Anda di halaman 1dari 21

PERKAWINAN:

PRINSIP-PRINSIP,SYARAT,RUKUN,PEMINANGAN
“Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam”
Dosen Pengampu : Yasin Baidi,S.Ag.,M.Ag

Disusun Oleh :
Fasmawi saban sihabudin : (11340184)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012

A.PENGERTIAN PERKAWINAN

1.Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Secara Etimologi Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata

bahasa arab yaitu Nikkah (bahasa arab: ‫ ) النكاح‬yang berarti perjanjian perkawinan ;

berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa arab:

‫ )نكاح‬yang berarti persetubuhan.Secara etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab

artinya adalah mendekap atau berkumpul.[1]

Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan

oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-

senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang

dengan seorang laki-laki.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
Menurut Syara’, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan

keduanya bergaul sebagai suami isteri. Aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri

dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.

Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum

kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.

2.Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :

“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”

Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut :

a. Ikatan lahir bathin.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.

c. Sebagai suami isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [2]

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan

suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang

suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.

B.PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN:

Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan

Undang-undang Perkawinan.

Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :

[2] Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan


a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.

Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua

belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan

perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang

menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan

itu sendiri.

d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram,

damai, dan kekal untuk selam-lamanya.

e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab

pimpinan keluarga ada pada suami.

Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang

Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri

perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-

tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan

tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang

bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang

suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan

lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh

Pengadilan Agama.

d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya

untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat,

untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah

umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka

untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan

antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi

seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-

Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi

wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan

sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya

perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan

Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi

orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian

segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan

menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan

yang prinsipil atau mendasar.[3]

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang

kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undanhg no 1 tahun 1974

tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah

hukum yaitu sebagai berikut:

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

2. Asas keaabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak

yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang

3. Asas monogami terbuka

4. Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan,

agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan

sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah

tangga dan kehidupan masyrakat

7. Asas pencatatan perkawinan.[4]

C.RUKUN PERKAWINAN

[3] http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/

[4] Zainnudin,Ali.Hukum Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan


pertama,halaman7
Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak

syah.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syarat-

syarat tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu

melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan,

artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu

perkawinan.Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada

tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari

keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan

menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain:

1. Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk

menunjukkan keinginannya membangun ikatan.

2. Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/

setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.Dari shighah ijab dan qabul,

kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:

3. Adanya Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. Adanya

wali dari calon istri.

4. Adanya dua orang saksi.

Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan

tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974

tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama

pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum

cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua

pihak pria atau pihak wanita.

D. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Syarat nikah adalah segala sesuatu yang pasti dan harus ada ketika pernikahan

berlangsung,tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakekat pernikahan.

1. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi

a. syarat-syarat materiil.

1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.

b. Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak

calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a. Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan

b. Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.

b.Syarat-syarat Formil.

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat

perkawinan.

2. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

4. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.


2. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam.

Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan.

Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap

perbuatan hukum.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan

sah adalah :

a. Syarat Umum.

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an

surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan

pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam

boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24)

tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

b. Syarat Khusus.

1) Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.

2) Harus ada wali nikah.

3) Saksi.

4) Ijab Kabul.

E.PEMINANGAN

 Pengertian peminangan:

Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara antara seorang pria

dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki

atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan

seorang wanita denga cara-cara yang baik (ma’ruf)(Pasal 1 bab 1 huruf a KHI).
Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan Peminangan adalah

kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara

seorangeorang wanita.

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, meminang (kata kerja) yang

mempunyai sinonim dengan kata melamar yang dalam bahasa Arab disebut khithbah. Secara

etimologi, meminang atau melamar mempunyai arti; “meminta wanita untuk dijadikan isteri

(bagi diri sendiri atau orang lain)”Secara terminologi, peminangan ialah: “Kegiatan upaya ke

arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita”, atau “seorang laki-

laki meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara

yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan peminangan adalah

upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan yang bukan

mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah berlaku di tengah-

tengah masyarakat.

Seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, yaitu:

a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang

dilangsungkannya perkawinan.

b. Belum dipinang orang lain secara sah.

Status hukum meminang menurut jumhur ulama fiqh adalah sunat (tidak wajib). Akan

tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan wajib. Silang pendapat ini disebabkan, apakah

perbuatan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan masalah meminang diartikan wajib atau

sunat. Namun demikian, bila melihat kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah

meminang, baik yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah

yang akan melahirkan hukum wajib.

Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:


“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada

(arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-nya”. Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di

atas, dapat ditegaskan bahwa hukum meminang hanyalah sunat. Karena perbuatan tersebut

merupakan ketetapan Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah. [5]

 Syarat-syarat Peminangan:

Syarat peminangan tidak dapat di pisahkan dari halangannya karena syarat dan

halangan peminangan di uraikan dalam suatu sub pembahasan. Peminangan dalam bahasa Al-

Qur’an disebut “hitbah” hal ini diungkapkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2:235).[6]

DAFTAR PUSTAKA

Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan. diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pada pukul

09.30

http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan./ diakses pada

tanggal 1 Maret 2012 pada pukul 09.30

Ali,Zaimudin.2006. Hukum Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.

Asmawi,Mohammad.2004.Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta:

Darussalam Perum Griya Suryo.

Ditulis Oleh Syaban Depok Cisompet Pada Selasa, Maret 13, 2012

[5] Mohammad,Asmawi.Nikah dalam perbincangan dan perbedaan.Yogyakarta:Darussalam Perum


Griya Suryo Asri F-10.Cetakan 1,halaman 38

[6] Zainnudin,Ali.Hukum Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan pertama,halaman


9-10
Tanggapan:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke


Pinterest
Label: Kumpulan Makalah-Makalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Selasa, 13 Maret 2012


Makalah Prinsip.Syarat,Rukun Perkawinan (Hukum Perdata Islam)

PERKAWINAN:
PRINSIP-PRINSIP,SYARAT,RUKUN,PEMINANGAN
“Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam”
Dosen Pengampu : Yasin Baidi,S.Ag.,M.Ag

Disusun Oleh :
Fasmawi saban sihabudin : (11340184)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012

A.PENGERTIAN PERKAWINAN

1.Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Secara Etimologi Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata

bahasa arab yaitu Nikkah (bahasa arab: ‫ ) النكاح‬yang berarti perjanjian perkawinan ;
berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa arab:

‫ )نكاح‬yang berarti persetubuhan.Secara etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab

artinya adalah mendekap atau berkumpul.[1]

Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan

oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-

senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang

dengan seorang laki-laki.

Menurut Syara’, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan

keduanya bergaul sebagai suami isteri. Aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri

dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.

Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum

kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.

2.Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :

“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”

Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut :

a. Ikatan lahir bathin.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.

c. Sebagai suami isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [2]

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan

suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang

suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.

B.PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN:

Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan

Undang-undang Perkawinan.

Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :

a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.

Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua

belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan

perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang

menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan

itu sendiri.

d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram,

damai, dan kekal untuk selam-lamanya.

e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab

pimpinan keluarga ada pada suami.

Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang

Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:

[2] Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan


a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri

perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-

tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan

tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang

bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang

suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan

lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh

Pengadilan Agama.

d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya

untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat,

untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah

umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka

untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan

antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi

seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-
Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi

wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan

sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya

perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan

Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi

orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian

segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan

menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan

yang prinsipil atau mendasar.[3]

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang

kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undanhg no 1 tahun 1974

tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah

hukum yaitu sebagai berikut:

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

2. Asas keaabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak

yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang

3. Asas monogami terbuka

[3] http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/
4. Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan,

agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan

sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah

tangga dan kehidupan masyrakat

7. Asas pencatatan perkawinan.[4]

C.RUKUN PERKAWINAN

Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak

syah.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syarat-

syarat tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu

melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan,

artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu

perkawinan.Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada

tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari

keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan

menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain:

1. Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk

menunjukkan keinginannya membangun ikatan.

[4] Zainnudin,Ali.Hukum Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan


pertama,halaman7
2. Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/

setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.Dari shighah ijab dan qabul,

kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:

3. Adanya Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. Adanya

wali dari calon istri.

4. Adanya dua orang saksi.

Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan

tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974

tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama

pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum

cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan

meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua

pihak pria atau pihak wanita.

D. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Syarat nikah adalah segala sesuatu yang pasti dan harus ada ketika pernikahan

berlangsung,tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakekat pernikahan.

1. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi

a. syarat-syarat materiil.

1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.


b. Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak

calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a. Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan

b. Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.

b.Syarat-syarat Formil.

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat

perkawinan.

2. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

4. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

2. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam.

Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan.

Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap

perbuatan hukum.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan

sah adalah :

a. Syarat Umum.

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an

surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan

pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam
boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24)

tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

b. Syarat Khusus.

1) Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.

2) Harus ada wali nikah.

3) Saksi.

4) Ijab Kabul.

E.PEMINANGAN

 Pengertian peminangan:

Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara antara seorang pria

dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki

atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan

seorang wanita denga cara-cara yang baik (ma’ruf)(Pasal 1 bab 1 huruf a KHI).

Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan Peminangan adalah

kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara

seorangeorang wanita.

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, meminang (kata kerja) yang

mempunyai sinonim dengan kata melamar yang dalam bahasa Arab disebut khithbah. Secara

etimologi, meminang atau melamar mempunyai arti; “meminta wanita untuk dijadikan isteri

(bagi diri sendiri atau orang lain)”Secara terminologi, peminangan ialah: “Kegiatan upaya ke

arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita”, atau “seorang laki-

laki meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara

yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.


Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan peminangan adalah

upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan yang bukan

mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah berlaku di tengah-

tengah masyarakat.

Seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, yaitu:

a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang

dilangsungkannya perkawinan.

b. Belum dipinang orang lain secara sah.

Status hukum meminang menurut jumhur ulama fiqh adalah sunat (tidak wajib). Akan

tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan wajib. Silang pendapat ini disebabkan, apakah

perbuatan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan masalah meminang diartikan wajib atau

sunat. Namun demikian, bila melihat kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah

meminang, baik yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah

yang akan melahirkan hukum wajib.

Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada

(arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-nya”. Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di

atas, dapat ditegaskan bahwa hukum meminang hanyalah sunat. Karena perbuatan tersebut

merupakan ketetapan Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah. [5]

 Syarat-syarat Peminangan:

[5] Mohammad,Asmawi.Nikah dalam perbincangan dan perbedaan.Yogyakarta:Darussalam Perum


Griya Suryo Asri F-10.Cetakan 1,halaman 38
Syarat peminangan tidak dapat di pisahkan dari halangannya karena syarat dan

halangan peminangan di uraikan dalam suatu sub pembahasan. Peminangan dalam bahasa Al-

Qur’an disebut “hitbah” hal ini diungkapkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2:235).[6]

DAFTAR PUSTAKA

Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan. diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pada pukul

09.30

http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan./ diakses pada

tanggal 1 Maret 2012 pada pukul 09.30

Ali,Zaimudin.2006. Hukum Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.

Asmawi,Mohammad.2004.Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta:

Darussalam Perum Griya Suryo.

[6] Zainnudin,Ali.Hukum Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan pertama,halaman


9-10

Anda mungkin juga menyukai