OLEH :
NEKHA PUSPANINGSIH ( 21 1101 11094 )
Merek terdiri dari 3 (Tiga) macam berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001, yaitu :
1. Merek Dagang, merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkaoleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang – barang sejenis
lainnya (Pasal 1 angka (2) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek).
2. Merek Jasa, merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan jasa – jasa sejenis lainnya. (Pasal 1 angka (3)
UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek ).
3. Merek Kolektif, merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
(Pasal 1 angka (4) UU No. 15 Tahun 2001 ).
Fungsi Merek
Menurut Endang Purwaningsih, suatu merek digunakan oleh produsen
atau pemilik merek untuk melindungi produknya, baik berupa jasa atau
barang dagang lainnya, menurutnya suatu merek memiliki fungsi sebagai
berikut :
1. Fungsi pembeda, yakni membedakan produk yang satu dengan
produk perusahaan lain;
2. Fungsi jaminan reputasi, yakni selain sebagai tanda asal usul
produk, juga secara pribadi menghubungkan reputasi produk
bermerek tersebut dengan produsennya, sekaligus memberikan
jaminan kualitas akan produk tersebut;
3. Fungsi promosi, yakni merek juga digunakan sebagai sarana
memperkenalkan dan mempertahankan reputasi produk lama yang
diperdagangkan, sekaligus untuk menguasai pasar;
4. Fungsi rangsangan investasi dan pertumbuhan industri, yakni
merek dapat menunjang pertumbuhan industri melalui penanaman
modal, baik asing maupun dalam negeri menghadapi mekanisme
pasar bebas.
Itikad baik dari sipemilik merek menjadi peranan utama dalam hal
pendaftaran, hal ini sesuai dengan pasal 4 Undang-undang merek. Selanjutnya
dalam pasal 5 undang-undang merek dikatakan bahwa merek tidak dapat
didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Tidak memiliki daya pembeda
3. Telah menjadi milik umum
4. Merupakan keterangan dan berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftaranya
Jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan Merek yang Terdaftar
Menurut ketentuan dalam Article 18 Persetujuan TRIPs, pendaftaran
merek untuk pertama kali berikut perpanjangannya berlaku untuk jangka waktu
paling lama 7 tahun. Pendaftaran merek dapat diperbarui berulang kali (tanpa
batas). Jadi, jangka waktu perlindungan merek terdaftar tanpa batas sepanjang
pemilik merek melakukan perpanjangan, selama itu merek terdaftar diberikan
perlindungan. Minimal jangka waktu perlindungan merek tersebut untuk
pertama kali adalah 7 tahun, termasuk perpanjangannya.
Ketentuan ini diadopsi dalam Pasal 35 UU No. 20/2016. Menurut
ketentuan ini, merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka
waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan, dengan ketentuan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu yang sama. Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Pasal 28
UU No. 15/2001. Jangka waktu perlindungan merek terdaftar bukan terhitung
pada saat terbitnya sertifikat merek yang bersangkutan, melainkan berlaku
mundur terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan merek yang telah
memenuhi persyaratan minimum.
Pembatalan Merek
1. Arbitrase
a. Arbitrase Ad Hoc
Dalam arbitrase Ad Hoc para pihak bisa memastikan sendiri metode
pemilihan arbiter, konteks kerja prosedur arbitrase, serta pegawai
administrasi arbitrase, sebab metode pengecekan arbitrase berlangsung
tanpa terdapatnya pengawasan serta pemeriksaan yang mempunyai sifat
lembaga. Arbitrase mempunyai jangka waktu hingga sengketa diputuskan.
Dalam penerapannya arbitrase mempunyai kesulitan tersendiri seperti
melakukan perundingan, menetapkan prosedural arbitrase dan merancang
tata cara pemilihan arbiter yang disetujui oleh para pihak.
b. Arbitrase Institusional
Arbitrase Institusional dibentuk oleh suatu organisasi yang digunakan
dalam menuntaskan sengketa yang berasal dari perjanjian. Arbitrase
Institusional sifatnya permanen ialah senantiasa beridiri walaupun belum
terdapatnya sengketa maupun sudah selesainya sengketa sehingga kesulitan
yang ditimbulkan dapat dikurangi dalam lembaga arbitrase ad hoc.
Bersumber pada UU MIG Pasal 83 dan 84 terdapat beberapa hal yang wajib
dicermati, ialah:
a. Pihak lain yang tidak memiliki hak, menggunakan merek dimana memiliki
kesamaan intinya ataupun kesemuanya untuk produk ataupun jasa pemilik
merek dapat mengajukan gugatan terdaftar ataupun pemegang Lisensi Merek
terdaftar, gugatan yang dilayangkan bisa berbentuk gugatan ganti rugi
ataupun dihentikannya seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
pemakaian merek tersebut.
b. Gugatan bisa juga dilayangkan oleh pemilik merek terkenal bersumber pada
putusan pengadilan yang diajukan kepada Pengadilan Niaga.
c. Sepanjang masih dalam pengecekan pemilik merek ataupun penerima Lisensi
bisa melayangkan permintaan kepada hakim untuk mengakhiri aktivitas
penciptaan, pendistribusian, ataupun perniagaan produk ataupun jasa yang
memakai merek itu secara tanpa hak.
d. Produk yang memakai merek tanpa hak harus diserahkan oleh Tergugat,
hakim bisa mengintruksikan penyerahan produk ataupun nilai produk itu
dilakukan sehabis pengadilan mengeluarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Sertifikat Merek
Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama
antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma
diproduksi oleh PT. Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.
Astra Honda Motor. PT. Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT. Astra
Honda Motor (AHM), karena PT. AHM perusahaan yang mampu memproduksi
1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT. Tossa Sakti pada motor
Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan
tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di
Jakarta.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT. Tossa Sakti (Gunawan Chandra)
memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT. AHM merasa kecewa karena pihak
pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata
dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT AHM, yaitu masalah desain huruf
pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut
tidak dilindungi hukum.
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus Haki Yang Benar (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010) h. 87
Saidin, 1997. Aspek Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: RajaGrafindo
Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual… Op. Cit h. 27 dalam buku Fahmi, M. Abdi
Almaktsur, dan Syafrinaldi, Hak Kekayaan Intelektual (Pekanbaru, Suska Press 2008) h. 34
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia, (Citra
Aditiya Bhakti, 1996, Cet I) H. 484 dalam buku Fahmi, M. Abdi Almaktsur, dan Syafrinaldi,
Hak Kekayaan Intelektual (Pekanbaru, Suska Press 2008) h. 35 24
Ermansyah Djaja, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)
I Gede Mahendra Juliana Adiputra, dkk. (2020). Penyelesaian Perkara Pelanggaran Hak Atas
Merek, Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 1 No 2 Hal 67-71
Rani Apriani, dkk. (2022), Penyuluhan Peran Abritase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di
Luar Pengadilan, MARTABE : Jurnal Pengabdian Masyarakat, VolumeVolume 5 Nomor 2
Tahun 2022, http://jurnal.umtapsel.ac.id/index.php/martabe/article/view/4320/pdf
Ida Ayu Sri Dewi Kusuma dan I Dewa Gede Dana Sugama. (2020). Upaya Arbitrase Dalam
Penyelesaian Sengketa Merek Terkenal. Jurnal Hukum Kertha Wicara, Vol 9 No 3
Patrichia Weyni Lasut. (2019). Penyelesaian Sengketa Gugatan Atas Pelanggaran Merek
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Lex
Et Societaris, Vol. VII/No.1/Jan/2019
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2010) h. 215
https://www.slideshare.net/septianbarakati/contoh-kasus-pelanggaran-hak-merek