukum Merek di Indonesia. Jurnal


Universitas Padjadjaran, 2.

Rahardjo, a. (2003). Penghantar Ilmu Hukum. Bandung: Citra Ditya Bakti.

Saidin, O. (2004). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT.Raja


Grafindo.

Sari, M. I. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Merek Bereputasi Asing Yang


Belum Terdaftar Di Indonesia Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
No.364 K/Pdt.Sus-HKI/2014. Jakarta: Skripsi UIN Jakarta.

Sarjando, A. (2009). Membumikan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.


Bandung : Nuansa Aulia.

Satino, S. (2018). Perlindungan hukum terhadap merek (Tinjauan terhadap merek


dagang Tupperware versus Tulipware). Jurnal Yuridis, 160-162.

Soeroso, R. (2008). Penghantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Supramono, G. (2008). Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum


Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryomurcitro, G. (2008). Perlindungan Merek Terkenal menurut UU No. 15


Tahun 2001 tentang Merek. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.

Usman, R. (2003). Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni.


Wijaya, W., & Kansil, C. S. (2018). Analisis Kekuatan Unsur Itikad Baik Pada
Pelaksanaan Pendaftaran Merek Di Indonesia (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 364K/Pdt.Sus-HKI/2014) Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016. Jurnal Hukum Adigama, 5.

Zen, A. (2005). Hak Kekayaan Intelektual Pasca Trips. Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai